Uploaded by Resti Gamiarsi

Kartu Kredit dalam Hukum Syariah Kajian terhadap Akad dan Persyaratannya

advertisement
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/256042361
Kartu Kredit dalam Hukum Syariah: Kajian terhadap Akad dan Persyaratannya
(Credit Card from an Islamic Perspectives: A Study of its Contracts and Term
of Agreement)
Article · May 2010
CITATIONS
READS
0
4,924
1 author:
Azharsyah Ibrahim
Ar-Raniry State Islamic University Banda Aceh, Indonesia
20 PUBLICATIONS 17 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Azharsyah Ibrahim on 25 April 2014.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
Kartu Kredit dalam Hukum Syariah:
Kajian terhadap Akad dan Persyaratannya
Azharsyah Ibrahim
Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Email: [email protected]
Abstract
Abstrak
The complexity in a single credit card
transaction escalates the differences of
opinions among the Islamic scholars
regarding the legitimacy of utilizing credit
cards in Islam. Consequently, the scholars
have not yet fully agreed on the type and
number of ‘aqads (contracts) that can be
used in a credit card transaction. In general,
however, most scholars agreed that using a
credit card in Islam is acceptable provided
that the ‘aqads is not contradicting to the
Islamic law. This paper aims to elaborate
phases of a single credit card transaction and
the type of ‘aqads used in each phase. Using
qualitative approach and content analysis
method, this study found that at least six
types of ‘aqads could be used in credit card
transactions, namely kafalah, wakalah,
hawalah, murabaha, qardh, and ijarah
contract.
Banyaknya pihak yang terlibat dalam
transaksi kartu kredit menimbulkan banyak
sekali
perbedaan
pendapat
tentang
kebolehan penggunaan kartu kredit dalam
ajaran Islam. Akibatnya para fuqaha masih
berbeda pendapat dalam menentukan jenis
dan jumlah akad yang bisa digunakan dalam
transaksi kartu kredit. Menurut kebanyakan
pendapat,
penggunaan
kartu
kredit
diperbolehkan dengan ketentuan akad yang
digunakan tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
Paper
ini
bertujuan
untuk
mengelaborasi jenis-jenis atau tahapantahapan dalam suatu transaksi kartu kredit
dan juga mencari jenis akad yang tepat
untuk dipakai dalam setiap transaksi
tersebut. Dengan menggunakan pendekatan
kualitatif and metode analisis isi, penulis
menemukan bahwa sedikitnya enam akad
bisa digunakan dalam setiap transaksi kartu
kredit, yaitu akad kafalah, akad wakalah,
akad hawalah, akad murabahah, akad qardh,
dan akad ijarah.
Keywords: Credit Card, Business
Transaction, Term and Agreement
Pendahuluan
Kartu kredit dewasa ini bukan lagi hanya sekedar gaya hidup, tetapi
merupakan kebutuhan bagi masyarakat modern untuk menunjang semua aktivitas
dalam kehidupannya sehari-hari. Semua keperluan bisnis maupun pribadi, mulai
dari membiayai perjalanan dinas, menjamu klien hingga biaya kelahiran si kecil,
belanja kebutuhan harian atau berlibur bersama keluarga tercinta, dapat di penuhi
oleh kartu kredit. Kartu kredit juga menjadi salah satu ciri dari gaya hidup modern
yang serba cepat dan efisien.1
1
Bank Negara Indonesia, Kartu Kredit: Memberi Makna dalam Setiap Transaksi, diakses pada
tanggal 15 Maret 2010 dari website: http://www.bni.co.id/KartuKredit/tabid/162/Default.aspx
89
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, penggunaan kartu kredit
merupakan hal yang sangat biasa dan umum digunakan dalam melakukan
berbagai jenis transaksi dalam kehidupan sehari-hari, seperti berbelanja,
membayar tagihan, bahkan untuk memberikan sumbangan. Di negara tersebut,
penggunaan uang kas sudah relatif sangat berkurang sehingga penggunaan kartu
kredit sebagai salah satu alat pembayaran sudah menjadi kebutuhan masyarakat
sebagai pengganti uang yang relatif tidak efisien dan tidak aman untuk dibawa.
Disamping faktor praktis tadi, kartu kredit juga berfungsi sebagai jaminan
kepercayaan suatu bank atau issuer kepada pemegang kartu dalam hal
penggunaan keuangan dari lembaga tersebut.
Di Indonesia, bisnis kartu kredit mengalami perkembangan yang sangat
pesat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah kartu yang beredar saat ini telah
mencapai lebih dari 10 juta kartu yang diterbitkan oleh 21 bank dan lembaga
pembiayaan. Para issuer berusaha meningkat jumlah pemegang kartu dengan
berbagai macam penawaran yang menarik, baik dari sisi joint-promo maupun
fitur.2
Kartu kredit (credit card) dalam bahasa Arab disebut bithaqah i’timan.
Secara bahasa kata bithaqah (kartu) digunakan untuk potongan kertas kecil atau
dari bahan lain yang di atasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan
kertas itu, sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan
saling percaya. Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman,
yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya
serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman
untuk dibayar secara tertunda.3
Sebuah kartu kredit merupakan bagian dari suatu sistem pembayaran kartu
plastik yang dikeluarkan kepada para pengguna sistem tersebut. Kartu tersebut
memberikan hak kepada pemegangnya (card holder) untuk membeli barang dan
jasa yang didasari pada janji si pemegang kartu untuk membayar barang dan jasa
2
Bank Negara Indonesia, BNI Hasanah Card, diakses pada tanggal 17 Maret 2010 dari website:
http://www.bni.co.id/Syariah/BNIHasanahCard/BNIHasanahCard/tabid/376/Default.aspx
3
Setiawan Budi Utomo, Hukum Kartu Kredit Syariah, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari
website: http://www.dakwatuna.com/2009/hukum-kartu-kredit-syariah/
90
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
tersebut pada waktu yang sudah ditentukan.4 Penerbit kartu kredit (issuer)
biasanya memberikan suatu batas kredit (credit limit) yang bisa digunakan oleh
pemegang kartu untuk membayar tempat-tempat pembelanjaan (merchants) atau
bisa juga digunakan sebagai cash advance bagi pengguna.
Secara terminologi, kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak
bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli
segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. Kartu
kredit pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen dalam sistem pembayaran
sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung kepada
pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang berisiko.5
Pada prinsipnya, cara pembayaran kartu kredit ada dua, yaitu pembayaran
penuh (full payment) dan tidak penuh (minimum payment). Sistem pembayaran
kartu kredit dewasa ini memakai sistem yang kedua yaitu minimum payment.
Untuk kartu kredit yang menggunakan sistem full payment biasa dikenal dengan
charge card. Charge card mewajibkan pembayaran dilakukan secara penuh tiap
bulan atau sebelum jatuh tempo. Sedangkan credit card membolehkan pemegang
kartu untuk menunda pembayaran penuh dan hanya wajib melunasi sejumlah
pembayaran minimum dengan konsekuensi akan dikenakan biaya tambahan. 6
Jenis-jenis Akad dalam Transaksi Kartu Kredit
Penggunaan kartu kredit yang semakin meluas memunculkan beberapa
persoalan jika ditinjau menurut pandangan fiqh Islam. Permasalahan muncul
karena banyaknya pihak yang terlibat dalam transaksi kartu kredit sehingga para
fuqaha kesulitan dalam menetapkan jenis dan berapa akad yang tepat digunakan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi kartu kredit hanya menggunakan
4
Sullivan, Arthur. & Steven M. Sheffrin (2003). Economics: Principles in Action. Upper Saddle
River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall. Hlm. 261. ISBN 0-13-063085-3.
5
Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada
tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&pa
rent_id=296&parent_section=an020&idjudul=295
6
Wikipedia, Credit Card, diakses pada tanggal 3 Maret 2010 dari website:
http://en.wikipedia.org/wiki/Credit_card
91
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
satu akad saja, sebagian yang lain mengatakan melibat enam akad, yaitu kafalah,
wakalah, hawalah, murabahah, qardh dan ijarah.
Pihak Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI)
berpendapat bahwa status hukum kartu kredit adalah sebagai objek atau media
jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah
untuk kemudahan transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini sebagai issuer
yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi card
holders dalam berbagai transaksi. Dengan demikian, menurut DSN – MUI ada
tiga akad yang digunakan dalam transaksi kartu kredit yaitu: kafalah, qardh dan
ijarah. 7
Lebih lanjut, pihak DSN – MUI menyebutkan bahwa para ulama
membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil alQur’an, Sunnah dan Ijma’ yang didasari pada firman Allah:
“...dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72).
Kata “za’im” di penghujung ayat tersebut menurut Ibnu Abbas adalah “kafil”
sebagaimana sabda Nabi SAW.: “az-Za’im Gharim” artinya: orang yang
menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi,
Ibnu Hibban).8
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (sukarela/voluntary) yang
bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan
(ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada
terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar
aman/jauh dari syubhat. Akan tetapi hal itu sah-sah saja kalau terutang sendiri
yang memberinya sebagai hadiah atau hibah sebagai ungkapan rasa terima
kasihnya. Namun demikian, jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan
7
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (2006), Fatwa Dewan Syari'ah Nasional
No: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card
8
Ibid
92
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan
tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa
jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim
dalam perjalanan studi, transaksi bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan
sebagainya.9 Penetapan uang jasa kafalah tidak boleh terlalu mahal sehingga
memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar
terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang
kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan
kartu kredit tertentu.10
Menurut Institut Bankir Indonesia, akad kafalah yang dimaksudkan disini
adalah akad jaminan yang diberikan oleh penjamin (kafil) kepada pihak ketiga
dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggung apabila yang ditanggung
wanprestasi.11
Akan tetapi, Rafiq Yunus al-Misry tidak setuju jika pihak pengeluar kartu
kredit dianggap sebagai kafil (penjamin) kepada pemegang kartu. Anggapan
demikian akan menjadikan akad ini sebagai kafalah bi ujr (jaminan dengan
pembayaran) melalui bayaran keanggotaan (yang dibayar dalam bentuk iuran
tahunan. Bayaran yang demikian tidak boleh dalam Islam karena kafalah sama
dengan utang dengan prinsip tabarru’ (tolong menolong). Misry berkesimpulan
bahwa aqad seperti ini termasuk kedalam jenis hawalah (pindah utang).12
Sementara ulama yang mengatakan bahwa akad kartu kredit termasuk
akad wakalah beralasan bahwa pemegang kartu adalah wakil dari pengeluar kartu
agar membayar utangnya pada pedagang atau siapa saja (merchants) yang
memberi pelayanan jasa atau boleh juga dikatakan bahwa merchant mewakilkan
9
Setiawan Budi Utomo, Hukum Kartu Kredit Syariah, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari
website: http://www.dakwatuna.com/2009/hukum-kartu-kredit-syariah/
10
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161.
11
Institut Bankir Indonesia (IBI), Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah,
Jakarta: Penerbit Jembatan, 2002, hlm. 239
12
Rafiq Yunis al-Misry, Bitsaqah al-I’timan Dirasah Syar’iyyah ‘Amaliyah Mujazah, Majalah
Majma’, Jilid 1 (7), hlm. 411.
93
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
kepada pengeluar kartu menagih utang dari pembeli barang dalam hal ini
pemegang kartu.13
Bagi sebagian ulama yang lain, akad kartu kredit menggunakan
murabahah antara card issuer dengan card holder. Card holder sebagai pembeli
membeli barang atau jasa dari merchant sebagai wakil issuer. Barang atau jasa
tersebut kemudian dijual kembali kepada card holder oleh card issuer secara
angsuran.
Para fuqaha lain yang berpendapat bahwa transaksi kartu kredit
merupakan qardh beralasan bahwa dalam hal ini issuer adalah pemberi pinjaman
(muqridh) kepada card holder (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau
ATM bank issuer. Sementara yang menganggapnya sebagai akad ijarah
mengatakan bahwa issuer adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan
terhadap card holder. Atas dasar ini, card holder dikenakan membership fee.14
Transaksi dengan kartu kredit merupakan cara yang relatif baru dalam
bermuamalah, sehingga agak susah untuk menentukan jenis akad yang tepat kalau
dilihat dari pendapat ulama terdahulu. Semua pendapat diatas tidak memiliki
pedoman yang benar-benar tepat dengan jenis-jenis akad yang telah ditetapkan
oleh para fuqaha terdahulu.15
Analisis terhadap Persyaratan Awal Kartu Kredit
Menurut Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, penggunaan kartu
kredit tidak hanya memunculkan persoalan mengenai akad saja, akan tetapi juga
memunculkan beberapa permasalahan lain dalam hukum Islam yaitu mengenai
persyaratan awal atau ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara sepihak
oleh issuer, seperti persyaratan-persyaratan yang berbau riba, jumlah persentase
13
Muhammad Abdul Halim Umar, Jawanib al-Syariyyah wa al-Masrafiyah wa al-Muhasabah li
bitsaqat al-I’timan, Qahirah: Itrak li an-Nashr wa al-Tawzi, 1997, hlm. 66.
14
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (2006), Fatwa Dewan Syari'ah Nasional
No: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card
15
Nazaruddin AW, Credit Card Pada Institusi Keuangan Syariah dalam Kajian Fiqh Iqtishad,
Media Syariah, vol. VIII, 2007, hlm. 171 – 188.
94
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
yang diambil oleh pihak yang mengeluarkan kartu dan denda keterlambatan.16
Untuk melihat kedudukannya dalam fiqh Islam, ketentuan-ketentuan tersebut
perlu dikaji secara komprehensif.
1. Persyaratan berbau riba.
Umumnya dalam transaksi penerbitan kartu-kartu kredit mengandung
beberapa komitmen yang berbau riba karena pada intinya komitmen tersebut
mengharuskan pemegang kartu untuk membayar denda-denda finansial yang
berbau riba jika terlambat dalam membayar tagihannya atau jika card holders
tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara sepihak oleh
pihak issuer pada saat pembuatan/pengajuan kartu kredit. Para ulama fiqh
kontemporer berbeda pandangan dalam membahas pengaruh komitmen-komitmen
tersebut terhadap sah tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini. Bagi
ulama yang membolehkan, transaksi itu dianggap sah—namun komitmennya
batal—jika nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak
terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat komitmen tersebut. Karena
syarat rusak ini pada dasarnya menurut kaca mata syariat sudah batal dengan
sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Para
ulama tersebut membolehkannya dengan mendasarkan kepada:
a.
Hadits Nabi SAW tentang pembelian seorang budak oleh Aisyah:
‫‏و حدثنا ‏‏‏يحيى بن يحيى ‏‏‏قال قرأت على ‏‏‏مالك ‏‏‏عن ‏‏‏نافع ‏‏‏عن ‏‏‏ابن عمر ‏‏‏عن ‏‏‏عائشة ‏‬
‫‏أنها أرادت أن تشتري ‏‏‏جارية ‏‏‏تعتقها فقال أهلها نبيعكها على أن ‏‏‏والءها ‏‏‏لنا فذكرت‬
‫ذلك لرسول هللا ‏‏‏صلى هللا عليه وسلم ‏‏‏فقال ال يمنعك ذلك فإنما ‏‏‏الوالء ‏‏‏لمن أعتق‬
Dari Ibnu Umar, dari Aisyah, bahwa ia ingin membeli seorang budak
perempuan untuk dimerdekakan. Pemilik budak itu berkata: “Kami akan
menjualnya kepadamu, dengan syarat hak loyalitasnya untuk kami.” Lalu
Aisyah RA. menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW. dan beliau
bersabda: “Syarat itu tidak dapat menghalangimu, karena hak loyalitas itu
hanya untuk yang memerdekakan” (Shahih Muslim).
16
Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada
tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&pa
rent_id=296&parent_section=an020&idjudul=295
95
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
Hadits tersebut berasal dari Aisyah R.A, ketika beliau hendak membeli
Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan
mensyaratkan bahwa hak wala' (perwalian) budak itu tetap milik mereka.
Syarat tersebut bertentangan dengan ajaran syariat karena perwalian menurut
syariat merupakan hak orang yang membebaskannya. Hadits diatas
menjelaskan bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang
bertentangan dengan syariat terhadap akad-akad yang diperlukan secara luas
dan ia tidak mau untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat
yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak harus dibatalkan akibat dari
pemaksaan itu dan juga tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya.
Akad tersebut tetap bisa dilaksanakan dengan mengupayakan untuk
membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara
berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap dengan syarat tersebut bila
dalam suatu masa dimana tidak ada penguasa yang mau atau bisa
menegakkan syariat Allah.
b.
Kondisi dimana transaksi semacam itu sudah terlalu banyak terjadi di seluruh
belahan dunia seperti transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya,
yang kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu
apabila pihak pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda
tertentu. Namun ternyata tidak seorang ulama pun yang mengharamkan untuk
berlangganan dengan fasilitas-fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat seperti
yang tersebut diatas ada di dalamnya.
c.
Sabda Nabi SAW: "Kenapa masih ada orang yang menetapkan syarat yang
tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa yang menetapkan syarat yang
bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya
seratus syarat." Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa pinjaman tidak begitu
saja batal karena batalnya persyaratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah
meskipun syaratnya batal.17
17
Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada
tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&pa
rent_id=296&parent_section=an020&idjudul=295
96
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
Tiga hal diatas merupakan landasan utama bagi ulama yang membolehkan
transaksi tersebut diatas dilaksanakan. Sementara bagi ulama yang tidak
membolehkan (kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah), transaksi tersebut dianggap
batal. Mereka membantah dalil hadits tentang Barirah yang digunakan oleh kubu
pertama. Mereka beralasan bahwa qiyas dalam hadits itu adalah qiyas dengan
alasan berbeda. Dalam kasus Barirah, syarat (yang bertentangan dengan ajaran
syari’at) tersebut mampu dibatalkan oleh Aisyah karena kejadian tersebut terjadi
disaat syariat Islam masih betul-betul menjadi panutan banyak orang dan negara
Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam serta masih memimpin dunia. Hal
inilah yang menurut mereka tidak mungkin bisa dibandingkan dengan syarat
berbau riba dalam pembuatan kartu kredit karena syarat tersebut bersandarkan
pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara
dan mengingkari referensi suci Islam suci yang melibatkan agama dalam
kehidupan manusia. Mengenai transaksi pemakaian listrik dan telepon, kelompok
ulama ini juga membantahnya dengan beralasan bahwa fasilitas ini amatlah
dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia amat tergantung
kepadanya. Vitalitas hal tersebut tidak bisa dibandingkan dengan kartu kredit
karena orang bisa hidup secara wajar atau cukup wajar walau tidak menggunakan
kartu-kartu itu. Hal ini akan berbeda jika fasilitas listrik dan telepon—misalnya—
tidak dapat digunakan.
Penulis dalam hal ini sepakat dengan pendapat Abdullah al-Mushlih dan
Shalah ash-Shawi, bahwa hukum mengenai kartu kredit dengan transaksi yang
memunculkan komitmen-komitmen seperti yang tersebut diatas adalah boleh bagi
orang yang yakin bahwa ia akan mampu melunasi hutangnya atau membayarkan
tagihan kartu kreditnya sebelum atau pada saat jatuh tempo sehingga dengan
demikian ia terlepas dari konsekuensi persyaratan itu.
2. Persentase yang dipotong dari transaksi pembelanjaan oleh issuer dari
merchant.
Seperti diketahui bersama bahwa pihak yang mengeluarkan kartu kredit
(issuer) mengambil persentase tertentu dari jumlah pembayaran yang dilakukan
97
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
oleh pemegang kartu (card holders) pada saat melakukan transaksi pembelanjaan.
Issuer biasanya tidak membayar jumlah yang dibayarkan oleh card holder
seluruhnya seperti yang ada dalam rekening pembayaran, namun issuer akan
memotong jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan dengan pihak yang
menerima transaksi dengan kartu kredit (merchant). Para ahli fiqh kontemporer
berbeda pendapat mengenai kedudukan masalah secara syar'i yang paling tepat
berkaitan dengan hal tersebut. Sebagian ahli fiqh ada yang mendudukkan
persentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan pembayaran dari
nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan hutang atau
menyampaikan barang yang dihutangkan adalah boleh-boleh saja.
Sebagian mengatakan bahwa persentase itu adalah upah dari jasa yang
diberikan oleh pihak bank (issuer) kepada pihak pedagang (merchant), seperti
periklanan dan bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Hal ini bisa juga
disebut sebagai upah perantara karena issuer sudah membantu mencarikan
pelanggan untuk merchant sehingga layak mendapatkan upah karenanya.
Sebagian yang lain beranggapan bahwa persentase itu merupakan kompensasi
perdamaian bersama pihak yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih
sedikit dari yang harus dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan
kartu dengan pihak pemegang kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian
dinyatakan boleh oleh kalangan Hanafiyah.
Sementara ada juga yang berpendapat bahwa pengambilan persentase itu
tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar karena kita dihadapkan
dengan persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga, sehingga tidak ada hal
yang menyeretnya kepada bentuk riba.
Walaupun berbeda pandangan dalam menentukan duduk persoalan,
pengkajian fiqh kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan persentase
keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi sehingga layak
disebut sebagai upah jasa yang diberikan kepada pihak pedagang dan tergambar
langsung dalam rekening pembeliannya. Dan juga dilakukan agar dapat menarik
para pelanggan untuk membeli barang dari merchant tersebut, juga mempermudah
proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluarkan kartu itu dan pihak
98
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
bank lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah dari
pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut
untuk kepentingan pedagang.
Di beberapa negara seperti Yordania dan Kuwait, pengambilan persentase
tersebut dianggap sebagai upah penjaminan karena menjadi penjamin dan
mediator antara pedagang dengan pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi
itu pihak bank menjadi sebab terjadinya banyak hal, seperti lakunya barangbarang yang dijualnya, rasa aman yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan
kesempatan memperoleh piutang dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu
terkadang juga tidak berpengaruh apa-apa. Karena uang administrasi itu tidak
menambah jumlah harga dan juga tidak memperhatikan jumlah harga yang
dijaminnya.18
3. Denda Keterlambatan dan Bunga Riba
Issuer biasanya menetapkan beberapa bentuk denda finansial akibat dari
keterlambatan pembayaran oleh card holders. Para fuqaha sependapat bahwa
denda semacam itu termasuk riba yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi.19
Dalam hukum Islam, hal itu termasuk kedalam riba nasi’ah yang keharamannya
langsung ditentukan melalui turunnya ayat al-Qur'an dan para pelakunya diancam
perang oleh Allah dan RasulNya sebagaimana firman Allah dalam QS. AlBaqarah ayat 279:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
18
Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada
tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&pa
rent_id=296&parent_section=an020&idjudul=295
19
Ahmad Zain An-Najah, Konsultasi Fiqh Kontemporer: Hukum Menggunakan Kartu Kredit,
diakses pada tanggal 5 Maret 2010 dari website: http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fiqih/
10434-hukum-menggunakan-kartu-kredit-
99
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Akan tetapi, menurut fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia No. 54/DSN-MUI/X/2006, issuer dapat mengenakan ta’widh, yaitu
ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh issuer akibat keterlambatan
yang telah jatuh tempo. Di samping itu, issuer juga dapat mengenakan denda
keterlambatan pembayaran (late charge) yang harus diakui seluruhnya sebagai
dana sosial.
Kajian Syariah terhadap Kebolehahn Kartu Kredit
Daud Bakar, seorang profesor di IIUM Malaysia, berpendapat bahwa kartu
kredit tidak dikenal dalam Islam, karenanya istilah yang paling tepat digunakan
adalah kartu debit.20
Pendapat Daud Bakar tersebut menyangsikan kesyari’ahan kartu kredit
karena dilandasi pada analogi bahwa kartu kredit sama dengan menganjurkan
orang untuk berutang. Padahal di dalam Islam, berutang merupakan salah satu hal
yang tidak dianjurkan.
Hal ini merujuk pada banyak hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang
isinya adalah orang yang mempunyai utang selalu berkata bohong dan selalu tidak
pernah menepati janjinya. 21 Oleh karena itu Rasulullah SAW sendiri selalu berdoa
agar dirinya selalu tidak dalam keadaan berutang. Walaupun demikian, Islam
menganjurkan agar orang yang kesulitan dalam membayar utang harus diberikan
keringanan dalam membayarnya, sebagaimana firman Allah:
20
Hal tersebut diungkapkan oleh Assoc. Prof. Dr. Mohd. Daud Bakar dalam salah satu seminar
nasional di Kuala Lumpur pada tahun 2002. Daud Bakar, yang juga merupakan anggota Dewan
Syari’ah Nasional Malaysia merupakan salah satu orang yang tidak setuju dengan diberikan label
syari’ah pada kartu kredit.
21
Dodik Siswantoro, Kartu Kredit: Antara Kehalalan dan Kebaikannya, diakses pada tanggal 15
Maret 2010 dari website: http://www.hidayatullah.com/opini/artikel/ 1236-kartu-kredit:-antarakehalalan-dan-kebaikannya-
100
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah 280)
Jadi, apapun jenis aqad transaksi yang digunakan dalam kartu kredit
syari’ah dan sejenisnya baik ijarah, qardh atau wadiah, secara substansi tetap
menganjurkan orang untuk berutang. Hal inilah yang mendasari mengapa kartu
kredit tidak mungkin dapat disyari’ah-kan.22
Akan tetapi, Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN –
MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang hukum kebolehan kartu kredit, yaitu
fatwa No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card (Bithaqah I’timan/Credit
Card). Pihak DSN-MUI beralasan bahwa secara prinsip kartu kredit tersebut
dibolehkan syariah selama dalam praktiknya tidak bertransaksi dengan sistem riba
yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin
lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Akad yang digunakan dalam
transaksi kartu kredit adalah kafalah, qardh, dan ijarah.
Walaupun demikian, ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh
pengguna kartu kredit tersebut, yaitu: (a) Tidak menimbulkan riba, (b) Tidak
digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah, (c) Tidak mendorong
pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu
maksimal pembelanjaan, (d) Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan
finansial untuk melunasi pada waktunya, (e) Tidak memberikan fasilitas yang
bertentangan dengan syariah.
Pertimbangan pihak DSN – MUI dalam mengeluarkan fatwa tersebut
adalah dalam rangka memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi
nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai, sehingga Bank Syariah
dipandang perlu menyediakan sejenis kartu kredit, yaitu alat pembayaran dengan
menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas
kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi
pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai, di mana kewajiban
pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit,
22
Ibid
101
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran
tersebut pada waktu yang disepakati secara angsuran. Pertimbangan lain adalah
kartu kredit yang ada sekarang menggunakan sistem bunga (interest) sehingga
tidak sesuai dengan prinsip Syariah. Selain itu,
untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat atas kartu yang sesuai Syariah, pihak Dewan Syariah Nasional MUI
memandang perlu menetapkan fatwa tentang Syariah Card yang fungsinya seperti
kartu kredit untuk dijadikan pedoman.
Dalam membuat ketentuan ini, pihak DSN – MUI merujuk kepada
beberapa dalil di antaranya firman Allah SWT dalam:
1. QS. al-Maidah 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
2. QS. al-Isra’ 34:
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
3. QS. Yusuf 72:
102
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya."
4. QS. al-Nisa’ 29:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Selain itu, DSN – MUI juga merujuk kepada Hadits Nabi S.A.W. antara
lain: “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram” (HR Tirmidzi). Kemudian, “Tidak boleh
membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ibnu Majah
dan al-Daraquthni).
Selanjutnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Telah
dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. jenazah seorang laki-laki untuk dishalatkan.
Rasulullah bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’.
Maka, beliau menshalatkannya. Kemudian dihadap-kan lagi jenazah lain,
Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Mereka menjawab,
‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Shalatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau
menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya
Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.”
Kemudian pada hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Hibban:,
“Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung utang)”. , selanjutnya
103
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
hadits riwayat Abu Dawud: “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran)
hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan
memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.” Juga pada
hadits riwayat Abd ar-Razzaq: “Barang siapa mempekerjakan pekerja,
beritahukanlah upahnya.”, kemudian hadits riwayat Muslim: “Orang yang
melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan
kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia
(suka) menolong saudaranya”, hadits riwayat Jama’ah: “…Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezhaliman…”,
dan hadits riwayat Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad: ”Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, menghalalkan harga diri dan
memberikan sanksi kepadanya serta hadits riwayat Bukhari: “Orang yang terbaik
di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.”
Selain kepada al-Qur’an dan al-Hadits, pihak DSN – MUI juga menggunakan
beberapa kaidah fiqh sebagai dasar fatwa, antara lain:
a. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”
b. “Kesulitan dapat menarik kemudahan.”
c. “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.”
d. “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu
yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan
syariat).”
e. “Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan)
atas mendatangkan kemaslahatan.”
Selain itu, keputusan fatwa tersebut diambil setelah mempelajari pendapat
fuqaha’ dan fatwa di dunia internasional antara lain Imam al-Dimyathi dalam
kitab I’anah al-Thalibin, jilid III, hal. 77-78; Khatib Syarbaini dalam kitab
Mughni al-Muhtaj, jilid III, hal. 202; As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab, juz
I, Kitab al-Ijarah, hal. 394; Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah, jilid 4, hal.
221-222; Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh Syaikh
104
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam, jilid 5,
hal. 542-543.
Adapun fatwa lain yang menjadi rujukan adalah Keputusan Hai’ah alMuhasabah wa al-Muraja’ah li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain,
al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei 2004: al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang Bithaqah
al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan. Demikian pula fatwa-fatwa DSN-MUI terkait
yaitu (a) No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, (b) No.11/DSNMUI/IV/2000 tentang Kafalah, (c) No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas
Nasabah
Mampu
yang
Menunda-nunda
Pembayaran,
(d)
No.19/DSN-
MUI/IV/2001 tentang Qardh; (e) No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh.
Sebagai perbandingan dapat pula dilihat fatwa terkait kartu kredit yang
dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa
Nomor, 3675, 5832, dan Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 7425.
Penutup
Pada bagian akhir tulisan ini akan diberikan beberapa kesimpulan yang
didasarkan pada kajian pendapat diatas disertai dengan analisis dari penulis
sendiri.
Secara umum, menurut kebanyakan pendapat dari ulama-ulama terkemuka
bahwa transaksi-traksaksi kartu kredit dapat dimasukkan kedalam akad kafalah,
wakalah, hawalah, qardh, dan ijarah. Akad-akad tersebut hukumnya boleh dan
penggunaannya disesuaikan dengan transaksi yang terjadi. Akan tetapi, jika dalam
praktik—baik syarat maupun unsur utama lainnya—masih terdapat unsur gharar,
ghubun dan riba, maka hukumnya menjadi haram. Wallahualam
Daftar Pustaka
Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli,
diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.
or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&parent_id=296&parent_section=an020
&idjudul=295
Ahmad Zain An-Najah, Konsultasi Fiqh Kontemporer: Hukum Menggunakan
Kartu Kredit, diakses pada tanggal 5 Maret 2010 dari website:
105
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fiqih/ 10434-hukummenggunakan-kartu-kreditBank Negara Indonesia, BNI Hasanah Card, diakses pada tanggal 17 Maret 2010
dari website: http://www.bni.co.id/Syariah/BNIHasanahCard/ BNIHasanah
Card/tabid/376/Default.aspx
-------------, Kartu Kredit: Memberi Makna dalam Setiap Transaksi, diakses pada
tanggal 15 Maret 2010 dari website: http://www.bni.co.id/KartuKredit/
tabid/162/Default.aspx
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (2006), Fatwa Dewan
Syari'ah Nasional No: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card
Dodik Siswantoro, Kartu Kredit: Antara Kehalalan dan Kebaikannya, diakses
pada tanggal 15 Maret 2010 dari website: http://www.hidayatullah.com/
opini/artikel/ 1236-kartu-kredit:-antara-kehalalan-dan-kebaikannyaDaud Bakar, M, Seminar nasional tentang ekonomi syariah, Kuala Lumpur, 2002.
Institut Bankir Indonesia (IBI), Konsep, Produk dan Implementasi Operasional
Bank Syariah, Jakarta: Penerbit Jembatan, 2002.
Muhammad Abdul Halim Umar, Jawanib al-Syariyyah wa al-Masrafiyah wa alMuhasabah li bitsaqat al-I’timan, Qahirah: Itrak li an-Nashr wa al-Tawzi,
1997.
Nazaruddin AW, Credit Card Pada Institusi Keuangan Syariah dalam Kajian Fiqh
Iqtishad, Media Syariah, vol. VIII, 2007.
Rafiq Yunis al-Misry, Bitsaqah al-I’timan Dirasah Syar’iyyah ‘Amaliyah
Mujazah, Majalah Majma’, Jilid 1 (7), tt.
Setiawan Budi Utomo, Hukum Kartu Kredit Syariah, diakses pada tanggal 20
Januari 2010 dari website: http://www.dakwatuna.com/2009/hukum-kartukredit-syariah/
Sullivan, Arthur & Steven M. Sheffrin, Economics: Principles in Action. Upper
Saddle River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall, 2003.
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161.
Wikipedia, Credit Card, diakses pada tanggal 3 Maret 2010 dari website:
http://en.wikipedia.org/wiki/Credit_card
106
View publication stats
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
Download