IDIK SAEFUL BAHRI, S.H., M.H. KONSEP MAYORITAS AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH Diterbitkan secara mandiri melalui Bahasa Rakyat KONSEP MAYORITAS AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH Oleh: Idik Saeful Bahri, S.H., M.H. Copyright © 2020 by Idik Saeful Bahri Penerbit Bahasa Rakyat Email : [email protected] Desain Sampul: Idik Saeful Bahri Diterbitkan melalui: Bahasa Rakyat 2 KATA PENGANTAR Isu tentang Ahlussunnah wal Jamaah selalu muncul setiap tahun. Setiap madzhab, aliran, bahkkan organisasi Islam selalu mengklaim bahwa dirinya lah yang paling Ahlussunnah. Perdebatan-perdebatan sudah sangat sering terjadi. Namun pada akhirnya, perdebatan itu tidak melahirkan kesimpulan yang konkret tentang apa itu Ahlussunnah wal Jamaah. Rasa penasaran umat Islam tentang konsep Ahlussunnah wal Jamaah sedikit banyak terobati dengan adanya Muktamar Ahlussunnah wal Jamaah di Grozny pada tahun 2016, mengambil tema kajian “man hum ahlussunnah wal jamaah” yang berarti “siapa sesungguhnya ahlussunnah wal jamaah”. Muktamar tersebut, selain memperkuat keyakinan bagi golongan Asy’ari Maturidi, namun juga ditentang oleh sebagian kecil pihak lainnya. Mereka yang tidak diajak dalam muktamarseperti Saudi, menolak keras konsep Ahlussunnah wal Jamaah dalam muktamar itu. Namun lepas dari pada itu, konsep Ahlussunnah wal Jamaah yang digagas dalam muktamar di Grozny sesungguhnya merupakan konsep lama yang telah disepakati oleh jumhur ulama. Bahkan dalam Anggaran Dasar (Qanun Asasi) Nahdlatul Ulama, dalam pengajaran di kampus besar seperti al-Azhar, serta diajarkan di banyak negara-negara mayoritas Islam, konsep itu telah diadopsi. Buku ini tentu memperkuat hasil dari muktamar Ahlussunnah wal Jamaah di Grozny serta menguraikannya menjadi lebih komprehensif. 3 DAFTAR ISI Kata Pengantar 3 Daftar Isi 4 Pasal 1. Mengenal Ajaran Ahlussunnah wal Jamaah 7 A. B. C. D. E. F. Berita Perpecahan Umat Islam 7 Golongan yang Selamat 11 Definisi Ahlussunnah wal Jamaah 14 Sejarah Perpecahan Umat Islam 24 Ciri dan Sifat Ahlussunnah wal Jamaah 34 Penisbatan Ahlussunnah wal Jamaah 42 Pasal 2. Tauhid Menurut Ahlussunnah wal Jamaah 51 A. B. C. D. Pentingnya Teologi 51 Penggunaan Dalil 57 Madzhab Mayoritas Teologi 61 Rukun Iman 62 Pasal 3. Tentang al-Asy’ari dan al-Maturidi 65 A. Mengenal Imam Asy’ari 68 B. Mengenal Imam Maturidi 77 C. Pentingnya Bermadzhab 84 Pasal 4. Belajar Islam, Iman, dan Ihsan 100 A. B. C. D. E. F. Pentingnya Agama 100 Islam Agama yang Hak 102 Trilogi Agama 103 Memahami Islam 104 Memahami Iman 106 Memahami Ihsan 108 Pasal 5. Mengenal Allah Azza wa Jalla 111 A. Allah Tuhan yang Hak 114 4 B. C. D. E. F. Asmaul Husna 116 Sifat-Sifat Allah 117 Allah Ada Tanpa Dimensi 122 Allah Berbeda dengan Makhluk 129 Allah Maha Perkasa 130 Pasal 6. Mendalami Para Malaikat 132 A. B. C. D. E. Definisi Malaikat 133 Jumlah Malaikat 135 Malaikat yang Wajib Diketahui 136 Mengenal Malaikat Lain 141 Hakikat Beriman Kepada Malaikat 148 Pasal 7. Membaca Kitab-Kitab Allah 150 A. B. C. D. Pengertian Kitabullah 152 Jumlah Kitabllah 153 Definisi Suhuf 158 Perbedaan Kitab dan Suhuf 160 Pasal 8. Mengimani Para Nabi dan Rasul 161 A. B. C. D. E. F. Definisi Nabi dan Rasul 163 Perbedaan Nabi dan Rasul 163 Jumlah Nabi dan Rasul 165 Nabi dan Rasul yang Wajib Diketahui 166 Gelar Ulul Azmi 180 Sifat-Sifat Nabi dan Rasul 181 Pasal 9. Mempercayai Kedatangan Hari Kiamat 185 A. B. C. D. E. F. G. Definisi Hari Kiamat 186 Dasar Hukum Kepastian Kiamat 187 Pengetahuan Allah 188 Pembagian Kiamat 189 Tanda-Tanda Kiamat Kubra 191 Setelah Kiamat 200 Hikmah Beriman kepada Hari Kiamat 201 5 Pasal 10. Memaknai Qadla dan Qaqar 202 A. Definisi Qadla dan Qadar 204 B. Macam-Macam Takdir 205 C. Kelompok dalam Islam 209 Pasal 11. Al-Qur’an Sebagai Sumber Utama 216 A. B. C. D. Al-Qur’an Masih Asli 220 Al-Qur’an Bukan Makhluk 221 Kandungan Al-Qur’an 224 Jumlah Ayat Al-Qur’an 225 Pasal 12. As-Sunnah Sebagai Sumber Kedua 227 A. B. C. D. E. F. G. Pembagian Sunnah 228 Memahami Hadits Nabi 230 Rujukan Imam Ahlussunnah 231 Hadits dilihat dari Perawi 233 Hadits dilihat dari Sanad 234 Istilah Populer Hadits 235 Kitab Populer 237 Pasal 13. Ijtihad Ulama (Ijma’ dan Qiyash) 238 A. B. C. D. E. Definisi Ulama 239 Bentuk Ijtihad Ulama 241 Syarat Ijtihad 243 Mengenal Ijma’ Ulama 245 Mengenal Qiyash 250 Daftar Pustaka 258 Tentang Penulis 260 6 Pasal 1 Mengenal Ajaran Ahlussunnah wal Jamaah A. Berita Perpecahan Umat Islam Nabi Muhammad:1 فانه من يعش منكم من بعدى فسيرى اختالفا كثيرا فعليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantaramu niscaya akan melihat perselisihan (paham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khalifah Rasyidin yang diberi hidayah. Pegang teguhlah itu dan gigitlah dengan gerahammu. (HR. Imam Abu Daud) Nabi Muhammad:2 عن ابى هريرة ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال تفرقت اليهود على احدى وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق امتى على ثالث وسبعين فرقة 1 Lihat Sunan Abu Daud Juz IV, hlm. 201. 2 Lihat Sahih Tirmidzi Juz X, hlm. 109. 7 Dari Abu Hurairah ra beliau berkata bahwa nabi Muhammad Saw bersabda : telah berfirqah-firqah orang Yahudi atas 71 firqah dan orang nashara seperti itu pula, dan akan berfirqqah ummatku atas 73 firqah. (HR. Tirmidzi) Nabi bersabda:3 ان بنى اسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق امتى على ومن هى يا: ثالث وسبعين ملة كلهم فى النار اال ملة واحدة قالو ما انا عليه واصحابى: رسول هللا ؟ قال Bahwasanya bani israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu. Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: siapakah yang satu itu ya Rasulullah?” nabi menjawab: “Yang satu itu ialah orang yang berpegang (beri’tiqad) sebagai peganganku (i’tiqadku) dan pegangan sahabatsahabatku. (HR. Tirmidzi) Nabi bersabda:4 ال تزال طائفة من امتى ظاهرين حتى يأتيهم أمر هللا وهم ظاهرون 3 Lihat Sahih Tirmidzi Juz X, hlm. 109. 4 Lihat Fathul Bari Juz XVII, hlm. 56. 8 Akan ada segolongan dari umatku yang tetap atas kebenaran sampai hari kiamat dan mereka tetap atas kebenaran itu. (HR. Bukhari) Menurut Syekh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, yang memiliki gelar Ba’Alawi, menyatakan bahwa 72 firqah sesat itu berpokok pada 7 firqah, yaitu:5 1. Kaum Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali Karamallahu wajhah. Mereka tidak mengakui khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman radiyallahu’anhum. Kaum Syi’ah kemudian terpecah menjadi 22 aliran. 2. Kaum Khawarij, yaitu kaum yang berlebihlebihan membenci Saidina Ali, bahkan diantara mereka ada yang mengkafirkannya. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat ddosa besar bisa menjadi kafir. Kaum Khawarij ini kemudan terpecah menjadi 20 aliran. 3. Kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang berpaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri, Sayid Abdurrahman, Bugyatul Mustarsyidin, (Kairo: Mathba’ah Amin Abdul Majid, 138 H.) hlm. 398. 5 9 4. 5. 6. 7. 10 bahwa Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata di dalam Surga, bahwa orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan diantara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhammad hanya dengan ruh saja, dan lain-lain. Kaum Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran. Kaum Murji’ah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebagaimana jika seseorang membuat kebaikan tidak akan memberi manfaat jika dia kafir. Kaum Murji’ah ini terpecah menjadi 5 aliran. Kaum Najariyah, yaitu kaum yang berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yakni dijadikan oleh Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah pecah menjadi 3 aliran. Kaum Jabariyah, yaitu kaum yang berfatwa bahwa manusia majbur, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum Musyabbihah, yaitu kaum yang berpendapat bahwa ada keserupaan Tuhan dengan makhlukNya, seperti bertangan, berkaki, duduk di Arsy, dan yang lainnya. Jadi jumlahnya dapat digambarkan sebagai berikut: Kaum Syi’ah = 22 aliran Kaum Khawarij = 20 aliran Kaum Mu’tazilah = 20 aliran Kaum Murji’ah = 5 aliran Kaum Najariyah = 3 aliran Kaum Jabariyah = 1 aliran Kaum Musyabbihah = 1 aliran Jumlah = 72 aliran Jika ditambah dengan satu aliran yaitu golongan yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah, maka menjadi 73 firqah seperti yang diterangkan oleh Nabi Muhammad dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi. Begitulah menurut Syekh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar. B. Golongan yang Selamat Dari Amir Abdullah bin Luhai, ia berkata, “kami berangkat haji bersama Muawiyah bin Abi Sufyan. Ketika sampai di Mekkah, Muawiyah berddiri—saat 11 akan menunaikan shalat dzuhur—dan berkata, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda:6 وان هذه. ان اهل الكتابين افترقوا فى دينهم غلى ثنتين وسبعين ملة االمة ستفترق على ثالث وسبعين ملة – يعنى االهواء – كلها فى النار وانه سيخرج فى امتى افوام تجاري بهم تلك. اال واحدة وهى الجماعة ال يبقى منه عرق وال مفصل اال. االهواء كما يتجارى الكلب بصاحبه دخله وهللا يا معشر العرب لئن لم تقوموا بما جاء به نبيكم صلى هللا عليه وسلم لغيركم من الناس احرى ان ال يقوم به Sesungguhnya pengikut dua kitab (Yahudi dan nashrani) pecah mengenai agama mereka menjadi tujuh puluh dua aliran, dan umat (Islam) ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran, yakni alahwa (mengikuti hawa nafsu). Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu, yaitu al-Jamaah. Sungguh akan muncul dikalangan umatku golongan-golongan yang akan diikuti oleh hawa nafsu seperti anjing kejarkejaran bersama kawanannya. Tidak ada urat dan persendian yang tak dimasukinya. Demi Allah, wahai bangsa Arab! Jika kalian tidak menegakkan ajaran Nabi kalian, maka bangsa lain lebih pantas untuk tidak menegakkannya. (HR. Ahmad, Abu Daud, alHakim). Hadits tersebut dishahihkan atau dihasankan oleh al-Hakim, adzDzahabi, dan Ibnu Hajar. 6 12 Dari Muawiyah, ia berkata pernah mendengar Rasulullah bersabda: ال يضرهم من خذلهم او خالفهم. ال تزال طائفة من امتى قائمة بأمرهللا حتى يأتي امرهللا وهم ظاهرون على الناس Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang menjalankan perintah Allah. Mereka tak peduli akan orang-orang yang merendahkan dan menentang mereka, hingga datang keputusan Allah. Dan mereka lebih unggul dari yang lainnya. (HR. Muslim) Nabi bersabda: ويطعى هللا ولن. وإنما أنا قاسم. من يردهللا به خيرا يفقهه فى الدين أو حتى يأتي امرهللا. يزال أمر هذه االمة مستقيما حتى تقوم الساعة Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, ia pun akan difakihkan dalam hal agama. Sesungguhnya aku adalah pembagi, sedangkan Allah adalah pemberi. Urusan (agama) umat ini akan senantiasa lurus hingga datangnya hari kiamat atau datangnya keputusan Allah. (HR. Bukhari) Nabi bersabda: فمن اراد منكم بحبحة الجنة فليلزم الجماعة 13 Maka barang siapa diantara kamu menghendaki surga, hendaklah ia berkomitmen bersama alJamaah. (HR. Ahmad dan Tirmidzi) Lebih jelas, dari Ibnu Abbas Ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: يدهللا مع الجماعة Tangan Allah bersama al-Jamaah. (HR. Tirmidzi dan Tabrani) Dari Ibnu Umar Ra., ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: اليجمع هللا هذه االمة – اوقال امتى – على ضال لة Allah tidak menyatukan umat ini—atau umatku— diatas kesesatan. (HR. Tirmidzi, al-Hakim, dan atThabrani) C. Definisi Ahlussunnah wal Jamaah Istilah Ahlussunnah wal Jamaah adalah sebuah istilah yang sering kita dengar ditengah-tengah masyarakat. Bahkan istilah ini lebih jauh dikenal oleh hampir seluruh mayoritas umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Jika pembaca mencoba berkeliling dunia dan 14 bertanya tentang i’tiqad yang dianut kepada setiap Muslim yang pembaca datangi, maka pasti mayoritas umat Muslim akan menjawab beri’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Namun kadang, kita tidak paham istilah Ahlussunnah wal Jamaah itu sendiri. Atau mungkin kita bingung definisi Ahlussunnah wal Jamaah yang tepat itu seperti apa dan bagaimana wujud nyata Ahlussunnah wal Jamaah di zaman ini. Ditengah-tengah banyaknya aliran dan firqah-firqah yang ada di dalam realitas masyarakat muslim saat ini, nama Ahlussunnah wal Jamaah seolah-olah bagaikan magnet untuk dijadikan tameng bagi perlindungan diri dari ganasnya zaman yang memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan ini. Beraneka macam aliran muncul, dari yang hanya bid’ah belaka, sesat, bahkan sampai tingkatan kafir yang jauh dari nilainilai syahadatain. Saling curiga pun muncul antara satu golongan dengan golongan yang lain, antara satu aliran dengan aliran yang lain, antara satu sekte dengan sekte yang lain. Terjadilah antar golongan itu saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya. Untuk mencari aman diantara situasi buruk semacam itu, tidak sedikit kelompok yang berlindung di bawah nama Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, kelompoknya tidak dengan mudah di curigai 15 oleh kelompok lain. Nama Ahlussunnah wal Jamaah memang dianggap sebagai sebuah bahasa universal dalam dunia Islam, yang dengan nama itu, kita bisa berjalan dengan leluasa tanpa merasa di buntuti oleh musuh. Tapi dengan pengklaiman ajaran Ahlussunnah wal Jamaah oleh sekian banyak golongan, aliran, maupun sekte dalam Islam, kini membuat bingung masyarakat muslim awam pada umumnya, seperti apa ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang sebenarnya. Golongan Ahlussunnah wal Jamaah ialah golongan yang menganut i’tiqad sebagaimana dianut oleh nabi Muhammad saw., dan para sahabat. I’tiqad nabi dan para sahabat itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan dalam Sunnah Rasul secara terpisah, belum tersusun secara rapi dan teratur. Kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar Ushuluddin, yaitu imam Abu Hasan al-Asy’ari.7 Dalam kitab al-Mausu’ah al-Arabiyah alMuyassarah, sebuah Ensiklopedia ringkas, memberikan definisi Ahlussunnah sebagai berikut:8 Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), hlm. 2 7 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 1. 8 16 Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari nabi Muhammad saw., dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu’). Diantara mereka ada yang disebut sebagai Salaf, yakni generasi awal mulai dari para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, dan ada juga yang disebut Khalaf, yaiitu generasi yang dating kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara mereka juga ada yang bersifat reformatif (mujaddidun) dan diantaranya lagi bersifat konservatif (muhafidhun). Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam. Jika kita melihat dari sejarah, asal penggunaan nama Ahlussunnah wal Jamaah terjadi perdebatan. Sengaja disini penulis mengatakan lahirnya nama Ahlussunnah wal Jamaah, bukan lahirnya kelompok Ahlussunnah wal Jamaah, karena golongan Ahlussunnah wal Jamaah merupakan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Jadi hakikat ajaran Ahlussunnah wal Jamaah tidak lain 17 adalah ajaran yang disampaikan oleh nabi kepada umatnya. Hanya saja dengan berjalannya waktu, terjadilah cerai berai dalam ilmu agama, hingga kemudian harus kembali di satu padukan dalam sebuah kerangka teori. Setidaknya penulis menemukan ada 4 versi yang menggambarkan kemunculan nama Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu : 1. Ada pihak yang mengatakan bahwa sebenarnya nama Ahlussunnah wal Jamaah telah ada dari zaman nabi Muhammad. Salah satu dalilnya adalah hadits riwayat Abu Daud dan Tirmidzi. Banyak kalangan yang menganggap hadits ini dhaif, tapi karena banyak yang meriwayatkan, status haditsnya pun berganti menjadi kuat. Demikian menurut ilmu mushthalah hadits. 2. Kelompok kedua mengatakan bahwa nama Ahlussunnah wal Jamaah lahir pada akhir windu kelima tahun hijriah, yang dikenal sebagai ‘amul jamaah (tahun persatuan). 3. Pendapat ketiga menjelaskan bahwa nama Ahlussunnah wal Jamaah muncul pada abad II hijriah, yaitu di masa sedang puncaknya perkembangan ilmu teologi Islam atau ilmu kalam, yang ditandai dengan munculnya pemikiran rasionalisme Islam yang dipelopori 18 oleh golongan Muktazilah. Untuk mengimbangi itu, muncullah orang bernama Abu Hasan al-Asy’ari yang membentengi umat dari pemikiran rasional orang-orang Muktazilah. Hanya saja, perlu juga kita pahami, ada yang tidak menyukai teologi alAsy’ari seperti golongan Salafi Wahabi, dan menyebutnya hanya sebagai madzhab Asy’ariyah. 4. Kemunculan nama Ahlussunnah wal Jamaah tidak bisa dilepaskan dari munculnya Syiah dan Khawarij dari sejak perang Shifin antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Muawiyah. Karena fenomena saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya, ulama pun menyatakan netral dan menyatakan kembali kepada Sunnah nabi. Kemudian barulah kita mengenal istilah Ahlussunnah wal Jamaah atau dikalangan sekarang lebih terkenal dengan sebutan Sunni. Dari berbagai macam perbedaan pendapat, penulis mencoba menengahi dari setiap pendapat yang ada. Secara umum, landasan berpikir dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah tentu telah ada dari zaman nabi Shallallahualaihi wa Sallam. Hal ini juga 19 dikuatkan oleh pendapat Ibnu Taimiyah dalam bukunya Minhaju as-Sunnah yang mengatakan bahwa nama Ahlussunnah wal Jamaah telah ada jauh sebelum Imam madzhab lahir. Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan Islam sedikit demi sedikit digerogoti dengan politik-politik golongan, hingga memunculkan banyak aliran. Dengan kenyataan itulah, jelas peran nama Ahlussunnah wal Jamaah harus kembali disuarakan dan di dengungkan di dunia Islam. Maka melalui prakarsa pemikiran Imam al-Asy’ari, nama Ahlussunnah wal Jamaah itu kembali bergema. I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah yang disusun oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari terbagi dalam enam bagian sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan ditulis dalam Sahih Muslim Juz I halaman 22, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ketuhanan Malaikat Kitab suci Rasul Hari Kiamat Qadla dan Qadar Mengenai ketuhanan, kita diwajibkan untuk mempercayai 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, dan 1 sifat jaiz bagi Allah. Kita 20 juga diwajibkan untuk mempercayai adanya malaikat yang jumlahnya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah, dan hanya diwajibkan untuk mengetahui minimal 10 malaikat. Begitupun dengan kitab suci, kita diwajibkan untuk mempercayai kitab Zabur, Taurat, Injil, dan al-Quran. Demikian termasuk kita harus mengakui dan meyakini seluruh nabi dan rasul dari sejak Adam hingga ditutup oleh nabi Muhammad. Dan kita juga harus meyakini akan kedatangan hari Kiamat dan adanya kewenangan Allah dalam mengatur keseimbangan alam raya ini, yang kita sebut sebagai Qadla dan Qadar. Kembali kepada latar belakang di permulaan tulisan ini, ditanyakan bahwa apakah pengertian Ahlussunnah wal Jamaah bisa sesempit itu? Penulis menyatakan tidak. Ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang sebenarnya adalah ajaran nabi itu sendiri. Jika nabi mengajarkan A, maka Ahlussunnah pun akan mengatakan A. Ahlussunnah secara bahasa memang diartikan sebagai golongan yang mengikuti sunnah nabi. Sementara istilah Jamaah, mengacu pada orangorang setelah nabi, yaitu khulafaurrasyidin dan ulama-ulama tabi’in. Dari sinilah akar permasalahan itu muncul. Bagaimana bisa kita mendalami ajaran nabi tanpa melalui perantara ulama antar generasi? Jelas tidak 21 mungkin. Secara logika sederhana, jika kita ingin mendalami ajaran yang dibawa nabi (yang terpaut angka 1400-an tahun), kita harus belajar kepada kiai di tempat ngaji. Kiainya tentu mendapatkan ilmunya dari ulama sebelumnya. Ulamanya mendapatkan ilmunya dari ulama sebelumnya lagi. Terus hingga mendapatkan ilmu dari ulama tabi’in. Perlu di pahami disini, bahwa ulama tabi’in adalah patokan kita. Mengapa? Karena di zaman inilah perpecahan besar dalam dunia Islam muncul. Dari sejak lahirnya aliran-aliran Syiah, Khawarij, Muktazilah, Qadariyah, Jabariyah, dan segala macamnya, lahir di masa ini dan masa setelahnya. Maka jelas, nama-nama ulama tabi’in akan menjadi patokan dasar kebenaran untuk mengantarkan kita menuju pemahaman para sahabat dan puncaknya hingga kepada nabi. Tidak heran, di zaman ini pulalah, bermunculan madzhab-madzhab hebat dalam dunia Islam. Dengan kenyataan itu, walau sesungguhnya ajaran Ahlussunnah wal Jamaah merupakan ajaran nabi, tapi untuk mencapai itu, kita harus melewati zaman tabi’in. Salah menentukan ulama, jelas kesananya akan berbeda. Tidak percaya? Sekarang kita ambil 1 contoh. Jika ada pertanyaan, dimana Allah? Maka jawabannya akan berbeda-beda. Orang yang ketika 22 meriwayatkan ilmunya melewati jalur Tabi’in dengan berkiblat kepada Ibnu Taimiyah, jelas akan mengatakan bahwa nabi dan sahabatnya meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy sesuai dengan firmanNya. Tapi bagi orang yang meriwayatkan ilmunya lewat jalur al-Asyari dan al-Maturidi, mereka akan mengklaim bahwa nabi dan sahabatnya yakin bahwa Allah itu tidak bertempat karena menyandang sifat mukholafatu lil hawadits. Maka penting sekali mengenal madzhab-madzhab dalam Islam. Karena melalui madzhab inilah, hakikat dan makna ajaran nabi akan sampai kepada kita. Oleh karena itu, sekali lagi penulis menyanggah bahwa hanya menjadikan al-Quran dan Hadits saja sebagai sumber hukum, jelas akan jauh menyesatkan. Terbukti, dengan gerakan inilah memunculkan banyak perselisihan karena mereka menafsirkan alQuran dan Hadits dengan gayanya sendiri, dengan ilmunya sendiri, dengan latar belakangnya sendiri. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menetapkan sebuah panduan bagi diri kita sendiri. Karena melalui ulama-ulama di masa Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, ajaran nabi akan jelas terlihat. Dan tentu saja, kita harus mengakui bahwa ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ajaran nabi, dan menjadi rujukan bagi mayoritas umat 23 muslim di dunia, adalah apa yang disampaikan dan di konsep oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Dengan memahami apa yang telah menjadi pembahasan Imam al-Asy’ari, setidaknya membuka peluang bagi kita untuk memahami konsep tauhid yang benarbenar menjadi pegangan nabi dan para sahabat. D. Sejarah Perpecahan Umat Islam Masalah politik merupakan sumber perpecahan umat Islam yang terbesar, sehingga Al-Syahrastani (wafat th. 548 H) dalam bukunya Al-Milal wa alNihal mengatakan: wa azhamu khilafin bayna alummah khilafu al-immah, iz ma sulla sayfun fi alIslam ala qaidah diniyyah misla ma sulla ala alimmah fi kulli zaman. ( Dan perselisihan terbesar di antara umat adalah perselisihan mengenai imamah (kepemimpinan), kerana tidak pernah pedang dihunus dalam Islam dengan alasan agama sebagaimana (sesering) dihunus karena imamah pada setiap zaman).9 Al-Imam Abu Al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim AlSyahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal, j.1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, t.th.), hlm.13. 9 24 Masalah imamah adalah masalah politik, masalah menentukan siapa yang akan memimpin umat. Walaupun sebenarnya perselisihan mengenai imamah itu sudah bermula sejak Rasulullah s.a.w. wafat, terutama antara golongan Muhajirin dan golongan Anshar, tetapi ianya dapat diselesaikan dengan damai, iaitu dengan mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah. Sejak terbunuhnya Usman bin Affan (tahun 35 H) sehingga ke hari ini umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya tersendiri dan tidak mengakui pemimpin dari kelompok lain. Terbunuhnya Usman itu sendiri sebenarnya disebabkan oleh masalah politik juga. Kelompok pemberontak yang tidak senang dengan para gabenor yang diangkat oleh Usman dan kebijaksanaannya menuntut agar khalifah ketiga itu meletakkan jawatan, tetapi Usman enggan melakukannya. Keengganan Usman melakukan tuntutan kelompok tersebut membuat mereka marah dan akhirnya Usman terbunuh di rumah ketika sedang membaca Al-Qur`an.10 Al-Imam Muhammad Abu Zahrah (1996), Tarikh al-Madzahib alIslamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, hlm. 26-29; Abu Bakar al-Arabi (1418), al-Awasim Min Al-Qawasim, Riyadh: Wazarah al-Syuun alIslamiyyah, hlm. 61 dst.; Ahmad Muhammad Ahmad Jilli (1988), Dirasah 10 25 Kematian Usman menjadi titik tolak bagi perpecahan umat Islam. Al-Baghdadi (wafat th. 429 H) dalam bukunya Al-Farq bayna al Firaq mengatakan: Tsumma ikhtalafu bada qatlihi fi qotilihi wa khozilihi ikhtilafan baqiyan ila yawmina hadza . (Kemudian mereka (para shahabat) berselisih setelah terbunuhnya (Usman) dalam masalah orangorang yang telah membunuhnya dan orang-orang yang membiarkannya terbunuh, perselisihan yang kekal (berbekas) sampai hari (zaman)kita ini).11 Perang saudara pun mulai bersemangat. Perang pertama yang terjadi adalah perang unta (perang jamal) tahun 36H. Antara kelompok yang dipimpin oleh Aisyah r.a, isteri Rasul saw, yang menuntut bela atas kematian Usman, dengan kelompok Ali bin Abi Talib yang diangkat menjadi khalifah sesudah Usman. Kelompok pemberontak setelah membunuh Usman bergabung dengan Ali, itulah sebabnya An al-Firaq Fi Tarikh al-Muslimin: al-Khawarij Wa al-Syiah, Riyadh: King Faisal Centre For Research and Islamic Studies, hlm. 30-45; Mustafa Muhammad Asy Syakah (1994), Islam Tidak Bermazhab, A.M. Basalamah (terj.), Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 101; Syed Ameer Ali (1967), Api Islam, H.B. Jassin (terj.), Jakarta: P.T. Pembangunan, hlm. 158-160. Al-Imam Abdul Qadir bin Tahir bin Muhammad Al-Baghdadi, al-Farq Bayn Al-Firaq, (Beirut: Dar al-Marifah, 1997), hlm. 24. 11 26 kelompok Aisyah dan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut agar Ali menegakkan hukum terhadap mereka. Tetapi Ali tidak dapat melaksanakan tuntutan itu. Hal ini menyebabkan krisis politik yang berpanjangan. Masalah politik merupakan punca yang disebut dengan al-Fitnah al-Kubra (bencana besar) di kalangan umat Islam. Umat Islam berpecah kepada tiga kelompok: Pertama: kelompok Ali, kedua: kelompok Muawiyah, dan ketiga: kelompok moderat/neutral yang tidak memihak kepada salah satu dari dua kelompok tersebut. Dua kelompok pertama memiliki pengikut yang banyak, sedangkan kelompok moderat kerana tidak ikut campur dalam masalah politik maka jumlahnya tidak diketahui, tetapi kelompok ini merupakan majoriti umat, di antara para sahabat yang bergabung di dalam kelompok moderat ini adalah: Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Saad bin Malik, Saad bin Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan lain-lain. Pertentangan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan membawa kepada terjadinya perang Siffin. Setelah kelompok Muawiyah hampir 27 kalah, mereka mengajak untuk bertahkim (arbitrate) bagi menyelesaikan konflik yang terjadi. Perundingan (tahkim) dilaksanakan di Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H. Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash (wafat th.43 H) dan kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa AlAsy'ari (wafat th. 44 H). Kedua-duanya bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing. Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan jujur. Amru membuat tipuan terhadap Abu Musa dengan mengatakan bahawa konflik yang terjadi adalah disebabkan oleh dua orang, iaitu Ali dan Muawiyah, maka untuk menciptakan perdamaian kedua orang itu harus dipecat dan kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru. Tipuan itu berhasil. Amru memberikan kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar; Abu Musa mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah itu Amru naik mimbar pula, ia menerima pemecatan Ali dan kerana Ali sudah dipecat khalifah tinggal seorang sahaja lagi, iaitu Muawiyahia menetapkan Muawiyah sebagai khalifah umat Islam seluruhnya. Tentu saja kelompok Ali tidak puas hati. Perundingan tersebut bukan saja tidak menyelesaikan konflik, tetapi malah menimbulkan kelompok baru. Kelompok Ali terpecah menjadi dua; Pertama, yang 28 tetap setia kepadanya (belakang hari disebut syiah); Kedua, yang memberontak, keluar dari kelompok Ali dan berbalik menjadi musuhnya, karena tidak puas dengan keputusan Ali untuk mengikuti perundingan diatas (kelompok ini disebut Khawarij). Kelompok ini pada mulanya memaksa Ali untuk ikut bertahkim, tetapi setelah Ali menerima tahkim mereka menolaknya; Mereka memakai semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi Allah semata).12 Kini kelompok yang bertikai dalam masalah politik menjadi tiga; kelompok Muawiyah, kelompok Ali dan kelompok Khawarij. Kelompok terakhir ini mengkafirkan kelompok Pertama dan Kedua, mereka menghalalkan darah orang Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka memerangi kelompok Pertama dan Kedua, mereka mengirim utusan rahsia untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash. Muawiyah dan Amru selamat dari pembunuhan, sedangkan Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin Muljam pada tahun 40 H. Kematian Ali membuat pengikutnya kesedihan. Hasan, Putra Ali pertama, diangkat menjadi khalifah Ali Abd al-Fattah al-Maghribi, al-Firaq al-Kalamiyyah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), hlm. 170. 12 29 menggantikan ayahnya. Hasan melihat bahwa pertentangan politik ini hanya akan merugikan umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu dia mengadakan perdamaian dengan Muawiyah, untuk menjaga agar darah kaum Muslimin tidak tertumpah lebih banyak lagi. Hasan meletakkan jawatan pada tahun 41 H dan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Hasan meminta agar Muawiyah menyerahkan urusan khilafah kepada kaum Muslimin bila ia meninggal nanti. Hasan juga meminta agar kelompok Muawiyah berhenti menghina Ali di dalam khutbah-khutbahnya.13 Gerakan perdamaian ini disokong oleh masyarakat Islam, sehingga tahun itu disebut sebagai Tahun Persatuan ('am al-Jama'ah). Tetapi perjanjian tersebut tidak ditepati kemudiannya. Hasan meninggal di Madinah kerana terkena racun pada tahun 50 H. Kelompok Syiah menabalkan Husein, putra Ali kedua, menjadi khalifah. Sebelum Muawiyah meninggal (tahun 60 H) ia menabalkan putranya Yazid sebagai putra Mahkota Muawiyah dan Penguasa Bani Umayah sesudahnya selalu mencaci Ali di Akhir khutbah-khutbah mereka, sehingga Ummu Salamah, isteri Rasul saw.,berkirim surat kepada Mu'awiyah agar memberhentikan perbuatan jelek tersebut. Tetapi surat itu tidak dihiraukan. Di masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau melarang dan menghentikan tradisi buruk seperti itu. 13 30 untuk menggantikannya. Hal itu membuatkan bukan saja kelompok Syiah marah tetapi juga seluruh kaum Muslimin; kerana jelas melanggar perjanjian damai yang telah dipersetujui dengan Hasan tempo hari. Namun begitu, kaum Muslimin tidak dapat berbuat apa-apa, kerana Muawiyah memerintah dengan kuku besi. Di zaman Yazid (memerintah tahun 60 s/d 64 H) permusuhan kelompok Umawi terhadap Syiah semakin menjadi-jadi. Kelompok Syiah diperangi habis-habisan. Husein terbunuh di Karbala (10 Muharram th. 61 H) dalam pertempuran yang tidak seimbang. Kepalanya dipenggal dan dibawa ke hadapan Yazid sebagai persembahan. Bani Umayah tampil menjadi kekuatan yang tidak dapat ditandingi. Penguasa demi penguasa di kalangan Bani Umayah terus berganti, tetapi pertentangan di antara kedua kelompok tadi tidak juga reda. Ali dan pengikutnya terus dihina di setiap mimbar. Kelompok Syiah membalas dan menghina Kelompok Bani Umayah. Sementara itu kelompok Khawarij tetap melaksanakan kegiatan mereka. Di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima Bani Umayah, memerintah tahun 65 s/d 86 H) usaha untuk membina persatuan di buat semula. Abdul Malik walaupun menghadapi berbagai pemberontakan, dia berusaha mempersatukan umat 31 Islam yang sudah berpecah belah kepada berbagai kelompok dan puak, khususnya setelah Abdullah bin Zubeir (khalifah tandingan di Mekah) terbunuh pada tahun 73 H. Dia menggunakan slogan Nahnu Jama'ah Wahidah Tahta Rayah Dinillah (kita semua adalah satu jamaah dibawah naungan bendera agama Allah). Abdul Malik juga mengadakan konsep tarbi', iaitu dengan menyebut nama empat khalifah:Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali di dalam khutbahkhutbah. Konsep ini merupakan kaedah untuk mempersatukan umat Islam juga. Sebelum ini kelompok Umawi hanya mengakui Abu Bakar, Umar, Usman dan Muawiyah, tetapi mereka tidak mengakui Ali. Manakala Kelompok Khawarij hanya mengakui Abu Bakar, Umar; sedangkan kelompok Syiah hanya mengakui Ali saja dengan alasan masing-masing. Setiap kelompok menghina kelompok lain di mimbar-mimbar dan mendoakan keselamatan bagi pemimpin mereka. Kelompok Umawi merelakan nama Muawiyah tidak disebut dalam tarbi itu, sebagai pengorbanan dari mereka demi persatuan umat. Untuk memperkuatkan usaha persatuan tersebut, maka seluruh umat Islam diseru agar menjadikan Rasul s.a.w sebagai satu rujukan yang unggul. Kerana Rasul s.a.w sudah wafat, maka 32 sunnah beliaulah yang mesti dijadikan sebagai rujukan. Abdul Malik mendapat sokongan dari masyarakat Islam. Di antara tokoh kelompok Moderat yang masih hidup dan menyokong Abdul Malik adalah Ibnu Umar (wafat th. 74 H). Umat Islam yang menyokong persatuan ini disebut Ahlu AlJama'ah Wa al-Sunnah, kemudian ada proses pembalikan sering dibaca oleh sebahagian kaum muslimin sehingga menjadi Ahlus-Sunnah WalJamaah.14 Jadi, baik konsep tarbi' yang sampai hari ini sering dibaca oleh sebahagian kaum muslimin --demikian juga dengan mendo'akan pemimpin yang berkuasa-pada khutbah-khutbah Jumaat, mahupun istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sebenarnya lahir dari proses sejarah yang bertujuan untuk mempersatukan umat yang sudah berpecah belah. Oleh kerana itu, sering kita terjumpa bahawa kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah sentiasa berusaha untuk mempertemukan aliran pemikiran berbagai kelompok yang saling bertentangan. Nurcholis Madjid , Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, dlm M.Dawam Rahardjo, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 67. Menurut Ameer Ali, Istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah pertama kali dipergunakan pada masa pemerintahan Mansur dan Harun, khalifah Abbasiah. 14 33 Tetapi usaha untuk mempersatukan umat itu tidaklah berhasil sebagaimana yang diharapkan, persaingan antara kelompok tetap juga berjalan. Kelompok Syiah, misalnya, tetap tidak dapat bergabung dalam persatuan itu; sebab menurut keyakinan mereka hak untuk memegang jawatan khalifah hanyalah untuk Ali dan keturunannya. Kerana jamaah tadi merupakan inisiatif dari kelompok Umawi yang sememangnya adalah musuh politik mereka, itulah sebabnya kelompok Syiah sampai hari ini tetap tidak bersimpati kepada kaum Muslimin dari golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah. Mereka menganggap Ahlussunnah Wal-Jamaah hanyalah penyokong dan merupakan tali barut dari kelompok Umawi. Tanpaknya dendam kelompok syi'ah terhadap kelompok umawi tidak kesampaian, kerana mereka sudah punah ditelan zaman; jadi golongan AhlusSunnah Wal-jama'ahlah yang menerima padahnya. E. Ciri dan Sifat Ahlussunnah wal Jamaah 1. Ahlussunnah selalu memelihara al-Jama’ah Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki tugas untuk memelihara keutuhan Jama’ah Islam dalam 34 pengertiannya yang luas (menyeluruh). Mereka menempuh jalan tersebut dengan pertimbangan yang cermat berdasarkan syari’at Yang Maha Bijaksana, satu-satunya Rabb yang memiliki aturan yang dapat membebaskan penguasaan hawa nafsu.15 2. Ahlussunnah Selalu Bersikap Tasamuh (Toleran)16 Seorang penganut Ahlussunnah yang betul-betul memahami esensi dan kriteria Aswaja akan memiliki perilaku yang tidak hanya toleran, menghargai perbedaan dan cinta damai terhadap sesama muslim, tapi juga akan bersikap yang sama pada non-muslim yang tidak berbuat zalim. Sebaliknya, seorang Ahlussunnah yang bersikap keras pada sesamanya menunjukkan ketidakmampuannya dalam memahami ajaran utama Ahlussunnah. Ada beberapa faktor yang mendasari hal ini. Muhammad Abdul Hadi al-Mishri, Penerjemah As’ad Yasin, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 118. 15 “Karakteristik dan Ciri Ahlussunnah wal Jamaah”, http://www.nusantaramengaji.com, diakses pada tanggal 25 Januari 2020, pukul 14:09. 16 35 Pertama, Ahlussunnah secara fitrah selalu toleran pada perbedaan madzhab akidah. Aqidah disebut sebagai masalah pokok agama (ushuluddin). Sehingga ada anggapan di kalangan sebagian penganut Ahlul Hadits atau Atsariyah, bahwa aqidah mereka adalah satu-satunya aqidah yang benar. Dan bahwa masalah aqidah adalah masalah prinsip yang tidak boleh ada kompromi. Demikian juga, ada anggapan di kalangan sebagian penganut aqidah Asy’ariyah bahwa madzhab aqidah mereka yang terbaik dan paling benar. Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, anggapan ini juga tidak benar. Diterimanya tiga akidah yang berbeda yaitu Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlul Hadits sebagai bagian dari aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah membawa konsekuensi bahwa kebenaran dalam konsep aqidah tidaklah tunggal. Pengikut aqidah Ahlul Hadits, misalnya, tidak bisa menilai pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai sesat hanya karena tidak sesuai dengan akidah Ahlul Hadits. Demikian juga, penganut Asy’ariyah tidak boleh menganggap sesat pengikut akidah Maturidiyah dan Ahlul Hadits hanya karena pendapatnya berbeda dengan Asy’ariyah, dan seterusnya. Seorang pengikut Asy’ariyah sewajarnya mengamalkan akidah Asy’ariyah untuk dirinya 36 sendiri. Namun, hendaknya tidak menggunakan pandangan akidah Asy’ariyah untuk menilai pengikut madzhab Maturidiyah dan Ahlul Hadits. Toleransi pada perbedaan aqidah hanya bisa terjadi apabila minimal para ulama dan ustadz dari masingmasing madzhab aqidah juga mempelajari dan memahami madzhab aqidah yang lain. Ulama Asy’ariyah hendaknya juga mengkaji dasar-dasar aqidah Ahlul Hadits dan Maturidiyah. Begitu juga, penganut madzhab Ahlul Hadits mengkaji dasardasar akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dan yang tak kalah penting adalah menjadikan perbedaan yang ada sebagai perbedaan ijtihadi yang sama-sama benarnya. Sehingga tidak ada ruang untuk menyalahkan atau menyesatkan madzhab aqidah yang lain. Kedua, toleran pada perbedaan madzhab fiqih. Fikih termasuk dalam ranah furuiyah (cabang) dalam agama. Dengan adanya empat madzhab fikih yang diakui sebagai bagian dari Ahlussunnah, maka itu bermakna bahwa terkadang ada empat pandangan fikih yang berbeda dalam masalah yang sama. Dan keempat pandangan yang berbeda itu dihukumi sama-sama benar. Rasulullah bersabda: “Hakim (mujtahid) yang berijtihad dan ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala. Sedangkan yang berijtidihad 37 dan ternyata salah maka mendapat satu pahala.” Benar atau salahnya suatu ijtihad hanya Allah yang tahu. Ulama mujtahid hanya berusaha maksimal untuk berijtihad menghasilkan hukum berdasarkan metode dan manhaj yang diikuti. Dengan adanya fakta bahwa Ahlussunnah selalu menghargai perbedaan tidak hanya dalam masalah madzhab fikih, tapi juga madzhab aqidah yang notabene merupakan masalah ushuluddin (pokok agama), maka sebenarnya tidak ada jalan untuk konflik. Yang ada adalah jalan ukhuwah dan perdamaian yang terbuka lebar. Namun demikian, konflik sosial bisa saja tetap terjadi di kalangan sesama pengikut Ahlussunnah apabila: 38 Ada ormas yang mengikuti madzhab tertentu yang berusaha mengajak anggota ormas lain yang mengikuti madzhab yang berbeda. Terutama apabila dengan cara menjelekjelekkan ormas atau madzhab yang berbeda tersebut. Pengikut suatu madzhab, sama saja madzhab akidah atau madzhab fikih, selalu memakai pandangan madzhabnya untuk menilai pengikut madzhab lain. Sehingga, pengikut madzhab lain merasa tersinggung dan membalas hal yang sama. Akhirnya, konflik terjadi tanpa akhir. Di sinilah perlunya keluasan ilmu para ulama dan ustadz akan madzhab lain dan kedewasaan serta kebijaksaan mereka dalam memberi pencerahan pada umatnya. Terjadi perbedaan pilihan politik yang berakibat pada saling tuduh dan fitnah. Perbedaan afiliasi politik sering menjadi pemicu konflik bahkan antara sesama golongan madzhab aqidah atau fikih tertentu. Adanya golongan non-Aswaja yang selalu merecoki kalangan Aswaja dengan pahampaham baru dan menyesatkan kalangan Ahlussunnah. Empat poin penyebab konflik di atas harus terus diwaspadai terutama bagi kalangan pemimpin umat islam karena Islam pada dasarnya adalah moderat (wasathiyah). Yang secara etimologis berarti berada di tengah antara dua ekstrim (tatarruf) kiri dan kanan. Tidak radikal, juga tidak liberal Terkait kata wasath Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2:143 “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.”Dalam sebuah hadits sahih dijelaskan bahwa maksud wasath adalah adil. 39 3. Ahlussunnah Selalu Bersikap Tawassuth At-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedangsedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT: الرسول َّ َاس َويَكون ِ َّسطا ً ِلت َكونواْ ش َهدَاء َعلَى الن َ َو َكذَلِكَ َجعَ ْلنَاك ْم أ َّمةً َو ً ش ِهيدا َ َعلَيْك ْم Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.(QS al-Baqarah: 143). 4. Ahlussunnah Selalu Bersikap Tawazun At-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT: 40 وم النَّاس ِ س ْلنَا رسلَنَا بِ ْالبَيِنَا َ ت َوأَنزَ ْلنَا َمعَهم ْال ِكت َ لَقَدْ أ َ ْر َ َاب َو ْال ِميزَ انَ ِليَق ْط ِ بِ ْال ِقس Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25) 5. Ahlussunnah Selalu Bersikap I’tidal Al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman: شنَنن َ ْط َوالَ َيجْ ِر َم َّنك ْم ِ َيا أَيُّ َها َّالذِينَ آ َمنواْ كونواْ َق َّو ِامينَ ِلِلِ ش َهدَاء ِب ْال ِقس قَ ْو ٍم َعلَى أَالَّ ت َ ْعدِلواْ ا ْعدِلواْ ه َو أ َ ْق َرب ِللت َّ ْق َوى َواتَّقواْ الِلَ ِإ َّن الِلَ َخ ِبير ِب َما َت َ ْع َملون Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada 41 Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8) F. Penisbatan Ahlussunnah wal Jamaah Menurut bahasa, kata al-jama’ah berasal dari kata alijtima’ yang artiya berkumpul atau bersatu. Istilah ini memili lawan kata al-firqah yang artinya berpecah belah. Sebagian ulama berbeda pendapat mengenai penjelasan hadits-hadits nabi yang mewajibkan beriltizam kepada jam’ah dan melarang keluar dari padanya. Beberapa pendapat itu antara lain:17 1. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud al-jama’ah ialah para sahabat saja, dan bukan orang-orang sesudah generasi mereka. Sebab, para sahabat itulah yang sesungguhnya telah menegakkan tonggaktonggak ad-Din dan menancapkan pakupakunya. Dan mereka tidak berhimpun diatas kesesatan. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz Ra. Muhammad Abdul Hadi al-Mishri, Penerjemah As’ad Yasin, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 70. 17 42 Menurut pendapat ini, lafadz al-jama’ah sesuai dengan riwayat lain dalam sebuah hadits nabi: “...yakni jalan yang aku tempuh dan para sahabatku.” Kalimat hadits ini merujuk kepada perkataan, perilaku, dan ijtihad mereka. Dengan demikian, lafadz tersebut menjadi hujjah secara mutlak dengan kesaksian Rasulullah saw, khususnya dengan sabda beliau: “hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah ar-rasyidin..” 2. Sementara itu ada ulama yang mengartikan al-jama’ah itu adalah ahli ilmu, ahli fikih, dan ahli hadits dari kalangan imam mujtahidin. Sebab, Allah telah menjadikan mereka hujjah atasmanusia dan mereka menjadi panutan dalam urusan ad-din.18 Pendapat ini berasal dari al-Bukhari, dalam kitabnya bab wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan (demikian pula Kami jadikan kamu umat pertengahan) dan perintah nabi saw untuk beriltizam kepada al-jama’ah beliau mengatakan bahwa mereka (al-jama’ah) itu adalah ahli ilmu. 18 Lihat juga di kitab Fathul Bari, hlm. 27. 43 Menurut Tirmidzi, para ahli ilmu menafsirkan al-jama’ah dengan ahli fikih, ahli ilmu, ahli hadits. Kemudian beliau membawakan riwayat dari Ibnu Mubarak yang memberikan jawaban: “abu bakar dan umar” sewaktu ia ditanya mengenai al-jama’ah.19 Menurut Ibnu Sinan, mereka (al-jama’ah) adalah ahli ilmu dan orang-orang yang punya atsar.20 3. Ada ulama yang mengatakan bahwa aljama’ah ialah jama’ah ahlul islam yang bersepakat dalam masalah syara’. Mereka tidak lain adalah ahli ijma’ yang senantiasa bersepakat dalam suatu masalah atau hukum, baik syara’ maupun akidah. Pendapat ini didasarkan pada hadits nabi yang artinya: umatku tidak bersepakat dalam kesesatan”. Ibnu Hajar mengatakn bahwa yang dimaksud al-jama’ah ialah Ahlul Hal wal ‘Aqdi, yakni mereka yang mempunyai keahlian menetapkan dan memutuskan suatu masalah pada setiap zaman. Adapun menurut al-Karmani, yang dimaksud perintah untuk beriltizam kepada jama’ah ialah beriltizamnya seorang mukallaf dengan 19 Lihat Sunan Tirmidzi, hlm. 465. 20 Lihat Syaraf Ashhabul Hadits, hlm. 26-27. 44 mengikuti kesepakatan para mujtahidin. Dan inilah yang dimaksud oleh imam Bukhari bahwa mereka adalah ahli ilmu. Ayat yang diterjemahkan Bukhari dijadikan hujjah oleh ahli ushul karena ijma’ adalah hujjah. Sebab, mereka (ahli ilmu) dinilai adil, sebagaimana firman Allah (al-Baqarah : 143), “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil...” Pernyataan ayat tersebut menunjukkan bahwa mereka terpelihara dari kesalahan mengenai apa yang telah mereka sepakati, baik perkataan maupun perbuatan.21 Pendapat ini lebih merujuk pada pendapat yang kedua. 4. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa aljama’ah adalah as-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas). Dalam kitab anNihayah disebutkan bahwa “hendaklah kamu mengiktu as-Sawadul A’zham, yaitu mayoritas manusia yang bersepakat dalam mentaati penguasa dan mnempuh jalan yang lurus.22 Pendapat tersebut diriwayatkan dari Abi Ghalib yang mengatakan bahwa sesungguhnya as-Sawadul A’zham ialah 21 Lihat Fathul Bari, hlm. 316. 22 Lihat kitab an-Nihayah, hlm. 419. 45 orang-orang yang selamat dari perpecahan. Maka urusan agama yang mereka sepakati itulah merupakan kebenaran. Barangsiapa menentang mereka, baik dalam masalah syari’at maupun akidah, maka ia menentang kebenaran; dan jika mati, ia mati jahiliyah. 5. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa al-Jama’ah adalah kaum muslimin yang sepakat atas seorang amir (penguasa). Ini adalah pendapat ath-Thabari yang menyebutkan pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian ia mengatakan, “Ya benar, pengertian tentang beriltizam kepada aljama’ah ialah taat dan bersepakat atas amirnya. Maka barangsiapa melanggar bai’atnya, ia telah keluar dari al-jama’ah. Ibnu Mas’ud berkata:23 الجماعة ما وافق الحق وان كنت وحدك Al-Jama’ah ialah orang yang menyesuaikan diri dengan kebenaran, walaupun engkau seorang diri. Dikutip oleh Abu Syamah dalam kitabnya al-Hawadits wal Bida’, hlm.22. Abu Syamah menyebutkan bahwa pernyataan ini diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi dalam al-Madkhal. 23 46 Pada tanggal 25 sampai 27 Agustus 2016 diadakan muktamar ulama Islam yang diadakan di Grozny, Chechnya. Muktamar yang dihadiri oleh Syaikh AlAzhar, para mufti dari berbagai negara dan para ulama dari seluruh dunia termasuk Habib Umar bin Hafidz Yaman, ini mengambil tema “Man Hum Ahlussunnah Wal Jamaah? (Siapa Ahlussunnah Wal Jamaah itu?).” Pada akhir acara, muktamar yang dikenal dengan sebutan Muktamar Chechnya ini menghasilkan sejumlah keputusan antara lain tentang definisi Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) sebagai berikut: “ومنهم،أهل السنة والجماعة هم األشاعرة والماتريدية في االعتقاد وأهل المذاهب األربعة الحنفية،أهل الحديث المفوضة” في االعتقاد ً وأهل التصوف الصافي علما،والمالكية والشافعية والحنابلة في الفقه وأخالقا ً وتزكيةً على طريقة سيد الطائفة اإلمام الجنيد ومن سار على وهو المنهج الذي يحترم دوائر العلوم الخادمة،نهجه من أئمة الهدى للوحي Pengikut Ahlussunnah Wal Jamaah adalah mereka yang secara aqidah mengikuti madzhab aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Termasuk juga aqidah “Ahlul Hadits yang Representatif.” Secara fiqih mengikuti salah satu madzhab fiqih yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). (Termasuk Ahlussunnah adalah) pengikut tasawuf yang bersih 47 secara ilmu, akhlak dan penyucian diri menurut tarekat Imam Al-Junaid dan para Sufi yang mengikuti manhaj Al-Junaid. Yaitu manhaj tasawuf yang tidak bertentangan dengan syariah. Dengan definisi di atas, maka kelompok Salafi Wahabi secara tidak langsung dikeluarkan dari golongan Ahlussunnah Wal Jamaah karena dalam beraqidah memakai akidah Ibnu Taimiyah. Walaupun dasar aqidah Ibnu Taimiyah berasal dari aqidah Ahlul Hadits, namun ada perbedaan signifikan antara keduanya. Di antaranya, a) aqidah Ibnu Taimiyah menganut aliran Karramiyah yang dikenal dengan konsep tajsim atau memfisikkan Allah (mujassimah). Kaum mujassimah menurut Asy’ariyah tidak termasuk dalam Ahlussunnah Wal Jamaah. b) Aqidah Ibnu Taimiyah menambahkan konsep tiga tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma was sifat yang dibuat alat untuk memvonis muslim yang tidak mengikuti konsep ini sebagai syirik dan kafir; c) Muhammad bin Abdul Wahab menambah doktrin Tiga Tauhid Ibnu Taimiyah di atas dengan 10 Pembatal Keislaman (nawaqidh al-Islam al-Asyrah) yang dengannya mengafirkan dan menghalalkan darah mayoritas umat Islam yang tidak mengikuti alirannya. 48 Lima tahun sebelum Muktamar Chechnya, Syaikh Al-Azhar Dr. Ahmad Tayyib (al Ahram. net/2011), sudah menyatakan saat mewisuda lulusan Al-Azhar bahwa kaum Salafi Wahabi adalah “Khawarij zaman ini.” Pernyataan Syaikh Al-Azhar ini sebenarnya merupakan gaung dari ungkapan seorang ulama besar dua abad sebelumnya bernama Al-Showi (wafat 1214 H). Dalam kitab Hasyiyah Al-Showi ala Tafsir AlJalalain, ia menyatakan: “Menurut satu pendapat, Ayat ini [yakni QS Fatir 35:8] diturunkan terkait kaum Khawarij yang merubah takwil Al-Quran dan sunnah. Dengan itu mereka menghalalkan darah dan harta umat Islam. Kaum Khawarij [baru] juga bisa dilihat saat ini. Mereka adalah golongan orang-orang yang berasal dari tanah Hijaz (sekarang Saudi Arabia). Golongan tersebut bernama “Wahabiyah”) Mereka mengira bahwa mereka yang paling benar. Ingatlah, bahwa mereka adalah pembohong.” Aliran Asy’ari ini memperoleh pengikut terbanyak di lingkungan umat Islam, antara lain karena diikuti oleh para pengikut dua madzhab terbesar dalam fikih, yakni madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki. Dari madzhab Syafi’i layak mendapatkan dukungan luas, mengingat imam Asy’ari sendiri dalam masalah fikih menjadi pengikut madzhab Syafi’i. Sedangkan dukungan darii madzhab Maliki, karena diantara 49 tokoh-tokoh Asy’ariyah terdapat nama besar, yakni imam Abu Bakar al-Baqillani dan Ibnu Taumart yang keduanya sebagai pengikut madzhab Maliki dalam masalah fikih, terutama diwilayah Afrika Utara sampai sekarang.24 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 23. 24 50 Pasal 2 TAUHID MENURUT AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH A. Pentingnya Teologi Di dalam ilmu Ushuluddin dibicarakan soal-soal i’tiqad yang menjadi pokok bagi agama, yaitu:25 1. Kepercayaan (i’tiqad) yang bertalian dengan Ketuhanan (Ilahiyat); 2. Kepercayaan yang bertalian dengan Kenabian (Nubuwat); 3. Kepercayaan yang bertalian dengan hal-hal yang ghaib (hari akhirat, surga, neraka, dan lain-lain); 4. Hal-hal lain yang berkaitan erat dengann kepercayaan. Ilmu yang membahas tentang teologi di dalam islam biasa dinamai ilmu Ushuluddin, ilmu kalam, atau ilmu tauhid. Ada juga yang menamainya dengan ilmu ‘Aqaid, yakni ilmu yang membahas tentang i’tiqad Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), hlm. 1. 25 51 (kepercayaan). Secara sederhana, pengertian dari istilah-iistilah tadi bisa kita artikan sebagai ilmu yang lebih mengutamakan pemahaman masalah-masalah ketuhanan dan pendekatannya yang rasional dari tauhid bersama syariat membentuk orientasi keagamaan yang bersifat eksoteris. Atau lebih jauh disebutkan bahwa istilah-istilah itu berarti ilmu yang mampu membuktikan kebenaran akidah agama (Islam) dan menghilangkan kebimbangan dengan mengemukakan hujjah atau argumen.26 Kajian terhadap ilmu kalam memang sangat sedikit dilakukan oleh cendekiawan muslim di Indonesia. Hal ini mungkin karena pengaruh yang kuat dari para ahli fikih yang kurang simpati terhadap studi ilmu kalam. Bahkan imam Malik, imam Syafi’I dan imam Ahmad bin Hambal melarang studi ilmu kalam, karena dinilai ilmu ini hanya mengembangkan wacana yang penuh resiko, bisa membawa seseorang ke arah kekafiran, dan penerapannya banyak sekali dimotivasi hawa nafsu. Sikap para ulama besar yang menjadi panutan umat tersebut dapat dimaklumi, karena pada masa itu ilmu kalam masih didominasi oleh orang-orang Mu’tazilah, Khawarij, dan Syiah, dengan konsentrasi kajiannya pada masalah-masalah Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 4. 26 52 prinsip akidah, sifat-sifat Allah, masalah qadla dan qadar, masalah af’al al’ibad (status perbuatan manusia), masalah hakikat iman, dan lain-lain, yang dasar-dasar kajiannya lebih mengacu pada dalil-dalil falsafi dan banyak mengabaikan dalil-dalil naqli, sehingga dipandang bahwa ilmu kalam tidak berbeda dengan ilmu al-Jadal yang lebih dimotivasi oleh keinginan untuk menang dalam berdebat, bukan untuk mendapatkan kebenaran dan kemanfaatan.27 Sehingga imam Syafi’I mengatakan: الكالم علم إن أصاب المرء فيه لم يؤجر وإن أخطأفيه كفر Ilmu kalam adalah suatu ilmu yang apabila seseorang mendapat kebenaran didalamnya, ia tidak mendapat pahala, tapi jika salah bisa menjadi kafir. Sedangkan imam Ahmad bin Hambal mengatakan: النكاد نرى احدا نظرفي الكالم إال وفي قلبه دغل Kita hamper tidak melihat seorangpun yang berdebat dalam masalah kalam kecuali didalam hatinya terdapat potensi untuk merusak. Namun al-Ghazali memberikan pendapat yang moderat, bahwa studi ilmu-ilmu kalam itu tidak dapat dinilai secara a priori haram atau wajib, tetapi harus Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. xviii. 27 53 dilihat konteksnya, untuk apa ilmu itu dipelajari, manfaat dan masalahat apa yang bisa diperoleh, dan pada lingkungan mana ilmu tersebut dibicarakan. AlGhazali melihat ilmu kalam sebagai kebutuhan objektif dalam menghadapi tantangan paham-paham teologi lain yang menggunakan pendekatan dan argumentasi rasional, tanpa mengabaikan argumentasi tekstual. Sikap demikian kiranya patut diterima sebagai sikap yang arif dan objektif.28 Tauhid atau bahasa kerennya adalah teologi adalah sebuah bidang keilmuan dalam dunia Islam. Ilmu ini lebih fokus dalam memahami hakikat ketuhanan. Menurut penulis, teologi dan tauhid memiliki makna substansi yang berbeda. Teologi memiliki pengertian yang lebih luas, karena diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang ketuhanan. Sementara tauhid adalah bagian dalam kaidah dan kajian teologi, yakni sebuah aliran yang mengklaim bahwa Tuhan itu satu. Tauhid atau teologi adalah landasan paling pokok dalam Islam. Penulis meyakini, bukan hanya Islam yang menjadikan teologi sebagai ajaran inti, tapi seluruh agama yang ada di dunia ini. Jika anda ingin masuk kedalam agama Kristen, maka anda harus Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. xix. 28 54 mempercayai bahwa Yesus itu Tuhan. Jika anda ingin masuk ke agama Buddha, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengakui bahwa Buddha adalah Tuhan. Begitupun dengan Islam. Jika anda ingin dikatakan sebagai orang Islam, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengakui dan meyakini bahwa “Tiada Tuhan selain Allah, dan nabi Muhammad adalah utusan terakhir Allah”. Maka jelas dari sini, teologi adalah landasan paling penting dalam beragama. Karena dengan masalah teologi inilah, merupakan pembeda antara satu agama dengan agama yang lain, antara satu penganut dengan penganut yang lain. Lantas teologi seperti apa yang diakui oleh mayoritas umat Muslim? Pembahasan inilah, kita kupas secara tuntas. Seluruh umat Muslim di dunia, mayoritas aliran Islam di dunia, mayoritas ulama di dunia, pasti setuju, bahwa syahadat adalah bagian paling penting dalam hakikat ajaran Islam. Dengan membaca dan meyakini 2 kalimat syahadat, maka secara otomatis orang tersebut dikatakan sebagai orang Muslim. Meskipun penulis tidak menyanggah, bahwa terjadi perbedaan pendapat untuk menentukan hal pertama untuk masuk Islam, yaitu: 55 1. Pendapat pertama mengatakan bahwa, orang yang akan masuk Islam, lebih diutamakan membaca syahadatain, untuk kemudian mempelajari tauhid; 2. Pendapat kedua berkata sebaliknya. Orang yang ingin masuk Islam, harus paham dulu hal-hal mendasar dalam Tauhid, kemudian baru membaca syahadat. Penulis tidak menafikan perbedaan pendapat diantara keduanya. Tapi kalau boleh, penulis ingin memberikan sebuah pemahaman yang bisa menggabungkan dari kedua pemikiran tersebut. Jika kita kaji dan kita kupas 2 kalimat syahadat, salah satu makna terpentingnya adalah menyatakan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”. Hal ini jelas bahwa dalam kalimat syahadat, telah tercermin hakikathakikat Tauhid. Jadi kalau boleh penulis memberikan kesimpulan, bahwa syahadat adalah bagian dari permukaan tauhid, sementara tauhid adalah penjabaran dari kalimatus syahadat. Intinya, orang yang membaca syahadat, secara tidak langsung dia telah menyadari makna tauhid dalam Islam, dan ketika orang sudah memahami hakikat tauhid, berarti secara tidak langsung dia telah paham makna dua kalimat syahadat. 56 B. Penggunaan Dalil Ada dua golongan besar di dunia Islam dalam memahami konsep-konsep Tauhid. Golongan pertama adalah golongan rasionalisme Islam, yang salah satu golongan terkenalnya adalah golongan Muktazilah. Golongan ini adalah golongan yang mendewa-dewa-kan akal. Segala sesuatu dalam kajian teologi, akan menggunakan konsep-konsep logika Aristoteles. Madzhab Muktazilah pernah menjadi madzhab resmi negara, yaitu di era alMakmun. Maka tidak heran, peradaban muslim yang benar-benar maju, akan berkiblat ke masa ini. Kaum Muktazilah hanya mengenal dalil aqli. Mereka hanya akan mengakui sebuah ayat al-Qur’an jika ayat tersebut sesuai dengan akalnya. Maka tidak heran, golongan ini menganggap al-Qur’an lah yang harus menyesuaikan dengan logika mereka. Dengan munculnya golongan rasionalisme yang kebablasan itu, lahirlah golongan yang kedua, yaitu golongan Ahlul Atsar. Salah satu kelompoknya yang sangat ekstremis, yaitu kelompok Salafi Wahabi. Kelompok ini ditandai munculnya ulama terkenal yang memiliki nama Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah ini sangat anti terhadap logika Aristoteles. Menurutnya, masalah teologi tidak pantas diperdebatkan secara logika. Kita dianjurkan untuk 57 menerima saja apa yang sudah difirmankan oleh Allah tanpa adanya lagi kajian. Kelompok ini sangat monoton. Kelompok ini hanya memiliki kamus dalil naqli, yaitu dalil yang hanya tertulis di dalam alQur’an. Maka tidak heran, ketika ada ayat yang mengatakan “Allah bersemayam di atas Arsy” atau ayat “Tangan Allah di atas tangan mereka”, golongan ini menerima ayat tersebut dengan membabi buta. Mereka langsung mengakui bahwa Allah itu berdiam diri di atas Arsy, dan juga memiliki tangan. Golongan ini kemudian dikembangkan oleh orang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab. Kedua golongan ini, sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Golongan rasionalis, membuat perdaban Islam semakin maju karena mengembangkan akalnya dalam memahami hakikat hidup. Begitupun dengan golongan tekstualis, memiliki kelebihan untuk mengesampingkan akal agar terhindar dari kesalahan tafsir. Tapi tentu keduaduanya memiliki kelemahan. Golongan rasionalis jelas akan membabi buta dengan ayat-ayat Mutasyabihat, dan golongan tekstualis justru akan monoton dalam memahami agama. Maka lahirlah golongan ketiga yang menjadi penengah diantara keduanya, yaitu golongan yang menerima dalil naqli, dan juga menerima dalil aqli 58 (golongan Ahlussunnah wal Jamaah). Dalil naqli sangat penting, karena firman Allah adalah satusatunya sumber yang bisa dipercaya. Tapi dalil aqli juga penting, karena dengan akal, kita bisa memahami substansi dari ayat yang di firmankan Tuhan. Jangan sampai, ketika ada ayat 10 surat Fath yang berbunyi “Tangan Allah di atas tangan mereka”, langsung menafsirkan bahwa Allah itu memiliki tangan. Padahal jelas, bahwa Allah itu dihindari dari sifat-sifat yang sama dengan makhlukNya. Hal yang tepat adalah, menafsirkan kata “Tangan” dengan “Kekuasaan”. Maka ketika ada kalimat “Tangan Allah”, tafsiran yang hak adalah “Kekuasaan Allah”, karena Allah jelas tidak memiliki tangan seperti makhlukNya. Dari sini, ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sebagai golongan mayoritas, dengan jelas menerima dalil naqli dan dalil aqli. Dengan demikian, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawakan oleh al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi mengembalikan ajaran Islam kepada Sunnah Rasulullah dan para shahabatnya dengan berpegang kepada dalil al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tidak meninggalkan dalil-dalil akal. Artinya memegang 59 kepada dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil alQur’an dan as-Sunnah. Dalam kajian Ahlussunnah wal Jamaah, penggunaan dalil naqli lebih di utamakan ketimbang dalil aqli. Menurut KH. Nuril Huda, jika kita ibaratkan dalil aqli sebagai mata, maka dalil naqli kita ibaratkan sebagai pelita yang terang benderang. Mata kita harus disesuaikan dengan pelita. Jika pelita sudah jelas dan clear, maka mata mengikutinya. Tapi jika cahaya pelita itu agak blur, maka mata harus mengkajinya hingga tampaklah pelita itu kembali terang di depan mata. Akal manusia mengikuti dalil al-Qur’an dan Hadits, bukan al-Qur’an dan hadits yang disesuaikan dengan akal manusia. Rasulullah pernah bersabda bahwa “tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal”. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang menerima agama adalah orang-orang yang berakal. Tapi bukan berarti juga agama yang harus menerima akal. Akal lah yang harus menerima agama. Itu artinya, kebenaran naqli lebih di dahulukan dari kebenaran aqli. Tapi walau begitu, bukan berarti kita menghilangkan fungsi akal sebagaimana golongan Salafi Wahabi. 60 C. Madzhab Mayoritas Teologi Fatwa agama yang datang dari mana pun saja kalau tidak berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas wajib kita tolak. Maka di dalam ilmu Tauhid kita berpegangan kepada al-Imam Abu Hasan alAsy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat tahun 324 H. Beliau belajar kepada ulama Muktazilah, di antaranya alImam Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabal. Karena pada masa itu Muktazilah merupakan madzhab pemerintah pada zaman khalifah Abbasiyah; khalifah Al-Ma’mun bin Harun al-Rasyid al-Mu’tashim dan al-Watsiq, dan beliau termasuk pengikut setia madzhab Muktazilah. Setelah beliau banyak melihat kekeliruan faham Muktazilah, maka beliau menyatakan keluar dari Muktazilah di depan khalayak ramai dengan tegas, bahkan akhirnya beliau menolak pendapat-pendapat Muktazilah dengan dalil-dalil yang tegas. 61 D. Rukun Iman Dalam ilmu Tauhid, rukun iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah ada 6 (enam) pilar, yaitu: 1. Iman kepada Allah; 2. Iman kepada para malaikat Allah; 3. Iman kepada para nabi dan rasul Allah; 4. Iman kepada kitab-kitab suci Allah; 5. Iman kepada Hari Akhir; dan 6. Iman kepada Qadla/Qadar Allah. Pembagian rukun iman ini sesuai dengan sabda nabi yang berbunyi:29 ان تؤمن باهللا ومالئكته وكتبه ورسوله: فأخبرنى عن االيمان قال واليوم الخر والقدر خيره وشره Maka beritahulah kami (wahai Rasulullah) tentang iman”. Nabi muhammad bersabda: engkau harus percaya adanya Allah, malaikat-malaikatNya, kitabkitab suciNya, rasul-rasulNya, hari akhirat, dan Qadla-Qadar (nasib baik dan nasib buruk). (HR. Muslim) 29 Lihat Sahih Muslim Juz I, hlm. 22. 62 Dalam memahami Allah, Ahlussunnah wal Jamaah secara mayoritas menyetujui bahwa Allah memiliki 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz. Oleh karena itu, Allah dikesampingkan dari hal-hal yang sama dengan makhlukNya, salah satunya dimensi tempat dan waktu. Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah berpendapat bahwa dimensi waktu dan tempat hanya berlaku bagi makhluk, sementara bagi Allah, hal itu jelas tidak berlaku. Itu artinya, Allah tidak dipengaruhi oleh waktu dan tidak memiliki tempat. Ajaran Ahlussunnah wal Jamaah juga mengakui bahwa tidak ada yang mengetahui jumlah malaikat kecuali Allah Azza wa Jalla. Hanya saja, kita diwajibkan untuk mengenal 10 malaikat. Begitupun dengan para nabi dan rasul. Kita diwajibkan untuk mengenal 25 nabi dan rasul, yang diawali oleh Adam dan diakhiri oleh Muhammad. Kita juga diwajibkan untuk mengakui dan meyakini bahwa beberapa nabi dan rasul diturunkan kitab oleh Allah dan wajib diketahui, yaitu kitab Zabur kepada Daud, Taurat kepada Musa, Injil kepada Isa, dan alQur’an kepada Muhammad. Kita juga harus meyakini bahwa alam raya ini bersifat fana. Itu artinya, suatu saat nanti alam raya ini akan hancur dengan izin Allah. Meyakini Hari 63 Kiamat juga termasuk meyakini perjalanan atau tanda-tanda menuju Kiamat. Misalnya kedatangan alMahdi, turunnya Isa al-Masih, keluarnya Dajjal, keluarnya Yakjuj Makjuj, dan segala macamnya. Dan terakhir meyakini bahwa kita tidak bisa terlepas dari takdir Tuhan. Tapi perlu dipahami disini, ada dua golongan yang memandang Qadla dan Qadar dengan gaya yang berbeda. Pertama memandang bahwa manusia memiliki hak penuh untuk menentukan takdirnya sendiri. Golongan ini disebut sebagai golongan Qadariyyah. Sementara golongan kedua adalah mereka yang menafikan usaha manusia. Segala sesuatu sudah diatur oleh Allah, dan manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Golongan ini berbanding terbalik dengan golongan Qadariyyah. Golongan ini biasa disebut sebagai golongan Jabariyyah. Diantara keduanya, Ahlussunnah wal Jamaah berdiri di tengah-tengah mereka. Ahlussunnah wal Jamaah mengakui eksistensi usaha manusia, tapi untuk masalah hasilnya, dikembalikan kepada ketentuan Allah Swt. 64 Pasal 3 TENTANG AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI Sudah pernah penulis singgung, bahwasanya ajaran Ahlussunnah wal Jamaah tidak lain adalah ajaran nabi itu sendiri. Hanya saja, untuk mencapai kebenaran yang dibawa nabi, kita harus melewati setiap ulama antar generasi. Dengan memahami ulama-ulama sebelum kita, setidaknya memberikan ruang yang luas bagi kita untuk memahami konsep yang dipahami oleh nabi dan para sahabatnya. Perlu juga kita pahami disini, bahwa ulama-ulama di zaman Tabi’in merupakan patokan kita dalam menentukan sebuah ajaran yang hak maupun bathil. Karena di zaman Tabi’in dan setelahnya lah, terjadi perpecahan besar di kalangan umat Muslim. Tonggak-tonggak ajaran yang sekarang ada, hampir semuanya lahir di zaman Tabi’in dan Tabiut Tabi’in. Ajaran Syiah, Khawarij, Murji’ah, Muktazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, dan segala macamnya, tidak lain bermunculan di masa-masa Tabi’in. 65 Oleh karena itu, ulama Tabi’in adalah patokan yang paling penting dalam mengantarkan kita menuju pemahaman nabi dan para sahabat. Kita tidak bisa hanya mengandalkan al-Qur’an dan Hadits dalam memahami agama ini, karena kandungan al-Qur’an dan Hadits memuat istilah-istilah yang sulit dipahami. Al-Qur’an dan al-Hadits memakai bahasabahasa yang hanya dipahami oleh orang-orang yang memang mumpuni dalam bidangnya, yaitu ahli tafsir. Ahli tafsir ini, biasanya tidak bisa melepaskan diri dari tafsiran-tafsiran sebelum mereka. Ulama-ulama di zaman ini, akan menafsirkan al-Qur’an dengan berpedoman pada tafsiran ulama sebelumnya. Tafsiran ulama sebelumnya akan merujuk kepada ulama sebelumnya lagi. Tafsiran ulama sebelumnya akan mempelajari tafsiran ulama sebelumnya lagi. Terus hingga akhirnya tafsiran itu diambil dari kaidah tafsir ulama-ulama Tabi’in. Sementara tafsir ulama Tabi’in, tidak lain merupakan apa yang diturunkan dan dipelajari dari zaman sahabat. Dan zaman sahabat, tentu akan berkiblat kepada ajaran nabi. Demikian skema sanad keilmuan yang baik di dalam Islam. Jadi untuk mendapatkan ilmu agama yang hak, mau tidak mau kita harus berkiblat kepada ulama sebelum kita. Dengan langsung memahami al-Qur’an dan Hadits menurut pemahaman kita sendiri, justru 66 akan menjadi boomerang bagi kita, dan justru akan menimbulkan malapetaka bagi akidah kita sendiri. Maka dari itu, bermunculan lah madzhab-madzhab hebat di zaman Tabi’in. Madzhab-madzhab tersebut tidak lain merupakan panduan bagi umat Muslim agar terhindar dari fitnah zaman yang sudah sangat memprihatinkan. Setiap ulama membuat panduan bagi umat Muslim. Antara satu madzhab dengan madzhab yang lain dalam kaidah Ahlussunnah wal Jamaah, sebenarnya tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Justru antar madzhab tersebut saling menguatkan dan saling melengkapi diantara prinsip-prinsip ibadah. Di dalam dunia Tauhid, setidaknya ada dua madzhab yang menjadi rujukan umat Muslim mayoritas di dunia, yaitu madzhab Asy’ariyah dan madzhab Maturidiyah. Keduanya saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Perlu diperhatikan, bahwa sebenarnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi pada hakikatnya tidak membuat madzhab. Mereka hanya menghimpun ajaran agama yang sebelumnya ada, dan membuat kaidah-kaidah khusus agar mudah dipahami oleh umat Muslim setelahnya. Di dalam kitab yang berjudul Ihtihaf Sadatul Muttaqin karya imam Muhammad bin Muhammad 67 al-Husni az-Zabidi, pada jilid II, dijelaskan sebagai berikut:30 ْ ِإذَا أ سنَّ ِة فَ ْالم َراد ِب ِه األَشَا ِع َرة َو ْال َمات ِر ِديَّة ُّ طلِقَ أ َ ْهل ال Apabila disebut golongan Ahlussunnah wal Jamaah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan paham Asy’ari dan paham Maturidi. A. Mengenal Imam Asy’ari Salah satu madzhab aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang diakui oleh mayoritas umat Muslim di dunia adalah madzhab Asy’ariyah. Madzhab ini dipelopori oleh ulama terkenal bernama Abu Hasan al-Asy’ari. Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari, lahir di Bashrah pada tahun 260 Hijriah (873 Masehi). Abu Hasan al-Asy’ari pada dasarnya tidak menciptakan madzhab. Lebih tepatnya yang dilakukan adalah memformulasikan paham dan keyakinan-keyakinan yang sudah beredar jauh sebelum ia hidup dan dipegangi para pendahulu 30 Lihat kitab Ihtihaf Sadatul Muttaqin jilid II, hlm. 6. 68 Islam. Secara fikih, ia menganut madzhab Imam asySyafi’i. Riwayat pendidikannya, pada umur 10 tahun, Abu Hasan adalah pengikut ajaran Muktazilah. Ia belajar konsep-konsep logika Muktazilah melalui gurunya yang hebat bernama Abu Ali al-Jubbai. Tokoh Muktazilah ini kemudian menikahi ibunya sehingga menjadi ayah tirinya. Karena kecerdasannya, alAsy’ari sering dipercayai oleh kaum Muktazilah untuk mewakili mereka dalam berbagai perdebatan publik. Ia menyelami ajaran Muktazilah selama 30 tahun. Perlu diperhatikan disini, bahwa memang di zaman itu, Muktazilah merupakan madzhab resmi negara. Jadi mau tidak mau, setiap anak Muslim di zaman itu akan sedikit banyak mendalami dan mempelajari konsep-konsep ajaran Muktazilah. Imam Abu Hasan al-Asyari melihat dalam paham kaum Mu’tazilah banyak terdapat kesalahan besar, banyak yang bertentangan dengan i’tiqad nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya serta banyak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits. Maka karena itulah, beliau keluar dari golongan Mu’tazilah dan bertaubat kepada Allah atas kesalahankesalahannya yang telah lalu. Bahkan bukan hanya 69 itu, beliau tampil di garis paling depan dalam menghadapi golongan Mu’tazilah. Adanya ketidak puasan imam Asy’ari terhadap pola pikir dan metodologi yang terlalu mengandalkan kemampuan nalar akal, tanpa dukungan kecerahan wahyu atau nash. Puncak ketidak puasannya terjadi saat melakukan dialog intensif dengan gurunya, alJubbai, tentang “Bagaimana kedudukan tiga orang: Mukmin; Kafir; dan anak kecil di akhirat”. Menurut imam as-Subki, dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:31 Al-Asy’ari : bagaimana kedudukan tiga orang berikut, mukmin; kafir; dan anak kecil di akhirat nanti? Al-Jubbai : yang mukmin mendapat tempat mulia di surga, yang kafir disiksa di neraka, dan yang anak kecil terlepas dari bahaya neraka! Al-Asy’ari : kalau anak kecil tadi ingin mendapatkan tempat yang lebih baik di surga, mungkinkah itu? Al-Jubbai : tidak mungkin, sebab yang dapat tempat baik di surga hanyalah orang yang taat kepada Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 15. 31 70 Tuhan, sedangkan anak kecil tadi belum pernah melakukan ketaatan itu. Al-Asy’ari : kalaun anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan, ‘itu bukan salahku, jika sekiranya Engkau berikan aku terus hidup, maka aku akan mengerjakan amal-amal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin itu. Al-Jubbai : Allah akan menjawab, ‘Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat dosa banyak, dan oleh karena itu engkau akan terkena siksa. Maka untuk kemaslahatanmu, Aku cabut nyawamu sebelum engkau mencapai umur mukallaf (bertanggung jawab atas amalnya). Al-Asy’ari : sekiranya yang kafir tadi mengatakan kepada Allah, ‘Engkau mengetahui masa depanku sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil itu. Mengapa Engkau membiarkan aku menjadi dewasa dan kafir, mengapa Engkau tidak memperhatikan kemaslahatanku?” Sampai disini al-Jubbai tidak dapat menjawab. Dialog ini menurut imam as-Subki berakhir dengan ketidak-puasan Asy’ari terhadap pemikiraan Mu’tazilah. 71 Pada suatu hari beliau naik ke sebuah mimbar di masjid Basrah dan berpidato dengan pidato yang berapi-api, sehingga dapat didengar oleh kebanyakan kaum muslimin yang berkumpul disitu. Diantara pidato beliau yaitu: “Saudara-saudara kaum muslimin yang terhormat. Siapa yang sudah mengenal saya berarti sudah mengetahui, tetapi bagi yang belum mengetahui, maka saya ini adalah Abu Hasan Ali al-Asy’ari anak dari Isma’il bin Abi Basyar. Dulu saya berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk, bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata di akhirat, dan bahwasanya manusia menciptakan perbuatannya, serupa dengan kaum Mu’tazilah. Sekarang saya nyatakan terus terang bahwa saya telah bertaubat dari paham Mu’tazilah dan sekarang saya lemparkan i’tiqad Mu’tazilah seperti saya melemparkan jubah saya ini (kemudian beliau melemparkan jubahnya) dan saat ini saya siap untuk menolak paham Mu’tazilah yang salah dan sesat itu.”32 32 Lihat Zhumrul Islam Bab IV, hlm. 67. 72 Sebelum umur 10 tahun, al-Asy’ari belajar agama melalui Zakariya bin Yahya as-Saji (pakar hadits di Bashrah), Abdurrahman bin Khalaf adh-Dhabbi (muhaddits di Bashrah), Sahal bin Nuh al-Bashri (muhaddits di Bashrah), dan Muhammad bin Ya’qub al-Maqburi (muhaddits di Bashrah). Di umurnya yang ke-40, Abu Hasan al-Asy’ari meninggalkan ajaran Muktazilah dan mendeklarasikan keluarnya tersebut di depan khalayak ramai. Ada beberapa versi yang menjadi alasan al-Asy’ari keluar dari Muktazilah, yaitu: Imam al-Asy’ari bermimpi dengan Rasulullah, dan diminta untuk keluar dari Muktazilah; ada juga yang mengatakan bahwa al-Asy’ari tidak puas dengan jawaban-jawaban gurunya tentang konsep Muktazilah. Setelah keluar dari Muktazilah, Imam al-Asy’ari kemudian berpindah haluan menjadi pembela ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang pada waktu itu tokoh terkenalnya adalah Abdul Aziz bin Yahya al-Kinani, al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Ibnu Kullab, dan lain-lain. Akhirnya, Imam al-Asy’ari menggunakan metode tafwidh dalam menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat, hal yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan ketika menjadi pengikut Muktazilah. 73 Tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jamaah yang ada pada waktu itu, semisal Abdul Aziz bin Yahya alKinani, al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Ibnu Kullab, dan yang lainnya, tidak mau atau menghindari kontak dengan orang-orang Muktazilah. Mereka semua lebih memilih untuk menjadi sufi dan menjauhi kehidupan duniawi. Dengan datangnya Abu Hasan al-Asy’ari di kubu Ahlussunnah wal Jamaah, beliau menjadi ulama Ahlussunnah pertama yang berani meladeni logikalogika Muktazilah. Maka tidak salah, al-Asy’ari inilah merupakan orang yang dihormati dari berbagai golongan, entah itu Ahlussunnah, maupun dari pihak Muktazilah sendiri. Abu Hasan al-Asya’ari ini juga yang mendengungdengungkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah di masa itu. Al-Asy’ari banyak menulis kitab, hanya saja sedikit sekali yang bisa diselamatkan. Salah satu karyanya yang terkenal adalah al-Ibanah. Meski banyak karyanya yang lenyap, tapi formulasi pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari masih bisa diselamatkan, terutama dengan merujuk pada kitabkitab di luar al-Ibanah dan narasi-narasi dari kalangan Asy’ariyah sendiri. Formulasi paham Abu Hasan alAsy’ari antara lain: 1. Meski manusia dengan akal bisa mengetahui Tuhan, tapi wahyulah yang mewajibkan orang 74 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadaNya; Mengakui adanya sifat Tuhan. Sifat Tuhan ini bukanlah Tuhan, dan tidak pula bukan Tuhan; Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk yang sebelumnya diakui oleh golongan Muktazilah; Allah dapat dilihat kelak di akhirat karena Allah memiliki wujud; Perbuatan manusia itu diciptakan Allah, tetapi manusia memiliki usaha untuk hidup; Iman adalah pembenaran-pembenaran tentang adanya Tuhan, rasul-rasul, dan berita yang dibawa oleh mereka; Pelaku dosa besar tetap dianggap sebagai muslim selama ia masih beriman kepada Allah dan rasulNya; Allah memiliki kehendak mutlak. Ajaran Abu Hasan al-Asy’ari ini terus menyebar ke seantero dunia. Lewat murid-muridnya, Asy’ariyah berkembang di Irak pada tahun 380 Hijriah, yaitu setengah abad sejak wafatnya Imam Asy’ari. Tiga orang yang kemudian dikenal sangat berjasa mengembangkan Asy’ariyah adalah Abu Bakar bin Furak asy-Syafi’i, Abu Bakar al-Baqillani al-Maliki, dan Abu Ishaq al-Isfirayini asy-Syafi’i. Setelah itu, 75 ada tokoh-tokoh penerus Asy’ariyah yang hebat, salah satunya adalah Imam al-Ghazali, asySyahrastani, Fakhruddin ar-Razi, dan yang lainnya. Madzhab Asy’ariyah semakin kuat setelah pemerintahan Bani Saljuk dibawah pemerintahan Sultan Alp Arslan, mengangkat perdana menteri bernama Nizham al-Muluk. Perdana menteri ini membangun madrasah Nizhamiyah dengan kurikulum al-Asy’ariyah. Imam al-Juwaini dan alGhazali menjadi guru besar di madrasah ini. Dari sini pula, ajaran Asy’ariyah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Ajaran Asy’ariyah ini pula yang dikembangkan oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi di Mesir dan sultan Nuridin Mahmud bin Zanki di Syam. Di Indonesia sendiri, ajaran Asy’ariyah dikembangkan oleh organisasi Islam mayoritas yaitu Nahdlatul Ulama. Kurikulum Tauhid di sekolahsekolah umum juga mengacu pada kaidah Tauhid Ahlussunnah wal Jamaah versinya Imam al-Asy’ari, seperti adanya sifat Allah yang 20. 76 B. Mengenal Imam Maturidi Salah satu madzhab akidah selain Asy’ariyah adalah Maturidiyah. Ajaran ini dinisbatkan kepada Abu Manshur al-Maturidi. Tokoh ini dilahirkan di Samarkand, Uzbekistan, pada tahun 248 Hijriah (862 Masehi). Al-Maturidi ini merupakan penganut madzhab Hanafi dalam bidang Fikih. Riwayat pendidikannya, beliau belajar agama kepada Nasr bin Yahya al-Balkhi, Abu Bakar Muhammad alJuzjani, dan Muhammad bin Muqatil ar-Razi. Pemikiran al-Maturidi dalam bidang akidah merupakan pengembangan dan penafsiran lebih lanjut dari apa yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah memiliki pandangan dalam bidang teologi yang dituangkan dalam kitab al-Fiqhu alAkbar. Di kalangan Hanafiyah, selain al-Maturidi, terdapat seorang lagi yang menjadi Imam besar dalam jajaran Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu Abu Ja’far ath-Thahawi. Hanya saja, kitab terkenal athThahawi berjudul Aqidah ath-Thahawiyah ini disyarahi dan dikomentari oleh orang-orang Wahabi. Sehingga, terkesan bahwa ath-Thahawi adalah ulama yang memiliki pandangan Wahabiyah. 77 Tidak jauh berbeda dengan al-Asy’ari, al-Maturidi ini juga meladeni perdebatan dengan tokoh-tokoh Muktazilah di Samarkand, seperti al-Ka’bi dan alBahili. Selain Muktazilah, al-Maturidi juga meladeni debat dengan golongan al-Mujassimah. Dalam menjelaskan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah-nya, alMaturidi merilis kitab berjudul at-Tauhid dan Ta’wilat al-Qur’an. Kedua kitab tersebut merupakan rujukan paling penting dalam madzhab Maturidiyah. Metode yang digunakan oleh al-Maturidi dalam membangun madzhabnya agak berbeda dengan alAsy’ari, tapi sama-sama menjembatani antara naqal dan akal. Perbedaan keduanya, salah satunya dalam metode dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihat. Al-Asy’ari menggunakan metode tafwidh, sementara al-Maturidi menggunakan metode ta’wil. Kesamaan keduanya adalah dalam memandang Allah memiliki sifat-sifat yang wajib ada bagi Allah, yakni 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz. Abu Manshur al-Maturidi wafat pada tahun 333 Hijriah (944 Masehi) setelah berjasa memformulasikan dan membela ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Pandangan dan teologinya kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya. Pada umumnya, murid-murid dan penerus madzhabnya 78 berasal dari kalangan madzhab Hanafi dalam bidang Fikih. Sebagaimana al-Asy’ari, sebagai imam Ahlussunnah wal Jama’ah, al-Maturidi juga menggunakan metode dan sikap at-tawassuth (moderat dan jalan tengah). Dr. Ali Abdul Fatah al-Maghribi mengatakan bahwa sikap fundamental metodologi al-Maturidi adalah tawassuth (moderatif) antara an-naqli dan al-‘aqli. Al-Maturidi menganggap suatu kesalahan apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql), seperti halnya kesalahan jika kita larut tidak terkendali dalam menggunakan nalar (‘aql) saja. Sikap yang adil adalah tawassuth antara keduanya (naql dan ‘aql). Sikap moderatif demikian ini memiliki dasar dalam agama, yakni firman Allah:33 ب أ َ ِرنِ ٓي أَنظ ۡر إِلَ ۡي َۚكَ قَا َل لَن ِ س ٰى ِل ِمي ٰقَ ِتنَا َو َك َّل َمهۥ َربُّهۥ قَا َل َر َ َولَ َّما َجا ٓ َء مو ۡ ۡ ت ََر ٰىنِي َو ٰلَ ِك ِن ٱنظ ۡر ِإلَى ٱل َجبَ ِل فَإ ِ ِن ف ت ََر ٰىنِ َۚي فَلَ َّما تَ َجلَّ ٰى َ َٱستَقَ َّر َمكَانَهۥ ف َ س ۡو َص ِع ّٗق َۚا فَلَ َّما ٓ أَفَاقَ قَا َل س ۡب ٰ َحنَكَ ت ۡبت ِإلَ ۡيك َ َربُّهۥ ِل ۡل َجبَ ِل َج َعلَهۥ دَ ّٗكا َوخ ََّر مو َ س ٰى ٣٤١ ََوأَن َ۠ا أ َ َّول ۡٱلم ۡؤ ِمنِين Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 25. 33 79 Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (moderat)34 agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. al-Baqarah : 143) Apabila dibandingkan antara al-Maturidi dengan alAsy’ari dalam penggunaan akal sebagai dasar/dalil untuk menemukan kebenaran, maka al-Maturidi lebih luas penggunaan dalil aqlinya dibandingkan dengan al-Asy’ari. Hal itu mungkin juga dipengaruhi oleh visi dan wacana madzhab fikih masing-masing yakni al-Maturidi yang pengikut madzhab Hanafi yang Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, Karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat. 34 80 dikenal sebagai tokoh madzhab ahlu ar-ra’yi dalam fikih. Sedangkan al-Asy’ari penganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pandangan yang moderatif antara madzhab ahlu ar-ra’yi dan madzhab ahlu alhadits-nya imam Malik dan Ibnu Hambal, yang sangat membatasi penggunaan dalil aqli, dan lebih terikat dengan supremasi dalil-dalil naqli. Tetapi apabila dibandingkan dengan al-Juwaini, maka pengikut al-Asy’ari tidak ada bedanya. Al-Maturidi memberikan alasan mengapa perlu menggunakan dalil-dalil aqli dengan dua argumen, yaitu:35 1. Al-Qur’an banyak sekali menganjurkan agar manusia menggunakan akal dan nalarnya secara kritis untuk memahami fenomena / gejala yang ada di alam raya ini maupun pada diri mereka sendiri, unttuk menemukan jalan menuju ma’rifatullah. Sebagai contoh dikemukakan pada surat an-Nahl, berturutturut dalam ayat 11, 12, 13, 14, dan 15, diakhiri dengan kalimat: “... bagi kaum yang berpikir.” “.... bagi kaum yaang memahami.” “... bagi kaum yang dapat mengambil pelajaran.” Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 26. 35 81 “... supaya kamu bersyukur.” “... supaya kamu mendapat petunjuk.” Menurut al-Maturidi, sesungguhnya Allah mengulang-ulang peranan akal dalam ayat-ayat tersebut degan berbagai macam tingkatan, yakni mulai dari “berpikir” sampai “mendapat petunjuk” adalah karena dengan berpikir, orang dapat belajar dan memahami, dan dengan ilmu dan pemahaman orang dapat memperluas wawasan, serta dapat memperkaya pengalaman dan penalaran, dan mengetahui semua itu sebagai anugerah yang tidak ternilai dan harus disyukuri. Sikap kritis dan kembali pada jati diri sebagai hamba Allah yang bersyukur, memberikannya jalan untuk memperoleh petunjuk dari Allah. 82 2. Kondisi objektif lingkungan yang dihadapi alMaturidi, merupakan dimensi waktu dan tempat yang mempengaruhi pandangan dan sikap intelektualnya. Dimasa itu, al-Maturidi hidup ditempat dimana masalah teologi menjadi isu kajian keagamaan yang sentral, disamping masalah tasawwuf dan fikih. AlMaturidi mengatakan bahwa esensi akal untuk melengkapi dalil atau hujjah agama, membuat analisa kemudian mengkontruksikan dalildalil tersebut untuk mmbuktikan kebenaran agama, dan membela keyakinan agama dari orang-orang yang mengingkari atau menyalahi keyakinan tersebut. Salah seorang pengikut al-Maturidi yang berpengaruh adalah Abu Al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid al-Maturidi dan al-Bazdawi mengenal ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Sebagaimana al-Baqillani dan al-Juwaini dikalangan Asy’ariyah, maka al-Bazdawi tidak pula selalu sepaham dengan al-Maturidi. Antara kedua tokoh aliran Maturidiyah ini terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yakni: golongan 83 samarkand, yaitu pengikut-pengikut alMaturidi sendiri, dan golongan Bukhara, yaitu pengikut al-Bazdawi. Jika golongan Samarkand memiliki paham yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, maka golongan Bukhara mempunyai pendapat yang lebih dekat dengan Asy’ariyah.36 C. Pentingnya Bermadzhab Bagi pembaca yang mengklaim memiliki kemampuan seperti ulama-ulama Tabi’in, semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya, penulis tidak mewajibkan pembaca untuk bermadzhab. Jika pembaca sudah paham retorika agama yang kompleks ini, pembaca tentunya akan dengan mudah menafsirkan ayat al-Qur’an dan menafsirkan Hadits nabi, serta tentunya dapat mendetail status Hadits yang ada sekarang ini. Tapi penulis agak meragukan orang-orang semacam itu masih ada di zaman sekarang. Secerdas-cerdasnya ulama di zaman sekarang, tentu memiliki kualitas Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 28. 36 84 yang jauh dari ulama di zaman Tabi’in dan zaman para sahabat. Perhatikan disini, ulama di zaman sekarang saja memiliki kualitas yang jauh dari ulama di zaman terdahulu, apalagi kita yang hanya sebagai orang biasa yang bahkan menafsirkan al-Qur’an saja tidak mampu? Maka tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa orang yang mengklaim dirinya tidak bermadzhab di zaman ini, merupakan orang paling sombong yang kita kenal, karena merasa dirinya tidak membutuhkan panduan ulama dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi kita untuk menentukan sebuah patokan bagi diri kita sendiri untuk memahami agama ini. Bahkan golongan Salafi Wahabi yang menyuarakan anti taklid dan anti madzhab pun, demi Allah mereka justru membuat taklid dan madzhab yang baru. Tidak ada satu pun Muslim di zaman sekarang yang bisa terlepas dari pendapat para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi jangan sok-sok-an dapat menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama tanpa mau mendengarkan pendapat para ulama yang ahli di bidangnya. Sungguh menyesatkan orangorang semacam ini. 85 Peengertian madzhab secara etimologis berarti jalan, alliran, pendapat, ajaran, atau doktrin. Bermadzhab pada dasarnya adalah mengikuti ajaran atau pendapat imam mujtahid yang diyakini mempunyai kompetensi (kewenangan atau kemampuan) dalam berijtihad. Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi, dalam risalahnya berjudul al-lamadzhabiyah akhtoru bid’ah tuhaddidu as-syari’ah al-islamiyah, memberikan definisi bermadzhab sebagai berikut: Bermadzhab (al-madzhabiyah) ialah mengikutinya orang awam atau orang-orang yang tidak mencapai kemampuan ijtihad, kepada pendapat atau ajaran seorang imam mujtahid, baik dia itu mengikuti seorang mujtahid tertentu seara tetap atau dalam hidupnya dia berpindah dari seorang mujtahid yang lainnya. Dan yang disebut tidak bermadzhab (al-lamadzhabiyah) ialah tidak mengikutinya orang awam atau orang-orang yang tidak mencapai kemampuan ijtihad, kepada mujtahid manapun, baik secara tetap maupun tidak tetap. Menurut al-Amidi, bahwa sejak zaman sahabat dan tabi’in, orang-orang awam selalu bertanya masalah hukum agama (Islam) kepada para ulama mujtahiddi waktu itu. dan para ulama mujtahid tersebut memberikan jawaban-jawaban (fatwa) kepada orang 86 awam yang bertanya tanpa menyebut dalil-dalil yang dipakai dasar fatwanya. Ulama-ulama pada waktu itu tidak menentang cara yang demikian. Kenyataan ini dapat dipandang sebagai Ijma’ (kesepakatan) mereka, bahwa orang awam boleh mengikuti fatwa ulama meskipun dia tidak mengetahuai dalil-dalil yang dipakainya sebagai dasar fatwa tersebut. Dalam pola bermadzhab, akan selalu melibatkan dua pihak, yakni:37 1. Pihak yang diikuti pendapatnya, atau diikuti hasil ijtihadnya, mereka adalah para Mujtahid (orang-orang yang mampu dan memenuhi syarat-syarat berijtihad), dengan berbagai macam tingkatannya. 2. Pihak yang mengikuti pendapat atau hasil ijtihad para Mujtahid, mereka adalah orangorang awam yang tidak mempunyai keahlian bidang agama, mereka justru mayoritas masyarakat muslim dimana-mana. Pada umumnya mereka perlu mengetahui masalahmasalah praktis dalam menjalankan amaliyah agamanya. Mereka memerlukan penjelasan singkat, praktis dan tidak memerlukan waktu Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 79. 37 87 yang lama. Mereka mengikuti orang lain yang diyakininya sebagai orang yang dapat dipercaya, dan layak dijadikan panutan. Mereka tidak bertanya tentang dalil, dasar, dan alasan-alasannya. Mengikuti fatwa atau pendapat orang lain tanpa mempertanyakan dalil, dasar, atau alasannya disebut dengan Taqlid. Taqlid ini juga sudah berlaku sejak zaman sahabat dulu bagi kalangan masyarakat awam. Dan ada lagi sebagian orang yang lebih terpelajar, lebih kritis, mempunyai dasardasar pengetahuan agama walaupun terbatas, mereka seringkali menanyakan dalil, dasar atau alasannya. Mereka ingin mengikuti fatwa atau pendapat lain dengan mengetahui dalil, ini disebut dengan Itba’. Namun ada juga ulama-ulama yang mempersamakan antara taqlid dengan itba’, karena dalam ayat alQur’an menyebutkan kata “yattabi’ una” memiliki konotasi mengikuti tanpa mengetahui alasan dan dalilnya, seperti terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 170: ضيع أَ ۡج َر َّ ب َوأَقَامواْ ٱل ِ ََوٱلَّذِينَ ي َمسِكونَ بِ ۡٱل ِك ٰت ِ صلَ ٰوة َ إِنَّا َال ن ٣٧١ َۡٱلمصۡ ِل ِحين Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," 88 mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". Mayoritas ulama madzhab, seperti imam Rafi’i, Ibnu Hajib, al-Amidi, Kamal Hamam dan lain-lain memilih pendapat yang membolehkan orang awam atau orang yang tidak mampu berijtihad mengikuti pendapat atau fatwa imam madzhab secara tidak tetap dalam berbagai masalah. Dengan pendapat tersebut, berarti seseorang dapat mengikuti madzhab tertentu (madzhab Syafi’i misalnya), tetapi dalam masalahmasalah tertentu dia mengikuti fatwa madzhab lain (madzhab Hambali misalnya), namun dia tetap menyatakan dirinya bermadzhab Syafi’i. Sikap demikian masih termasuk kategori bermadzhab bi madzhab mu’ayyan.38 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 82. 38 89 Bermadzhab dapat dikelompokkan menjadi beberapa tingkatan atau level (contohnya madzhab Syafi’i), sebagai berikut:39 1. Taqlid kepada ulama Syafi’iyah. Anggapan taqlid kepada imam Syafi’i selama ini, pada hakikatnya merupakan taqlid kepada fuqaha Syafi’iyah yang derajatnya jauh dari imam Syafi’i. 2. Taqlid kepada imam Syafi’i secara langsung. Ini merupakan level yang lebih tinggi dari poin pertama. hal ini bisa dilakukan dengan mengkaji kitab-kitab imam Syafi’i secara langsung, seperti kitab al-Um, al-Risalah, Ikhtilaf Ahli al-Hadits, dan lainlain. 3. Ittiba’ kepada Fuqaha Syafi’iyah atau langsung kepada imam Syafi’i. Level ini diatas level sebelumnya, karena sudah diikuti dengan mengkaji dalil-dali dan alasannya. 4. Bermadzhab fi al-Manhaj. Dengan mengikuti metodologi atau manhaj yang dipakai imam madzhab. Dalam tingkatan ini seseorang boleh jadi megambil resiko untuk berbeda pendapat dengan imam madzhabnya Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 88. 39 90 dalam tataran hasil penalarannya, meskipun tetap terikat dengan manhajnya, dan dia tetap menempatkan dirinya sebagai pengikut dan pendukung madzhab Syafi’i. 5. Mengembangkan metodologi. Meskipun ia sudah melakukan ijtihad, namun masih banyak mengikuti prinsip-prinsip imam madzhab tertentu dalam metorolodi maupun fatwa, tapi dalam hal-hal tertentu bisa berbeda kesimpulan pendapatnya. Tingkatan ini masih disebut bermadzhab, dan dalam saat yang sama juga sebagai mujtahid madzhab, atau mujtahid fatwa, atau mujtahid tarjih. Ini merupakan level tertinggi dalam bermadzhab. Prof. Musthafa al-Khin, menyebutkan ada tujuh sebab-sebab utama yang menimbulkan perbedaan diantara ulama mujtahidin dalam melakukan istinbath, yakni:40 1. Perbedaan bacaan ()إختالف القراءة Seperti perbedaan bacaan sebuah kalimat dari ayat al-Qur’an yang mengakibatkan Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 110. 40 91 perbedaan dalam tata cara berwudlu. Ayat tersebut ialah ayat 6 dari surat al-Maidah: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit41 atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh42 perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. Imam-imam ahli Qira’at seperti Nafi’, Ibnu ‘Amir, dan al-Kisa’i membaca “Arjulakum” 41 Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air. Artinya: menyentuh. menurut Jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian Mufassirin ialah: menyetubuhi. 42 92 dengan menggunakan fathah pada huruf lamnya. Sedangkan yang lain seperti Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, dan Hamzah, membaca “Arjulikum”, dengan kasrah di huruf lam-nya. Mayoritas ulama (al-Jumhur) mennyetujui bacaan yang menggunakan fathah (nashab), dan berpendapat bahwa cara berwudlu harus dengan “membasuh” kedua kaki sampai dengan kedua mata kaki, tidak cukup hanya dengan “mengusap” saja. 2. Tidak mengetahui adanya hadits. ( اإلطالع على )الحديثعدم Sahabat-sahabat nabi memiliki pengetahuan hadits yang berbeda. ada yang mengetahui sedikit hadits, dan ada pula yang mengetahui banyak hadits. Sebagai contoh masalah sahnya puasa seseorang yang masih junub (masih mempunyai hadits besar) sampai kedahuluan datangnya waktu subuh. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a. berkata: “Barang siapa yang sampai waktu subuh masih junub, maka tidak boleh berpuasa”. Waktu itu Abu Hurairah belum mendengar apa yang disampaikan oleh Siti Aisyah r.a. dan Ummu Salamah r.a. : “Bahwa 93 Nabi Muhammad masih junub, kemudian beliau tetap melakukan puasa Ramadhan”. Menurut riwayat ini, Abu Hurairah r.a. kemudian mengubah pendapatnya setelah mengetahui apa yang disampaikan oleh Aisyah dan Ummu Salamah tersebut. 3. Keraguan terhadap kebenaran sebuah hadits ( )فى ثبوت الحديثأالشك Para sahabat nabi tidak begitu saja melakukan sesuatu karena adanya keterangan tentang sunnah nabi, tetapi mereka lebih dulu memastikan kebenaran keterangan tersebut. Dalam menguji kebenaran keterangan tersebut sering kali terjadi perbedaan penilaian dan kesimpulan diantara para sahabat dan para ulama. Contohnya adalah tentang wajib atau tidaknya qadla bagi orang yang makan atau minum karena lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Jumhur al-Ulama (Imam Hanafi, Syafi’i, dan Ibnu Hambal) berpendapat, bahwa orang makan atau minum karena lupa pada siang hari di bulan Ramadhan, tidak wajib qadla dan tibak perlu membayar kafarat (denda), sesuai dengan hadits riwayat Abu Hurairah r.a. yang berbunyi: 94 Barang siapa lupa dan dia sedang puasa, kemudian dia makan atau minum, maka dia supaya melanjutkan puasanya, karena sebenarnya Allah-lah yang memberi makan dan minum. (HR. Bukhari) Namun Imam Malik mempunyai pendapat lain, yaitu orang tersebut batal puasanya dan wajib qadla. Alasannya adalah karena hadits tersebut masih perlu ditafsir ulang lagi. 4. Perbedaan dalam Memahami dan Menafsirkan Nash () فى فهم النص وتفسيرهإختالف Dalam kasus ini contohnya adalah ketika khalifah Umar bin Khattab berpendapat bahwa tanah hasil pengambil-alihan musuh di Irak dan Mesir, yang diperoleh dengan paksaan (dalam peperangan), tidak boleh dibagi-bagikan kepada para prajurit yang ikut perang sebagai “barang bergerak”, tetapi ditahan sebagai kekayaan negara, dan penggarapannya diserahkan kepada mantan pemiliknya dengan membayar pajak bumi dan hasil bumi untuk pendapatan negara. Namun pendapat ini mendapat pertentangan dari beberapa sahabat yang lain yang berpendapat bahwa tanah-tanah tersebut harus dibagi-bagi sebagai barang ghanimah. 95 5. Kerancuan makna dalam suatu kata ( إلشتراك فى )اللفظا Seperti masalah waktu penyembelihan binatang qurban atau dam, mayoritas ulama sepakat waktunya yaitu pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 28 : Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan43 atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak44. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Namun para ulama berbeda pendapat dalam hal bolehnya disembelih binatang-binatang Hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan hari tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. 43 yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatangbinatang yang termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri. 44 96 qurban tersebut pada malam hari tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Maayoritas ulama (Imam Abu Hanifah, imam Syafi’i, imam Ahmad, imam Ishaq, dan imam Abu Tsur) berpendapat bahwa penyembelihan binatangbinatang tersebut boleh dilakukan pada malam hari. Namun imam syafi’i lebih jauh berpendapat bahwa penyembelihan hewan qurban pada malam hari adalah makruh. Dilain pihak, imam Malik tidak membolehkan penyembelihan binatang-binatang qurban pada malam hari. Perbedaan ini terjadi karena kata “Ayyam” mempunyai arti “siang dan malam”, tapi juga mempunyai arti “siang” saja. 6. Kontradiksi beberapa dalil ()تعارض األدلة Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa tayamum hanya cukup dengan sekali sentuhan (pada debu), untuk wajah dan kedua tangan. Pendapat ini banyak diikuti oleh para ahli hadits. Alasan dari pendapat ini diambil dari hadits yang disampaikan oleh Ammar bin Yasir r.a. yang mengatakan: “Saya diutus oleh rasulullah untuk suatu keperluan. Saya sedanng junub dan tidak menemukan air 97 untuk mandi junub, maka saya bergulingguling diatas debu seperti binatang, kemudian hal itu saya ceritakan kepada Rasulullah, kemudian beliau bersabda: Kamu cukup melakukan begini!, beliau memukul telapak tangannya ke tanah/debu kemudian mengibaskannya, selanjutnya mengusapkan bagian telapak tangan beliau kemudian ke muka beliau”. Tetapi madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi beerpendapat bahwa tayamum itu harus dengan dua kali pukulan, satu kali untuk wajah dan satu kali lagi untuk kedua tangan.dalilnya adalah hadits yang disampaikan oleh Ibnu Umar r.a. dan Abu Umamah r.a. bahwa Rasulullah bersabda: “Tayamum itu dua kali sentuhan / pukulan, sekali sentuh untuk muka, dan sentuhan lainnya untuk kedua tangan sampai dengan kedua siku”. 7. Tidak adanya nash dalam suatu masalah ( عدم )وجود النص فى المسألة Setelah nabi wafat, muncul beberapa masalah yang ternyata belum ada nash dan ketetapan hukum yang dibuat oleh nabi maupun oleh wahyu. Contohnya adalah hak waris kakek 98 bersama keberadaan saudara-saudara si mayit (mirats al-jaddi ma’al ikhwati). Dalam masalah ini terdapat dua pendapat dikalangan para sahabat kemudian berlanjut ke kalangan para ulama, yaitu: a. Abu Bakar Shidiq, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Muadz bin Jabal, abu Musa alAsy’ari, Abu Hurairah dan Aisyah radhiallahu ‘anhum yang mengatakan bahwa kakek lebih diutamakan dari pada saudara mayit dalam hak waris. Jika ada kakek bersama-sama saudara mayit, maka kakek menutup hak waris saudara mayit tersebut. b. Pendapat Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Mas’ud radiallahu ‘anhum mengatakan bahwa kakek dan saudara-saudara si mayit sama-sama mendapat hak waris. 99 Pasal 4 BELAJAR ISLAM, IMAN, DAN IHSAN A. Pentingnya Agama Manusia jelas tidak kuasa untuk menciptakan dirinya, dan memang tidak sanggup untuk menjadikan sesuatu untuk dirinya. Maka jelas bahwa dirinya dan segala sesuatu yang menjadi keperluan hidupnya itu, ada yang menciptakan. Itulah Tuhan semesta alam yang disebut Allah. Sudah tidak diragukan lagi dan tidak ada yang menyangkal bahwa manusia mempunyai tabiat untuk mementingkan dirinya sendiri dibandingkan kepentingan orang lain. Lebih jelasnya, manusia mempunyai sifat tamak. Akibatnya, terjadilah kekacauan dan perpecahan di kalangan manusia, sebab yang satu ingin menguasai yang lain. Sejarah telah membuktikan bahwa dunia ini telah lama tenggelam di dalam kegelapan. Hukum yang berlaku pada saat itu adalah hukum rimba, yakni siapa yang kuat dia yang menang, dan manusia menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 100 Untuk menjaga agar manusia dalam keadaan damai dan aman, Tuhan lalu mengutus manusia pilihan, yang membawa ajaran berupa hukum, ketetapan, dan ketentuan Tuhan (Syariat) ke tengah-tengah mereka. Syariat atau ketentuan Tuhan itu disampaikan oleh nabi dan rasul yang berbeda di berbagai zaman. Di mulai dari nabi Adam hingga nabi Muhammad. Lantas, ajaran mana yang seharusnya kita ikuti? Ajaran nabi Adam, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa, atau nabi Muhammad? Salah satu asas dalam ilmu hukum dikenal sebuah istilah Lex Posteriori Derogat Legi Priori yang memiliki makna bahwa peraturan yang baru menggantikan peraturan yang lama. Di dalam kaidah agama pun, asas ini ternyata berlaku. Jika pembaca merupakan orang yang fanatik terhadap nabi Adam, ketika Tuhan mengutus nabi Nuh, maka mau tidak mau pembaca harus menggunakan kaidah nabi Nuh dalam beribadah kepada Tuhan. Begitu pun jika pembaca adalah pengikut setia nabi Musa, jika Tuhan mengutus Isa al-Masih, maka mau tidak mau pembaca harus menggunakan Injil sebagai pegangan pribadi. Pun demikian, ketika Tuhan mengutus orang bernama Muhammad, maka seluruh ketentuan hukum sebelum Muhammad, dinyatakan tidak berlaku. 101 Oleh karena itu, kita yang hidup di zaman setelah nabi Muhammad, wajib hukumnya untuk menerima apa yang memang menjadi ajaran nabi Muhammad. Karena pada hakikatnya, ajaran setiap nabi tidak ada yang saling bersinggungan. Antara satu ajaran nabi dengan ajaran yang lainnya saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Dan ajaran nabi Muhammad merupakan pelengkap dan penyempurna bagi ajaran-ajaran sebelumnya. B. Islam Agama yang Hak Kita sering mendengar istilah “Hak Asasi Manusia”. Istilah “Hak” memang sering sekali kita sebut dan kadang menjadi bahan rujukan bagi setiap permasalahan. Hanya saja kadang kita tidak memahami hakikat dari pengertian “Hak” yang dimaksud. Dalam pengertian yang menjadi judul tersebut diatas, istilah “Hak” yang dimaksud memiliki arti “Benar”. Itu artinya, Islam adalah agama yang paling benar dan yang paling sempurna ketimbang agama yang lain. Ini merupakan sesuatu hal yan harus kita yakini. Tidak ada agama yang lebih baik kecuali Islam. Tapi walau begitu, sejatinya kita hanya meyakini ajaran Islam sebagai ajaran yang hak, sementara dalam 102 masalah sosial, tidak dianjurkan bagi kita untuk menghindari orang-orang non-Muslim. Dengan kenyataan Islam sebagai agama yang paling hak, bukan berarti kita haram melakukan jual beli dengan orang non-Muslim, bukan berarti haram bagi kita untuk bergaul dengan orang non-Muslim. Bukan itu maksudnya. Biarkan masalah agama menggunakan dalil “Lakum dinukum waliyadin”, sementara masalah sosial kita menggunakan kaidah bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ayat yang menjadi patokan inti untuk menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling hak adalah surat al-Imran ayat 19. Dikatakan disana bahwa agama yang hak disisi Allah hanyalah Islam. Hal ini sudah tidak ada lagi pertentangan dikalangan para ulama. Jadi jelas, kita tidak perlu lagi meragukan hakikat Islam sebagai agama yang paling benar. C. Trilogi Agama Ada tiga kaidah paling inti dalam ajaran agama ini, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Ketiganya merupakan penguat antara satu dengan yang lainnya. Ketiganya memiliki prinsip dasar yang berbeda-beda, tapi merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. 103 Agama ini dibentuk oleh rukun-rukun Islam yang salah satunya adalah membaca kalimatus syahadat. Dengan membaca kalimat shahadat, maka orang tersebut telah resmi menjadi seorang Muslim. Tapi ternyata, menjadi Muslim saja belum lah cukup. Orang tersebut harus memahami arti Iman, salah satunya memahami Allah sebagai Tuhan. Maka jadilah orang tersebut sebagai orang yang beriman. Ternyata hal ini pun belum cukup, karena ada sebuah kaidah satu lagi untuk menjadi penyempurna keimanan seseorang, yaitu Ihsan. Singkatnya bisa kita ambil sebuah kerangka pemikiran, bahwa rukun agama ada 3, yaitu: 1. Islam; 2. Iman; 3. Ihsan. D. Memahami Islam Pengertian sederhana dari Islam adalah melaksanakan dan menunaikan hukum-hukum Syariat yang dibawa oleh nabi Muhammad. Ia merupakan agama yang diterima di sisi Allah, dan yang dipilihNya untuk hamba-hambaNya yang taat. Allah tidak akan meridhai agama selain Islam. 104 Islam ini didirikan oleh 5 pilar inti, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Syahadat Shalat Zakat Puasa Haji Rukun pertama dari 5 pilar tersebut adalah dua kalimat syahadat. Untuk sahnya menjadi orang Islam, mau tidak mau orang tersebut harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Ada dua kategori dalam syahadat ini, yang pertama mempercayai akan ketuhanan Allah dan mempercayai kenabian Muhammad. Keduanya merupakan suatu rangkaian padu yang tidak bisa dipisahkan. Rukun yang kedua adalah mendirikan shalat. Ada 5 waktu yang menjadi kewajiban umat Muslim, yaitu shalat Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Shalat merupakan salah satu syi’ar agama yang paling penting dan ibadah utama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Rukun Islam yang ketiga adalah zakat. Zakat merupakan ibadah sosial yang paling penting dalam dunia Islam. Dengan membayar zakat kepada orang yang semestinya, membuat Islam merupakan agama sosial yang mencintai sesama. 105 Rukun selanjutnya yang keempat adalah puasa. Puasa yang dimaksud disini tentu saja puasa wajib yang dilakukan di bulan Ramadhan selama satu bulan penuh. Puasa diwajibkan oleh Allah kepada orang yang memang sanggup untuk melaksanakannya. Dan rukun terakhir dalam Islam adalah berhaji ke Baitullah. Rangkaian haji ini merupakan penyempurnaan dari ritual ibadah di zaman nabi Ibrahim. Sama seperti halnya puasa dan zakat, ibadah haji ini hanya diwajibkan kepada mereka yang memang sanggup menjalankannya, baik dalam masalah kesehatan maupun dari segi materi. E. Memahami Iman Iman adalah membenarkan dengan sungguh-sungguh segala sesuatu yang diketahui sebagai berita yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Dikatakan pula bahwa Iman ini harus dibenarkan dengan hati, diperkuat dengan ucapan, dan diamalkan dengan perbuatan. Setidaknya ada 6 rukun Iman yang sudah menjadi patokan umat Muslim di seluruh dunia, yaitu: 1. Iman kepada Allah; 2. Iman kepada malaikat-malaikat Allah; 3. Iman kepada kitab-kitab Allah; 106 4. Iman kepada para nabi dan rasul Allah; 5. Iman kepada datangnya hari kiamat; 6. Iman kepada Qadla dan Qadar Allah. Yang dimaksud dengan Iman kepada Allah adalah membenarkan adanya Allah dengan cara meyakini dan mengetahui bahwa Allah wajib ada-Nya karena zat-Nya sendiri, mengakui ke-esaan Allah, mengakui ke-mahakuasaan Allah, serta mengakui dan mengimani sifat-sifat wajib bagi Allah yang jumlahnya 20. Sementara iman kepada malaikat, bahwasanya kita harus mengakui dan mempercayai bahwa Allah telah menciptakan malaikat dari cahaya untuk menjadi pengawal-pengawalNya. Jumlah malaikat tidak ada yang mengetahui kecuali Allah. Hanya saja, kita diwajibkan untuk mengimani malaikat yang jumlahnya 10. Begitu pun dengan iman kepada kitab-kitab Allah serta kepada nabi dan rasul yang diutus Allah. Kita diwajibkan untuk menngetahui 25 nabi dan rasul serta juga wajib untuk mengetahui 4 kitab yang diturunkan Allah kepada nabi dan rasulNya, yaitu kitab Zabur kepada nabi Daud, kitab Taurat kepada nabi Musa, kitab Injil kepada nabi Isa, dan kitab alQur’an kepada nabi Muhammad. 107 Kita juga diwajibkan untuk mengimani kedatangan hari kiamat. Termasuk didalamnya kita harus mengakui dan meyakini akan skenario sebelum hari kiamat, seperti munculnya al-Mahdi, turunnya nabi Isa, keluarnya Dajjal, keluarnya Yakjuj Makjuj, dan tanda-tanda besar yang lainnya, serta kita juga diwajibkan untuk meyakini hari setelah kiamat, yaitu hari kebangkitan, hari hisab, dan hari timbangan atau al-mizan. Sementara yang terakhir adalah kita diwajibkan untuk meyakini bahwa Allah telah menentukan kebaikan dan keburukan sejak azali, sebelum manusia diciptakan. Karena itu, tidak ada suatu pun yang baik dan buruk, yang bermanfaat dan yang mudarat, kecuali atas ketetapan Allah Azza wa Jalla. Dengan demikian, apa yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu hal yang sudah ada dan sudah pasti akan terjadi. F. Memahami Ihsan Rukun agama yang ketiga adalah Ihsan. Ihsan adalah melaksanakan ibadah dalam bentuknya yang diperintahkan oleh Allah, seakan-akan kita melihat dan menyadari keberadaan Allah. Seolah-olah dalam beribadah itu, kita merasa menghadirkan kebesaran 108 dan keagungan Allah, merasa melihat Allah. Hanya saja, memang tingkatan Ihsan yang seperti ini merupakan tingkatan yang sudah level tinggi. Itu artinya, harus melalui perjalanan yang panjang untuk menuju sikap Ihsan yang demikian. Tapi tidak usah khawatir, sesuai dengan sabda nabi, bahwa “jika engkau tidak melihatNya, maka Dia pasti melihatmu”. Hadits ini mungkin lebih cocok untuk kita yang dalam beribadah tidak terlalu khusyuk. Jika kita belum sanggup untuk menghadirkan Allah dalam setiap ibadah kita, atau kita kesulitan untuk melihat Allah, maka hendaknya kita harus meyakini bahwa Allah tentu akan melihat kita kapanpun dan dimanapun. Itu artinya, setiap gerak-gerik kita, setiap amal perbuatan kita, sedikitpun tidak ada yang luput dari pengetahuan Allah. Sikap seperti ini merupakan penyempurna dari keislaman dan keimanan seseorang. Dengan menyadari akan kehadiran Allah, maka orang tersebut akan melakukan setiap ibadahnya hanya semata-mata untuk Allah. Lebih jauh lagi pemahaman Ihsan ini bisa melahirkan ajaran-ajaran tasawwuf yang merupakan ajaran filsafati di dalam Islam. Dengan memahami hakikat ketuhanan, hakikat hidup, dan hakikat dirinya sebagai manusia, orang-orang sufi biasanya memiliki 109 kebijaksanaan yang tinggi dalam menghadapi setiap permasalahan hidup di dunia yang fana ini. Dalam puncaknya, ilmu Ihsan ini juga yang melahirkan sifat zuhud, sabar, syukur, ikhlas, tawakal, ridha, dan mahabbah (cinta) kepada Allah sebagai Sang Pencipta yang tidak memiliki pembanding. Wallahu A’lam. 110 Pasal 5 MENGENAL ALLAH AZZA WA JALLA Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwasanya alam yang begitu besar ini tentu ada yang menciptakan. Hal yang tidak logis jika alam ini hadir dengan sendirinya. Bagaimana mungkin bumi ini diciptakan dengan akurasi yang luar biasa, tidak terlalu dekat dengan matahari, juga tidak terlalu jauh dengan matahari. Jika bumi diciptakan lebih dekat dari yang sekarang dengan matahari, maka suhu bumi ini tidak akan mungkin bisa ditinggali manusia, karena saking panasnya. Pun demikian, jika bumi diciptakan lebih jauh dari yang sekarang, konsekuensinya adalah suhu bumi akan sangat dingin, dan tentu saja tidak bisa dihuni oleh manusia. Keteraturan-keteraturan alam raya ini telah mengundang spekulasi universal di dalam diri manusia, bahwa alam raya ini tentulah ada yang menciptakan. Hampir semua manusia antar generasi menyadari adanya dzat yang maha kuasa yang menciptakan dirinya, juga menciptakan alam 111 semesta. Maka kesepakatan itupun muncul, bahwa pencipta manusia dan alam semesta ini adalah Tuhan. Hanya saja, perkembangan teori tentang Tuhan ini terus berbeda antara satu zaman dengan zaman yang lain. Setiap generasi bertransformasi terhadap penafsiran mereka terhadap Tuhan yang dimaksud. Ada yang menafsirkan Tuhan sebagai kumpulan para dewa, yang setiap dewa merupakan penjelmaan Tuhan untuk mengatur sebuah spesifikasi tertentu. Ada dewa yang kerjaannya khusus untuk mengawasi lautan (dewa Poseidon jika di Yunani), menjadi pemimpin langit (dewa Zeus), dan juga penguasa alam neraka (dewa Hades). Orang-orang itu pun tidak puas hanya dengan memiliki sedikit dewa, maka mereka menciptakan tokoh-tokoh baru untuk menjadikan dewa dalam spesifikasi yang lebih rinci. Bahkan untuk mempercantik cerita, mereka menggabungkan teori manusia dengan dewa, hingga terdengarlah manusia setengah dewa seperti Herkules misalnya. Dibelahan dunia yang lain, ada juga yang memvisualisasikan Tuhan terhadap realitas benda yang ada disekelilingnya. Ada yang memvisualisasikan Tuhan dengan api, dengan matahari, dengan patung, bahkan dengan roti yang kemudian ia makan sendiri. 112 Diwilayah yang lain, ada juga yang tidak mau membicarakan mengenai hakikat Tuhan. Mereka mempercayai adanya dzat yang menciptakan alam raya ini, tapi mereka tidak mau ambil pusing untuk mengkaji hakikat Tuhan. Orang-orang seperti ini yang kita sebut sebagai penganut ajaran Agnostik. Banyak dari kita yang tidak bisa membedakan antara Agnostik dengan Ateisme. Padahal keduanya berbeda jauh sekali. Dan penganut Ateisme di dunia ini sejatinya sangat sedikit sekali jumlahnya. Semakin kesini, dunia semakin maju dan modern. Ideologi materialisme menyebar hingga ke akar-akar dan sendi-sendi kehidupan manusia. Implikasinya hidup manusia cenderung hedonis. Semua mendewadewakan kekayaan dan kesenangan hidup. Hingga tak heran, di zaman ini banyak yang mendewakan uang, mendewakan kekayaan, mendewakan kecantikan, dan yang lainnya. Agak sulit memang bagi kita untuk memahami hakikat Tuhan yang sebenarnya, karena memang Tuhan tidak dapat dilihat oleh kita. Tuhan tidak bisa dideteksi oleh teknologi yang kita ciptakan. Hanya saja, Tuhan tentu akan mengutus beberapa orang untuk menyampaikan kehadiran diriNya. Dan melalui nabi dan rasul lah kita memahami hakikat Tuhan yang sebenarnya. Setiap nabi dan rasul 113 dari zaman Adam hingga Muhammad sejatinya menceritakan Tuhan yang sama, menceritakan keberadaan Tuhan yang sama, hanya mungkin namanya berbeda, disesuaikan dengan lidah orang dizamannya. Hingga tibalah orang yang lahir di gurun pasir, yang tidak bisa membaca ini, bernama Muhammad, menyampaikan kepada kita bahwa Tuhan itu hanya ada satu. Hal yang sangat kontroversial, karena pada saat itu Tuhan digambarkan seperti dewa yang dibuat dengan berhala-berhala yang begitu banyak. Banyak yang menolak pemikiran Muhammad ini, hanya saja, semakin mereka menolak fakta ini, mereka semakin ragu dengan pendapat mereka sendiri. Justru tidak logis jika Tuhan itu berjumlah banyak. Hal yang tidak masuk akal, karena jika Tuhan berjumlah lebih dari satu, tentu akan terjadi perselisihan diantara mereka sendiri. Maka hal yang sudah tidak bisa diragukan lagi, bahwa Tuhan itu satu. Hanya satu. A. Allah Tuhan yang Hak Kita tidak perlu memperdebatkan nama Allah. Jangan terkecoh dengan nama Allah dalam bahasa Ibrani maupun Arab. Kita tidak perlu lagi membahas hal 114 semacam itu. Yang jelas, bahasa universal kita saat ini untuk menggambarkan Tuhan adalah nama Allah, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh nabi Muhammad. Sebelumnya kita sudah membahas bahwa Islam ini adalah agama yang paling hak. Oleh karena itu, sumber yang bisa kita rujuk adalah al-Qur’an sebagai firman Tuhan. Allah menjelaskan kepada kita melalui firmanNya, bahwa Allah itu satu. Allah tidak beranak dan tidak pula diper-anak-kan. Allah juga menjelaskan bahwa tidak ada satu-pun yang setara denganNya. Itu artinya, tidak ada satu pun makhluk yang menyamaiNya, dalam segala apapun. Dalam kekuasaan, tidak ada satu pun makhluk yang bisa menandingi kekuasaan Allah. Dalam masalah ilmu, tidak ada yang jauh lebih berilmu ketimbang Allah. Allah adalah segalanya. Tidak ada yang benar-benar bisa menandingi ke-Maha Kuasaan Allah. Dalam istilah ilmu kalam, ke-Maha Esaan Allah mencakup tiga macam kategori, yaitu: 1. Wahdaniyat adz-Dzat (Allah Esa dalam dzatNya), dalam arti dzat Allah tidak terdiri dari komponen-komponen, atau tidak terdiri 115 dari kesatuan oknum, tidak ada Trinitas seperti dalam teologi Kristen. 2. Wahdaniyat as-Shifat (Allah Esa dalam sifatNya), tidak ada yang menyerupai dan menyamai sifat-sifat Allah. Kekuasaan Allah tidak ditandingi oleh kekuasaan apapun. Kehendak Allah tidak dapat dihalangi oleh kehendak siapapun. Pengetahuan Allah tidak dapat diukur dengan pengetahuan siapapun dan kapanpun. 3. Wahdaniyat all-Af’al (Allah Esa dalam ciptaanNya), tidak dicampuri oleh siapapun, berbuat apa saja, mengatur apa saja, memusnahkan apa saja, atau menyelamatkan siapa saja yang dikehendaki. Allah tidak membutuhkan mitra kerja dan tidak akan ada yang dapat menolakNya. B. Asmaul Husna Allah memiliki nama-nama lain yang sangat indah. Setiap nama mewakili dari setiap sifat Allah yang Maha Sempurna. Bahkan dalam beberapa riwayat, nama-nama Allah ini memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. 116 Setidaknya ada 99 nama Allah yang kita kenal. Pembaca bisa mencari 99 nama ini dalam referensi yang lain. Tapi intinya, ajaran Ahlussunnah wal Jamaah mengakui kebenaran dari 99 nama Allah yang indah ini. C. Sifat-Sifat Allah Akidah Ahlussunnah wal Jamaah mempercayai bahwa ada sifat yang wajib adanya untuk Allah, sifat yang mustahil bagiNya, juga sifat yang jaiz. Setidaknya ada 20 sifat wajib bagi Allah yang wajib kita ketahui. Kedua puluh sifat tersebut terbagi kedalam 4 bagian, yaitu: 1. Sifat Nafsiyah, yaitu sifat yang menerangkan tentang adanya Allah. Terdapat 1 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Wujud. 2. Sifat Salbiyah, yaitu sifat yang menolak atau sifat-sifat yang menerangkan sesuatu hal yang tidak layak ada dalam dzat Allah. Terdapat 5 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Qidam; Baqa; Mukhalafatu lil Hawadits; Qiyamuhu bi Nafsihi; Wahdaniyat. 3. Sifat Ma’ani, yaitu sifat yang merupakan bentuk dari ke-Maha Kuasaan Allah. Terdapat 117 7 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Qudrat; Iradat; Ilmu; Hayat; Sama’; Bashar; Kalam. 4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu sifat-sifat yang menjadi perwujudan dari adanya sifat Ma’ani. Dengan kata lain, sifat Ma’nawiyah merupakan penjelas dari sifat Ma’ani. Terdapat 7 sifat dalam kategori ini, yaitu sifat Kaunuhu Qadiran; Kaunuhu Muridan; Kaunuhu ‘Aliman; Kaunuhu Hayyan; Kaunuhu Sami’an; Kaunuhu Bashiran; Kaunuhu Mutakalliman. Allah memiliki 20 sifat wajib yang harus kita ketahui. Ke-20 sifat ini wajib adanya bagi Allah. Berikut 20 sifat wajib bagi Allah: 1. Wujud (Ada); 2. Qidam (Tidak ada permulaan); 3. Baqa’(Kekal); 4. Mukhalafatuhu Lilhawadith (berbeda dengan makhlukNya); 5. Qiyamuhu Binafsihi (Allah berdiri sendiri); 6. Wahdaniyyah (Tunggal/Esa); 7. Qudrat (Berkuasa); 118 8. Iradah (Berkehendak); 9. Ilmu (Mengetahui); 10. Hayat (Hidup); 11. Sama’ (Mendengar); 12. Basar ( Melihat ); 13. Kalam (Berbicara / Berfirman); 14. Kaunuhu Qadirun; 15. Kaunuhu Muridun; 16. Kaunuhu ‘Alimun; 17. Kaunuhu Hayyun; 18. Kaunuhu Sami’un; 19. Kaunuhu Basirun; 20. Kaunuhu Mutakallimun. Setelah kita mengetahui Allah itu memiliki 20 sifat wajib, maka berarti Allah juga memiiki 20 sifat mustahil yang merupakan kebalikan dari 20 sifat wajib tersebut. 20 sifat mustahil bagi Allah antara lain : 1. ‘Adam, artinya tiada (Bisa mati); 2. Huduth, artinya baharu (Bisa di perbaharui); 119 3. Fana’, artinya binasa (Tidak kekal/mati); 4. Mumathalatuhu Lilhawadith, menyerupai akan makhlukNya; artinya 5. Qiyamuhu Bighayrih, artinya berdiri dengan yang lain (Memiliki sekutu); 6. Ta’addud, artinya berbilang–bilang (Lebih dari satu); 7. ‘Ajz, artinya lemah (Tidak kuat); 8. Karahah, artinya terpaksa (Bisa di paksa); 9. Jahl, artinya jahil (Bodoh); 10. Maut, artinya mati (Bisa mati); 11. Syamam, artinya tuli; 12. ‘Umy, artinya buta; 13. Bukm, artinya bisu; 14. Kaunuhu ‘Ajizan, artinya lemah (dalam keadaannya); 15. Kaunuhu Karihan, artinya terpaksa (dalam keadaannya); 16. Kaunuhu Jahilan, keadaannya); artinya jahil (dalam 17. Kaunuhu Mayyitan, artinya mati (dalam keadaannya); 120 18. Kaunuhu Asam, keadaannya); artinya tuli (dalam 19. Kaunuhu A’ma, keadaannya); artinya buta (dalam bisu (dalam 20. Kaunuhu Abkam, keadaannya). artinya Sifat Jaiz merupakan sifat yang merupakan kewenangan mutlak Allah. Tidak ada satu pun pihak yang bisa mengintervensi dari apa yang dikehendaki oleh Allah. Jika Allah ingin menciptakan A, maka jadilah A. Jika Allah tidak ingin menciptakan B, maka B tidak akan terbentuk sama sekali. Sifat Jaiz ini benar-benar merupakan wewenang mutlak dari Allah Azza wa Jalla. Sifat jaiz ini adalah Fi kulli mumkinin au tarkuhu. Artinya Allah berbuat sesuatu tidak ada yang menyuruh dan tidak ada yang melarang. Dalam menciptakan segalanya, mutlak merupakan kehendak Allah. 121 D. Allah Ada Tanpa Dimensi Sudah penulis singgung di pembahasan sebelumnya, bahwa ada 2 golongan besar dalam memahami teologi Islam. Satu golongan merupakan golongan rasionalisme Islam (salah satu kelompoknya adalah Muktazilah, atau transformasi sekarang bisa juga JIL), sementara satu golongan lainnya adalah golongan tekstualis (salah satunya adalah golongan Salafi Wahabi). Jika pembaca searching di internet, pembaca akan menemukan banyak sumber yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Tidak aneh memang, karena media berbahasa Indonesia sudah dikuasai oleh orang-orang Salafi Wahabi. Kelompok ini memang sangat gemar berdakwah, walau kadang kebablasan dan terkesan menghalalkan segala cara. Hal yang biasa disuarakan oleh golongan Salafi Wahabi adalah bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Salah satu dalil naqlinya adalah dalam surat alA’raf ayat 54. Disebutkan disana bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Golongan Salafi Wahabi tidak mau ambil pusing untuk menafsirkan ayat ini. Mereka langsung menelannya mentah-mentah. Padahal golongan Ahlussunnah wal Jamaah tidak menyetujui sikap seperti itu. Menurut ulama 122 Ahlussunnah wal Jamaah, ayat tersebut wajib di tafsirkan lebih jauh. Mengapa? Karena ayat ini bersifat ambigu, memiliki makna yang kompleks. Ada substansi makna yang ingin disampaikan oleh Allah melalui ayat ini. Dengan hanya memahami ayat tersebut tanpa adanya kajian atau tafsir, maka justru akan membuat hakikat Allah semakin tidak jelas. Dalam definisi Ahlussunnah wal Jamaah, terdapat dua pandangan terhadap ayat—ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang mengandung arti ganda) di dalam alQur’an, terutama yang berkaitan dengan sifat Allah, salah satunya ayat berikut: ۡ ض ِفي ِست َّ ِة أَي َّٖام ث َّم َّ ِإ َّن َربَّكم ٱست ََو ٰى َعلَى ِ س ٰ َم ٰ َو َّ ٱلِل ٱلَّذِي َخلَقَ ٱل َ ت َو ۡٱأل َ ۡر ۡ ۡ َّ ار َيطلبهۥ َحثِي ّٗثا َوٱل وم ِۖ ِ ۡٱل َع ۡر َ ش ي ۡغشِي ٱلَّ ۡي َل ٱلنَّ َه َ ش ۡم َ س َوٱلقَ َم َر َوٱلنُّج َّ َارك ٤٤ َٱلِل َربُّ ۡٱل ٰ َعلَ ِمين ِ ِۢ س َّخ ٰ َر َ م َ ت ِبأ َ ۡم ِر ۗٓ ِٓۦه أ َ َال لَه ۡٱلخ َۡلق َو ۡٱأل َ ۡم ۗٓر ت َ َب Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas 'Arsy45. dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya. 45 123 perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. al-A’raf : 54) 1. Dalam generasi salaf, mereka mempercayai ayat tersebut dan membenarkannya, tanpa mau banyak mendiskusikan dan memperdebatkan arti sebenarnya. Imam Malik pernah ditanya tentang arti kata istawa (bersemayam) bagi Allah. Lalu beliau menjawab: . واإليمان به واجب. والكيف مجهول. اإلستواء معلوم والسؤال عنه بدعة Kata istawa itu sudah dimaklumi artinya. Adapun bagaimana caranya tidak ada yang tahu. Iman terhadap kebenaran ayat tersebut adalah wajib. Sedangkan mempertanyakan masalah tersebut termasuk bid’ah. Sikap menyerahkan arti yang hakiki dari ayat mutasyabihat tersebut kepada Allah dan memberikan makna ayat-ayat tersebut secara harfiyah dengan istilah bila kaifa wa la lima (tanpa bagaimana dan tanpa mengapa), disebut dengan istilah tafwidh (penyerahan 124 makna secara total kepada Allah). Sikap ini dipilih para salaf dengan alasan:46 a. Semua masalah yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifatNya berada diluar jangkauan otorita dan kesanggupan akal yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia. b. Pembicaraan yang spekulatif dalam pemberian makna ayat-ayat tersebut tidak memberikan keuntungan (maslahat) bagi umat Islam. Namun perlu diperhatikan disini, bahwasanya pemaknaan harfiyah yang dilakukan oleh generasi salaf sama sekali berbeda dari pemaknaan sifat-sifat makhluk, dan menolak pendapat golongan Musyabbihah yang Mujassim (menggambarkan Allah sebagai jisim). 2. Adapun generasi khalaf, yang muncul pada abad ke III Hijriah, ditengah-tengah maraknya pergolakan kehidupan intelektual umat Islam dengan masuknya pengaruh rasionalitas Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 9. 46 125 melalui studi filsafat dari berbagai aliran yang didukung oleh para penguasa pemerintah (bani Abbasiyah). Maka generasi khalaf menerima penggunaan dalil-dalil aqli (argumentasi rasional) disamping dalil naqli. Khusus menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, generasi khalaf tidak terbatas melakukan pendekatan tafwidh (penyerahan total) tetapi juga menggunakan penafsiran yang dipandang lebih sesuai dengan ke-Maha Sucian Allah, dan menjauhkan dari sikap penyerupaan (tasybih) terhadap Allah dengan sfat-sifat makhlukNya. Misalnya kata yadullah (tangan Allah) diartikan dengan kekuasaan Allah, istawa dengan mengatur, ainullah (mata Allah) diartikan dengan pengawasan Allah, dan yang lainnya. Metode yang digunakan seperti ini disebut dengan istilah Ta’wil. Dalam membandingkan dua model pendekatan ini (salaf dan khalaf), syekh Hasan Mansur, syekh Abdul Wahab dan Syekh Musthafa ‘Anani yang merupakan penulis kitab ad-Dien al-Islami menyimpulkan bahwa: وطريقة الخلف احكم. طريقة السلف اسلم 126 Cara salaf lebih selamat, dan cara khalaf lebih kuat. Sudah kita pelajari sebelumnya bahwa salah satu sifat Allah adalah Mukhalafatu lil hawadits, berbeda dengan makhlukNya. Kita ketahui bersama bahwa dimensi ruang dan waktu merupakan kaidah yang hanya berlaku bagi makhluk. Setiap makhluk Allah, entah itu yang nyata maupun yang ghaib, tentu akan dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Pembaca yang sekarang sedang membaca tulisan ini, pasti sedang berada di suatu tempat (dimensi ruang) dan pada saat yang bersamaan, jam dinding terus berputar (dimensi waktu). Tapi hal ini berbeda dengan Allah. Menurut ulamaulama Ahlussunnah wal Jamaah, Allah tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Ruang dan waktu merupakan dua dimensi yang tidak bisa dipisahkan. Jika suatu benda dipengaruhi oleh ruang, maka secara otomatis benda tersebut juga dipengaruhi oleh waktu. Begitupun dengan Allah. Andaikan Allah bersemayam di atas Arsy, itu artinya Allah dipengaruhi oleh dimensi ruang. Jika hal itu terjadi, secara otomatis Allah juga dipengaruhi oleh dimensi waktu. Jika Allah sudah dipengaruhi oleh waktu, 127 maka Allah memiliki awal dan memiliki akhir. Sementara hal itu mustahil bagi Allah. Lagi pula, kita mempercayai bahwa Arsy adalah sesuatu hal yang baru, sesuatu hal yang diciptakan Allah. Andaikan Allah bersemayam di atas Arsy, lalu dimana posisi Allah sebelum Arsy diciptakan? Hal ini jauh dari logika. Orang-orang Salafi Wahabi memang hanya mengenal dalil naqli, dan menghilangkan fungsi akal. Maka ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah menafsirkan bahwa ayat yang mengatakan Allah bersemayam di atas Arsy, merupakan visualisasi akan ketinggian dan ke-maha kuasaan Allah. Allah merupakan khalik yang memiliki derajat yang jauh lebih tinggi ketimbang makhlukNya. Maka dari itu, ayat ini wajib hukumnya di tafsir, karena jika tidak, justru akan membuat dzat Allah semakin tidak jelas. Tapi penulis juga tidak menyangkal, ada beberapa ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang mengakui bersemayamnya Allah di atas Arsy. Hanya saja ulama-ulama tersebut tidak meyakini Allah akan bersemayam di atas Arsy selamanya. Di dalam ayat tersebut juga diceritakan, setelah Allah menciptakan alam raya ini, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Itu artinya, kalaupun Allah bersemayam di atas Arsy, Allah akan bersemayam selama Arsy itu ada. 128 Sementara kita tahu Arsy hanyalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Jadi pada intinya, Arsy bukanlah sebuah sandaran yang hak bagi Allah, karena Allah diatas segala sesuatu. Bahkan Arsy hanyalah bagian terkecil saja dari ciptaan Allah. Allah mampu menciptakan hal yang jauh lebih hebat ketimbang Arsy. E. Allah Berbeda dengan Makhluk Selain ayat diatas, ayat lain yang juga menjadi salah satu kebodohan orang-orang Salafi Wahabi adalah ayat 10 surat al-Fath. Disebutkan disana bahwa “Tangan Allah di atas tangan mereka”. Lagi-lagi orang Salafi Wahabi tidak mau menafsirkan ayat-ayat semacam ini. Alhasil mereka mempercayai bahwa Allah itu memiliki tangan. Hal yang secara logika tidak masuk akal. Maka Ahlussunnah wal Jamaah langsung memberikan tafsir terhadap ayat-ayat semacam ini. Tafsiran ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah biasanya membuat generalisasi terhadap ayat tersebut agar membuat maknanya menjadi luas. Istilah “tangan” merupakan kata yang maknaya sempit. Maka Ahlussunnah wal Jamaah menafsirkan kata 129 “tangan” dalam “kekuasaan”. ayat tersebut dengan istilah Tafsiran yang jauh lebih rinci adalah “Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud “tangan Allah di atas mereka” ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. Hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.” F. Allah Maha Perkasa Dengan membatasi Allah hanya sebagai Tuhan yang bersemayam di atas Arsy (dipengaruhi oleh dimensi ruang), juga membatasi Allah sebagai Tuhan yang memiliki tangan (sama dengan makhlukNya), maka secara tidak langsung, golongan semacam ini meragukan ke-maha kuasaan Allah. Dalil naqli memang penting, karena al-Qur’an adalah satu-satunya sumber yang paling autentik dari Tuhan. Tapi kita juga harus paham bahwa Tuhan memiliki bahasa komunikasi yang sangat indah, sehingga 130 menggunakan kaidah-kaidah sastra. Istilah bersemayam di atas Arsy, kemudian istilah tangan, merupakan bagian dari komunikasi Allah untuk menggambarkan diriNya sebagai Tuhan Yang Maha Perkasa. Ahlussunnah wal Jamaah, baik Asy’ariyah maupun Maturidiyah sepakat, bahwa orang-orang mukmin mendapat kesempatan melihat Allah di akhirat.47 Dasar naqli dari pendapat ini antara lain firman Allah dalam al-Qur’an: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. (QS. al-Qiyamah : 22-23) Juga didasarkan pada hadits yang menyatakan bahwa: . ال تضارون فى رؤيته. ترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر Kamu sekalian akan melihat Tuhan kalian seperti kamu sekalian melihat bulan pada waktu bulan purnama. Tidak ada bahaya dalam melihat-Nya. Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 38. 47 131 Pasal 6 MENDALAMI PARA MALAIKAT Salah satu rukun iman yang harus kita percayai adalah iman atau meyakini akan adanya malaikatmalaikat Allah. Malaikat ini merupakan makhluk yang paling setia di sisi Allah dan dianggap sebagai tentara Allah yang siap bertempur jika memang diperintahkan oleh Allah. Malaikat juga digambarkan sebagai makhluk yang tidak memiliki nafsu, artinya tidak ada sama sekali pembangkangan terhadap perintah Allah. Dalam bahasa Arab, kata “malaikat” ()مالئكة merupakan jamak dari kata “malak” ( )ملكyang artinya: memiliki; menguasai; dan memerintah. Jadi malaikat adalah kekuatan-kekuatan yang patuh pada ketentuan dan perintah Allah. Malaikat dalam Islam, merupakan hamba dan ciptaan Allah yang dijadikan dari nur atau cahaya, merupakan makhluk yang mulia dan terpelihara daripada maksiat. Mereka tidak berjenis kelamin, tidak bersuami atau isteri, tidak memiliki ibu atau bapak dan tidak beranak. Mereka tidak tidur dan tidak makan serta tidak minum. 132 Mereka mampu menjelma dengan berbagai macam rupa yang dikehendaki dengan izin Allah. ارة َ ٰ ٓيَأَيُّ َها ٱ َّلذِينَ َءا َمنواْ ق ٓواْ أَنف َ سك ۡم َوأ َ ۡه ِليك ۡم ن َّٗارا َوقودهَا ٱلنَّاس َو ۡٱل ِح َج َّ َد َّال يَعۡ صونٞ ظ ِشدَاٞ َعلَ ۡي َها َم ٰ ٓلَئِكَة ِغ َال َٱلِلَ َما ٓ أ َ َم َره ۡم َويَ ۡف َعلونَ َما ي ۡؤ َمرون ٦ 6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim : 6) ٨٩ َأ َ َو أ َ ِمنَ أ َ ۡهل ۡٱلق َر ٰ ٓى أَن َي ۡأتِ َيهم َب ۡأسنَا ض ّٗحى َوه ۡم َي ۡل َعبون Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikatmalaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orangorang kafir. (QS. al-Baqarah : 98) A. Definisi Malaikat Dalam Islam, malaikat (bahasa Arab: مالكmalāk; jamak: مالًئِكةmala'ikah) adalah makhluk surgawi, yang diciptakan dari asal mula yang cerah oleh Allah untuk melakukan tugas-tugas tertentu 133 yang telah diberikan kepadanya. Malaikat dari alam malaikat adalah bawahan dalam hierarki yang dipimpin oleh salah satu malaikat di surga tertinggi. Keyakinan pada malaikat adalah salah satu dari enam artikel iman dalam Islam. Menurut bahasa Arab, kata “Malaikat” merupakan kata jamak yang berasal dari Arab malak ( )ملكyang berarti kekuatan, yang berasal dari kata mashdar “alalukah” yang berarti risalah atau misi, kemudian sang pembawa misi biasanya disebut dengan ar-rasul. Malaikat diciptakan oleh Allah terbuat dari cahaya (nur), berdasarkan salah satu hadist Muhammad, “Malaikat telah diciptakan dari cahaya.” Iman kepada malaikat adalah bagian dari Rukun Iman. Iman kepada malaikat maksudnya adalah meyakini adanya malaikat, walaupun kita tidak dapat melihat mereka, dan bahwa mereka adalah salah satu makhluk ciptaan Allah. Allah menciptakan mereka dari cahaya. Mereka menyembah Allah dan selalu taat kepada-Nya, mereka tidak pernah berdosa. Tak seorang pun mengetahui jumlah pasti malaikat, hanya Allah saja yang mengetahui jumlahnya. Walaupun manusia tidak dapat melihat malaikat tetapi jika Allah berkehendak maka malaikat dapat dilihat oleh manusia, yang biasanya terjadi pada para nabi dan rasul. Malaikat selalu menampakan diri 134 dalam wujud laki-laki kepada para nabi dan rasul. Seperti terjadi kepada Nabi Ibrahim. B. Jumlah Malaikat Sejatinya, jumlah malaikat yang diciptakan oleh Allah tidak ada yang mengetahui, kecuali Allah. Malaikat ini menyebar dan memiliki tugas masingmasing. Malaikat digambarkan sebagai makhluk baik yang positif, kebalikan dari Iblis. Dan memang benar adanya, malaikat merupakan makhluk yang biasa mendoakan manusia dalam keadaan apapun. Merupakan makhluk yang menjadi anti tesis dari adanya Iblis. Walau jumlahnya tidak ada yang mengetahui, tapi Allah mewajibkan kita untuk setidaknya mengenal 10 malaikat. 135 C. Malaikat yang Wajib Diketahui Ada 10 Malaikat yang wajib diketahui, sepuluh malaikat tersebut yaitu: 1. Malaikat Jibril Bertugas menyampaikan wahyu Allah kepada para nabi dan rasul. Malaikat Jibril adalah penghubung antara Allah swt dengan nabi dan rasul-Nya. Hanya saja kadang muncul pertanyaan nyeleneh, bahwa nabi terakhir adalah nabi Muhammad. Berarti zaman sekarang sudah tidak ada lagi nabi, jadi apa tugas malaikat Jibril sekarang? Tugas menyampaikan wahyu hanyalah salah satu tugas inti dari malaikat Jibril, bukan tugas satusatunya. Setelah nabi dan rasul ditutup oleh nabi Muhammad, sebenarnya malaikat Jibril memiliki tugas lain yang lebih banyak. Perlu kita ketahui disini, setelah Iblis dihukum dan dilaknat oleh Allah, tonggak kepemimpinan para malaikat yang sebelumnya dipegang oleh Iblis, akhirnya diambil alih oleh malaikat Jibril. Jadi malaikat Jibril ini merupakan komandan para malaikat. Tugas lainnya juga menyampaikan karunia Allah kepada hambahambaNya yang bertakwa. 136 Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (QS. al-Qadar : 4) 2. Malaikat Mikail Malaikat Mikail bertugas memberi rezeki kepada manusia. Harus dipahami disini, bahwa pada hakikatnya Allah lah yang memberikan rezeki. Allah juga sebenarnya sanggup untuk menyebarkan rezeki dengan kekuasaanNya, hanya saja Allah lebih mengetahui dari kita mengapa Dia menciptakan malaikat. Allah lebih adil dan lebih paham dari kita yang hanya sebagai makhlukNya. Mungkin juga Allah menciptakan malaikat sebagai saksi nanti di akhirat, karena Allah adalah hakim yang paling adil. Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikatmalaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orangorang kafir. (QS. al-Baqarah : 98) 3. Malaikat Israfil Malaikat Israfil bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa malaikat Israfil adalah malaikat pertama yang diciptakan oleh Allah. Penulis mendapatkan informasi ini dari kitab Daqoiqul Akhbar, tapi penulis belum mengkajinya lebih mendalam. Harus ada 137 kajian khusus mengenai ini. namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Abbad ra., bahwa nabi saw pernah bersabda:48 Setelah Allah menciptakan langit dan bumi, maka Dia menciptakan sangkakala. Sangkakala itu mempunyai lubang dan diberikan Allah Ta’ala kepada Israfil As., sedang dia meletakkannya pada mulutnya; matanya menatap ke Arsy, menunggu kapan dia diperintahkan (untuk meniupnya). Dan (Ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, Maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. (QS. an-Naml : 87) 4. Malaikat Izrail Malaikat Izrail bertugas sebagai pencabut nyawa. Malaikat Izrail ini merupakan malaikat terkakhir yang nyawanya dicabut oleh dirinya sendiri. Setelah semua makhluk mati atas ketetapan Allah, maka malaikat Izrail ini mencabut nyawa dirinya. Pada waktu pencabutan nyawa itulah, malaikat Izrail menyadari betapa sakitnya sakaratul maut. Rachmat Ramadhana, Biografi Malaikat, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), hlm. 167. 48 138 Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, Kemudian Hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan." (QS. as-Sajdah : 11) 5. Malaikat Munkar Malaikat Munkar bertugas menanyakan dan melakukan pemeriksaan manusia di alam kubur tentang amal perbuatan mereka saat masih hidup. 6. Malaikat Nakir Tugasnya sama dengan malaikat Munkar, yaitu bertugas menanyakan dan melakukan pemeriksaan manusia di alam kubur tentang amal perbuatan mereka saat masih hidup. 7. Malaikat Raqib Malaikat Raqib bertugas mencatat segala amal baik yang dilakukan manusia. Kita ketahui bersama bahwa di akhirat nanti, Allah akan membuat sebuah pengadilan yang maha adil. Sebenarnya Allah mengetahui setiap gerak-gerik manusia, tapi inilah keadilan Allah. Allah yang merupakan hakim yang paling adil, walau sudah tahu amal perbuatan manusia, masih meminta bukti kepada malaikat untuk menyampaikan amal perbuatan manusia atau jin selama hidupnya. Betapa adilnya Allah sebagai 139 hakim. Bukankah Allah adalah hakim yang paling adil? Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaaf : 16-18) 8. Malaikat Atid Malaikat Atid bertugas mencatat segala perbuatan buruk yang dilakukan manusia. 9. Malaikat Malik Malaikat Malik bertugas menjaga pintu neraka dan menyambut ahli neraka. Mereka berseru: "Hai Malik Biarlah Tuhanmu membunuh kami saja". dia menjawab: "Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)". (QS. az-Zukhruf : 77) 10. Malaikat Ridwan Malaikat Ridwan bertugas menjaga pintu syurga dan menyambut ahli surga. 140 D. Mengenal Malaikat yang Lain Ada beberapa nama malaikat yang sebenarnya tidak asing lagi ditelinga kita, diantaranya saja : 1. Malaikat Zabaniyah Malaikat Zabaniyah adalah para malaikat yang bertugas langsung menyiksa orang-orang berdosa di dalam neraka. Mereka ditakdirkan oleh Allah tidak mempunyai rasa belas kasihan sedikit pun kepada para penghuni neraka dan mereka berjumlah sembilan belas malaikat.49 Malaikat Zabaniyah adalah penyiksa orang-orang yang berdosa. Dalil naqlinya bisa merujuk pada surat al-Alaq ayat 18 yang berbunyi : “Kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah ( penyiksa orangorang yang berdosa)”. Kelak kami akan memanggil malaikat Zabaniyah... (QS. al-Alaq : 18) Rachmat Ramadhana, Biografi Malaikat, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), hlm. 101. 49 141 2. Malaikat Ghilazhun Syidad (Malaikat yang Kasar dan Bengis) Para malaikat ini bertugas sebagai eksekutor langsung terhadap para penghuni neraka. Mereka ditakdirkan Allah untuk tidak mempunyai rasa belas kasihan sama seperti halnya malaikat Zabaniyah. Mereka juga selalu konsisten serta disiplin dalam melaksanakan hukuman Allah kepada penduduk neraka. Dalil tentang keberadaan malaikat ini : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. atTahrim : 6) 3. Malaikat Khazanatu Neraka Jahannam) Jahannam (Penjaga Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Ra., bahwasanya pada hari kiamat dihadirkan neraka Jahannam yang sekelilingnya terdapat tujuh puluh ribu baris malaikat. Setiap barisnya lebih banyak jumlahnya dari jin dan manusia. Mereka menarik neraka 142 jahannam dengan kendalinya. Jahannam itu memiliki kaki, antara kaki yang satu dengan yang lainnya seperti perjalanan sekitar seribu tahun. Dia juga memiliki tiga kepala, tiap-tiap kepala meemiliki tiga ribu mulut, setiap mulut memiliki tiga gusi, setiap gusi besarnya sekitar seribu kali gunung Uhud. Setiap mulut mempunyai dua bibir, dan setiap bibir seperti derajat dunia. Di dalam dua bibirnya terdapat dua rantai dari besi, dan setiap rantai terdapat tujuh puluh ribu mata rantai dengan masing-masing mata rantai dipegang oleh beberapa malaikat. Neraka jahannam tersebut dihadirkaan disebelah kiri Arsy. Dan orang-orang yang berada dalam neraka Berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahannam: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu supaya dia meringankan azab dari kami barang sehari". Penjaga Jahannam berkata: "Dan apakah belum datang kepada kamu rasul-rasulmu dengan membawa keterangan-keterangan?" mereka menjawab: "Benar, sudah datang". penjaga-penjaga Jahannam berkata: "Berdoalah kamu". dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. (QS. al- Mu’min : 49-50) 4. Malaikat Pemberi Salam (Yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari 143 bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum"50. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. ar-Rad : 23-24) 5. Malaikat Penyeru Padang Mahsyar Pada hari kiamat nanti di padang mahsyar, ada malaikat-malaikat yang bertugas menyeru dan memanggil, serta menggiring manusia untuk mempertanggung jawabkan seluruh amal 51 perbuatannya dihadapan pengadilan Allah swt. Maka berpalinglah kamu dari mereka. (Ingatlah) hari (ketika) seorang penyeru (malaikat) menyeru kepada sesuatu yang tidak menyenangkan (hari pembalasan), Sambil menundukkan pandanganpandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan. Mereka datang dengan cepat kepada penyeru itu. orang-orang kafir berkata: "Ini adalah hari yang berat." (QS. al-Qamar : 6-8) 50 Artinya: keselamatan atasmu berkat kesabaranmu Rachmat Ramadhana, Biografi Malaikat, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), hlm. 109. 51 144 6. Malaikat Harut dan Marut Bagi anda yang hidup di pesantren-pesantren atau lahir di lingkungan NU, penulis yakin tidak aneh dengan cerita malaikat Harut dan Marut. Dua malaikat ini merupakan malaikat yang memprotes ketetapan Allah. Perhatikan disini, protes malaikat bukan karena nafsu, tapi karena akal. Kita harus paham dulu bahwa malaikat juga diberikan akal oleh Allah. Walau mungkin karakter akal yang diberikan Allah kepada malaikat dan manusia memiliki makna yang berbeda. Tapi intinya, malaikat masih bisa berpikir, tapi pemikiran mereka tidak dipengaruhi oleh nafsu. Pemikiran mereka benar-benar murni. Karena Allah ingin menunjukkan ke-maha kuasaaanNya—kita paham bahwa kesombongan adalah selendang Allah, Allah ingin menunjukkan bahwa semua makhluk pasti memiliki kesalahan analisa, sementara Allah adalah satu-satunya yang benar. Maka Allah menyuruh Harut dan Marut untuk turun ke bumi dengan menjelma sebagai manusia. Hingga akhirnya, Harut Marut ini justru menjadi makhluk yang melanggar aturan-aturan Allah. Mengenai dalil naqli malaikat Harut Marut ini bisa disimak dalam surat al-Baqarah ayat 102. 145 Tapi walau begitu, penulis tidak menyangkal terjadinya perbedaan pendapat mengenai masalah ini. Ada kelompok lain yang mengatakan bahwa nama Harut dan Marut merupakan analogi dari keadaan manusia. Kelompok ini meyakini bahwa malaikat pada hakikatnya dijauhkan dari kesalahan. Itu artinya, nama Harut dan Marut merupakan sebuah sindiran bagi manusia di zaman itu yang sudah kacau balau. Ada juga yang mengatakan bahwa penamaan Harut dan Marut merupakan penamaan yang dilakukan oleh Allah untuk raja atau penguasa di zaman itu, sementara kata malaikat maksudnya adalah penguasa. 7. Malaikat Ar Ra'd Malaikat ini bertugas mengatur awan. Dalil naqlinya bisa merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang berkata bahwa: "Orang-orang Yahudi datang menemui Nabi, lalu mereka bertanya, 'Wahai Abul Qasim, kami akan bertanya kepadamu tentang beberapa hal. Jika engkau menjawabnya maka kami akan mengikuti, mempercayai dan beriman kepadamu'. Mereka bertanya, beritahukan kepada kami tentang ar-Ra'd, apakah itu ?'. Beliau menjawab, 'Salah satu malaikat yang diserahi tugas untuk mengatur awan'" 146 8. Malaikat Hamalatul Arsy Merupakan empat malaikat pembawa, pemegang atau penanggung Arsy Allah swt. 9. Malaikat Rahmat Lagi-lagi penulis menisbatkan nama ini didasari sumber dari kitab Daqoiqul Akhbar. Malaikat ini merupakan malaikat yang mengatur rahmat Allah. 10. Malaikat Kiraman Katibin Nama malaikat ini disebutkan di dalam al-Qur’an, tepatnya surat al-Infithar ayat 10-11. Tugas kedua malaikat ini adalah mencatat amal baik dan buruk. Tapi tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah yang dimaksud malaikat Kiraman Katibin ini adalah malaikat Rakib dan Atid. Ada dua versi mengenai hal itu, ada yang mengatakan bahwa malaikat Kiraman Katibin adalah nama lain dari malaikat Rakib dan Atid, tapi ada juga yang mengatakan bahwa keduanya berbeda. Padahal Sesungguhnya bagi kamu ada (Malaikatmalaikat) yang Mengawasi (pekerjaanmu), Yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaanpekerjaanmu itu), Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Infithar : 10-12) 147 E. Hakikat Beriman kepada Malaikat Beriman atau mempercayai adanya malaikat memiliki suatu konsekuensi tersendiri di dalam keimanan seseorang. Dengan mempercayai adanya malaikat, menjadikan seseorang akan merasa di awasi di setiap gerak geriknya. Kita tidak menyangkal bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah mengetahui setiap perbuatan kita bahkan tanpa bantuan malaikat, Allah bisa menyalurkan rezekinya langsung kepada kita tanpa perantara malaikat, Allah sanggup menyampaikan wahyu tanpa perantara malaikat. Kita mengakui kemaha kuasaan Allah. Tapi tentu Allah lebih paham atas apa yang Dia kehendaki. Menciptakan malaikat tentu memiliki alasan tersendiri yang tidak bisa kita pahami. Tapi yang jelas, dengan adanya malaikat, setidaknya memberikan pengetahuan kepada kita bahwa Allah tidak hanya menciptakan manusia dan jin. Ada malaikat di suatu wilayah tertentu yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra manusia. Kita tidak pernah melihat malaikat, tapi kita seolah-olah 148 dihubungkan dengan malaikat melalui portal alQur’an. 149 Pasal 7 MEMBACA KITAB-KITAB ALLAH َ َ َ َ َ َ ُّ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ ٓ َ َ ُ ۡات يۡأنهاۡلكمۡوتودونۡأنۡغ ِۡ ّللۡإِح َدىۡٱلطائِفت ُۡ ِإَوذۡۡيَع ُِدك ُمۡٱ ِ ۡيۡذ ُ َ َُ ُ َُ ُ َ ُ ُ َ َ َ َ َ َ نُۡي َِقۡٱ ۡقۡبِكل َِمَٰت ِ ۡهِۦۡ َو َيق َط َعۡداب ِ َر َۡ ۡل ّللۡأ ۡ ٱلشوكةِۡتكونۡلكمۡوي ِريدۡٱ َ ۡ ٧ۡين َۡ ٱلكَٰف ِِر Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. al-Baqarah : 213) 150 Di dalam Rukun Iman dan Rukun Islam, setidaknya terjadi perbedaan pengurutan dua rukun. Di dalam Rukun Islam, yang sering terjadi perbedaan adalah pengurutan antara zakat dan puasa. Sementara di dalam Rukun Iman, yang sering terjadi kesalahan pengurutan adalah antara iman kepada kitab-kitab Allah dan iman kepada para nabi dan rasul. Penulis kira, kita tidak harus memperdebatkan hal semacam ini. Setiap pendapat memiliki alasan masing-masing. Pengurutan yang dilakukan memang sejatinya diambil karena suatu rukun dianggap lebih utama ketimbang rukun yang lainnya. Itulah alasan mengapa rukun iman kepada Allah berada di posisi pertama, karena iman kepada Allah lebih utama diantara yang lainnya. Sama dengan syahadat, diposisikan di nomor satu ketimbang rukun yang lain. Karena syahadat dianggap sebagai rukun paling penting untuk masuk Islam. Tapi dalam masalah zakat dan puasa di dalam Rukun Islam, atau kitab dan nabi di dalam rukun Iman, memang setiap ulama memiliki pandangannya 151 masing-masing. Kita benar-benar tidak memperbincangkan masalah ini lebih jauh. harus A. Pengertian Kitabullah Kitab Allah (Bahasa Arab: كتاب هللا, Kitabullāh) adalah catatan-catatan yang difirmankan oleh Allah kepada para nabi dan rasul. Umat Islam diwajibkan meyakininya, karena mempercayai kitab-kitab selain Al Qur'an sesuai dengan salah satu Rukun Iman. Jumlah kitab yang telah diturunkan sebanyak 114 kitab suci. Tulisan-tulisan firman Allah (Kitab Allah) zaman dahulu dibuat menjadi 2 jenis, yaitu bisa berupa shuhuf dan mushaf. Kata shuhuf pula terdapat di surah al A'laa: "(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa." (QS. AlA'la 87:19) Kedua kalimat itu berasal dari akar kalimat yang sama yaitu, "sahafa" (menulis). Shuhuf (;صحيفة tunggal: sahifa) berarti sepenggal kalimat yang ditulis dalam material seperti kertas, kulit, papirus dan media lain. Sedangkan mushaf ( ;مصحفjamak: masahif) berarti kumpulan-kumpulan shuhuf, yang dibundel menjadi satu, seperti 2 sampul dalam satu isi. 152 Dalam sejarah penulisan dari teks Qur'an, shuhuf terdiri dari beberapa lembaran yang pada akhirnya Qur'an dikumpulkan pada masa Abu Bakar. Dalam shuhuf tersebut susunan tiap ayat di dalam surah telah tepat, tetapi lembaran-lembaran yang ada belumlah tersusun dengan rapi, tidak dibundel menjadi satu isi. Kalimat mushaf pada saat ini memiliki arti lembaranlembaran yang dikumpulkan di dalam Qur'an yang telah dikoleksikan pada masa Utsman bin Affan. Pada saat itu, tiap ayat di dalam surah telah disusun dengan rapi. Saat ini umat Islam juga menyebut setiap duplikat Qur'an, yang mana memiliki keteraturan tiap ayat dan surah disebut mushaf. B. Jumlah Kitabullah Setidaknya ada 4 kitab yang wajib diketahui dan diyakini oleh seluruh umat Muslim. Keempat kitab itu diturunkan oleh Allah kepada nabi dan rasul yang berbeda. Tapi walau berbeda, jika dikaji lebih jauh, inti ajaran yang ada di dalam kitab-kitab Allah itu memiliki isi yang sama. Hanya saja, setiap kitab yang baru diturunkan merupakan penyempurnaan dari kitab sebelumnya. 153 4 kitab Allah yang wajib kita imani adalah kitab Taurat kepada nabi Musa, kitab Zabur kepada nabi Daud, kitab Injil kepada nabi Isa, dan al-Qur’an kepada nabi Muhammad saw. Kitab Taurat َۚٞ إِنَّا ٓ أَنزَ ۡلنَا ٱلت َّ ۡو َر ٰىةَ فِي َها ه ّٗدى َون َور يَ ۡحكم بِ َها ٱل َّنبِيُّونَ ٱلَّذِينَ أَ ۡسلَمواْ ِللَّذِين ب ٱ َّلِلِ َوكَانواْ َعلَ ۡي ِه َّ هَادواْ َوٱ ِ َلر ٰبَّنِيُّونَ َوٱ ۡأل َ ۡحبَار بِ َما ٱ ۡست ۡح ِفظواْ ِمن ِك ٰت َۚ ّٗ اس َوٱ ۡخش َۡو ِن َو َال ت َۡشت َرواْ ِبا ٰ َي ِتي ثَ َم ّٗنا قَ ِل يال َو َمن لَّ ۡم َ َّش َهدَآ َۚ َء فَ َال ت َۡخشَواْ ٱلن ٓ ٰ ٤٤ ََي ۡحكم ِب َما ٓ أَنزَ َل ٱ َّلِل فَأ ْولَئِكَ هم ٱ ۡل ٰ َك ِفرون Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah : 44) Kitab Taurat merupakan kitab yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Musa. Dalam kitab Taurat terdapat 154 beberapa syariat dan hukum agama yang sesuai dengan tempat dan kondisi pada masa itu. Kitab Taurat antara lain menerangkan aqidah yang benar, janji-janji Allah, dan ancaman-ancamanNya. Kitab Taurat menerangkan dengan tegas tentang akan datangnya Nabi Muhammad saw, sebagai kunci para Nabi dan Rasul untuk menggantikan ajaran-ajaran sebelumnya. Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa a.s. secara sekaligus. Diketahui bahwa kitab Taurat diturunkan oleh Allah menggunakan bahasa Ibrani, bahasa yang sekarang digunakan oleh umat Yahudi. Pada saat itu, kitab Taurat memang diperuntukkan untuk Bani Israil. Kitab Zabur ٓۗ ِ ت َوٱ ۡأل َ ۡر ض ٱلنَّبِيِنَ َعلَ ٰى ِ س ٰ َم ٰ َو َّ َو َربُّكَ أ َ ۡعلَم بِ َمن فِي ٱل َ ۡض َولَقَ ۡد فَض َّۡلنَا بَع ِۖ ٖ ۡبَع ٤٤ ورا ّٗ ض َو َءات َۡينَا دَاوۥدَ زَ ب Dan Tuhan-mu lebih mengetahui siapa yang (ada) di langit dan di bumi. dan Sesungguhnya Telah kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain), dan kami berikan Zabur kepada Daud. (QS. alIsraa : 55) Kitab Zabur diturunkan oleh Allah kepada nabi Daud. Kitab Zabur berisi antara lain beberapa doa, zikir, pengajaran, dan hikmah. Kitab Zabur tidak memuat hukum agama dan syariat, karena Nabi Daud 155 mengikuti dan melaksanakan Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kitab Zabur berisi pujian-pujian terhadap Allah swt. Nabi Daud memang seorang seniman yang memiliki suara yang sangat indah. Kitab Zabur diturunkan oleh Allah menggunakan bahasa Qibti. Sama seperti halnya Taurat, kitab Zabur juga ditujukan untuk Bani Israil. Kitab Injil صد ِّٗقا ِل َما بَ ۡينَ يَدَ ۡي ِه ِمنَ ٱلتَّ ۡو َر ٰى ِِۖة َ َوقَفَّ ۡينَا َعلَ ٰ ٓى َءا ٰث َ ِرهِم بِ ِعي َ سى ٱ ۡب ِن َم ۡريَ َم م صد ِّٗقا ِل َما بَ ۡينَ يَدَ ۡي ِه ِمنَ ٱلتَّ ۡو َر ٰى ِة ٞ نجي َل فِي ِه ه ّٗدى َون َ ور َوم ِ َو َءات َۡي ٰنَه ٱ ۡ ِإل َ َوه ّٗدى َو َم ۡو ِع ٤٦ َظ ّٗة ِل ۡلمتَّقِين Dan kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. dan kami Telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Maidah : 46) Kitab Injil yang diwahyukan kepada Nabi Isa a.s. bertujuan untuk menerangkan beberapa hukum dan mengajarkan manusia kembali kepada aqidah tauhid (monotheisme). Nabi Isa a.s. bertugas memperbaiki 156 agama Bani Israil yang telah kacau dan menyeleweng dari kebenaran. Injil menerangkan tentang kedatangan Nabi Muhammad saw. Kitab ini juga mengikuti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Terjadi perbedaan dalam menentukan bahasa pertama kitab Injil. Ada pendapat yang menyatakan menggunakan bahasa Suryani, ada pula yang mengatakan menggunakan bahasa Ibrani. Tapi yang jelas, kitab Injil ini juga ditujukan untuk Bani Israil. Kitab Al-Qur’an ٢ َإِنَّا ٓ أَنزَ ۡل ٰنَه ق ۡر ٰ َءنًا َع َربِ ّٗيا لَّعَلَّك ۡم ت َعۡ ِقلون Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2) Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw melalui Malaikat Jibril mempunyai keistimewaan dibanding dengan Kitab-kitab yang terdahulu. Keistimewaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kitab-kitab suci sebelum Al-Qur’an hanya ditujukan kepada suatu golongan tertentu. Sedangkan Al-Qur’an ditujukan untuk seluruh umat manusia dan golongan serta berlaku sepanjang zaman; 157 2. Kitab suci Al-Qur’an yang ada sekarang masih asli seperti yang pernah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, 14 abad yang lalu. Tidak ada perubahan sedikit pun baik titik maupun hurufnya; 3. Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab. Berbeda dengan kitab terdahulu yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, al-Qur’an masih menggunakan bahasa Arab sebagai panduan utama dalam kaidah-kaidah tafsir; 4. Al-qur’an membenarkan Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad saw; 5. Al-Qur’an sebagai penyempurna dari ajaranajaran yang telah diturunkan pada Kitab terdahulu; 6. Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus tetapi berangsur-angsur, ayat demi ayat, surat demi surat. Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan secara sekaligus; 7. Kitab Al-Qur’an juga berlaku bagi golongan selain manusia, yaitu golongan jin. C. Definisi Suhuf Banyak orang yang melupakan istilah ini. Suhuf adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi dan 158 rasul tapi dalam bentuk lembaran-lembaran yang tidak sempurna. Jika dihitung seluruhnya, Allah menurunkan setidaknya 100 suhuf kepada 5 nabi dan rasul yang berbeda. Tapi pada nyatanya, terdapat 110 suhuf jika kita gabungkan diantara semua pendapat para ulama. Adapun nabi dan rasul yang menerima suhuf adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Nabi Adam menerima 10 suhuf; Nabi Syits menerima 50 suhuf; Nabi Idris menerima 30 suhuf; Nabi Ibrahim menerima 10 suhuf; Nabi Musa menerima 10 suhuf. Terdapat perbedaan pendapat, karena ada yang menyebut hanya 100 suhuf, tanpa memasukkan nabi Musa, karena nabi Musa telah memiliki kitab Taurat. Ada juga yang menyebut 100 suhuf, dengan menghilangkan nabi Adam dan nabi Musa, sementara nabi Ibrahim mendapat 20 suhuf. Serta ada lagi yang berpendapat bahwa nabi Adam dan nabi Ibrahim masing-masing diturunkan 5 suhuf. Bagi yang berpendapat nabi Musa diturunkan suhuf oleh Allah, maksudnya suhuf tersebut diwahyukan sebelum nabi Musa mendapat wahyu Taurat. Sementara yang menghilangkan nabi Musa, artinya suhuf yang dimaksud sudah secara otomatis bagian 159 dari kitab Taurat. Penulis kira masalah ini tidak terlalu dipermasalahkan, setiap ulama memiliki pandangannya masing-masing. D. Perbedaan Kitab dan Suhuf Dari segi bahasa, kitab adalah buku, sementara suhuf hanyalah lembaran-lembaran. Isi di dalam kitab, lebih lengkap dan lebih rinci dari suhuf. Sementara persamaan diantara kitab dan suhuf adalah samasama wahyu Allah dan diturunkan kepada nabi dan rasul. 160 Pasal 8 MENGIMANI PARA NABI DAN RASUL Telah disinggung sebelumnya, bahwa alam raya yang begitu besar ini tentulah ada yang menciptakan. Dialah Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu yang menciptakan langit dan bumi beserta segala sesuatu yang ada di dalamnya. Allah memiliki kehendak mutlak dalam setiap apa yang Dia ciptakan. Tapi kita sebagai orang biasa, tentu tidak bisa menganalisa keberadaan Allah kecuali dengan adanya ciptaanNya. Kita sudah paham bersama, bahwa Allah adalah dzat yang tidak bisa dijangkau oleh manusia maupun jin, dan tidak bisa dideteksi bahkan oleh teknologi yang paling canggih sekalipun. Mengapa? Karena kita sudah membahasnya, bahwa Allah tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Sementara teknologi ciptaan manusia, se-canggih apapun itu, pasti tidak bisa dilepaskan dari yang namanya dimensi ruang dan waktu. Itu artinya, teknologi sehebat apapun buatan manusia, jelas tidak akan sanggup mendeteksi keberadaan Allah, karena Allah dijauhkan dari setiap dimensi kemakhlukan. 161 Maka dari itu, Allah mengutus hamba-hambaNya yang shaleh untuk menjelaskan keberadaanNya. Allah memahami bahwa manusia maupun jin tidak akan sanggup jika langsung berhadapan dengan Allah. Maka dari itu, Allah memilih utusan dari kalangan manusia untuk menyampaikan kehadiranNya. Kita harus meyakini, bahwa setiap perjalanan sejarah manusia dan jin pasti memiliki makna tertentu. Allah tentu lebih tahu alasan inti dibalik diutusnya para nabi dan rasul. Melalui ucapan nabi dan rasul lah, kabar keberadaan Allah sampai kepada kita. Sebenarnya akal kita secara kodrati bisa memahami bahwa alam raya ini tentu sudah ada yang menciptakan, tapi melalui kalam ilahi lah penegasan itu lebih bisa diterima. َنز َل ِإلَ ٰ ٓى ِإ ۡب ٰ َر ِه َم َو ِإ ۡس ٰ َم ِعي َل َو ِإ ۡس ٰ َحق ِ نز َل ِإلَ ۡينَا َو َما ٓ أ ِ قول ٓواْ َءا َمنَّا ِبٱ َّلِلِ َو َما ٓ أ ي ٱلنَّ ِبيُّونَ ِمن َّر ِب ِه ۡم ِ َوب َوٱ ۡأل َ ۡسب َ َويَعۡ ق َ ي مو َس ٰى َو ِعي َ ِس ٰى َو َما ٓ أوت َ ِاط َو َما ٓ أوت ٣١٦ ََال نفَ ِرق بَ ۡينَ أ َ َحدٖ ِم ۡنه ۡم َون َۡحن لَهۥ م ۡس ِلمون Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara 162 mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya". (QS. al-Baqarah : 136) A. Definisi Nabi dan Rasul Nabi ialah seorang hamba Allah yang diberi kepercayaan dan diberikan wahyu oleh Allah swt namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan wahyunya kepada kaumnya. Akan tetapi, wahyu itu diberikan untuk diamalkan oleh dirinya sendiri dan tidak ada keharusan untuk disampaikan kepada umatnya atau kaumnya. Sedangkan Rasul ialah seorang yang telah diberikan kepercayaan dan diberi wahyu oleh Allah SWT untuk diamalkannya yang kemudian wajib disampaikan kepada umatnya. B. Perbedaan Nabi dan Rasul Dua istilah nabi dan rasul memang kadang dianggap sama, padahal memiliki hakikat yang berbeda. Nabi lebih diartikan sebagai hamba Allah yang shaleh, yang diberi wahyu olehNya melalui perantara malaikat Jibril, hanya saja tidak memiliki kewajiban untuk mendakwahkan apa yang sudah mereka terima. Sementara Rasul merupakan penegasan akan kenabian seseorang. Artinya, rasul ini diwajibkan 163 untuk mengajak umat manusia dan umat jin serta seluruh makhluk Tuhan untuk mengimani keberadaan Tuhan. Kitab atau wahyu yang diturunkan oleh Allah, wajib disebarkan oleh para rasul kepada umatnya masing-masing. Bisa kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa setiap rasul berarti nabi, tapi tidak semua nabi adalah rasul. Hal ini mengisyaratkan, bahwa ketika ada manusia dilabeli dengan kata rasul, maka secara otomatis orang tersebut juga merupakan seorang nabi. Tapi tidak berlaku sebaliknya. Setiap nabi dan rasul akan menyampaikan misinya untuk kaumnya sendiri. Tidak bisa kita sangkal lagi, bahwa banyak nabi dan rasul yang lahir untuk kalangan Yahudi. Kaum Yahudi memang adalah kaum kesayangan Tuhan di masa lalu. Maka tidak heran, bangsa ini melahirkan banyak nabi dan rasul. Tapi walau begitu, sifat rasisme bangsa Yahudi membuat Tuhan memilih skenario lain untuk mempercantik kehidupan di dunia ini. Allah mengutus nabi terakhir dari kalangan bangsa Arab, bangsa yang pada saat itu dianggap sebagai bangsa yang paling kuno. Bangsa Arab ini sejatinya merupakan bangsa yang menjadi saudara dari bangsa Yahudi, hanya saja Yahudi tidak mau menerima 164 bangsa Arab sebagai saudaranya karena menganggap diri mereka lebih baik ketimbang bangsa Arab. C. Jumlah Nabi dan Rasul Agak berbeda setiap referensi untuk menyebutkan jumlah nabi dan rasul. Hanya saja, sumber yang sudah menjadi rujukan mayoritas umat Muslim di dunia, dikatakan bahwa jumlah nabi seluruhnya adalah 124.000. Sementara jumlah rasul seluruhnya adalah 315 rasul, walau ada juga yang menyebut 313 atau 314 rasul. Banyaknya nabi dan rasul tentu akan menyulitkan kita sebagai umat yang lahir di akhir zaman. Oleh karena itu, Allah hanya mewajibkan kita untuk mengetahui minimal 25 nabi dan rasul. 25 nabi dan rasul ini merupakan hamba-hamba pilihan Allah dari sekian ratus rasul dan sekian ribu nabi diantara yang lainnya. Perjuangan yang besar dan kehidupan yang sangat berat membuat Allah meninggikan derajat 25 nabi dan rasul diantara makhluk yang lainnya. 165 D. Nabi dan Rasul yang Wajib Diketahui Ada 25 nabi dan rasul yang wajib hukumnya bagi umat Muslim untuk mengetahuinya. Berikut 25 nabi dan rasul beserta profil singkat dan beberapa kisahkisah terkenalnya. 1. Nabi Adam Diketahui oleh tiga agama: Islam; Kristen; Yahudi, bahwa dahulu Adam tinggal di Surga. Ketika Allah menyuruh seluruh makhluk langit bersujud kepada Adam, seluruhnya sujud kecuali Iblis, sang penguasa para malaikat. Iblis menganggap dirinya lebih baik daripada manusia. Oleh karena itu, Allah melaknat Iblis karena tidak mematuhi perintahNya. Iblis pun akhirnya menggoda nabi Adam dan Hawa untuk memakan buah khuldi, buah yang memang di larang oleh Allah. Karena memakan buah inilah, nabi Adam dan Hawa diturunkan oleh Allah ke muka bumi. Perlu kita kaji disini, bahwa kita tidak dianjurkan untuk menyalahkan Adam dan Hawa yang memakan buah khuldi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Sebelum manusia diciptakan, Allah sudah memilihkan bumi sebagai tempat tinggalnya. Itu artinya, nabi Adam memakan buah khuldi ataupun 166 tidak, keturunan Adam yaitu manusia ditempatkan oleh Allah dimuka bumi. akan Disebutkan dalam kitab-kitab Islam, bahwa diperkirakan nabi Adam hidup terpaut angka dengan kita sekitar 9.000 tahun yang lalu. Dan Adam ini adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah. Tapi kita juga harus menyadari, bahwa Adam bukanlah makhluk pertama yang mendiami bumi, karena Allah telah menciptakan makhluk lain sebelum Adam untuk dijadikan khalifah di muka bumi ini. ُ َ َ َ َ َٰ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ ّۡللِ ۡكذِبًا ۡأو ۡكذ َب ۡأَِبتَٰيَٰت ِ ۡهِ ۡۦٓ ۡأ ْو َٰٓلئِك َۡي َنال ُهم ۡ ى ۡلَع ۡٱ ۡ ف َمنۡ ۡأظل ُم ۡم َِم ِن ۡٱفَت ُ َ َ َ ُْٓ َ ُ َ ََََ َُ ُ ُ ُ َٓ َ َ َ َ َ ُ اۡك ُ نَ ِص َٰٓ ب ۡح ۡنتم َّت ۡإِذاۡجاءتهم ۡرسلناۡيتوفونهم ۡقالوا ۡأين ۡم ِۡ َٰيب ُهمۡم َِن ۡٱلكِت ْ ُ َ ََ ُ َ َٰٓ َ َ ْ ُ َ َ َ َ ْ ُّ َ ْ ُ َ َ َ ُ َ ُ ۡۡلَع ۡأنفسِ ِهم ۡأن ُهم َۡكنوا وا ۡضلوا ۡعنا ۡوش ِهدوا ۡ ّللِه ۡ ۡقال ۡ ون ۡٱ ِ تدعون ۡمِن ۡد َ َ كَٰفِر ۡ٣٧ۡين ِ Kemudian Adam menerima beberapa kalimat52 dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah : 37) Tentang beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang diterima oleh Adam sebahagian ahli tafsir mengartikannya dengan kata-kata untuk bertaubat. 52 167 2. Nabi Idris Menurut Ibnu Katsir, Nabi Idris merupakan jalur nasab Rasulullah Saw. Nasabnya adalah Idris bin Yared bin Mahalail bin Qainan bin Anusy bin Syits bin Adam AS. Al-Maghluts menyebutkan, Idris hidup sekitar tahun 4533-4188 SM. Usianya diperkirakan sekitar 345 tahun, ada pula yang menyebutkan usianya 308 tahun. Hal ini juga disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Qishash alAnbiya’ yang mengutip keterangan dari Ibnu Ishaq. Nabi Idris diakui oleh banyak ulama dan ahli tafsir, adalah seorang nabi yang memiliki banyak keistimewaan, diantaranya kemampuannya dalam menulis, menggambar, menjahit, dan menguasai ilmu perbintangan (astronomi). Pada masanya manusia sudah berbicara dalam 72 bahasa. Saat ia berdakwah kepada kaumnya, Idris sudah menggambar pembangunan kota-kota sehingga kota yang berhasil dibangunnya berjumlah 188 kota. Dan Nabi Idris pula yang membagi wilayah bumi menjadi empat bagian dan menetapkan setiap bagiannya seorang raja. Nama-nama raja itu adalah Elaus, Zous, Esqlebeos, dan Zous Amon. Ibnu Ishaq menerangkan, Idris adalah manusia pertama yang menulis dengan pena. Rasul Saw bersabda; “Dahulu, ada seorang nabi yang menulis 168 dengannya (maksudnya menulis di atas pasir). Barang siapa yang sejalan dengan tulisannya, demikian itulah (tulisannya).” Dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan kami Telah mengangkatnya ke martabat yang Tinggi. (QS. Maryam : 56-57) 3. Nabi Nuh Sebelum lahirnya kaum Nabi Nuh, telah hidup lima orang saleh dari datuk-datuk kaum Nabi Nuh. Mereka hidup selama beberapa zaman kemudian mereka mati. Nama-nama mereka adalah Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Setelah kematian mereka, orang-orang membuat patung-patung dari mereka, dalam rangka menghormati mereka dan sebagai peringatan terhadap mereka. Kemudian berlalulah waktu, lalu orang-orang yang memahat patung itu mati. Lalu datanglah anak-anak mereka, kemudian anak-anak itu mati, dan datanglah cucu- cucu mereka. Kemudian timbullah berbagai dongeng dan khurafat yang membelenggu akal manusia di mana disebutkan bahwa patung-patung itu memiliki kekuatan khusus. 169 Dalam situasi seperti ini, Allah Swt mengutus Nuh a.s untuk membawa ajaran ilahi kepada kaumnya. Nabi Nuh adalah seorang hamba yang akalnya tidak terpengaruh oleh keadaan sekeliling, yang menyembah selain Allah Swt. Allah Swt memilih hamba-Nya Nuh dan mengutusnya di tengah-tengah kaumnya. Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orangorang yang zalim. (QS. al-Ankabut : 14) 4. Nabi Hud Nabi Hud hidup sekitar 2450-2321 SM. Nabi Hud seorang nabi yang diutus untuk Kaum ‘Ad yang tinggal di al-Ahqaf, Rubu’ al-Khali-Yaman. Pembalasan Tuhan terhadap kaum ‘Ad yang kafir diturunkan dalam dua tahap.Tahap pertama berupa kekeringan yang melanda ladang-ladang dan kebunkebun mereka, sehingga menimbulkan kecemasan dan kegelisahan, kalau-kalau mereka tidak memperolehi hasil dari ladang-ladang dan kebunkebunnya seperti biasanya. Kaum ‘Ad akhirnya diazab oleh Allah dengan tiupan angin yang begitu besar. Adapun Nabi Hud dan para 170 sahabatnya yang beriman telah mendapat perlindungan Allah dari bencana yang menimpa kaumnya. Dan (Kami Telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (QS. al-A’raf : 65) 5. Nabi Shaleh Nabi Shaleh hidup sekitar tahun 2150-2080 SM. Nabi Shaleh adalah salah seorang nabi dan rasul dalam agama Islam yang diutus kepada Kaum Tsamūd. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 2100 SM. Dia telah diberikan mukjizat yaitu seekor unta betina yang dikeluarkan dari celah batu dengan izin Allah yakni bagi menunjukkan kebesaran Allah kepada kaum Tsamud. Malangnya, kaum Tsamud masih mengingkari ajaran Shaleh, mereka membunuh unta betina milik nabi Shaleh tersebut. Akhirnya kaum Tsamud dibalas dengan azab yang amat dahsyat yaitu dengan satu tempikan dari Malaikat Jibril yang menyebabkan tubuh mereka hancur berai. Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. 171 dan mereka berkata: "Hai Shaleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)". (QS. al-A’raf : 77) 6. Nabi Ibrahim Nabi Ibrahim hidup sekitar 1997-1822 SM. Nabi Ibrahim merupakan nabi dalam agama Samawi. Ia mendapat gelar dari Allah dengan gelar Khalil Allah (Sahabat Allah). Selain itu ia bersama anaknya, Ismail terkenal sebagai pembangun Kabah. Ia diangkat menjadi nabi sekitar tahun 1900 SM, diutus untuk kaum Kaldān yang terletak di kota Ur, negeri yang disebut kini sebagai Irak. Ibrahim dianggap sebagai salah satu nabi Ulul azmi Secara keturunan, Nabi Ibrahim memiliki nasab Ibrahim bin Azzar bin Tahur bin Sarush bin Ra’uf bin Falish bin Tabir bin Shaleh bin Arfakhsad bin Syam bin Nuh. Ia dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam, A’ram, yang terletak di dalam kawasan kerajaan Babilonia. Kemudian ia memiliki 2 orang putra yang dikemudian hari menjadi seorang nabi pula, yaitu Ismail dan Ishaq. Sedangkan Yaqub adalah cucu dari Ibrahim. 172 7. Nabi Luth Nabi Luth hidup sekitar 1950-1870 SM. Nabi Luth adalah salah satu nabi yang diutus untuk negeri Sadum dan Gomorrah. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1900 SM. Ia ditugaskan berdakwah kepada Kaum yang tinggal di negeri Sadum, Syam, Palestina. Namanya disebutkan sebanyak 27 kali dalam Al-Quran. Ia menikah dengan seorang gadis yang bernama Ado kemudian memiliki 2 anak perempuan. Ia meninggal di Desa Shafrah di Syam, Palestina. Nabi Luth adalah anak keponakan dari Nabi Ibrahim. Ayahnya yang bernama Haran (Abara’an) bin Tareh adalah saudara kandung dari Ibrahim, ayahnya kembar dengan pamannya yang bernama Nahor. Silsilah lengkapnya adalah Luth bin Haran bin Azara bin Nahur bin Suruj bin Ra’u bin Falij bin ‘Abir bin Syalih bin Arfahsad bin Syam bin Nuh. 8. Nabi Ismail Nabi Ismail hidup sekitar 1911-1779 SM. Nabi Ismail adalah seorang nabi dalam kepercayaan agama samawi. Ismail adalah putera dari Ibrahim dan Hajar, kakak kandung dari Ishaq. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1850 SM. Ia tinggal di Amaliq dan berdakwah untuk Qabilah Yaman, Mekkah. Namanya 173 disebutkan sebanyak 12 kali dalam Al-Quran. Ia meninggal pada tahun 1779 SM di Mekkah. Secara tradisional ia dianggap sebagai Bapak Bangsa Arab. 9. Nabi Ishak Nabi Ishak hidup sekitar 1761 SM – 1638 SM. Nabi Ishak adalah putra kedua Nabi Ibrahim setelah Ismail yang ibunya adalah Sarah dan merupakan orang tua dari Nabi Yakub. Ishak diutus untuk masyarakat Kana’an di wilayah Al-Khalil Palestina. Kisah Nabi Ishak sangat sedikit diceritakan dalam Al-Qur’an. Nabi Ishak disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 15 kali. Sedangkan keutamaan Nabi Ishak disebutkan 9 kali dan kenabian Ishak 10 kali. Dikatakan bahwa ia memiliki 2 anak dan meninggal di Alkhalil Hebron Palestina. 10. Nabi Yakub Nabi Yakub hidup sekitar 1837-1690 SM. Nabi Yakub ialah salah seorang rasul yang ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Syam. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1750 SM dan Namanya disebutkan sebanyak 16 kali dan memiliki 12 anak. Ia wafat di Alkhalil Hebron Palestina. 174 11. Nabi Yusuf Nabi Yusuf hidup sekitar 1745-1635 SM. Nabi Yusuf adalah salah satu nabi agama samawi. Ia juga merupakan salah satu dari 12 putra Yakub dan merupakan cucu dari Ibrahim. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1715 SM dan ia ditugaskan berdakwah kepada Kanʻān dan Hyksos di Mesir. Namanya disebutkan sebanyak 27 kali di dalam AlQuran. Ia memiliki 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan dan ia wafat di Nablus Palestina. 12. Nabi Ayyub Nabi Ayyub hidup sekitar 1540-1420 SM. Nabi Ayyub adalah seorang nabi yang ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil dan Kaum Amoria (Aramin) di Haran, Syam. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1500 SM dan namanya disebutkan sebanyak 4 kali di dalam Al-Quran. Ia mempunyai 26 anak dan wafat di Huran, Syam. 13. Nabi Syuaib Nabi Syu’aib hidup sekitar 1600 SM–1500 SM. Nabi Syuaib adalah seorang nabi yang diutus kepada kaum Madyan dan Aikah menurut tradisi Islam. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1550 SM. Namanya disebutkan sebanyak 11 kali di dalam Al-Qur’an dan ia wafat di Madyan. 175 14. Nabi Musa Nabi Musa lahir sekitar tahun 1527 SM, dan meninggal pada sekitar 1408 SM. Nabi Musa adalah seorang nabi yang menyampaikan Hukum Taurat dan menuliskannya dalam Pentateveh/Pentateukh (Lima Kitab Taurat) dalam Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. 15. Nabi Harun Nabi Harun hidup sekitar 1531-1408 SM. Nabi Harun adalah salah seorang nabi yang telah diminta oleh Nabi Musa pada Allah dalam membantu memperkembangkan agama Allah. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1450 SM. Ia ditugaskan berdakwah kepada para Firaun Mesir dan Bani Israil di Sina, Mesir. Namanya disebutkan sebanyak 19 kali di dalam Al-Quran dan wafat di Tanah Tih. Ia menikah dengan dua orang wanita yang bernama Elisheba dan Miriam. 16. Nabi Dzulkifli Nabi Dzulkifli adalah nabi pada tahun 1460 SM yang diutus untuk mengajarkan tauhid kepada kaumnya yang menyembah berhala supaya menyembah Tuhan Yang Maha Esa, taat beribadah, dan membayar zakat. Ia memiliki 2 orang anak dan meninggal ketika 176 berusia 95 tahun di Damaskus Syiria. Namanya disebutkan sebanyak 2 kali di dalam Al-Quran. 17. Nabi Daud Nabi Daud merupakan seorang nabi dalam agama Islam, Kristen dan Yahudi dan merupakan raja kedua dan yang paling populer dalam kerajaan Israel. Dalam agama Islam, Nabi Daud menerima kitab Zabur. 18. Nabi Sulaiman Nabi Sulaiman hidup sekitar 975-935 SM. Nabi Sulaiman merupakan seorang raja Israel, dan anak Raja Daud. Namanya disebutkan sebanyak 27 kali di dalam Al-Quran. Sejak kecil ia telah menunjukkan kecerdasan dan ketajaman pikirannya. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 970 SM. Ia wafat di Rahbaam, Baitul Maqdis-Palestina. Sulaiman diagungkan sebagai salah satu dari empat raja yang berhasil menaklukkan sebagian besar bumi, diantaranya adalah Dzul Qarnain, Bukhtanasar dan Namrudz. 19. Nabi Ilyas Nabi Ilyas hidup sekitar 910-850 SM. Nabi Ilyas adalah seorang utusan Allah. Ilyas merupakan keturunan ke-4 dari Nabi Harun. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 870 SM dan ditugaskan berdakwah 177 kepada orang-orang Finisia dan Bani Israel yang menyembah berhala bernama Baal di Kota Baalbak, Syam. Kota Baalbak diambil dari nama berhala yang mereka sembah. Namanya disebutkan sebanyak 2 kali di dalam Al-Quran. Menurut kisah Islam ia tidak wafat tapi diangkat ke sisi Allah. 20. Nabi Ilyasa Nabi Ilyasa hidup sekitar 885-795 M. Nabi Ilyasa adalah seorang nabi yang tertera dalam Qur’an dan juga dianggap nabi oleh umat Yahudi dan Kristen. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 830 SM dan ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil dan orangorang Amoria di Panyas, Syam. Namanya disebutkan sebanyak 2 kali di dalam Al-Quran dan Ia wafat di Palestina. 21. Nabi Yunus Nabi Yunus hidup sekitar 820-750 SM. Nabi Yunus adalah salah seorang nabi dalam agama Samawi (Islam, Yahudi, Kristen) yang disebutkan dalam AlQur’an dalam Surah Yunus dan dalam Alkitab dalam Kitab Yunus. 22. Nabi Zakariya Nabi Zakariya hidup sekitar akhir SM. Nabi Zakariya adalah salah seorang nabi yang disebut di dalam AlKitab dan Qur’an. Ia diangkat menjadi nabi pada 178 tahun 2 SM dan ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Palestina. Namanya disebutkan sebanyak 8 kali di dalam Al-Quran. Ia memiliki 1 orang anak dan wafat di Syam. 23. Nabi Yahya Nabi Yahya hidup sekitar awal Masehi. Nabi Yahya adalah nabi Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Diyakini bahwa Yahya hidup selama 30 tahun. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 28 M dan ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Palestina. Namanya disebutkan sebanyak 4 kali di dalam Al-Quran dan wafat di Damaskus Syiria. 24. Nabi Isa Nabi Isa hidup sekitar 1–32 M. Nabi Isa adalah nabi penting dalam agama Islam dan merupakan salah satu dari Ulul Azmi. Dalam Al-Qur’an, ia disebut Isa bin Maryam atau Isa al-Masih. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 29 M dan ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Palestina. 25. Nabi Muhammad Nabi Muhammad bin Abdullāh adalah pembawa ajaran Islam, dan diyakini oleh umat Muslim sebagai nabi dan rasul yang terakhir. Menurut sirah (biografi) yang tercatat tentang Muhammad, ia disebutkan lahir 179 sekitar 20 April 570/ 571, di Mekkah (Makkah) dan wafat pada 8 Juni 632 di Madinah pada usia 63 tahun. Kedua kota tersebut terletak di daerah Hijaz (Arab Saudi saat ini). Beliau haram digambarkan dalam bentuk patung ataupun gambar ilustrasi. E. Gelar Ulul Azmi ٰ ۡ َ ۡ س ٰى َو ِعي َسى َ ِيم َومو َ وح َو ِإ ۡب ٰ َره ٖ َُّو ِإذ أخَذنَا ِمنَ ٱلنَّ ِب ِينَ ِميث َ َقه ۡم َو ِمنكَ َو ِمن ن ٰ ّٗ ٱ ۡب ِن َم ۡر َي ِۖ َم َوأَخ َۡذنَا ِم ۡنهم ِميثَقًا َغ ِل ٧ يظا Dan (Ingatlah) ketika kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan kami Telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh53. (QS. Al-Ahzab : 7) Diantara 25 nabi dan rasul tersebut, ada 5 nabi yang mendapat julukan/gelar Ulul Azmi. Ulul Azmi merupakan gelar yang diberikan kepada nabi/rasul yang memiliki ketabahan yang luar biasa dalam menjalankan kenabiannya, yaitu : Perjanjian yang teguh ialah kesanggupan menyampaikan agama kepada umatnya masing-masing. 53 180 1. Nabi Nuh AS; 2. Nabi Ibrahim AS; 3. Nabi Musa AS; 4. Nabi Isa AS; 5. Nabi Muhammad Saw. F. Sifat-sifat Nabi dan Rasul Ada 4 sifat wajib yang menjadi bagian dalam diri seorang nabi dan rasul, yaitu: 1. Sifat Shidiq (Benar); ٤٣ صد ِّٗيقا نَّ ِبيًّا ِ َ ََ ٱ ۡذك ۡر ِفي ٱ ۡل ِك ٰت ِ َِيم ِإنَّهۥ َكان َ َۚ ب ِإ ۡب ٰ َره Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan54 lagi seorang nabi. (QS. Maryam : 41) Maksudnya: ialah Ibrahim a.s. adalah seorang nabi yang amat cepat membenarkan semua hal yang ghaib yang datang dari Allah. 54 181 2. Amanah (Dipercaya); ٞ ِإنِي لَك ۡم َرسول أ َ ِم ٣١٧ ين Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu. (QS. AsySyu’ara : 107) 3. Tabligh (Menyampaikan); َنز َل إِلَ ۡيكَ ِمن َّربِ ِۖكَ َو ِإن لَّ ۡم ت َۡفعَ ۡل فَ َما بَلَّ ۡغت َّ ۞ ٰ ٓيَأ َ ُّي َها ٱ ِ لرسول بَ ِل ۡغ َما ٓ أ ٦٧ َاس إِ َّن ٱ َّلِلَ َال يَهۡ دِي ٱ ۡلقَ ۡو َم ٱ ۡل ٰ َك ِف ِرين ٓۗ ِ َّصمكَ ِمنَ ٱلن ِ ۡسالَت ََۚهۥ َوٱ َّلِل يَع َ ِر Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia55. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah : 67) Maksudnya: tak seorangpun yang dapat membunuh nabi Muhammad s.a.w. 55 182 4. Fathonah (Cerdas). ِۖ َ ظ ِة ٱ ۡل َح ۡ َ سبِي ِل َربِكَ بِٱ ۡل ِح ۡك َم ِة َوٱ ۡل َم ۡو ِع ِي َ ٱ ۡدع إِلَ ٰى َ سنَ ِة َو ٰ َجدِلهم بِٱلَّتِي ه ٣٢٤ َسبِي ِل ِهۦ َوه َو أ َ ۡعلَم بِٱ ۡلمهۡ تَدِين َ س َۚن إِ َّن َربَّكَ ه َو أ َ ۡعلَم بِ َمن َ ض َّل َعن َ أ َ ۡح Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah56 dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl : 125) Nabi dan rasul juga memiliki 4 sifat mustahil yang tidak lain adalah kebalikan dari sifat wajib yang ada, yaitu: 1. 2. 3. 4. Sifat Kidzib (Dusta); Khianat (Tidak dapat dipercaya); Kitman (Menyembunyikan); Baladah (Bodoh). Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. 56 183 Selain membicarakan mengenai agama, sebenarnya nabi dan rasul adalah manusia biasa, sama seperti halnya kita. Nabi dan rasul makan seperti halnya manusia di zaman ini, sama-sama menggunakan mulut. Nabi dan rasul juga malam harinya biasa tidur seperti kita, menikah seperti biasa, memiliki anak. Tidak ada yang berbeda. Inilah yang dimaksud sebagai sifat jaiz bagi nabi dan rasul. Istilah keren dari sifat jaiz ini adalah A’radhul Basyariyah, atau sifat-sifat sebagaimana manusia pada umumnya. 184 Pasal 9 MEMPERCAYAI KEDATANGAN HARI KIAMAT Sudah diterangkan dalam berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan di zaman sekarang, bahwa keteraturan-keteraturan alam raya ini setiap waktunya terus berubah. Dan semua ilmuan menyetujui, bahwa bumi ini tidak bisa dihuni oleh manusia selamanya. Akan ada masanya bumi ini hancur. Dan parahnya lagi, kehancuran itu bersifat universal, menyeluruh. Walau manusia mencoba untuk hidup di luar bumi pun, kehancuran itu tidak akan bisa dihindari. Ditegaskan oleh ahli astronomi, bahwa planet-planet beredar di angkasa mengelilingi matahari. Peredaran ini berjalan rapi tanpa terjadi tabrakan dan benturan karena adanya daya tarik-menarik. Daya tarik menarik ini tidak selamanya utuh. Daya itu semakin lama semakin habis. Bisa kita bayangkan, seandainya suatu saat nanti keseimbangan itu tidak ada lagi, bumi akan meluncur dengan kekuatan yang maha dahsyat menubruk matahari. Dengan demikian, hancurlah bumi ini. Dan masih banyak lagi hipotesis185 hipotesis lain yang dikemukakan oleh para ilmuan di jagad bumi ini. A. Definisi Hari Kiamat Yawm al-Qiyāmah (bahasa Arab: )يوم القيامةadalah "Hari Kebangkitan" seluruh umat manusia dari Adam hingga manusia terakhir. Ajaran ini diyakini oleh umat Islam, Kristen dan Yahudi. AlQiyāmah juga merupakan nama surat ke 75 di dalam kitab suci Al-Qur'an. Kalimat kiamat di dalam bahasa Indonesia adalah hari kehancuran dunia, kata ini diserap dari bahasa Arab "Yaum al Qiyamah", yang arti sebenarnya adalah hari kebangkitan umat. Sedangkan hari kiamat (kehancuran alam semesta beserta isinya) dalam bahasa Arab adalah "As-Saa’ah". Yaum al-Qiyamah secara bahasa berarti "Hari Kebangkitan Umat", terdiri dari 3 suku kata, yaitu: 1. Yaum ( = )يومHari, masa atau periode 2. Qiyam ( = )قيامTegak, bangkit, berdiri 3. `Ummah ( = )أمةUmat, bangsa 186 Secara istilah Yaumul Qiyamah sering diartikan hari kiamat (kehancuran alam semesta beserta isinya). Yaumul Qiyamah sama halnya dengan Yawm ad-Din yang artinya suatu periode (masa) di mana akan terjadi kebangkitan sebuah komunitas umat manusia yang hidup berdasarkan agama Allah (dinullah). Umat ini bangkit 700 thn sekali dengan diutusnya seorang rasul dari umat tersebut. B. Dasar Hukum Kepastian Kiamat Banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan tentang peristiwa yang mengerikan ini. Banyak istilah untuk menyebut kiamat di dalam al-Qur’an. Tapi kali ini penulis hanya akan memberikan satu saja dalil naqli tentang berita dari Allah akan kedatangan hari kiamat. Penulis mengambilnya dari surat an-Naml ayat 87 yang berbunyi: ب َو ٰلَ ِك َّن ٱ ۡل ِب َّر َم ۡن ِ ق َوٱ ۡل َم ۡغ ِر َ ۞لَّ ۡي ِ س ٱ ۡل ِب َّر أَن ت َولُّواْ وجوهَك ۡم ِق َب َل ٱ ۡل َم ۡش ِر ٓ ٰ ۡ ٰ ۡ ۡ ۡ ب َوٱلنَّ ِب ِينَ َو َءاتَى ٱل َما َل َعلَ ٰى ح ِب ِهۦ ِ َ َءا َمنَ ِبٱ َّلِلِ َوٱل َي ۡو ِم ٱ ۡأل ٓ ِخ ِر َوٱل َملَ ِئ َك ِة َوٱل ِكت ب َّ س ِبي ِل َوٱل َّ سكِينَ َوٱ ۡبنَ ٱل ِ سآئِلِينَ َوفِي ٱ ِلر َقا َ ٰ ذَ ِوي ٱ ۡلق ۡر َب ٰى َوٱ ۡل َي ٰت َ َم ٰى َوٱ ۡل َم َّ صلَ ٰوة َ َو َءات َى ٱ ص ِب ِرينَ فِي َّ ٰ لزك َٰوة َ َوٱ ۡلموفونَ ِب َعهۡ ِده ِۡم ِإذَا ٰ َع َهدو ِۖاْ َوٱل َّ ام ٱل َ ََوأَق ٓ ٓ ِۖ ٰ ٰ ۡ ۡ ۡ ٓۗ ِ سا ٓ ِء َوٱلض ََّّرآ ِء َو ِحينَ ٱل َبأ َصدَقواْ َوأ ْولَئِكَ هم ٱلمتَّقون َ ٱ ۡل َب ۡأ َ َس أ ْولَئِكَ ٱلَّذِين ٣٧٧ 187 Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah 177) C. Pengetahuan Allah Masalah kiamat ini mutlak merupakan ketetapan Allah. Tidak ada satu pun makhluk yang mengetahui akan kehancuran alam semesta ini. Mengapa? Karena seluruh makhluk yang akan merasakan kedahsyatannya. Kalangan manusia maupun jin, termasuk iblis, bahkan malaikat sendiri, tidak luput dari keganasan kiamat. Tidak logis Allah 188 memberikan informasi ketetapan waktu kedatangan kiamat kepada mereka yang justru akan ikut hancur di dalamnya. Jangankan makhluk yang lain, malaikat Israfil saja tidak diberitahukan oleh Allah akan ketetapan waktu kedatangan kiamat. Adapun dalil naqlinya bisa merujuk pada surat Thoha ayat 15 yang berbunyi: “Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.” D. Pembagian Kiamat Yang dimaksud penulis disini, adalah perbedaan istilah kiamat yang berkembang di masyarakat. Setidaknya istilah kiamat ini diperuntukkan untuk kiamat yang dianggap kecil (sughra) dan kiamat yang memang benar kiamat (kubra). Kiamat sughra merupakan peristiwa-peristiwa biasa, seperti meninggalnya manusia, tapi dianggap merupakan sebuah kiamat. Sementara satunya lagi memang yang kita maksud dalam pembahasan kali ini, yaitu kiamat kubra. Kiamat Sugra, adalah kiamat kecil, yaitu rusaknya sebagian makhluk, misalnya kematian dan terjadinya 189 bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir dan sebagainya. Sementara kiamat kubra adalah kiamat besar, yaitu hancurnya alam semesta dengan segala isinya secara serempak, atau berakhirnya seluruh kehidupan makhluk di alam ini. ورك ۡم يَ ۡو َم ٱ ۡل ِق ٰيَ َم ِِۖة فَ َمن ز ۡح ِز َح َع ِن ِ ٓۗ ك ُّل ن َۡف ٖس ذَآئِقَة ٱ ۡل َم ۡو َ ت َو ِإنَّ َما ت َوفَّ ۡونَ أج ٣٩٤ ور ِ ار َوأ ۡد ِخ َل ٱ ۡل َجنَّةَ فَقَ ۡد فَ ۗٓازَ َو َما ٱ ۡل َحيَ ٰوة ٱلد ُّۡنيَا ٓ ِإ َّال َم ٰتَع ٱ ۡلغر ِ َّٱلن Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia Telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Al-Imran 185) Kiamat Sughra berarti kiamat kecil. Seperti kematian, gempa bumi, gunung meletus, banjir dan lain-lain. Setiap mahluk yang hidup akan menemui kematian. Binatang- binatang akan mati setelah masa hidupnya selesai. Tumbuh- tumbuhan juga akan mengalami hal yang sama, Demikian juga manusia. Hal itu seperti yang di jelaskan Allah dalam surah al-Imran ayat 185 yang berbunyi: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah 190 disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” Kiamat Kubra (kerusakan besar) adalah hancurnya alam semesta dengan segala isinya. Keadaan alam semesta dan segala isinya pada waktu terjadi kiamat banyak di jelaskan Allah dalam Al-Quran. Hanya Allah saja yang mengetahui. Tidak ada satu mahluk pun yang mengetahuinya termasuk para malaikat Allah. E. Tanda-tanda Kiamat Kubra Kita bagi tanda-tanda ini ke dalam dua kategori, yang pertama tanda-tanda kecil dan yang kedua adalah tanda-tanda besar. Tanda-tanda kecil ini sedikit demi sedikit tumbuh di masyarakat kita saat ini. Sementara tanda-tanda besar, belum ada yang nampak, sebelum tanda-tanda kecil sudah terjadi dan benar-benar parah. Tanda-tanda kiamat kecil, antara lain : 191 1. Diutusnya Rasulullah saw Jabir r.a. berkata, ”Adalah Rasulullah saw jika beliau khutbah memerah matanya, suaranya keras, dan penuh dengan semangat seperti panglima perang, beliau bersabda, ‘(Hati-hatilah) dengan pagi dan sore kalian.’ Beliau melanjutkan, ‘Aku diutus dan hari Kiamat seperti ini.’ Rasulullah saw. mengibaratkan seperti dua jarinya antara telunjuk dan jari tengah. (HR Muslim) 2. Disia-siakannya amanat Jabir r.a. berkata, tatkala Nabi saw berada dalam suatu majelis sedang berbicara dengan sahabat, maka datanglah orang Arab Badui dan berkata, “Kapan terjadi Kiamat?” Rasulullah saw terus melanjutkan pembicaraannya. Sebagian sahabat berkata, “Rasulullah saw mendengar apa yang ditanyakan tetapi tidak menyukai apa yang ditanyakannya.” Berkata sebagian yang lain, “Rasul saw tidak mendengar.” Setelah Rasulullah saw menyelesaikan perkataannya, beliau bertanya, “Mana yang bertanya tentang Kiamat?” Berkata lelaki Badui itu, ”Saya, wahai Rasulullah saw.” Rasulullah saw. Berkata, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah kiamat.” Bertanya, “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Rasulullah saw. Menjawab, “Jika urusan diserahkan 192 kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.” (HR Bukhari). 3. Penggembala menjadi kaya Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang tandatanda kiamat, lalu beliau menjawab, “Seorang budak melahirkan majikannya, dan engkau melihat orangorang yang tidak beralas kaki, telanjang, dan miskin, penggembala binatang berlomba-lomba saling tinggi dalam bangunan.” (HR Muslim) 4. Sungai Eufrat berubah menjadi emas Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat sampai Sungai Eufrat menghasilkan gunung emas, manusia berebutan tentangnya. Dan setiap 100 terbunuh 99 orang. Dan setiap orang dari mereka berkata, ”Barangkali akulah yang selamat.” (Muttafaqun ‘alaihi) 5. Baitul Maqdis dikuasai umat Islam ”Ada enam dari tanda-tanda kiamat: kematianku (Rasulullah saw), dibukanya Baitul Maqdis, seorang lelaki diberi 1000 dinar, tapi dia membencinya, fitnah yang panasnya masuk pada setiap rumah muslim, kematian menjemput manusia seperti kematian pada kambing dan khianatnya bangsa 193 Romawi, sampai 80 poin, dan setiap poin 12.000.” (HR Ahmad dan At-Tabrani dari Muadz). 6. Banyak terjadi pembunuhan Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiada akan terjadi kiamat, sehingga banyak terjadi haraj”. Sahabat bertanya, “Apa itu haraj, ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Haraj adalah pembunuhan, pembunuhan.” (HR Muslim). 7. Munculnya kaum Khawarij Dari Ali ra. berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Akan keluar di akhir zaman kelompok orang yang masih muda, bodoh, mereka mengatakan sesuatu dari firman Allah. Keimanan mereka hanya sampai di tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya. Di mana saja kamu jumpai, maka bunuhlah mereka. Siapa yang membunuhnya akan mendapat pahala di hari Kiamat.” (HR Bukhari). 8. Perang antara Yahudi dan Umat Islam Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat sehingga kaum muslimin berperang dengan yahudi. Maka kaum muslimin membunuh mereka sampai ada seorang yahudi bersembunyi di belakang batu-batuan dan pohon194 pohonan. Dan berkatalah batu dan pohon, ‘Wahai muslim, wahai hamba Allah, ini yahudi di belakangku, kemari dan bunuhlah ia.’ Kecuali pohon Gharqad karena ia adalah pohon Yahudi.” (HR Muslim). 9. Dominannya Fitnah Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat, sampai dominannya fitnah, banyaknya dusta dan berdekatannya pasar.” (HR Ahmad). 10. Sedikitnya ilmu 11. Merebaknya perzinahan 12. Banyaknya kaum wanita Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda. “Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat adalah ilmu diangkat, banyaknya kebodohan, banyaknya perzinahan, banyaknya orang yang minum khamr, sedikit kaum lelaki dan banyak kaum wanita, sampai pada 50 wanita hanya ada satu lelaki.” (HR Bukhari). 13. Bermewah-mewah dalam membangun masjid Dari Anas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Diantara tanda kiamat adalah bahwa manusia saling membanggakan dalam keindahan masjid.” (HR Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). 195 14. Menyebarnya riba dan harta haram Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Akan datang pada manusia suatu waktu, setiap orang tanpa kecuali akan makan riba, orang yang tidak makan langsung, pasti terkena debudebunya.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan AlBaihaqi). Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Akan datang pada manusia suatu saat di mana seseorang tidak peduli dari mana hartanya didapat, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR Ahmad dan Bukhari). Dari sekian banyak tanda-tanda kecil tersebut, hanya beberapa yang akan penulis perjelas. Hamba sahaya perempuan melahirkan tuannya, maksudnya adalah terjadinya perzinaan yang sudah masal dan terjadi antara majikan dengan pembantunya. Akibatnya, si pembantu melahirkan anak yang tidak lain adalah anak majikannya. Ada lagi tanda lain yang disebutkan, yaitu terjadinya peperangan antara dua golongan besar yang saling membunuh, dan keduanya mengaku memperjuangkan agama Islam. Penulis kira sekarang sudah mulai nampak. Maksudnya disini adalah bentuk-bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintahan yang sah. Termasuk juga perselisihan 196 antara satu negara dengan negara lain yang samasama beragama Islam. Penulis tidak menyangkal, bahwa nasionalisme yang kebablasan merupakan bentuk jahiliyyah modern. Sedangkan tanda-tanda kiamat besar, antara lain: 1. Keluarnya suatu binatang yang sangat aneh. Binatang ini dapat bercakap-cakap kepada semua orang dan menunjukkan kepada manusia bahwa kiamat sudah sangat dekat. 2. Datangnya al-Mahdi. Beliau termasuk keturunan dari Rasulullah Saw. Oleh karena itu, beliau serupa benar akhlak dan budi pekertinya dengan Rasulullah Saw. Kemunculan al-Mahdi ini yang menurut penulis merupakan bentuk dari kebangkitan Islam yang dijanjikan oleh Allah. 3. Munculnya Dajjal. Keluarnya Dajjal merupakan fitnah atau ujian besar bagi manusia, di mana Allah memberikan kemampuan kepadanya melakukan hal-hal yang membuat manusia terperdaya dengannya, yaitu ia mampu memerintah langit untuk menurunkan hujan, tanah untuk menumbuhkan rumput, menghidupkan orang yang telah mati, dan peristiwa yang lain diluar 197 hukum alam. Rasulullah mengambarkan bahwa dajjal itu bermata sebelah yang datang dengan membawa perumpamaan surga dan neraka. Maka, yang ia katakan surga sebenarnya adalah neraka, dan yang ia katakan neraka sebenarnya adalah surga. Dajjal tinggal di bumi selama empat puluh hari, sehari pertama seperti setahun, lalu sehari kedua seperti sebulan, kemudian sehari ketiga seperti seminggu, dan hari-hari berikutnya seperti hari-hari biasa. Tidak ada satu tempat di muka bumi yang tidak disinggahi dajjal, kecuali Mekkah dan Madinah. 4. Hilang dan lenyapnya al-Qur’an. Bahkan lenyap pula lah yang ada di dalam hati seseorang. 5. Turunnya Nabi Isa as. Beliau akan turun ke bumi ini di tengah-tengah merajalela pengaruh Dajjal. 6. Dukhan (asap) yang akan keluar dan mengakibatkan penyakit di kalangan orangorang yang beriman dan mematikan seluruh orang beriman. 198 7. Dabbah-Binatang besar yang keluar di dekat Bukit Shafa di Mekkah yang akan bercakap bahwa manusia tidak beriman lagi kepada Allah swt. 8. Keluarnya bangsa Ya’juj dan Ma’juj yang akan membuat kerusakan dipermukaan bumi ini. Mereka menghancurkan dinding yang dibuat dari besi bercampur tembaga yang telah didirikan oleh Zul Qarnain bersama dengan pembantu-pembantunya pada zaman dahulu. 9. Gempa bumi besar di Timur. 10. Gempa bumi besar di Barat. 11. Gempa bumi besar di Semenanjung Arab. 12. Api besar yang akan menghalau manusia menuju ke Padang Mahsyar. 13. Terbitnya matahari dari arah barat dan terbenam dari arah timur. Hal ini terjadi karena perubahan besar dalam susunan alam semesta. 199 F. Setelah Kiamat Kiamat bukanlah akhir dari segalanya. Setiap makhluk Allah akan dimintai pertanggung jawaban dari setiap usaha mereka ketika masih hidup di dunia. Adapun beberapa peristiwa pasca-kiamat antara lain: 1. Yaumul Barzah atau alam kubur, yaitu waktu antara sesudah meninggalnya seseorang sampai menunggu datangnya hari kiamat. (Q.S.Al Khafi ayat 99) 2. Yaumul Baats, masa dibangkitkannya manusia dari alam kubur mulai dari manusia pertama sampai manusia terakhir. (Q.S. Al Zalazalah ayat 6) 3. Yaumul Mahsyar, masa dikumpulkannya manusia dipadang mahsyar. (Q.S. Ibrahim ayat 48) 4. Yaumul Hisab/Mizan, masa diperhitungkan / ditimbang amal kebaikan dan keburukan manusia. (Q.S. Yasin ayat 65) 5. Syirot, yaitu jembatan atau jalan yang menghubungkan dan mengantarkan manusia ke surga atau neraka. 200 6. Surga, yaitu tempat balasan bagi orang yang beriman kepada Allah Swt.(Q.S. Al Hajj ayat 23) 7. Neraka, yaitu tempat balasan bagi orang yang ingkar kepada Allah Swt. (Q.S. Az Zumar ayat 32) G. Hikmah Beriman kepada Hari Kiamat Beriman atau percaya akan datangnya hari kiamat tentu akan menimbulkan sebuah dampak bagi kehidupan seseorang. Minimal orang tersebut akan berusaha patuh terhadap ajaran Allah dan rasulNya. Dengan dirahasiakannya hari Kiamat seperti dirahasiakannya hari kematian seseorang, tentu akan menimbulkan sikap hati-hati di dalam diri orang tersebut. 201 Pasal 10 MEMAKNAI QADLA DAN QADAR Tidak bisa kita sangkal lagi, bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Semua yang ada di alam raya ini, tidak lain merupakan kehendak Allah. Semua kejadian yang telah kita saksikan, yang pernah kita dengar, tidak ada satu pun yang terjadi tanpa ketentuan Allah. Allah benar-benar berkuasa atas segala sesuatu. Kehidupan yang sedang kita jalani di dunia ini telah Allah tuliskan (tetapkan) dalam kitab Lauhul Mahfudz yang terjaga rahasiaannya dan tidak satu pun makhluk Allah yang mengetahui isinya. Semuanya mutlak merupakan kehendak Allah Azza wa Jalla. Kematian, kelahiran, rezeki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka, semuanya telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan Ilahiyah yang tidak pernah diketahui oleh manusia atau makhluk yang lain. Dengan tidak adanya pengetahuan tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka kita harus berlombalomba menjadi hamba yang terus menebar kebaikan, dan berusaha keras untuk menggapai cita-cita 202 tertinggi yang diinginkan setiap muslim, yaitu melihat Rabbul ’alamin dan menjadi penghuni Surga. Keimanan seorang muslim, diwujudkan dalam kepercayaannya terhadap 6 pilar rukun iman yang sudah disabdakan oleh nabi. Satu diantara keenam pilar tersebut adalah iman terhadap Qadla dan Qadar dari Allah. Sebuah keimanan yang harus ada dalam diri seorang muslim. Salah memahami keimanan terhadap takdir atau Qadla dan Qadar ini dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. ب ِمن قَ ۡب ِل ِ صي َب ٖة ِفي ٱ ۡأل َ ۡر َ ص ِ اب ِمن ُّم ٖ َض َو َال ِف ٓي أَنفسِك ۡم ِإ َّال ِفي ِك ٰت َ َ َما ٓ أ ٰ َۚ ٢٢ ِير ٞ أَن نَّ ۡب َرأ َ َها ٓ ِإ َّن ذ َلِكَ َعلَى ٱ َّلِلِ َيس Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al-Hadid : 22) ٤٨ إِنَّا ك َّل ش َۡيءٍ َخلَ ۡق ٰنَه بِقَدَ ٖر Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir). (QS. Al-Qamar : 49) 203 A. Definisi Qadla dan Qadar Secara bahasa, Qadla artinya adalah ketetapan. Lebih jelasnya, Qadla merupakan ketetapan Allah swt kepada setiap mahluk-Nya yang bersifat Azali. Azali Artinya ketetapan itu sudah ada sebelumnya, jauhjauh hari dari kelahiran makhluk. Jadi gambaran luasnya, setiap skenario waktu yang ada hingga hari kiamat nanti, telah ada ketentuannya dan telah diatur oleh Allah. Sedangkan Qadar menurut bahasa artinya adalah ukuran. Qadar merupakan penjelasan sebuah penciptaan sesuai dengan ukuran atau timbangan yang telah ditentukan sebelumnya. Qadla dan Qadar dalam keseharian sering kita sebut dengan takdir. Jadi, Iman kepada qadla dan qadar adalah percaya sepenuh hati bahwa sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi di alam raya ini, semuannya telah ditentukan oleh Allah swt sejak jaman azali. Dalil naqli mengenai tuntutan iman kepada qadla dan qadar sebenarnya sangat banyak sekali, baik itu dari al-Qur’an, maupun dari hadits nabi. Tapi untuk lebih memudahkan, penulis disini hanya akan memberikan dua dalil saja, satu dari al-Qur’an dan satu lagi dari 204 hadits nabi, yang sudah umum dijadikan dasar bagi kebanyakan umat muslim. “Tiadalah suatu bencana menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu, melainkan dahulu sudah tersurat dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid : 22) Rasulullah saw bersabda, “Iman adalah kamu percaya kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul-Nya, hari akhir, dan kamu percaya kepada takdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim) B. Macam-Macam Takdir Setidaknya istilah takdir secara umum ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Takdir Muallaq Takdir muallaq adalah takdir Allah swt atas makhlukNya yang memungkinkan takdir tersebut dapat berubah karena usaha dan ikhtiar makhlukNya tersebut. Itu artinya, Allah memberikan sebuah keleluasaan bagi makhluk untuk melakukan segala sesuatu dengan keinginan dirinya. Tapi walau begitu, setiap keinginan makhluk yang merupakan usaha 205 atau ikhtiar itu, tetap saja merupakan kehendak Allah Azza wa Jalla. Takdir muallaq ini yang seharusnya dipahami lebih jauh oleh umat muslim. Jangan sampai, istilah beriman kepada qadla dan qadar dijadikan alasan pembenar untuk tidak melalukan usaha atau ikhtiar demi mewujudkan diri menjadi lebih baik. Banyak contoh yang bisa kita ambil dalam pembahasan takdir muallaq ini. Penulis meyakini bahwa setiap manusia pasti memiliki kesalahan dan kekhilafan. Untuk memperbaiki kesalahan itulah, manusia selalu belajar untuk menjadi lebih baik. Dalam mewujudkan itulah, merupakan usaha yang dilakukan oleh manusia dengan kehendaknya sendiri. Dalil akan adanya takdir muallaq yang biasa dijadikan dasar hukum adalah firman Allah di dalam al-Qur’an yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka itu mengubah nasibnya sendiri.” (Ar-Radu : 11) 2. Takdir Mubram Takdir mubram inilah yang seharusnya menjadi sorotan kita. Takdir mubram adalah takdir yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan kejadiannya. Takdir mubram ini murni merupakan ketentuan dan 206 kehendak Allah. Semua makhluk diatur oleh takdir mubram ini, tak terkecuali malaikat. Dan tidak ada satupun makhluk yang bisa melawan takdir ini. Andaikan seluruh makhluk bergabung menjadi satu, seluruhnya, untuk merubah satu saja dari takdir mubram yang sudah diatur oleh Allah, demi Allah takdir tersebut tidak akan berubah kecuali atas izin Allah. Contoh dari takdir mubram ini diantaranya adalah kelahiran makhluk, kematian, jodoh, rezeki, terjadinya kiamat, bencana alam, dan beberapa ketentuan lain yang sudah diatur oleh Allah. Seluruh hal yang masuk dalam kategori takdir mubram ini adalah rahasia Allah swt, hanya Allah yang mengetahuinya. Sama seperti beriman kepada rukun iman yang lain, iman kepada qadla dan qadar juga seharusnya memberikan dampak yang positif bagi kehidupan seorang muslim. Setidaknya orang yang beriman kepada qadla dan qadar memiliki sebuah kemuliaan hati untuk lebih dekat dengan Allah. Beriman kepada adanya takdir muallaq akan memunculkan semangat ikhtiar dalam diri seorang muslim. Hal ini harus benar-benar dipahami oleh umat muslim. Beberapa intelektual muslim berpendapat, bahwa mundurnya peradaban Islam 207 salah satu alasannya adalah kesalah pengertiannya terhadap makna qadla dan qadar. Banyak muslim yang mengabaikan takdir muallaq, hingga merasa semuanya sudah diatur oleh Allah dan tidak bisa dirubah. Akhirnya, orang-orang semacam ini hidup dengan penuh kemalasan. Sementara hikmah beriman kepada takdir mubram adalah untuk menguatkan diri ketika menghadapi cobaan yang berat. Misalnya kita diuji oleh Allah dengan sebuah bencana alam. Dengan beriman kepada adanya ketetapan dan kepastian Allah, kita tidak dengan mudah menyalahkan keadaan. Kita harus percaya bahwa setiap cobaan yang datang, murni merupakan ketetapan Allah. Beriman kepada qadla dan qadar juga akan memberikan efek yang luar biasa, salah satu diantaranya adalah menguatkan diri dengan sifat sabar, tawakal, serta memiliki tekad dalam memperjuangkan impiannya. Jika seorang muslim sudah bisa membedakan antara ketetapan Allah yang sudah mutlak dan ketetapan yang masih bisa dirubah, maka muslim seperti ini adalah orang-orang yang beruntung. Mereka tidak hanya menggantungkan dirinya kepada Allah, tapi juga tidak menghilangkan eksistensi Allah dalam mengatur dirinya. 208 Dan diantara sifat yang bisa dimunculkan karena beriman kepada qadla dan qadar, salah satunya lagi adalah qanaah. Sifat qanaah ini adalah menerima apa adanya dari apa yang yang sudah ditentukan Allah. Sifat ini adalah salah satu puncak dari sifat makhluk yang beriman akan adanya ketetapan Allah yang sudah pasti, yakni takdir mubram. Disamping qanaah, sifat lain yang juga akan dimiliki oleh mereka yang benar-benar beriman kepada qadla dan qadar adalah banyaknya rasa syukur dan tidak sombong. Dengan meyakini adanya ketetapan Allah, orang yang beriman kepada qadla dan qadar akan senantiasa bersyukur dalam segala keadaan. Hal terburuk dalam hidupnya pun akan tetap dia syukuri, karena meyakini itu adalah ketetapan Allah. Dan secara tidak langsung, orang tersebut juga akan dihindari dari sifat sombong. Mana mungkin sifat sombong ini muncul sementara dia meyakini dirinya tidak berkuasa atas segala sesuatu kecuali atas izin Allah. C. Kelompok dalam Islam Dalam memahami takdir, Islam melahirkan dua kubu dimana satu dengan yang lainnya merupakan kebalikan yang sangat kontras. Hal ini tidak lain 209 adalah kesalah-pengertian kedua kubu itu dalam memahami takdir Allah. Kedua aliran ini sama sekali tidak paham dengan pembahasan kita sebelumnya, mengenai adanya takdir muallaq dan takdir mubram. Satu kubu hanya menerima takdir muallaq saja, satunya lagi hanya mempercayai adanya takdir mubram saja. Salah satu aliran yang terkenal adalah aliran Qadariyah. Aliran ini adalah aliran yang hanya fokus mempercayai kehendak manusia, sementara Allah hanya bersifat menyetujui dari apa yang sudah dikehendaki oleh manusia. Dalil naqlinya sederhana, yaitu Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubahnya. Dalil ini selalu dijadikan dasar bagi aliran ini untuk membenarkan tindakan mereka. Aliran Qadariyah adalah buntut panjang dari lahirnya aliran teologi yang rasionalis. Dengan mengandalkan akal, aliran ini mengklaim hidup ini hanya bisa maju jika terus mengembangkan akalnya. Dan menurut aliran ini pula, Allah tidak akan mungkin membatasi umatnya untuk terus berkarya dengan akalnya. Jadi takdir Allah yang sudah pasti adalah sesuatu hal yang tidak logis. 210 Sementara aliran kebalikannya adalah aliran Jabariyah. Aliran ini justru berpendapat bahwa makhluk tidak bisa berbuat apa-apa terhadap takdir Allah. Aliran ini malah menentang adanya takdir muallaq. Aliran Jabariyah biasanya melahirkan aliran-aliran tasawwuf yang bathil. Mereka mengesampingkan duniawi seluruhnya. Disatu sisi memang baik, tapi kadang memiliki efek yang buruk. Kita disini tidak hadir untuk memvonis kedua aliran tersebut. Satu dengan yang lainnya memiliki kelebihan dan kelemahan. Aliran Qadariyah memiliki kelebihan dalam kemajuan peradaban. Dengan menganut aliran ini, seorang muslim akan terus berkembang akalnya dan terus maju menembus batas-batas Tuhan. Sementara Jabariyah juga memiliki kelebihan sebagai pribadi-pribadi yang baik dan shaleh dalam menghadapi hidup ini. Tapi dilain pihak, keduanya memiliki kelemahan yang sangat fatal. Qadariyah tentu akan mengabaikan hakikat hidup di dunia, yakni kematian. Golongan ini hanya terus fokus kepada urusan duniawi hingga kadang lupa akan kehidupan akhirat, sementara Jabariyah pun memiliki kelemahan yang lumayan serius. Aliran ini akhirnya agak menjauhi umat lain. Aliran ini juga melupakan salah satu hakikat hidup, yakni berdakwah kepada kebenaran. 211 Maka dari itu, konsep Ahlussunnah wal Jamaah lahir untuk menjembatani keduanya. Ahlussunnah wal Jamaah mengakui akan eksistensi usaha dan ikhtiar manusia atau makhluk, dan Ahlussunnah juga meyakini akan kemaha-kuasaan Allah dalam mengatur setiap makhlukNya. Ahlussunnah inilah yang merupakan ajaran nabi. Baik al-Asy’ari maupun al-Maturidi berpendapat, bahwa Allah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia itu. Dan pandangan tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat as-Shoffat ayat 96: ٨٦ ََوٱ َّلِل َخلَقَك ۡم َو َما ت َعۡ َملون Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". Pada dasarnya al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia itu tidak lebih dari perbuatan yang diciptakan oleh Allah dan dilimpahkan pada manusia sebagai “tempat perbuatan” tersebut. Manusia pada hakikatnya tidak mempunyai daya yang efektif untuk melakukan perbuatannya sendiri selama tidak sesuai dengan yang sudah ditentukan oleh Allah. Teori alAsy’ari ini dikenal dengan istilah “al-Kasab”, yang oleh para ahli ilmu kalam dirasakan sulit untuk menjelaskannya. Dalam hal ini, dinilai bahwwa 212 konsep al-Kasab mendekati konsep Jabariyah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa manusia tidak dapat melakukan apa-apa terhadap perbuatannya sendiri, sebab semua sudah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu, manusia tidak bertanggungjawab terhadap perbuatannya.57 Berbeda dengan pendapat al-Maturidi, meskipun meyakini dengan kekuasaan Allah yang tidak terbatas terhadap perbuatan manusia, tetapi al-Maturidi memandang bahwa manusia ikut mempunyai peranan dalam perbuatannya. Dalam konsep al-Maturidi perbuatan manusia itu terdiri dari dua macam perbuatan, yakni perbuatan Tuhan dalam bentuk penciptaan daya kemampuan pada diri manusia ( خلق )اإلستطاعةdan perbuatan manusia dalam bentuk pemakaian atau penggunaan daya tersebut ( )اإلستطاعةإستعمال.58 Para pengikut dan murid al-Asy’ari seperti alBaqillani, imam Haramaian, al-Juwaini, dan alIsfarayini memberikan kesimpulan bahwa perbuatan manusia itu terdiri dari dua daya / kemampuan, yakni Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 40. 57 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 41. 58 213 daya yang diciptakan Tuhan dan daya yang digunakan oleh manusia. Tuhan tetap merupakan pihak yang menentukan perbuatan manusia, bukan daya manusia belaka. Sebuah ungkapan para pendukung Ahlussunnah wal Jamaah biasa mengatakan, “kami boleh berusaha, tetapi Allah yang menentukan hasilnya”. Pendapat Ahlussunnah wal Jamaah ini berbeda dengan pandangan Qadariyah yang dipakai oleh Mu’tazilah yang menegaskan bahwa manusia lah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik atau buruk, patuh atau tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Pendapat Ahlussunnah wal Jamaah juga berbeda dengan pandangan Jabariyah yang mengatakan bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Allah, sementara manusia tidak memiliki upaya untuk merubah nasibnya sendiri. Sementara itu, Ahlussunnah wal Jamaah berpendapat bahwa orang mukmin yang melakukan dosa kemudian meninggal sebelum melakukan tobat, maka hukumnya terserah kepada Allah. Jika Allah mengampuninya, maka hal itu karena kemurahan dan kasih sayangNya. Atau orang itu diampuniNya karena mendapat syafaat Nabi Muhammad untuk umatnya yang berdosa. Tetapi orang tersebut 214 termasuk fasiq, tapi tidak kekal di dalam neraka karena masih memiliki iman. Al-Asy’ari menguatkan pendapat itu dengan firman Allah yang berbunyi: شا ٓ َۚء َو َمن ي ۡش ِر ۡك َ َِإ َّن ٱ َّلِلَ َال يَ ۡغ ِفر أَن ي ۡش َركَ ِب ِهۦ َويَ ۡغ ِفر َما دونَ ٰذَلِكَ ِل َمن ي ٤٩ ِبٱ َّلِلِ فَقَ ِد ٱ ۡفت ََر ٰ ٓى ِإ ۡث ًما َع ِظي ًما Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar. (QS. anNisa : 48) Disamping itu juga didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan at-Tirmidzi sebagai berikut: ال يبقى فى النار من كان فى قلبه مثقال ذرة من اإليمان Tidak kekal di dalam neraka, orang yang di dalam hatinya ada iman, meskipun seberat dzarrah. 215 Pasal 11 AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER UTAMA Sudah kita bahas sebelumnya, bahwa ada 4 kitab yang harus dipercayai sebagai firman Allah, yaitu kitab Taurat, Zabur, Injil, dan al-Qur’an. Setiap kitab itu diturunkan oleh Allah kepada rasul yang berbeda. Dan perlu kita pahami, bahwa setiap kitab yang baru saja diturunkan, secara otomatis menggantikan peran kitab sebelumnya. Ketika kitab Taurat diturunkan oleh Allah, maka seluruh ketentuan agama sebelum zaman nabi Musa, semuanya dianggap tidak berlaku. Ketika kitab Zabur diturunkan, kitab Taurat masih berlaku, karena Zabur tidak berisi aturan-aturan agama secara rinci. Tapi ketika Injil diwahyukan oleh Allah kepada nabi Isa, maka secara otomatis ketentuan hukum agama di dunia ini diambil alih oleh Injil. Dan ketika al-Qur’an diturunkan, maka seluruhnya dinyatakan harus berkiblat kepada alQur’an. Al-Qur’an ini diwahyukan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada nabi besar Muhammad saw, nabi yang merupakan penutup dari seluruh nabi. Nabi yang perangainya merupakan suri tauladan bagi 216 seluruh makhluk. Nabi yang merupakan makhluk yang paling dikasihi oleh Allah. Nabi yang merupakan manusia paling sempurna yang diciptakan oleh Allah. Nabi yang merupakan imam diantara nabi yang lain. Al-Qur’an secara bahasa bisa kita artikan sebagai bahan bacaan, sesuatu hal yang dibaca. Hal ini juga ditegaskan dengan perintah pertama dalam al-Qur’an, yakni membaca. Sementara menurut istilah Syara, alQur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawatir, sebagai bagian dari mukjizat nabi dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Mari kita singgung sedikit makna dari definisi alQur’an menurut istilah. Disebutkan salah satunya adalah kalamullah, atau firman Allah. Hal ini menjadi pembahasan yang menarik, karena ada yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Nanti penulis akan bahas ini di bagian bawah. Tapi yang jelas, Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa alQur’an adalah firman Allah (Kalamullah). Al-Qur’an juga sampai kepada kita secara mutawatir. Artinya periwayatan al-Qur’an dari masa ke masa sangat baik sekali. Allah menurunkan kepada nabi Muhammad. Nabi mengajarkan kepada para sahabat. 217 Para sahabat mengajarkan lagi kepada ulama tabi’in. Ulama tabi’in mengajarkan kepada ulama tabiut tabi’in. Ulama tabiut tabi’in mengajarkan kepada ulama yang hidup setelahnya. Ulama tersebut mengajarkan kepada ulama setelahnya lagi. Terus hingga kepada ulama khalaf, dan dari ulama khalaf inilah sampai kepada kita. Itu artinya, al-Qur’an yang sering kita baca ini masih sama dengan al-Qur’an dari sejak zaman nabi. Sementara ada beberapa golongan Syiah yang meragukan keaslian al-Qur’an. Penulis kira, keraguan orang Syiah ini sangat tidak beralasan. Disamping itu, al-Qur’an juga merupakan salah satu mukjizat dari Allah kepada nabi Muhammad. Bahkan disebutkan bahwa al-Qur’an inilah yang dianggap sebagai mukjizat terbesar nabi. Kita paham, bahwa Allah memberikan mukjizat terbesar kepada setiap nabi dan rasul dengan kebutuhan di zamannya. Nabi Musa yang hidup diantara orang-orang yang mengagungkan dan mendewa-dewakan sihir, maka Allah memberikan mukjizat yang seperti sihir, tapi jauh lebih keren. Nabi Isa yang hidup diantara masyarakat yang membutuhkan pengobatan, maka Allah memberikan mukjizat agar nabi Isa bisa mengobati penyakit-penyakit yang sulit diobati. Sementara nabi Muhammad, lahir ditengah-tengah 218 orang yang mengagung-agungkan sastra. Orang Arab adalah orang-orang yang setiap harinya hidup dengan penuh warna. Syair, puisi cinta, rayuan-rayuan gombal, hadir di tengah-tengah kaum Arab yang pada waktu itu sangat terbelakang secara politik. Maka dari itu, Allah menjadikan al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar nabi. Karena al-Qur’an inilah adalah sastra abadi, sastra yang jauh mengungguli ciptaan makhluk, baik jin dan manusia. Al-Qur’an adalah karya maha dahsyat, karya Tuhan. Sementara al-Qur’an sebagai petunjuk, jelas sekali tidak bisa disangkal. Didalam al-Qur’an memuat banyak aturan hukum yang harus diikuti oleh umat manusia dan jin. Terdapat kabar baik berupa surga, juga peringatan berupa neraka. Semuanya merupakan hukum dan ketetapan universal yang dibuat oleh Allah Azza wa Jalla. Di dalam dunia Islam, tidak ada satu pun aliran yang meragukan kebenaran al-Qur’an. Dan memang tidak ada lagi pertentangan, bahwa al-Qur’an ini merupakan sumber utama dari ajaran agama yang hak ini. Secara hierarki, al-Qur’an berada diposisi paling atas diantara sumber hukum yang lain di dalam Islam. 219 A. Al-Qur’an Masih Asli Banyak yang meragukan keaslian al-Qur’an, terkhusus golongan Syiah. Mereka berpendapat, bahwa al-Qur’an saat ini telah ternodai oleh tangantangan politik, sejak Abu Bakar hingga Utsman. Demi Allah, hal ini tidaklah benar. Al-Qur’an masih sama dengan yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad. Al-Qur’an disampaikan antar zaman secara mutawatir, sanad yang tidak bisa lagi dibantah kebenarannya. Lagi pula, Allah berjanji bahwa alQur’an ini akan dijaga kemurniannya. Adapun mengenai sejarah pembukuan al-Qur’an, pemberian harokat dan yang lainnya, itu hanyalah bagian dari sejarah dan tidak lain merupakan kehendak Allah Azza wa Jalla. Keputusan Abu Bakar, Umar, hingga Utsman, tidak lain merupakan janji Allah untuk menjaga keutuhan al-Qur’an. Jadi intinya, penulis tidak benar-benar menganjurkan pembaca untuk masih meragukan keautentikan alQur’an. Al-Qur’an masih orisinil, masih murni, tidak ada satu huruf pun yang hilang atau ditambah, dan tidak ada satu pun makna yang berubah sejak 1.400 tahun yang lalu. 220 B. Al-Qur’an Bukan Makhluk Golongan rasionalis terkenal dalam dunia Islam adalah golongan Muktazilah. Golongan ini terus mengkaji agama hanya dengan pendekatan rasional. Dengan memahami agama lewat akal, golongan ini menabrak kaidah-kaidah inti yang seharusnya tidak ditembus oleh akal manusia. Kontroversi yang paling terkenal dari aliran ini ialah mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Logis memang. Allah adalah Tuhan yang tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir. Sementara al-Qur’an hadir pada zaman Muhammad diutus menjadi seorang nabi. Pertanyaannya, dimana al-Qur’an sebelum zaman nabi Muhammad? Dimana al-Qur’an ketika zaman nabi Adam, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa, dan di masa-masa nabi yang lain? Itu artinya, al-Qur’an adalah sesuatu hal yang baru. Sementara sesuatu hal yang baru adalah makhluk. Maka artinya al-Qur’an adalah makhluk. Begitulah kurang lebih logika cerdas Muktazilah. Para ulama Ahlussunnah awalnya agak kesulitan membantah pemikiran Muktazilah ini. Disatu sisi mereka mempercayai bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, tapi disisi yang lain, Muktazilah hadir dengan pemikiran yang sangat brilian. 221 Tapi ulama Ahlussunnah bukanlah orang-orang yang jahil. Mereka adalah ulama-ulama pewaris nabi. Seluruh aliran Islam, akan mengambil sanad hadits lewat jalur Ahlussunnah. Maka tidak logis, jika mereka harus tunduk dan patuh dengan logika Muktazilah. Mereka harus berbuat sesuatu. Dalam pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah, firman Allah dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu:59 1. Firman Allah yang abstrak tidak berbentuk (Kalam Nafsiy), bersifat Qadim dan Azali. 2. Firman Allah dalam arti kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para rasul (kalam lafdhiy), yang dalam bentuk huruf atau kata-kata, dapat diucapkan, dibahasakan dengan suatu bahasa tertentu, maka firman Allah dapam pengertian lafdhiy ini dianggap sebagai sesuatu hal yang baru dan termasuk makhluk. Pembedaan ini merupakan reaksi terhadap golongan mu’tazilah yang sangat ekstrim mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, mereka tidak mengenal pembagian kalam nafsiy dan kalam lafdhiy. Pembedaan tersebut juga ditujukan untuk golongan Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hlm. 37. 59 222 Hasyawiyah (kelompok Ibn Taimiyah) yang mengatakan al-Qur’an itu Qadim termasuk yang berupa huruf dan lafadznya. Diketahui bahwa sifat-sifat Allah adalah sesuatu hal yang melekat bagi Allah, tapi juga bukan Allah. Pembaca mungkin agak bingung, tapi ini logika yang keren. Itu artinya, setiap yang dihasilkan dari suatu sifat yang merupakan bentuk sifat tersebut, maka hal itu tidak dianggap makhluk. Allah berfirman setiap waktu. Firman itu masih dikategorikan sebagai kalam, bukan lagi masuk dalam kategori makhluk. Hal ini jelas berbeda dengan konsep sifat yang lain, sifat kudrat misalnya. Allah menciptakan alam raya ini dengan kekuasaannya. Hasilnya yaitu alam raya ini kita sebut sebagai makhluk. Mengapa? Karena sifat kudrat Allah dengan hasil dari pekerjaan Allah, adalah suatu hal yang berbeda. Sementara firman Allah adalah sesuatu hal yang merupakan bagian dari sifat Kalam. Jadi firman Allah bukanlah hasil dari sifat kalam Allah, tapi masih bagian di dalamnya. Itulah yang membuat al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk. 223 C. Kandungan Al-Qur’an Al-Qur’an merupakan kumpulan dari berbagai macam kandungan. Dari sekian banyak ayat di dalam al-Qur’an, setiap ayat mewakili setiap spesifikasi yang ingin disampaikan oleh Allah kepada ummatNya. Berikut beberapa kandungan inti di dalam al-Qur’an: 1. Akidah Hal pertama yang ditekankan oleh al-Qur’an adalah mengenai keimanan akan tauhid. Akidah adalah sesuatu hal yang sangat penting di dalam Islam. Kita telah mengkajinya lebih jauh di pembahasan sebelumnya. Banyak ayat al-Qur’an yang membahas mengenai akidah ini, salah satu yang paling terkenal adalah surat al-Ikhlas. 2. Syariat Syariat atau hukum ini merupakan panduan bagi umat Muslim untuk melaksanakan keimanannya. Islam harus diaktualisasikan di dalam kehidupan kita, lafdzon wa ma’nan. Jangan seperti kaum Wahabi yang hanya fokus pada lafadz, tapi juga jangan pula seperti Islam Liberal yang hanya mengkaji ma’na. Dengan al-Qur’an inilah, kita bisa melaksanakan ibadah sesuai yang dikehendaki Allah. Sementara penjelasan lebih lengkapnya, hal itu bisa kita lihat 224 dalam penjelasan para ulama fiqh. Mengapa? Karena al-Qur’an tidak menjelaskan secara spesifik. Tidak ada yang mengetahui bagaimana shalat yang benar jika kita hanya membaca al-Qur’an. Penjelasan shalat yang dilakukan nabi, tentu disampaikan kepada kita melalui jalur para ulama secara mutawatir. Itu pentingnya fiqh. 3. Akhlak Isi al-Qur’an juga memuat anjuran-anjuran untuk berbuat baik, berbudi pekerti luhur. Bahkan nabi merupakan suri tauladan terbaik bagi seluruh makhluk. Maka jelas disini, al-Qur’an tetap menganjurkan ummatnya untuk berdakwah dengan santun. Dakwah yang baik. Dakwah yang tidak membenturkan dirinya dengan masyarakat umum. D. Jumlah Ayat Al-Qur’an Terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat alQur’an. Ada banyak pendapat, tapi setidaknya ada 2 yang paling terkenal di Indonesia. Satu kubu mengatakan jumlah ayat al-Qur’an adalah 6.666, dan satunya lagi adalah 6.236. Mana yang benar? Kedua-duanya benar. Keduanya melihat ayat alQur’an dengan pendekatan yang berbeda. satu pendekatan merupakan pengkajian hikmah, 225 sementara satunya lagi menggunakan pendekatan kalkulator. Jika mau jujur, memang yang benar adalah 6.236 ayat. Tapi bukan berarti yang mengatakan 6.666 adalah orang yang salah. Tentu ulama-ulama yang mengatakan jumlah ayat alQur’an adalah 6.666 pasti memiliki alasan yang kuat. Hanya saja penulis belum bisa menguraikan alasan itu. Penulis masih terkendala dengan keterbatasan penulis. 226 Pasal 12 AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER KEDUA Tidak bisa disangkal lagi, bahwa apa yang menjadi sabda nabi, tidak lain adalah sesuatu hal yang sudah dikehendaki oleh Allah. Nabi tidak berbicara dengan nafsunya, tapi semata-mata merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah untuk kemudian disampaikan kepada ummatnya. Seluruh ulama Islam pasti setuju, bahwa hadits nabi merupakan sumber hukum kedua. Hadits nabi inilah yang sedikit banyak menjelaskan makna al-Qur’an. Hadits nabi adalah penjelasan al-Qur’an yang paling bisa dipercaya, karena langsung ditafsirkan oleh nabi. Dipercaya atau tidak, seluruh aliran dalam dunia Islam, apapun itu, akan mengambil sanad hadits lewat jalur Ahlussunnah. Maka tidak heran, Ahlussunnah adalah golongan yang sangat diakui keautentikan haditsnya ketimbang golongan yang lain. Ahlussunnah ini memang sangat memberikan perhatian khusus bagi kelangsungan hadits antar generasi. Maka tidak berlebihan, Ahlussunnah melahirkan ulama-ulama hebat sekelas imam Bukhari, imam Muslim, dan yang lainnya. 227 Tapi sebelum lebih jauh membahas mengenai hadits, kita harus bisa membedakan antara istilah sunnah dengan hadits. Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sunnah menurut istilah syara’ ialah perkataan nabi Muhammad saw., perbuatannya, dan diamnya Rasulullah untuk membenarkan perilaku sahabat-sahabatnya. A. Pembagian Sunnah Dari definisi diatas, sebenarnya kita sudah bisa membagi Sunnah kedalam 3 bagian. Setiap bagian memiliki karakternya sendiri. Dan semuanya merupakan pegangan hukum bagi umat Islam. 1. Sunnah Qouliyah Sunnah Qouliyah yaitu perkataan nabi saw yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi al-Qur’an. Didalamnya juga berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan akhlak yang mulia. Sunnah qouliyah (ucapan) ini yang nanti kita kaji lebih jauh, yakni hadits nabi. 2. Sunnah Fi’liyah Sunnah Fi’liyah yaitu perbuatan nabi saw yang menerangkan cara melaksanakan ibadah, misalnya 228 cara berwudhu, shalat dan sebagainya. Sunnah Fi’liyah ini yang kemudian dikaji lebih jauh di dalam fiqh. Sebuah pembahasan mengenai tata cara beribadah yang baik. Ini pentingnya ulama-ulama madzhab. Semua imam madzhab akan memberikan gambaran kehidupan nabi melalui berita-berita dari ulama sebelumnya. Maka jelas dari sini, memahami agama Islam tidak bisa hanya dengan mengandalkan al-Qur’an dan hadits saja. Jelas mustahil, apalagi zaman ini dengan zaman nabi sudah terpaut angka 1.400 tahun. Maka peran ulama benar-benar sangat dibutuhkan oleh generasi akhir seperti kita ini. 3. Sunnah Taqririyah Sunnah Taqririyah yaitu bila nabi saw mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh nabi saw tanpa ditegur dan dilarang. Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu sama saja dengan perkataan dan perbuatan nabi sendiri, yaitu dapat menjadi hujjah bagi ummat seluruhnya. 229 B. Memahami Hadits Nabi Diantara ketiga bentuk sunnah yang telah penulis sampaikan, satu yang paling digemari oleh umat muslim adalah hadits (sunnah qouliyah). Melalui hadits ini, pembahasan fiqh dan yang lainnya dapat dilakukan oleh para ulama. Maka dari itu, hadits nabi adalah gerbang bagi lahirnya kaidah-kaidah ilmu di dalam Islam. Tanpa peran perawi-perawi hadits, maka umat yang sekarang jelas akan celaka. Bagaimana tidak, kita tidak bisa memahami alQur’an dan Hadits tanpa peran perantara ulama antar generasi. Dan mereka itulah para periwayatperiwayat yang semoga diberikan karunia oleh Allah. Secara sederhana, hadits bisa kita katakan sebagai apa yang diucapkan oleh nabi. Memang penulis tidak menyangkal, bahwa istilah Sunnah dan Hadits memiliki makna yang sama. Hadits secara umum memiliki penjelasan yang sama dengan istilah Sunnah. Tapi dalam perkembangan di masyarakat, khususnya di Indonesia, istilah hadits hanya fokus pada ucapan nabi, sementara sunnah dianggap bersifat umum. Padahal keduanya merupakan sinonim yang hampir mirip. Hal ini sama dengan istilah “guru” dengan “ustadz”. Guru dianggap sebagai pengajar ilmu umum, sementara ustadz merupakan pengajar ilmu agama. Padahal keduanya 230 sama saja. Tapi ini sudah menjadi realitas, sesuatu hal yang tidak bisa kita salahkan. C. Rujukan Imam Ahlussunnah Penulis kadang heran terhadap golongan Wahabi. Sesuatu hal yang diluar logika. Mereka terus menyuarakan anti taklid, tapi sikap mereka tidak jauh berbeda dengan seekor keledai. Hal ini bukan tanpa alasan. Salah satu yang paling terkenal dari apa yang biasa dijadikan bentuk taklid adalah penyandaran sumber hadits mereka terhadap Syeikh al-Albani. Penulis bukan anti terhadap alAlbani. Tapi penulis menyadari bahwa orang-orang seperti Wahabi yang katanya anti-madzhab saja tidak bisa lepas dari yang namanya madzhab. Tapi disini penulis mengingatkan, bahwa generasi terbaik adalah generasi nabi, kemudian generasi setelahnya, kemudian setelahnya lagi, kemudian setelahnya lagi, terus dan terus hingga yaumul kiamah nanti. Itu artinya, generasi yang paling dekat dengan nabi merupakan generasi yang lebih baik ketimbang dengan generasi yang agak jauh dari nabi. Andaikan kita bandingkan antara syeikh al-Albani dengan imam Bukhari, kita akan mengetahui ulama mana yang lebih baik kita jadikan dasar yang paling 231 inti. Syeikh al-Albani lahir pada tahun 1914 Masehi, sementara imam Bukhari lahir pada tahun 810 Masehi. Lihat perbedaan yang sangat jauh sekali. Ketika al-Albani mengomentari hadits riwayat imam Bukhari, orang Wahabi langsung mengutip pemikiran al-Albani, seolah-olah al-Albani lebih baik ketimbang imam Bukhari. Padahal belum tentu kritik yang dilontarkan al-Albani lebih baik daripada yang telah disusun oleh imam Bukhari. Imam Bukhari diakui keimuannya bahkan oleh seluruh aliran Islam, tapi al-Albani hanya diakui oleh orang Wahabi saja, bahkan banyak ulama lain yang meragukan keilmuan al-Albani. Jadi jelas dari sini, kualitas imam Bukhari dalam masalah hadits tidak bisa dibantah lagi. Tidak heran jika imam Bukhari dikatakan sebagai ulama ahlul hadits terbesar sepanjang zaman. Intinya, sangat tidak logis orang-orang yang setiap berdakwah mengagung-agungkan al-Albani dan meragukan imam al-Bukhari. Ketahuilah, setiap hadits yang ditulis oleh imam Bukhari, beliau selalu shalat istikharah meminta petunjuk Allah, dan kemudian ditulis disamping makam nabi. Sesuatu hal yang tidak ada bandingannya dalam bidang hadits. Maka dari itu, kita harus mengetahui 7 imam hadits yang dijadikan rujukan oleh seluruh aliran di dalam Islam. Ketujuh imam hadits yang dimaksud adalah: 232 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Imam Bukhari Imam Muslim Imam Abu Daud Imam Tirmidzi Imam Ahmad Imam Nasa’i Imam Ibnu Majah Tujuh ulama ahlul hadits tersebut adalah ulamaulama yang sudah diterima oleh mayoritas umat Islam di dunia. Selain dari ketujuh diatas, kemampuannya mungkin masih diragukan. D. Hadits dilihat dari Perawi Perawi adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits. Jika dilihat dari perawi, hadits dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : 1. Hadits Mutawatir Hadits mutawatir adalah hadits yang paling kuat dasar hukumnya. Hadits ini diriwayatkan oleh banyak orang dan tidak mungkin adanya kedustaan diantara orang-orang tersebut. 2. Hadits Ahad Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatnya tidak terlalu kuat jika dibandingkan dengan hadits 233 mutawatir. Kekuatan periwatannya itu dibagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu: a. Hadits Shahih Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil, kuat ingatannya, tidak cacat, dan isinya tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat. b. Hadits Hasan Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, tapi tingkat kepercayaannya tidak sekuat hadits shahih. Artinya masih ada hal-hal yang diragukan dalam kategori-kategori periwayatnya. c. Hadits Dha’if Hadits dha’if adalah kebalikan dari hadits shahih, yakni hadits yang sanadnya tidak bersambung, perawinya tidak adil, ingatannya kurang baik, dan terjadi kecacatan. E. Hadits dilihat dari Sanad Pengkategorian ini memungkinkan ulama ahli hadits mengkaji suatu hadits, apakah bersambung sanadnya kepada nabi atau tidak. Setidaknya sanad ini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: 234 1. Sanad bersambung kepada Nabi Hal ini mengisyaratkan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh seseorang, memang merupakan hadits yang langsung bersambung sanadnya hingga Rasulullah. Dalam kategori ini, dibagi lagi menjadi 2, yaitu hadits Marfu’ dan hadits Mausul. Silahkan pembaca mencari referensi lain mengenai kedua jenis hadits tersebut. 2. Sanad tidak bersambung kepada Nabi Kategori ini adalah kategori hadits yang tidak baik dijadikan sebagai dasar hukum di dalam Islam. Andaikan sanadnya tidak bersambung kepada nabi, maka besar kemungkinan hadits tersebut bukan merupakan produk yang disabdakan nabi. Dan hal ini sangat berbahaya dalam menentukan sebuah landasan hukum. Tapi kategori ini juga dibedakan menjadi 5 bagian, yaitu hadits Mu’allaq, Mursal, Mudallas, Munqathi, dan Mu’dhol. F. Istilah Populer Hadits Ada beberapa istilah populer di kalangan ahlul hadits. Kadang kala istilah-istilah itu kita dengar setiap waktu. Tapi mungkin ada beberapa dari pembaca yang masih tidak paham akan istilah-istilah tersebut. Diantara istilah-istilah itu adalah: 235 1. Muttafaqun ‘Alaih Istilah ini sering kali kita dengar. Istilah Muttafaqun ‘Alaih adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh 2 imam hadits paling sohor, yakni imam Bukhari dan imam Muslim dari sumber sahabat yang sama. 2. As-Sab’ah Istilah as-Sab’ah (tujuh) disini merujuk pada 7 imam yang telah penulis jabarkan di pembahasan sebelumnya. 3. As-Sittah As-sittah artinya enam. Maksudnya adalah 6 imam hadits, kecuali Imam Ahmad bin Hambal. 4. Al-Khamsah Istilah ini merujuk kepada 5 imam hadits, kecuali imam Bukhari dan imam Muslim. 5. Al-Arba’ah Istilah ini ditujukan untuk 4 imam hadits, kecuali imam Bukhari, imam Muslim, dan imam Ahmad. 6. Ats-Tsalasah Ditujukan untuk 3 imam hadits, kecuali imam Bukhari, imam Muslim, imam Ahmad, dan imam Ibnu Majah. 236 7. Perawi Orang yang meriwayatkan sebuah hadits. 8. Sanad Jalur dari suatu hadits hingga tersambung kepada Rasulullah. 9. Matan Isi dari sebuah hadits. 10. Hadits Maudhu Hadits palsu. Hadits yang hanya dibuat tanpa landasan yang benar. Dan ini merupakan hadits yang paling bahaya. G. Kitab Populer Diantara banyaknya kitab hadits, setidaknya ada dua yang paling terkenal dan dijadikan rujukan umat muslim di dunia, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Wallahu A’lam. 237 Pasal 13 IJTIHAD ULAMA (IJMA’ DAN QIYASH) Sudah beberapa kali kita singgung, bahwa slogan “kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah” adalah salah satu slogan yang tidak masuk akal. Istilahnya memang baik, dan sangat Islami. Hanya saja dalam penerapannya, hal itu agak kurang meyakinkan. Dan slogan itu justru memicu banyaknya tafsiran-tafsiran baru, yang kemudian memunculkan aliran baru. Dengan memberikan keleluasaan bagi setiap manusia untuk menafsrikan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka disitulah gerbang kesesatan akan terbuka lebar. Maka dari itu, sumber agama Islam bukan hanya alQur’an dan as-Sunnah saja, tapi juga masuk diurutan ketiga adalah tafsiran ulama. Mengapa harus ulama? Jelas disini, bahwa ulama adalah orang yang berilmu. Ulama memiliki pemahaman yang khusus dalam bidang tafsir. Segala urusan harus diserahkan kepada orang yang ahlinya. Dan ulama adalah orang-orang yang ahli dalam menafsirkan al-Qur’an dan asSunnah. Banyak orang terkecoh dengan istilah Ijtihad, Ijma’ dan Qiyash. Bagi pembaca yang pernah sekolah di 238 madrasah negeri, mungkin akan mengalami kebimbangan. Bagaimana tidak, satu buku mengatakan sumber hukum Islam itu hanya ada 3, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijtihad Ulama. Sementara buku yang lainnya mengatakan bahwa sumber hukum Islam ada 4, yaitu al-Qur’an, asSunnah, Ijma’, dan Qiyash. Lalu mana yang benar? Mari kita kaji dalam pembahasan kali ini. A. Definisi Ulama Sebelum masuk dalam pembahasan di judul ini, lebih baik kita harus paham dulu apa itu ulama. Secara bahasa ulama adalah orang yang berilmu. Pengertian ini mencakup segala hal, orang yang pintar dalam masalah matematika misalnya, maka dia ulama. Orang yang jago dalam masalah teknologi, maka dia ulama. Orang yang cerdas dalam masalah sejarah, maka dia juga ulama. Secara bahasa memang kata ulama ini sangat umum sekali. Siapapun yang ahli dalam suatu bidang, maka dia dinyatakan sebagai ulama. Tapi realitas di masyarakat ternyata tidak demikian. Ada sebuah penyempitan makna dalam beberapa kata yang sering kita dengar. Salah satu contohnya adalah kata “ustadz”. Kata “ustadz” memiliki arti pengajar. 239 Tapi dalam prakteknya, istilah ini hanya digunakan bagi mereka yang mengajar ilmu agama saja, sementara pengajar fisika misalnya, tidak disebut dengan istilah ustadz. Tidak jauh berbeda dengan istilah ustadz, kata “ulama” juga terjadi penyempitan makna, khususnya di Indonesia. Istilah ulama hanya disandingkan dengan orang-orang yang ahli dalam masalah agama. Secara bahasa memang agak kurang tepat, tapi kesepakatan masyarakat sudah menghendaki yang demikian. Jadi jelas disini, istilah ulama yang akan kita pakai dalam pembahasan kita kali ini merujuk pada orangorang yang ahli dalam masalah agama. Dan memang benar, al-Qur’aan dan as-Sunnah adalah bagian produk agama, maka yang berhak untuk menafsirkannya adalah orang-orang yang ahli dan berilmu dalam masalah agama. Memang, secara umum setiap manusia berhak untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi para ulama ahli tafsir merasa takut jika kemudian terjadi fitnah dimana-mana karena banyaknya tafsiran yang bathil. Maka dari itu, ulama ahli tafsir memberikan spesifikasi orang-orang yang setidaknya layak untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Tapi bukan berarti kita haram untuk menafsirkan al-Qur’an dan 240 as-Sunnah. Bukan itu. Kita tetap memiliki hak yang sama untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi tidak untuk konsumsi publik. Jika kita belum masuk kategori orang yang boleh menafsirkan alQur’an dan as-Sunnah menurut ulama ahli tafsir, maka tafsiran kita hanya untuk konsumsi pribadi, tidak untuk disebarkan kepada orang lain. B. Bentuk Ijtihad Ulama Sebenarnya versi yang mengatakan sumber hukum Islam ada 3 dan ada 4, kedua-duanya benar. Kadang buku-buku yang kita baca dengan memisahkan kedua istilah itu membuat masyarakat awam seperti kita agak kesulitan. Bahkan penulis pernah mendengar bahwa sumber hukum Islam ada 5, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Ijtihad Ulama, Ijma’, dan Qiyash. Semuanya dimasukkan agar terlihat sempurna. Padahal menurut hemat penulis, hal itu tidak perlu dilakukan, hal yang boros. Ijtihad menurut bahasa artinya adalah bersungguhsungguh. Maksudnya adalah upaya seorang mujtahid dalam menentukan sebuah hukum baru. Dalam kaitan ini, berarti mujtahid tersebut menggunakan sumber al-Qur’an dan as-Sunnah untuk kemudian dia kaji 241 dan dia hasilkan sebuah ketetapan baru yang berupa hukum agama bagi umat Islam. Sementara Ijma’ artinya adalah kesepakatan para mujtahid, dan Qiyash adalah sebuah metode ijtihad dengan pendekatan analogi. Dari sini terlihat, bahwa Ijtihad adalah sesuatu hal yang umum. Sementara Ijma’ dan Qiyash adalah metode seorang mujtahid untuk menentukan sebuah hukum baru. Jika pembaca agak kesulitan memahaminya, penulis mencoba memberikan suatu pembahasan yang lebih simpel. Ijtihad bisa kita artikan sebagai tafsiran ulama. Sementara tafsiran ulama itu menggunakan Ijma’ (kesepakatan bersama) dan Qiyash (analogi). Jadi Ijma’ dan Qiyash adalah bagian dalam ruang lingkup Ijtihad. Maka dari itu penulis agak kurang setuju jika ada yang mengatakan bahwa sumber hukum Islam ada 5, dengan menggabungkan Ijtihad, Ijma’, dan Qiyash. Terlalu boros. Jika mau memasukkan Ijtihad dalam sumber hukum Islam, berarti hanya Ijtihad saja. Nanti dalam pembahasan Ijtihad tersebut, dijelaskan tentang Ijma’ dan Qiyash. 242 C. Syarat Ijtihad Beberapa ilmu yang wajib dimiliki oleh seorang mujtahid, antara lain: 1. Berpengetahuan luas tentang Al-Qur’an dan Ulumul-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an) serta segala yang terkait, dalam intelektual maupun spiritual, cerdas dalam masalah hukum. 2. Memiliki ilmu yang cukup dalam mengenai ilmu hadist, terutama soal hukum dan menguasai sumber hukum, sejarah, maksud keterkaitan hadits itu dengan nas-nas AlQur’an. 3. Menguasai masalah-masalah atau materi dari pokok yang hukumnya telah sepakati oleh Ijma’ Sahabat dan ulama Salaf (dua generasi setelah para sahabat Rasulullah SAW). 4. Mempunyai wawasan luas tentang Qiyas dan dapat menggunakannya untuk Istimbath (menggali dan menarik kesimpulan) hukum. 5. Menguasai ilmu Ushuluddin (Dasar-dasar ilmu agama), Ilmu Manthiq (ilmu logika), Bahasa Arab dari segala unsur (Nahwu, Sharaf, Balaghah), dengan cukup sempurna. 243 6. Punya pengetahuan luas tentang Nasikh dan Mansukh (yang menghapus dan yang dihapus). Al-Qur’an plus Asbabun Nuzulnya (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an) dan tartib turunnya ayat. 7. Mengetahui secara mendalam Asbabul Wurud (sebab-sebab turun) hadits, ilmu riwayat hadits, dan sejarah para perawi hadits, dan dapat membedakan berbagai macam hadits. 8. Menguasai kaidah-kaidah Ushul Fiqh (Dasardasar pemahaman hukum) yang akan di Istimbath-kan untuk menhasilkan hukum. 9. Berpengetahuan lengkap mengenai lima aliran pemikiran dan mempunyai pemahaman kesadaran yang menyeluruh atas realita masa kini, yakni mekanisme, ilmu dan teknologi, cara-cara kerja dari sistem politik dan ekonomi modern, serta kesadaran akan hubungan dan pengaruh mereka terhadap masyarakat budaya dan lingkungan. 10. Harus bersifat adil serta amanah dan taqwa, hidup dalam kesalehan dan kedisiplinan, serta mengenal manusia dan alam sekitarnya. 244 D. Mengenal Ijma’ Ulama Asy-Syaukani, dalam kitab Irsyad alFuhul, menjelaskan jika dilihat secara epistimologi, para ulama lebih cenderung mengartikan ijma dalam artian kesepakatan. Namun, terdapat diskusi panjang mengenai apakah semua umat Muhammad bisa memberikan pendapat dalam ijma’ ataukah seseorang dengan kriteria tertentu saja yang memiliki kapasitas keilmuan tertentu. Siapa sajakah yang bisa memberikan suara dalam ijma’? Pembahasan tentang kriteria mujtahid yang boleh memberikan pendapat dalam ijma menyebabkan perbedaan pendapat pula di kalangan para ulama. Hal tersebut dapat dilihat dalam perbedaan rumusan definisi dalam mengartikan ijma di kalangan mereka. Seperti bagaimana Imam Al-Ghazali merumuskan ijma dengan عبارة عن اتفاق أمة محمد خاصة على أمر من األمور الدينية “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama” Dalam kitab Ahkam Fi Ushul al-Fiqh dijelaskan bahwa meskipun dalam istilah ini ijma dikhususkan atas umat Nabi Muhammad, namun mencakup 245 jumlah yang luas yaitu mencakup semua umat Islam, maka termasuk dalam definisi tersebut orang awam. Pandangan Imam Ghazali ini mengikuti pendapat Imam Syafi’i yang tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi’i selanjutnya mengalami perubahan dan pengembangan di tangan pengikutnya. Adapun menurut Imam Al-Syaukani, salah seorang imam golongan syafi’iyah, mendefinisikan ijma sebagai berikut اتفاق مجتهدي أمة محمد صلى اله عليه وآله وسلم بعد وفاته في عصر من العصور على أمر من األمور “Kesepakatan para mujtahid umat Muhammad Saw setelah wafatnya, pada suatu masa atas suatu perkara” Penyebutan kata mujtahid menekankan bahwa pendapat orang awam tidak bisa dimasukkan dalam kesepakatan atau ijma, dan tidak juga bisa membatalkan keputusan ijma yang telah dicapai. Sementara Imam Al-Amidi, yang juga pengikut Syafi’iyah, dalam kitab Ahkam Fi Ushul alFiqh merumuskan Ijma sebagaimana berikut اإلجماع عبارة عن اتفاق جملة أهل الحل والعقد من أمة محمد في عصر من األعصار على حكم واقعة من الوقائع 246 “Ijma adalah kesepakatan sejumlah para ahli yang kompeten mengurusi umat dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus” Al-Amidi membatasi ijma hanya pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Muhammad, yaitu orang-orang yang mempunyai fungsi sebagai pengikat atau ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam pengertian di atas AlAmidi mengecualikan orang awam, namun lebih lanjut terlihat Al-Amidi memberikan kemungkinan masuknya orang awam dengan ketentuan telah mampu membuat hukum dan memberi alternatif definisi ijma sebagai berikut عبارة عن اتفاق المكلفين من أمة محمد في عصر من األعصار على حكم واقعة من الوقائع “Ijma adalah kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus” Definisi yang dikemukakan mayoritas ulama berkisar di sekitar definisi yang dikemukanan al-Amidi yang tersebut di atas meski berbeda dalam perumusannya, yakni, kesepakatan orang yang bernama ulama atau ahl al-halli wa al-aql. Berbeda dengan ulama golongan syafi’iyah, para ulama syiah merumuskan ijma sebagaimana berikut اتفاق جماعة التفاقهم شأن في اثبات الحكم الشرعي 247 “Kesepakatan suatu komunitas yang kesepakatan mereka memiliki kekuatan dalam menetapkan hukum syara’” Amir Syarifudin dalam kitab Ushul Fiqh menjabarkan, ulama Syiah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok. Karena bagi mereka ijma bukan untuk menetapkan hukum tersendiri di luar Alquran dan Hadis akan tetapi untuk menemukan adanya sunah yaitu ucapan dan perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum, Nabi Muhammad dan ahlul bait. Sementara Ibnu Hazmin dari golongan ulama Zhahiri mengemukanan definisi sebagai berikut اتفاق اهل اإلسالم عن النص من القرآن والسنة “Kesepakatan ulama Islam tentang nash baik dari Alquran maupun sunah” Sedangkan Al-Nazham, pemuka Nazhamiyah pecahan dari mengemukakan rumusan lain kelompok Mu’tazilah, كل قول قامت حجته “Setiap perkataan yang hujahnya tidak dapat dibantah” Menurut Amir Syarifuddin, ulama Nazhamiyah berkeyakinan setiap ucapan atau pendapat bisa 248 ditegakkan sebagai hujjah syar’iyah meskipun ucapan seseorang. Artian ijma’ bagi mereka lebih seperti kompromi dan perpaduan antara ketidak-setujuan Nazham untuk menempatkan kesepakatan para ulama sebagai hujjah. Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian Ahl al-sunah adalah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf dalam kitab ‘Ilm Ushul Fiqh, yang juga dikutip oleh ulama lainnya اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفاة الرسول على حكم شرعي في واقعة من الوقائع “Konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus” Rumusan di atas menunjukkan bahwa kesepakatan di sini atas seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu setelah Rasul wafat. Penekanan setelah Rasul wafat karena semasa beliau masih hidup Alquran yang akan menjawab persoalan hukum dan masih ada Rasul pula sebagai tempat bertanya. Penyebutan hukum syara juga memberikan penekanan bahwa kesepakatan itu hanya terbatas dalam masalah hukum amaliah dan tidak menjangkau pada masalah akidah. 249 E. Mengenal Qiyash Qiyas menurut arti bahasa ialah penyamaan ,membandingkan atau pengukuran, menyamakan sesuatu dengan yang lain. Pengertian Qiyas menurut para ulama ushul fiqh ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. 1. Dasar Hukum Qiyash Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar. 250 2. Rukun Qiyas a. Al-ashlu (pokok). Sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum.Yaitu masalah yang menjadi ukuran atau tempat yang menyerupakan. Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu’ mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri. Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya. b. Al-far’u (cabang). Al-far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada 251 nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan). c. Al- Hukum. Al- Hukum adalah hukum yang dipergunakan Qiyas untuk memperluas hukum dari asal ke far’ (cabang). Yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya. d. Al-‘illah (sifat) Illat adalah alasan serupa antara asal dan far’ ( cabang)., yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah , ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang disamakan dengan hukum ashl. Contoh : Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum 252 khamr, yang diharamkan berdasarkan firman Allah Swt: صاب َو ْاأل َ ْز َالم َ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنوا ِإنَّ َما ْال َخ ْمر َو ْال َم ْيسِر َو ْاأل َ ْن َ ش ْي َّ ِرجْ س ِم ْن َع َم ِل ال َان فَاجْ تَنِبوه لَ َعلَّك ْم ت ْف ِلحون ِ ط Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. al-Ma’idah: 90) Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan ‘illat, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu, ditetapkanlah hukum minum narkotik yaitu haram, sebagaimana haramnya minum khamr. 3. Macam macam qiyas a. Dari Segi Kekuatan Illat yang Terdapat ada Furu’ dibanding dengan yang terdapat pada ashl, qiyas dibagi menjadi 3 macam yaitu: 253 (1) Qiyas al-Aulawi: “yaitu suatu illat hukum yang diberikan pada ashl lebih kuat diberikan pada furu'”seperti yang terdapat pada QS. Al isro’ ayat 23: سانًا َۚ ِإ َّما يَبْلغ ََّن َ ََوق َ ْض ٰى َربُّكَ أ َ َّال ت َ ْعبدوا ِإ َّال ِإيَّاه َو ِب ْال َوا ِلدَي ِْن ِإح ْ َ َ ف َو َال تَ ْن َه ْره َما ٍ ِع ْندَكَ ال ِكبَ َر أ َحده َما أ ْو ِك َاله َما فَ َال ت َق ْل لَه َما أ َوق ْل لَه َما قَ ْو ًال ك َِري ًما "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." yaitu: memukul orang tua diqiyaskan dengan menyakiti hati orang tua. (2) Qiyas al-Musawi: ” Suatu qiyas yang illatnya yang mewajibkan hukum, atau mengqiyaskan sesuatu pada sesuatu yang keduanya bersamaan dalam keputusan menerima hukum tersebut”. Contoh: 254 menjual harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim. (3) Qiyas al-Adna : “Mengqiyaskan sesuatu yang kurang kuat menerima hukum yang diberikan pada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu”. Contoh: mengqiyaskan jual beli apel pada gandum merupakan riba fadhl. b. Dari Segi Kejelasan Illat yang Terdapat Pada Hukum. (1) Qiyas al-Jaly: “Qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl atau nash tidak menetapkan illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furu'”. Contoh: mengqiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki. Qiyas jaly dibagi lagi menjadi 3 macam: Qiyas yang illatnya ditunjuk dengan katakata, seperti memabukkan adalah illat larangan meminum khamar yang sudah ada nashnya. Qiyas aulawi dan qiyas musawi. (2) Qiyas al–Khafy: “Qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash”. Contoh: 255 mengqiyaskan pembunuhan menggunakan bahan berat dengan pembunuhan menggunakan benda tajam. c. Dari Segi Persamaan Cabang Kepada Pokok. (1) Qiyas Ma’na ialah qiyas yang cabangnya hanya disandarkan kepada pokok yang satu. Hal ini di karenakan makna dan tujuan hukum cabang sudah cukup dalam kandungan hukum pokoknya, oleh karena itu korelasi antara keduanya sangat jelas dan tegas. Misalnya mengqiyaskan memukul orang tua kepada perkataan ah seperti yang telah dijelasnkan sebelumnya. (2) Qiyas Sibhi ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya 256 dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya. 257 DAFTAR PUSTAKA Abbas, Siradjuddin. I’tiqad Ahlussunnah walJama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996. Al-Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah menurut Pemahaman Ulama Salaf, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, Mengenal Mudah Rukun Islam Rukun Iman Rukun Ihsan Secara Padu, Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1998. Hasan, Tholhah, Ahlussunnah wal-Jamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005. Jamaluddin Kafie, Tuntutan Pelaksanaan Rukun Iman, Islam, dan Ihsan, Surabaya: Al-Ikhlas, 1981. Kaelany, Islam & Aspek-aspek Kemasyarakatan, 2005, Jakarta: Bumi Aksara. Khairul Anam, dkk., Ensiklopedia Nahdlatul Ulama, Jakarta: MataBangsa dan PBNU, 2014. 258 Mawardi Labay El-Sulthani, Tidak Usah Takut Syariat Islam, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002. Nahdi, Saleh A., Siapakah Ahlus-Sunnah wal Jamaah?, Jakarta: Arista, 1992. Sachiko Murata & William C. Chittick, Trilogi Islam (Islam, Iman & Ihsan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Sayyid Quthb, Al-Qiyamah: Mengungkap Beritaberita Besar tentang Hari Akhir dalam alQur’an, Yogyakarta: Uswah, 2007, penerjemah Nurul Karimah. Syaikh Su’ud bin Shalih as-Sadiy, Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: Menepis Syubhat dalam Syahadat, Shalat, dan Pengkafiran, Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006. Syihab, H.Z.A., Akidah Ahlus Sunnah versi SalafKhalaf dan Posisi Asya’irah di antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998. Wahid, Abdurrahman, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: LKPSM, 1998. Zaid Husein Alhamid, Kisah 25 Nabi dan Rasul, Jakarta: Pustaka Amani, 1995. 259 TENTANG PENULIS Foto penulis ketika di Pondok Pesantren Sarang Nama lengkap saya adalah Idik Saeful Bahri, seorang laki-laki yang lahir di kabupaten Kuningan, pada tanggal 13 Februari 1994 M. Tanggal lahir ini merupakan tanggal lahir yang tertera di akta kelahiran dan ijazah sekolah. Adapun tanggal lahir asli nya adalah 5 Maret 1994 M. atau 22 Ramadhan 1414 H. RIWAYAT PENDIDIKAN Riwayat pendidikan saya melalui jalur lembaga formal adalah : SD Negeri 3 Lengkong MTs Negeri Sindangsari SMA Negeri 3 Kuningan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Universitas Gadjah Mada 260 Saat tulisan ini dibuat, saya sedang menempuh program pascasarjana di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta. Gelar Sarjana Hukum (S.H.) saya dapatkan dari Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2017. Saya berhasil menyelesaikan program sarjana saya dalam waktu 3,8 tahun dengan IPK Cumlaude. Adapun selain lembaga formal tersebut, saya pernah mengikuti pendidikan di lembaga non-formal, yaitu di Madrasah Salafiyah Syafi'iyyah al-Idrus Lengkong. Walaupun non-formal, lembaga sekolah ini memberikan pelajaran yang sangat besar bagi pola berpikir saya. Khususnya dalam masalah keagamaan, keislaman saya dipengaruhi dari sekolah al-Idrus ini. Selain al-Idrus, saya juga sempat mengikuti pelatihan bahasa Inggris di Rumah Inggris Jogja selama satu tahun ketika pertama kali saya merantau ke kota Yogyakarta. PENGALAMAN ORGANISASI Anggota OSIS MTsN Sindangsari Ketua Umum RISBA (Rohaniawan Islam Baiturrahim) SMAN 3 Kuningan Ketua Umum PSC (Klub Fisika) SMAN 3 Kuningan Wakil Ketua ROHIS (Rohaniawan Islam) Kabupaten Kuningan Pendiri THREEPHYRAL SMAN 3 Kuningan (Organisasi Jurnalistik) Tim Editor Redaksi Majalah MARDIKA Pemimpin Redaksi Buletin Jum'at Si BURI Anggota PERMAHI DIY (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia) 261 Anggota KPS (Peradilan Semu) Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Anggota SABARAKU (Organisasi Rantau Kabupaten Kuningan) Anggota IPMK (Ikatan Pelajar Mahasiswa Kuningan) Anggota PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Pemimpin Redaksi Buletin Jum'at JUMUAH Pendiri portal online Bahasa Rakyat (BR) Anggota Unit KWU HMP UGM (Unit Kewirausahaan) Anggota di bidang hukum KKI (Komunitas Keluarga Inklusi) Yogyakarta AGAMA DAN KEYAKINAN Agama yang saya anut sekarang adalah Agama Islam, dengan mengikuti golongan mayoritas dunia Ahlussunnah wal Jama'ah, mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy'ari dalam bidang akidah, mengikuti Imam Syafi'i dalam madzhab Fiqih, dan mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dalam bidang Tasawuf, serta Imam Ghazali dalam kaidah-kaidah Filsafat Islam. Untuk masalah kultur keislaman, saya lahir di lingkungan tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Bapak saya sebenarnya tidak pernah menjadi pengurus NU, namun karena bapak saya merupakan salah satu tokoh masyarakat, beliau sering diajak oleh para kiai untuk menghadiri pertemuan NU dan pertemuan bersama bupati di kabupaten. 262 NASAB KETURUNAN Untuk menghindari tuduhan PKI, Syiah, dan lain sebagainya seperti ketika Pemilu datang, maka dalam halaman ini juga saya melampirkan nasab keturunan saya hingga beberapa generasi ke atas. Berikut silsilah keluarga saya yang sudah saya rangkum selama dua tahun : Dari jalur bapak, saya merupakan anak dari Bapak H. Ero Sutara, beliau keturunan dari Bapak Enco Kasa, kemudian keturunan lagi dari Bapak Sacadiun. Dari jalur bapak, silsilah saya terputus hanya 3 generasi saja, karena data nya sudah tidak mungkin lagi di jangkau. Namun jika dari jalur ibu kakek saya, bisa ke 4 generasi. Silsilah yang lengkap saya dapatkan dari jalur ibu. Saya 263 merupakan putra dari Ibu Hj. Anah Nurlaenah, beliau keturunan dari Ibu Encum, kemudian Ibu Encum merupakan turunan dari Ibu Mioh Robiah, lalu beliau turunan dari Arimi, Arimi dari Akhyar, dan Akhyar dari Eyang Hasan Maolani. Dari jalur ini bisa dirunut hingga salah satu Wali Songo yaitu Sunan Gunung Jati Cirebon, namun jalur ini tidak saya cantumkan dalam gambar di atas. Walaupun begitu, silsilah keluarga tentu tidak memberikan dampak apa-apa terhadap diri seseorang. Karena sejatinya keimanan, akhlak, dan ilmu tidak bisa diwariskan. SANAD KEILMUAN AGAMA Dalam mempelajari agama Islam, perlu adanya sanad yang bersambung hingga kepada Rasulullah Saw. Oleh karena itu, saya akan mencoba menguraikan sanad keilmuan saya dalam menuntut ilmu di bidang agama. Guru pertama saya di bidang agama tentu saja adalah kedua orang tua saya. Kemudian saya juga sempat mengaji di Kiai Dading hampir 4 tahun. Kemudian pindah ke Kiai Dedi musholla al-Anwar, kemudian lanjut lagi ke KH. Rohmat (menantu dari KH. Harun al-Rasyid, pendiri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Lengkong). Setelah itu saya pindah lagi ke Kiai Toto di Mushola asy-Syifa selama 2 tahun. Dalam hal agama, saya juga belajar banyak di Sekolah Agama al-Idrus selama 8 tahun. Dan tentunya saya juga banyak belajar kepada kakak kedua saya, Kiai Iyus Rusliana yang merupakan santri dari Hadratus Syaikh KH. Maimoen Zubair. 264 Dari KH. Maimoen Zubair ini saya coba uraikan sanad ilmu nya bersambung kepada Nabi : KH. Maimoen Zubair dari Sayyid Alawi bin Abbas dari Sayyid Abbas dari Muhammad Abid dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dari Syekh Utsman ad-Dimyati dari Almair dari Assaqath dari al-Zarqoni dari Abdul Baqi dari Ajhuri dari Muhammad dari Syekh Zakaria al-Anshori dari alHafidz Imam Hajar al-Asqonali dari Najmudin dari Muhammad dari Muhammad dari Abdul Aziz dari Ismail dari Muhammad dari Sulaiman dari Yunus dari Abi Isa Yahya dari Ubaidillah dari Yahya dari Imam Malik dari Nafi' dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah Saw. KONTAK Anda bisa menghubungi saya melalui nomor WA : 081947-100-809 (nomor ini sudah tidak privasi lagi karena juga digunakan untuk kepentingan bisnis), dan bisa melalui e-mail : [email protected] Anda juga bisa menemukan saya di berbagai jejaring sosial dengan nama akun "Idik Saeful Bahri" dan biasanya menggunakan username : @idikms 265