MEMBERI PAKAN UDANG JANGAN BERLEBIH Pakan adalah istilah untuk binatang walau juga kita sering menggunakan kata makanan. Pakan untuk udang di tambak bersumber dari alam (makanan alami) dan dari makanan buatan pabrik (pakan buatan). Tambak-tambak tradisional biasanya lebih bergantung pada pakan alami seperti plankton, klekap dan lumut. Sedangkan budidaya udang dengan teknologi intensif lebih mengandalkan pakan buatan pabrik yang di suplai dari luar tambak (Mujiman, A dan SR. Suyanto, 1989). Jika pembudidaya harus membuat pakan udang sendiri maka perlu memperhatikan kandungan gizi yang sesuai dengan kebutuhan udang. Selain itu pakan harus ekonomis, efisien dan ramah lingkungan. Untuk menciptakan pakan udang ekonomis menurut Dr. Ir. H. Mastri Djoko Sunarno, MS, pakar akuakultur, nutisi dan teknologi pakan ikan dari Balitbang Kelautan dan Perikanan Jakarta. pembudidaya diharapkan dapat menguasai bahan baku pakan dari segi gizi, harga, ketersediaan, menguasai kebutuhan nutrisi udang, kualitas bahan bakupakan, teknik formulasi serta teknik pembuatan pakan. Budidaya udang terutama teknologi semi intensif dan intensif dengan pemberian pakan tinggi secara terus-menerus untuk mengejar survival rate (SR) dengan produksi tinggi. Namun dengan pemberian pakan yang tidak terkontrol dapat menimbulkan akumulasi limbah yang berdampak pada menurunnya kualitas dasar tambak, air tambak dan lingkungan perairan tempat buang air limbah. Selain cemaran dari dalam tambak sendiri ternyata lingkungan di luar tambak turut memperbuk keadaan karena adanya pencemaran air dari laut maupun dari daratan (sungai) sebagai dampak meningkatnya aktifitas daerah permukiman, pertanian dan industri. Apabila bahan pencemar masuk ke daerah estuarin (muara) maka bahan tersebut tertahan sementara atau tidak segera terbuang ke laut karena sifat spesifik arus di estuarin sebagai tempat berkumpulnya limbah padat dan cair. Meski demikian laju akumulasi dan penurunan kualitas air lingkungan di setiap hamparan tambak tidak sama, namun proses tersebut tatap berlangsung karena itu suatu saat sumberdaya lahan dan air tidak layak lagi bagi kehidupan udang. Akibatnya kegagalan dalam budidaya sulit dihindari. Hal seperti itulah yang terjadi di beberapa sentra pertambakan udang windu di masa lalu. Agar kondisi lingkungan budidaya udang tidak tercemar maka salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah memberikan pakan udang jangan berlebih, sebab sisa pakan dan kotoran udang memiliki peran penting terhadap pencemaran dasar dan air tambak. Untuk mengetahui besarnya limbah dari jumlah pakan yang masuk ke petakan tambak dapat dihitung dari Food Convertion Ratio (FCR). Misalnya FCR 1,5 artinya dari 1,5 kg pakan yang diberikan kepada udang, 1 kg menjadi daging dan 0,5 kg menjadi kotoran udang. Jika untuk memproduksi 2 ton udang maka dibutuhkan 3 ton pakan berarti sepertiga dari pakan tersebut menjadi kotoran di dasar tambak. Untuk mengurai secara oksidatif 1 kg bahan organik dari feces udang dibutuhkan 1,02 kg oksigen. Jika persediaan oksigen dalam tambak kurang cukup untuk mengurai feces udang itu maka bakteri akan mengurainya secara anaerobik yang dampaknya menghasilkan H2S dan NH4 yang bersifat racun bagi udang. Kondisi tersebut akan semakin parah jika pakan yang diberikan berlebihan karena sisa pakan berupa protein murni itu mengandung nitrogen tinggi. Dampaknya, pertumbuhan plankton tidak terkontrol yang menyebabkan air semakin kental. Bila terjadi blooming plankton pada malam hari udang susah bernapas karena kekurangan oksogen. Kebutuhan oksigen pada malam hari semakin bersaing karena phytoplankton dan tanaman air lainnya juga mengkonsumsi oksigen. Jadi anggapan memberi pakan banyak agar udang cepat besar itu tidak benar, tetapi yang benar adalah memberi pakan pada udang sesuai dengan kebutuhan (adlibitum) dan pertumbuhan udang. Oleh karena itu diperlukan sampling pertumbuhan secara berkala melalui jala atau anco guna mengetahui kondisi kesehatan, perkembangan dan kebutuhan pakan udang. Dengan demikian udang jadi sehat, pakan tidak mubazir dan ramah lingkungan. (Abdul Salam Atjo)