Lapres Fareks Anti Hipertensi Rev.5

advertisement
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI EKSPERIMENTAL II
ANTIHIPERTENSI
Disusun oleh :
Kelas : B-2017
Golongan/Kelompok : BII/1
Nama
NIM
1. Theresia Shinta W
17/408854/FA/11304
2. Vigha Ilmanafi A
17/408856/FA/11306
3. Yafi Surya P
17/408858/FA/11308
4. Zanahtya Rustika S
17/408860/FA/11310
Ttd
Hari/Tanggal Praktikum
: Rabu, 23 Oktober 2019
Nama Dosen Jaga
: drh. Retno Murwanti, MP., Ph.D.
Nama Asisten Jaga
: 1. Farida Aulia
2. Reno Diny Astuti
Nama Asisten Koreksi
: Reno Diny Astuti
Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi
Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
2019
PERCOBAAN III
ANTIHIPERTENSI
A. PENDAHULUAN
A.1. Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan percobaan dengan hewan laboratorium untuk melihat
efek obat-obat yang dapat menurunkan tekanan darah secara in vivo.
A.2. Dasar Teori
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah lebh dari 140/90 mmHg.
Klasifikasi hipertensi berdasarkan tingginya tekanan darah menurut the join national on
detection, evaluation, and the treatment of high blood pressure Amerika Serikat:
(Chobanian et al., 2004)
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal.
1. Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis,
sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca
intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol,
merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 – 50
tahun (Schrier, 2000).
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab
spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular
renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma,
koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain – lain
(Schrier, 2000).
Faktor Risiko Hipertensi
Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui dengan
jelas. Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi antara
lain
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Keturunan
Adanya riwayat keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung
secara signifikan akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada
perempuan dibawah 65 tahun dan laki – laki dibawah 55 tahun (Julius,
2008).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan
darah. Hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin. Secara umum
tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada
perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa menopause yang
mununjukkan adanya pengaruh hormon (Julius, 2008).
c. Umur
Hal ini disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah semakin menurun
dengan bertambahnya umur. Sebagian besar hipertensi terjadi pada umur
lebih dari 65 tahun. Sebelum umur 55 tahun tekanan darah pada laki – laki
lebih tinggi daripada perempuan. Setelah umur 65 tekanan darah pada
perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dengan demikian, risiko
hipertensi bertambah dengan semakin bertambahnya umur (Gray, et al.
2005)
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan
tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan
kesehatan, karena nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam
pembuluh darah dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding
pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik,
denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa,
pemakaian O2 bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan
vasokontriksi pada pembuluh darah perifer (Gray, et al. 2005).
b. Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya
dengan hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada
besarnya penambahan berat badan. Penurunan berat badan efektif untuk
menurunkan hipertensi, Penurunan berat badan sekitar 5 kg dapat
menurunkan tekanan darah secara signifikan (Haffner, 1999).
c. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis
yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres
berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang
menetap. Pada binatang percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap stres
menyebabkan binatang tersebut menjadi hipertensi (Pickering, 1999).
Secara farmakologis pengobatan hipertensi berdasarkan pada tiga tujuan utama
ialah mengurangi volume cairan tubuh dan sekaligus mengurangi volume darah,
mengurangi tahanan pembuluh darah perifer, dan menurunkan curah jantung (cardiac
output). Senyawa obat yang mampu menurunkan tekanan darah biasanya digunakan
untuk pengobatan hipertensi. Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug)
yang lazim digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu : diuretik, penyekat
reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme
(ACE- inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (angiotensin-receptor blocker,
ARB), antagonis kalsium (Gunawan & Nafrialdi, 2008).
Obat-obat yang mampu mengurangi volume cairan tubuh adalah golongan
diuretika. Diuretika adalah suatu obat yang dapat meningkatkan jumlah urin (diuresis)
dengan jalan menghambat reabsorpsi air dan natrium serta mineral lain pada tubulus
ginjal. Dengan demikian bermanfaat unyuk menghilangkan udema dan mengurangi
free load. Kegunaan diuretika terbanyak adalah untuk antihipertensi dan gagal jantung.
Pada gagal jantung, diuretik akan mengurangi atau bahkan menghilangkan cairan yang
terakumulasi dijaringan dan paru-paru. Disamping itu, berkurangnya volume darah
akan mengurangi kerja jantung. Penggolongan obat diuretika berdasarkan mekanisme
kerja dan tempat kerja:
1. Diuretika yang bekerja pada tubulus proksimal
a. Diuretika osmotik: manitol, urea
b. Karbonat anhidrase inhibitor: asetazolamida, metazolamida
c. Senyawa lain: alkaloid xantin
2. Diuretika yang bekerja pada Loop of Henle
a. Diuretika kuat: furosemida, torsemida, asam etakrinat
b. mercaptomerin
3. Diuretika yang bekerja pada tubulus distal
a. Diuretika tiazida : klorotiazida, kloroatalidon, hidroklorotiazida
b. Sulfonamida : indapamid
4. Diuretika yang bekerja pada system collecting duct
a. Diuretika hemat kalium : antagonis aldosteron (spironolakton), triemteren,
amilorid
b. Antagonis ADH : garam litium, demeklosiklin
Obat-obat yang mampu mengurangi tahanan pembuluh darah perifer biasanya
mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah tersebut. Oleh sebab itu golongan obat ini
sering disebut sebagai vasodilatator. Terdapat tiga mekanisme cara kerja vasodilatator.
Golongan pertama adalah obat-obat yang mampu menghambat kanal ion kalsium (Ca)
atau sering disebut Calsium Chanel Blocker (CCB). Apabila influk ion Ca di dalam selsel otot polos pembuluh darah dihambat maka tidak terjadi kontraksi otot. Contoh obat
dari golongan ini adalah nifedipin dan amlodipin. Golongan kedua vasodilatator adalah
yang bekerja menghambat enzim pengubah angiotensin atau Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor (ACEI). Seperti dikertahu angiotensin II adalah sebuah
vasokonstriktor yang dapat dibiosintesis dari angiotensin I. Apabila enzim yang
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II ini dihambat maka pembentukan
angiotensin II juga terhambat dan vasokonstriksi tidak terjadi. Contoh dari golongan ini
adalah kaptopril dan lisinopril. Golongan ketiga vasodilatator adalah obat yang mampu
memblok reseptor angiotensin, sehingga efek angiotensin sebagai vasokonstriktor tidak
terjadi. Contoh dari golongan ketiga ini adalah losartan dan valsartan (Gunawan &
Nafrialdi, 2008).
Gambar 1. Sasaran Kerja Obat Antihipertensi (Gunawan & Nafrialdi, 2008)
Golongan obat lain yang sering digunakan untuk menurunkan tekanan darah
yang berlebih adalah obat yang mampu mengurangi curah jantung. Golongan ini
bekerja dengan jalan menghambat kerja reseptor β-adrenergik, utamanya reseptor β1,
pada otor jantung. Apabila reseptor β1 pada otot jantung dihambat maka kekuatan dan
frekuensi kontaksi otot jantung berkurang, sehingga jumlah darah yang dipompa keluar
jantung per satuan waktu juga berkurang. Contoh obat-obat yang termasuk golongan
ini adalah propanolol, acebutolol, metoprolol dan praktolol. Diantara obat-obat penekan
reseptor β-adrenergik ini ada yang tidak/kurang selektif karena dapat menekan reseptor
β1 maupun reseptor β2 yang dapat menurunkan denyut jantung dan menyebabkan
bronkokonstriksi. Karena dapat menimbulkan bronkokonstriksi, penggunaan β bloker
non selektif pada penderita asma,bronchitis, dan penyakit pada pernapasan lain harus
dihindarkan. Selain itu harus juga hati-hati penggunaan β bloker pada penderita DM
karena tanda-tanda hipoglikemia seperti palpitasi dan tremor tertutupi (sukar dideteksi).
Obat β bloker non selektif diantaranya labetalol, nadolol, propanolol, timolol, dan
pindolol (Gunawan & Nafrialdi, 2008).
B. METODE PERCOBAAN
B.1. Alat Dan Bahan
Alat:
1. NonInvasive Blood Pressure System
2. Gelas beaker
3. Spuit injeksi dengan jarum bola/Spuit injeksi
Bahan:
1. Metoprolol
2. Nifedipine
3. Captopril
4. CMC-Na (Pelarut)
Hewan Uji: Tikus (Rattus norvegicus)
B.2. Variabel Penelitian
-
Variabel Bebas
: Senyawa yang dipejankan pada hewan uji
(pembawa saja (CMC-Na), kaptopril, amlodipin, atau
propanolol)
-
Variabel Tergantung : Tekanan darah terukur yang dapat berupa kenaikan
atau penurunan
-
Variabel Terkontrol
: Hewan uji tikus (jenis kelamin, kisaran berat, umur),
kondisi penelitian (suhu, kelembaban, cahaya), alat
pengukur tekanan darah yang digunakan, penginduksi
hipertensi yang digunakan (fenilferin) dan dosisnya, cara
pemejanan obat (sub kutan untuk induksi hipertensi dan per
oral untuk pengobatan hipertensi).
B.3. Cara Kerja
Tikus ditimbang bobotnya lalu tekanan darah dibaca dengan menggunakan alat
NonInvassive Blood Pressure System merek CODA
Dilakukan induksi hipertensi dengan fenileprine secara s.c. dengan dosis 0,9 mg/kgBB
(dihitung volume pemberian sesuai dengan bobot tikus)
Tekanan darah tikus dibaca pada menit ke-15, 30, dan 45 menit pada alat CODA
Tikus diberi CMC-Na 0,5% secara p.o. dengan dosis 2mL/200g BB
Tekanan darah tikus dibaca pada menit ke-60, 75, dan 90 pada alat CODA
Analisis Data
B.4. ANALISIS DATA
Dicatat apakah terdapat perbedaan tekanan darah dari masing-masing hewan uji
antara sebelum dan sesudah diberi obat
Dibandingkan apakah terdapat perbedaan tekanan darah antara kelompok kontrol
dengan tekanan darah masing-masing kelompok uji obat
C. HASIL PERCOBAAN
C.1. Pembagian Obat
Kelompok 1: kontrol (CMC-Na)
Kelompok 2: kaptopril
Kelompok 3: amlodipine
Kelompok 4: propanolol
C.2. Induksi Tekanan Darah Menggunakan Fenileprin Secara S.C. (Perhitungan
Volume Pemberian)
Dosis fenileprin: 0,9 mg/kgBB
Konsentrasi larutan stok fenileprin: 0,09 mg/mL
Kelompok
Bobot tikus (g)
Bobot tikus (kg)
Volume pemberian (mL)
Kelompok 1
216,9
0,2169
2,169
Kelompok 2
293,0
0,2930
2,930
Kelompok 3
229,0
0,2290
2,290
Kelompok 4
186,6
0,1866
1,866
Rumus:
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 =
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 × 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
𝑘𝑜𝑛𝑠. 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑡𝑜𝑘 × 1000
a. Kelompok 1
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 =
0,9 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 × 216,9 𝑚𝑔
0,09 𝑚𝑔/𝑚𝐿 ×1000
= 2,169 mL
b. Kelompok 2
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 =
0,9 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 × 293 𝑚𝑔
0,09 𝑚𝑔/𝑚𝐿×1000
= 2,93 mL
c. Kelompok 3
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 =
0,9 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 × 229 𝑚𝑔
0,09 𝑚𝑔/𝑚𝐿×1000
= 2,290 mL
d. Kelompok 4
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 =
0,9 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 × 186,6 𝑚𝑔
0,09 𝑚𝑔/𝑚𝐿×1000
= 1,866 mL
C.3. Perhitungan Volume Pemberian Obat Perlakuan (Secara P.O.)
Bobot
Kelompok
Kons.
Volume
Larutan stok
pemberian
2mL/200gramBB
0,5%
2,169 mL
Dosis obat
tikus
216,9
CMC-Na
gram
Kaptopril
293 gram
1,125mg/kgBB
0,25 mg/mL
1,319 mL
Amlodipin
229 gram
0,45mg/kgBB
0,05 mg/mL
2,061 mL
Propanolol
186,6 gram
5,7 mg/kgBB
0,72 mg/mL
1,477 mL
a. Kontrol (CMC-Na)
Dosis CMC-Na = 2 mL / 200gramBB
Bobot tikus = 216,9 gram
Volume CMC-Na 0,5% =
216,9 𝑔𝑟𝑎𝑚
200 𝑔𝑟𝑎𝑚
× 2 𝑚𝐿 = 2,169 mL
b. Kaptopril
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 =
1,125 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 × 293 𝑚𝑔
0,25 𝑚𝑔/𝑚𝐿×1000
= 1,319 mL
c. Amlodipin
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 =
0,45 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 × 229 𝑚𝑔
0,05 𝑚𝑔/𝑚𝐿×1000
= 2,061 mL
d. Propanolol
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 =
5,7 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 × 186,6 𝑚𝑔
0,72 𝑚𝑔/𝑚𝐿×1000
= 1,477 mL
C.4. Data Hipertensi Keseluruhan Kelompok
Fenileprin
Kel.
Baseline
Perlakuan
15’
30’
45’
60’
75’
90’
1
Kontrol
107/79
140/119
146/118
135/112
145/106
106/117
168/126
2
Kaptopril
163/115
171/142
132/103
118/96
112/87
130/93
148/105
3
Amlodipin
116/74
197/169
161/124
141/110
106/106
56/56
120/99
4
Propanolol
83/81
169/128
159/129
152/116
85/83
85/89
81/79
D. PEMBAHASAN
Praktikum ini bertujuan untuk melakukan percobaan dengan hewan laboratorium
untuk melihat efek obat-obat yang dapat menurunkan tekanan darah secara in vivo. Obat
yang dijadikan sebagai bahan intervensi dalam praktikum ini adalah kaptopril, amlodipin,
serta propranolol, yang mana diharapkan akan menurunkan tekanan darah tinggi yang
diinduksi oleh pemberian fenilefrin. Detail informasi mengenai obat-obatan tersebut tersaji
di bawah ini.
1. Fenilefrin
Fenilefrin adalah obat yang digunakan untuk meredakan gejala hidung tersumbat secara
sementara. Gejala ini umumnya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas
atau alergi. Obat ini bekerja dengan cara mengurangi pembengkakan pembuluh darah.
Fenilefrin juga menyebabkan vasokonstriksi perifer dan meningkatkan tekanan arteri,
sehingga memiliki efek samping hipertensi.
Rumus molekul
: C9H15Cl2NO2
Berat molekul : 240,1269
Titik lebur
: 140–145oC
Kelarutan air : tidak kurang dari 10 gram dalam 100 mL pada 21oC
Struktur
:
(Dirjen POM, 1995)
2. Kaptopril
Merupakan golongan yang bekerja menghambat enzim pengubah angiostensin atau
Angiostensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI). Angeostensin II adalah sebuah
vasokonstriktor yang dapat dibiosintesis dari angiostensin I. Apabila enzim yang
mengubah angiostensin I menjadi angiostensin II dihambat maka pembentukan
angiostensin II juga terhambat dan vasokontriksi tidak terjadi lagi
Nama Resmi : CAPTOPRILUM
Nama Lain
: Kaptopril
Rumus Kimia : C9H15NO3S
Berat Molekul : 217,28
Pemerian
: Serbuk hablur putih atau hampir putih, bau khas seperti sulfida,
melebur pada suhu 104o – 110
Kelarutan
: Mudah larut dalam air, dalam metanol, dalam etanol, dan dalam
kloroform
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Indikasi : hipertensi ringan sampai sedamg (sendiri atau dengan terapi thiazid) dan
hipertensi berat yang resisten terhadap pengobatan lain; gagal jantung kongestif
(tambahan); setelah infark miokard; nefropati diabetic (mikroalbuminuri lebih dari 30
mg / hari) pada diabetes isulin.
Peringatan : diuretika; dosis pertama mungkin menyebabkan hipotensi terutama pada
pasien yang menggunakan diuretika, dengan diet rendah natrium, dengan dialisis, atau
dehidrasi; penyakit vaskuler perifer atau aterosklerosis menyeluruh karena resiko
penyakit renovaskuler yang tidak bergejala; pantau fungsi ginjal sebelum dan selama
pengobatan, dan kurangi dosis pada gangguan ginjal; mungkin meningkatkan risiko
agranulositosis pada penyakit vaskuler kolagen ( disarankan hitung reaksi ); reaksi
anafilaktoid ( untuk mencegah reaksi ini, penghambat ACE harus dihindarkan selama
dialisis dengan membrane high-flux polyacrilonitrile dan selama aferesis lipoprotein
densitas rendah dengan dekstran sulfat ).
Interaksi
: penghambat ACE - meningkatkan efek hipotensif
Kontraindikasi
: hipersensitif terhadap penghambat ACE (termasuk angiodema;
penyakit renovaskuler (pasti atau dugaan); stenosis aortic atau obstruksi keluarnya
darah dari jantung; kehamilan.
Efek samping
: hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual (terkadang
muntah), diare (terkadang konstipasi), kram otot, batuk kering yang persisten, gangguan
kerongkongan, perubahan suara, perubahan pengecap (mungkin disertai dengan
turunnya berat badan), stomatis, dispepsia, nyeri perut; gangguan ginjal; hiperkalemia;
angiodema, urtikukaria, ruam kulit (termasuk eritema multiforme dan nekrolisis
epidermal toksik), dan reaksi hipersensitivitas (telah dilaporkan suatu kompleks gejala
untuk penghambat ACE yang meliputi demam, serositis, vaskulitis, mialgia, antibody
antinuclear positif, laju endap darah meningkat, eosinofilia, leukositosis; mungkin juga
terjadi ruam kulit, fotosensitivitas atau reaksi kulit lain), gangguan darah (termasuk
trombositopenia, neutropenia, agranulositosis, dan anemia aplastik); gejala-gejala
saluran nafas atas, hiponatremia, takikardia, palpitasi, aritmia, infark miokard, dan stok
(mungkin akibat hiotensi yang berat), nyeri punggung, muka merah, sakit kuning
(hepatoseluler atau kolestatik), pankreatisis, gangguan tidur, gelisah, perubahan
suasana hati, parestesia, impotensi, onikolisis, alopesia.
Dosis
: hipertensi digunakan sendiri, awalnya 12,5 mg 2 kali sehari; jika
digunakan bersama diuretika (lihat keterangan dibawah); pada usia lanjut atau
gangguan ginjal, awalnya 6,25 mg 2 kali sehari (dosis pertama sebelum tidur); dosis
pemeliharaan lazim 25 g 2 kali sehari; maksimal 50 mg 2 kali sehari (jarang 3 kali sehari
pada hipertensi berat). Gagal jantung awalnya 6,25-12,5 mg di bawah pengawasan
medis yang ketat; dosis pemeliharaan lazim 25 mg 2-3 kali sehari; maksimal 150 mg
sehari. Profilaksis setelah infark miokard pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
(asimtomatik atau simptomatik) yang stabil secara klinis, awalnya 6,25 mg, dimulai 3
hari setelah infark, kemudian ditingkatkan dalam beberapa minggu sampai 150 mg
sehari (jika dapat ditolerir dalam dosis terbagi). Nefropati diabetic, 75-100 mg sehari
dalam dosis terbagi; jika diperlukan penurunan tekanan darah lebih lanjut,
antihipertensi lain dapat digunakan bersama kaptopril; pada gangguan ginjal yang berat
awalnya 12,5 mg 2 kali sehari (jika diperlukan terapi bersama diuretika, sebaiknya
dipilih diuretika kuat daripada tiazid)
Struktur
:
(Dirjen POM, 1995)
3. Amlodipin
Amlodipin, atau tepatnya amlodipin besilat, bisa dikonsumsi sebagai obat tunggal atau
dikombinasikan dengan obat lain dalam mengatasi hipertensi. Amlodipin bekerja
dengan cara melemaskan dinding pembuluh darah. Efeknya akan memperlancar aliran
darah menuju jantung dan mengurangi tekanan darah. Selain untuk mengatasi
hipertensi, amlodipin juga digunakan untuk meredakan gejala nyeri dada atau angina
pektoris pada penyakit jantung koroner.
Struktur
:
(Pubchem, 2019)
4. Propranolol
Merupakan golongan obat yang mampu mengurangi curah jantung dengan jalan
menghambat kerja reseptor β adrenergic , utamanya reseptor β1, pada otot jantung.
Apabila reseptor β1 pada otot jantung dihambat maka kekuatan dan frekuensi kontraksi
otot jantung berkurang sehingga jumlah darah yang dipompa keluar jantung per satuan
waktu juga berkurang.
Pemerian
: Serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak berbau, rasa pahit.
Kelarutan
: Larut dalam air dan dalam etanol, sukar larut dalam kloroform,
praktis tidak larut dalam eter.
Stabilitas
: Larutan dalam aqua akan mengalami oksidasi dari rantai
samping, Isopropilamin diikuti dengan penurunan pH dan perubahan warna, sedikit
terjadi peruraian pada suasana basa. Larutan paling stabil pada pH 3.
Sterilisasi
: otoklaf/filtrasi
pH
: 2,8 – 3,5 (dengan
Khasiat
: pengobatan darurat pada aritmia berat.
Dosis
: 1 mg/ml (DI 88 hal 839)
Rute
: Intravena
Struktur
:
(Dirjen POM, 1995)
Subyek uji yang digunakan dalam praktikum ini adalah tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Wistar. Tikus dipilih sebagai subyek uji karena relatif murah dan mudah
dalam penanganannya, serta memiliki kondisi fisiologis yang relatif mirip dengan
manusia. Rentang tekanan darah sistolik dan diastolik normal untuk tikus jantan galur
Wistar adalah 126,22 ± 17,18 mmHg dan 89,81 ± 15,20 mmHg (Nugroho et al., 2018),
atau dengan kata lain, rentang tekanan darah sistolik dan diastolik normalnya adalah
109,04 – 143,40 mmHg dan 74,61 – 105,01 mmHg. Dalam praktikum ini, diharapkan
pemberian fenilefrin sebagai agen vasokonstriktor akan meningkatkan tekanan darah tikus
diatas rentang normal (>143,40/105,01 mmHg). Selain itu, diharapkan juga pemberian
ketiga obat antihipertensi akan kembali menurunkan tekanan darah ke dalam rentang
normalnya.
Alat yang digunakan untuk mengukur tekanan darah pada praktikum ini adalah
Non-invasive Blood Pressure System, dengan merek CODA. Alat ini mengukur tekanan
darah secara non-invasif, yang berarti pengukuran tekanan darah dilakukan tanpa merusak
jaringan hewan uji, sehingga dilakukan secara tidak langsung. Tekanan darah diukur pada
ekor tikus karena relatif mudah dan terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang dapat
terjangkau oleh alat. Prinsip alat CODA adalah sistem komputerisasi yang secara otomatis
dapat mengukur 6 enam parameter fisiologis, yaitu (1) tekanan darah sistolik, (2) tekanan
darah diastolik, (3) rata-rata tekanan darah, (4) denyut jantung, (5) aliran darah ekor, dan
(6) volume darah ekor. Namun, dalam praktikum ini hanya digunakan parameter tekanan
darah sistolik dan diastolik. Alat CODA memanfaatkan Volume Pressure Recording
(VPR) dengan teknologi sensor, yang mana telah terbukti berkolerasi dengan tekanan
darah.
Mula-mula, tikus ditimbang bobotnya untuk dapat menyesuaikan volume
pemberian obat yang diberikan, sehingga bias akibat perbedaan bobot antar tikus dapat
dikurangi. Selanjutnya, tikus dibagi menjadi 4 kelompok, yang mana tiap kelompok terdiri
dari 1 tikus. Seharusnya, tiap kelompok digunakan minimal 3 tikus untuk dapat dilakukan
analisis statistik, tetapi hal tersebut tidak dilakukan karena keterbatasan alat, bahan, dan
waktu.
Semua tikus dari tiap kelompok terlebih dahulu diukur tekanan darahnya untuk
mengetahui baseline tekanan darah, yang nantinya dijadikan parameter untuk melihat
apakah tekanan darah tikus meningkat atau menurun setelah pemberian intervensi. Tikus
dimasukkan dalam tabung dan diposisikan dengan rapat agar tikus tidak bergerak
memutar, yang mana bergeraknya tikus akan mempengaruhi pengukuran tekanan darah.
Kemudian, kepada ekor tikus dipasang cincin pengukur tekanan darah dari alat CODA.
Selanjutnya, tikus diberikan fenilefrin melalui jalur pemberian subkutan dengan dosis 0,9
mg/kg BB. Pemberian dilakukan melalui jalur subkutan karena pada daerah tersebut
jumlah pembuluh darah relatif sedikit, sehingga absorpsi fenilefrin berjalan relatif lebih
lambat. Dengan demikian, peningkatan tekanan darah tidak berlangsung secara drastis dan
dapat mengurangi risiko matinya tikus karena peningkatan tekanan darah secara drastis.
Selanjutnya, tikus kembali dimasukkan dalam rangkaian alat CODA dan diukur tekanan
darahnya pada menit ke 15, 30, dan 45 setelah pemberian fenilefrin.
Pembagian kelompok tikus dibedakan berdasarkan perlakuan/intervensinya yang
diberikan melalui jalur oral. Pemberian oral ditujukan untuk menyesuaikan penggunaan
obat tersebut pada manusia. Pembagian kelompok secara detail tersaji sebagai berikut.
1. Kelompok 1 : Kontrol
Tikus
kelompok 1 dijadikan kontrol
dengan pemberian plasebo natrium
karboksimetilselulosa (CMC-Na) yang dilarutkan dalam pembawa air dengan dosis 2
mL/200 gram BB pada menit ke-45 setelah pemberian fenilefrin. Pemberian kontrol
perlu dilakukan karena ketiga obat anti-hipertensi yang digunakan dalam praktikum ini
disuspensikan dengan CMC-Na, sehingga perlu dibuktikan bahwa penurunan tekanan
darah bukan disebabkan oleh CMC-Na.
2. Kelompok 2 : Pemberian Kaptopril
Tikus kelompok 2 diberikan kaptopril yang dilarutkan dalam pembawa air dan
disuspensikan dengan CMC-Na, dengan dosis 1,125 mg/kg BB pada menit ke-45
setelah pemberian fenilefrin.
3. Kelompok 3 : Pemberian Amlodipin
Tikus kelompok 3 diberikan amlodipin yang dilarutkan dalam pembawa air dan
disuspensikan dengan CMC-Na, dengan dosis 0,45 mg/kg BB pada menit ke-45 setelah
pemberian fenilefrin.
4. Kelompok 4 : Pemberian Propranolol
Tikus kelompok 4 diberikan propranolol yang dilarutkan dalam pembawa air dan
disuspensikan dengan CMC-Na, dengan dosis 5,7 mg/kg BB pada menit ke-45 setelah
pemberian fenilefrin.
Dosis yang digunakan sesuai dosis obat antihipertensi yang biasa diberikan pada
manusia kemudian dikonversikan ke tikus. Konversi dosis dilakukan menggunakan tabel
Laurence dan Bacharach (1964). Selanjutnya, tikus kembali dimasukkan dalam rangkaian
alat CODA untuk diukur kembali tekanan darahnya pada menit ke-60, 75, dan 90 setelah
pemberian fenilefrin. Kemudian, tikus dikeluarkan dari rangkaian alat CODA dan
dikumpulkan seluruh data tekanan darah yang diperoleh.
Fenilefrin adalah obat yang diberikan untuk indikasi tertentu yang dapat
menyebabkan efek samping hipertensi (Dirjen POM, 1995). Pada kelompok I (kontrol),
pemberian fenilefrin memberikan efek TD relatif terus meningkat, kecuali pada menit ke45 dan 75. Sedangkan pada kelompok II, III, dan IV, pemberian fenilefrin memberikan
efek TD meningkat hanya pada menit ke-15 kemudian turun pada menit ke-30 dan 45.
Efektivitas obat antihipertensi tergantung pada ras dari pasien, usia, dan lamanya
pengobatan yang telah berlangsung. Menurut penelitian sebelumnya, diuretik tiazid
mungkin lebih efektif pada banyak pasien dibandingkan obat lain, terutama dalam
mengurangi tekanan darah sistolik. Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor dan
beta-blocker kurang efektif dibandingkan dengan calcium channel blocker (CCB) atau
diuretik pada pasien ras kulit hitam dan beta-blocker mungkin kurang efektif pada orang
tua. Calcium channel blocker sama efektifnya pada kulit hitam, kulit putih dan orang tua
tetapi mungkin tidak seefektif diuretik. Hal-hal tersebut muncul ketika pengobatan telah
lama berlangsung karena terapi awal terkadang memberikan perubahan yang tidak
signifikan bahkan dapat muncul efek subjektif yang merugikan (Moser, 1990).
Menurut penelitian sebelumnya, urutan penurunan tekanan darah oleh obat
antihipertensi dari yang paling besar adalah ACE Inhibitor > β-blocker > CCB untuk
tekanan darah sistolik dan β-blocker > CCB > ACE Inhibitor untuk tekanan darah diastolik
(Messerli et al., 2011). Pada praktikum ini, didapatkan hasil bahwa kaptopril dapat
meurunkan tekanan darah pada menit ke-60 namun naik kembali pada menit ke-75 dan 90.
Amlodipin dapat meurunkan tekanan darah pada menit ke-60 dan 75 namun naik kembali
pada menit ke-90. Sedangkan propanolol dapat meurunkan tekanan darah pada menit ke60 dan 90 namun naik kembali pada menit ke-75. Hasil tekanan darah yang terukur tidak
stabil atau fluktuatif.
Dalam praktikum ini tidak dapat ditarik kesimpulan mengenai efektivitas kaptopril,
amlodipin, dan propranolol dalam menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik.
Hal ini dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:
-
Hasil yang didapat masih fluktuatif
-
Monitoring tekanan darah pada praktikum ini hanya dilakukan di awal setelah
pemberian obat dan tidak dilakukan pada waktu yang lebih lama
-
Tidak dilakukan replikasi untuk masing-masing obat, sementara efek penurunan
tekanan darah dari obat hipertensi sangat dipengaruhi individu
-
Tidak ada pembanding yang pasti karena belum ada studi yang menggeneralisasi
perbandingan efektivitas ketiga obat yang diujikan pada praktikum ini
E. KESIMPULAN
1. Pengujian efek antihipertensi suatu zat dapat dilakukan menggunakan alat
Noninvasive Blood Pressure System secara in vivo menggunakan hewan uji tikus.
2. Tidak dapat ditarik kesimpulan mengenai efektivitas kaptopril, amlodipin, dan
propranolol dalam menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik.
F. DAFTAR PUSTAKA
Dirjen POM, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi 4, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Chobanian AV, Bakris GL, Black Hr, Cushman WC, Green La, Izzo JL et al. 2003,
Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.
Gray, et al. 2005, Lecture Notes Kardiologi edisi 4, Erlangga Medical Series, Jakarta.
Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007. Farmakologi
dan Terapi Edisi 5. FKUI. Jakarta.
Haffner, S.M., 1999. Obesity, Body Fat Distribut ion and Insulin Ressistence, American
Heart Association, USA.
Julius, S. 2008, Clinical Implications of Pathophysiologic Changes in the Midlife
Hypertensive Patients, American Heart Journal, USA.
Messerli, F.H., Makani H., Benjo A., Romero J., Alviar C., Bangalore S., 2011,
Antihypertensive Efficacy of Hydrochlorothiazide as Evaluated by Ambulatory
Blood Pressure Monitoring, Journal of American College of Cardiology, Vol
57 (5) : 590-600.
Moser, M., 1990, Antihypertensive Medications: Relative Effectiveness and Adverse
Reaction, Journal of Hypertension, Vol 8 (2) : S9-S16.
Nugroho, S.W., Fauziyah, K.R., Sajuthi, D., Darusman H.S., 2018, Profil Tekanan
Darah Normal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar dan SpragueDawley, Acta Veterinaria Indonesiana, Vol 6 (2) : 32-37.
Pickering, K.L., 2008, Properties and Performance of Natural-Fibre Composites,
Wood-head Publishing, Cambridge.
Pubchem,
2019,
Amlodipine
[Online]
pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/
Amlodipine [diakses 30 Oktober 2019 pukul 11.03 WIB]
Schrier, R. W., 2000, Manual of Nephrology,Lippincott Williams & Wilkins, USA.
.
Yogyakarta, 1 November 2019
Mengetahui,
Asisten Koreksi,
Praktikan,
1. Theresia Shinta W
(FA/11304)
2. Vigha Ilmanafi A
(FA/11306)
3. Yafi Surya P
(FA/11308)
4. Zanahtya Rustika S
(FA/11310)
Download