Study Kasus KPK Tetapkan Setya Novanto Tersangka Kasus E-KTP Kompas.com - 17/07/2017, 19:03 WIB Ketua Umum Partai Golkar itu diduga terlibat dalam korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). "KPK menetapkan saudara SN anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/7/2017). Menurut Agus, Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi. Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan. Novanto diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Jaksa KPK sebelumnya meyakini adanya peran Setya Novanto dalam korupsi proyek e-KTP. Jaksa yakin tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu dilakukan bersamasama Setya Novanto. Hal itu dijelaskan jaksa KPK saat membacakan surat tuntutan terhadap dua terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/6/2017). "Telah terjadi kerja sama yang erat dan sadar yang dilakukan para terdakwa dengan Setya Novanto, Diah Anggraini, Drajat Wisnu, Isnu Edhi dan Andi Agustinus alias Andi Narogong," ujar jaksa KPK Mufti Nur Irawan saat membacakan surat tuntutan. Menurut jaksa, berdasarkan fakta dan teori hukum dapat disimpulkan bahwa pertemuan antara para terdakwa dengan Setya Novanto, Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraini, dan Andi Narogong di Hotel Gran Melia Jakarta, menunjukan telah terjadi pertemuan kepentingan. Andi selaku pengusaha menginginkan mengerjakan proyek. Diah dan para terdakwa selaku birokrat yang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Setya Novanto saat itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Dalam hal ini, Setya Novanto mempunyai pengaruh dalam proses penganggaran pada Komisi II DPR RI. Apalagi, Ketua Komisi II DPR adalah Burhanuddin Napitupulu yang merupakan anggota Fraksi Partai Golkar. Menurut jaksa, pertemuan itu merupakan permulaan untuk mewujudkan delik korupsi. Jaksa menilai bahwa semua yang hadir dalam pertemuan menyadari bahwa pertemuan itu bertentangan dengan hukum, serta norma kepatutan dan kepantasan. Apalagi, pertemuan dilakukan di luar kewajaran, yakni pada pukul 06.00 WIB. Selain pertemuan, menurut jaksa, unsur penyertaan juga telah terbukti dengan adanya upaya Setya Novanto untuk menghilangkan fakta. Novanto memerintahkan Diah Anggraini agar menyampaikan pesan kepada Irman, agar mengaku tidak mengenal Novanto saat ditanya oleh penyidik KPK. Tak hanya itu, dalam suatu peristiwa, Irman dan Andi Narogong pernah menemui Novanto di ruang kerja di Lantai 12 Gedung DPR dan membahas proyek e-KTP. Dalam pertemuan itu, Novanto mengatakan bahwa ia sedang berkoordinasi dengan anggota DPR. Novanto juga meminta agar Irman menanyakan perkembangannya melalui Andi Narogong. Analisis Kasus : Orang harus mengikuti apa yang sesuai dengan hukum dan menjauhi apa yang tidak sesuai dengan hukum. Secara jelas ketentuan ini terdapat dalam surat yang menyatakan:"Dan bertolong-tolonglah untuk kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan bertolong-tolongan untuk dosa dan permusuhan" (Qur'an Surat 5:2) (Miriam Budiardjo, 2010:241). Sebagai rakyat yang hidup didalam sebuah negara yang berlandaskan hukum adalah diwajbkan untuk mentaati hukum yang berlaku didalam negara Indonesia dalam konteksnya, sedangkan hukum yang dimaksud ialah hukum yang berlandaskan UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) mengenai WARGA NEGARA DAN KEPENDUDUKAN yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Warga negara memiliki kedudukan yang sama dimata hukum tanpa terkecuali, yang jika di artikulasikan ialah warga negara adalah memiliki kewajiban sebagai warga negara untuk mentaati hukum yang ada dan memiliki hak untuk memperjuangkan haknya dimata hukum untuk memperoleh keadilan sebagai warga negara yang dalam hal ini konteksnya adalah hukum, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) tentang HAM. Kedudukan seluruh organis manusia didalam negara Indonesia entah itu Pejabat, Bangsawan, Pemuka agama dan juga rakyat biasa tentu tidak aka nada pembeda dimata hukum yang dianut bangsa ini, dalam konteks permasalahan yang terjadi di Indonesia khususnya kasus korupsi yang banyak menjadi sorotan publik nasional dan Internasional hukum adalah sangat urgen untuk ditegakkan. Akan tetapi dilain pihak banyak para oknum-oknum pejabat yang seakan-akan menunjukkan superioritasnya dimata hukum dan cenderung menyepelekannya yang jika diartikulasikan banyak pejabat yang menjadi terduga kasus korupsi memiliki imunitas atau kekebalan terhadap penegakan hukum. Dan yang terbaru ialah kasus korupsi mega proyek E-KTP yang menjerat banyak nama pejabat baik di tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi yang menjadi sorotan ialah kasus dugaan korupsi proyek E-KTP yang menjerat ketua umum Dewan Perwakilan Rakyat, yakni Setya Novanto yang dinilai oleh masyarakat terlalu banyak melakukan drama untuk menghindar dari hukum. Perilaku seperti ini adalah merupakan contoh buruk dari pejabat bangsa ini yang tidak mentaati proses berjalannya hukum dinegara ini,, mulai dari tidak menghadiri pengadilan yang dilaksanakan sampai yang terburuk ialah melakukan pembangkangan terhadap proses hukum yang semestinya harus dilaksanakan demi menjamin kesamaan hak dan kewajiban sebagai rakyat dimata hukum dan ketika seorang pejabat yang tersangkut masalah korupsi. Pembangkangan terhadap proses hukum yang ada didalam negara yang dimaksud adalah tidak menghadiri proses hukum yang sedang berjalan yang rasanya sudah lengkalah dan layak disebut sebagai pembangkangan terhadap hukum dan ketika melakukan pembangkangan terhadap hukum maka bolehlah kita (Bangsa) ini menyebutnya sebagai "Pengkhianat Negara dan Bangsa" dan mau tidak mau harus dicabut hak-haknya sebagai warga negara. Perilaku Ketua DPR-RI yang sedemikian rupa tentu memberikan pengaruh terhadap stigma masyarakat terhadap hukum dinegara ini yang dapat ditarik kesimpulan bahwa pejabat tinggi memiliki imunitas terhadap hukum dan seenaknya menyepelekan proses penegakan hukum. Dalam perspektif Pancasila perilaku Setya Novanto adalah telah benar-benar menciderai nilai-nilai pancasila yang idealnya melekat didalam diri bangsa ini khususnya pejabat negara sebagai suatu mesin yang menyelenggarakan pemerintahan negara ini. Pancasila bukan hanya sebuah ideologi yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan semata akan tetapi pancasila juga sebagai falsafah negara yang mengatur, merumuskan kebijakan, membuat perundang-undangan dan produk hukum lainnya. Meminjam pendapat Abdurrahman Wahid (1991:163) yang dikutip oleh Cholisin (2012: 2) " menyatakan Pancasila sebagai falsafah negara berstatus sebagai kerangka berpikir yang harus diikuti dalam menyusun undang-undang dan produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antar lembaga-lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini." Dari pendapat Abdurrahman Wahid maka dapat dijabarkan bahwa segala sesuatu tentang perundang-undangan dan produk hukum lainnya adalah berasal dari pancasila sebagai falsafah negara ini, yang kebenarannya tentu sudah disusun secara sistematis. Lalu ketika perilaku seorang pejabat tinggi publik tidak taat terhadap proses penegakan hukum didalam negara ini, tentu dapat disimpulkan bahwa terdapat keraguan-raguan dan ketidak percayaan seorang Setya Novanto terhadap terhadap hukum dinegara ini juga tak terkecuali kebenaran daripada Pancasila sebagai sebuah Ideologi bangsa ini. Bahkan jika dipandang dari sudut pandang sila kedua yakni "Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia." Sikapnya menunjukkan ketidak percayaannya terhadap konsep keadilan yang terkandung dalam sila ke-2 yang notabene keadilan yang dimaksud dalam sila ke-2 ialah berdasarkan atas prinsip kemanusiaan yang berketuhanan Yang Maha Esa, atas dasar kebijaksanaan dan permusyawaratan yang dalam hal ini dilaksanakan oleh hakim selaku perwujudan daripada prinsip keadilan, kebijaksanaan didalam pelaksanaan proses hukum bangsa ini dan sebagai hasilnya ialah didapatkannya sebuah keadilan secara yuridis maupun de facto, mengingat idealnya seorang hakim adalah berada dalam posisi netral. Serta KPK sebagai perwujudan daripada sila ke-5 sebagai salah satu alat pengawas guna menjamin terwujudnya tujuan keadilan bagi seluruh rakyat indonesia, keadilan ini dalam konteksnya ialah hak yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kesejahteraan. Dan kesejahteraan yang dimaksud ialah kesejahteraan secara haqiqi dan secara jelas dimuat dalam pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4 yang berbunyi "kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,. " dan perilaku seperti yang dilakukan oleh Ketua DPR tentu akan juga menghambat tujuan daripada negara ini untuk memajukan kesejahteraan umum dan negara akan mengeluarkan lebih banyak biaya untuk menuntaskan sebuah permasalahan korupsi apabila oknum yang menjadi terduga berperilaku seperti ini semua dan juga akan menghambat proses penyelesaian kasus korupsi lainnya, dengan terhambatnya penyelesaian kasus korupsi juga berarti menghambat kesejahteraan sosial didalam masyarakat atau bangsa ini dan justru akan memunculkan permasalahan permasalahan baru yang akan semakin ruwet. Dan seharusnya seorang ketua DPR idealnya dapat menjadi contoh sebagai wakil rakyat yang baik dengan menunjukkan sikap sebagai seorang negarawan yang taat terhadap hukum yang berlaku dan menerima seluruh keputusan yang akan dijatuhkan kepadanya nantinya, apakah ditetapkan sebagai tersangka atau tidak dengan menaruh kepercayaan terhadap penegakan hukum yang dilakukan penegak hukum, sebab adalah hal yang tidak mungkin lembaga setingkat KPK melakukan penetapan atau penyidikan terhadap pejabat yang terindikasi terlibat kasus korupsi dengan asal-asalan atau dalam arti ngawur, mencari-cari kesalahan untuk menumbangkan jabatan seseorang yang berarti KPK berpolitik padahal KPK adalah lembaga non politik.