WASPADAI PARU – PARU ANDA MUNGKIN TUMBUH JAMUR DI DALAMNYA!! TB, asma, kanker paru – paru, dan pneumonia adalah kasus paru – paru yang umum ditemui di rumah-rumah sakit di Indonesia. Masyarakat awam pun relatif familiar dengan penyakit di atas. Namun sebenarnya ada salah satu penyakit paru yang kejadiannya tidak terlalu sering namun kerap terjadi karena terdapat penyakit paru lain yang mendasarinya, yaitu aspergilosis, penyakit infeksi paru akibat jamur. Di antara jutaan jamur di muka bumi ini, jenis Aspergillus sp. paling sering menimbulkan infeksi paru. Jamur ini merupakan jamur rumahan yang sporanya sangat banyak bertebaran di udara dan di dalam rongga pernapasan manusia yang sehat. Pada saat kekebalan tubuh rendah, pertumbuhan jamur akan merajalela dan Aspergillus mampu menginvasi arteri dan vena, sehingga lokasinya bisa menyebar hingga ke seluruh tubuh. Spesies Aspergillus merupakan jamur yang umum ditemukan di materi organik. Meskipun terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia ialah Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus clavatus yang semuanya menular dengan transmisi inhalasi. Umumnya Aspergillus akan menginfeksi paru-paru. Aspergillus dapat menyebabkan banyak penyakit pada manusia, bisa jadi akibat reaksi hipersensitivitas atau invasi langsung. LIHAT HALAMAN SELENGKAPNYA Aspergillus flavus Klasifikasi: Super kingdom Kingdom Sub kingdom Phylum Subphylum Classis Sub classis Ordo Familia Genus Spesies : Eukaryota : Fungi : Dikarya : Ascomycota : Pezizomycotina : Eurotiomycetes : Eurotiomycetidae : Eurotiales : Trichocomaceae : Aspergillus : Aspergillus flavus Sejarah Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. A. flavus memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2). A. Flavus tumbuh pada kisaran suhu 10 – 120C sampai 42 – 430C dengan suhu optimum 320 – 330C dan pH optimum 6. AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Aflatoksin B1 Di Indonesia, aflatoksin sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu, telur, dan daging ayam. A. flavus pada kacang tanah Morfologi Dalam media Czapek dox agar, koloni berbentuk granular, datar, awalnya berwarna kuning tapi dengan cepat menjadi hijau gelap kekuningan seiring usia. Kepala konidiofor tipe radial, berdiameter hampir 300 – 400 μm. Konidiofor panjang dan kasar, semakin dekat dengan vesikel akan semakin kasar. Konidia berbentuk bulat atau lonjong (berdiameter 3 – 6 μm), hijau pucat dan terlihat berbentuk echinulate. Beberapa strain memproduksi sclerotia. Siklus hidup 1. Mycelium dan Sclerotia Mycelium jamur merupakan struktur yang cukup dominan ditemukan dalam tanah. Sclerotia juga bisa terbentuk yang membuatnya bisa bertahan hidup cukup lama dalam tanah Hifa dari A. flavus 2. Konidiofor Sementara A. flavus masih muda dan bertumbuh, mycelium membentuk banyak konidofor. Konidiofor tumbuh secara tunggal dari badan hifa Konidiofor dari A. flavus 3. Konidia Konidiofor yang matang akan membentuk konidia pada ujungnya. Konidia berbentuk bulat dan unisel dengan dinding yang kasar. Konidia bisa tumbuh, menyebar di udara, menempel pada tubuh serangga, pada tanaman, pada hasil panen. Konidia 4. Mycelia saprofit A. flavus biasanya tumbuh dan hidup sebagai saprofit di dalam tanah. Pertumbuhannya sangat didukung dengan adanya sisa – sisa tanaman dan hewan dalam jumlah besar. Diagram infeksi A. flavus Penyakit yang ditimbulkan 1. Aflatoxicosis Keracunan akibat aflatoksin yang tertelan mengakibatkan kerusakan hati secara langsung yang diikuti kematian Gejala : Sakit perut Koma Muntah Kanker Rasa seperti terbakar Demam Batuk 2. Aspergillosis Ada 2 jenis aspergillosis. Salah satunya allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA), kondisi di mana jamur menyebabkan gejala alergi pada sistem pernapasan tapi tidak menginvasi dan menghancurkan jaringan. Jenis aspergillosis yang lain adalah aspergillosis invasif, penyakit yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh manusia. Pada kondisi ini jamur menginvasi ke seluruh tubuh dan merusak jaringan tubuh. Gejala : Demam Sakit kepala Menggigil Peningkatan produksi lendir hidung Batuk Sesak nafas Penurunan berat badan Sakit pada bagian dada Nyeri tulang Kencing berdarah (Hematuria) Penurunan pengeluaran urine Meningitis Penglihatan berkurang sampai buta Sinusitis Radang pada jantung 3. Aspergilloma Ini adalah gangguan paru – paru yang paling umum disebabkan oleh A.flavus. Aspergilloma merupakan bola jamur yang berisi mycelia dari A.flavus, yang menyebabkan infeksi sel, fibrin, otot dan jaringan, biasanya menyebabkan lubang pada paru – paru. Obat yang digunakan Amphotericin B Farmakologi Kontraindikasi Dosis & Cara Pemberian Interaksi Efek Samping Nama dagang Amfoterisin B merupakan antibiotik polyene yang dihasilkan oleh galur Streptomyces nodosus. Obat ini bisa bertindak sebagai fungistatik maupun fungisidal dengan mengikat sterol (misalnya ergosterol) dalam membran sel yang berujung pada kematian sel. Formulasi yang lebih baru amfoterisin lipid, ternyata sama efektif dengan formulasi lama namun lebih kurang nefrotoksik. Hidrasi yang adekuat bisa mengurangi nefrotoksisitas, dan pasien mentolerir cairan harus diberikan sebelum dan sesudah hidrasi. Riwayat hipersensitif Amfoterisin : 0,25 mg/kg BB dengan infusi lambat selama 26 jam. Dosis maksimal 1,5 mg/kg BB per hari. *Obat antineoplastik bisa meningkatkan potensi toksisitas ginjal, bronkospasma, dan hipotensi. *Kortikosteroid, digitalis, dan tiazid berpotensi hipokalemia *Siklosporin, aminoglikosida, cidofovir, pentamidin, tacrolimus, dan vancomisin bisa meningkatkan risiko toksisitas ginjal. *Antifungi azol mengurangi efikasi amfoterisin *Zidovudin bisa menambah nefrotoksisitas dan mielotoksisitas. *Amfoterisin bisa meningkatkan toksisitas flutikason *Amfoterisin bisa meningkatkan aktivitas daunorubisin dan doksorubisin. Demam, sakit kepala, anoreksia, kehilangan bobot badan, gangguan gastrointestinal, malaise, nyeri epigastrik, dispepsia, anemia. Fungizone Itraconazole Farmakologi Kontraindikasi Dosis & Cara Itrakonazol, antifungi sintetik triazol, memiliki aktivitas yang lebih besar melawan Aspergillus dibandingkan dengan flukonazol atau ketokonazol. Obat ini bersifat fungistatik dengan memperlambat pertumbuhan sel jamur melalui inhibisi cytochrome P-450–dependent synthesis of ergosterol, suatu komponen vital dalam membarn sel jamur. Formulasi per oral (kapsul, suspensi) biasa dgunakan untuk terapi antifungi jangka panjang. Formulasi kini juga telah tersedia. Karena tidak larut dalam air, suspensi per oral dan intravena dilarutkan dengan hydroxypropyl-betacyclodextrin. Hipersensitif, menyusui, gagal ginjal, gagal ventrikular kiri *Kapsul: 200-400 mg/ hari dengan makanan atau cola Pemberian Peringatan Interaksi Efek Samping Nama dagang *Infeksi yang mengancam jiwa: 200 mg 3 x sehari untuk 3 hari pertama, selanjutnya 200 mg dua kali sehari *Suspensi oral: 200-400 mg/hari saat perut kosong *IV: 200 mg dua kali sehari untuk 2 hari, selanjutnya 200 mg/hari *Anak: dosisnya belum ada, namun direkomendasikan untuk anak 3-16 tahun, 5-10 mg/kg/ hari per oral untuk profilaksis Aspergillus pada anak dengan chronic granulomatous disease (gunakan suspensi per oral) Hati-hati penggunaan itrakonazol pada insufisiensi hepatik; pasien dengan factor risiko jantung. Karena menghambat enzim cytochrome P-450 hepatik, maka itrakonazol meningkatkan kadar banyak obat lain; toksisitas jantung serius bisa terjadi saat pemberian bersamaan dengan cisapride, dofetilide, pimozide, atau kuinidin; mempengaruhi metabolisme beberapa obat golongan benzodiazepine sehingga memperpanjang sedasi; pemberian bersamaaan dengan lovastatin atau simvastatin meningkatkan risiko rhabdomyolysis; monitor kadar siklosporin, takrolimus, dan digoksin (itrakonazol meningkatkan kadar dan perlu dilakukan pengaturan dosis); penyerapan itrakonazol per oral perlu suasana lambung asam (penghambat H2 dan PPI sebaiknya tidak diberikan secara bersamaan). Sakit kepala, nyeri abdomen, nausea, pusing, dispepsia, ruam, pruritus, rambut rontok, dan edema. Sporanox, Forcanox, Fungitrazol, Furolnok, Itzol, Nufatrac, Sporacid, Unitrac Voriconazole Farmakologi Kontraindikasi Dosis & Cara Pemberian Interaksi Vorikonazol, digunakan untuk pengobatan primer invasive aspergillosis dan pengobatan penyelamatan dari infeksi spesies Fusarium atau Scedosporium apiospermum. Obat ini merupakan antifungi triazol yang bekerja dengan menghambat cytochrome P-450–mediated 14 alphalanosterol demethylation yang sangat esensial dalam biosintesis ergosterol jamur. Hipersensitif, jangan diberikan dalam bentuk IV dengan CrCl <50 mL/menit (mengurangi eksresi IV); pemberian bersamaan dengan rifampisin, rifabutin, carbamazepin, barbiturat, sirolimus, pimozide, kuinidin, cisapride, atau alkaloid ergot. Pemberian cara infusi dengan kecepatan maksimal 3mg/kg/jam selama 1-2 jam. Terapi inisial dengan loading dose: 6 mg/kg IV tiap 12 jam untuk 2 dosis, diikuti dengan dosis pemeliharaan: 4 mg/kg IV tiap 12 jam. Bila pasien tidak mampu menerima pengobatan, maka dosis pemeliharaan dikurangi hingga 3 mg/kg tiap 12 jam. Penginduksi CYP-450 (misalnya rifampin) tampak Efek Samping Nama Dagang menurunkan kadar steady state peak plasma hingga 93%; meningkatkan kadar serum obat yang dimetabolisme oleh CYP-450 2C19 atau 2C9, yang sebagian diantaranya kontraindikasi ( sirolimus, pimozide, quinidine, cisapride, alkaloid ergot); monitoring yang sering harus dilakukan pada penggunaan bersama dengan siklosporin, tacrolimus, warfarin, inhibitor HMG CoA, benzodiazepin, penghambat kanal kalsium. Gangguan penglihatan, demam, kedinginan, sakit perut, nyeri abdomen, takikardia, gangguan tekanan darah, vasodilatasi, gangguan gastrointestinal, mulut kering, halusinasi, pusing, dan ruam. Vfend Pustaka Pustaka Jurnal : Garbino, J., 2004, Aspergillosis, http://www.orpha.net/data/patho/GB/ukAspergillosis.pdf, diakses tanggal 13 Mei 2008 Pustaka Internet : Andra, 2007, Pilih Amfoterisin B atau Antifungi Azol?, http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=431, diakses tanggal 12 Mei 2008 Anonim, Taxonomy browser (Aspergillus flavus), http://www.ncbi.nlm.nih. gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?id=5059, diakses tanggal 14 Mei 2008 Anonim, 2008, Aspergillosis (Aspergilus), http://www.cdc.gov/nczved/dfbmd/ disease listing/aspergillosis_gi.html, diakses tanggal 13 Mei 2008 Anonim, 2008, Aspergillus flavus, http://pathport.vbi.vt.edu/pathinfo/ pathogens/A-f.html, diakses tanggal 14 Mei 2008 Ellis, D., 2006, Aspergillus flavus, http://www.mycology.adelaide.edu.au /images/flavus.gif, diakses tanggal 12 Mei 2008 Maryam, R., 2002, Mewaspadai Bahaya Kontaminasi Mikotoksin pada Makanan, http://tumoutou.net/702_04212/romsyah_m.htm, diakses tanggal 14 Mei 2008 Pustaka Buku : Murray, P.R., et all., 1999, Manual of Clinical Microbiology, Edisi 7, 1212 – 1233, ASM Press, Washington