Pestisida Nabati Pengendalian biologi, penelitian dan kajian mengenai agens hayati (virus, bakteri, cendawan dan serangga) dan biopestisida telah banyak dilakukan. Namun demikian, agens hayati dan biopestisida sebagai salah satu alternatif sarana pengendalian OPT pada tanaman hortikultura masih dirasakan kurang/belum secara optimal dalam penerapannya. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan petugas perlindungan dan petani dalam usaha pengembangan dan pemanfaatannya, serta kurangnya sarana prasarana untuk eksplorasi, identifikasi, maupun pengawasan mutu agens hayati. Pestsida Nabati Pengendalian biologi lebih menekankan pada usaha perlindungan tanaman yang memanfaatkan musuh alami daripada penggunaan pestisida. Usaha pengendalian OPT dari pengendalian berbasis pestisida kimia menjadi non kimia yaitu agens hayati dan biopestisida untuk meminimalkan residu pestisida pada produk hasil pertanian sehingga aman untuk dikonsumsi serta mampu meningkatkan daya saing dalam perdagangan global, karena ketentuan SPS-WTO yang mengikat dalam perdagangan global produk pertanian, menuntut setiap negara anggota untuk memenuhi tuntutan yang dipersyaratkan oleh pasar internasional. Perdagangan internasional akan menuntut tersedianya produk hortikultura yang bermutu yang diyakini tidak terinfeksi atau bebas dari kandungan OPT. Pengendalian nabati Pengendalian biologi (biological control) atau yang lebih dikenal dengan istilah pengendalian hayati, merupakan salah satu komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang perlu dipertimbangkan untuk diterapkan secara luas. Beberapa kelebihan dalam pengendalian biologi, antara lain yang secara aspek ekonomi lebih menguntungkan karena dapat mengurangi ketergantungan pada pestisida kimiawi, dari aspek lingkungan dapat berkelanjutan dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, serta produk yang dihasilkan aman konsumsi. Cara pengendalian biologi dilakukan dengan pemanfaatan agens hayati, musuh alami, maupun biopestisida/pestisida nabati. Pestisida Nabati Peranan pestisida dalam sistem usaha budidaya pertanian, khususnya hortikultura memang dirasa cukup vital dan menjadi masalah dilematis yang memerlukan banyak kajian. Peningkatan produktivitas untuk pemenuhan produksi sejalan dengan peningkatan pertumbuhan penduduk, sehingga dalam upaya pemenuhannya, pestisida sebagai pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dalam sistem budidaya pertanian menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat dikesampingkan, akibatnya lambat laun terjadi ketidakseimbangan secara ekologis, yaitu populasi OPT dengan sebaran dan kuantitas yang tinggi tetapi musuh alami semakin menurun. PESTISIDA NABATI Pestisida dari bahan alami (pestisida nabati) sebenarnya telah lama digunakan, karena sejak pertanian dilakukan secara tradisional, petani pada waktu tersebut telah terbiasa menggunakan bahan-bahan pengendali OPT yang tersedia di alam. Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang atau buah. Bahan-bahan ini diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil pengambilan cairan metabolit sekunder dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan yang digunakan sebagai pestisida. . Pestisida nabati dapat membunuh atau mengganggu serangan hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik, yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik, diantaranya: • merusak perkembangan telur, larva dan pupa • menghambat pergantian kulit • mengganggu komunikasi serangga • menyebabkan serangga menolak makan • menghambat reproduksi serangga betina • mengurangi nafsu makan • memblokir kemampuan makan serangga • mengusir serangga • menghambat perkembangan patogen penyakit Aktivitas Biologi Metabolit Sekunder Tumbuhan, dikutip dari Dadang dan Prijono, 2008, terdiri dari 4 jenis, yaitu: 1. Aktivitas penghambatan makan (antifeedant) Antifeedant (antifidan) adalah zat atau senyawa kimia yang ketika dirasakan oleh serangga dapat menghasilkan penghentian aktivitas makan yang bersifat sementara atau permanen tergantung pada potensi atau kekuatan senyawa tersebut dalam memberikan aktivitasnya. Pengertian antifidan mencakup penolakan makan (tidak ada aktivitas makan sama sekali) dan penghambatan makan (ada aktivitas makan namun terhambat) . 2. Aktivitas penolakan peneluran Kehadiran senyawa kimia dapat menyeleksi penemuan inang atau perilaku peletakkan telur oleh serangga, sehingga aplikasi senyawa kimia sekunder tumbuhan yang diekstrak dari tumbuhan lain (bukan inang) mungkin dapat mengganggu perilaku peletakkan telur oleh serangga. Beberapa senyawa yang berpotensi sebagai penghambat aktivitas peneluran diantaranya: terpenoid, toosendanin, ekstrak Azadirachta indica, A. harmsiana, ekstrak biji Euchresta horsfieldii. Aktivitas pengatur pertumbuhan serangga . Serangga yang mengonsumsi sumber makanan yang miskin zat-zat nutrisi atau terdapat senyawasenyawa kimia tertentu (senyawa asing) dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan serangga. Senyawa-senyawa semacam itu banyak yang bersumber dari tumbuhan. Beberapa ekstrak-ekstrak tumbuhan dari famili Meliaceae, Aglaia argentea, Cedrela odorata, C. toona, dan Cikrassia tabularis dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan beberapa serangga. Aktivitas kematian/mortalitas Ekstrak. tumbuhan dapat mengandung senyawa kimia yang dapat bersifat penghambat aktivitas makan serangga dan senyawa lain yang bersifat toksik, atau dapat juga satu senyawa memiliki dua aktivitas biologi sekaligus seperti memiliki sifat sebagai penghambat aktivitas makan serangga dan sekaligus bersifat toksik. Beberapa jenis tumbuhan seperti piretrum (Tanacetum (=Chrysanthenum) cinerariaefolium), tembakau (Nicotiana spp.), dan akar tuba (Derris spp.) yang masing-masing mengandung senyawa aktif piretrin, nikotin, dan rotenon telah banyak dikembangkan sebagai insektisida komersial . . Pestisida nabati lainnya yang potensial adalah minyak atsiri yang beralsal dari serai dan cengkeh, menurut keterangan dari kelompok tani Tunas Harapan Jaya Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah yang juga merupakan petani dan penangkar benih kentang, sudah lebih dari 90% wilayahnya sudah terkena NSK (Nematoda Sista Kuning), salah satu upaya yang pernah dilakukannya untuk mengurangi NSK adalah dengan menggunakan pestisida nabati (biopestisida) seperti penggunaan minyak atsiri yang berasal dari serai dan cengkeh. Penggunaan minyak atsiri sebagai biopestisida ini sebenarnya mampu menurunkan serangan NSK, tetapi dibutuhkan biaya tinggi karena diperlukan alat untuk menyuling serai dan cengkeh menjadi minyak atsiri. . .