6 Macam Perjanjian Indonesia Belanda dan Penjelasannya Salah satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan merupakan perjuangan diplomasi, yaitu perjuangan melewati meja perundingan. Jika Belanda hendak menanamkan kembali kedaulatannya di Indonesia, teryata memperoleh perlawanan dari bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, pemimpin Sekutu berusaha mempertemukan antara pemimpin Indonesia dengan Belanda dengan melewati perundinganperundingan, antara lain: Perundingan Hooge Veluwe Sebelum diadakan perjanjian antara Belanda dengan Republik Indonesia di Belanda. Sebelumnya telah ada dialog antara keduanya yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 10 Februari sampai 12 Maret 1946. Dalam perundingan ini pihak Indonesia yang diwakilkan oleh Sutan Syahrir berhasil mencapai titik perundingan dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara de facto terdiri dari Jawa dan Sumatra oleh Belanda dengan wakilnya Van Mook disertai penengah dari Inggris A. Clark Kerr dan Lord Killearn. Namun perundingan ini mengalami permasalahan di tingkat pejabat Belanda di Den Haag, pejabat di Den Haag cenderung mengabaikan hasil perundingan yang diadakan di Jakarta ini. Usaha untuk terus mencapai kedaulatan telah diupacayakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia mengirim perwakilannya untuk berunding dengan pemerintah Belanda di Den Haag agar Belanda segera mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dalam perundingan ini wakil-wakil Indonesia diwakilkan oleh; Mr. Soewandi (menteri kehakiman), Dr Soedarsono (ayah MenHanKam Juwono Soedarsono yang saat itu menjabat menteri dalam negeri), dan Mr Abdul Karim Pringgodigdo dan dipihak Belanda yang dimpimpin langsung Perdana menteri Schermerhorn. Dalam delegasi ini terdapat Dr Drees (menteri sosial), J.Logeman (menteri urusan seberang), J.H.van Roijen (menteri luar negeri) dan Dr van Mook (selaku letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda). Perundingan dilaksanakan di Hooge Veluwe pada tanggal 14-24 April 1946 dan berlangsung sangat alot sebab delegasi Belanda ini mengabaikan perundingan yang telah disepakati sebelumnya di Jakarta. Perundingan Hooge Veluwe membahas pokok permasalahan, antara lain: Substansi konsep perjanjian atau protokol sebagai bentuk kesepakatan penyelesaian persengketaan yang akan dihasilkan nantinya oleh perundingan Hoge Veluwe. Membahas yang diajukan dalam konsep protokol Belanda seperti Persemakmuran (Gemeenebest); negara merdeka (Vrij-staat). Membahas struktur negara berdasarkan federasi. Membahas mengenai batas wilayah kekuasaan de facto RI, yang hanya meliputi pulau Jawa. Pihak Belanda terus bersikeras untuk menolak hasil perundingan sebelumnya di Jakarta (Van Mook dan Syahrir) dengan alasan pemerintah Belanda saat itu karena untuk dapat menerima hasil perundingan di Indonesia, Undang-undang Dasar Belanda harus berubah dahulu. Ini akan makan waktu lama. Padahal Belanda sedang menghadapi pemilihan umum yang tidak beberapa lama lagi akan berlangsung. Perjanjian Linggarjati Perjanjian Linggarjati dilakukan pada tanggal 10-15 November 1946 di Linggarjati, dekat Cirebon. Perjanjian tersebut dipimpin oleh Lord Killearn, seorang diplomat Inggris. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini masalah gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut: Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia. Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata. Hasil Perundingan Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut: Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia. Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. Artikel Terkait: 45 Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli Lengkap Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 15 November 1946 mendapat tentangan dari partai-partai politik yang ada di Indonesia. Sementara itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 tentang penambahan anggota KNIP untuk partai besar dan wakil dari daerah luar Jawa. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan susunan KNIP. Ternyata tentangan itu masih tetap ada, bahkan presiden dan wakil presiden mengancam akan mengundurkan diri apabila usaha-usaha untuk memperoleh persetujuan itu ditolak. Akhirnya, KNIP mengesahkan perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Februari 1947, bertempat di Istana Negara Jakarta. Persetujuan itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Apabila ditinjau dari luas wilayah, kekuasaan Republik Indonesia menjadi semakin sempit, namun bila dipandang dari segi politik intemasional kedudukan Republik Indonesia bertambah kuat. Hal ini disebabkan karena pemerintah Inggris, Amerika Serikat, serta beberapa negara-negara Arab telah memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Persetujuan itu sangat sulit terlaksana, karena pihak Belanda menafsirkan lain. Bahkan dijadikan sebagai alasan oleh pihak Belanda untuk mengadakan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Bersamaan dengan Agresi Militer I yang dilakukan oleh pihak Belanda, Republik Indonesia mengirim utusan ke sidang PBB dengan tujuan agar posisi Indonesia di dunia internasional semakin bertambah kuat. Utusan itu terdiri dari Sutan Svahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko, dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Kehadiran utusan tersebut menarik perhatian peserta sidang PBB, oleh karena itu Dewan Keamanan PBB memerintahkan agar dilaksanakan gencatan senjata dengan mengirim komisi jasa baik (goodwill commission) dengan beranggotakan tiga negara. Indonesia mengusulkan Australia, Belanda mengusulkan Belgia, dan kedua negara yang diusulkan itu menunjuk Amerika Serikat sebagai anggota ketiga. Richard C. Kirby dari A.ustralia, Paul van Zeeland dari Belgia, dan Frank Graham dari Amerika Serikat. Di Indonesia, ketiga anggota itu terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Perjanjian Renville Perjanjian Renville diambil dari nama sebutan kapal perang milik Amerika Serikat yang dipakai sebagai tempat perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda, dan KTN sebagai perantaranya. Dalam perundingan itu, delegasi Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan pihak Belanda menempatkan seorang Indonesia yang bernama Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua delegasinya. Penempatan Abdulkadir Wijoyoatmojo ini merupakan siasat pihak Belanda dengan menyatakan bahwa pertikaian yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda merupakan masalah dalam negeri Indonesia dan bukan menjadi masalah intemasional yang perlu adanya campur tangan negara lain. Setelah melalui perdebatan dan permusyawaratan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Juni 1948 maka diperoleh persetujuan Renville. Isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut: Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah federal. RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Negara Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda. Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS. Kerugian-kerugian yang diderita bangsa Indonesia dari perjanjian Renville adalah sebagai berikut: Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya Negara Indonesia serikat melalui masa peralihan. Indonesia kehilangan sebagian daerahnya karena garis Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda. Pihak republik harus menarik seluruh pasukannya yang ada di daerah kekuasaan Belanda dan dari kantong-kantong gerilya masuk daerah RI. Wilayah RI menjadi semakin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan Belanda. Terjadi Hijrah TNI ke pusat pemerintahan di Yogyakarta. Terjadinya pemberontakan DI/TII. Terjadinya pemberontakan PKI di Madiun 1948. Jatuhnya kabinet Amir Syarifudin diganti dengan Moh.Hatta. Perjanjian Roem-Royen Perjanjian ini adalah perjanjian pendahuluan sebelum KMB. Salah satu kesepakatan yang dicapai adalah Indonesia bersedia menghadiri KMB yang akan dilaksanakan di Den Haag negeri Belanda. Untuk menghadapi KMB dilaksanakan konferensi inter Indonesia yang bertujuan untuk mengadakan pembicaraan antara badan permusyawaratan federal (BFO/Bijenkomst Voor Federal Overleg) dengan RI agar tercapai kesepakatan mendasar dalam menghadapi KMB. Komisi PBB yang menangani Indonesia digantikan UNCI. UNCI berhasil membawa Indonesia-Belanda ke meja Perjanjian pada tanggal 7 Mei 1949 yang dikenal dengan persetujuan Belanda dari Indonesia yaitu: Menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta. Menghentikan gerakan militer dan membebaskan para tahanan republik. Menyetujui kedaulatan RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat. Menyelenggarakan KMB segera sesudah pemerintahan RI kembali ke Yogyakarta. Artikel Terkait: Operasi Trikora Persetujuan Indonesia dari Belanda meliputi sebagai berikut: Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya. Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan. Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat. Peristiwa-peristiwa penting realisasi Roem-Royen Statement adalah sebagai berikut: Penarikan tentara Belanda secara bertahap dari Yogyakarta dari 24 Juni sampai 29 Juni 1949. Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta tanggal 1 Juli 1949. Presiden,wakil presiden dan para pejabat tinggi Negara kembali ke Yogyakarta tanggal 6 Juli 1949. Jendral Sudirman kembali ke Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949. Konferensi Inter Indonesia Konferensi Inter Indonesia merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung dalam BFO (Bijenkomst Voor Federal Overslag) Konferensi Inter Indonesia berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 yang dipimpin oleh Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta. Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dapat dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi InterIndonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanaklannya Konferensi Inter-Indonesia. Soekarno menyebut konferensi ini sebagai “trace baru” bagi arah perjuangan Indonesia. Konferensi ini banyak didominasi perbincangan mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai susunan kenegaraaan berikut hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Konferensi Inter-Indonesia penting untuk menciptakan kesamaan pandangan menghadapi Belanda dalam KMB. Konferensi diadakan setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta. Konferensi Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19 – 22 Juli 1949. Konferensi InterIndonesia I dipimpin Mohammad Hatta. Konferensi Inter-Indonesia II diadakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli – 2 Agustus 1949. Konferensi InterIndonesia II dipimpin oleh Sultan Hamid (Ketua BFO). Pembicaraan dalam Konferensi Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan pada masalah pembentukan RIS, antara lain: Masalah tata susunan dan hak Pemerintah RIS, Kerja sama antara RIS dan Belanda dalam Perserikatan Uni. Sementara hasil Konferensi Inter-Indonesia adalah disepakatinya beberapa hal berikut ini. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme (serikat). RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden. RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari kerajaan Belanda. Angkatan perang RIS adalah angkatan perang nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS. Pembentukkan angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri. Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti dari TNI dan KNIL serta kesatuan-kesatuan Belanda lainnya. Sidang kedua Konferensi Inter Indonesia di selenggrakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli dengan keputusan sebagai berikut: Bendera RIS adalah Sang Merah Putih Lagu kebangsaan Indonesia Raya Bahasa resmi RIS adalah Bahsa Indonesia Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO. Konferensi Meja Bundar Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen. Sebelum KMB dilaksanakan, RI mengadakan pertemuan dengan BFO (Badan Permusyawaratan Federal). Konferensi Meja Bundar dilatarbelakangi oleh usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roiyen, dan Konferensi Meja Bundar. Realisasi dari perjanjian Roem-Royen adalah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Konferensi tersebut berlangsung selama 23 Agustus sampai 2 November 1949. Konferensi ini diikuti oleh delegasi Indonesia, BFO, Belanda, dan UNCI. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak. Delegasi Belanda diketuai oleh J. H Van Maarseveen. Sebagai penengah adalah wakil dari UNCI oleh Critley R. Heremas dan Marle Cochran. Hasil dari persetujuan KMB adalah sebagai berikut: Belanda menyerahkan dan mengakui kedaulatan Indonesia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali Indonesia akan berbentuk Negara serikat (RIS) dan merupakan uni dengan Belanda. RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda. RIS harus menanggung semua hutang Belanda yang dibuat sejak tahun 1942. Status karisidenan Irian akan diselesaikan dalam waktu 1 tahun setelah penyerahan kedaulatan RIS. Makna dari Persetujuan KMB yaitu merupakan babak baru dalam perjuangan sejarah Indonesia. Meskipun merupakan Negara serikat tetapi wilayahnya hampir mencakup seluruh Indonesia. Eksistensi pemerintah RI di mata dunia internasional makin kuat. Artikel Terkait: Pengertian NATO, Sejarah, Anggota Serta Tujuannya Konferensi Meja Bundar diikuti oleh perwakilan dari Indonesia, Belanda, danperwakilan badan yang mengurusi sengketa antara Indonesia-Belanda. Berikut ini paradelegasi yang hadir dalam KMB, antara lain: Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo. BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak. Belanda diwakili Mr. van Maarseveen. UNCI diwakili oleh Chritchley. Setelah melakukan perundingan cukup lama, maka diperoleh hasil dari konferensi tersebut. Hasil dari KMB adalah sebagai berikut: Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949. Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS. Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda yang dikepalai Raja Belanda. Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS. Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang TentaraKerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa paraanggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI. Konferensi Meja Bundar memberikan dampak yang cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Karena sebagian besar hasil dari KMB berpihak pada bangsa Indonesia, sehingga dampak positif pun diperoleh Indonesia. Pelaksanan KMB dapat memberikan dampak bagi beberapa pihak. Dampak dari Konferensi Meja Bundar bagi Indonesia adalah sebagai berikut: Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan segera dapat dimulai. Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat. Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Selain dampak positif, Indonesia juga memperoleh dampak negatif, yaitu belum diakuinya Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Sehingga Indonesia masih berusaha untuk memperoleh pengakuan bahwa Irian Barat merupakan bagian dari NKRI. Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan “penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan” yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, “akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara”. Tekait utang Hindia-Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.