Uploaded by User55945

CAHAYA

advertisement
** CAHAYA **
Allah itu cahaya, dan yang lain dari Dia tidak ada cahaya.
Setiap cahaya adalah Dia, dan cahaya keseluruhan adalah Dia juga.
Cahaya itu adalah sesuatu yang men-dzahirkan atau yang menampakkan yang lain atau lebih tinggi
lagi yaitu sesuatu yang dengannya dan untuknya yang lain di-dzahirkan bahkan lebih tinggi dari itu
lagi yaitu sesuatu yang dengannya untuk dirinya dan dirinya yang lain ter-dzahirkan.
Cahaya yang sebenarnya ialah sesuatu yang dengannya, untuknya, dan diri yang lain itu ter-dzahirkan
atau ternampakan.
Cahaya ialah yang bercahaya dengan sendirinya.
Cahaya itu timbul dalam dirinya, dari dirinya dan untuk dirinya.
Cahaya tidak datang dari sumber yang lain.
Cahaya yang demikian itu tidak lain tidak bukan hanya Allah saja.
Bahwa langit dan bumi ini dipenuhi oleh cahaya, ada dua peringkat cahaya, yaitu pandangan mata dan
pandangan akal.
Cahaya yang pertama itu ialah apa yang kita lihat di langit seperti matahari, bulan dan bintang, dan apa
yang kita lihat di bumi, seperti cahaya yang menerangi seluruh muka bumi, yang menampakkan semua
warna dan bentuk, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya, dan jika tiada cahaya ini maka
tidaklah kita melihat warna, atau tidak ada warna.
Tiap-tiap bentuk dan ukuran besar atau kecil yang terlihat oleh kita adalah diketahui oleh warna, dan tidak
mungkin melihatnya tanpa warna.
Berkenaan cahaya Akal, maka ‘Alam tinggi’ itu dipenuhi oleh cahaya itu, yaitu seperti kejadian
Malaikat, dan ‘Alam rendah’ ini pun dipenuhi oleh cahaya itu yaitu seperti hidup (Nyawa) binatang dan
hidup manusia.
Susunan atau keadaan Alam rendah ini didzahirkan dengan cahaya Malaikat.
Inilah susunan atau keadaan yang disebut oleh Allah;
“Dialah yang membentuk kamu dari tanah, dan menampakkan kamu di permukaan bumi, dan Dia
menjadikan kamu sebagai Khalifah”
Bahwa seluruh alam ini dipenuhi oleh cahaya pandangan dzahir dan cahaya Akal Batin, dan juga cahayacahaya tingkat rendah ini dipancarkan atau dikeluarkan dari satu kepada yang lain. seperti cahaya yang
keluar dan muncul dari sebuah lampu, sementara lampu itu sendiri ialah cahaya
Cahaya Kenabian yang tinggi. Ruh-ruh Kenabian itu dinyalakan dari Ruh-ruh yang tinggi, seperti lampu
dinyalakan api tadi, dan ruh-ruh yang tinggi ini dinyalakan dari satu kepada yang lain.
Susunan ini adalah bertingkat-tingkat keatas. Semua ini naik, dan naik ke atas sampai ke cahaya diatas
segala cahaya. Sumber dan puncak segala cahaya yaitu Allah.
Semua cahaya-cahaya lain adalah pinjaman dari Allah dan Dialah cahaya sebenarnya. segalanya datang
dari cahayaNya, bahkan Dialah segala-galanya.
Dialah yang sebenarnya ada. Tiada cahaya kecuali Dia. Cahaya yang lain hanya cahaya wajah yang
menyertaiNya, bukan timbul dari diri mereka sendiri. dengan demikian, wajah dan segala sesuatunya
menghadap kepada Dia
Firman Allah; “Kemana saja mereka memalingkan muka, di situ ada Wajah Allah”.
Tiada Tuhan selain Dia, karena perkataan “TUHAN” itu menunjukkan sesuatu yang kepada Nya semua
muka menghadap dalam ibadah dan dalam penyaksian Dialah Tuhan.
Saya (Imam Ghazali) mengartikan muka atau wajah manusia adalah hati manusia, karena hati itulah
cahaya dan Ruh.
Bahkan sebagaimana; “TIADA YANG DISEMBAH MELAINKAN DIA”, maka begitulah juga ; “TIADA
YANG MENYEMBAH SELAIN DIA”, karena perkataan “DIA” itu membawa maksud sesuatu yang boleh
ditunjuk
Tetapi dalam tiap-tiap peristiwa dan keadaan kita boleh menunjuk saja.
Setiap kali menunjuk sesuatu, tunjukkan itu pada hakekatnya adalah kepada Dia, meskipun tidak sadar
oleh karena ketidak tahuan tentang hakekat dari segala hakekat,
Seseorang itu tidak mungkin menunjuk cahaya matahari, tetapi boleh menunjuk matahari.
Maka begitu juga halnya dengan hubungan semua makhluk dengan Allah.
Perumpamaan hubungan makhluk dengan Allah adalah seperti hubungan cahaya matahari dengan
matahari.
Oleh karena itu, ucapan “TIADA TUHAN SELAIN ALLAH” adalah ucapan Tauhid kebanyakan orang.
Tetapi ucapan tauhid sedikit orang (yang mempunyai Makrifat) ialah “TIDAK ADA DIA MELAINKAN
DIA”.
Yang pertama untuk orang awam, dan yang kedua itu untuk “orang khusus”.
Yang kedua itu lebih benar, lebih tepat dan lebih sesuai. sudah sewajarnya orang yang mengucap
demikian itu memasuki Alam Keesaan (Uluhiyah) dan Ketunggalan yang Maha suci dan
Mutlak, Kerajaan Yang Maha Esa dan Maha Tunggal, dan inilah peringkat atau kedudukan terkahir
kenaikkan manusia. Tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dari itu lagi. karena “NAIK” itu melibatkan banyak
tingkatan seperti melibatkan dua tingkatan naik “DARI” dan naik “KE”.
Apabila jumlahnya tingkatannya telah lenyap, maka berdirilah Keesaan.
Perbandingan tidak ada lagi, semua isyarat atau pengucapan dari “SINI” ke “SANA” pun tidak ada lagi.
Tidak ada lagi “TINGGI” atau “RENDAH”. Tidak ada “ATAS” atau “BAWAH”.
Dalam tingkatan tersebut, naik ke atas lagi bagi Ruh, tidak mungkin, karena tidak ada lebih tinggi daripada
yang Paling tinggi.
Tidak ada tingkat-tingkat di samping Esa dan Tunggal.
Di sini tingkatan telah habis.
Tidak ada kenaikkan ‘Mikraj’ lagi untuk jiwa dan ruh.
Jika ada pun, itu adalah “Pertukaran disini”.
Maka pertukaran itu ialah “Turun ke langit yang paling rendah” cahayanya dari atas turun
kebawah, karena yang paling tinggi itu, meskipun tidak ada lebih tinggi lagi dari tingkat itu, tetapi ada
yang rendah. Inilah matlumat (tempat paling tinggi) dari segala matlumat.
Tempat paling tinggi ialah matlumat terakhir yang dicari oleh ruh, yang diketahui oleh mereka yang tahu
dan kenal saja, tetapi dinafikan oleh mereka yang tidak tahu. Ini termasuk dalam bidang Ilmu
Tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali orang yang mempunyai Makrifat.
Sekiranya mereka menceritakan ilmu ini, maka ia akan dinafikan oleh orang-orang yang ‘jahil’ tentang
Allah.
Tidak ada salahnya orang-orang yang mempunyai Makrifat ini menyebut; “Turun ke langit yang paling
rendah” yaitu turunnya seorang malaikat, meskipun seorang daripada mereka itu telah tuduh membuat
keterangan yag kurang wajar.
Dia tenggelam dalam Keesaan Allah, dan berkata, bahwa Allah telah “Turun ke langit paling
rendah” bahwa penurunan ini adalah penurunannya, diibaratkan kepada cara-cara keadaan Alam
dzohir, maka digunakan perumpamaan tersebut.
Dia (orang yang tenggelam dalam Keesaan Allah itu) itulah yang dimaksudkan oleh sabda Nabi
Muhammad saw.;
“Aku menjadi telinganya yang dengannya dia mendengar, matanya yang dengannya dia melihat,
lidahnya yang dengannya dia bercakap”.
Jika Nabi itu menjadi telinga,
mendengar, melihat, bercakap.
mata
dan
lidah
Allah,
maka
Dialah juga yang dimaksudkan dengan dengan firmanNya kepada Nabi Musa;
“Aku sakit, tetapi engkau tidak mengunjungi Aku”.
Allah
sajalah
yang
Menurut ini, pergerakan badan orang-orang yang betul-betul beriman dengan Kesaan Allah itu adalah dari
langit yang paling rendah itu, dan Akalnya dari langit yang lebih tinggi dari langit yang kedua itu.
Dari langit Akal itu dia naik ke atas ke tempat di mana makhluk tidak boleh naik lagi, yaitu Kerajaan
Ketuhanan Yang Maha Esa,
Tujuh lapis dan setelah itu “Dia duduk di atas singgahsana” tauhid dan disitu “Memerintah” seluruh
lapisan-lapisan langit itu.
Orang telah tamat pengembaraan sedemikian rupa, maka ayat ini boleh dipakai kepada dia; “Allah
menjadikan Adam menurut bayanganNya” Apabila ayat ini direnungi dan difikirkan secara
mendalam, maka diketahulah bahwa maksudnya adalah serupa dengan kata-kata;
“Akulah Yang Haq (Tuhan)”. “Maha suci Aku” atau sabda Nabi saw.
bahwa Allah berfirman;
“Aku sakit, tetapi engkau tidak mengunjungi Aku” dan “Akulah telinganya, matanya dan lidahnya”.
Baiknya sekarang kita hentikan pembahasan ini karena saya (Imam Ghazali) pikir saudara belum pernah
mendengar lebih dari apa yang telah saya sampaikan ini
INGAT DIRI
Sebenar-benar diri kita ialah Roh diri kita sendiri.
Orang-orang yang lupa pada diri itu berarti orang yang lupa kepada roh.
Orang yang lupa kepada roh berarti orang yang lupa kepada Allah dan orang yang lupa kepada Allah,
termasuk kedalam golongan orang yang tidak mengenal diri.
Bilamana kita tidak dapat mengenal diri maka tidaklah ia dapat mengenal Allah.
“Tidak kenal Allah, maka tidak akan ingat kepada Allah”
Bagi mereka yang telah mengenal diri, tidak akan mereka menjadi lupa kepada roh.
Mereka yang tidak lupa kepada diri itu tandanya mereka tidak lupa kepada tuhannya Allah Ta’ala.
Allah berfirman: “Keluarlah engkau dari Surga ini, karena tidak pantas engkau berlaku sombong (lupa
diri) di dalamnya; oleh sebab itu keluarlah, sesungguhnya engkau dari golongan yang hina”.
Mereka yang duduk didalam surga (mengenal diri) tidak seharusnya ada sifat lupa.
Bila lupa akan diri, itu tandanya sombong. Bila sombong menyebabkan lupa diri, bila lupa diri, maka lupa
pula kepada Allah.
Bagi yang masih ada menyimpan sifat lupa kepada diri artinya juga menyimpan sifat lupa kepada Allah.
Apabila kita lupa kepada Allah, menyebabkan kita keluar dari surga Allah. Sebagaimana yang terjadi
kepada Adam dan Hawa, ketika memakan buah khuldi.
Ingkarnya Adam dan Hawa daripada perintah Allah dengan memakan buah khuldi itu, tidak
menyebabkan murka Allah. Yang menjadi kemurkaan Allah ialah lupa kepada Allah selama
memakannya.
Durhaka untuk mematuhi “INGAT” kepada Allah itu, adalah satu perkara yang tidak dapat diampunkan
Allah.
Dosa lupa dan lalai itu, menandakan kita telah mensyirikkan Allah.
Karena lupa untuk memandang kepada diri sendiri menyebabkan kita lupa kepada Allah, apabila lupa
kepada Allah menyebabkan kita tersingkir dari nikmat surga.
Apabila kita lupa untuk memandang kepada diri sendiri dengan sendirinya membuatkan kita lupa untuk
memandang Allah. Bilamana lupa untuk memandang Allah, menyebabkan hati kita mudah terpaut untuk
memandang dunia sebagai tuan.
Apabila kita tidak dapat menikmati nikmat “INGAT” kepada Allah tidaklah Allah itu dapat terdzahir pada
sekalian alam.
Bilamana Allah tidak dapat didzahirkan atau dinyatakan itulah yang dikatakan lupa atau lalai.
Karena lupa atau lalai kepada Allah walaupun sesaat, Syaidina Ali menyebut dirinya “Kafir”
Begitu besarnya martabat atau derajat ingat kepada Allah. Apabila kita telah dapat mengenal diri
Walaupun kita telah dapat nikmat surga Allah, namun surga dan nikmat mengenal diri itu, lebih baik dan
lebih bahagia dari surga akhirat.
Surga akhirat nikmatnya hanya akan dapat dinikmati semasa di alam akhirat saja. Sadangkan surga
mengenal diri itu, akan dapat dinikmati selama hayat masih berada didalam dunia hingga sampai kealam
akhirat.
Nikmat surga dunia dan surga akhirat itu adalah bagi mereka-mereka yang tidak lupa kepada Allah
Download