Model Neraca Ketersediaan Beras Yang

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sistem, Pendekatan Sistem dan Model
2.1.1. Sistem
Sistem merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan
terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park, 1977), sedangkan
Marimin (2004) mendefinisikan sistem sebagai suatu kesatuan usaha yang terdiri
dari bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan dalam
suatu lingkungan yang kompleks. Selanjutnya Chechland (1981) menyatakan
bahwa
sistem
merupakan sekumpulan atau kombinasi elemen yang saling
berkaitan membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Sistem terdiri atas:
komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1)
komponen adalah merupakan bagian-bagian sistem yang terdiri atas input,
proses dan output. Setiap komponen sistem mengasumsikan berbagai nilai untuk
menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau
lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen,
komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian
komponen yang lebih kecil tersebut disebut dengan subsistem, (2) atribut adalah
sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem.
Atribut tersebut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, (3) hubungan
merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut.
Menurut Chechland (1981) ada beberapa persyaratan dalam berpikir
sistem (System Thinking) diantaranya adalah (1) Holistik, System thinkers harus
berpikir holistik tidak reduksionis. Yang dimaksud holistik di sini adalah tidak
mereduksionis permasalahan kepada bagian yang lebih kecil (segmentasi) atau
tidak hanya berpikir secara parsial dari sudut pandang mono disiplin tapi harus
interdisiplin. Menurut Muhammadi et al. (2001) untuk berfikir sistem (System
Thinkers) syaratnya adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan
memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (Systemic Approach).
Kejadian apapun baik fisik maupun non fisik dilihat secara keseluruhan sebagai
interaksi antar unsur sistem dalam batas lingkungan tertentu. (2) Sibernetik (Goal
Oriented), System thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal
oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented). Jadi mulai
dengan tujuannya apa, kemudian identifikasi masalah yaitu gap antara tujuan
(kondisi informatif) dengan keadaan aktual baru problem solving. (3) Efektif,
13
dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen dimana suatu
aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara
sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan efisien. Jadi
dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien. Jadi ukurannya adalah
cost effective bukan cost efficient. Akan lebih baik lagi bila hasilnya efektif dan
sekaligus juga efisien.
2.1.2. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pada dasarnya
pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen.
Dengan cara ini dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan
keberhasilan suatu organisasi atau sistem. Pendekatan sistem dapat memberi
landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami
penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin, 2004).
Saat ini dalam dunia nyata banyak permasalahan yang kompleks dan
beragam sehingga penyelesaiannya tidak mungkin dapat berhasil diselesaikan
oleh satu atau dua metode spesifik saja. Oleh karena itu diperlukan pendekatan
sistem (System Approach). Dalam teori sistem dinyatakan bahwa kesisteman
adalah suatu meta disiplin, dimana proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan
pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh dan Carnavayal
dalam Eriyatno, 1999).
Telah disadari bahwa keutamaan pendekatan sistem adalah dapat
menyelesaikan permasalahan yang kompleks yang sulit diselesaikan dengan
pendekatan lainnya. Seperti dinyatakan oleh Chechland (1981) bahwa System
Thinking muncul akibat dari reaksi terhadap ketidakmampuan Natural Science
dalam memecahkan permasalahan dunia nyata yang kompleks. Selanjutnya
Manetsch dan Park (1977) berpendapat bahwa untuk permasalahan multidisiplin
yang komplek pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan
baik. Persoalan yang diselesaikan dengan pendekatan sistem umumnya
persoalan yang memenuhi karakteristik: (1) Kompleks, dimana interaksi antar
elemen cukup rumit, persoalan menyangkut multidisiplin dan multifaktor. (2)
Dinamis, dalam arti, faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada
14
pendugaan ke masa depan, (3) Stokastik, yaitu diperlukannya fungsi peluang
(probabilistik) dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
Menurut Eriyatno (1999), dalam metodologi sistem ada enam tahap
analisis sebelum tahap sintesa atau rekayasa, yaitu: (1) analisis kebutuhan, (2)
identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5)
determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan
ekonomi dan keuangan. Tahap ke satu sampai dengan ke enam umumnya
dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal sebagai analisis sistem.
2.1.3.Model
Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata
yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu
(Manetsch dan Park, 1977). Menurut Eriyatno (1999) model merupakan suatu
abstraksi dari realitas, yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun
tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat
dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang
dikaji. Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan
evaluasi kebijakan yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan
memformulasikan kebijakan (Tasrif, 2004b). Model dikelompokkan menjadi tiga
tipe yaitu model kuantitatif, kualitatif dan ekonik (Muhammadi et al., 2001). Model
kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus matematik, statistik atau
komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau
matriks yang menyatakan hubungan antar unsur. Dalam model kualitatif tidak
digunakan rumus matematik, statistik atau komputer. Model ikonik adalah model
yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan meskipun
skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Menurut Manetsch dan Park (1977)
model diklasifikasikan menjadi dua yaitu model makro dan model mikro, yang
ada kaitannya dengan derajad agregasinya.
Membangun model umum (generic model) dimulai dengan menyusun
elemen-elemen dasar yang menyusun sebuah sistem yang bersifat dinamis.
Kemudian mengidentifikasi gejala sampai menghasilkan sruktur permasalahan
untuk analisis kebijakan. Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa untuk
menghasilkan model yang bersifat sistemik ada beberapa langkah yang harus
ditempuh yaitu: (1) identifikasi proses yang menghasilkan kejadian nyata, (2)
identifikasi kejadian yang diinginkan, (3) identifikasi kesenjangan antara
15
kenyataan dengan keinginan, (4) identifikasi dinamika menutup kesenjangan dan
(5) analisis kebijakan. Dalam simulasi model setiap gejala dalam proses dapat
distrukturkan ke dalam kategori atau kombinasi kategori tertentu seperti level,
rate, auxilliary, constanta, flow, serta fungsi fungsi tertentu seperti delay, step,
pulse, graph, if , table dan timecycle.
Perilaku dinamis dalam model ini dapat dikenali dari hasil simulasi model.
Simulasi model itu sendiri terdiri dari beberapa tahap yaitu: penyusunan konsep,
pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi. Validasi hasil simulasi
bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau
proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau
simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata
relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk
memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan,
yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk
merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang. Validasi juga memberikan
keyakinan sejauh mana model dapat dipertanggung jawabkan dalam analisis
kebijakan untuk pemecahan masalah.
2.2. Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan yang dikemukakan para ilmuwan atau lembaga
internasional bervariasi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)
mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “situasi dimana setiap orang pada
setiap saat secara fisik dan ekonomis memiliki akses terhadap pangan yang
cukup, aman dan bergizi untuk dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan
seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat“. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Riely et al. (1995) dalam Dharmawan dan Kinseng (2006)
dimana ketahanan pangan dirumuskan sebagai “access for all people at all times
to enough food for an active and healty life”. Hal penting dari kedua konsep di
atas
adalah
ketersediaan
pangan
sepanjang
waktu,
sehingga
dalam
pembahasan ketahanan pangan diperlukan pengetahuan yang memadai
mengenai pola produksi dan distribusi di suatu daerah serta sistem komunitas
yang memanfaatkan sumber pangan tersebut.
Ketahanan pangan berdasarkan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan
diartikan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
16
aman, merata dan terjangkau”. Pengertian mengenai ketahanan pangan di atas
secara lebih rinci dapat diartikan sebagai berikut (Badan Bimas Ketahanan
Pangan, 2001): (a) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang
cukup, diartikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas yang bermanfaat
bagi pertumbuhan kesehatan manusia, (b) terpenuhinya pangan dengan kondisi
yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta
aman dari kaidah agama, (c) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata,
diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah
air, (d) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah
diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Agak berbeda dengan pandangan di atas, Maxwell dan Frankenberger
(1992) memberikan batasan ketahanan pangan dengan menggunakan tolok ukur
dimensi spasial dan temporal sebagai faktor pembeda, yang dideskripsikan
melalui dua situasi kerawanan pangan
yaitu
(1) kerawanan pangan kronis
(Chronic food in security: the inability of the people to meet food needs on going
basis) dan (2) kerawanan pangan sementara atau transien (Transitory food
insecurity: When the inability to meet food needs is temporary). Kerawanan
pangan terjadi apabila rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu
mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan
fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya.
Kerawanan pangan kronis (terus menerus) biasanya sering terjadi pada
kawasan yang kurang menguntungkan secara ekologis, kawasan terpencil atau
terisolasi, kawasan yang ekologisnya rusak dan terancam, sehingga bencana
kelaparan berlangsung secara berulang, biasanya kerawanan pangan seperti ini
terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, keterisolasian, ketidak
berdayaan dalam mengontrol sumberdaya dan mengakses sumber pangan.
Kerawanan pangan yang terjadi terus menerus seperti ini akan berdampak pada
penurunan status gizi dan kesehatan. Sedangkan kerawanan pangan sementara
(transien) terbagi pada dua tipe yaitu (a) kerawanan pangan yang bersifat
sementara, yang akan segera menghilang setelah faktor-faktor pengaruhnya
dapat diatasi dan (b) kerawanan pangan yang bersifat siklikal, yang bergerak
menguat dan melemah sesuai dengan perubahan waktu dan perubahan faktorfaktor eksternal yang ada.
17
Konsep ketahanan pangan (food security) berkaitan dengan beberapa
konsep turunannya yaitu kemandirian pangan (food resilience) dan kedaulatan
pangan (food sovereignty). Dimana pengertian ke tiganya sering dipertukarkan
dalam penggunaannya (Dharmawan dan Kinseng, 2006). Kemandirian pangan
menunjukkan kapasitas suatu kawasan (nasional) untuk memenuhi kebutuhan
pangannya secara swasembada (self sufficiency). Semakin besar proporsi
pangan dan bahan pangan yang dipenuhi dari luar sistem masyarakat kawasan
tersebut, maka semakin berkurang kemandiriannya dalam penyediaan pangan
dan sebaliknya. Kemandirian pangan yang rendah juga ditunjukan oleh lemahnya
kapasitas kawasan (nasional) untuk menyediakan pangan melalui usaha-usaha
mandiri tanpa bantuan pihak lain. Sedangkan kedaulatan pangan seperti pada
kemandirian pangan tetapi dengan mengaitkan pada penguasaan atas sumber
pangan dan pangan yang tersedia di kawasan tersebut. Semakin tinggi proporsi
penguasaan sumber pangan, jumlah produksi, distribusi, kontrol mutu dan
keamanan pangan oleh anggota masyarakat lokal, semakin tinggi derajat
kedaulatan pangannya. Sebuah sistem pangan dari suatu kawasan yang
berdaulat berarti sistem tersebut telah melalui tahapan kemandirian pangan.
Saad (1999) menyatakan indikator ketahanan pangan dipengaruhi oleh tiga
komponen yaitu (1) ketersediaan pangan (food availability), (2) akses pangan
(food access) dan pemanfaatan pangan (food utilization) yang saling berkaitan
membentuk suatu sistem (Tabel 1). Ketersediaan pangan tergantung pada
sumberdaya (alam, manusia, fisik) dan produksi (usahatani dan non usahatani).
Aksesibilitas pangan tergantung pada pendapatan (usahatani
dan non
usahatani), produksi dan konsumsi. Sedangkan pemanfaatan pangan sangat
tergantung pada nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh anak maupun dewasa.
Ketahanan pangan di suatu daerah atau wilayah dapat dilihat dari berbagai
indikator, indikator ketahanan pangan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.
18
Tabel 1. Indikator Ketahanan Pangan
Ketersediaan Pangan
Sumberdaya :
• Alam
• Fisik
• Manusia
Aksesbilitas Pangan
Produksi :
• Usahatani
• Non Usahatani
Pendapatan :
• Usahatani
• Non
Usahatani
Pemanfataan Pangan
Konsumsi :
• Pangan
• Non Pangan
Nutrisi :
• Anak-anak
• Dewasa
Indikator Kategori
Sumberdaya
- Alam :
Curah hujan
Kualitas tanah
Ketersediaan air
Sumberdaya hutan
Aksesibilitas
Ikan
- Fisik :
Infra struktur
Kepemilikan
hewan
Kepemilikan alat
pertanian
Kepemilikan lahan
Aset fisik lainnya
- Manusia :
Pendidikan
Tingkat buta huruf
Rasio
ketergantungan
Anggota RT
Umur anggota RT
Gender of house
hold
Produksi
Total areal tanam
Areal irigasi
Areal yang belum
ditanami
Aksesibilitas pada
penggunaan input
Produktivitas
tanaman semusim
Crop diversity
Produksi
Jumlah
pendapatan di luar
usahatani
Cottage industry
production
Gender division of
labour
Pendapatan
Total pendapatan
Pendapatan dari usahatani
(tanaman dan ternak)
Upah tenaga kerja
Pendapatan Megrasi
Pasar
Konsumsi
Pengeluaran total
Harga pangan
Harga non pangan
Frekuensi makan
Dietary intake
Nutrisi
Tingkat Mortalitas
Tingkat Morbedetas
Tingkat kesuburan
Akses fasilitas
kesehatan
Akses pada sanitasi
Akses pada sanitasi
yang memadai
Sumber : Saad (1999) adaptasi dari Webb, Richardson, Brown (1993) IFRRI and Chung, Haddad, Ramakrisma
and Relly (1997).
Peningkatan ketahanan pangan seperti yang tertulis di dalam GBHN 19992004
sebaiknya
dilaksanakan
dengan
berbasis
sumber
daya
pangan,
kelembagaan dan budaya lokal, dengan memperhatikan pendapatan para pelaku
usaha skala kecil, dengan pengaturan yang didasari Undang-Undang. Hal ini
mengisyaratkan bahwa kebutuhan pangan sejauh mungkin harus dapat dipenuhi
dari produksi dalam negeri, dengan mengandalkan keunggulan sumberdaya,
kelembagaan, budaya, termasuk kebiasaan makan, yang beragam di masingmasing daerah.
Selanjutnya ditambahkan pentingnya aspek pengembangan usaha bisnis
pangan dan pengembangan kelembagaan pangan yang dapat menjamin
keanekaragaman produksi, penyediaan dan konsumsi pangan serta menjamin
penyediaan gizi bagi masyarakat.
19
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan mengandung
makna makro maupun mikro. Makna makro terkait dengan penyediaan pangan di
seluruh wilayah setiap saat, sedangkan makna mikro terkait dengan kemampuan
rumah tangga dan individu dalam mengakses pangan dan gizi sesuai kebutuhan
dan pilihannya untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif. Sehingga ketahanan
pangan sangat terkait pada individu, keluarga, masyarakat, wilayah hingga
tingkat nasional.
Komitmen nasional maupun dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan
didasarkan atas peran strategis perwujudan ketahanan pangan dalam: (1)
memenuhi salah satu hak azasi manusia; (2) membangun kualitas sumber daya
manusia dan (3) membangun salah satu pilar bagi ketahanan nasional.
Ketahanan pangan juga merupakan salah satu pilar bagi pembangunan
sektor-sektor
lainnya
karena
tidak
satupun
negara
dapat
membangun
perekonomiannya tanpa terlebih dahulu menyelesaikan masalah pangannya.
Ketidaktahanan atau kerawanan pangan sangat berpotensi memicu kerawanan
sosial,
politik
pelaksanaan
maupun
program
keamanan.
pembangunan
Kondisi
secara
demikian
tidak
keseluruhan,
menunjang
yang
berarti
ketahanan nasional tidak mungkin terwujud
2.3. Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan pada akhir tahun 1970an dan populer sejak pertengahan dekade 1980-an. Secara teoritis konsep ini
muncul sebagai kritik terhadap paradigma ekonomi maupun non ekonomi yang
hanya memiliki satu tolok ukur, yaitu pertumbuhan yang biasanya menggunakan
“Gross National Product“ (GNP) sebagai parameter. Akibatnya, para perencana
dan pelaku pembangunan cenderung mengabaikan tujuan sebenarnya dari
upaya pembangunan, yaitu pemberdayaan dan peningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat luas, terutama masyarakat terpinggirkan. Orientasi pembangunan
menjadi bias dengan hanya mengejar laju pertumbuhan GNP yang tinggi,
dengan mengabaikan aspek distribusi dari hasil pembangunan sehingga
menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat. Orientasi pertumbuhan ekonomi
dalam prakteknya telah mengakibatkan akumulasi hasil pembangunan hanya
pada sekelompok kecil orang, dan memarginalkan masyarakat secara luas.
20
Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui Bruntland Commission
Report yang berjudul “Our Common Future“ yang disiapkan oleh World
Comission on Environment and Development (WCED, 1987 dalam Mitchell et al.,
2000). Konsep pembangunan berkelanjutan dijelaskan:
“Sustainable Development is defined as development that meet the
needs of the present without compromising the ability of future
generation to meet their own needs”.
Dalam
perkembangannya,
pembangunan
berkelanjutan
didefinisikan
sebagai upaya peningkatan untuk kehidupan manusia namun masih dalam
kemampuan daya dukung ekosistem. Munasinghe (1993a) secara diagramatis
menggambarkan pembangunan berkelanjutan sebagai interaksi antara tiga
dimensi, yaitu ekologi, sosial dan ekonomi, seperti terlihat dalam Gambar 3.
Pembangunan berkelanjutan mengarus tengahkan ketiga alur keberlanjutan
ekonomi, sosial dan ekologi secara serentak dalam alur lingkar pembangunan
sehingga terjadilah hubungan interaksi antara pembangunan ekonomi, sosial dan
ekologi (lingkungan). Keberlanjutan ekonomi di sini berkaitan dengan efisiensi,
pertumbuhan dan keuntungan. Keberlanjutan sosial terkait dengan keadilan,
pemerataan, stabilitas sosial, partisipasi serta preservasi budaya, sedangkan
keberlanjutan ekologi berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya agar lestari
(konservasi alam), daya lentur ekosistem, keanekaragaman hayati dan
kesehatan lingkungan.
Ekonomi
Pembangunan
Berkelanjutan
Ekologi
Gambar 3. Dimensi Pembangunan Berkelanjutan
Sosial
21
Menurut Undang Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup No 23
tahun 1997 pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana
yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses
pembangunan untuk menjamin kemampuan kesejahteraan dan mutu hidup masa
kini dan generasi masa depan. Inti dari konsep ini adalah bahwa tujuan sosial,
ekonomi dan lingkungan harus saling mendukung dan terkait dalam proses
pembangunan. Bila tidak akan terjadi “trade off” antar tujuan. Pendekatan
Pembangunan Berkelanjutan sangat bervariasi, merefleksikan keragaman yang
dihadapi oleh masing-masing negara/daerah bahkan dunia seperti yang
disampaikan oleh Dalay-Clayton and Bass (2002) dalam Gambar 4 bahwa
pembangunan berkelanjutan akan berbeda antara lokal, nasional dan global
tergantung kepada masing-masing tujuan yang diinginkan dan keadaan
implementasi di lapangan.
Peace and Security
Social
objective
Local
National
P
Economic
objective
F
Politics
P
Global
P
Cultural
Values
Environmental
objective
F : Keterkaitan penuh
P : Keterkaitan parsial
Institutonal/Administrative
Arrangements
Gambar 4: Sistem Pembangunan Berkelanjutan (WSSD,2002)
Sumber: Dalal-Clayton and Bass, 2002
Djajadiningrat,
menyatakan
bahwa
pembangunan
berkelanjutan
merupakan pencapaian keberlanjutan dari berbagai aspek yaitu keberlanjutan
dimensi ekologis, ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan serta
keamanan. Indikator dari masing masing aspek adalah sebagai berikut :
1.
Keberlanjutan Ekologis: (a) memelihara integritas tatanan lingkungan
(ekosistem) agar sistem penunjang kehidupan tetap terjamin. Sistem
22
dimana produktivitas, adaptabilitas dan pemulihan tanah, air, udara dan
seluruh kehidupan tergantung pada keberlanjutannya, (b) Memelihara
keanekaragaman hayati.
2.
Keberlanjutan Ekonomi: Tiga elemen utama dalam keberlanjutan ekonomi
yaitu efisiensi ekonomi, kesejahteraan yang berkesinambungan dan
peningkatan pemerataan serta distribusi kemakmuran.
3.
Keberlanjutan Sosial: Ada 4 sasaran yaitu (a) Stabilitas Penduduk, (b)
Memenuhi kebutuhan dasar manusia, (c) Mempertahankan keaneka
ragaman budaya (dengan menghargai sistem sosial budaya seluruh
bangsa), (d) Mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam mengambil
keputusan.
4.
Keberlanjutan Politik: (a) Respek pada “human right”, kebebasan individu
dan sosial untuk berpartisipasi di bidang ekonomi, sosial dan politik, (b)
Demokrasi: memastikan adanya proses demokrasi yg transparan dan
bertanggung jawab.
5.
Keberlanjutan Pertahanan dan Keamanan: Keberlanjutan kemampuan
menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dari dalam atau luar yang
dapat membahayakan integritas, identitas dan kelangsungan negara dan
bangsa
Pembangunan berkelanjutan setidaknya membahas empat hal utama yaitu:
(1) Upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan
dan daya dukung ekosistem, (2) Upaya peningkatan mutu kehidupan manusia
dengan cara melindungi dan memberlanjutkan, (3) Upaya meningkatkan
sumberdaya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa yang akan
datang dan (4) Upaya mempertemukan kebutuhan manusia secara antar
generasi.
Pembangunan berkelanjutan pada hakekatnya dapat diwujudkan melalui
keterkaitan yang tepat antara sumberdaya alam, kondisi ekonomi, sosial dan
budaya. Pemanfaatan sumberdaya alam dan kemampuan biosfer untuk
mendukung kegiatan manusia sangat ditentukan oleh tingkat teknologi yang
dikuasai dan yang diimplementasikan. Dengan demikian, pembangunan
berkelanjutan bukanlah situasi harmoni yang sifatnya tetap dan statis, melainkan
merupakan suatu proses perubahan yang eksploitasi sumberdaya alamnya, arah
investasinya,
orientasi
perkembangan
teknologinya
dan
pengembangan
23
kelembagaannya konsisten dengan pemenuhan kebutuhan pada saat ini dan
kebutuhan di masa depan.
2.3.1. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Langkah utama untuk mengantisipasi dampak negatif dari kegiatan
pertanian adalah dengan mengembangkan pertanian yang berwawasan
lingkungan yaitu Pembangunan Pertanian yang Berwawasan Lingkungan (PPBLEcologically Sustainable Agriculture).
Sustainabilitas
atau
keberlanjutan
dalam
bidang
pertanian
secara
sederhana diartikan sebagai suatu kondisi keamanan pangan sepanjang waktu
(self sufficiency overtime). Beberapa pengertian PPBL, akan diuraikan berikut ini.
Menurut Reeve (1990) dalam Yakin (1997), PPBL adalah pertanian yang
berusaha dengan cara yang disarankan oleh pemahaman dan pengetahuan saat
ini untuk meyakinkan bahwa penggunaan sumberdaya lahan pertanian saat ini
tidak akan mengurangi kesempatan bagi generasi yang akan datang, sehingga
ciri-ciri pertanian yang berkelanjutan meliputi :
1.
Menguntungkan petani
2.
Memproduksi jumlah bahan makanan yang cukup bagi penduduk
3.
Memproduksi bahan makanan yang berkualitas sesuai selera penduduk
4.
Melestarikan basis sumberdaya pertanian
5.
Meminimalkan penggunaan sumberdaya yang tidak bisa diperbaharui
6.
Meminimalkan dampaknya terhadap lingkungan luas usahatani
Selanjutnya Lerohl (1991) dalam Yakin (1997) mengemukakan bahwa
sustainabilitas bisa dipandang sebagai peningkatan produktivitas pertanian yang
stabil sepanjang waktu, dengan memungkinkan perkembangan inovasi teknologi
pertanian untuk mempertahankan produktivitas persatuan areal lahan. Secara
lebih spesifik Zamora (1995) dalam Salikin (2003) memberikan lima kriteria untuk
mengelola sistem pertanian menjadi berkelanjutan, yaitu:
1.
Kelayakan ekonomis (economic viability).
Sistem pertanian harus secara rasional mampu menjamin kehidupan
ekonomi yang lebih baik bagi petani dan keluarganya. Kelayakan secara
ekonomi juga berarti aktivitas pertanian harus mampu menekan biaya
eksternalitas sehingga tidak merugikan masyarakat dan lingkungan.
24
2.
Bernuansa dan bersahabat dengan ekologi (ecologically sound and
friendly).
Sistem pertanian yang bernuansa ekologis sebaiknya mengintegrasikan
sistem ekologi secara luas dan memusatkan perhatian pada upaya
perawatan dan perbaikan sumber daya pertanian. Dalam prakteknya,
penyimpangan terhadap kaidah-kaidah ekologi hanya akan memberikan
dampak buruk bagi keseimbangan lingkungan.
3.
Diterima secara sosial (socially just).
Sistem pertanian yang diterima secara sosial sangat menjunjung tinggi
hak-hak individu petani, baik sebagai pelaku utama maupun sebagai
bagian dari anggota sistem masyarakat secara keseluruhan. Sistem
masyarakat pertanian mampu mengakses sumber-sumber informasi,
pasar, ataupun kelembagaan pertanian. Sistem sosial juga harus menjamin
keberlanjutan pertanian antargenerasi; dengan keyakinan bahwa generasi
sekarang menitipkan dan mewariskan bumi ini kepada generasi yang akan
datang.
4.
Kepantasan secara budaya (culturally approriate).
Sistem pertanian yang memiliki kepantasan budaya mampu memberikan
pertimbangan dengan nilai-nilai budaya, termasuk keyakinan agama dan
tradisi, dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan
pertanian. Pengenalan sistem pengetahuan dan visi petani harus
diperhatikan sebagai mitra sejajar dalam proses pembangunan pertanian.
5.
Pendekatan sistem dan holistik (systems and holistic approach).
Sistem pertanian harus berbasis pandangan keilmuan yang holistik dengan
pendekatan multidisiplin dengan memasukkan semua gatra biofisik, sosial,
ekonomi,
budaya,
dan
politik.
Sistem
pertanian
juga
harus
mempertimbangkan interaksi dinamis antara kegiatan pertanian sendiri (on
farm) dan kegiatan di luar pertanian (off farm) serta aktivitas lain, sebagai
bagian yang saling melengkapi.
2.3.2. Indikator Operasional Untuk Mengukur Keberlanjutan
Ilmuwan, komunitas akademik, pembuat dan penentu kebijakan dalam
beberapa tahun terakhir ini telah banyak memberikan perhatian pada konsep
keberlanjutan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Perhatian ini disertai
dengan upaya untuk membangun sistem yang bermanfaat untuk mengukur
25
keberlanjutan. Tahapan mendasar dalam meformulasikan kebijakan untuk
pembangunan berkelanjutan adalah menemukan indikator kuantitatif untuk
mengetahui
dengan
tepat
kondisi
perubahan
dan
mengetahui
apakah
pembangunan meningkat atau menurun.
Menurut Senanayake (1991), membangun pengukuran kuantitatif untuk
keberlanjutan
adalah
prasyarat
penting.
Indikator
keberlanjutan
telah
didefinisikan sebagai indikator yang memberikan informasi secara langsung atau
tidak langsung mengenai viabilitas di masa datang dari berbagai level tujuan
(sosial, ekonomi dan ekologi). Indikator keberlanjutan semakin dianggap sebagai
alat penting dalam menilai dan melaksanakan sistem yang berkelanjutan.
Beberapa indikator untuk menilai keberlanjutan suatu sistem misalnya
pertanian, telah banyak ditemukan. Walker dan Reuter (1996) menunjukkan
bahwa indikator untuk menilai keberlanjutan dibagi dalam dua tipe: (1) Indikator
kondisi, adalah indikator yang mendefinisikan kondisi sistem relatif terhadap
kondisi yang diinginkan atau yang dapat digunakan untuk menilai kondisi
lingkungan. Indikator kondisi ini mengkarakteristikkan seluruh besaran dari suatu
keadaan sumberdaya tertentu dari nilai kondisi ideal selama periode simulasi, (2)
Indikator trend adalah yang mengukur bagaimana sistem tersebut berubah
terhadap waktu. Indikator trend menggambarkan seluruh kecenderungan linier
dari suatu keadaan sumberdaya selama periode simulasi.
Konsep keberlanjutan pertanian adalah suatu hal yang dinamis, apa yang
dipandang berkelanjutan di suatu wilayah mungkin tidak berkelanjutan di wilayah
lainnya dan apa yang dipandang berkelanjutan pada suatu waktu mungkin tidak
berkelanjutan di masa datang karena perubahan kondisi. Keberlanjutan juga
bervariasi terkait dengan faktor sosio-budaya, ekonomi dan politik. Tinjauan
terhadap indikator yang secara teoritis diajukan dan secara praktis diaplikasikan
oleh peneliti dan para ahli memberikan gambaran umum bagaimana indikator
tersebut diajukan dan digunakan untuk mengukur keberlanjutan.
Konsep pertanian berkelanjutan telah menyebar luas pada tahun 1980-an.
Setidaknya terdapat sekitar 70 definisi dalam literatur mengenai pertanian
berkelanjutan. Perbedaannya terletak pada nilai, prioritas dan tujuannya. Usaha
untuk membuat definisi yang lebih tepat, operasional dan absolut mengenai
pertanian berkelanjutan adalah problematik karena berbagai pihak terlibat dalam
perdebatan
ini.
Tiga
dimensi
dan
levelnya
untuk
menilai
mengimplementasikan keberlanjutan pada pertanian disajikan pada Tabel 2.
dan
26
Tabel 2. Dimensi Dasar Untuk Menilai Keberlanjutan
Dimensi
level
Normatif
Aspek ekologis
Aspek ekonomis
Aspek sosial
Spasial
Lokal
Regional
Nasional
Temporal
Jangka panjang
Jangka pendek
Sumber: Von Wiren – Lehr (2001) dalam Zhen dan Routray (2003)
Tabel 3 menyajikan indikator keberlanjutan yang dikemukakan oleh para
ahli. Barbier (1987) telah mengkaji konsep pembangunan ekonomi untuk dunia
ketiga dan berdasarkan tinjauannya, dia menggunakan keragaman genetik,
produktivitas biologis, peningkatan produktivitas agroekosistem, perbaikan
keadilan, keadilan sosial dan partisipasi sebagai indikator keberlanjutan.
Contohnya, dalam setting pedesaan, meningkatnya produktivitas agroekosistem
dan distribusi yang adil antar mata pencaharian dipertimbangkan berkontribusi
terhadap keberlanjutan.
Lynam dan Herdt (1989) menggunakan net present value dari analisis
manfaat
–
biaya
sebagai
kriteria
konservasi
dalam
risetnya
yang
mengidentifikasikan perbedaan antar sistem pertanian. Mereka berargumentasi
bahwa sistem berkelanjutan tidak memiliki trend negatif pada produktivitas total
selama periode pengamatan. Jadi pengukuran outputnya adalah nilai ekonomi
dari output dibagi dengan nilai inputnya dan bukan hanya tergantung pada
produktivitas fisik tetapi juga pada harganya. Jika NPV lebih besar atau sama
dengan satu, sistem adalah berkelanjutan dari sudut pandang ekonomi dan
usahatani tidak beroperasi dengan kerugian ekonomi.
Namun pengukuran ini ditentang oleh Tisdalle (1986), karena tidak
mencerminkan profit yang penting dari sudut pandang ekonomi karena proyek
konservasi tidak akan berkelanjutan jika tidak memberikan keuntungan ekonomi.
Selanjutnya dia mengajukan indikator paralel: rasio nilai output dikurangi nilai
input dan dibagi dengan nilai inputnya. Indikator ini harus memenuhi kendala
atau kondisi sisi yang sama atau lebih besar dari nol, jika tidak maka indikator
tersebut tidak berarti.
27
Tabel 3.
Ringkasan Indikator Keberlanjutan Yang Secara Teoritis Dikemukan
Para Ahli
Sumber
Ekonomi
Barbier (1987)
Peningkatan
produktivitas
agroekosistem
Lynam & Herdt
(1989)
NPV
Brklacich et al.
(1991)
Panen
berkelanjutan
Viabilitas
produksi
Senanayake
(1991)
Nilai input dan
output
Stock
(1994)
et
al.
Profitabilitas
produktivitas
Sosial
EKologi
Perbaikan keadilan
Keadilan sosial
partisipasi
Keragaman genetik
Produktivitas biologis
Suplai dan ketahanan produk
keadilan
Akunting lingkungan
Kapasitas
Waktu tinggal dalam tanah
Waktu tinggal dalam biota
Rasio energi
Kekuatan ekuivalen
Efisiensi penggunaan fluk sinar
matahari
Kualitas hidup
Penerimaan sosial
Kualitas air, tanah dan udara
Efisiensi energi, ikan dan habitat
liar
Tisdell (1996)
(outputinput)/input
Smith
dan
Mcdonald (1998)
Biaya
produksi
Harga produk
Pendapatan
bersih
usahatani
Akses ke sumberdaya
Ketersediaan
keahlian
dan
pengetahuan dasar bagi petani
Kepedulian publik terhadap
konservasi
Perencanaan kapasitas petani
Kapabilitas lahan
Keseimbangan hara
Aktivitas biologis
Erosi tanah
Chen (2000)
Total produk
pertanian
Produksi
pangan
per
kapita
Pendapatan
bersih
usahatani
Suplai pangan per kapita
Pajak lahan
Partisipasi dalam pengambilan
keputusan
Menggunakan pupuk / pestisida
Efisiensi penggunaan air
Menggunakan input eksternal
Kualitas air bawah tanah
Erosi tanah
Kerugian per kapita dari bencana
alam
Indeks tumpang sari
Brklacich et al. (1991) mengemukakan enam indikator untuk menilai
keberlanjutan sistem produksi pangan. Dari sudut pandang ekonomi, mereka
memfokuskan pada panen berkelanjutan yang berarti level output yang dapat
dijaga terus menerus dan viabilitas produksi yang berarti kapasitas produsen
utama untuk tetap di bidang pertanian. Indikator keadilan sosial adalah suplai
dan ketahanan produk dan keadilan. Suplai dan ketahanan produk memfokuskan
pada kecukupan suplai pangan. Keadilan berhubungan dengan distribusi spasial
dan temporal dari produk yang dihasilkan dari penggunaan sumberdaya.
Senanayake (1991) menyajikan suatu indek komposit yang mengakui nilai
dari aspek ekonomi dan ekologi dalam keberlanjutan. Dia menyatakan bahwa
28
sistem pertanian memiliki berbagai derajat keberlanjutan menurut level input
eksternal yang diperlukan untuk menjaga sistem dan kondisi komunitas biotik
dimana sistem tersebut beroperasi. Jadi setiap tipe sistem usahatani yang
berkontribusi terhadap erosi fisik atau hilangnya biomassa tanah yang lebih
besar akan menghasilkan nilai nol dan dikategorikan tidak berkelanjutan. Tipe
usahatani yang mengkonservasi sumberdaya dasar akan memberikan nilai positif
sehingga dikategorikan berkelanjutan.
Tipe indeks keberlanjutan ini merupakan alat yang berguna dalam
mengevaluasi keberlanjutan relatif sistem pertanian. Diperlukan pengujian indeks
di lapangan dengan berbagai sistem lahan dan usahatani. Penggunaan
pendekatan ini akan membantu dalam mendesain sistem pertanian yang lebih
berkelanjutan.
Stock et al. (1994) menurunkan suatu skema berdasarkan pada kuantifikasi
kendala
pada
keberlanjutan
pertanian
di
Amerika
Serikat.
Mereka
mengemukakan suatu model untuk mengevaluasi keberlanjutan relatif dari
sistem usahatani menggunakan sembilan atribut: profitabilitas, produktivitas
kualitas hidup, penerimaan sosial, kualitas air, tanah dan udara, efisiensi energi,
tanaman dan habitat liar. Skema yang diajukan ini mencakup daftar kendala
untuk setiap atribut. Suatu sistem dievaluasi dengan memberikan bobot pada
setiap atributnya, menskoring setiap atribut berdasarkan kendala spesifiknya dan
menggunakan bobot dan skor tersebut untuk menghasilkan nilai. Misalnya,
kendala untuk atribut profitabilitas adalah menurunnya pendapatan usahatani
dan meningkatkan ketergantungan pada kredit. Peningkatan atau tingkat erosi
yang tinggi, menurunnya kadar bahan organik dan kapasitas tukar kation,
meningkatnya salinisasi dan alkalinisasi tanah, menurunnya infiltrasi dan
kapasitas menahan air dan menurunnya aktivitas cacing tanah semuanya adalah
kendala kualitas tanah yang dapat diukur. Meningkatnya komplain terhadap
ketahanan pangan, kualitas air minum, kecukupan suplai pangan jangka panjang
dan ancaman kesehatan dari pertanian kesemuanya adalah kendala pada atribut
penerimaan sosial. Jika semua atribut berada dalam kisaran memuaskan,
skornya harus mencerminkan nilai relatif dari setiap sistem. Karena terdapat
beberapa kendala untuk setiap atribut, setiap kendala harus diskor sendirisendiri. Dengan pendekatan ini, setiap kendala yang dipilih untuk skema evaluasi
harus diubah ke dalam definisi numerik (misalnya rupiah dari pendapatan bersih).
29
Berdasarkan konsep ini, kendala yang dapat dikuantifikasi dengan
pengukuran
langsung
adalah
yang
berhubungan
produktivitas, kualitas air dan efisiensi energi.
dengan
profitabilitas,
Kendala yang tidak dapat
langsung diukur membutuhkan teknik evaluasi lainnya termasuk pendapat ahli
dan model simulasi komputer.
Pendekatan ini menggunakan elemen-elemen
dan prosedur-prosedur yang diperlukan untuk membandingkan keberlanjutan
relatif dari beberapa sistem produksi yang digunakan saat ini atau di masa
datang. Pendekatan
ini dapat digunakan
dengan dukungan keputusan
terkomputerisasi dimana opini ahli dan model simulasi dinamis dapat
diintegrasikan sebagai alat pendukung.
Smith dan Mcdonald (1998) baru-baru ini mengemukakan beberapa
indikator penting untuk menilai keberlanjutan usahatani di Australia. Dari sudut
pandang ekonomi, indikator profitabilitas seperti biaya produksi, harga produk
dan pendapatan bersih usahatani adalah indikator utama keberlanjutan
pertanian. Peningkatan efisiensi penggunaan air, penggantian hara, memelihara
keragaman hayati dan menurunnya erosi tanah dipandang sebagai indikator
keberlanjutan pertanian yang potensial. Indikator sosial juga penting dalam
menilai keberlanjutan. Mereka berargumen bahwa terdapat nilai ambang batas
penting untuk menilai keberlanjutan. Suatu sistem akan lebih berkelanjutan jika
mengadopsi praktek-praktek seperti rotasi dengan tanaman lain, pengolahan
terfragmentasi dan sistem bera, tetapi akan kurang berkelanjutan jika
mengadopsi praktek pemupukan dan penggunaan pestisida berlebihan dan
irigasi serta penggenangan yang berlebihan.
Chen (2000) merekomendasikan indikator untuk menilai keberlanjutan
pertanian dalam konteks China berdasarkan tekanan populasi, degradasi
lingkungan, penggunaan sumberdaya yang tidak efisien dan manajemen
sumberdaya
yang
tidak
tepat.
Tantangannya
adalah
mengupayakan
pembangunan yang seimbang antara komponen lingkungan, sumberdaya,
populasi, ekonomi dan sosial. Produksi pangan per kapita, pendapatan bersih
usahatani, suplai pangan per kapita, pajak lahan, partisipasi dalam pengambilan
keputusan, menggunakan pupuk/pestisida, menggunakan input eksternal,
kualitas air bawah tanah dan erosi tanah adalah indikator utama dalam mengukur
keberlanjutan.
Food dan Agricultural Organization (FAO, 2000) telah menggunakan
indikator seperti rasio lahan pertanian terhadap populasi pertanian, lahan irigasi
30
sebagai proporsi lahan pertanian, gross produksi dari produk ternak dan
kontribusi pertanian dalam GDP untuk menilai situasi umum dari produksi
pertanian di negara-negara berkembang.
Pemilihan indikator yang efektif adalah kunci keberhasilan dari setiap
program monitoring. Indikator harus dipilih secara hati-hati sehingga dapat
mengukur dan menggambarkan secara jelas mengenai kondisi keberlanjutan.
Dale dan Beyeler (2001) telah mengemukakan kriteria dalam memilih indikator.
ƒ
Ekologi
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Jumlah pupuk/ pestisida yang digunakan per unit
lahan yang ditanami
Jumlah air irigasi yang digunakan per unit lahan
yang ditanami
Kadar hara/ kesuburan tanah
Kedalaman muka air tanah
Kualitas air tanah untuk irigasi
Efisieni penggunaan air
Kadar nitrat pada air tanah dan tanaman
Sosial
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Kemandirian pangan
Keadilan pada distribusi pendapatan dan pangan
Akses terhadap sumberdaya dan bantuan
Pengetahuan dan kesadaran petani terhadap
konservasi sumberdaya
Ekonomi
ƒ
ƒ
ƒ
Pendapatan bersih usahatani
Produksi pangan per kapita
Rasio manfaat – biaya dari produksi
Gambar 5. Indikator Operasional Untuk Mengukur Keberlanjutan Pertanian di
Negara-Negara Berkembang
Pemilihan suatu indikator dan aplikasinya harus spesifik waktu dan ruang
terkait dengan karakteristik spasial dan temporal dari indikator tersebut (Zhen dan
Routray, 2003).
Indikator yang mencerminkan tiga dimensi keberlanjutan
(ekonomi, sosial dan ekologi) harus diprioritaskan per karakteristik spasial yang
dipertimbangkan (Tabel 4). Untuk pembangunan jangka pendek, pemilihan
indikator pada level nasional, regional dan lokal di negara berkembang pertama
kalinya harus mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi dan selanjutnya
aspek ekologis karena tujuan utama produksi adalah menjaga mata pencaharian
dalam jangka pendek. Untuk pembangunan jangka panjang, pemilihan indikator
pada level nasional dan regional pertama kali harus mempertimbangkan aspek
ekologis dan selanjutnya memberikan prioritas yang sama bagi aspek sosial dan
ekonomi.
Pada
level
lokal,
pemilihan
indikator
pertama
kali
harus
mempertimbangkan aspek ekonomi dan selanjutnya memberikan prioritas yang
sama bagi aspek ekologis dan sosial karena peningkatan manfaat ekonomi
31
masih
menjadi
tujuan
utama
bagi
negara-negara
berkembang.
Untuk
pembangunan jangka panjang, pemilihan indikator pada berbagai level harus
memberikan perhatian yang sama untuk ketiga dimensi keberlanjutan tersebut.
Dengan hal ini, keberlanjutan pertanian akan dapat dicapai.
Tabel 4. Pemilihan Indikator Dengan Mempertimbangkan Spasial, Temporal dan
Karakteristik Tiga Dimensi Keberlanjutan di Negara Berkembang
Jangka Pendek
(1-5 th)
Jangka Menengah
(5-10 th)
Jangka Panjang
(10-20 th)
Nasional
1>2>3
3>1=2
1=2=3
Regional (propinsi/negara bagian)
1>2>3
3>1=2
1=2=3
Lokal (kabupaten/kecamatan)
1>2>3
1>2=3
1=2=3
Spasial
Keterangan:
1 = keberlanjutan ekonomi, 2 = keberlanjutan sosial, dan 3 = keberlanjutan ekologis
> menunjukkan prioritas
Sumber: Zhen dan Routray (2003)
2.4. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian tentang penyediaan dan konsumsi beras nasional
telah
dilakukan,
namun sebagian besar dilakukan dengan pendekatan
ekonometrika, dan tidak terintegrasi dengan lingkungan. Beberapa penelitian
yang berhubungan dengan penyediaan dan konsumsi beras diantaranya sebagai
berikut :
Mulyana (1998) melakukan penelitian mengenai “Keragaan Penawaran
dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era
Perdagangan
Bebas.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengevaluasi
dan
meramalkan masa depan swasembada beras dan mengkaji dampak alternatif
kebijakan unilateral, multilateral dan alternatif non kebijakan terhadap penawaran
dan permintaan beras dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik.
Peneliti menggunakan Analisis Model Ekonometrika penawaran dan permintaan
beras di pasar domestik dan dunia. Produksi domestik didisagregasi menjadi lima
wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan sisa wilayah
Indonesia, sedangkan permintaannya secara agregat nasional.
Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa secara regional areal sawah
di Jawa dan Bali telah mencapai kondisi closing cultivation frontier, yaitu
mencapai batas maksimal lahan subur yang layak untuk areal sawah akibat
meningkatnya kompetisi penggunaan lahan. Karena itu respon areal padi
terhadap harga gabah di Jawa dan Bali lebih inelastis dibandingkan wilayah
32
lainnya. Faktor lain yang berpengaruh pada areal padi di seluruh wilayah adalah
curah hujan, areal irigasi, kinerja penyuluhan, target program produksi dan
konversi lahan sawah di Jawa dan Bali.
Secara umum hasil simulasi model menunjukkan bahwa penerapan
alternatif kebijakan yang seragam secara nasional tidak selalu direspon dengan
arah yang sama oleh komponen penawaran beras di setiap wilayah dan dapat
berbeda dampaknya tehadap kesejahteraan petani. Implikasi penting dari hal itu
adalah diperlukan penerapan kebijakan dan perbaikan kesejahteraan petani
sama-sama dapat dicapai. Secara ekonomi swasembada beras periode 19841996 dapat dipertahankan dengan kebijakan menaikkan harga dasar 15.38
persen, menambah areal irigasi 3.61 persen, menambah areal intensifikasi 5.25
persen atau mendevaluasi rupiah 100 persen namun dampaknya berlawanan
bagi perubahan kesejahteraan petani dan konsumen. Karena itu diperlukan
kombinasi kebijakan yang dapat mendorong kenaikan produksi beras sekaligus
meningkatkan kesejahteraan petani dan konsumen.
Hasil peramalan tanpa alternatif kebijakan menunjukkan bahwa kontribusi
wilayah Sumatera, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia akan meningkat dalam
produksi beras pada masa mendatang sedangkan peranan wilayah Jawa dan
Bali berangsur-angsur turun sebagai konsekuensi dari pelaksanaan liberalisasi
perdagangan. Indonesia diperkirakan akan berswasembada beras secara
absolut melainkan akan mencapai net ekspor beras mulai tahun 2013. Tampak
bahwa potensi produksi beras Indonesia masih cukup prospektif
Untuk mencapai swasembada beras dan perbaikan kesejahteraan,
direkomendasikan untuk meningkatkan areal sawah irigasi dan intensifikasi di
Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan memperbaiki
efisiensi biaya dan teknologi usahatani padi sesuai dengan spesifikasi wilayah,
perlu diefektifkan kebijakan harga dasar yang didukung dengan peningkatkan
pengadaan, memperbaiki jaringan distribusi pemasaran beras dalam dan antar
wilayah, meningkatkan teknologi penyimpanan beras/gabah. Sistem operasi
pasar beras masih tetap diperlukan dalam jangka pendek. Karena itu peran
pemerintah yang saat ini dilakukan Bulog masih perlu dipertahankan dalam
jangka pendek.
Rachman (2001) melakukan penelitian yang berjudul “Kajian Pola
Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)”. Data
yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun
33
1996 yang dikumpulkan oleh Bappenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
konsumsi beras terlihat mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat
secara keseluruhan, menurut daerah maupun menurut kelompok pendapatan,
walaupun konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI masih rendah
dibandingkan Nasional.
Hasil analisis menunjukan bahwa proyeksi produksi beras pada tahun 2005
berdasarkan data time series dari tahun 1997-2001 adalah sebesar 28.47 juta
ton, kemudian tahun 2010 sebesar 28.53 juta ton dan pada tahun 2015 adalah
sebesar 28.59 juta ton. Proyeksi konsumsi beras tahun 2005 dan 2010
berdasarkan standar kecukupan gizi adalah masing-masing sebesar 116.80
kg/kapita/tahun dan 113.15 kg/kapita/tahun. Sedangkan konsumsi beras tahun
2015 berdasarkan standar kecukupan gizi adalah 109.5 kg/kapita/tahun,
sehingga proyeksi kebutuhan konsumsi beras nasional pada tahun 2005, 2010
dan 2015 menurut standar kecukupan gizi diperkirakan adalah sebesar 26.06
juta ton, 26.97 juta ton dan 27.77 juta ton. Pada tahun 2015, jika konsumsi
penduduk Indonesia sesuai dengan kecukupan gizi yang diperlukan, maka dari
hasil analisis diketahui bahwa produksi dalam negeri mampu untuk memenuhi
permintaannya.
Namun
demikian
perlu
diwaspadai adanya
peningkatan
konsumsi beras per kapita sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang akan
terjadi pada tahun 2015 mendatang. Sehingga kita harus selalu waspada dan
selalu tetap berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan produksi beras dalam
negeri.
Pergeseran pola pangan pokok yang mengarah ke beras juga ditunjukkan
oleh bergesernya pola pangan pokok di provinsi-provinsi wilayah Kawasan Timur
Indonesia. Pada tahun 1979 hanya provinsi Kalimantan Selatan yang berpola
pangan pokok beras, namun demikian pada tahun 1996 provinsi lainnya seperti
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Selatan menjadi provinsi-provinsi dengan pola pangan pokok beras. Beras sudah
mengarah pada komoditas bergengsi yang ditunjukkan oleh meningkatnya
konsumsi beras dengan makin tingginya pendapatan.
Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerja sama
dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB (2002), melakukan
penelitian mengenai “Analisis Skenario Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nasional
Hingga 2015 Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi Pertanian“. Penelitian
34
dilaksanakan pada tahun 2002 dengan menggunakan analisis ekonometrika.
Hasil analisis menunjukkan bahwa mulai tahun 2010 ada peluang Indonesia
mengalami kondisi dimana tingkat produksi akan lebih besar dari pada tingkat
konsumsi. Kondisi surplus terutama tercipta oleh peningkatan produksi yang
lebih cepat dari pada peningkatan konsumsi. Surplus beras akan lebih cepat
tercapai apabila diterapkan kebijakan yang bersifat mendukung. Dari berbagai
kebijakan yang disimulasikan, ternyata kebijakan tersebut adalah peningkatan
dana irigasi dan anggaran pembangunan sektor pertanian memberikan pengaruh
positif yang lebih besar dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan
skenario kebijakan lainnya, seperti kebijakan subsidi pupuk, tarif impor maupun
kebijakan harga dasar.
Lembaga Penelitian UI bekerja sama dengan Badan Bimas Ketahanan
Pangan, Departemen Pertanian (2002) melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Nasional”. Analisis ini dilakukan
dengan
menggunakan
analisis
regresi
linear
(Trend
Analysis).
Untuk
memperkirakan kecukupan zat gizi (energi) dari tahun 2002 sampai dengan 2015
dilakukan analisis berdasarkan angka kecukupan Zat gizi dari Widya Karya
Pangan dan Gizi tahun 1979, 1988, 1993 dan 1998. Kecukupan ini
diterjemahkan dalam bentuk kebutuhan pangan berdasarkan Pedoman Umum
Gizi Seimbang.
Saat ini masih terjadi ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang
disebabkan oleh terlalu tingginya peran padi-padian (khususnya beras) di satu
sisi, dan masih rendahnya peran beberapa pangan, terutama pangan hewani,
sayuran dan buah serta belum tercukupinya minyak dan lemak. Berdasarkan hal
itu, maka konsumsi per kapita padi-padian, khususnya beras sepanjang 20002015 diproyeksikan menurun, sedangkan komoditas lain, khususnya sayuran dan
buah, pangan hewani, minyak dan lemak serta kacang-kacangan diproyeksikan
meningkat.
Berdasarkan hasil analisis AHP, di antara berbagai fungsi yang
diperkirakan mendukung ketahanan pangan, ternyata fungsi ketersediaan
ditemukan sebagai yang terpenting. Sedangkan fungsi lainnya seperti distribusi,
konsumsi dan kewaspadaan pangan memperoleh bobot yang jauh lebih kecil dari
pada fungsi ketersediaan. Pendapat bahwa fungsi ketersediaan pangan
merupakan yang terpenting didukung oleh pendapat responden di semua
35
provinsi contoh. Dengan demikian, pendekatan produksi dan availability masih
menjadi tema yang dianggap mampu menjamin ketahanan pangan.
Otonomi daerah yang telah diberlakukan diperkirakan akan memberikan
pengaruh yang besar terhadap tercapainya ketahanan pangan. Implikasinya,
pemerintah daerah tingkat II memainkan peranan penting sejak dari tahapan
perencanaan hingga tahapan evaluasi. Komponen-komponen yang diperlukan
bagi pelaksanaan proses manajemen ketahanan pangan tersebut juga
diharapkan menjadi penanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Namun ada
satu komponen penting dimana peranan pemerintah pusat diharapkan tetap
menonjol. Komponen tersebut adalah pendanaan. Dengan kata lain, diharapkan
sumber pendanaan utama bagi kebijakan ketahanan pangan adalah dari
pemerintah pusat.
Irawan (2005) melakukan penelitian “Analisis Ketersediaan Beras Nasional
Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis”. Analisis ini menggunakan
data sekunder yang sumber data utamanya adalah statistik Indonesia dan Profil
Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan yaitu
tidak mencakup sub sistem distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh
faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat
penawaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara
mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut
sebagaimana keadaan tahun 1992-2002 (-O.77 % per tahun) dan penerapan
teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun 1990-2000.
Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar
Jawa dapat ditekan masing masing sampai nol persen dan 0.72 persen per tahun
mulai tahun 2010. Pada saat yang sama upaya peningkatan produktifitas padi
sebesar 2.0 - 2.5 persen per tahun sebagaimana prestasi yang pernah dicapai
pada saat swasembada beras (1983-1985) diperlukan. Kebijakan perluasan areal
lahan sawah di luar jawa sebanyak satu juta hektar selama lima tahun tidak akan
cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun ke depan
selama laju konversi lahan sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak
berubah.
Download