Terapi Adjuvan Dexametason Penelitian randomized placebo control trial yang terbaru dengan melibatkan 301 orang dewasa dengan suspek meningitis yang berkombinasi dengan LCS yang keruh, penemuan bakteri di LCS pada pewarnaan Gram, atau jumlah leukosit di LCS yang >1000/m3; menunjukkan bahwa terapi adjuvant dengan dexametason sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama terapi antimikroba mengurangi resiko hasil yang tidak diinginkan dari 25% menjadi 15% (NNT – number needed to treat- 10 pasien). Mortalitas berkurang dari 15% menjadi 7%. Keuntungan lebih besar didapat pada pasien dengan tingkat keparahan penyakit yang intermediet, yang didefinisikan dengan skor GCS pada saat masuk 8-11 (skor dapat berubah dari 3 menjadi 15 dengan 15 mengindikasikan tingkat kesadaran yang normal), dan pada kasus dengan meningitis pneumokokal, dimana hasil yang tidak diinginkan menurun dari 52% menjadi 26% (NNT = 4). Pada pasien dengan meningitis pneumokokal, mortalitas berkurang dari 34% menjadi 14%. Keuntungan ini adalah hasil dari penurunan mortalitas dari penyebab sistemik. Sebagai tambahan, keuntungan dari dexametason ini bukan merupakan pengganti dari kerugian yang ditimbulkan oleh munculnya efek samping dari terapi dengan dexametason. Apakah implikasi klinis dari hasil penelitian ini? Pertama, pada semua pasien yang memenuhi semua criteria inklusi dari penelitian ini, dexametason (dosis 10mg) sebaiknya dimulai sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama antibiotic dan diteruskan selama 4 hari (dengan dosis 10mg/6jam). Kedua, pada pasien dengan suspek meningitis, hasil dari penelitian ini mendukung pemberian terapi adjuvant dexametason bersamaan atau sebelum dosis pertama antibiotic empiris, walaupun penelitian ini tidak menunjukkan hal ini secara spesifik. Bagian ini menyebabkan adanya terapi yang tidak diperlukan dari pasien yang tidak memiliki meningitis bacterial, akan tetapi keuntungan potensialnya lebih banyak daripada kerugian potensial yang ditimbulkan oleh terapi dexametason. Terapi sebaiknya dihentikan apabila pada pasien ternyata tidak ditemukan meningitis bacterial. Ketiga, terapi dexametason sebaiknya dihentikan pada hari keempat pada psien dengan meningitis bacterial, dengan mengabaikan penyebab microbial atai tingkat keparahan klinik. Ketiadaan dari keuntungan klinik yang signifikan pada beberapa subgroup pasien, tidak berperan pada efek menguntungkan dari dexametason dari subgroup ini, karena penelitian ini tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menganalisis semua kepentingan dari masing-masing subgrup. Akan tetapi beberapa ahli akan menghentikan dexametason jika meningitis ditemukan sebagai akibat dari bakteri selain S. pneumonia. Pada review kuantitatif yang terbaru dari topik ini, yang melibatkan hasil dari 5 percobaan klinik, pengobatan dengan kortikostroid berkaitan dengan penurunan signifikan dari mortalitas dan sekuele neurologis. Pada subgroup pasien dengan meningitis meningokokal, mortalitas (risiko relatif 0,9; 95% interval kepercayaan 0,3 sampai 2,1) dan sekuele neurologis (risiko relatif 0,5; 95% interval kepercayaa 0,1 sampai 1,7), keduanya berkurang, walaupun hasil ini tidak signifikan secara statistik. Akan tetapi untuk beberapa pasien dewasa dengan suspek meningitis, dexametason tambahan dapat membahayakan (gambar 1. pada appendix). Pasien dengan syok septic dan insufisiensi adrenal mendapat keuntungan dari terapi kortikostroid pada dosis fisiologis dan untuk waktu yang lebih lama dari 4 hari; akan tetapi, ketika tidak ada bukti dari insufisiensi adrenal relative, pemberian terapi dexametason dari menurunkan kondisi. Tidak ada studi control dari efek terapi kortikosteroid pada jumlah pasien substansial dengan adanya meningitis dan syok septic, dan oleh karena itu, terapi kortikosteroid tidak dapat ditegaskan direkomendasikan untuk pasien dengan kondisi demikian, walaupun digunakan dalam dosis rendah, seperti yang digunakan oleh Anne et al. (hidrokortison, 50mg/6jam, dan fludrokortison 5µg/hari), yang tampak beralasan. Memulai terapi kortikosteroid sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama terapi antimikroba parenteral lebih efektif dibandingkan memulai terapi kortikosteroid setelah dosis pertama terapi antimikroba. Pada penelitian eksperimental menggunakan binatang dengan meningitis pneumokokal yang diinduksi, konsentrasi bakteri pada LCS saat memulai terapi menjadi factor yang lebih penting yang mempengaruhi respon inflamasi yang diinduksi antimikroba dibandingkan waktu ketika terapi dexametason dimulai. Hal ini adalah poin setelah pemberian agen antimikroba pertama (parenteral) disamping ketika dexametason kehilangan keefektifannya, tetapi poin ini tidak didefinisikan dengan jelas. Manajemen Perawatan Intensif Monitoring di ICU-neurologi direkomendasikan untuk melihat perubahan pada kesadaran pasien dan perkembangan dari tanda neurologis yang baru, monitoring kejang yang halus, dan mengobati agitasi dengan efektif. Rekomendasi praktis dan criteria masuk rumah sakit terdapat pada table 2 (dan gambar 1 pada apendix). Meningitis bacterial sering berkaitan dengan syok septic, yang menjadi prediksi yang penting dari outcomenya. Pasien dengan meningitis dan syok septic mungkin membutuhkan pemasangan kateter Swan-Ganz, untuk mengukur cardiac output, cardiac index, resistensi vascular sistemik, dan tekanan pulmonal untuk menilai volume intravascular dan fungsi jantung. Insufisiensi adrenocortocoid pada pasien dengan syok septic harus diterapi dengan kortikostroid dosis rendah. Perawatan sebaiknya dilakukan untuk memperkirakan dan mengganti kehilangan cairan yang tidak tampak melalui kulit dan paru pada pasien yang demam. Pasien dengan meningitis bacterial memiliki resiko mengalami kondisi hiponatremia akut, walaupun sebagian besar derajatnya sedang. Hiponatremia dapat merupakan akibat dari cerebral salt wasting, sindrom yang terjadi akibat ketidaksesuaian sekresi ADH, atau eksaserbasi dari resusitasi cairan yang agresif. Ketidakjelasan mekanismenya teradi akibat dilema klinik dengan mempertimbangkan apakah cairan intravena sebaiknya dibatasi pada meningitis bacterial. Pada anak-anak dengan meningitis bacterial, pembatasan cairan tidak memperbaiki edema otak maupun outcomenya. Oleh karena itu, pasien dewasa dengan meningitis sebaiknya diterapi dengan tujuan status normovolemik. Suhu inti tubuh yang >40˚C mungkin perlu diterapi dengan teknik pendinginan menggunakan konduksi atau agen antipiretik untuk menghindari kehilangan cairan yang berlebih. Pada penelitian eksperimental menggunakan binatang yang diinduksi meningitis, hipotermi sedang akan memperbaiki perubahan inflamatori, walaupun tidak ada studi klinis yang pernah dilakukan.