Manhaj Ijtihad Menghadapi Masalah Kontemporer Kalau pendekatan baru dalam Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam adalah pendekatan Bayani, Irfani, dan Burhani, maka dalam implementasinya ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yakni: Bahwa pemahaman terhadap al-Islam haruslah terpadu. Maksudnya pemahaman terhadap syari’ah dalam arti luas (atau disebut al-Diien) bukan pemahaman al-Islam dari beberapa aspek saja, seperti yang terkenal selama ini yakni aspek aqidah, aspek ahkam (syari’ah dalam arti khusus) dan aspek akhlaqul karimah. Pemahaman itu juga pemahaman al-Islam sebagai totalitas agama yang bersumberkan wahyu Allah, baik yang matluw yakni al-Qur’an maupun ghairu matluw yakni asSunnah, dan pemahamannya dengan ijtihad (pemikiran yang sungguh-sungguh, dalam dan benar). Al-Islam sebagai ajaran atau pedoman hidup manusia yang juga disebut syari’ah dalam arti luas. Ssyari’at Islam sebagai ajaran agama telah dirumuskan dalam HPT dalam dua bentuk rumusan: 1. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw yang tersebut dalam al-Qur’an and as-Sunnah ash Shahihah (maksudnya maqbullah, artinya sunnah yang dapat diterima sebagai hujjah syar’iyyah). Intinya berisi perintah-perintah agama untuk diindahkan, baik tidak boleh tidak harus dilaksanakan seperti melakukan ibadah mahdlah ataupun perintah yang utama untuk dilaksanakan, seperti meminjami uang bagi yang memerlukan kalau memang ada yang dipinjamkan. Inti agama juga berupa larangan terhadap hal yang pasti unutk dihindari seperti makan yang haram, minum yang memabukkan, perbuatan yang membawa kerusakan. Agama juga berisi petunjuk yang baik untuk diperhatikan seperti berpakaian yang bersih dan pantas. Itu semua berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari nash dan hasil ijtihad yang diperuntukkan bagi ummat Muhammad. 2. Dalam rumusan lain, Islam juga agama yang dibawa oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad; yang dalam surat asy-Syura ayat 13, berupa syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada para Nabi sejak Nabi Nuh, seperti yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang intinya sama dengan rumusan pertama. Selanjutnya dalam pemahaman terhadap nash al-Qur’an dan as-Sunnah, diperlukan ijtihad, baik bayani, qiyasi maupun istishlahi dalam ahkam. Dan dengan pendekatan bayani, irfani maupun burhani dan memahami keseluruhan ajaran agama. Kalau dalam ahkam dengan ilmu ushul fiqih telah jelas metode ijtihad yang harus ditempuh. Tetapi untuk masalah aqidah dan akhlaq yang nempunyai metodologi yang agak berbeda, tentu memerlukan perumusan yang baku pula untuk mencapai kebenaran ilmiah yang akan dicapai yang terus berkembang. Perkembangan ilmu pengetahuan termasuk metodologinya; selalu berkembang, termasuk epistimologi ijtihad yang nampak telah mapan itu, sekarang diperlukan perkembangan baru dalam rangka menatap masa depan yang oleh Yusuf Al Qardlawi disebut ijtihad tarjihi intiqa’i dan ijtihad ibdai/insyai. Ijtihad Tarjihi/Intiqa’i Yang dimaksud dengan ijtihad tarjihi/intiqa’I adalah ijtihad untuk memilih salah satu dari pendapat terkuat diantara pendapat-pendapat yang ada dalam fiqh klasik, yang penuh dengan fatwa atau keputusan hukum yang berbeda-beda. Pengambilan pendapat itu didasarkan pada dalil-dalil mereka, karena mengambil pendapat mereka tanpa meneliti dalilnya berarti taklid, bukan termasuk dalam ijtihda yang dianjurkan. Sesungguhnya ijtihad yang dianjurkan sekarang adalah mengadakan studi pendapatpendapat para fuqaha secara komparatif atau muqaranah diantara pendapat-pendapat itu dengan meneliti kembali dalil-dalil nash atau cara ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat mereka. Dan pada akhirnya dipilihlah pendapat yang dipandang kuat dalil dan hujjahnya sesuai dengan sandaran yang digunakan dalam pentarjihan. Diantara dasar pentarjihan itu, kekuatan dalil atau pendapat itu lebih cocok dan lebih sesuai untu diperlakukan pada masa kini. Di samping itu pendapat yang lebih banyak mendatangkan rahmat pada manusia. Karenanya ijtihad itu hendaknya diambil yang lebih dekat pada taisir, yakni kemudahan yang dibenarkan syara’. Juga pendapat yang diambil itu lebih utama dalam merealisir maksud-maksud syara’ yakni mashlahat yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan mafsadat untuk manusia. Dalam kitab fiqih banyak pendapat yang berbeda-beda dalam aneka ragam masalah. Sedikit pendapat-pendapat yang disepakati bila dibanding dengan pendapat dengan pendapat yang masih diperselisihkan. Bahkan masih ada pendapat yang dikatakan sebagai hasil ijma’ nyatanya masih ada ulama yang berpendapat lain. Menurut Yusuf al-Qardlawi selanjutnya, seorang ahli fiqih kontemporer hendaknya dalam ijtihad ini memilih satu pendapat diantara beberapa pendapat yang dianggapnya kuat setelah melakuka perbandingan, tidak membiarkan masyarakat awam dalam kebingungan. Perlu disadari bahwa perbedaan pendapat dalam bidang fiqih ini merupakan suatu kewajaran bukan suatu kelemahan. Perbedaan pendapat ini merupakan cirri fleksibilitas syari’ah kita dan merupakan kekayaan intelektual muslim dan toleransi ulama-ulama kita. Perbedaan pendapat dan pandangan-pandangan ini telah berjalan lama sejak awal pertumbuhan fiqih. Sekalipun berbeda tempat pengambilannya dan bermacam-macam sumber serta pendekatannya, tidak ada diantara orang yang berbeda pendapat itu selain sikap saling menopang dan saling hormat-menghormati. Sejauh ini ucapan yang dikenal di kalangan mujtahidien adalah “pendapatku adlaah benar, tapi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selainku adalah salah tetapi mengandung kebenaran”. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, pimpinan aliran madzhab menghargai pendapat pimpinan aliran madzhab yang lain. Kita melihat pula adanya perbedaan pendapat dalam satu aliran madzhab, baik itu sedikit atau banyak, baik itu sempit maupun luas. Hal itu disebabkan adanya beberapa macam riwayat dari Imam Madzhab, beberapa ucapan shahabat dan pilihan-pilihan pendapat orang-orang sesudah mereka. Seperti pada madzhab Hambali ada pendapat yang diduga berdasarkan perbedaan riwayat hadits. Perselisihan pendapat dalam satu aliran madzhab Hambali ini terkumpul dalam satu kitab “al-Insyaf Fi ar Rajihi min al Khilaf Ala Madzhab al Imam al Mubajjal Ahmad Ibnu Hambal”, yang terdiri dari 12 jilid. Kita lihat adanya perbedaan imam asy Syafi’iy dengan ulama Syafi’iyyah seperti, pendapat imam asy Syafi’iy, tidak dapat menghadiahkan bacaan pada orang yang telah meninggal dunia, tetapi ulama syafi’iyyah membolehkannya. Pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, murid Abu Hanifah berbeda dengan gurunya, Nu’man bin Tsabit al Hanafi (Abu Hanifah), padahal keduanya berguru padanya. Tetapi masyarakat dan waktu kehidupan sehari-harinya telah berbeda guru dan muridnya itu. Jadi maksud ijtihad intiqa’iy itu hendaknya kita memilih dari pusaka peninggalan yang kaya itu sebagai pendapat yang dipandang kuat, lebih cocok dengan kondisi masyarakat dab zaman kita, setelah mengadakan penelitian, perbandingan, dan penyeleksian, sesuai dengan perkembangan ilmu. Berkenaan dengan ini ulama menyatakan: “Perbedaan pendapat itu dapat disebabkan berbedanya waktu, dan tempat serta perkembangan ilmu. Contoh konkrit ulama dahulu berfaham bahwa ada nasih mansuh dalam al-Qur’an. Tetapi ada seorang yang bernama Abu Muslim al Asfahani menyatakan tidak ada nasih mansuh dalam arti menghapus ayat al-Qur’an. Yang ada adalah mengkhususkan arti yang umum yang berarti istitsna (eksepsion, pengecualian), bukan penghapusan. Lain halnya dalam hadits yang bersifat tanfidziyah dimungkinkan adanya nasih mansuh itu seperti dalam sabda Nabi sendiri yang intinya, dahulu Nabi melarang ziarah kubur dan sekarang menyuruhnya dalam arti membolehkan. Dalam lingkaran ijtihad intiqa’I ini tidaklah mengapa kita keluar dari madzhab empat guna mengikuti atau memilih pendapat dari salah satu ahli fiqih shahabat, tabi’in atau imam-imam salaf setelah mereka. Demikian Yusuf al Qardlawi. Contoh, Al Allamah Syeikh Abdullah bin Zaid al Mahmud dalam papernya “Yusru ‘I Islam” berpendapat; “Boleh melempar jumrah di waktu melaksanakan haji sebelum tergelincirnya matahari”. Pendapat ini sesuai dengan pendapat dua ahli Fiqih dari Tabi’in, yaitu “Atha dan Thawwus, dan juga dengan alasan banyaknya jamaah haji dan atas dasar pertimbangan yang cukup kuat antara lain: 1. Adanya kebutuhan yang sampai ke tingkat dlarurat dalam beberapa tahun ini, di mana semakin berjejalnya jamaah sehingga banyak orang meninggal terinjak kaki seperti yang terjadi pada musim haji tahun 1403 H jumlah jamaah haji saat itu mencapai tiga juta orang. 2. Adanya kemudahan yang diberikan Syari’at Islam secara umum dan dalam ibadah haji khususnya, sehingga Nabi saw tidaklah menjawab ketika ditanya tentang amalan dalam haji, apakah didahulukan atau diakhirkan, kecuali beliau berkata: “Kerjakanlah dan tiada kesempitan bagimu!”. 3. Sesungguhnya melempar jumrah itu termasuk perkara yang dikerjakan setelah tahallul terakhir dalam ihram haji. 4. Abu Hanifah membolehkan melempar jumrah pada hari nafar sebelum tergelincir matahari karena orang yang mau musafir perlu pagi-pagi. 5. Golongan madzhab Hambali membolehkan seorang yang beribadah haji untuk mengakhirkan melempar jumrah semuanya pada hari terakhir. 6. Mereka juga membolehkan untuk mengakhirkan melempar jumrah sampai waktu malam. 7. Maksud dari melempar jumrah adalah dzikir (ingat kepada Allah) seperti dijelaskan dalam sebuah hadits yang artinya: “Diwajibkan melempar jumrah dan sa’I antara Shafa dan Marwah adalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah SwT.” (Hadits riwayat Turmudzi. Ia berkata: hadits ini adalah hasan shahih). Demikian contoh ijtihad tarjihi/intiqa’I yang sangat diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan masa kini dan mendatang yang berbeda dengan masa lampau. Sumber: Suara Muhammadiyah Edisi 13 2002