Dian Agustini Nomor urut absensi : 5 (20/454939/FI/04746) Xenophanes dari Kolophon, 570 – 475 SM (Perkiraan) Xenophanes dari Kolophon adalah seorang penyair filosofis dan pemikir bebas yang tinggal di berbagai belahan dunia Yunani kuno selama akhir abad ke-6 dan awal abad ke-5 SM. Dalam Diels-Kranz (DK)1, tercatat ada 45 fragmen puisi dari Xenophanes (meskipun B4, 13, 19, 20, 21 dan 4, akan lebih akurat diklasifikasikan sebagai testimonia2), mulai dari 24 baris B1 hingga fragmen kata tunggal B21a, 39, dan 40. Sejumlah 'puisi simpotik' (puisi untuk pesta minum) (B1–3, 5, 6, 22, dan imitasi di C2) diawetkan oleh Athenaeus, sementara keterangan tentang sifat ketuhanan dikutip oleh Clement (B14-16 dan 23), Sextus Empiricus (B11, 12, dan 24), dan Simplicius (B25 dan 26). Potongan lain yang bertahan dicatat oleh Diogenes Laertius dan Aëtius dalam buku Lives of the Philosophy. Secara garis besar, pemikirannya terbagi menjadi tiga pokok bahasan. Pertama, penolakannya terhadap konsep politeisme Yunani Kuno dengan dewa-dewi antrofomorfis; yang secara tidak langsung membuka jalan bagi konsep monoteisme. Kedua, ide tentang asal muasal alam semesta. Dan terakhir, pendapat tentang kebenaran yang bersifat relatif dan terus berkembang sejalan dengan sejarah. Telaah teologis Xenophanes dimulai dari kritiknya terhadap Tuhan antrofomorfis (Tuhan-Tuhan yang memiliki atribut kemanusiaan seperti perasaan dan hasrat), yang sebenarnya sudah dilakukan oleh Thales, filsuf yang hidup satu abad sebelumnya. Sehubungan dengan hal ini, 1 Penomoran Diels-Kranz adalah sistem standar untuk mereferensikan karya penyair dan filsuf Yunani Kuno praSokrates. Dalam Diels-Kranz, setiap bagian atau item diberi nomor yang digunakan untuk mengidentifikasi kepribadian pihak yang bersangkutan. Nomor Diels-Kranz untuk Xenophanes sendiri adalah 21. 2 Testimonia adalah catatan tentang kehidupan dan doktrin penulis. Xenophanes menyatakan bahwa “Tuhan” semacam ini tidak pantas untuk disembah. Ditambah dengan segala ketidaksempurnaan pada moral mereka (seperti, katakanlah, Zeus yang sepertinya maniak berhubungan seks, Poseidon yang tempramental, Hera yang pendendam, Ares yang haus darah, dsb). Dengan pendekatan yang kelak dinamakan relativisme kultural (sebuah prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas seseorang dipahami sebagai hasil dari kebudayaannya. Diletakkan oleh Franz Boas sebagai aksioma hasil penelitian antropologisnya pada awal abad ke-20. Ia tidak menggunakan istilah relativisme kultural tersebut, tetapi para muridnya menyintesiskan istilah tersebut pada prinsip pemikiran Boas. Istilah ini baru muncul pada jurnal American Anthropological tahun 1948), ia menyatakan bahwa Tuhan antrofomorfis adalah refleksi dari kebudayaan suatu bangsa. Bahwasanya, jika bangsa Ethiopia disuruh menggambarkan Tuhan, maka mereka akan menggambarkannya sebagai orang berkulit hitam dan berhidung pesek. Jika orang Thracia (bangsa kulit putih, berambut merah, dan bermata biru) disuruh pula, maka mereka akan menggambarkan Tuhan persis seperti bangsa mereka; berambut merah dan bermata biru. Bahkan, (ini sepertinya adalah satir) jika kuda dan sapi bisa menggambar, mereka akan menggambar Tuhan mereka dengan wujud kuda dan sapi (fragmen DK 21 B16 dan B17). Dalam penjabaran singkat ini, saya menyetujui satu hal; bahwasanya “Tuhan” hanyalah refleksi dari kebudayaan suatu bangsa. Yang artinya, gambaran-gambaran kita tentang Tuhan dan keyakinan-keyakinan kepada-Nya tidak lain merupakan gambaran-gambaran dan keyakinankeyakinan kepada manusia sendiri dalam sosoknya yang terasing. Tuhan, adalah apa yang kita pikirkan. Hal yang menjadi permasalahan kemudian adalah, munculnya sikap chauvinistik3. Ketika Tuhan digambarkan secara berbeda oleh masyarakat dan budaya yang berbeda, maka bisa jadi dari setiap gambaran tersebut hanya satu yang benar, atau bahkan tidak ada satupun yang benar. Akan tetapi, yang sering kita temui justru adalah masing-masing merasa mereka yang paling benar. Dan ketika ini terjadi, lantas siapakah yang bisa bertindak sebagai penentu tentang penggambaran Tuhan yang paling benar? Untuk itu, kita bisa kembali kepada Xenophanes sendiri. Tuhan, dalam pandangan Xenophanes bisa kita jabarkan seperti yang tertulis di atas, dimulai dari kritiknya terhadap uraian tentang Dewa-dewi Yunani oleh Homer dan Hesiod, yang menyatakan, ”Homer and Hesiod attributed to the gods all those things which bring criticism and censure among humans: theft, adultery and deceiving one another.” Homer dan Hesiod mengaitkan para dewa dengn semua hal yang membawa kritik dan kecaman di antara manusia: pencurian, perzinahan, dan saling menipu (fragmen DK 21 B11). Baginya, para dewa yang dianggap lebih superior dari manusia seharusnya tidak bertingkah laku seperti yang banyak diuraikan Homer dan Hesiod (penyair kuno yang menggambarkan DewaDewi Yunani). Standar tingkah laku para dewa seharusnya lebih tinggi dan lebih baik dari manusia karena klaim superioritas tersebut. Adalah sebuah keganjilan jika dewa digambarkan sebagai kaum yang melakukan pencurian, perzinahan, dan saling membohongi. Maka dari itu, Xenophanes memiliki gambaran tersendiri tentang Tuhan. Dalam pandangannya, Tuhan harusnya satu, tidak mirip manusia, baik dari bentuk maupun cara berpikirnya, tetapi sebagai sebab dari seluruh semesta dengan cipta pikirnya. 3 Chauvanistik; sauvanistik; penganut paham sauvanisme; paham mengenai patriotisme yang berlebihan. Maknanya kemudian diperluas menjadi fanatisme ekstrem dan tak berdasar terhadap hal yang diikuti atau dipercayai. Namun, saat Xenophanes mengatakan “one God”, ada pertanyaan di sini. Ada fragmen di mana dia menyebut “Gods”, tapi ada juga “a single God”. Ini bisa menimbulkan pertanyaan apakah Xenophanes adalah seorang monoteis, politeis, atau dia hanya seorang yang tidak konsisten dalam memilih kata-kata. Beberapa penulis kemudian menyebutkan bahwa Xenophanes mengidentifikasi 'satu Tuhan terbesarnya' adalah seluruh alam semesta fisik —Sering disebut 'keseluruhan' atau 'semua hal', dan beberapa catatan modern menggambarkan Xenophanes sebagai penganut panteisme. Akan tetapi, pemahaman doktrin Xenophanes ini semakin tidak konsisten dengan pernyataannya bahwa, "Tuhan mengguncang segala sesuatu" (B25), juga, "segala sesuatu berasal dari bumi dan ke bumi segala sesuatu pada akhirnya akan datang" (B27), dan, "segala sesuatu yang muncul dan tumbuh adalah tanah dan air ”(B29). Secara keseluruhan, pernyataan Xenophanes tentang kodrat ilahi cukup untuk dianggap sebagai ekspresi kesalehan tradisional Yunani: ada makhluk yang memiliki kekuatan dan keunggulan yang luar biasa, dan adalah kewajiban kita masing-masing untuk menghormatinya. Namun, ketika seseorang mengatakan Xenophanes membuka jalan bagi monoteisme, saya curiga bahwa itu benar-benar berarti bahwa Xenophanes membuka jalan bagi pandangan orang-orang yang sebelumnya sangat percaya akan politeisme Dewa-dewi. Yang artinya, dia menyapu bersih konsep mitologi dan berkontribusi besar terhadap hadirnya kepercayaan baru; katakanlah, konsep monoteisme mutlak pada beberapa agama Abrahamik. Kedua, pandangannya tentang bumi. Saya tidak akan membahas soal asal mula bumi. Sebab kita tentu saja sepakat bahwa hampir semua Filsuf Pra-Sokrates memiliki kekeliruan dalam pandangan mereka terhadap archê atau "prinsip pertama" dari segala sesuatu di dunia. Saya lebih tertarik membahas tentang awan, atau nephos. Yang sebenarnya hanya disebut dua kali dalam penggalan karya Xenophanes (fragmen B30 dan 32). Saya menemukan banyak testimonia memuji Xenophanes dengan ketertarikannya terhadap fenomena meteorologi dan astronomi. Salah satunya, menurut Diogenes Laertius, “katanya… awan dibentuk oleh uap matahari (yaitu uap yang disebabkan oleh panas dari sinar matahari) yang mengangkat dan mengangkatnya ke udara sekitarnya” (A1.24 –5). Aëtius (A46) pun memberikan kisah serupa: Xenophanes (mengatakan bahwa) hal-hal di langit terjadi melalui panas matahari sebagai penyebab awalnya; karena ketika kelembapan ditarik dari laut, bagian yang manis, yang terpisah karena kehalusannya dan berubah menjadi kabut, bergabung menjadi awan, menetes ke dalam tetesan hujan karena tekanan, dan menguapkan angin. Selanjutnya, setelah memperhitungkan pembentukan awan dalam istilah mekanistik melalui proses penguapan dan kompresi (tersirat dalam fragmen B30), Xenophanes mulai menggunakan awan untuk menjelaskan sejumlah besar fenomena meteorologi dan astronomi. Klaim umum muncul dalam pseudo-Plutarch Miscellanies : "dia mengatakan bahwa matahari dan bintangbintang muncul dari awan" (A32), dan Aëtius memberi kita banyak penjelasan: Bintang-bintang muncul dari awan yang terbakar (A38). Jenis api yang muncul di kapal - yang oleh beberapa orang disebut Dioscuri - awan kecil yang berkilauan berdasarkan jenis gerakan yang mereka miliki (A39). Matahari terdiri dari awan-awan yang terbakar… kumpulan api kecil, yang dibangun sendiri dari kumpulan hembusan yang lembab (A40). Bulan adalah awan terkompresi (A43). Semua benda semacam ini (komet, bintang jatuh, meteor) adalah kelompok atau pergerakan awan (A44). Kilatan petir terjadi melalui gemerlap awan karena adanya gerakan (A45). Mengapa Xenophanes bisa berpikir demikian? Bisa jadi sebab awan adalah kandidat alami untuk eksplanan dalam catatan ilmiah. Karena mereka berada di tengah-tengah bentuk antara padat dan gas, mereka mudah dihubungkan dengan zat padat, cairan, dan gas dari berbagai jenis. Dan karena mereka menempati wilayah di tengah-tengah antara permukaan bumi dan bagian atas langit, mereka berada pada posisi yang tepat untuk menghubungkan dua substansi dasar bumi dan air dengan banyak fenomena astronomi. Meskipun klaim tentang awan sebagai dasar segala hal ini juga terbantah oleh fakta ilmiah di masa sekarang, tetapi jelas saja cukup mengejutkan bahwa siklus hidrologi tentang awan yang berasal dari uap air yang kita yakini sebagai sebuah fakta ilmiah sekarang ini, telah disadari oleh seorang manusia yang hidup hampir 25 abad sebelum kita. Akan tetapi, seperti kata Xenophanes sendiri, dalam fragmen B34: Dan tentu saja kebenaran yang jelas dan pasti yang belum pernah dilihat manusia, juga tidak akan ada orang yang mengetahui tentang para dewa dan apa yang saya katakan tentang semua hal. Karena, bahkan jika dalam kasus terbaik, seseorang kebetulan berbicara tentang apa yang telah terjadi, dia sendiri tetap tidak akan tahu. Tapi opini dialokasikan untuk semua. Yang secara tersirat menyatakan bahwa kebenaran mutlak itu tidak ada. Kita tidak akan benarbenar tahu segala sesuatu secara pasti, secara menyeluruh. Kita hanya mengetahui apa yang menurut kita, kita ketahui. Kita mempercayai apa yang kita anggap sebagai kenyataan. Sebuah kebenaran akan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Meskipun begitu, bukan berarti kita tidak harus mencari kebenaran. Sebab dikatakan pula, “tentu saja tidak ada pengetahuan tentang kebenaran tertentu mengenai para dewa dan prinsip-prinsip dasar yang mengatur kosmos, tetapi dokos —opini atau dugaan — tersedia dan harus diterima jika sesuai dengan keadaan sebenarnya.” Sikap Xenophanes terhadap pengetahuan atau kebenaran ini tampaknya merupakan produk dari dua dorongan yang berbeda. Sementara dia percaya bahwa penyelidikan dalam bentuk perjalanan dan pengamatan langsung mampu menghasilkan informasi yang berguna tentang sifat sesuatu, tetapi dia tetap cukup di bawah pengaruh kesalehan yang lebih tua untuk tidak berusaha memahami hal-hal yang berada di luar batas yang bukan kuasanya sebagai manusia. Kesimpulannya, saya menyetujui bahwa kritik Xenophanes terhadap gambaran dewa-dewi Yunani kuno itu adalah sebuah kerasionalan yang berkontribusi besar bagi kehidupan sosialagama masyarakat pada abad-abad selanjutnya, tetapi tidak cukup yakin dengan “Tuhan” yang satu yang disebut Xenophanes sebagai gambaran Tuhan ideal. Selain fakta ketidakkonsistenannya dalam memberikan istilah, kita juga tak cukup punya kuasa untuk membuktikan keberadaan-Nya selain dari kepercayaan semata. Yang kedua, perihal awan, cukup mengejutkan bahwasanya Xenophanes memiliki gambaran demikian. Yang dapat dipahami mengapa dia bisa berpikir demikian, meskipun pada akhirnya, hampir semua pendapatnya terbantahkan oleh sains modern. Akan tetapi, seperti yang dia katakan pula. Kebenaran itu relatif. Kita tidak cukup tahu untuk mengklaim bahwa apa yang saya tuliskan adalah sebuah kebenaran. Kita hanya bisa tetap mengatakannya sebagai opini dari satu persepsi. Referensi : 1994, Xenophanes und die Anfange kritischen Denkens, Mainz: Akademie der Wissenschaften und der Literatur; Stuttgart: Franz Steiner Verlag (in German). “Xenophanes Fragments”, Arthur Fairbanks, ed. and trans., London: K. Paul, Trench, Trubner, 1898), 65–85; scanned and proofread for the web by Aaron Gulyas (May 1998) and Jonathan Perry (March 2001), for the Hanover Historical Texts Project. Classen, C.J., 1989, “Xenophanes and the Tradition of Epic Poetry,” in Boudouris, K.J., ed. Ionian Philosophy, Athens: International Association for Greek Philosophy: International Center for Greek Philosophy and Culture, 91–103. Diels, H. and W. Kranz, 1952, Die Fragmente der Vorsokratiker (in three volumes), 6th edition, Dublin and Zurich: Weidmann, Volume I, Chapter 21, 113–39 (Greek texts of the fragments and testimonia with translations of the fragments in German). Finkelberg, A., 1990, “Studies in Xenophanes,” Harvard Studies in Classical Philology, 93: 104–67. Fränkel, H., 1925, “Xenophannestudien,” Hermes, Vol. 60, 174–92; reprinted in Fränkel, 1968, Wege und Formen frügriechischen Denkens, 3rd edition, Munich: C.H. Beck Verlag. A portion of this article was translated into English by M.R. Cosgrove as “Xenophanes’ Empiricism and His Critique of Knowledge” in A.P.D. Mourelatos, ed., 1974, The Pre-Socratics, Garden City, NY: Anchor Press/Doubleday, 118–31. Gemelli Marciano, M. L., 2007, Die Vorsokratiker. 1, Thales, Anaximander, Anaximenes, Pythagoras und die Pythagoreer, Xenophanes, Heraklit, Düsseldorf: Artemis and Winkler (in German). Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory: A History of Theories of Culture. New York: Thomas Y. Crowell Company. Heitsch, E., 1983, Xenophanes: Die Fragmente, Munich and Zurich: Artemis Verlag (in German). Lesher, J.H., 1992, Xenophanes of Colophon: Fragments: A Text and Translation with Commentary, Toronto: University of Toronto Press (Greek texts of the fragments; translation, commentary, and notes in English). McKirahan, R.D., 1994, Philosophy before Socrates (Chapter 7), Indianapolis and Cambridge: Hackett Publishing Co., 59–68. Mogyoródi, E., 2006, “Xenophanes’ epistemology and Parmenides’ quest for knowledge,” in M.Sassa, ed., La costruzione del discorso filosofico nell’età dei Presocratici, Pisa: Ed. della Normale, 123–60. Palmer, J., 1998, “Xenophanes’ ouranian god in the fourth century,” Oxford Studies in Ancient Philosophy, 16: 1–34. Palmer, J., 2010, Parmenides and Presocratic Philosophy, Oxford: Oxford University Press. Schäfer, C., 1996, Xenophanes von Kolophon: ein Vorsokratiker zwischen Mythos und Philosophie, Stuttgart: B.G. Teubner (in German). Tor, S., 2017, Mortal and Divine in Early Greek Epistemology: A Study of Hesiod, Xenophanes, and Parmenides, Cambridge: Cambridge University Press.