Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia 1 1. EROSI DAN DEGRADASI LAHAN KERING DI INDONESIA Ai Dariah, Achmad Rachman, dan Undang Kurnia Lahan kering didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu. Lahan kering di Indonesia meliputi luas lebih dari 140 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2002). Menurut BPS (2001), sekitar 56 juta ha lahan kering di Indonesia (di luar Maluku dan Papua) sudah digunakan untuk pertanian. Berdasarkan luasan, lahan kering merupakan sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia. Namun demikian, optimalisasi pemanfaatan lahan kering di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan, diantaranya dalam hal penanggulangan degradasi lahan. Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan adalah timbulnya areal-areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis. Berdasarkan data Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1993) terdapat 17,35 juta lahan kritis di areal lahan pertanian. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) di 11 propinsi di Indonesia terdapat 10,94 juta ha lahan kritis. Berdasarkan data di 11 propinsi tersebut, diperkirakan luas lahan kritis di seluruh wilayah indonesia akan lebih besar lagi. Erosi sebagai penyebab utama degradasi lahan kering di Indonesia Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan. Hal ini sehubungan dengan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan, terutama di Indonesia Bagian Barat. Bahkan di Indonesia Bagian Timur pun yang tergolong daerah beriklim kering, masih banyak terjadi proses erosi yang cukup tinggi, yaitu di daerah-daerah yang memiliki hujan dengan intensitas tinggi, walaupun jumlah hujan tahunan relatif rendah (Abdurachman dan Sutono, 2002; Undang Kurnia et al., 2002). Faktor lereng juga merupakan penyebab besarnya potensi bahaya erosi pada usaha tani lahan kering. Di Indonesia, usaha tani tanaman pangan banyak dilakukan pada lahan kering berlereng. Hal ini sulit dihindari, karena sebagian besar lahan kering di Indonesia mempunyai kemiringan lebih dari 3% dengan bentuk wilayah berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung, yang meliputi 77,4% dari seluruh daratan (Hidayat dan Mulyani, 2002). Lahan yang tergolong 2 Dariah et al. datar seluas 42,6 juta ha atau 22,6% dari luas seluruh dataran (Abdurachman dan Sutono, 2002), biasanya digunakan untuk persawahan, pemukiman dan fasilitas umum, atau tanah marginal yang tidak produktif bila digunakan untuk pertanian. Tanah yang peka erosi dan praktek pertanian yang tidak disertai upaya pengendalian erosi juga turut menentukan tingkat kerawanan lahan-lahan pertanian terhadap erosi. Tingkat erosi yang semakin meningkat dengan meningkatnya kegiatan penduduk membuka tanah-tanah pertanian tanpa pengelolaan yang benar, telah ditunjukkan oleh hasil penelitian van Dijk dan Vogelzang (1948 dalam Arsyad, 2000) di Sub Daerah Aliran Sungai Cilutung (DAS Cimanuk). Dari hasil analisis perkiraan kandungan sedimen Sungai Cilutung pada tahun 1911/1912 mereka mendapatkan besarnya erosi sekitar 13,2 t ha-1 tahun-1, ekivalen dengan 0,9 mm lapisan tanah. Pengukuran yang dilakukan pada tahun 1934/1935 menunjukkan peningkatan erosi lebih dari dua kali laju erosi pada tahun 1911/1912 yakni 28,5 t ha-1 tahun-1 atau ekivalen dengan 1,9 mm lapisan tanah. Di dalam masa antara tahun 1948-1969 besarnya erosi telah meningkat menjadi 120 t ha-1 tahun-1 atau 8,0 mm tahun-1. Dames (1955 dalam Abdurachman dan Sutono, 2002) juga melaporkan bahwa sekitar 1,6 juta ha tanah di bagian Timur Jawa Tengah (Yogyakarta, Surakarta, sebagian Karesidenan Semarang dan JeparaRembang), telah mengalami erosi berat seluas 36,0%, erosi sedang 10,5%, erosi ringan 4,5% dan tidak tererosi 49,0%. Selanjutnya Partosedono (1977) menunjukkan bahwa laju erosi di DAS Cimanuk, Jawa Barat, mencapai 5,2 mm tahun-1, mencakup areal 332 ribu ha. Tingkat bahaya erosi lahan pertanian khususnya yang ditanami tanaman semusim tanpa tindakan konservasi tanah ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian skala petak. Hasil penelitian Suwardjo (1981) pada tana Oxisol Citayam, Jawa Barat dengan lereng 14%, laju erosi mencapai 25 mm tahun-1. Hasil penelitian pada tanah Ultisol Lampung menunjukkan laju erosi mencapai 3 mm-1 tahun-1, padahal kemiringan lahan hanya 3,5%. Pada kemiringan lahan 9-10%, Abdurachman et al (1985) melaporkan bahwa erosi pada tanah Alfisol di Putat, Jawa Tengah mencapai 15 mm tahun-1, dan pada Alfisol di Punung, Jawa Timur mencapai 14 mm tahun-1. Penelitian Konservasi Tanah di Indonesia Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Selanjutnya dinyatakan bahwa usahausaha konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air. Konservasi air pada prinsipnya penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia 3 pertanian se-efisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Teknik atau metode konservasi tanah dan air dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu: (1) teknik konservasi vegetatif (metode vegetatif), sering juga disebut sebagai teknik konservasi (metode) biologi; (2) teknik konservasi mekanik (metode mekanik), disebut juga sebagai teknik konservasi sipil teknis; dan (3) teknik konservasi kimia (metode kimia). Serangkaian penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan suatu teknik konservasi tanah dan air yang sesuai untuk kondisi lahan di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai lembaga. Salah satu lembaga yang telah banyak melakukan penelitian metode konservasi tanah dan air adalah Pusat Penelitain dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak). Kegiatan penelitian konservasi tanah di lembaga ini dimulai sejak tahun 1970. Penelitianpenelitian tersebut diantaranya meliputi perbaikan sifat fisik tanah, pengendalian erosi, dan pengelolaan air. Penelitian perbaikkan sifat fisik tanah dengan menggunakan soil conditioner, (seperti emulsi aspal, polyacrylamide/PAM, dan emulsi bitumen) telah dilakukan oleh Puslitbangtanak sejak tahun 1970, Namun, hasil dari penelitian tersebut sulit diterapkan pada level petani, karena bahan-bahan yang digunakan sulit didapat dan harganya relatif mahal. Oleh karena itu, sejak tahun 1976, penelitian perbaikkan sifat fisik tanah lebih diarahkan pada penggunaan bahan alami yang mudah didapat, yakni bahan organik yang bersumber dari sisa-sisa tanaman dan bahan hijauan dari tanaman penutup tanah, tanaman pagar, tanaman strip dan lain-lain, serta pupuk kandang. Perbaikkan sifat fisik tanah dilakukan pula dengan mengembangkan teknik pengolahan tanah yang tepat (olah tanah konservasi/OTK). Penelitian rehabilitasi telah dilaksanakan pada tanah yang rusak karena (1) pengaruh alat-alat berat pada waktu pembukaan lahan, (2) erosi, dan (3) pencemaran oleh limbah pabrik (diantaranya pabrik tekstil), residu pestisida, kegiatan pengeboran minyak bumi, tambang batu bara, dan penambangan mas. Kegiatan penelitian pengendalian erosi meliputi: (1) pengembangan model (metode) prediksi erosi. Dan (2) penelitian untuk mencari dan/atau mengkaji teknik pengendalian erosi. Metode (model) prediksi yang paling banyak dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia adalah USLE (Universal Soil Loss Equation). Dalam rangka pengembangan model tersebut, Puslitbangtanak telah melakukan beberapa penelitian untuk mendapatkan nilai faktor-faktor R (erisivitas hujan), K (erodibilitas tanah), C (vegetasi dan pengelolaan tanaman) dan P (konservasi tanah). Hasil penelitian ini sering digunakan untuk menginventarisasi tingkat bahaya erosi dan perencanaan penggunaan lahan serta pemilihan alternatif teknik konservasi tanah. Model USLE hanya sesuai untuk digunakan pada skala usahatani, oleh karena itu oerlu dikembangkan 4 Dariah et al. suatu modelprediksi erosi untuk skala yang lebih luas (skala DAS) yang sesuai untuk kondisi Indonesia. Penelitian teknologi pengendalian erosi lebih banyak dilakukan untuk penyempurnaan teknologi yang telah ada, diantaranya meliputi: (1) Teras bangku dan teras gulud, yang ditekankan pada penelitian penggunaan berbagai tanaman penguat teras (rumput atau legume tree) pada bibir teras bangku dan teras gulud tersebut untuk stabilitasi teras dan sumber pakan; (2) rorak; (3) pertanaman lorong, yang bertujuan untuk mendapatkan jenis tanaman pagar (hedgerow crop) yang sesuai; (4) penggunaan mulsa (baik mulsa konvensional maupun mulsa vertikal); (5) strip rumput, terutama efektifitas berbagai jenis rumput di berbagai lokasi di Indonesia dan faktor persaingan antara tanaman rumput dan tanaman utama, dan (6) penelitian dan pengembangan teknik konservasi pada lahan sayuran telah dilakukan di berbagai sentra produksi sayuran. Penelitian konservasi tanah dan pengelolaan air khususnya pada lahan kering telah dilakukan dengan mengembangkan teknik-teknik pemanenan air, peningkatan kemampuan tanah menahan air (water holding capacity), dan berbagai teknik pemberian air (irigasi). Selain dilakukan secara on-station/off-farm research (tidak melibatkan petani), penelitian konservasi tanah dan ait telah dilakukan juga dengan melibatkan petani (on-farm research), dengan tujuan untuk mendapatkan suatu teknik konservasi tanah dan air yang selain sesuai secara biofisik juga sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya petani. Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbangtanak di berbagai lokasi (khususnya lahan kering) di Indonesia disajukan pada Tabel 1. Tabel 1. Berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan, serta teknologi yang telah dihasilkan oleh Puslitbangtanak Tahun/periode Bentuk/penelitian/output A. On-station (tidak melibatkan petani) a1. Perbaikan sifat fisik tanah 1970-1980 - Soil conditioner 1976-2004 - Teknik/pengelolaan bahan organik tanah 1997-1998 - Teknik pengolahan tanah a2. Pengendalian erosi 1974-1992 - Pengembangan model prediksi erosi (USLE) 1974-2003 - Teknik pengendalian erosi (secara mekanik dan vegetatif Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia 5 Tabel 1. lanjutan Tahun/periode Bentuk/penelitian/output a3. Rehabilitasi lahan 1973-2005 - Teknik rehabilitasi lahan kering terdegradasi 2000-2003 - Teknik rehabilitasi lahan tercemar: logam berat, residu pestisida, limbah industri 1993-1996 - Teknik rehabilitasi lahan bekas tambang a4. Konservasi dan Pengelolaan air 1973-1980 - Teknik pengelolaan air pada lahan sawah 1973-2004 - Teknik pengelolaan air pada lahan kering G. Penelitian konservasi tanah dalam sistem usahatani (on-farm /melibatkan petani dan on-stasion 1982-1988 b1. Proyek Citanduy II 1984-1994 1986-1995 b2. Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T) b3. Proyek Pembangunan Penelitian Peryanian Nusa Tenggara (P3NT) 1990-1993 b4. Penelitian Peningkatan produktivitas dan konservasi tanah untuk mengatasi perladangan berpindah 1992-1996 b5. Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis DIY (YUADP-Componen 8) 1993-1999 b6. Proyek Penelitian Usahatani Lahan kering-UFDP (Upland Farmers Development Project) 1995-2000 b7. Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering b8. Managing of soil Erosion Consortium (MSEC) 1999-2004 Teknik konservasi tanah sebagai kunci usaha tani lahan kering berkelanjutan Salah satu masalah pokok yang kita hadapi dalam pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya petani, adalah bagaimana sumber daya alam tersebut dapat dimanfaat secara efisien dan lestari baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (Munandar, 1995). Usaha tani dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, bila penerapan teknik konservasi tanah senantiasa menjadi prioritas. 6 Dariah et al. Agar teknik konservasi tanah dapat diterapkan secara tepat, efektif, dan efisien, diperlukan perencanaan yang baik dan terarah. Untuk perencanaan konservasi tanah diperlukan data erosi, yang dapat diperoleh dengan cara melakukan pengukuran langsung di lapangan. Namun, pengukuran di lapangan memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Salah satu cara yang cepat dan murah yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan penaksiran atau prediksi. Data erodibilitas tanah merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan baik dalam hubungannya dengan prediksi erosi maupun perencanaan konservasi tanah. Salah satu hal yang perlu disadari oleh para perencana dan pengambil kebijakan adalah bahwa menghilangkan erosi pada lahan usaha tani sangatlah tidak mungkin, karena gangguan terhadap lahan pertanian sebagai pemicu erosi sulit dihindari. Oleh karena itu dalam perencanaan konservasi tanah perlu juga ditetapkan nilai atau jumlah erosi yang masih dapat diabaikan, diharapkan tidak akan terjadi penurunan produktivitas tanah, dan tanah tersebut dapat berproduksi secara lestari. Seperti diketahui, bahwa besarnya erosi pada sebidang lahan ditentukan oleh faktor-faktor penyebab erosi, yaitu iklim, tanah, topografi, pengolaan tanaman/tumbuh-tumbuhan, dan aktivitas manusia. Oleh sebab itu, dalam penanggulangan masalah erosi dan perencanaan teknik konservasi tanahnya harus didasarkan kepada faktor-faktor penyebab erosi tersebut. Akan tetapi, faktor-faktor erosi tersebut ada yang muda dikuasai atau dikontrol, dan ada pula yang tidak mudah dikontrol. Faktor penyebab erosi yang tidak mudah dikontrol, pengaruhnya dapat diubah secara tidak langsung, yaitu dengan menerapkan teknik konservasi tanah. Penerapan teknik konservasi tanah dengan mengurangi derajat kemiringan lahan dan panjang lereng merupakan salah satu cara terbaik mengendalikan erosi. Hal ini dapat ditempuh dengan menggunakan metode konservasi tanah baik secara mekanik maupun vegetatif. Pada prakteknya, metode konservasi tanah mekanik dan vegetatif sulit untuk dipisahkan, karena penerapan metode konservasi tanah mekanik akan lebih efektif dan efisien bila disertai dengan penerapan metode vegetatif. Sebaliknya, meskipun penerapan metode vegetatif merupakan pilihan utama, namun perlakuan fisik mekanis seperti pembuatan saluran pembuangan air (SPA), bangunan terjunan (drop structure), dan lain-lain masih tetap diperlukan. Tanah-tanah di Indonesia tergolong peka terhadap erosi, karena terbentuk dari bahan-bahan yang relatif mudah lapuk. Erosi yang terjadi akan memperburuk kondisi tanah tersebut, dan menurunkan produktivitasnya. Oleh karena itu, penerapan teknik konservasi tanah tidak hanya ditujukan untuk mengandalikan erosi, melainkan juga untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah yang telah terdegradasi. Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia 7 Tanah akan semakin peka terhadap erosi, karena curah huja di Indonesia umumnya tinggi, berkisar dari 1500-3000 mm atau lebih setiap tahunnya, dengan intensitas hujannya yang juga tinggi. Di beberapa daerah Indonesia bagian Timur, hujan terjadi dalam periode pendek dengan jumlah relatif kecil, namun intensitasnya tinggi, maka bahaya erosi pada agroekosistem lahan kering tersebut juga besar dan tidak bisa diabaikan. Teknik konservasi tanah didaerah ini menjadi sangat spesifik, karena penerapannya tidak hanya untuk mengendalikan erosi, melainkan juga harus ditujukan untuk memanen hujan atau aliran permukiman. Budi daya sayuran di daratan tinggi merupakan usaha tani yang unik, sehingga memerlukan teknologi pengelolaan yang spesifik, mengingat agroekosistem tersebut terletak di hulu daerah aliran sungai (DAS) dengan kemiringan lahan yang curam, dan tanahnya tergolong peka terhadap erosi. Selain itu, bududaya sayuran di dataran tinggi umumnya bersifat tradisional, dilakukan pada bendengan-bendengan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah yang benar. Meskipun beberapa petani sudah ada yang mengerti pentingnya upaya pengendalian erosi, namun kebanyakan petani tidak mudah menerima teknologi hasil penelitian yang sebenarnya diketahui dapat melestarikan lahan usaha taninya. Kondisi seperti itu merupakan salah satu penyebab terhambatnya penerapan teknik konservasi tanah pada budidaya sayuran dataran tinggi. Oleh sebab itu, teknologi konservasi tanah yang dapat diterapkan pada lahan sayuran di dataran tinggi adalah penyempurnaan atau pengembangan cara-cara yang biasa dilakukan petani pada lahan usaha taninya. Pengolahan tanah merupakan komponen penting dalam kegiatan usaha tani, khususnya usaha tani tanaman semusim. Pengolahan tanah utamanya ditujukan untuk menyiapkan atau menciptakan media tanam yang baik untuk pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman dapat berproduksi secara optimum. Namum demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah secara berlebih dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, diantaranya terjadinya penghancuran stuktur tanah. Olah tanah konservasi merupakan suatu metode pengolahan tanah dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah, sehingga dampak negatif dari pengolahan tanah dapat ditekan sekecil mungkin. PENUTUP Degradasi lahan khususnya yang disebabkan oleh erosi, merupakan salah satu masalah utama dalam mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering di kunci keberlanjutan usahatani pada lahan kering. Berbagai teknik konservasi telah diteliti dan dikembangkan oleh berbagai lembaga di Indonesia. salah satu lembaga yang aktif dalam penelitian dan pengembangan teknik konservasi tanah dan air adalah Puslitbangtanak. Namum 8 Dariah et al. demikian aplikasi dari berbagai teknik konservasi (tanah adn air) tersebut pada tingkat petani masih dihadapkan pada berbagai kendala. Agar teknik konservasi dapat diterapkan secara tepat, efektif, dan efisien diperlukan perencanaan yang baik dan terarah. Selain faktor biofisik lahan, faktor sosial ekonomi dan budaya petani merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan konservasi tanah dan air. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia. 1985. Pengelolaan tanah dan tanaman untuk usaha konservasi tanah. Pembrit. Panel. Tanah dan Pupuk. 3:712. Pusat Penelitian Tanah. Bogor. Abdurachman, A. Dan S. Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. Hlm. 103-146 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. BPS. 2001. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Indonesia. Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1993. Laporan Inventaris/Identifikasi Lahan Marginal/Lahan Kritis pada Kawasan Lahan Usaha Tani seluruh Indonesia. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta. Hidayat, A. Dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian, hln. 1-34 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Statistik Sumberdaya Lahan/Tanah Indonesia. Puslittanak-Badan Litbang Pertanian, Jakarta Munandar, S. 1995. Kebijakan pengelolaan pertanian lahan kering dalam menunjang agribisnis. Hlm. 43-54 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Buku I. 26-28 September 1995. Pusat Penelitian tanah Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Partosedono, R.S. 1977. Effect of man’s actifity on erosion in erosion in rural environments ad a feasibility study forrehabilitation. In Publ. No. 113: 53-36. Paris IAHS-AISH. Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia 9 Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air dalam Usaha tani Tanaman Semusim. Desertasi Doktor. Fakultas Pasca Sarjana IPB Bogor (Tidak dipublikasikan). Undang Kurnia, Sudirman, dan H. Kusnadi. 2002. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan kering. Hlm. 147-182. dalam teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah Agroklimat. Badan litbang Pertanian.