benturan estetis antara liberalisme, sosialisme, dan islam

advertisement
1
BENTURAN ESTETIS
ANTARA LIBERALISME, SOSIALISME, DAN ISLAM
(Dimuat dalam Proceeding of JICMI 2013, dipresentasikan dalam call for papers Jakarta
International Conference of Muslim Intellectuals (JICMI) 2013 di Wisma Makara
Universitas Indonesia, Depok Jakarta, tanggal 14 Desember 2013)
Oleh: Deni Junaedi
Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
[email protected]
Bekelan RT.2, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 55181, Indonesia
Abstract
A work of art can lead the clash of aesthetic, such as the cartoons of the Prophet Muhammad. Aesthetic
value as a determinant of beauty or ugliness is strongly influenced by the ideology being applied by the
government. Thereby, the application of Liberalism, Socialism, or Islam ideology will influence
strengthening the perceived aesthetic value of society. Now, if aesthetic value of Islam is often
denigrated in a clash by aesthetic value of a liberal, this is because the state is implementing liberal
ideology. So that Islam could return victorious at Muslims, the application of Islamic ideology in the
Caliphate is the requirements.
Keywords: The clash of aesthetic, Liberalism, Socialism, Islam, Caliphate.
Intisari
Suatu karya seni dapat mengakibatkan benturan estetis, didukung, seperti kasus kartun Nabi
Muhammad. Nilai estetis sebagai paramenter penentu selera keindahan atau kejelekan sangat
dipengaruhi oleh ideologi yang tengah diterapkan pemerintah. Dengan demikian, penerapan ideologi
Liberalisme, Sosialisme, atau Islam akan berimbas pada penguatan nilai estetis yang dirasakan
masyarakat. Jika kini nilai estetis Islam banyak direndahkan ketika terjadi benturan dengan nilai estetis
liberal, ini terjadi karena negara tengah menerapkan ideologi liberal. Agar nilai estetis Islam dapat
kembali berjaya di tengah umat Islam, maka penerapan ideologi Islam secara menyeluruh dalam
bingkai negara Khilafah menjadi persyaratannya.
Kata kunci: Benturan estetis, Liberalisme, Sosialisme, Islam, Khilafah
A. PENDAHULUAN
Beberapa karya seni mampu memicu benturan atau kontroversi. Berikut ini adalah sebagaian
contoh di antara sederet kasus yang serupa.
Kartun ciptaan Kurt Westergaard yang menggambarkan Nabi Muhammad dengan bom
dalam sorban diprotes masyarakat Muslim di berbagai negara. Sebaliknya, masyarakat liberal
Eropa memujanya sebagai pejuang kebebasan pers. Kanselir Jerman Angela Merkel
memberinya penghargaan dalam acara M100 Media 2010.
Sementara itu, awal 2001, patung Tugu Tani di Jakarta digugat Aliansi Anti Komunis
(AAK). Aliansi yang antara lain terdiri dari Gerakan Pemuda Islam dan Front Hizbullah itu
berencana membongkar karena menilai monumen yang diresmikan tahun 1963 itu sebagai
simbol komunisme. Namun demikian, patung pemberian Uni Soviet terkait dengan tuntutan PKI
untuk mempersenjatai buruh dan tani itu hingga kini tetap berdiri megah.
Pertentangan juga terjadi dalam menanggapi lukisan abstrak di Indonesia tahun 1960an. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), onderbow PKI, menentang perwujudan seni abstrak
karena tidak dapat digunakan sebagai alat perjuangan politik. Sebaliknya, seniman dan
budayawan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) membela karya abstrak dan segala bentuk
2
kebebasan ekspresi lainnya. Keadaan seperti itu menyerupai situasi di Uni Soviet tahun 1940an.
Tiga kasus di atas dapat dilihat sebagai benturan nilai estetis, kasus pertama antara Islam
dengan Liberalisme, kasus kedua antara Islam dengan Sosialisme, dan kasus ketiga antara
Sosialisme dengan Liberalisme.
Jika pola benturan diperluas, maka daftar kasus akan semakin panjang, baik benturan
yang melibatkan masyarakat Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, maupun lainnya. Misalnya
adalah: fotografi Piss Christ bidikan Andres Serrano yang mencitrakan Yesus dalam genangan
air kencing; album Iwan Fals Manusia Setengah Dewa yang dianggap menggambarkan Dewa
Wisnu yang setengah-setengah; patung Buddha pada Buddha Bar di Menteng, patung Buddha
di tengah kenikmatan duniawi; atau film The Passion of the Christ tentang kekejaman Yahudi.
Tulisan ini lebih terkonsentrasi pada benturan nilai estetis antara peradaban
Liberalisme, Sosialisme, dan Islam. Masalah pertama dalam tulisan ini adalah: mengapa
benturan itu dapat terjadi?
Kini, pada benturan estetis antara Islam dengan peradaban lain, terutama peradaban
Liberalisme, nilai estetis Islam terkesan kuno, tidak keren, ndeso, atau ketinggalan zaman. Umat
Muslim tidak mampu berbuat banyak terhadap karya seni yang tidak sesuai dengan Islam, atau
bahkan terhadap karya seni yang menyerang Islam. Sebagai contoh, dalam kasus perobohan
patung tokoh pewayangan Hindu oleh umat Islam di Purwakarta, kaum Muslim disebut sebagai
tunabudaya (T., 2011: A10). Maka, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa umat Islam kini
tersudut ketika terjadi benturan estetis? Pertanyaan terakhir, yang bersifat praktis, adalah
bagaimana cara umat Islam mengatasi persoalan tersebut?
B. METODE PENELITIAN
Penelitian kualitatif ini ada dalam ranah filsafat. Tipe penelitian yang digunakan, sebagaimana
klasifikasi Kaelan (2005: 34-41, 255-274), adalah problem filosofis. Objek materialnya berupa
problem filosofis dalam bidang estetika, yaitu persoalan benturan estesis. Objek formalnya
adalah filsafat itu sendiri khususnya pada cabang estetika. Sumber data penelitan berasal dari
kepustakaan. Penyimpulan dilakukan dengan cara induktif aposteriori, yaitu penyimpulan
dijalankan setelah pengumpulan dan analisis data.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Dari Ideologi hingga Nilai Estetis
Karena Liberalisme, Sosialisme, dan Islam merupakan ideologi, maka tinjauan terhadap
ideologi mesti dilakukan sebelum melangkah pada benturan estetis. Pada 1797, istilah ideologi
mulai digunakan oleh Antoine Destutt de Tracy. Filsuf Perancis yang ikut menyebarkan gagasan
Pencerahan ini mengusulkan sebuah ilmu pengetahuan baru tentang pikiran, idea-logy. Ia
menjelaskan bahwa semua pikiran didasari pada sensasi fisik; dan menurutnya, pikiran yang
terbebas dari prasangka agama dan metafisika akan menjadi landasan bagi masyarakat yang adil
dan damai (Lelland, 2005: 8-9).
Berbeda dengan de Tracy yang menyingkirkan agama dalam ideologi, Taqiyuddin anNabhani (2001: 24-37) menyatakan bahwa Islam, selain Kapitalisme dan Sosialisme, adalah
ideologi. Ideologi (mabda), menurut pemikir dari Palestina ini, memiliki dua aspek, yaitu akidah
atau kepercayaan yang diperoleh berdasarkan akal (aqidah aqliyah) dan peraturan yang terlahir
darinya; dengan demikian ideologi meliputi aspek pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah).
Akidah didefinisikan sebagai pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan
kehidupan; serta tentang keberadaan dan hubungannya dengan sebelum dan setelah kehidupan.
Dengan kata lain, akidah adalah worldview atau pandangan hidup, pandangan seseorang tentang
dunia dan atau kehidupan (Purwanto, 2007: 1).
Tentu saja, ideologi hanya dapat berjalan bila ada masyarakat. Di antara limpahan
definisi masyarakat yang ada, an-Nabhani (2011: 33) menyatakan bahwa masyarakat
merupakan kumpulan individu yang berinteraksi terus menerus dalam satu kesatuan perasaan
dan pemikiran karena terdapat peraturan yang menjaga. Aspek perasaan dalam masyarakat
inilah yang bersinggungan dengan estetika, khususnya estetika sosiologis. Berbeda dengan
ekonomi yang menjadi aspek metode dari ideologi, estetika ada pada ranah perasaan yang
terpancar dari ideologi.
3
Salah satu aspek penting dalam estetika adalah nilai estetis. Nilai estetis merupakan
tolok ukur yang digunakan subjek untuk menimbang keindahan atau kejelekan objek, atau untuk
menyukai maupun tidak menyukai suatu objek estetis.
Kendati tidak seluruhnya sama, konsep benturan estetis ini terkait dengan konsep
benturan peradaban yang disampaikan Samuel P. Huntington (2010: 9; 2005: 53), yaitu konflik
antara orang-orang yang memiliki entitas budaya yang berbeda. Meskipun teori Huntington
sering disangkal (Bustam-Ahmad, 2003: 49-90), benturan tersebut merupakan sebuah
keniscayaan dan terus berlangsung sepanjang sejarah (Hizbut Tahrir, 2002: 159); estetika, dalam
konteks nilai estetis, berada dalam bingkai peradaban.
2. Ideologi Liberalisme
Liberalisme, Kapitalisme, maupun Demokrasi ada di satu paket ideologi (Russell, 2007: 646).
Ketiganya bermula di Inggris, sebagai negara demokrasi yang politiknya liberal dan
ekonominya kapitalis (Syam, 2010: 249).
Awal gagasan Liberalisme ditandai keruntuhan otoritas gereja dan penguatan sains pada
akhir Abad Kegelapan. Serbuan sains pertama kali terjadi saat publikasi teori Nicolas
Copernicus tahun 1530, tentang heliosentris, yang diperkuat oleh Johanes Kepler tahun 1609
dan Galileo Galilei tahun 1610 (Armstrong, 2011: 301-310; Russell, 2007: 646). Sekarang,
ideologi inilah yang tengah merajai dunia.
a. Worldview Liberalisme: Deisme, Pragmatisme, Pluralisme
Keberadaan Tuhan dalam ideologi Kapitalisme masih dipercayai, tetapi Tuhan hanya
dianggap sebagai pencipta alam; setelah penciptaan, Ia tidak lagi terlibat dalam urusan dunia,
karena hukum alam telah mengaturnya (Purwanto, 2007, 45-46). Dunia adalah mesin yang
berjalan di bawah hukum mekanika, seperti arloji, tidak perlu campur tangan Tuhan (Kattsoff,
1992: 270). Kepercayaan seperti ini biasa disebut Deisme, tokoh besarnya adalah Isaac Newton
(Armstrong, 2011, 350-351).
Dalam fase kehidupan, karena Tuhan dianggap tidak memiliki campur tangan terhadap
kehidupan manusia, maka manusia bebas mengatur kehidupannya (Purwanto, 2007: 45-46).
Kebebasan terumuskan ketika John Locke mencetuskan konsep hak-hak alam, yaitu hak atas
hidup, kebebasan, dan kepemilikan (Budiardjo, 2008: 214). Pria Inggris kelahiran 1632 ini
adalah filsuf liberal pertama yang lengkap, dan filsuf paling berpengaruh kendati bukan paling
masyhur (Russell, 2007: 787). Dalam kehidupan liberal kini, asas manfaat paling banyak
diterapkan; sesuatu dikerjakan jika memiliki manfaat bagi diri dan orang lain. Asas ini
terangkum dalam etika pragmatisme, hal yang baik adalah yang dapat dipraktekkan dan
bermanfaat (Mangunhardjana, 2005: 189-192).
Setelah kehidupan ini, karena Tuhan Maha Pengasih, semua manusia akan memiliki
surganya masing-masing (Purwanto, 2007: 45-46). Keyakinan ini tidak terlepas dari paham
pluralisme yang menganggap ragam agama adalah jalan berbeda untuk menuju pada
keparipurnaan (the ultimate) yang sama (Husaini, 2005: 335). Yasraf Amir Piliang (2006: 406)
mencatat, pluralisme, yang berdasarkan keanekaragaman, yang mencerminkan kebebasan
memilih, adalah ciri khas mayarakat demokrasi liberal.
b. Negara Liberal: Demokrasi, Sekularisme, Nasionalisme, Kapitalisme, HAM
Bentuk negara liberal adalah Demokrasi. Greg Russell (tanpa tahun: 9) menyatakan,
Demokrasi yang tidak liberal bukan hanya tidak memadai melainkan juga berbahaya. Abraham
Lincoln, Presiden AS ke-16, dalam pidatonya menandaskan, “Demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Cincotta, 2001: 4). Ciri khas Demokrasi bukan pada
pemilihan pemimpin atau wakil rakyat dengan suara terbanyak, tetapi pada pemberian
kedaulatan di tangan rakyat untuk membuat hukum, “Vox populi vox Dei”. Adapun
implementasinya diatur dengan konsep trias politica yang dirancang Montesquieu (Budiardjo,
2008: 214).
Karena Demokrasi liberal masih mengenal Tuhan namun menyingkirkan peran-Nya
dalam kehidupan, maka konsep yang dikembangkan dalam bernegara adalah Sekulerisme.
Sekulerisme berarti pemisahan nilai-nilai agama dari tatanan negara (Husaini, 2005: 29).
4
Untuk menggantikan tali persatuan warna negara yang pada masa Gereja menggunakan
kerohanian, sistem Demokrasi menerapkan semangat nasionalisme, kebangsaan; dengan
bentuknya berupa negara bangsa (nation state). Nasionalisme beranggapan bahwa tapal batas
budaya sepadan dengan tapal batas politik, artinya, negara harus mencakup hanya orang
“berjenis sama” (Eriksen, 2009: 466). Benedict Anderson (2008: 8) dalam Imagined
Communities mendifinisikan bangsa (nation) sebagai komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang berbatas dan berdaulat. Adapun nasionalisme merupakan konstruk
ideologis diskursif yang dengannya bangsa itu dibayangkan. Singkat kata, nasionalisme adalah
komunitas terbayang (imagined communities). Daniel Dhakidae (2008: xvi ) berkomentar bahwa
nasionalisme telah menjadi “agama baru”.
Sistem ekonomi liberal yang dijalankan oleh Demokrasi adalah Kapitalisme di bawah
mekanisme pasar bebas. Dalam pasar bebas, negara tidak perlu melakukan campur tangan dalam
urusan ekonomi. Dengan demikian, kepemilikan dalam Kapitalisme mesti ada di tangan
individu, kaum kapitalis (Triono, 2011: 170-192; Subandi, 2011: 7).
Untuk menjaga nilai-nilai liberal, negara Demokrasi menciptakan parameter yang
dirumuskan dalam Human Right atau Hak Asasi Manusia (HAM). Agar mengakar, HAM
dijadikan sebagai proyek resmi PBB lewat Komisi HAM tahun 1946. Pada Preambule, HAM
didefinisikan sebagai, “Hak-hak yang menyatu pada diri kita secara natural dan tanpanya kita
tidak dapat hidup sebagai manusia” (Setiawati, 2002: 95). Di antara berbagai rumusan hak asasi,
pasal 19 menjamin hak untuk berpendapat (Budiardjo, 2008: 218-224).
c. Nilai Estetis Liberal: Kebebasan Berekspresi, Disinterest, Seni untuk Seni
Selaras dengan kebebasan dalam ekonomi, nilai estetis liberal pun mendewakan
kebebasan. Kebebasan berekspresi (freedom of expression) merupakan nilai estetis yang terus
diperjuangkan. Ini meliputi kebebasan untuk memilih pandangan hidup dan hak untuk
mengungkapkannya dalam berbagai manifestasi. Deklarasi Universal HAM menjadi bumper
seniman liberal untuk berekspresi, khususnya ada di Pasal 27, “Setiap orang berhak untuk turut
serta secara bebas dalam kehidupan kebudayaan masyarakat” (Smiers, 2009: 251-253). Sejalan
dengan pernyataan John Stuart Mill (1998: 16), seniman liberal bebas menciptakan apapun,
tidak ada batasan, sejauh kebebasannya tidak melanggar kebebasan orang lain; meskipun
demikian, pada prakteknya kebebasan berekspresi kerap melukai perasaan orang lain.
Cikal kebebasan dalam estetika Liberalisme tampak pada teori disinterest yang
disampaikan Immanuel Kant tahun 1790. Teori ini mensyaratkan bahwa ketika subjek
mengalami keindahan pada sebuah objek berarti ia tidak sedang berharap keuntungan atau
pamrih apapun dari objek tersebut (Prettejohn, 2005: 43-44; Townsend, 2006: 100; Sahman,
1993: 172). Dengan kata lain, objek yang dapat membangkitkan kondisi disinterest adalah objek
yang indah (Kant, 1979: 501-502).
Konsekuensi penerimaan teori disinterest, kata Prettejohn (2005: 47-49), berarti
pengabaian kaidah atau norma yang ada dalam karya seni; padahal sebelum teori itu ditelorkan,
parameter tersebut telah lama digunakan sebagai tolok ukur. Matius Ali (2011: 103) menulis,
disinterest tidak tergantung pada moralitas, manfaat, atau keuntungan pribadi.
i.
Aktivitas Penciptaan Seni Liberal
Semangat kebebasan atau pelepasan moral dalam penciptaan karya seni diejawantahkan
Edouard Manet dalam lukisan-lukisannya. Sebagai seniman liberal, Manet tidak tertarik pada
masalah “what to paint”, tetapi “how to paint”. Apa yang dilukis adalah tidak penting, yang
penting adalah garis, bentuk, dan warna (Sp., 2000: 49-51).
Paham tersebut semakin mengukuhkan konsep l’art pour l’art, atau art for art’s sake,
atau seni untuk seni, yang juga sering disebut aestheticism. Dalam nada sekuler filsuf Victor
Cousin menyatakan, “Kita mesti memiliki agama untuk agama, moral untuk moral,
sebagaimana seni untuk seni itu sendiri” (Whewell, 2009: 129). Gagasan seni untuk seni tidak
dapat dilepaskan dari teori disinterest (Cooper, 2009: 111). Gustave Flaubert, novelis Perancis,
memandang Art for Art’s sake sebagai sebuah agama (Eco, ed., 2002: 339).
Kemunculan L’art pour l’art dikaitkan dengan penulis Théophile Gautier (Harris, 2006:
22-23). Lalu spirit itu menyebar ke seluruh pelosok planet bumi. Hingga Arahmaiani, perupa
5
Indonesia, berkata, “Saya adalah pendukung kebebasan berekspresi yang menjadi hak semua
orang” (Redaksi Visaul Art, 2006: 59).
ii. Karya Seni Liberal
Seni untuk seni menjadi nafas karya seni liberal. Paham ini memandang nilai estetis
hanya terdapat pada properti internal karya seni yang dihargai pada dirinya sendiri, tidak
tergantung pada hal lain semacam agama, moral, atau etika.
Karena penuh kebebasan, karya seni seni liberal dapat berupa apapun. Wujudnya dapat
merepresentasikan soal seks tanpa mengenal tabu, benda sehari-hari yang tidak dikaitkan
dengan issu apapun, masalah sosial seperti layaknya karya sosialisme, bentuk abstrak, kisah
dalam Bibel, atau bahkan kaligrafi Arab.
Karya Edouard Manet, contohnya, meliputi tema berbagai hal. Masterpiecenya adalah
Le Déjeuner sur L’Herbe (Santap Siang di Rerumputan) yang menggambarkan wanita bugil di
acara makan siang; lukisan ini sempat menggemparkan masyarakat Perancis ketika dipamerkan
tahun 1863 karena dianggap mengganggu moralitas, mengusung pornografi (Farthing, 2006:
436). Seniman Perancis itu juga tidak sungkan melukis gambar bentuk, misalnya pada karya
Still Life with Melon and Peaches tahun 1866. Ia juga tidak gentar mengangkat persoalan sosial,
seperti hukuman tembak mati dalam karya The Execution of Emperor Maximilian tahun 1867.
3. Ideologi Sosialisme
Setelah Uni Soviet berkuasa sejak tahun 1922 hingga 1991, Sosialisme Komunisme tidak lagi
mendominasi dunia (Beers, 1983: 824-831). Negara China yang masih menerapkan Komunisme
hingga kini pun telah menjalankan ekonomi Kapitalisme (Taniputra, 2008: 558-603).
Namun demikian, paham Sosialisme Komunisme tidak begitu saja berakhir. Bahkan,
pustaka bernuasa ideologi ini kini mudah diperoleh di etalase toko. Buku Waktunya Tan Malaka
Memimpin terbitan Resist Book tahun 2012, amsalnya, tidak sungkan menebar gambar palu arit
(Prasetyo & Permana, 2012: passim). Sementara itu dalam dunia akademis, pemikiran Karl
Marx, pelopor Komunisme, nyaris tidak terelakkan untuk dipelajari. Malah, gagasan Marx
menjadi landasan teori kritis yang kini tengah menawan (Sim & Loon, 2008: passim).
a. Worldview Sosialisme: Atheisme, Dialektik Materialisme
Keberadaan Tuhan tidak lagi diakui dalam ideologi Sosialisme Komunisme. Materi
tidak memerlukan sebab. Alam semesta adalah kekal, tidak berawal (Purwanto, 2007: 45).
Adapun Tuhan, menurut Ludwig Feuerbach, hanyalah hasil proyeksi manusia (Armstrong,
2007: 455.). Gagsan ateisme seperti ini didukung beberapa filsuf: Nietzsche menyatakan,
“tuhan-tuhan telah mati” (Sunardi, 2006: 43); Marx memandang, Tuhan tidak menciptakan
manusia, tetapi justru manusialah yang menciptakan Tuhan. Dalam pandangan Materialisme
Feuerbach, materi bukanlah hasil dari pemikiran, tetapi pemikiran merupakan hasil tertinggi
dari materi (Ramly, 2007: 67,166). Jauh sebelum gagasan seperti itu dilahirkan pada abad ke19, materialisme atau pandangan bahwa alam semesta tidak terbatas dan tanpa permulaan telah
ada sejak zaman Yunani Kuno (Yahya, 2003: 5-6).
Untuk menjalani kehidupan, karena tidak ada Tuhan apalagi aturan-Nya, manusia bebas
bertindak; gerak kehidupan berada di bawah kendali hukum alam, seperti kaidah evolusi, seleksi
alam, dan dialektika materialisme (Purwanto, 2007: 45). Charles Darwin yang mempopulerkan
teori evolusi menyatakan bahwa manusia telah berevolusi secara trial and error, dan tidak ada
campur tangan Tuhan. Bukan hanya tidak ada bukti ilmiah untuk Tuhan, seleksi alam telah
menunjukkan bahwa bukti seperti itu tidak mungkin, demikian Darwin (Armstrong, 2011: 400).
Dialektika, menurut Hegel yang kelak diadaptasi Marx, adalah teori tentang persatuan hal-hal
yang bertentangan; proses perkembangan dunia bersifat dialektik, melalui tahap afirmasi atau
tesis, pengingkaran atau antitesis, dan akhirnya sampai pada integrasi atau sintesis (Santoso,
2009: 40-41). Adapun dialektika materialisme yang disusun Marx diartikan sebagai keseluruhan
proses perubahan yang terjadi terus-menerus menuju tingkatan yang lebih tinggi (Ramly, 2007:
110).
Dalam pandangan materialisme, setelah kematian, manusia tidak akan mengalami
kehidupan lagi. Kematian adalah bagian dari seleksi alam. Alam ini, sebagai materi, akan tetap
ada (Purwanto, 2007: 45). Kehidupan setelah kematian yang diajarkan oleh agama dianggap
6
omong kosong, karena perilaku orang beragama, sebagaimana dikatakan Sigmund Freud, mirip
dengan tingkah laku pasien neurotis (Pals, 2012: 98); menurutnya agama adalah aktivitas
perempuan, sementara ateisme mewakili manusia maskulin pascaagama yang sehat (Armstrong,
2011: 419). Adapun untuk Marx, agama adalah candu masyarakat (Ritzer & Goodman, 2010:
74).
b. Negara Sosialis: Komunisme, Sosialisme
Konsep dalektika materialisme digunakan Marx untuk menganalisa masyarakat sejak
zaman nomaden hingga zamannya, maka teorinya disebut materialisme historis (Budiardjo,
2008: 143; Ebendtein, 1961: 7-8). Menurut teori ini, karena terjadi pertentangan kelas antara
kaum kapitalis dengan proletar, masyarakat kapitalis akan berubah secara dialektis ke arah
komunis. Lenin mengintrodusir istilah Sosialisme untuk tahap pertama masyarakat komunis;
dan Komunisme merupakan tahap lanjut (Budiardjo, 2008: 146; Syafiie & Azikin, 2008: 2).
Secara umum, sosialisme berarti kepercayaan untuk melenyapkan segala penderitaan dan
kemelaratan yang dihadapi masyarakat (Noer, 1998: 188).
Istilah Komunisme menunjukkan kepemilikan bersama, atau sebuah masyarakat yang
sama rasa sama rata. Komunisme merupakan pemecahan masalah alienasi manusia yang
diciptakan Kapitalisme; harapannya adalah tiada pertentangan kelas dalam Komunisme (Syam,
2010: 172-173). Negara, kata Marx, akhirnya akan lenyap saat Komunisme tercapai, karena
tidak ada lagi manusia yang tertindas (Budiardjo, 2008: 153).
Istilah Demokrasi dalam paham Marxisme-Leninisme, seperti Demokrasi Proletar atau
Demokrasi Soviet, bukan Demokrasi dalam arti sesungguhnya. Pendukung Demokrasi
Konstitusional, dalam International Commition of Jurist, tidak mengakui kedemokrasiannya
(Budiardjo, 2008: 139).
Negara sosialis menerapkan ekonomi Sosialisme. Dalam sistem ini, kepemilikan
individu dihapuskan; sebagai pengganti, sumber daya ekonomi atau faktor produksi dikuasai
negara. Imbalan yang diberikan pada perseorangan didasarkan pada kebutuhan, bukan
berdasarkan jasanya. Pemerintah berkuasa penuh untuk menentukan apa yang harus diproduksi,
bagaimana cara memroduksi, dan untuk siapa hasil produksi didistribusikan (Subandi, 2011: 7).
Namun demikian, niatan Sosialisme untuk menghapuskan kelas proletar dan kelas borjuis dalam
sistem Kapitalisme telah menimbulkan kelas baru. Kelas pemerintah menjelma sebagai majikan
baru dan kelas rakyat menjadi buruh (Triono, 2011: 215).
c. Nilai Estetis Sosialis: Realisme Sosialis, Seni untuk Rakyat
Di bawah kondisi kapitalis, Marx mengkritik, seni menjadi satu bentuk kerja yang
teralienasi karena seni berubah status menjadi komoditas pasar. Dalam masyarakat komunis,
Marx membayangkan, melukis sebagai aktivitas profesional akan lenyap, seni akan
diintegrasikan dalam berbagai aktivitas masyarakat. Dengan kontrol sehat atas sarana produksi,
yaitu ekonomi yang diatur secara bersama, bukan pribadi per pribadi; aspek seni yang berfungsi
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat akan hadir dengan sendirinya (Soetomo, 2003: 3233). Dengan sinis filsuf Jerman kelahiran 5 Mei 1818 ini mengomentari keindahan dalam nafas
Kapitalisme, “Kendati buruk rupa, dengan uang aku dapat membeli wanita tercantik; dengan
demikian, kejelekan yang mengecilkan hati dapat dihilangkan oleh uang” (Eco, 2007: 10).
Sebagaimana ekonomi yang ingin dikuasai negara, ekspresi seni dalam ideologi
Sosialisme juga dikontrol penuh oleh pemerintah. Stalin memutuskan satu-satunya aliran seni
yang diizinkan adalah Realisme Sosialis (Pudjomartono, 2006: 14). Istilah ini agak berbeda
dengan realisme sosial (social realism) yang secara umum berarti karya seni yang diciptkan
untuk menyampaikan keadaan sesungguhnya dalam kehidupan; sedangkan Realisme Sosialis
(Socialist Realism) adalah tendensi eksplisit atas makna dan tujuan politis karya seni sebagai
propaganda aktivitas dan nilai-nilai Komunisme (Harris, 2006: 293-294). Di Uni Soviet,
terminologi yang pernah digunakan sebagai senjata dalam Perang Dingin ini pertama kali
muncul dalam jurnal sastra dan jurnal seni rupa tahun 1932 (Gombrich, 1995: 616; Taylor, 2007:
142).
i.
Aktivitas Penciptaan Seni Sosialisme
7
Seniman-seniman sosialis berupaya memperjuangkan paham politiknya dalam karya
seni. Di Meksiko, David Alvaro Siqueiros mengumandangkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Sosial,
Politik, dan Estetis tahun 1922, “Tujuan fundamental estetis kita adalah menjadi ekspresi artistik
sosial dan memusnahkan individualisme borjuis” (Honour & Fleming, 1984: 755). Mural
raksasa karya Diego Rivera di tembok-tembok Meksiko pun menjadi representasi ide Realisme
Sosialistik (Sp. 2000: 136-137).
Republik Rakyat China (RRC), yang terlahir dari Revolusi Proletar 1 Oktober 1948,
mengimpor parameter Realisme Sosialis dari Uni Soviet, mendatangkan pelukis Konstantin
Maksimov ke Beijing, dan mengirim banyak pelukis China ke Leningrat. Karya yang
terhasilkan berbentuk retorika politik, bombastik, berbau propaganda, memuja peran buruh, dan
mendewakan Mao. Di antara nama besar seniman terdapat Chen Danqing, Chen Yifei, dan Chen
Yanning (Soetriyono, 2006: 59-60).
Di Indonesia, di bawah PKI, Lekra mengadaptasi Realisme Sosialis (Burhan, 2003: 32).
Lembaga ini memiliki cabang realis dinamo yang memproduksi pertunjukan populer yang
disulam dengan propaganda (Holt, 2000: 366). Dalam terminologi Indonesia, Realisme Sosialis
yang diterapkan Lekra sering disebut dengan “Realisme Kerakyatan” (T., 2004: 13-15).
Kini, di Indonesia, kendati Komunisme telah dibubarkan, paham seni kerakyatan tetap
dipertahankan oleh Lembaga Budaya Kerakyatan “Taring Padi” yang didirikan tahun 1988.
Sebagaimana tercermin dalam Mukadimahnya, Taring Padi berlatar belakang kegelisahan pada
pemerintah yang hanya mengutamakan kepentingan ekonomi yang mengakibatkan seni hanya
menjadi produk budaya penghasil devisa. Kondisi itu, menurut Lembaga yang didirikan di
Yogyakarta ini, mengakibatkan alienasi atau penjauhan pemahaman seni antara pekerja seni
dengan rakyat (Arbuckle, 2000: 30 & 98).
E. H. Gombrich (1995: 616) mengingatkan, penerapan Realisme Sosialis sebagai satusatunya kaidah mengakibatkan seniman tidak dapat mengeksplorasi alternatif. Kontrol dari atas,
dari negara, kata penulis buku The Story of Art itu, menghilangkan kebebasan seniman.
ii. Karya Seni Sosialisme
Isi (content) sangat dipentingkan dalam lukisan Realisme Sosialis. Theodor W. Adorno
(1986: 327), salah satu anggota Sekolah Frankfurt, menyatakan bahwa apa yang membuat karya
seni penting secara sosial adalah isi yang mengartikulasikan diri melalui struktur bentuk.
Dengan demikian paham Realisme Sosialis, atau kontekstualisme secara umum, berseberangan
dengan formalisme yang sangat berpengaruh pada seni abstrak (Eaton, 2010: 108-109; Honour
& Fleming, 1984: 766). Formalisme, dengan tokoh utama Clive Bell dan Roger Fry, meyakini
bahwa aspek yang secara estetis penting adalah bentuk, bukan isi, karena dua karya dengan isi
yang sama dapat berbeda secara estetis (Eaton, 2010: 181; Carroll, 2001: 109). Maka tidak aneh
jika perupa abstrak, konstruktivisme, atau bentuk seni modern yang lain terpaksa menyingkir
dari Uni Soviet; El Lissiyzky pun melarikan diri ke Jerman (Honour & Fleming, 1984: 766).
Estetika Marxis atau estetika Sosialisme, menurut Henri Arvon (2010, passim),
mensyaratkan peran yang harus dimainkan seni dalam masyarakat sosialis, atau paling tidak
pada masyarakat yang berusaha membentuk Sosialisme. Dengan kata lain, estetika Sosialisme
meminta seni untuk mengemban tugas politik Komunisme. Singkat kata, nilai estetis Sosialisme
adalah seni untuk rakyat.
Sebelum Sosialisme berkuasa, karya seninya terasa keras memberontak sebagaimana
semangat Manifest der Kommunistichen Partei bahwa, “tujuan hanya berhasil dengan
merobohkan susunan masyarakat dengan kekerasan” (Ramly, 2007: 42). Kumpulan orang
berwajah garang yang tengah berjuang menegakkan kekuasaan menjadi tema seni rupa yang
diagungkan. Ketika ideologi itu berjaya, karyanya menjadi corong penguasa agar rakyat selalu
menjaga Sosialisme. Dalam poster, misalnya, muncul kanon-kanon visual; tangan
bergandengan berarti persatuan, kepalan tangan berotot bermakna tekat kuat, cerobong asap
pabrik melambangkan produktivitas, matahari terbit menggambarkan masa depan gemilang,
lokomotif menandakan kemajuan industri, serta palu maupun besi tempa menjadi penanda
perjuangan buruh dan efisiensi (Pudjomartono, 2006: 11).
4. Ideologi Islam
8
Kini ideologi Islam tidak sedang diterapkan di dunia. Akan tetapi eksistensinya pernah berjalan
lebih dari 13 abad, sejak Nabi Muhammad saw membentuk Negara Islam di Madinah pada tahun
622, hingga Kekhilafahan Islam berakhir tanggal 3 Maret 1924 saat Musthafa Kamal yang
disokong Inggris menggulingkannya (Armstrong, 2004: 16; An-Nabhani, 2009: 262; Colton
1985: 114).
Ke depan, kebangkitan ulang negara Khilafah diprediksi dalam berbagai kajian.
Penelitian Mapping Global Future yang digarap National Intellegence Council (NIC) (2004:
16) dari Amerika Serikat menyebutkan bahwa salah satu dari empat kemungkinan yang bakal
terjadi pada tahun 2020 adalah kemunculan Khilafah Islam (a New Calipate). Demikian pula,
Huntington (2010: passim) menyatakan bahwa Islam adalah salah satu peradaban besar yang
berpotensi bangkit dan mesti diwaspadai Barat.
a. Worldview Islam: Allah, Ibadah, Hisab
Keimanan yang membentuk pandangan hidup Islam diperoleh berdasarkan akal (dalil
aqli) maupun berlandaskan kutipan al-Quran dan hadis (dalil naqli). Keimanan berdasarkan akal
meliputi keimanan pada keberadaan Pencipta, kemukjizatan al-Quran, dan kenabian
Muhammad saw; keimanan berdasarkan kutipan (naqli) diterapkan pada hal gaib lainnya (AnNabhani, 2001: 14).
Cara untuk membuktikan keberadaan Pencipta adalah dengan memperhatikan alam.
Komponen alam memiliki sifat terbatas dan tiap komponen tergantung dengan komponen lain.
Sesuatu yang bersifat terbatas dan tergantung membutuhkan hal yang tidak terbatas dan tidak
tergantung, yaitu Pencipta (al-Khaliq). Dengan demikian, keberadaan Pencipta adalah
keniscayaan (wajibul wujud). Karena tidak terbatas, Pencipta tidak diciptakan oleh pencipta lain
atau menciptakan dirinya sendiri, tapi bersifat azali atau tidak berawal dan tidak berakhir (AnNabhani, 2001: 2-4). Maka, sebelum keberadaan alam, kehidupan, maupun manusia terdapat
penciptaan oleh Sang Pencipta, Allah swt.
Selanjutnya, berdasarkan naluri beragama yang perwujudannya dapat berupa
pengagungan terhadap sesuatu, manusia akan berusaha beribadah kepada Sang Pencipta. Untuk
beribadah, manusia memerlukan pedoman yang berasal dari-Nya; al-Quran merupakan
pedoman yang berasal dari-Nya. Ini dibuktikan dengan ayat yang berisi tantangan bagi orang
yang meragukannya. Para peragu diminta untuk membuat surat yang semisal dengan al-Quran
(An-Nabhani, 2001: 11). Tantangan semacam itu, antara lain, terdapat dalam surat al-Baqarah
ayat 23, “Dan jika kamu dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba
Kami (Muhammad), buatlah satu surat yang semisal dengannya, dan ajaklah penolongpenolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” Hingga kini tantangan tersebut
tidak terjawab. Ayat selanjutnya, al-Baqarah 24, mempertegas, “Maka jika kamu tidak dapat
membuat, dan pasti kamu tidak akan dapat membuat, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan
bakarnya berupa manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” Adapun
Muhammad saw yang membawa al-Quran, sebagai mukjizatnya, mengindikasikan
kedudukannya sebagai seorang nabi (An-Nabhani, 2001: 14).
Sesuai dengan al-Quran surat az-Zariyat ayat 56, kehidupan manusia mesti digunakan
untuk beribadah, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” Dengan demikian, bagi umat Islam, beribadah adalah suatu kewajiban
dalam menjalani kehidupan.
Setelah kehidupan ini, umat Islam, berdasarkan al-Quran yang telah dipahami berasal
dari Pencipta, mengimani keberadaan hari “perhitungan” (hisab). Surat Ibrahim ayat 51
menyatakan, “Agar Allah memberi pembalasan kepada tiap-tiap orang terhadap apa yang ia
usahakan. Sesungguhnya Allah Maha cepat hisab-Nya.” Orang yang perhitungan pahalanya
lebih banyak ketimbang dosanya akan mendapat surga, dan jika sebaliknya akan bersemayam
di neraka, ini seperti kandungan surat ar-Ra’d ayat 18. Singkat kata, setelah kehidupan dunia
ini, manusia akan berada di surga atau neraka.
b. Negara Islam: Khilafah, al-Quran dan Hadis sebagai Sumber Hukum
Berbeda dengan Kapitalisme atau Sosialisme yang menggunakan akal sebagai dasar
hukum, hukum Islam berlandaskan al-Quran dan hadis. Secara umum, peraturan Islam dapat
diklasifikasikan dalam tiga aspek, yaitu: hubungan manusia dengan Pencipta, hubungan
9
manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan manusia lain. Aspek pertama
meliputi perkara akidah dan ibadah; aspek kedua terkait dengan akhlak, makanan, dan pakaian;
aspek terakhir antara lain meliputi ekonomi, sosial, pendidikan, pemerintahan, politik luar
negeri, maupun uqubat (sanksi) (An-Nabhani, 2001: 79). Dengan demikian Islam merupakan
ideologi (mabda), yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, yang dibangaun
berdasarkan suatu akidah (worldview).
Ideologi Islam hanya dapat diemban dalam sistem pemerintahan Khilafah. Khilafah
adalah negara yang berdasarkan syariat Islam; kekuasaanya menyatukan seluruh dunia;
Khilafah hanya ada satu, tidak terbagi-bagi (Hizbut Tahrir, 2009: 3). Ciri negara ini terletak
pada cara pengangkatan pimpinan negaranya, khalifah, yaitu melalui baiat (Hizbut Tahrir, 2005:
10). Baiat adalah sumpah setia dan taat yang disampaikan masyarakat kepada khalifah.
Khilafah Islam menerapkan aistem ekonomi Islam. Sistem ini juga berdasarkan alQuran dan hadis. Pilar-pilar ekonomi Islam meliputi: kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan,
dan distribusi kekayaan (An-Nabhani, 2004: passim; Triono, 2011: 312).
c. Nilai Estetis Islam: Seni untuk Ibadah
Karena manusia diciptakan untuk beribadah, sebagaimana isi surat az-Zariyat ayat 56,
maka segala kegiatan manusia, dalam perspektif Islam, akan dikonstruksi dalam konteks ibadah.
Kata “ibadah” dalam ayat itu dimaknai secara luas oleh Ibnu Katsir (2004: 394-395), yaitu
menaati perintah Allah karena akan menghasilkan pahala dan menjauhi larangan-Nya karena
akan mendatangkan siksa pedih. Makna ibadah secara luas, yaitu ketundukan dan kecintaan
kepada Allah, juga digunakan Yusuf al-Qardhawy (1997: 81-110); bahkan, karena ibadah
mencakup semua aspek kehidupan, pelampiasan hasrat seksual pun, sejauh dilakukan sesuai
dengan syariat Islam, termasuk ibadah. Secara harfiah, ibadah (al-ibadah) berarti ‘ketaatan’.
Beribadah merupakan aktivitas yang disertai ruh Islam. Ruh di sini ada dalam
pengertian kesadaran manusia bahwa ia berhubungan dengan Allah (An-Nabhani, 2001: 101102). Untuk itu, dalam Islam, aktivitas berkesenian, jika dilakukan berdasarkan ruh Islam, juga
termasuk ibadah. Ini berarti menjalankan penciptaan karya seni sesuai dengan syariat yang
tertera dalam al-Quran maupun hadis. Makna ibadah tersebut dibedakan dengan makna ibadah
secara khusus (khassah/mahdah) yang berarti penyembahan kepada Allah yang oleh al-Quran
maupun hadis telah ditentukan secara pasti cara pelaksanaannya, seperti solat dan puasa; ibadah
dalam tulisan ini berarti ibadah secara umum (ammah) (Dewan, 1997, 143-146).
Ringkas kata, seni Islam adalah seni yang sesuai dengan syariat. Berkesenian adalah
aktivitas ibadah. Nilai estetis Islam adalah nilai yang sesuai dengan al-Quran dan hadis. Lebih
ringkas lagi, seni Islam adalah seni untuk ibadah.
i.
Aktivitas Penciptaan Seni secara Islami
Penciptaan karya seni adalah suatu bentuk aktivitas. Sementara itu, menurut fiqih
(hukum) Islam, aktivitas manusia dapat dihukumi: wajib, sunah, haram, makruh, atau mubah.
Ini berkesesuaian dengan kaidah fiqh yang menyatakan bahwa, “Hukum asal perbuatan hamba
terkait dengan hukum syara” (Khalil, 2010: 10-34; Zahrah, 2008: 30). Oleh karena itu, kegiatan
berkesenian dalam Islam memungkinkan untuk tersemat kelima kategori tersebut. Aktivitas
berkesenian yang tergolong haram, tentu saja, akan dilarang.
Maka tidak aneh, pembahasan tentang halal dan haram menyertai perjalanan
berkesenian dalam khasanah Islam. Philip K. Hitti (2010: 337) mencatat, pada masa Khilafah
Umayyah, penggarapan langgam seni rupa sulur-sulur arabisque terdorong oleh hadis larangan
penggambaran mahluk hidup. Tahun 1930-an, Kanjeng Pangeran Aryo Kusumodilogo menulis
tentang pembuatan wayang periode Majapahit akhir, “… wayang dan gamelan dalam buku fiqih
adalah haram. Para wali saling membantu mencipta wayang agar menghilangkan wujud gambar
(mahluk hidup)… wajah wayang dibuat miring, tangan dibuat panjang …” (Soelarto & Ilmi,
1982: 16-17).
Kesimpulan atas fiqih seni Islam bukan berarti tidak ada perbedaan. Hukum tentang
pembuatan figur mahluk hidup, misalnya, berbeda antara satu mujtahid (penggali hukum)
dengan mujtahid lain (al-Wadi’i, 2012: passim; An-Nabhani, 2003: 575-586; Al-Qardhawy,
1998: 106-108). Perbedaan pendapat merupakan hal biasa dalam Islam, bahkan telah terjadi di
kalangan sahabat Nabi (Ad-Dahlawi, 2010: passim). Semua pendapat adalah Islami sejauh
10
berdasarkan al-Quran atau hadis, bukan semata berdasarkan akal. Adapun kewajiban seorang
Muslim adalah melaksanakan hukum syara yang dipahami paling kuat (An-Nabhani, 2001: 108111). Dengan demikian, seniman Muslim ketika berkarya akan menggunakan hukum yang
menurut pemahamannya adalah yang paling kuat secara syar’i.
ii. Karya Seni Islam
Karya seni, terutama karya seni rupa, tergolong sebagai benda atau artefak. Dalam
Islam, kaidah fiqh tentang benda berbunyi, “Hukum asal atas benda adalah ibahah (halal) selama
tidak ada dalil yang mengharamkannya” (Khalil, 2010: 10-13). Dengan kata lain, hukum benda
hanya meliputi halal dan haram.
Konsep madaniyah dan hadlarah dapat digunakan sebagai patokan dalam menyikapi
karya seni rupa. Madaniyah adalah benda atau artefak yang digunakan dalam berbagai aspek
kehidupan, sedangkan hadlarah adalah mafahim atau ide yang diimplementasikan ke dalam
kehidupan. Berbeda dengan hadlarah yang selalu bersifat khas karena terkait dengan worldview
tertentu; madaniyah dapat bersifat khas dan dapat pula bersifat umum. Madaniyah yang bersifat
khas adalah benda yang oleh masyarakat dipersepsikan memiliki hadlarah tertentu; adapun
madaniyah yang bersifat umum tidak terkait dengan hadlarah tertentu atau merupakan hasil
produksi sains maupun teknologi (An-Nabhani, 2001: 92-98).
Umat Islam dapat menggunakan benda atau madaniyah yang bersifat umum dari
manapun asalnya; tapi dilarang memanfaatkan madaniyah yang berlandaskan hadlarah di luar
Islam. Sebagai contoh, telepon genggam boleh dipakai kendati tidak diciptakan oleh umat Islam
karena termasuk madaniyah umum; sedangkan patung Dewa Ganesha tidak boleh digunakan
karena tergolong madaniyah khas dari Hindu. Salah satu contoh pemanfaatan madaniyah umum
pada masa Nabi Muhammad saw adalah penggunaan baju besi untuk pasukan Islam; padahal
baju besi itu tidak dibuat oleh umat Islam, bahkan Rasulullah pernah menyewanya dari orang
musyrik. Adapun amsal tentang madaniyah khusus terlihat dalam peristiwa penolakan Nabi
Muhammad saw terhadap penggunaan terompet dan lonceng sebagai panggilan sholat, karena
terompet identik dengan Yahudi dan lonceng telah digunakan Nasrani (Al-Muafiri, 2009: 410
& 461-463). Dengan konsep madaniyah dan hadlarah umat Islam tidak akan secara membabibuta menutup diri maupun tergopoh-gopoh menerima semua benda yang datang dari luar Islam,
termasuk dari Barat.
Sementara itu, karya seni yang berupa aktivitas, sebagaimana seni pertunjukan, berada
dalam kaidah hukum perbuatan manusia. Dengan demikian hukumnya berkisar antara wajib,
sunah, mubah, makruh, dan haram.
Karya seni yang berupa konsep, seperti seni sastra, dapat mempertimbangkan
perbedaan ilmu dan tsaqafah. Tsaqofah merupakan pemahaman yang bersifat khusus,
dinisbahkan kepada masyarakat yang memunculkannya, berbeda dengan pemahaman
masyarakat lain; worldview di atas menjadi contoh. Adapun ilmu bersifat universal bagi seluruh
manusia; ilmu merupakan simpulan dari fakta terindera (An-Nabhani, 2003: 382-385). Umat
Muslim dapat mengambil ilmu (science) yang berasal dari manapun – berarti mubah, sunah,
atau wajib; dan wajib mengambil tsaqafah yang datang dari Islam; atau haram mengambil
tsaqafah yang datang dari luar Islam kecuali untuk ditunjukkan kelemahannya.
Berdasarkan konsep-konsep di atas, karya seni Islam dapat didefinisikan sebagai karya
seni yang tidak bertentangan dengan fiqih dan dipersepsikan memiliki keterkaitan dengan nilainilai keislaman. Kaligrafi Arab yang menyampaian ajaran Islam adalah contoh paling mudah
untuk ditunjuk, bukan kaligrafi Arab yang berisi ayat-ayat Bibel. Penciptaan karya seni secara
Islami belum tentu menghasilkan karya seni Islam; selain dapat melahirkan karya seni Islam,
penciptaan karya seni secara Islami juga memungkinkan untuk melahirkan karya inklusif atau
madaniyah yang bersifat umum. Lukisan abstrak karya Amir Hamzah, misalnya, adalah karya
seni yang mengadung nilai estetis inklusif yang dihasilkan dari aktivitas berkesenian yang
Islami, karena Dosen seni lukis dari ISI Yogyakarta itu memilih melukis abstrak untuk
menghindari penggambaran mahluk hidup yang dilarang oleh hadis. Untuk itu, tulisan ini
sekaligus mengajukan asumsi bahwa sulur-sulur arabesque, yang kerap disebut sebagai seni
Islami, bukanlah seni Islam, tetapi seni yang bersifat umum atau inklusif yang berasal dari
peradaban Islam. Di sisi lain, karya seni Islami dapat terlahir dari pencptaan seni yang tidak
Islami, bahkan dibuat oleh orang yang tidak beragama Islam. Arsitektur Masjid Istiqlal Jakarta
11
adalah contohnya; kendati arsiteknya, Frederich Silaban, beragama Protestan tetapi masjid itu
tetap menjadi karya seni Islam karena tidak bertentanan dengan fiqih dan dipersepsikan
memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai keislaman, seperti tempat untuk sholat berjamaah.
D. KESIMPULAN
Benturan estetis antara Liberalisme, Sosialisme, dan Islam adalah keniscayaan karena ketiganya
memiliki akar yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Perbedaannya terletak pada tataran
worldview, landasan hukum, bentuk negara, sistem ekonomi, dan pada gilirannya sampai hingga
nilai estetis.
Memang, terdapat berbagai upaya pemaduan ketiga kutub tersebut, seperti rekayasa
Islam Liberal, Islam Sosialis, Kapitalis Sosialis, atau bahkan Nasakom (Nasionalis, Agama,
Komunis). Akan tetapi, alih-alih mengalihkan benturan, keberadaannya berpotensi untuk
memunculkan varian benturan baru.
Adapun kondisi bahwa nilai estetis Islam sekarang terkesan ketinggalan zaman, ini
terjadi karena ideologi yang tengah berjaya di muka bumi adalah Liberalisme, bukan ideologi
Islam. Keadaan berbeda dapat ditemui ketika ideologi Islam masih diterapkan, misalnya,
Khalifah Abdul Hamid II melarang pemerintah Perancis dan Inggris saat akan mementaskan Le
fanatisme, ou Mahomet le Prophete karya Voltaire yang menghina Nabi Muhammad saw
(Junaedi, 2010: 119). Paling tidak, ketika kekhilafahan Islam masih tegak, langgam visual yang
berasal darinya juga diikuti budaya lain, misalnya, kursi pualam St. Pietro di Castello Venezia
yang meniru genre khat kufi (Safadi, 1986: 130).
E. SARAN
Agar nilai estetis Islam dapat kembali berjaya di muka bumi, maka penerapan Islam
secara keseluruhan (kaffah) menjadi persyaratannya. Ini berarti umat Islam mesti berdasarkan
worldview atau akidah Islam, mengimplementasikannya dalam sistem peribadahan, sistem
sosial, sistem negara, sistem ekonomi, maupun sistem kehidupan lainnya tanpa tebang pilih.
Penerapan sistem pemerintahan Islam hanya ada dalam bentuk negara Khilafah, bukan
mendirikan partai Islam tetapi masuk dalam sistem Demokrasi.
Memang, negara Khilafah kini tidak ada; tetapi trend perkembangan global sedang
menuju a New Calipate, sebagaimana hasil penelitian NIC. Hasil survei Pew Research Center
(PRC) (2013: 15) yang dilansir tanggal 30 April 2013, The World’s Muslims: Religion, Politics
and Society, menguatkan hal itu. Lembaga yang berbasis di Washington itu menghitung jumlah
pendukung syariah Islam di berbagai negara, antara lain: Rusia 42%, Afganistan 99%, Pakistan
84%, Irak 91%, Palestina 89%, Mesir 74%, Malaysia 86%, Indonesia 72%. Revolusi Arab
Spring, khususnya dalam kasus Suriah, juga mengarah ke sana. Awal Desember 2012, para
Mujahidin Suriah yang semakin menguasai medan bertekat menegakkan Khilafah (Mujiyanto,
2013: 4). Selain itu, di samping beberapa orang Islam yang skeptis tentang kemunculan ulang
Khilafah, opini penegakan Khilafah terus digemakan di berbagai kota dunia. Hadis dalam
Musnad Ahmad tentang Khilafah dengan metode Nabi (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah) yang
bakal kembali tertegakkan semakin menyemangati gerakan ini.
Sementara itu, sistem ekonomi Kapitalisme yang kini berkuasa tengah mendapat
tantangan. Krisis ekonomi terjadi di berbagai negeri yang menerapkan sistem itu. Amerika
Serikat, sebagi pusat Kapitalisme, menghadapi gerakan Occupy Wall Street. Semboyan utama
para pendemo adalah, “We are 99%.” Slogan ini sebagai bentuk protes atas kekayaan dan
pendapatan yang terkonsentrasi hanya pada 1% penduduk AS (Mujiyanto, 2011: 5). Krisis
finansial global pun masih berlanjut hingga kini (Rasytah, 2013: 55-58). Hal seperti itu telah
lama disadari para pengamat, salah satunya oleh Emmanuel Todd (2002: 242) dari Perancis
yang menyatakan, “Amerika sangat lemah baik secara ekonomi, militer, dan bahkan ideologi.”
Jika Khilafah yang dibangun berdasarkan ideologi Islam tertegakkan, nilai estetis Islam
sebagai nilai estetis yang dominan akan menyertainya. Nilai estetis Islam adalah nilai estetis
yang memakai al-Quran dan hadis sebagai parameter. Nilai estetis Islam adalah nilai estetis yang
berorientasi pada surga. []
DAFTAR PUSTAKA
12
Ad-Dahlawi. Beda Pendapat di Tengah Umat: Sejak Zaman Sahabat hingga Abad Keempat, terj. A. Aziz
Masyhuri. Yogyakarta: LKiS, 2010.
Adorno, Theodor. Aesthetic Theory. London dan New York: Routledge & Kegan Paul, 1986.
Ali, Matius. Estetika Pengantara Filsafat Seni. Tanpa kota: Sanggar Luxor, cetakan ke-3, 2011.
Al-Muafiri, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Jilid 1, Terj.
Fadhli Bahri. Jakarta: Darul Falah, cetakan ke-7, 2009.
Al-Qardhawy, Yusuf. Islam Bicara Seni, terj. Wahid Ahmadi, et al., Solo: Intermedia, 1998.
Al-Qardhawy, Yusuf. Pengantar Kajian Islam: Studi Analitik Komprehensif tentang Pilar-pilar
Substansial, Karakteristik, Tujuan, dan Sumber Acuan Islam, terj. Setiawan Budi Utomo.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997.
Al-Wadi’i, Muqbil bin Hadi. Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa, terj. Abu Kuhammad Qasim.
Yogyakarta: Pustaka al-Haura’, 2012.
Anderson, Benedict. Imagined Communities Komunitas-komunitas Terbayang, terj. Omi Intan Naomi,
dari Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Yogyakarta:
Insist, cetakan ke-3, 2008.
An-Nabhani, Taqiyuddin. Peraturan Hidup dalam Islam, terj. Abu Amin, et al. Bogor: Pustaka Thariqul
‘Izzah, cetakan ke-3, 2001.
__________. Kepribadian Islam (Asy-Syakhsiyah Al-Islamiyah), Jilid II, terj. Agung Wijayanto, et al.
Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, cetakan ke-5, 2003.
__________. Sistem Ekonomi Islam, terj. Hafidz Abd. Rahman, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, cetakan
ke-6, 2004.
__________. Daulah Islam, Terj. Umar Faruq. Jakarta: HTI Pres, cetakan ke-4, 2009.
Arbuckle,.Heidi Leanne. “Taring PAdi and the Politics of Radical Cultural Practice in Contemporary
Indonesia”, disetasi. School od Social Sciences, Curtin University of Technology, 2000.
Armstrong,.Karen. Islam A Short History: Sepintas Sejarah Islam, terj. Ira Puspito Rini. Surabaya: Ikon
Teralitera, cetakan ke-4, 2004.
__________. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi,
Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun, terj. Zaimul Am, Bandung: Misan Pustaka, cetakan ke11, 2007.
__________. Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Atheisme, terj. Yuliani
Liputo, Bandung: Mizan, cetakan ke-3, 2011.
Arvon, Henri. Estetika Marxis. Yogyakarta: Resist Book, 2010.
Beers, Burton F. World History Patterns of Civilitation. New Jersey: Prentice Hall, 1983.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Burhan, M. Agus. “Seni Rupa Modern Indonesia: Tinjauan Sosiohistoris”, dalam Adi Wicaksono et al.,
ed., Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia: Politik & Gender. Yogyakarta, Yayasan Seni Cemeti,
2003.
Bustam-Ahmad, Kamaruzzam, Satu Dasawarsa The Clash of Civilizations: Membongkar Politik Amerika
di Pentas Dunia. Yogyakarta: A-Ruzz Press, 2003.
Carroll, Noël. Beyond Aesthetics Philosophical Essays. New York: Cambridge University Press, 2001.
Cincotta, Howard. Apakah Demokrasi Itu? Tanpa kota: Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2001.
Colton, Joel & Para Editor Pustaka Time-Life. Abad Keduapuluh, terj. Roekmini M. Noor. Jakarta: Tira
Pustaka, 1985.
Cooper, David E. “Aesthetic Attitude”, dalam Stephen Davies, et al., ed., A Companion to Aesthetics.
West Sussex: Blackwell Publishing, edisi ke-2, 2009.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997).
Dhakidae, Daniel. “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas-komunitas
Terbayang”, dalam Benedict Anderson, Imagined Communities Komunitas-komunitas
Terbayang. Yogyakarta: Insist, cetakan ke-3, 2008.
Eaton, Marcia Muelder. Persoalan-persoalan Dasar Estetika, terj. Embun Kenyowati Ekosiwi. Jakarta:
Salemba Humanika, 2010.
Ebendtein, William. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Gita Karya, 1961.
Eco, Umberto ed., On Beauty: A History of Western Idea. London: Secker & Warburg, 2002.
Eco, Umberto. On Ugliness, terj. Alastair McEwen. London: Harvill Secker, 2007.
Eriksen, Thomas Hylland, Antropologi Sosial dan Budaya Sebuah Pengantar, terj. Yosef Maria Florisan.
Yogyakarta: Titian Galang Printika, 2009.
Farthing, Stephen. 1001 Paintings You Must See Before You Die. London: A Quintessence Book, 2006.
Gombrich, E. H. The Story of Art. London: Phaidon, edisi ke-16, cetakan ke-7, 1995.
Harris, Jonathan. Art History: The Key Concept. Oxon: Routledge, 2006.
13
Hitti,
Philip K. History of the Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, cetakan ke-2, 2010.
Hizbut Tahrir. Benturan Peradaban Sebuah Keniscayaan, terj. Abu Faiz. Jakarta: Hizbut Tahrir
Indonesia, 2002.
__________. Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah. Libanon: Darul Umah, 2005.
__________. Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Abu Afif dan Nur
Khalish. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, cetakan ke-3, 2009.
Holt, Claire. Melacak Jejak Seni Perkembangan di Indonesia, terj. R.M. Soedarsono. Bandung: Arti.line,
2000.
Honour, Hugh & John Fleming, A World History of Art. London: Laurence King, Cetakan ke-4, 1984.
Huntington, Samuel P. “Benturan Peradaban?”, dalam Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005.
__________. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Terj. M. Sadat Ismail.
Yogyakarta: Qalam, cetakan ke-11, 2010.
Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal. Jakarta:
Gema Insani, 2005.
Junaedi, Deni. “Bendera Khilafah: Representasi Budaya Visual dalam Perubahan Global”, makalah
Seminar Budaya Visual dan Perubahan Global. KMI ISI Yogyakarta: FSR ISI Yogyakarta, 11
Maret 2013.
Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta, Paradigma, 2005.
Kant, Immanuel. “Critique of the Aesthetical Judgment”, dalam W.E. Kennick, Art and Philosophy
Reading in Aesthetic. New York: St. Martin’s Press, cetakan ke-2, 1979.
Katsir, Ibnu. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 7, terj. Salim Bahreisy & Said Bahreisy. Surabaya:
Bina Ilmu, 2004.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargo. Yogyakarta: Tiara Wacana, cetakan ke5, 1992.
Khalil, Atha bin. Ushul Fiqih: Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terj. Yasin as-Siba’i.
Bogor:Pustaka Thariqul Izzah, cetakan ke-3, 2010.
Lelland, David Mc. Ideologi Tanpa Akhir, terj. Muhammad Syukri. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Mangunhardjana, A. Isme-Isme dalam Etika: dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius, cetakan ke-7, 2005.
Mill, John Stuart. On Liberty. Pennsylvania: Pennsylvania State University, 1998.
Mujiyanto, “2013: Tahun Berdirinya Khilafah?”, dalam Media Umat. Jakarta, Edisi 96, 4 – 17 Januari
2013.
__________. “Anti Kapitalisme Mendunia”, dalam Media Umat. Jakarta, Edisi 69, 4 – 17 2011.
National Intelligence Council. Mapping the Global Future. Pennsylvania: Government Printing Office,
2004.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan, cetakan ke-3, 1998.
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion, terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiCoD, cetakan
ke-2, 2012.
Pew Research Center. The World’s Muslims: Religion, Politics and Society. Washington: Pew Research
Center’s Forum on Religion & Public Life, 2013.
Piliang, Yasraf Amir. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebdayaan. Yogyakarta:
Jalasutra, 2004, cetakan kedua 2006.
Prasetyo, Eko & Aditya Permana. Waktunya Tan Malaka Memimpin. Yogyakarta: Resist Book, 2012.
Prettejohn, Elizabeth. Beauty and art 1750‒2000. New York: Oxford University Press, 2005.
Pudjomartono, Susanto. “Mengapa Poster Rusia”, dalam katalog Pameran Poster Rusia. Yogyakarta:
Bentara Budaya Yogyakarta, 22 – 29 November 2006.
Purwanto, Yadi. Epistemologi Psikologi Islami: Dialektika Pendahuluan Psikologi Barat dan Psikologi
Islam. Bandung: Refika Aditama, 2007.
Ramly, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis.
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, cetakan ke-5, 2007.
Rasytah, Atha Abu. Krisis Finansial Global Belum Berakhir, majalah al-Wa’ie, disarikan oleh Redaksi.
Jakarta: No. 159, Tahun XIV, 1-30 November 2014.
Redaksi Visaul Art. “Galeri Wawancara”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts. Jakarta, April – Mei
2006.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhis Teori Sosiologi Postmodern, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi
Wacana, cetakan ke-5, 2010.
Russell, Bertarnd. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno
hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et al. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan ke-3, 2007.
14
Russell, Greg. “Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi: Amerika dan Negara-Negara Lain”, dalam
Demokrasi. Tanpa kota: Office of International Information Programs U.S. Departement of
State, tanpa tahun.
Safadi, Hamin Yasin. Kaligrafi Islam, terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta: Pantja Simpati, 1986.
Sahman, Humar. Estetika Telaah Sistemik dan Historik. Semarang: IKIP Semarang Press, 1993.
Santoso, Listiyono. “Paradigma Materialisme Dialektis dalam Epistemologi Karl Marx”, dalam Listiyono
Santoso, et al., ed. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, cetakan ke-6, 2009.
Setiawati, Trias. “Perempuan dan HAM: Peta Permasalahan dan Agenda Aksi”, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu
Sosial Unisia. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, No. 44/XXV/I/2002.
Sim, Stuart & Borin van Loon. Memahami Teori Kritis, terj. Tim Resist. Yogyakarta: Resist Book, 2008.
Smiers, Joost. Arts Under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di era Globalisasi, terj.
Umi Haryati. Yogyakarta: INSIST Press, 2009.
Soelarto, B. & S. Ilmi, Wayang Beber di Gelaran. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Jakarta Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981-1982.
Soetomo, Greg. Krisis Seni Krisis Kesadaran. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Soetriyono, Eddi. “Menunggu Ikan Lewat”, dalam majalah Visual Art. Jakarta, No. 14, AgustusSeptember 2006.
Sp., Soedarso. Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta,
2000.
Subandi. Sistem Ekonomi Indonesia. Bandung: Alfabeta, 2011.
Sunardi, St. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS, cetakan ke-5, 2006.
Syafiie, Inu Kencana & Andi Azikin. Perbandingan Pemerintahan. Bandung Refika Aditama, cetakan
ke-2, 2008.
Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia
Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara, cetakan ke-2, 2010.
Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia
ke-3. Jakarta: Bumi Aksara, cetakan ke-2, 2010.
T., Agus Dermawan. “Samar-samar Latar Politik Lekra dan Bumi Tarung”, dalam majalah Visual Art.
Jakarta, No. 27, Oktober-November 2008.
__________. “Tabiat Merusak Patung”, dalam Koran Tempo. 28 September 2011.
Taniputra, Ivan. History of China. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008.
Taylor, Brandon. “Socialist Realism: “To Depict Reality in Its Revolutionary Development””, dalam
Matthew Beaumont, ed., Adventures in Realism. Malden: Blackwell Publishing, 2007.
Todd, Emmanuel. Menjelang Keruntuhan Amerika. Surabaya: Bone Pustaka, 2002.
Townsend, Dabney. Historical Dictionary of Aesthetics. Toronto: Oxford, 2006.
Triono, Dwi Condro. Ekonomi Islam Madshab Hamfara. Tanpa kota: Irtikaz, 2011.
Whewell, David. “Aestheticism”, dalam Stephen Davies, et al., ed., A Companion to Aesthetics. West
Sussex: Blackwell Publishing, edisi ke-2, 2009.
Yahya, Harun. Keajaiban pada Atom, terj. Ary Nilandari. Bandung: Zikra, 2003.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’shum, et al. Jakarta: Pustaka Firdaus, cetakan
ke-12, 2008.
***
Download