jendela ilmu Minggu, 13 Mei 2012 PERKEMBANGAN KEAGAMAAN ANAK MAKNA DAN IMPLIKASI AGAMA DALAM KEHIDUPAN ANAK Oleh : Aziz Muslim, S. PdI & Dzidliz Zuna’im, S. PdI A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi sejumlah potensi yang diperlukan untuk kehidupannya. Ia memiliki potensi untuk beragama, berfikir, berkreasi, merasa, berkomunikasi dengan orang lain, dan potensi-potensi lainnya. Upaya pengembangan potensi anak perlu dilakukan pada usia dini sebab pada masa itulah terjadi masamasa emas dari masa perkembangan berbagai potensi tersebut. Dijelaskan oleh para ahli ( Bloom,1994; Bredekamp dan copple,1997;Kostenik et al,1999;Newberger,1997) bahwa pada usia dini terdapat periode-periode optimal dalam perkembangan anak. Maksudnya pada masa ini terdapat kesempatankesempatan yang lebih memungkinkan terjadinya perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek perkembangan anak. Namun, dengan periode-periode optimal tidak berarti bahwa anak harus dijejali dengan berbagai pengetahuan serta dipaksa untuk menguasai berbagai katerampilan tanpa mempedulikan taraf perkembangan individu anak yang bersangkutan. Yang penting di sini adalah bahwa anak mendapat kesempatan yang luas untuk memperoleh rangsangan dan pengalaman belajar yang mendorong terjadinya proses-proses aktivitas mental dan fisik melalui cara-cara yang relevan dengan tingkat perkembangan dan kemampuan yang bersangkutan.(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIPUPI,2007:96) Perkembangan Agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat lingungan, Semakin banyak penglaman yang bersifat agama,(sesuai dengan ajaran agama), akan semakin banyak unsur agama, maka sikap tindakan, kelakuan dan cara menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.(Daradjat,1970:55). Sebagai umat beragama, orang tua dan pendidik berkewajiban untuk menanamkan dasar-dasar aqidah yang benar kepada anak sejak usia dini, sebab ajaran agama merupakan sumber rujukan nilai yang sangat fundamental bagi kepentingan hidup manusia beragama. Apabila nilai-nilai aqidah itu sudah dibangun pada diri anak sejak usia dini, maka hal tersebut akan menjadi suatu landasan esensial bagi perkembangan kehidupan keagamaan anak pada tahap-tahap berikutnya. Sementara itu Clark berpendapat, religiositas berkembang sejak usia dini melalui proses perpaduan antara potensi bawaan keagamaan dengan pengaruh yang datang dari luar diri manusia. Dalam proses perkembangan tersebut akan terbentuk macam, sifat, serta kualitas religiositas yang akan terekspresikan pada perilaku kehidupam sehari-hari. Proses perkembangan religiositas melewati tiga fase utama, yakni fase anak, remaja dan dewasa. Masing-masing fase perkembangan memiliki kekhasan dalam sifat serta perannya terhadap keseluruhan perkembangan religiositas.( Clark, W.H, 1958: 85) Dalam makalah ini akan dibahas tentang makna dan implikasi agama dalam kehidupan anak. B. Rumusan Masalah Dalam makalah ini yang menjadi rumusan masalah adalah : 1. Bagaimana perkembangan jiwa beragama pada anak? 2. Bagaimana implikasi agama dalam kehidupan anak? I. A. Perkembangan jiwa beragama pada anak Agama pada masa anak Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi 5 periode: 1. Umur 0-3 tahun, periode Vital atau Menyusuli 2. Umur 3-6 tahun, periode estetis atau masa mencoba atau masa bermain 3. Umur 6-12 tahun, periode intelektual ( masa sekolah) 4. Umur 12-21 tahun, periode sosial atau masa pemuda 5. Umur 21 tahun ke atas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis. Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan anak- anak adalah masa dimana seseorang sebelum berumur 12 tahun. Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development Of Religion On Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingktan, yaitu; 1. The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng) Tingkatan ini dimuali pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkatan anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa kini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dapat menggapai agama pun anak masih mengggunakan konsep fantastik yang diliputi oleh dongeng-dongeng. 2. The Realistic Stage (tingkat kenyataan) Tingkat ini sejak anak masuk Sekolah Dasar (SD) hingga ke usia adolensen. Pada masa ini, ide keTuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak dapat didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam ligkungan mereka. Segala bentuk tindakan (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat. 3. The Individual Stage (tingkat individu) Pada tingkat ini anak mempunyai kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka, konsep keagamaan yang individualis ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu; a. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal terserbut disebabkan oleh pengaruh luar. b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (peroranngan). c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor interen, yaitu perkembangan usia dan faktor eksteren berupa pengaruh luar yang dialaminya. (Jalaluddin,2007: 67 ). Religiositas anak adalah hasil dari suatu proses perkembangan yang berkesinambungan dari lahir sampai menjelang remaja. Dalam proses tersebut berbagai faktor, interen, eksteren ikut berperan. Empat diantarannya yang akan dipaparkan dalam makalah ini, yaitu perkembangan kognisi, peran hubungan orang tua dengan anak, peran Conscience, Guilt, Shame, serta Interaksi sosial. 1. Peran kognisi dalam perkembangan religiositas anak Konsep tentang nila-nilai keagamaan yang digunakan sebagai dasar pembentukan religiositas masuk ke dalam diri anak melalui kemampuan kognisi. Kognisi difahami sebagai kemampuan mengamati dan menyerap pengetahuan dan pengalaman dari luar diri individu. Perkembangan kognisi melewati beberapa fase yang masing-masing memiliki ciri yang berbeda. Pengetahuan dan pengalaman yang masuk pada diri individu akan hanya terserap sesuai dengan tingkat kemampuan kognisinya. Demikian juga pengetahuan dan pengalaman keagamanannya. Pada usia anak menurut Piaget perkembangan kognisi mengalami empat dari lima fase perkembangan berikiut ini yaitu: 1. Period of sensorimotor adaptation, birth- 2 tahun 2. Development of simbiolic and preconceptual thought, 2-4 tahun 3. Period of intuitive thougth, 4-7 tahun 4. Period of concreate operations, 7-12 tahun 5. Period of formal operation, 12- thought adulescence.( Eson, W.H.1972:99) 2. Peran hubungan orang tua dengan anak dalam perkembangan religiositas anak Hubungan orang tua dengan anak memiliki peran yang sangat besar dalam proses peralihan nilai agama yang akan menjadi dasar-dasar nilai dari religiositas anak.( Clark, W.H:87) Melalui hubungan dengan orang tua anak menyerap konsep-konsep keimanan (belief & faith), ibadah (ritual), maupun mu’amalah (ethic & moral). Ada dua masalah penting yang ikut berperan dalam perkembangan religiositas anak melalui proses hubungan orang tua dan anak, yaitu cara orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, serta kualitas dari religiositas orang tua. 3. Paran Conscience, Guilt dan Shame dalam perkembangan religiositas anak Conscience, Guilt dan Shame adalah tiga keadaan kejiwaan yang berkembang secara berurutan. Conscience adalah kemampuan yang muncul dari jiwa yang terdalam untuk mengerti tentang be nar dan salah, baik dan buruk. Dalam istilah lain dapat disamakan dengan istilah inner light, superhero, atau internalized policeman, yang berperan untuk mengontrol perilaku dari dalam diri. Guilt adalah perasaan bersalah yang muncul bila dirinya tidak berperilaku sesuai dengan kata hatinya, rasa bersalah juga dapat disebut evaluasi diri secara negative yang muncul ketika seseorang memahami bahwa perilakunya tidak sesuai dengan standard nilai yang dia rasa harus ditaati. Beriringan dengan itu kemudian muncul Shame, yaitu reaksi emosi yang tidak menyenangkan terhadap perkiraan penilaian dari orang lain pada dirinya. 4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan religiositas anak Interaksi sosial adalah kesempatan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah, yaitu dengan kelompok kawan sepermainan dan kawan sekolah. Interaksi sosial mempunyai peran penting dalam perkembangan religiositas anak melalui dua hal sebagai berikut: pertama, malalui interaksi sosial anak akan mengetahuai apakah perilakunya yang telah terbentuk berdasarkan standar nilai religiositas dalam keluarga dapat diterima atau ditolak oleh lingkungannya. Kedua, interaksi sosial akan menimbulkan motivasi bagi anak untuk hanya berperilaku sesuai dengan yang dapat diterima oleh lingkungannya. (Hurlock, E.B.1978:390) Berkaitan dengan masalah ini, Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagiaan, yaitu : a. Fase dalam kendungan. Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada janin, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas Tuhannya. b. Fase Bayi. Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadist, seperti mendengarkan azan dan iqomah saat kelahiran anak. c. Fase kanak-kanak . Pada fase ini merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah memulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika ia berhubungan dengan orang-orang disekelilingnya . Dalam perkembangan inilah ia mulai mengenal Tuhan dari ucapan-ucapan orang di sekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan . Anak pada usia kanak-kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam , akan tetapi di sisnilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan-tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru. d. Masa anak sekolah. Seiring dengan perkembangan aspek-aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis.Hal ini berkeitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang. B. Sifat-sifat Agama pada Anak Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on othority. Berdasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas : 1. Unrevlective (Tidak mendalam). Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. 2. Egosentris. Masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. 3. Antromorphis. Pada umumnya konsep ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Sehingga keonsep ke-Tuhana mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. 4. Verbalis dan Ritualis. Kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal(ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. 5. Imitatif. Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. 6. Rasa heran. Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Rasa kagum pada anak ini belum bersifat kreatif. Rasa kagum mereka dapat disalurkan lewat ceritacerita yang menimbulkan rasa takjub. (Jalakuddin, 2007: 70-73). 2. Implikasi Agama pada Kehidupan anak A. Dasar-dasar pendidikan agama bagi anak Ketika seorang anak pertama kali lahir ke dunia dan melihat apa yang ada di dalam rumah dan sekelilingnya, tergambar dalam benaknya sosok awal dari sebuah gambaran kehidupan. Bagaimana awalnya dia harus bisa melangkah dalam hidupnya didunia ini. Jiwanya yang masih suci dan bersih akan menerima segala bentuk apa saja yang datang mempengaruhinya. Maka sang anak akan dibentuk oleh setiap pengaruh yang datang dalam dirinya. Dalam hal ini Imam Ghazali mengatakan: Bayi itu merupakan amanat bagi kedua orang tuanya, hatinya suci dan bersih. Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan, ia akan tumbuh dengan kebiasaan, pengajaran, dan berbahagia di dunia dan di akhirat.(Ulwan, 1992: 160). Dengan demikaian orang tua harus berusaha semaksimal mungkin agar anak mendapatkan pendidikan agama yang baik dan terbiasa melaksanakannya. Berbicara tentang terbiasa melaksanakan berarti menyangkut metode keteladanan, metode keteladanan dalam pembiasaan merupakan suatu metode yang digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberi contoh keteladanan yang baik kepada anak agar mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar. Keteladanan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, aklak, kesenian dan lain-lain.(Ali, 1999: 185). Oleh karena itu yang perlu kita ketahui adalah Bentuk-bentuk pelaksanaan Ajaran islam atau Dasar – dasar pendidikan agama bagi anak yaitu sebagai berikut: 1. Pembinaan Aqidah pada Anak Aqidah secara bahasa berarti ikatan, secara terminologi berarti landasan yang mengikat yaitu keimanan. Aqidah juga sebagai ketentuan dasar mengenai keimanan seorang muslim, landasan dari segala prilakunya, bahkan aqidah sebenarnya merupakan landasan bagi ketentuan syariah yang merupakan pedoman bagi seseorang berprilaku di muka bumi. (Daradjat, 1992: 317) Aqidah memiliki enam Aspek yaitu: keimanan pada Allah, pada para Malaikat-Nya, iman kepada para Rasul utusan-Nya, pada hari akhir, dan iman kepada ketentuan yang telah dikehendaki-Nya. Apakah ini takdir baik atau takdir buruk. Dan seluruh Aspek ini merupakan hal yang gaib. Kita tidak mampu menangkapnya dengan panca indra kita. ( Hafihz, 1988: 109 ) Seperti yang telah dijelaskan di atas maka kita akan menemukan lima pola dasar pembinaan aqidah anak seperti : Membacakan kalimat tauhid pada Anak, menanamkan kecintaan mereka pada Allah, pada Rasulullah Muhammad SAW, mengajarkan Al-qur’an dan menanamkan nilai perjuangan rasul serta pengorbanan beliau pada mereka. Imam Al- Gazali menjelaskan secara khusus bagaimana menanamkan keimanan pada anak. Belaiau berkata, “Langkah pertama yang bisa diberikan kepada mereka dalam menanamkan keimanan adalah dengan memberikan hafalan. Sebab proses pemahaman harus diawali dengan hafalan terlebih dahulu. Ketika anak hafal akan sesuatu kemudian memahaminya, akan tumbuh dalam dirinya sebuah keyakinan dan akhirnya anak akan membenarkan apa yang telah dia yakini sebelumnya. Inilah proses pembenaran dalam sebuah keimanan yang dialami anak pada umumnya ( Hafihz,1988:110 ) Dalam proses penanaman Aqidah ini, kita dapat perlu mengajarkan pada anak bagaimana cara mereka berbicara atau menjelaskan tentang pemahaman mereka terhadap Aqidah. Tapi cukuplah bagi mereka untuk menyibukkan diri dengan banyak membaca Al-Qur’an, mempelajari tafsirnya, juga hadis-hadis Rasulullah SAW serta sibukkan mereka dengan amalan – amalan keseharian dalam ibadah ritual. Dengan demikian secara tidak langsung akan timbul keyakinan dengan sendirinya dalam diri anak ketika mereka tengah membaca Al-qur’an dan hadis. Adapun langkah-langkah yang mesti kita lakukan untuk membentuk Aqidah anak adalah sebagai berikut: a. Mendiktekan kalimat Tauhid pada Anak Zakiah Darajat berpendapat bahwa “anak yang sering mendengar orang tuanya mengucapkan nama Allah, maka ia akan mulai mengenal nama Allah. Hal ini kemudian, mendorong tumbuhnya jiwa keagamaan pada anak tersebut. (Daradjat,1976: 87) b. Menanamkan kecintaan Anak kepada Allah, senantiasa meminta pertolongan dan pengawasan hanya kepada Allah serta yakin akan ketentuan Allah SWT. Setiap anak pernah merasakan sebuah persoalan dalam hidupnya. Baik persoalan kewajibannya, dalam hubungan social masyarakat, ataupun dalam lingkungan pendidikannya. Anak pun akan mengekspresikan persoalan yang sedang dihadapinya dengan cara yang berbeda satu sama lain. Sebagian menggunakan perasaannya yang sangat halus, sebagian anak lain mungkin mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku dan lain sebagainya. Maka dengan cara bagaimana kita mampu mengatasi persoalan dari dalam jiwa mereka yang begitu beragam? Dan apakah ada sebuah metode pemecahan masalah agar sang anak mampu mengatasi dengan baik? Islam memberikan jawabannya yang tepat. Yaitu dengan menanamkan kecintaan anak pada zat yang maha Agung dan maha kuasa. Allah SWT yang akan memberikan pertolongan kepada siapa saja yang dikehendakinya, yang selalu mengawasi segala apa saja yang kita lakukan. Dan menanamkan keyakinan pada anak akan adanya takdir atau kehendak Allah berupa kebaikan atau keburukan. Inilah ajaran terpenting Rasulullah SAW. Selaku utusan Allah yang telah diberikan kepada ummatnya yang tiada seorangpun mampu menciptakan ajaran semacam ini. Oleh karena itu apa bila sang anak telah dapat menghayati bentuk- bentuk keimanan tadi, dan anak telah memiliki keyakinan yang kuat serta memiliki pengetahuan tentang penciptanya dengan baik, niscaya segala bentuk persoalan yang akan dihadapi tidak akan membuatnya resah ataupun gelisah. Keimanan yang sudah melekat di dalam dada mereka yang akan membuatnya mampu menghadapi persoalan hidup yang sedang dihadapinya hingga masa dewasanya kelak. c. Menanamkan kecintaan Anak pada Nabi Muhammad SAW. Kecintaan pada Rasulullah SAW merupakan perwujudan bentuk persaksian umat islam yang kedua yaitu kesaksian akan Muhammad SAW selaku utusan Allah yang diturunkan kebumi ini. Para ulama besar terdahulu dan penerusnya telah berupaya untuk mencurahkan perhatiannya yang cukup serius dalam menanamkan kecintaan anak pada Nabi SAW yang menjadi contoh teladan terbaik dalam seluruh ummat manusia di muka bumi ini. Sebab apa bila telah tertanam dalam jiwa anak kecintaannya pada Nabi SAW, akan menambah kecintaan anak pada agama Allah. Apa bila kita mencoba untuk mengamati perkembangan anak secara teliti, akan kita temukan bahwa pada masa – masa anak belum mencapai usia baliq terdapat suatu kecendrungan kuat dalam diri anak untuk mencapai tokoh yang dianggapnya paling hebat dalam segala hal, agar anak itu bisa menirunya dan bertindak seolah-olah dia juga memiliki kehebatan seperti apa yang telah dimiliki oleh tokoh yang ia kaguminya. Maka oleh karena itu pendidikan islam memiliki sebuah metode yang sangat hebat dalam menyalurkan kecendrungan anak tersebut dengan menjadikan Rasulullah SAW sebagai tokoh yang dikagumi karena memiliki sifat – sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain selain beliau. Sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Thabrani, ibnu Najjar dan Ad. Dailani dari Ali bin Abi Thalib k. w. bahwasanya Rasulullah SAW Bersabda : “Didiklah anak-anakmu untuk melakukan 3 hal ini, mencintai Nabinya, mencintai keluarga nabi, dan membaca Al-qur’an” berkata Al-manawi bahwa hadis ini dhaif. Begitu juga dengan firman Allah Swt., di dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 21 disebutkan: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “ 2. Pembinaan Ibadah pada Anak Pembinaan anak dalam beribadah dianggap sebagai penyempurna dari pembinaan Aqidah karena nilai ibadah yang didapat oleh anak akan dapat menambah keyakinan akan kebenaran ajarannya atau dalam istilah lain, semakin tinggi nilai ibadah yang ia miliki, akan semakin tinggi pula keimanannya. Maka bentu ibadah yang dilakukan anak bisa dikatakan sebagai cerminan atau bukti nyata dari Aqidahnya. Apabila kita mati telah dalam lagi arti ibadah dimata manusia, akan kita temukan bahwa ternyata bentuk pengabdian ini semata-mata merupakan fitra setiap manusia yang dihadirkan Allah. Oleh karena itu kewajiban orang tua atau pendidik adalah mengarahkan kembali fitra pengabdian anak pada sang khalik yang telah tertanam sejak ditiupkannya ruh Allah padanya ketika dia masih berada di dalam kandungan ibunya. Masa kecil anak bukanlah masa pembebanan atau pemberian kewajiban, tapi merupakan masa persiapan, latihan dan pembiasaan. Sehingga ketika mereka sudah memasuki masa dewasa yaitu pada saat mereka mendapatkan kewajiban dalam beribadah, segala jenis ibadah yang Allah wajibkan dapat mereka lakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Karena sebelumnya mereka sudah terbiasa melakukan ibadah tersebut. Bentuk pengabdian seorang hamba terhadap Tuhannya atau dalam istilah khusus yaitu ibadah memiliki pengaruh yang sangat menakjubkan dalam diri anak. Pada saat anak melakukan salah satu ibadah itu, secara tidak disadari ada dorongan kekuatan yang membuat dia merasa tenang dan tentram. Pembinaan dalam beribadah bagi anak ini terbagi dalam 4 dasar pembinaan, yang uraiannya adalah sebagai berikut: a. Pembinaan Shalat Pembinaan shalat ini bertahap mulai dari perintah melaksanakan shalat, anak mulai dikenalkan adanya kewajiban dalam melaksanakan shalat baik itu syarat sah shalat maupun rukun-rukun shalat serta larangan-larangannya, membiasakan anak menghadiri shalat jum’at, membawa anak ikut kemasjid dan mengikat anak dengan masjid. b. Pembinaan Ibadah Puasa Puasa merupakan ibadah ritual yang berhubungan erat dengan proses peningkatan ruh dan jasad. Didalam ibadah ini anak diajark untuk mengenal semakin dalam makna sebenarnya dari bentuk keihlasan dihadapan Allah SWT karena puasa bukan hanya mengajarkan anak untuk menahan diri dari haus dan lapar saja tapi juga dilatih untuk selalu bersikap sabar dan tabah. c. Pembinaan mengenai Ibadah Haji Ibadah haji sama dengan rukun ibadah yang lainnya, tidak diwajibkan sepenuhnya pada anak. Melainkan sebagai sarana untuk melatih diri anak agar terbiasa dalam melaksanakan bentuk ibadah yang memerlukan ketabahan fisik yang kuat. Sebagaimana kita ketahui pula bahwa haji merupakan bentuk ibadah yang penuh dengan berbagai macam kesulitan dan kepayahan dalam melaksanakan rangkaian ibadah tersebut. Maka dengan dilaksanakannya ibadah tersebut semenjak usia anak masih kecil, diharapkan pada saat mencapai dewasa nanti, dia akan mulai terbiasa dan tidak lagi dianggap sebagai bentuk ibadah yang berat baginya. d. Pembinaan Ibadah Zakat Salah satu bentuk pembinaan ibadah lainnya adalah mengenalkan anak pada rukun ibadah yaitu mengeluarkan Zakat fitrah yang merupakan bentuk kewajiban setiap muslim, tidak memandang umur atau jenis kelamin. Dengan mengeluarkan zakat ini, anak dikenalkan pada bentuk penyucian harta dan diri. Maka anak pun akan belajar mengenal arti tolong menolong yang merupakan kewajiban setiap manusia. Karena harta yang dikeluarkan akan disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. 3. Pembinaan Akhlak pada Anak Akhlak secara bahasa berasal dari kata khalaqa yang kata asalnya khuluqun yang berarti: perangai, adat, atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Jadi secara Atimologi akhlak itu berarti perangai, adat, tabiat, atau system prilaku yang dibuat. Akhlak karenanya secara kebiasaan bisa baik ataupun buruk. Tergantung kepada tata nilai yang dipakai sebagai landasannya. Meskipun secara sosiologis di Indonesia kata akhlak sudah mengandung konotasi baik, jadi orang yang berakhlak berarti orang yang berakhlak baik. Adapun pembinaan Akhlak kepada anak, yaitu: a. Pembinaan Budi Pekerti dan Sopan Santun. b. Pembinaan Bersikap Jujur c. Pembinaan menjaga Rahasia d. Pembinaan menjaga kepercayaan e. Pembinaan Menjauhi Sifat dengki. B. Metode mengajarkan Agama pada anak. Pendidikan agama sebenarnya telah dimulai sejak anak lahir bahkan sejak anak dalam kandungan. Anak usia balita atau 0-5 tahun belum termasuk usia sekolah. Dengan demikian ia lebih banyak bersama dan berinteraksi di lingkungan keluarga terutama orang tuanya. Maka orang tua adalah segala-galanya bagi anak. Oleh karena itu, setiap orang tua hendaknya menyadari bahwa pendidikan agama bukanlah sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melatih ketrampilan anak dalam melaksanakan ibadah. pendidikan agama menyangkut manusia seutuhnya. Agar agama itu dalam tumbuh dalam jiwa anak dan dapat dipahami nantinya, maka harus ditanamkan semenjak kelahiran bayi. Dengan demikian, ada metode-metode tertentu yang harus diterapkan dalam mengajarkan agam pada anak. (Tafsir,2007:131) Adapun metode yang dimaksud adalah semua cara yang dilakukan dalam upaya mendidik. Mengajar adalah termasuk upaya mendidik metode mengajarkan agama pada anak (balita) telah banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Diantaranya: @ Memperdengarkan Azan dan Iqamat saat kelahiran anak Sebagaimana Abu Da’ud Turmidzi, Ali Rafi Baihaqi dan Ibnu Suni meriwayatkan bahwa Nabi SAW mengajarkan agar azan ditelinga kanan dan qamat ditelinga kiri anak yang baru lahir. Artinya: Aku melihat Rasulullah saw mengumandangkan azan pada telinga al Hasan bin Ali, ketika Fatimah melahirkannya.(Ulwan,2007:64) Adapun hikmah dari azan dan iqamat menurut Ibnu Qayyum al Jauziyah yaitu agar supaya suara yang pertama kali didengar oleh anak adalah kalimat-kalimat seruan yang maha tinggi yang mengandung kebesaran Tuhan. Hikmah lainnya adalah larinya syaitan hingga ia lemah ketika pertama kali ingin mengikat atau mempengaruhinya. Azan tersebut juga mengandung makna agar dakwah Islam mendahului dakwah syaitan. .(Ulwan,2007:64) @ Metode hiwar atau percakapan Metode hiwar adalah metode percakapan akan tetapi dalam hal ini perlu dipahami bahwa objeknya adalah anak balita. Anak pada umumnya mulai pandai berbicara pada umur dua tahun. Meskipun pada dasarnya bayi yang berumur satu tahun pun sudah dapat diajak berinteraksi dengan bahasa isyarat. Oleh karena itu, dianjurkan ketika anak mulai pandai bercakap, diajarkan kata-kata yang baik dan benar, sebagai mana dalam suatu riwayat al-Hakim bahwa Rasulullah SAW bersabda: Artinya: Bacakanlah kepada anak-anakmu kalimat pertama dengan “lailahaillallah” Hikmahnya agar kalimat tauhid dan syiar masuk ke pendengaran anak, dan kalimat pertamalah yang diucapkan lisannnya dan lafal pertama yang difahami anak.(Tafsir,2007:136) Demikian metode percakapan ini terus diterapkan sampai anak pandai berbicara yang baik dan lebih logis dan seterusnya. @ Metode Ketauladanan Metode ketauladanan adalah suatu cara mengajarkan agama dengan mencontohkan langsung pada anak. Hal ini telah dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw sebagaimana dalam firman Allah swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 21. Artinya Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Metode ini dapat diterapkan pada anak usia 3-5 tahun, misalnya mencontohkan perbuatan shalat, mengaji, shadaqah, berbuat baik dan lain-lain. @ Metode Pembiasan Metode pembiasan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agama Islam Inti pembiasan sebenarnya pengalaman dan pengulangan seorang ibu membiasakan menyusui dengan ASI anaknya sebenarnya sudah menanamkan kebiasaan tentang cinta kasih. Demikian juga jika umur anak mencapai 1-2 tahun, anak paling sering memainkan mulut atau alat kelaminnya. Oleh karena itu seorang ibu harus membiasakan anak untuk memberikan sesuatu yang tidak mencedrainya, misalnya memberikan makanan dengan memegangkan pada tangan kanan, mengalihkan tangannya bila memainkan alat kelaminnya. Apabila anak berusia 3-5 tahun dibiasakan makan bersama, berdoa, mencuci tangan, bangun pagi dan lain-lain. @ Metode drill/Latihan Menurut Zuhaini metode drill atau latihan adalah suatu metode dalam pengajaran dalam melatih anak terhadap bahan pelajaran yang telah diberikan. Untuk usia anak yang masih balita yang berumur 2-5 tahun metode ini dapat diterapkan. Misalnya melatih berbahasa, melatih ketrampilan gerak dengan cara menggambar dan lain-lain.(Tafsir, 2007:140) @ Metode pemberian hadiah atau pujian Metode ini dapat diterapkan bagi anak berusia 3-5 tahun karena hal ini menarik. Apa lagi jika diberikan atas prestasi yang baik, anak akan semakin termotifasi. Misalnya anak bisa menyebutkan lima huruf hijriyah, atau menghafal suatu doa, maka dapat diberikan pujian atau hadiah berupa materi. Dengan demikian anak akan merasa dihargai atas keberhasilannya. .(Tafsir,2007:136) Menurut Zakiyah Darajat dalam bukunya ilmu jiwa agama kategori umur anak-anak adalah usia sekolah dasar yang pada umumnya usia 6-12 tahun. Ketika anak usia seperti ini jiwanya telah membawa rasa bekal agama dan kepribadiannya, tetapi masih dalam lingkungan dasar. Dengan demikian, pengajaran agama sangat penting untuk ditanamkan dalam diri anak. Adapun beberapa metode yang dapat diterapkan dalam mendidik anak sesuai dengan perkembangan yang dapat diterapkan dalam mendidik anak sesuai dengan perkembangan anak tersebut, yaitu: @ Metode keteladanan Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang cukup efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spiritual dan sosial. Sebab seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku dan sopan santunnya akan ditiru. Karenanya keteladanan merupakan salah satu faktor penentu baik buruknya anak didik. Dalam ayat Al-Qur’an banyak yang menjekaskan berapa pentingnya penggunaan keteladanan. Antara lain dalam firman Allah SWT. Surah Al-Ahzab: 21 Terjemahnya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah adalah contoh yang paling baik yang harus kita ikuti. Secara tersirat ayat ini juga memberikan isyarat bahwa keteladanan dalam kehidupan sehari-hari dalam memberikan pengajaran sangat efektif seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. @ Metode Pembiasaan Yang dimaksud pembiasan adalah membiasakan cara-cara bertindak, dibaitkan dengan metode pembelajaran pada anak-anak, maka pembiasaan anak kepada hal-hal yang baik dalam belajar sopan santun dalam keluarga maupun dalam kehidupan sehari-hari. @ Metode Nasehat Al-Qur’an mensyariatkan dengan nasehat, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu”. Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh yang baik kedalam jiwa dengan cara memberikan nasehat yang dapat mengetuk hati atau relung jiwa sang anak. Bahkan dengan metode ini pendidik dapat mengarahkan peserta didik kepada kebaikan dan kemaslahatan, serta kemajuan masyarakat dan umat. @ Metode Kisah Metode kisah mengandung arti suatu cara dalam menyampaikan materi pengajaran dengan menuturkan secara kronologis tentang bagaimana terjadinya sesuatu hal yang baik, yang sebenarnya terjadi ataupun tekanan saja. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surah Yusuf ayat 111: Terjemahnya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa ada hikmah yang terkandung dari kisah-kisah yang disampaikan oleh Allah SWT melalui firman-Nya. Bagi orang-orang yang mau berfikir dan menggunakan akal. @ Metode Hukuman Muhammad Quthb mengatakan bahwa “bila teladan dan nasehat di metode lain tidak mampu menguba sikap anak, maka pada waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang disebut hukum yang bersifat mendidik(Nata, Jakarta: 1998) C. Urgensi Pembinaan Kehidupan Beragama Bagi Anak Dalam kehidupan sehari-hari, sangat banyak sekali kebiasaan yang berlangsung otomatis dalam bertingkah laku. Oleh karena itu pembinaan kehidupan beragama melalui proses pendidikan yang baik akan sangat berpengaruh dari genersi ke generasi sehingga membudaya dalam kehidupan. Pembinaan kehidupan beragama sangat penting bagi anak, sebagai mana yang dikatakan oleh Zakiah Darajat bahwa: Pembinaan moral dan agama bagi generasi muda tidak dapat dipisahkan dari keyakinan beragama. Karena nilai-nilai moral yang tegas, pasti, dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat, dan waktu atau nilai yang bersumber kepada agama. Oleh karena itu dalam pembinaan generasi muda, kehidupan moral dan agama harus sejalan dan mendapat perhatian yang serius. ( Daradjat, 1982: 39). D. Pengaruh Pembinaan Kehidupan Beragama Bagi Anak. Dengan adanya pembinaan kehidupan beragama bagi anak, dapat memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan anak. Baik dari segi budaya, social dan Religi. Adapun uraiannya sebagai berikut: 1. Pengaruh dari segi sosial : Seperti yang dikemukaan oleh Muh. Nur Abdul Hanizh bahwa Pembinaan membuat anak bisa bersikap benar dalam pergaulannya dengan masyarakat disekitarnya, baik bergaul dengan anak seusianya, maupun dalam adab kesopanan terhadap orang yang lebih dewasa. Anak dapat berkelakuan yang sesuai dengan ukuran – ukuran (Nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hatinya sendiri, bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (Tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan atau keinginan pribadi.(Daradjat, 1978:63) Menurut Ibn Miskawaih (abad ke-X M) bahwa segala perbuatan anak, baik itu saling tolong menolong dan lain sebagainya adalah sesuatu keinginan yang lahir dengan mudah dari jiwa anak dengan tulus tanpa memerlikan pertimbangan dan pemikiran lagi. Inilah Pengaruh pembinaan kehidupan beragama bagi anak terhadap kehidupan sosialnya.( Nata,2003:197) 2. Pengaruh dari segi Religi: Dengan adanya pembinaan kehidupan beragama pada anak, maka: (a). Anak yakin dan percaya terhadap adanya Tuhan (Allah) serta Kekuatan Tuhan yang dapat melindungi dan memberi pertolongan terhadap ummatnya. (b). Anak mampu melakukan hubungan yang sebaik-baiknya dengan Tuhan, guna mencapai kesejahteraan hidup didunia dan di akhirat. (c). Anak dapat mencintai dan melaksanakan perintah serta menjauhi larangan tuhan dengan jalan beribadah yang setulus-tulusnya.(d). Anak yakin dan percaya adanya hal-hal yang dianggap suci dan sacral, seperti: Kitab suci, Tempat ibadah, dan sebagainya. (Nasution,1983:18-19) 3. Pengaruh dari segi Budaya: Dengan pembinaan agama tersebut anak bisa menjaga diri dari kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda serta terhindar dari derasnya arus budaya yang negatif. Yang banyak di salurkan melalui beberapa media, baik itu melalui bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan dan lain sebagainya. Dengan demikian pembinaan Etika, moral, kaidah agama yang diberikan pada anak memiliki banyak peran dalam membimbing anak menuju terbentuknya masyarakat yang sejahtera lahir maupun batin, termasuk dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. .(Daradjat, 1978:63) A. Kesimpulan Religiositas/agama pada tahap anak dan remaja sangat berbeda, proses perkembnagan religiositas pada tahap anak meliputi beberapa faktor yaitu The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng), The Realistikc Stage (tingkat kenyataan) dan The Individual Stage (tngkat individu). Sedangkan pada tahap remaja juga diliputi beberapa faktor, yang mana faktor di tahap anak berbeda pada tahap remaja, faktor-faktor yang meliputi perkembangan religiositas pada tahap remaja yaitu; Pertumbuhan pikiran dan mental, Perkembangan perasaan Pertimbangan sosial, Perkembangan moral, Sikap dan minat serta Ibadah. Dalam keseluruhan perkembangan religiositas, perkembangan pada usia anak mempunyai peran yang sangat penting karena dalam perkembangan tersebut keseluruhan dasar-dasar religiositas mulai terbentuk. Akan tetapi perhatian dan kesangguan pihak orang dewasa dalam memahami dan memecahkan permasalahan yang timbul berkaitan dengan perkembangan religiositas usia anak dirasa kurang dibandingkan dengan perhatian dan kesanggupannya terhadap perkembangan religiositas usia remaja dan dewasa. B. Saran Isi makalah ini tentunya masih banyak kekurangan , oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan dan kesempurnaan makalah. Semoga bahan diatas dapat dijadikan sebagai referensi bagi para pendidik, orang tua dan masyarakat dalam mendidik anak yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa yang berkarakter dan agamis. DAFTAR PUSTAKA Abdul Hafihz, Muhammad Nur, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Cet.II; Kairo: Al-Bayan, 1988. Ali, Hery Noer,Pendidikan Agama Islam,Jakarta:Logos, ,1999. Abdul Manaf, Mudjahit, Sejarah Agama-Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 2, 1966 Arifin, M. Menguat Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: PT Golden Terayon Press, Cet 7, 1997. Clark, W.H, The Psychology Of Religion. New York : The MacMillan Company, 1958. Daradjat, Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Daradjat,Zakiah, Ilmu Jiwa Agama.Jakarta, Bulan Bintang,1970 Daradjat, Zakiah, Peran Agama Dalam Kesehatan Mental, Jakarta:Gunung Agung, 1978 Eson, W.H, The Psychology Of Religion, New York: Rinehart and Winston, Inc, 1972. FIP-UPI, Tim Pengembang Pendidikan, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama, 2007. Hurlock, E.B, Child Development, New York: McGraw-Hiil Book Company, Inc, 1978. Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintangm 1983. Nata, H. Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,Jakarta Timur: Prenada Media, 2003. Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Tafsir, ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remada Rosdakarya, 2007. Tafsir, ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remada Rosdakarya, 2007. Uluwan, Abdullah Nashih, Tarbiyah Al-Aulad fi-Al Islam,ditrjemahkan oleh Khalilullah Amhad Masykur Hakim dengan judul Pendidikan Anak Menurut Islam kaedah-kaedah Dasar, Cet.1: Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992. Yusuf LN, Syamsu, Psikologi Belajar Agama (Perspektif Pendidikan Agama Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004. http://vionardi.wordpress.com/2011/04/03/perkembangan-religiousitas-pada-usia-anak-danimplikasinya-dalam-pai/ are-ziz di 17.49 Berbagi 1 komentar: Unknown28 September 2015 20.56 pak saya mau bertanya, apakah religiusitas pada anak dapat diukur? Balas Tambahkan komentar ‹ › Beranda Lihat versi web Mengenai Saya Foto saya are-ziz ilmu merupakan kebutuhan setiap manusia, manusia yang tak berilmu akan tergusur oleh kemajuan zaman,banyak orang mendikotomikan ilmu dengan membagi ilmu agama dan ilmu umun. Dalam islam baik ilmu umum dan ilmu agama menjadi satu tanpa terpisahkan. manusia tidak cukup dalam menguasai satu ilmu saja, akan tetapi keduanya haruslah saling berkaitan dan saling mendukung. Pepatah mengatakan" Science withot relegion is blind and The relegion withot science is Futile" ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah hampa. Lihat profil lengkapku Diberdayakan oleh Blogger.