BAB I PENDAHULAN Dalam pengobatan perioperatif, manajmen cairan merupakan hal penting karena dapat menentukan tingkat morbiditas dan mortalitas perioperatif. Terapi cairan bertujuan untuk mempertahankan hemeostasis cairan, memberikan hidrasi, volume darah dan oksigen ke jaringan dengan jumlah yang cukup.1 Morbiditas perioperatif berhubungan dengan pemberiaan terapi cairan yang tidak adekuat atau pemberian cairan berlebih yang menyebabkan peningkatan komplikasi. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terapi cairan yang tepat dapat mengurangi komplikasi pasca operasi.1 Gangguan cairan dan elektrolit merupakan hal yang sangat sering terjadi dalam masa perioperatif maupun intraoperatif. Sejumlah besar cairan intravena sering dibutuhkan untuk mengkoreksi kekurangan cairan dan elektrolit serta mengkompensasi hilangnya darah selama operasi. Gangguan terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit dapat secara cepat menimbulkan perubahan terhadap fungsi kardiovaskular, neurologis, dan neuromuskular. Terjadinya satu atau lebih komplikasi pasca operasi berdampak buruk baik jangka pendek dan jangka panjang yang akhirnya dapat meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Pemberian cairan untuk mempertahankan perfusi jaringan atau konsentrasi elektrolit merupakan prosedur yang selalu dilakukan selama tindakan anestesi dan operatif.1,3 Terapi cairan merupakan tindakan untuk memelihara atau mengganti cairan tubuh dengan pemberian cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena untuk mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit seperti untuk menghindari asidosis metabolik hiperkloremik, untuk menganti volume cairan yang hilang akibat perdarahan, dehidrasi atau syok.1,2 Terapi cairan perioperatif meliputi tindakan terapi yang dilakukan pada masa pra-bedah, selama pembedahan, dan pasca bedah. Tujuan dari tinjauan ini untuk memberikan tinjauan umum tentang rencana administrasi cairan perioperatif yang efektif. BAB II TINJAUAN PUSTAKA a. Terapi cairan perioperatif Terapi cairan perioperatif mencakup penggantian kehilangan cairan atau defisiensi cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah pada tindakan bedah seperti pada sebelum tindakan pembedahan, selama, dan pasca pembedahan. Menurut National Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death menyatakan bahwa pasien dengan hipovolemik yang mendapatkan terapi cairan perioperative dengan jumlah tidak adekuat mengalami peningkatan angka mortalitas 20,5% dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi cairan dengan jumlah yang adekuat.4 1. Terapi Cairan Prabedah Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah: a. Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan b. Untuk koreksi defisist puasa atau dehidrasi diberikan cairan kristaloid c. Perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau transfusi 2. Terapi Cairan selama Operasi Tujuan dari pemberian cairan selama operasi adalah sebagai koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti peredarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui organ eksresi. Perdarahan seharusnya diatasi dengan penggantian cairan dengan kristaloid atau koloid untuk menjaga volum intravascular (normovolemia) sehingga resiko terjadinya anemia dapat diatasi. Namun jika terjadi anemia berat pada pasien dapat diatasi dengan pemberian transfusi darah. Untuk menentukan jumlah transfusi yang akan diberikan dapat ditentukan dari hematokrit dan dengan menghitung estimated blood volume.5,6 Hal yang terpenting juga berdasarkan dari kondisi klinis pasien dan prosedur operasi yang akan pasien jalani. Jumlah kehilangan darah dapat dihitung dengan beberapa cara diantaranya: 1. Menghitung Estimated Blood Volume = 65ml/kg dikalikan dengan berat badan pasien. 2. Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit preoperatif (RBCV preop) 3. Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit 30% (RBCV 30%) 4. Hitung jumlah kehilangan volume sel darah merah (RBCV lost) RBCV lost = RBCV preop – RBCV 30%. 5. Hitung Allwable Blood Loss = πΈπ΅π π₯ (π»ππ‘ πππππππππ π−π»ππ‘ 30%) π»ππ‘ πππππππππ π Tabel 1. Rata – rata Volume Darah Usia Volume Darah Neonatus Prematur Matur Infan Dewasa Pria Wanita 95 ml/kg 85 ml/kg 80 ml/kg 75 ml/kg 65 ml/kg Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan:6 ο· Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung atau tabung suction ο· Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah ) ο· Ditambah dengan factor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang terukur ditambah terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup lapangan operasi). 3. Terapi Cairan Pasca Bedah Pemberian cairan pasca bedah digunakan tergantung dengan masalah yang dijumpai, bisa mempergunakan cairan pemeliharaan, cairan pengganti atau cairan nutrisi. Prinsip dari pemberian cairan pasca bedah adalah:7 a. Dewasa: ο· Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah, diberikan cairan pemeliharaan ο· Apabila pasien puasa dan diperkirakan < 3 hari diberikan cairan nutrisi dasar yang mengandung air, eletrolit, karbohidrat, dan asam amino esensial. Sedangkan apabila diperkirakan puasa > 3 hari bisa diberikan cairan nutrisi yang sama dan pada hari ke lima ditambahkan dengan emulsi lemak ο· Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra bedah yang buruk segera diberikan nutrisi parenteral total b. Bayi dan anak: prinsip pemberian cairan yang sama, hanya komposisinya berbeda, misalnya dari kandungan elektrolitnya, jumlah karbohidraT. c. Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau anemia, penatalaksanaanya disesuaikan dengan etiologinya. Satu atau lebih komplikasi yang terjadi pasca operasi memberikan dampak buruk dalam jangka waktu pendek atau panjang. Pencegahan angka morbiditas pada pasca operasi merupakan kunci untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. b. Jenis cairan perioperatif Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan koloid. 1. Cairan Kristaloid Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida). Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam ruang intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular adalah 20-30 menit. Beberapa peneliti merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi imun.8 Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi intravena prehospital. Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit yang dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid, diantaranya: - Isotonis Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia memiliki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik, konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan yang signifikan antara cairan di dalam intravascular dan sel. Dengan demikian, hampir tidak ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera dipakai untuk mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge test.9 Efek samping yang perlu diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada jumlah pemberian yang besarContoh larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% in ¼ NS. Penggunaan kristaloid isotonis mengurangi risiko hiperkalemia. Hal ini disebabkan oleh pergeseran kalium transelular sebagai akibat asidosis hiperkloremik dengan salin normal, yang lebih signifikan daripada konsentrasi kalium yang rendah pada cairan intravena yang seimbang.8 - Hipertonis Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik, konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular. Efek larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah jantung bukan hanya karena perbaikan preload, tetapi peningkatan curah jantung tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik positif pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral. Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital.8,9 Efek samping dari pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam RL. - Hipotonis Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari intravascular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline. Tabel 2. Komposisi Cairan Kristaloid5 Solution Glucose (mg/dL) 5000 Sodium Chloride Potassium Kalsium (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) 5000 77 77 406 5000 154 154 561 0,9% NaCl 154 154 308 Ringer Laktat 130 109 4.0 3.0 28 273 130 109 4.0 3.0 28 525 855 855 5% Dextrose in water D5 ½ NS D5 NS D5 RL 5000 5% NaCl Lactate (mEq/L) (mOsmol/L) 253 1171 2. Cairan Koloid Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi, Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match. Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:10 a. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5% dan 25%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selainmengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler. b. Koloid Sintetik Dextran Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang besar. Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam ruang intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan karena efek samping terkait yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-matching darah. Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000. Gagal ginjal akut dilaporkan pada pemberian dekstran 40 yang berlebihan sehingga terjadi hiperonkotik (tekanan onkotik plasma 33,1 mmHg).10,11 ο· Hydroxylethyl Starch (Hetastarch) Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam waktu 8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan adanya reaksi anafilaktoid. Low molecular weight Hydroxylethyl starch (PentaStarch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan jumlah besar. Penggunaan HES telah menjadi kontroversial dalam dua dekade terakhir yang menunjukkan bahwa pemberiannya dikaitkan dengan peningkatan insiden AKI atau bahkan kematian ο· Gelatin Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya berasal dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan gelatin adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan dengan koloid lain. Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l. Efek ekspansi plasma segera dari gelatin adalah 80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi normovolemik. Efek ekspansi plasma akan bertahan 1-2 jam. Tidak ada batasan dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES. Meskipun produk mentahnya bersumer dari sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko penyebaran infeksi. Kebanyakan gelatin dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada akumulasi jaringan.11 Tabel 3. Perbandingan Kristaloid dan Koloid10,11 Keunggulan Kristaloid 1. Lebih mudah murah tersedia Koloid dan 1. Ekspansi volume plasma tanpa ekspansi interstitial 2. Komposisi plasma laktat) serupa dengan (Ringer asetat/ringer 3. Bisa disimpan di suhu kamar 2. Ekspansi volume lebih besar 3. Durasi lebih lama 4. Oksigenasi jaringan lebih baik 4. Bebas dari reaksi anafilaktik 5. Insiden edema paru dan/atau 5. Komplikasi minimal Kekurangan 1. Edema bisa mengurangi ekspansibilitas dinding dada edema sistemik lebih rendah 1. Anafilaksis 2. Koagulopati jaringan 3. Albumin bisa memperberat terganggu karena bertambahnya depresi miokard pada pasien jarak kapiler dan sel syok 2. Oksigenasi 3. Memerlukan volume 4 kali lebih banyak Tabel 4. pilihan cairan pengganti untuk suatu kehilangan cairan11 Kandungan rata- rata Kehilangan Darah Cairan pengganti yang sesuai (mmol/ L) Na+ K+ 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% / koloid / produk darah Plasma 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% / koloid Rongga ketiga 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% Nasogastrik 60 10 NaCl 0,45% + KCl 20 mEq/L Sal. Cerna atas 110 5-10 NaCl 0,9% ( periksa K+ dengan teratur ) Diare 120 25 NaCl 0,9% + KCl 20 mEq/L c. Fisiologi pemberian cairan Penurunan jumlah hematokrit setelah resusitasi cairan dengan kristaloid atau koloid menyebabkan penurunan viskositas darah. Peningkatan viskositas darah oleh koloid dapat mengganggu perfusi kapiler yang disebabkan oleh hemodilusi ekstrem. Manfaat cairan koloid viskositas tinggi pada perfusi kapiler selama hemodilusi berhubungan dengan tekanan intrakapiler yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi. Sebuah penelitian menyebutkan cairan dengan viskositas tinggi, tekanan osmotik koloid tinggi, dan kapasitas restoratif glikokaliks endotel dapat mengembalikan fungsi mikrosirkulasi.8 Glikokaliks berperan dalam transduksi mekanik dan penghambatan adhesi leukosit atau platelet. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa fresh frozen plasma (FFP) dapat mengembalikan ketebalan glikokaliks dan bermanfaat untuk perfusi mikrosirkulasi. Efek volume FFP atau albumin lebih baik dibandingkan dengan asetat Ringer karena FFP dan albumin dapat meningkatkan restorasi glikokaliks daripada mencegah degradasinya.8,11 Tekanan osmotik koloid berfungsi untuk menarik cairan ke kompartemen intravaskular. Meskipun tekanan osmotik koloid absolut dalam plasma relatif rendah dibandingkan dengan total tekanan osmotik, ia memiliki kontribusi besar dalam distribusi cairan karena perbedaan besar antara kompartemen intravaskular dan ekstravaskular. Semua cairan intravena mempengaruhi tekanan osmotik koloid dan ekstravasasi cairan. Kristaloid menurunkan tekanan osmotik koloid plasma, sedangkan larutan albumin, gelatin, dan HES meningkatkan tekanan osmotik koloid plasma dan volume intravaskular. Kristaloid dapat dengan bebas melewati glikokaliks, sementara koloid sebagian besar dipertahankan dalam pembuluh darah. Pemulihan volume intravaskular setelah hipovolemia akut paling efektif dengan menggunakan koloid, sedangkan pemeliharaan atau pemulihan seluruh volume ekstraseluler lebih efektif dengan kristaloid.8 d. Indikasi cairan perioperatif dalam pembedahan Preoperatif:12 - Prosedur diagnostik - Pemberian obat - Preparasi bedah - Retriksi cairan preoperatif - Defisit cairan Perioperatif: - Induksi anestesi - Kehilangan darah yang abnormal - Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space - Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi Faktor postoperatif: - Stres akibat operasi - Peningkatan katabolisme jaringan - Penurunan volme sirkulasi BAB III KESIMPULAN Terapi cairan perioperatif ialah pemberian cairan pada masa sebelum, sesaat, dan setelah operasi dengan tujuan untuk melengkapi kebutuhan cairan dan elektrolit. Prinsip dasar pemberian terapi cairan perioperative adalah untuk mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat dengan cara mencegah dan mengoreksi adanya defisit cairan. Terapi cairan perioperatif dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid, namun dalam beberapa kondisi dimana dijumpai anemia berat, maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemberian transfusi darah. Transfusi ditentukan dari keadaan hematokrit preoperatif serta dengan mengestimasi volume darah pasien Banyaknya jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar dan kehilangan cairan akibat pembedahan seprti pada kondisi perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi Jenis cairan secara garis besar terbagi menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid merupakan larutan berbasis air dengan kandungan elektrolit atau gula, sering digunakan sebagai cairan resusitasi, sedangkan koloid mengandung zat dengan berat molekul tinggi sehingga mampu bertahan lama dalam ruang intravaskuler, sering digunakan dengan tujuan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat yakni pada kondisi syok hipovolemik/hermorhagik. Secara umum, sejumlah besar larutan kristaloid dan koloid dapat menyebabkan hipervolemia, sebagian besar solusi juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, termasuk hiponatremia, hiperkloremia, hiperkalemi, dan hipokalsemia. Beban volume dan gangguan elektrolit dapat berdampak khusus pada penyakit ginjal, jantung, atau hati yang parah. Daftar Pustaka 1. Bennett VA, Cecconi M. Perioperative fluid management: from physiology to improving clinical outcomes. Indian Journal of Anaesthesia. 2017 2. Navarro LM, Bloomstone JA, Auler JO. Perioperative fluid therapy: a statement from the international fluid optimization group. Perioperative medicine. 2015;4:3 3. Rassam SS, Counsell DJ. Perioperative fluid therapy. National Library of medicine. 2017 4. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. Ninth edition. Pennsylvania:W.B. Saunders company; 1997:375-393. 6. Suresh GN, Rakhi B. Perioperative fluid and electrolyte management in paediatric patients. Indian journal of anaesthesia ; 48(5):355-364 7. Practice guidelines for preoperative fasting and the use of pharmacologic agents to reduce the risk of pulmonary aspiration: Application to healthy patients undergoing elective procedures. Anesthesiology, 2011:114:495–5. 8. Isabelle M, Marie CD. Perioperative fluid therapy in paediatrics. Pediatric anaesthesia 2008, 18:363-370 14. Boer, C., Bossers, S. M., & Koning, N. J. (2018). Choice of fluid type: physiological concepts and perioperative indications. British Journal of Anaesthesia, 120(2), 384–396. https://doi.org/10.1016/j.bja.2017.10.022 15. Edwards MR, Mythen MG. Fluid therapy in critical illness. Extrem Physiol Med. 2014;3:16. 19. Sweeney RM, McKendry RA, Bedi A. Perioperative intravenous fluid therapy for adults. Ulster Med J. 2013;82:171–8 20. Aditianingsih D, George YW. Guiding principles of fluid and volume therapy. Best Pract Res Clin Anaesthesiol. 2014;28:249–60