Uploaded by User40298

02 transmisi satelit

advertisement
1
ARTIKEL TRANSMISI
SATELIT PADA TV
BROADCAST
Diambil dari sumber : http://www.2wijaya.com
www.adoels77.blogspot.com
2
Daftar Isi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Prinsip Kerja Satelit
Frekuensi Transponder & Polarisasi Antena
Perangkat Up-Link & Down-Link
OB-Van dan Mobile Up-Link
Portable SNG
TVRO dan Stasiun Relay TV
STL (Studio to Transmitter Link)
Digital Radio / Microwave Link
……………………………………...
……………………………………...
……………………………………...
……………………………………...
……………………………………...
……………………………………...
……………………………………...
……………………………………...
www.adoels77.blogspot.com
3
7
13
33
35
37
39
41
3
1.Prinsip Kerja Satelit
Satelit adalah stasiun relay yang digantung di langit. Disebut stasiun relay karena fungsi
utama satelit adalah merelay sinyal-sinyal yang berasal dari bumi. Sinyal-sinyal yang
diterimanya dari bumi itu digeser dulu frekuensinya baru kemudian dipancarkan kembali ke
bumi. Jadi pada dasarnya satelit itu berisi rangkaian translator frekuensi, yaitu rangkaian
elektronik yang terdiri dari penerima, penggeser frekuensi dan pemancar [perhatikan gambar
(1) di bawah ini].
Gambar (1): Diagram blok rangkaian penggeser frekuensi di dalam satelit
Sinyal dari bumi yang sampai ke satelit sangat lah lemah. Sebab sinyal yang dikirim dari
bumi hingga mencapai satelit akan melalui lintasan (path) ruang yang sangat jauh sehingga
sinyal akan mengalami redaman (free space path loss) yang sangat besar. Redaman ini
disebabkan karena sifat radiasi gelombang elektromagnetik itu memancar ke segala arah
(seperti bola yang mengembang) sehingga kekuatan sinyal akan melemah sebanding dengan
kuadrat dari jarak yang ditempuhnya. Selain itu jarak tempuh itu akan terasa semakin jauh
bagi sinyal yang panjang gelombangnya makin pendek. Dengan demikian besarnya redaman
ini berbanding lurus dengan kuadrat dari jarak dan frekuensi yang digunakan, dimana secara
matematis dituliskan sbb.:
Untuk memudahkan perhitungan, formula di atas bisa disederhanakan menjadi:
L = 32.4 + 20 Log d + 20 Log f
L adalah besarnya Loss atau redaman (dalam satuan dB)
f adalah frekuensi kerja yang digunakan (dalam satuan MHz)
d adalah jarak tempuh antara stasiun bumi dng satelit (dalam satuan km)
www.adoels77.blogspot.com
4
Sekedar contoh misalnya frekuensi kerja yang digunakan untuk up-link adalah 6 GHz = 6.000
MHz, dan jarak antara stasiun bumi ke satelit = 36.000 km, maka besarnya redaman pada
arah up-link
L-up = 32.4 + 20 Log 36.000 + 20 Log 6.000 = 32.4 + 91.1 + 75.6 = 199.1 dB
Redaman ini sangat besar sehingga sinyal yang diterima di satelit sangatlah lemah. Maka agar
sinyal yang sangat lemah ini bisa dipancarkan kembali ke bumi dengan daya pancar yang
cukup, dibutuhkan rangkaian penguat yang bertingkat-tingkat. Pada tingkat pertama sinyal
diperkuat oleh gain antenna penerima. Output dari antenna yang juga masih sangat lemah
kemudian diperkuat lagi dengan LNA (Low Noise Amplifier). Setelah levelnya cukup, sinyal
ini kemudian dimasukkan ke rangkaian mixer-1 untuk digeser frekuensinya ke frekuensi LBand.
Penggeseran frekuensi menurunkan level sinyal, sehingga sinyal harus diperkuat lagi pada
tahap ini. Setelah levelnya cukup, sinyal dimasukkan lagi ke mixer-2 untuk digeser lagi
frekuensinya ke frekuensi kerjanya (frekuensi down link). Pada tahap ini sinyal diperkuat lagi
oleh driver amplifier dan kemudian diperkuat oleh HPA (High Power Amplifier) agar
diperolah daya pancar yang cukup besar. Pada tahap akhir, sinyal kemudian diperkuat lagi
oleh antenna pemancar untuk menghasilkan apa yang disebut dengan EIRP (Equivalent
Isotropic Radiated Power). Besaran EIRP inilah yang kemudian oleh satelit dipancarkan
kembali ke bumi.
Sebagaimana dijelaskan pada bab translasi frekuensi, pergeseran frekuensi sama sekali tidak
mengubah nilai informasi yang terkandung di dalam sinyal tersebut. Jadi meskipun di satelit
frekuensi sinyal di geser sebanyak dua kali, akan tetapi informasi yang terkandung di
dalamnya masih tetap utuh (sama sekali tidak berubah). Oleh karena itu menjadi jelas bahwa
fungsi satelit dalam hal ini hanya merelay sinyal yang berasal dari bumi untuk kemudian
dipancarkan lagi kembali ke bumi.
Pergeseran frekuensi sebanyak dua kali dimaksudkan untuk memperoleh gain yang sangat
tinggi. Sebab memperkuat sinyal di satu frekuensi kerja akan menyebabkan amplifier mudah
berosilasi (sinyal output masuk kembali ke input). Untuk menghindari hal ini terjadi maka
sinyal harus diperkuat pada frekuensi kerja yang berbeda-beda. Dalam gambar (3)
diperlihatkan sebuah contoh bahwa gain total satelit adalah sekitar 170 dB. Gain sebesar ini
akan sangat sulit diperoleh bila amplifier bekerja pada satu frekuensi kerja. Oleh karena itu
penguatan sinyal dilakukan di 3 frekuensi yang berbeda. Pertama sinyal diperkuat pada
frekuensi Rx (dengan menggunakan LNA). Kemudian frekuensinya digeser ke L-Band dan
penguatan kedua dilakukan pada frekuensi ini. Selanjutnya frekuensi sinyal di geser lagi ke
frekuensi Tx dan diperkuat lagi (oleh HPA) hingga mencapai daya pancar sesuai yang
diinginkan. Dengan cara ini maka akan diperoleh gain total yang sangat tinggi.
Penguatan sinyal mulai dari antenna penerima, LNA, HPA hingga antenna pemancar disebut
dengan Gain Satelit [perhatikan gambar (1) di atas]. Besarnya Gain Satelit telah didesain
sedemikian rupa sehingga sinyal yang diterima dari bumi mampu menghasilkan daya pancar
maksimum sesuai kapasitas HPA yang terpasang di satelit. Daya output dari HPA selanjutnya
diperkuat lagi oleh antenna sehingga diperoleh EIRP yang tinggi. Sebab sinyal yang
dipancarkan oleh satelit ke bumi akan mengalami redaman yang sangat besar. Sekedar
www.adoels77.blogspot.com
5
gambaran misalnya frekuensi down link yang digunakan adalah 4 GHz = 4.000 MHz, maka
besarnya redaman pada arah Down Link adalah:
L-down = 32.4 + 20 Log 36.000 + 20 Log 4.000 = 32.4 + 91.1 + 72.0 = 195.5 dB
Redaman down-link ini sangat besar, sehingga sinyal yang diterima di bumi juga sangat
lemah. Itulah sebabnya dibutuhkan gain yang cukup besar di stasiun penerima di bumi agar
informasi yang terkandung dalam sinyal dapat dideteksi kembali. Apabila kualitas sinyal
yang diterima belum sesuai dengan kebutuhan, maka daya pancar di sisi pengirim perlu
diperbesar. Dengan cara ini maka secara otomatis daya yang dipancarkan oleh satelt juga ikut
membesar. Kenaikan daya pancar di satelit merupakan fungsi linier dari kenaikan daya
pancar di pengirim. Sebagai contoh misalnya, bila daya pancar di sisi pengirim dinaikkan 3
dB, maka daya pancar satelit juga akan naik 3 dB. Jika dinaiikan lagi 10 dB maka daya
pancar di satelit juga akan naik 10 dB. Demikian seterusnya hingga pada suatu titik dimana
kenaikan daya pancar di satelit tidak lagi linier. Pada titik ini daya pancar satelit sudah
melampaui batas liniernya. Oleh karena itu penambahan daya di sisi pengirim tidak boleh
sembarangan. Ada batas tertentu yang tidak boleh dilampaui. Inilah yang disebut dengan
istilah Power Limitted, artinya satelit memiliki daya pancar yang terbatas.
Apabila daya pancar di sisi pengirim sudah tidak bisa lagi dinaikkan, sedangkan sinyal yang
diterima masih belum sesuai dengan kebutuhan, maka jalan satu-satunya adalah dengan
memperbesar diameter antena penerima. Makin besar diameter antena penerima akan
semakin baik, karena sistem penerima akan menjadi lebih sensitif, artinya lebih mampu
menerima sinyal-sinyal yang lemah. Namun makin besar diameter antena akan memerlukan
lahan yang lebih besar, ukuran yang besar jelas tidak praktis dan harganya pun juga pasti
lebih mahal. Oleh karena itu perhitungan daya pancar di sisi pengirim maupun besarnya
diameter antena di sisi penerima harus dihitung dengan benar. Untuk itu ada beberapa
paremeter yang perlu diketahui. Parameter satelit seperti G/T, Saturated Field Density (SFD)
dan EIRP serta peta contour atau foot print umumnya diberikan oleh operator/pemilik satelit
kepada para pelanggannya, sehinga masing-masing pelanggan dapat menghitung sendiri apaapa yang dibutuhkannya.
www.adoels77.blogspot.com
6
Gambar (2): Illustrasi redaman up-link dan down-link
Gambar (3): Illustrasi level sinyal mulai dari pengirim, satelit hingga penerima di bumi.
www.adoels77.blogspot.com
7
2.Frekuensi Transponder
Frekuensi yang digunakan pada komunikasi satelit disusun dalam bentuk kanal-kanal yang
disebut dengan transponder. Satu satelit bisa memilki banyak transponder, tergantung dari
design dan tujuan penggunaannya. Sebagai contoh misalnya Satelit Palapa-D memiliki 40
transponder yang terdiri dari 24 transponder C-band, 11 transponder Ku-band dan 5
transponder Extended C-band. Jumlah transponder sebanyak ini dimaksudkan untuk
mengatisipasi kebutuhan pelanggan yang semakin meningkat. Dulu satelit Palapa generasi
pertama (Palapa-A1) hanya membawa 12 transponder saja (C-band) karena pada jaman itu
(Papala-A1 diluncurkan bulan Juli 1976) kebutuhan akan transponder masih sangat rendah.
Contoh lainnya adalah satelit Cakrawarta-1 (diluncurkan bulan November 1997) dimana
satelit ini hanya membawa 5 transponder saja (S-band), karena dengan 5 transponder ini
sudah cukup untuk menyiarkan 40 program siaran TV berlangganan (Indovision).
Pita frekuensi satelit yang paling populer adalah C-band (4 - 6 GHz) karena sinyal pada
frekuensi ini tidak terpengaruh oleh hujan dan bebas dari interferensi sinyal-sinyal
microwave teresterial. Alokasi frekuensi pada C-band dirinci dalam gambar di bawah ini,
dimana bandwidth satu transponder dibatasi sebesar 36 MHz dan antar transponder diberi
jarak (guard band) sebesar 4 MHz (gambar 1b). Gambar 1a memperlihatkan alokasi frekensi
dari masing-masing transponder berikut frekuensi tengahnya, sedangkan gambar 1c
memperlihatkan frekuensi maksimum dan minimum dari sebuah transponder (dalam gambar
ini diambil contoh transponder 7H).
Gambar (1): Alokasi frekuensi transponder C-band
www.adoels77.blogspot.com
8
Berdasarkan contoh dalam gambar 1c di atas maka frekuensi maximum dari transponder 12V
adalah 4200 MHz, sedangkan frekuensi minimum dari transponder 1H adalah 3700 MHz.
Dengan demikian total frekuensi yang dialokasikan untuk seluruh transponder adalah 4200 3700 = 500 MHz.
Sementara itu jumlah total transponder seluruhnya ada 24, sedangkan bandwidth masingmasing transponder 36 MHz dan guard band 4 MHz. Jika dihitung secara linier maka akan
diperoleh = 24 transpoder x (36 + 4) MHz = 960 MHz. Artinya, untuk 24 transponder @ 36
MHz dan guard band @ 4 MHz dibutuhkan bandwidth total = 960 MHz. Tetapi pada
kenyataanya cukup dengan 500 MHz saja kebutuhan itu sudah tercukupi. Artinya kita bisa
menghemat bandwidth hampir separonya. Hal ini bisa terjadi karena ada sifat polarisasi
gelombang (elektromagnetik) yang bisa dimanfaatkan, yaitu bahwa dua buah gelombang
yang polarisasinya saling tegak lurus akan terisolasi satu sama lain. Besarnya faktor isolasi
ini adalah sekitar 30 dB atau seper-seribu. Dengan kata lain, dua buah sinyal dapat
menggunakan satu frekuensi yang sama asalkan polarisasinya berbeda 90 derajat. Dengan
memanfaatkan fenomena ini maka kita bisa menghemat bandwidth hingga separonya.
POLARISASI ANTENA
Isolasi sinyal berdasarkan polarisasi ini dapat dijelaskan sebagia berikut. Perhatikan gambar
2a di bawah ini, dimana antena pemancar dan penerima sengaja dibuat sama-sama tegak
(polarisasi = vertikal). Antena pemancar yang dilalui oleh arus listrik akan membangkitkan
medan magnet yang melingkari antena pemancar itu. Medan magnet ini kemudian akan
menginduksi antena penerima, dana berhubung posisi antena penerima ini juga tegak
(vertikal) maka banyak sekali medan magnet yang memotong penampangnya. Akibatnya arus
yang ditimbulkan oleh antena penerima menjadi paling maksimal.
Jika misalnya antena penerima ini bisa diputar perlahan-lahan, maka makin miring posisi
antena penerima itu, araus listrik yang dihasilkannya akan semakin menurun, karena makin
sedikit medan magnit yang memotong penampangnya. Hingga kemudian posisi antena
penerima itu tepat tegak lurus terhadap antena pemancar (gambar 2b). Nah pada posisi inilah
arus listrik yang dihasilkan oleh antena penerima paling minimal. Ini adalah merupakan
prinsip paling mendasar dari elektromgnetisme.
Perbandingan antara daya minumum terhadap daya maksimum yang diterima oleh antena
penerima itu adalah sekitar 30 dB. Dengan demikian menjadii jelas bahwa bila antena
pemancar dan penerima polarisasinya berbeda sebesar 90 derajad maka akan terdapat isolasi
antara antena pemancar dan antena penerima sebesar kira-kira 30 dB. Sifat inilah yang
kemudian dimanfaatkan dalam sistem komunikasi satelit. Sebab pemisahan (isolasi) dua buah
sinyal sebesar 30 dB (seper-seribu) sangatlah berarti dalam sistem komunikasi satelit.
Sekedar gambaran, jika kita punya penggaris sepanjang 1 meter maka seper-seribu dari 1
meter adalah 1 milimeter. Kita masih bisa dengan mudah melihat seberapa panjang 1
milimeter itu. Tapi bila kita punya penggaris yang panjangnya hanya 1 milimeter maka seperseribu dari 1 mili meter itu sangat lah kecil sekali, sehingga bolehlah kita abaikan. Analogi
seperti inilah yang dipakai dalam sistem komunikasi satelit. Bahwa sinyal yang masuk ke
dalam feedhorn antena parabola itu levelnya sangat kecil sekali (sekitar 1 pico watt = 10
pangkat minus 12), sehingga sinyal yang levelnya seper-seribu dari 1 picowatt pastilah sangat
kecil sekali sehingga bisa diabaikan.
www.adoels77.blogspot.com
9
Gambar (2): Ilustrasi dari pengertian polarisasi antena
Berdasarkan polarisasi inilah kemudian setiap transponder diberi nama sesuai nomor urut dan
polarisasinya masing-masing. Selanjutnya secara konsensus, penyebutan polarisasi mengacu
sinyal down link. Artinya jika kita menyewa transponder dan diberi satu slot frekuensi pada
transponder 5V misalnya, maka itu berarti kita harus mengatur antena penerima kita (down
link) pada polarisasi vertikal. Pemberian nama ini juga dimaksudkan untuk kemudahan
pointing antenna. Jika kita hendak memasang SNG atau perangkat Up-Link lain, tidak serta
merta kita bisa langsung memancarkan sinyal ke arah satelit. Tetapi pertama kali yang harus
dilakukan adalah mengarahkan antena parabola ke arah satelit. Inilah yang disebut dengan
pointing, yaitu mengarahkan antena ke arah satelit. Pada saat pointing yang diperlukan adalah
sebuah sinyal referensi berikut polarisasinya (dalam contoh ini polarisasinya adalah vertikal).
Artinya kita membutuhkan sinyal down link pada polarisasi vertikal sebagai referensi untuk
memastikan bahwa arah antena kita sudah benar.
Setelah pointing dan referensi sinyal pada polarisasi vertikal itu sudah didapat, maka barulah
kita bisa mengirim atau memancarkan sinyal ke arah satelit. Akan tetapi sinyal yang kita
pancarkan ini menggunakan polarisasi horizontal. Jadi antara sinyal yang kita kirim dan yang
kita terima polarisasinya berbeda 90 derajad. Hal ini dimaksudkan untuk mengisolasi antara
sinyal yang kita kirim dengan yang kita terima. Meskipun sinyal yang kita kirim yang dan
yang kita terima frekuensinya sudah pasti berbeda, tapi kedua sinyal ini polarisasinya juga
dibedakan agar keduanya benar-benar saling terisolasi satu sama lain. Dengan demikian
www.adoels77.blogspot.com
10
antara sinyal yang kita kirim dan yang kita terima dapat dipastikan tidak akan saling
mengganggu.
Gambar (3): Contoh produk Feedhorn Antena atau sering disebut Orto Mode
Transducer (OMT) dimana
terlihat jelas bahwa antara Port Tx dan Port Rx polarisasinya berbeda 90 derajad.
Sekedar contoh perhatikan gambar 1a di bagian transpoder 1H. Jika kita mengirim sinyal dng
frekuensi uplink (F/U) = 5945 MHz dan polarisasinya adalah Vertikal, maka di dalam satelit
sinyal tersebut akan digeser frekuensinya menjadi frekuensi down link (F/D) = 3720 MHz
dan dipancarkan ke bumi dengan polarisasi Horizontal.
Untuk mengisolasi Tx dan Rx berdasarkan polarisasinya secara praktis relatif mudah, yaitu
dengan membuat Port Tx dan Port Rx saling tegak lurus satu sama lain. Cara ini
diimplementasikan dalam Feed Horn antenna sebagimana diperlihatkan dalam gambar (3) di
atas, dimana terlihat jelas bahwa posisi waveguide antara port Tx dan Port Rx saling tegak
lurus (berbeda 90 derajad). Selanjutnya dengan Feed Horn ini kita bisa memancarkan sinyal
ke arah satelit (uplink) dan sekaligus menerimanya kembali pada frekuensi dan polarisasi
yang berbeda. Beda frekuensi ini adalah 2225 MHz dan beda polarisasinya adalah 90 derajad.
Perbedaan frekuensi antara Tx dan Rx ini merupakan hasil kerja dari rangkaian Penggeser
Frekuensi yang ada di dalam satelit. Frekuensi 2225 MHz ini kemudian dijadikan referensi
untuk menghitung besarnya F/U atau F/D bila salah satu dari keduanya sudah ditetapkan.
Misalnya sudah ditetapkan frekuensi F/D = 3930 MHz. Itu berarti kita harus mengirim sinyal
up link frekuensi = 3930 + 2225 = 6155 MHz.
www.adoels77.blogspot.com
11
CROSS POLE
Melanjutkan contoh di atas kita sudah mendapat slot frekuensi F/D = 3930 MHz.
Persoalannya kemudian adalah bahwa frekuensi 3930 MHz tersebut masuk dalam
transponder 6H dan 6V [perhatikan gambar (4) di bawah ini]. Dengan demikian akan menjadi
rancu tentang transpoder mana yang akan kita gunakan. Itulah sebabnya informasi frekuensi
saja tidak cukup, sehingga informasi tentang nama transpoder berikut polarisasinya juga
harus diikutsertakan.
Taruhlah misalnya informasi yang kita dapat sudah lengkap: frekuensi = 3930 MHz dan
nama Transponder = 6V. Nah sekarang kita tahu bahwa pada frekuensi yang sama tetapi
polarisasinya horizontal, kemungkinan ada sinyal yang digunakan oleh orang lain. Jika
pengaturan polarisasi antena kita tidak tepat maka sinyal orang lain itu akan menganggu kita,
dan sebaliknya sinyal kita juga akan mengganggu orang lain. Oleh sebab itu perlu dilakukan
kalibrasi polarisasi. Kalibrasi polarisasi ini sering disebut dengan Cross Pole Interference.
Gambar (4): Contoh pemakaian satu frekeunsi untuk dua sinyal yang berbeda
polarisasinya
Pengukuran Cross Pole Interference adalah sebuah upaya untuk mengetahui seberapa besar
interferensi yang diakibatkan oleh sinyal pada frekuensi yang sama tetapi polarisasinya
bersebrangan (cross pole). Cara yang umum dilakukan adalah kita harus mengirim sinyal
carrier murni (tanpa pemodulasi) dangan daya pancar yang cukup ke arah satelit (up linkj).
Dengan demikian sinyal yang kita pancarkan ini dapat diterima secara jelas di penerima.
Kemudian operator satelit (yang umumnya memiliki antena penerima berdiameter besar
sehingga mampu menangkap sinyal yang lemah) akan menerima sinyal dari satelit
(downlink) di kedua polarisasi yang berbeda (vertikal maupun horizontal).
Pada polarisasi yang sama akan diperoleh level sinyal yang besar, sedangkan pada polarisasi
yang berseberangan (cross pole) akan diperoleh level sinyal yang jauh lebih kecil. Level
kedua sinyal ini kemudian dapat diukur perbedaannya. Jika perbedaannya masih di bawah 30
dB berarti polarisasi antena belum terkalibrasi dengan tepat. Untuk itu Feed Horn harus
diputar-putar sedemikian rupa sehingga diperoleh polarisasi yang tepat. Polarisasi antenna
dikatakan sudah terkalibrasi dengan tepat bila perbedaan levelnya lebih besar atau sama
dengan 30 dB. Angka sebesar 30 dB (atau seper-seribu) dinilai cukup untuk mengisolasi dua
buah sinyal dengan frekuensi sama, tapi polarisasinya berbeda. Dengan demikian kedua
sinyal tidak akan saling ganggu atau saling menginterferensi. Gambar (5) di bawah ini
www.adoels77.blogspot.com
12
memperlihatkan sebuah contoh hasil (print out) pengukuran cross pole dari sebuah antena
parabola berdiameter 3.7 meter yang dilakukan oleh operator satelit.
Gambar (5): Contoh print out pengukuran Cross Pole Interference.
Dalam contoh ini perbedaan level sinyal pada marker N dan marker D adalah 32.9 dB
Artikel selanjutnya: Perangkat Up-Link & Down-Link
www.adoels77.blogspot.com
13
3. Peralatan Up-Link & Down Link
Pada prinsipnya peralatan up link terdiri dari 5 komponen sebagimana terlihat dalam gambar
1(a), yaitu:
1. Video Encoder
2. DVB Modulator
3. Up-Converter
4. HPA atau SSPA
5. Antenna Parabola
Video Encoder berfungsi sebagai mesin kompresi (dalam format MPEG2 atau MPEG4) dan
jika audio/video inputnya berupa sinyal analog maka Encoder ini sekaligus berfungsi sebagai
peralatan digitalisasi. Tujuan dari kompresi sinyal ini adalah untuk menghemat bandwidth.
Sekedar contoh, video input dalam format SDI memiliki data rate sekitar 270 Mbps (kualitas:
SD bukan HD), namun setelah di-encode menggunakan mesin MPEG2 data rate-nya bisa
turun menjadi 6 Mbps. Lebih tepatnya bisa turun menjadi 2 Mbps hingga 10 Mbps tergantung
kebutuhan.
Selanjutnya sinyal yang sudah terkompresi itu dimasukkan ke dalam DVB Modulator untuk
ditumpangkan kedalam sinyal pembawa. Frekuensi sinyal pembawa ini berada di sekitar 70
MHz, atau lebih tepatnya 70 MHz ± 18 MHz yang berarti frekuensi pembawa ini bisa diatur
mulai dari 52 MHz hingga 88 MHz tergantung kebutuhan.
Setelah itu sinyal pembawa yang telah termodulasi itu oleh Up-Converter digeser
frekuensinya ke frekuensi kerjanya, yaitu sesuai dengan nomor transponder dan slot
frekuensi yang telah ditentukan. Dengan kata lain Up-Converter berfungsi untuk menentukan
nomor transponder, sedangkan pengaturan frekuensi di Modulator adalah untuk menentukan
pada frekuensi berapa (dalam satu tansponder itu) sinyal pembawa tersebut harus
ditempatkan. Terakhir adalah parameter polarisasi sinyal, dan perangkat yang menentukan
polarisasi ini ada pada feed horn antena. Feed horn bisa diputar-putar sedemikian rupa
sehingga diperoleh polarisasi yang tepat.
Jika bandwidth, frekuensi dan polarisasi sudah sesuai dengan yang dikehendaki maka sinyal
ini sudah siap untuk dipancarkan ke arah satelit (up link) melalui antena parabola. Kemudian
agar bisa sampai ke satelit yang berjarak 36 ribu kilometer di atas bumi, sinyal yang masih
lemah ini perlu diperkuat terlebih dahulu. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat adalah
HPA (High Power Amplifier). Ada dua jenis HPA, yaitu amplifier yang berbasis tabung atau
TWTA (Travelling Wave Tube Amplifier) dan amplifier yang berbasis solid state transistor
atau SSPA (Solid State Power Amplifier). TWTA dan SSPA adalah sama-sama amplifier.
Fungsinya adalah sebagai penguat sinyal. Tidak lebih dari itu. Tentu saja keduanya memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan untuk mengetahui lebih lanjut tentang
perbedaan kedua jenis amplifier ini bisa disimak dari artikel TWTA Vs. SSPA yang ditulis
oleh Howard Hausman di "Microwave Product Digest" edisi bulan Januari 2008.
Setelah diperkuat oleh TWTA atau SSPA, sinyal kemudian diperkuat lagi oleh antena
parabola. Jadi selain untuk memancarkan sinyal, antena parabola juga berfungsi sebagai
penguat sinyal. Gelombang elektromagnetik yang bersifat menyebar ke segala arah oleh
piringan parabola diarahkan ke satu titik tertentu, sehingga terjadilah pengumpulan energi ke
www.adoels77.blogspot.com
14
satu arah tertentu. Pengumpulan energi inilah yang kemudian disebut dengan Gain Antena.
Jadi dalam sistem Up-Link, penguatan sinyal tidak hanya dilakukan oleh amplifier tetapi juga
oleh antena parabola.
Gambar 1 (a) Diagram blok perangkat Up-Link (b) Perangkat Up-Link dng BUC
(c) Perangkat Up-Link yang lebih sederhana
Antena Parabola adalah peralatan jenis outdoor, karena peralatan ini harus ditempatkan di
luar ruang agar syarat "Line of Sight" dengan satelit dapat terpenuhi. Sementara itu pada
frekuensi C-band (6 GHz) saluran transmisi yang digunakan harus sependek mungkin. Oleh
karena itu perangkat dng output C-band harus ditempatkan sedekat mungkin dengan antena
untuk mengurangi redaman. Sementara itu Up-Converter adalah peralatan elektronik jenis
indoor yang sangat sensitif terhadap air hujan. Oleh karena itu akan sangat berresiko bila UpConverter ini harus ditempatkan secara outdoor di dekat antena. Itulah sebabnya perangkat
BUC kini lebih banyak disukai dibanding TWTA atau SSPA.
BUC (Block Up Converter) berisi SSPA dan sekaligus Up-Converter, dimana frekuensi
inputnya adalah L-band (950 MHz - 1.450 MHz). Dengan frekuensi yang lebih rendah ini
maka antara Modulator dan BUC bisa terpisah cukup jauh, karena Modulator umumnya
ditempatkan di dalam ruang (indoor) sedangkan BUC di luar ruang (outdoor). Kemudian
keduanya bisa dihubungkan dengan kabel coaxial yang cukup panjang (hingga 100 meter,
tergantung tipe kabel). Hal ini menjadi mungkin karena BUC adalah rangkaian elektronik
yang berbasis transistor, sehingga casing / housing-nya bisa dibuat dari bahan aluminium
yang menyerap panas dan didesain kedap air, sedangkan untuk mengatasi disipasi panas
www.adoels77.blogspot.com
15
casing sudah dilengkapi dengan sirip-sirip pembuang panas (heat sink) dan kipas angin
dengan motor tanpa sikat (brush-less blower) yang tahan air. Itulah sebabnya BUC sangat
aman untuk ditempatkan secara outdoor di dekat antena parabola [perhatikan gambar 1(b)].
Belakangan ini sudah banyak ditawarkan produk Encoder yang dilengkapi dengan modul
DVB Modulator. Dengan demikian perangkat Up-Link menjadi lebih sederhana, praktis dan
kompak [perhatikan gambar 1(c)]. Hal ini sangat diperlukan terutama untuk perangkat UpLink jenis SNG yang memang harus didesain secara kompak, sederhana dan ringan.
Gambar 2: Diagram blok perangkat Up-Link & Down Link
Pada feed horn antena parabola umumnya sudah dilengkapi dengan dua port, yaitu port UpLink dan port Down Link. Kombinasi dua buah port yang berfungsi sebagai pemisah dua
sinyal dng polarisasi yang berbeda ini sering disebut dengan OMT (Ortho Mode Transducer).
Dengan adanya fasilitas OMT ini maka pada jalur Down Link bisa dipasang LNB dan
kemudian dihubungkan dengan IRD untuk menangkap siaran TV dari satelit (Perhatikan
gambar 2 di atas).
Dalam sistem komunikasi dua arah, perangkat Up-Link dan Down-Link seperti ini
merupakan suatu keharusan. Jika tidak, maka tidak mungkin akan terjadi komunikasi dua
arah. Namun dalam siaran TV, sistem komunikasi umumnya hanya dilakukan satu arah. Satu
pihak sebagai pemancar sedangkan pihak lain sebagai penerima saja. Konfigurasi perangkat
Down-Link yang tanpa Up-Link dan berfungsi sebagai alat penerima siaran TV dari satelit
sering disebut dengan TVRO (Television Receive Only). Pemasangan TVRO dalam
perangkat Up-Link sebagaimana terlihat dalam gambar 2 di atas dimaksudkan untuk
keperluan pengarahan antenna (pointing).
Sebelum antena parabola tepat mengarah ke satu satelit, perangkat Up-Link tidak boleh
dinyalakan. Jika tidak, antena yang digerak-gerakan pada saat pointing bisa saja tanpa
sengaja mengganggu satelit lain. Oleh karena itu keberadaan TVRO akan sangat membantu,
mengingat sifatnya yang hanya menerima saja, sehingga pointing dapat dilakukan dengan
aman dengan bantuan TVRO. Namun agar TVRO ini bisa menerima siaran TV yang free to
air, beberapa parameter perlu diketahui, seperti: nama satelit, polarisasi sinyal, frekuensi
down link, symbol rate dan FEC. Jika parameter ini sudah diketahui, dan 3 parameter yang
disebut terakhir dimasukan ke dalam IRD, maka antena bisa digerak-gerakan untuk
diarahkan ke satelit yang dituju. Pada saat IRD sudah mengeluarkan gambar berarti arah
antena itu sudah benar. Makin baik kualitas penerimaannya (bisa dilihat dari level sinyal dan
www.adoels77.blogspot.com
16
nilai Eb/No nya) berarti arah antena dan polarisasinya sudah mendekati tepat. Setelah itu
barulah perangkat Up-Link bisa dinyalakan, dan selanjutnya cross-pole harus dilakukan
untuk memastikan bahwa polarisasinya sudah tepat. Jadi dalam hal ini TVRO merupakan alat
bantu yang sangat praktis untuk keperluan pointing.
Di jaman dulu, pointing harus dilakukan dengan alat bantu yang disebut dengan Spectrum
Analyzer. Alat ini selain harganya mahal juga sangat sulit dioperasikan. Dulu ketika satelit
hanya digunakan untuk keperluan telekomunikasi saja, tidak ada alat bantu lain kecuali
Spectrum Analyzer. Namun ketika stasiun-stasiun TV kini sudah banyak yang
memanfaatkan satelit untuk mendistribusikan siarannya, maka TVRO menjadi alat bantu
yang sangat praktis dan murah untuk keperluan pointing. Fasilitas TVRO benar-benar sangat
membantu, terutama bagi teknisi SNG dimana pemasangan SNG ini sering kali harus
berpindah-pindah tempat, dan dalam waktu yang relatif singkat harus siap on-air.
Artikel selanjutnya: Portable SNG
BEBERAPA CONTOH PRODUK VIDEO ENCODER
SD/HD, MPEG2 / MPEG4-AVC
www.adoels77.blogspot.com
17
BEBERAPA CONTOH PRODUK DVB-S2 MODULATOR
www.adoels77.blogspot.com
18
BEBERAPA CONTOH PRODUK BLOCK UP-CONVERTER (BUC)
www.adoels77.blogspot.com
19
www.adoels77.blogspot.com
20
Comparison of High Power Amplifier Technologies:
TWTAs vs SSPAs
By Howard Hausman, Vice President, Engineering, MITEQ, Inc
Designers of high power communication systems are constantly evaluating and debating the
merits of using Traveling Wave Tube Amplifiers (TWTA) and Solid State Power Amplifiers
(SSPA) in their transmitting systems. Most decisions are made on personal preferences for
one technology over another. The reality is that both technologies have advantages and
disadvantages, with higher power levels and higher frequencies leaning toward the TWTA as
a better choice.
Full Disclosure
There have been many articles written on the subject of TWTAs versus SSPAs, usually by
manufacturers of one technology or the other. These articles invariably tend to favor the
author’s sponsored technology. In the interest of full disclosure, MCL, a manufacturer of
TWTAs, is a wholly-owned subsidiary of MITEQ, Inc. MITEQ is currently a manufacturer
SSPAs and plans on expanding this effort in the near future.
The reader is encouraged to weigh all of the facts and make an unbiased decision regarding
which technology is best suited for his or her respective communication project.
Traveling Wave Tube Amplifier (TWTA)
The concept: the Traveling Wave Tube (TWT) amplifies microwave energy through the
interaction of an electron beam and a slow wave structure. As the electron beam travels down
the slow wave structure, an energy exchange takes place between the particles and the RF
wave, effectively amplifying the RF signal.
The basic components of the TWT are the electron gun, the slow wave structure, and the
collector; see Figure 1.
www.adoels77.blogspot.com
21
The source of the electrons is known as the cathode, which is heated to approximately 1,000
degrees Celsius. With an application of a high voltage bias (cathode voltage, on the order of
10,000 volts) the electrons are drawn down the tube. The cathode has a finite source of
available electrons, which limits the operating life of the TWT. Well-designed TWTs have
been known to supply a beam of electrons in excess of one hundred thousand (100,000) hours
of continuous operation.
Solid State Power Amplifier (SSPA)
Solid state power amplifiers are usually divided into low power driver sections and high
power output stages. Gallium Arsenide Field Effect Transistors (GaAs FET) are used for
power amplification. To obtain high powers, many stages are fed in parallel from a medium
to high power amplifier and combined at the output; see Figure 2.
The power combiners, especially at higher frequencies can have considerable loss (0.5 dB to
1 dB plus the VSWR uncertainty factor), thereby limiting the number of parallel stages to
four (eight parallel stages are sometimes used but the amplifier efficiency can be severely
degraded). As an example, combining four amplifiers in parallel theoretically increases the
output power four times, but because of the coupler losses, the output power only increases
about three times. The primary power increases four times, lowering the overall amplifier
efficiency about 30%. In reality, the amplifier efficiency is even lower when considering the
fact that higher power driver amplifiers are necessary to power multiple parallel output
stages.
www.adoels77.blogspot.com
22
One advantage claimed by Solid State Amplifier manufacturers is the fact that when an
output stage fails, the amplifier is still operational. This is readily seen from the block
diagram, but in reality this is an oversimplification of the failure effect on system
performance. A sophisticated power maintenance technology must quickly restore the power
level. If a drive amplifier stage fails, a catastrophic failure results and the output signal is lost.
Comparing the TWTA and SSPA
TWTAs and SSPAs have both been proven to be very reliable alternatives that provide high
power microwave signals for satellite communications. They are very different technologies
and have very distinct advantages and disadvantages, which makes each more applicable to
some applications more than others.
Typically, SSPAs are rated in terms of their 1 dB compression points and TWTAs are rated
in terms of their saturated output power. Since most communication applications are
concerned with linearity, i.e. intermodulation distortion and spectral re-growth, the
technology comparison focuses on comparing units with equivalent performance in these
areas. This comparison focuses on power amplifiers with output levels that produce third
order intermodulation distortion less than -25 dBc and spectral re-growth less than -30 dB. At
these levels, the individual system designer must consider which parameters are most
important in the respective system before making a final decision on the preferred
technology.
www.adoels77.blogspot.com
23
Linearity, Intermodulation Distortion and Available Output Power
Linear performance is rated in terms of two tone intermodulation distortion for multiple
carriers and spectral re-growth for single carriers. These two are related in that the primary
distortion is caused by third order and fifth order intermodulation distortion, where third
order intermodulation is usually the dominant effect. Most amplifiers are characterized by
their output power and by inference at their third order intermodulation intercept point (the
imaginary point used to calculate third order intermodulation interference).
SSPAs are rated in terms of their 1 dB compression point, the output level where the
amplifier gain is decreased by 1 dB with respect to the small signal gain. TWTAs are rated by
their saturated power level, a point where the output level doesn’t change when the input
level is increased; see Figure 3. Saturation of an SSPA is generally 0.5 dB to 1 dB above the
1 dB compression point, which leads to an understanding of “Rated Power” as the
approximate maximum available power from the device. This is in general not a useful
operating level, but many times considered for emergency operation. Figure 3 compares
rated characteristics and equivalent linearity levels.
www.adoels77.blogspot.com
24
Useful levels of operation, in terms of spectral re-growth and multi-carrier interference, are
determined by the Intermodulation Intercept Points, of which the third order intermodulation
intercept point (IP3) is usually the most dominant in determining interference levels. The
general rule of thumb for SSPAs and TWTAs is:
1. IP3 for a SSPA is 7 dB to 10 dB above the 1dB compression point
2. IP3 for a TWTA is 2 dB to 5 dB above Psat
The higher IP3 is a typical value but, when it comes to committing to a minimum number, the
lower IP3 value is usually quoted.
Using this as a measure of comparing amplifier performance, it is obvious that a TWTA with
an equivalent linearity of an SSPA must be rated at three times the power, i.e. the TWTA
rated power must be 4.8 dB higher than the SSPA rated power (e.g. a 133 watt SSPA has the
same linearity performance as a 400 watt TWTA). On the surface, this looks like a very
dismal scenario for the TWTA, a fact which is exploited by many SSPA manufacturers.
When all of the facts are presented, the advantage is actually on the side of the TWTA.
www.adoels77.blogspot.com
25
As an example to prove this point, a 700 watt TWTA with 665 watts saturated power at the
flange will be compared to a leading SSPA manufacturer’s 200 watt power amplifier. The
665 watt TWTA with 10% more power than three times the 200 watt SSPA still has a clear
advantage over the SSPA. In addition, it must be noted that the linearity performance will be
equivalent, but the TWTA has about 2½ times more the available power than the SSPA.
Figure 4 is information from the MCL MT4000 data sheet. Note the output power, the backoff intermodulation characteristics, and the required AC power.
Efficiency of Operation, i.e. AC Power Consumption
One of the decided advantages of TWTAs over SSPAs is efficiency of operation. TWTAs
operating at rated power have a 30% to 40% efficiency compared to SSPA efficiencies,
typically less than 10%. Immediately it is obvious that TWTAs with three times the rated
power compare favorably if not advantageously with SSPAs at one third the rated power and
equivalent IP3s. In the area of efficiency, TWTAs actually have a decided advantage over
SSPAs because most applications, for linearity reasons, are conducted at a considerable
amount of back-off from rated power (typically 7 dB for TWTAs and 3 dB for SSPAs).
Under these conditions, both technologies operate less efficiently but the SSPA primary
power remains approximately the same, whereas the TWTA primary power decreases. The
TWTA rated at three times the SSPA actually consumes about 30% less power than a
linearity equivalent SSPA under actual operating conditions.
Consuming AC power is an important consideration in its own right, but the added benefits
are lower heat generation. Heat is well known to be exponentially related to reliability of the
power amplifier and all of the ancillary components in close proximity to the heat source.
www.adoels77.blogspot.com
26
Added to this TWTA advantage is the ability of the TWTA to operate at much higher
temperatures than the typical SSPA.
Figure 5 is a compilation of specifications from the data sheet of a major SSPA
manufacturer. The Ku Band unit outlined in red is compared to an MCL MT4000 TWTA
amplifier with a Psat of 665 watts at the flange. Figure 6 compares the efficiency of this 200
watt SSPA to the MCL 665 watt TWTA. The SSPA consumes 2800 watts of AC power and
the TWTA consumes 2400 watts of AC power at Psat, 16% less than the SSPA. Most of the
time, HPAs are used in a back-off mode; the out signal is significantly below the maximum
operating level. The SSPA power consumption is independent of signal level, whereas the
TWTA operates with significantly less AC in the back-off mode. The MCL MT4000 HPA
consumes less than 1650 watts in the back-off mode. Under these conditions, i.e. linear
operation, the TWTA uses 40% less power than an SSPA with the same linear characteristics.
• 200 Watt SSPA consumes 2800 Watts of AC Power
• 665 Watt Psat TWTA, 2400 Watts, AC Power at Psat (27.8% Efficient)
• 1650 Watts in back-off using 40% less power than the SSPA
Typical power consumption of a 200 watt SSPA, a 665 watt saturated TWTA and a 360 watt
TWTA with linearizer that have the same linearity performance characteristics is plotted in
Figure 6. The SSPA is backed-off 3 dB to 100 watts, the 665 watt TWTA is backed-off 7 dB
to 135 watts and the 360 watt TWTA with a linearizer is backed-off 4 dB to 145 watts; all
attain the same linear performance characteristics. The TWTA with and without linearizer
consume significantly less power than the 200 watt equivalent SSPA.
www.adoels77.blogspot.com
27
Size, Weight and Heat
The basic solid state power amplifier module is much smaller and weighs less than the basic
Traveling Wave Tube (TWT), so conceptually the size and weight of the SSPA should be
much smaller and lighter than the equivalent TWTA at three times the rated power of the
SSPA. In reality this is not the case; the heat generated in the SSPA is from a small
constellation of point sources which, due to the relatively low absolute maximum junction
temperatures, must be quickly dissipated. Aggravating this problem is that SSPA power is
achieved by combining multi-output devices (all point sources) that must be in close
proximity to affect low loss power combining, all generating a considerable amount of heat.
The heat generated must be dissipated quickly to prevent thermal transients from destroying
the RF modules. The required heat sinks and cooling systems not only totally negate the size
and weight advantage that the individual solid state power device has over the TWT, but
because of the lower efficiency of operation, in most cases the overall size and weight of the
TWTA is less than the SSPA.
An example of this is given by comparing MCL’s MT4000 665 watt power amplifier with a
competitor’s 200 watt SSPA. Both units are mounted in a 19 inch rack taking up 7 inches of
rack height, but the TWT is four inches shorter in depth, equating to 15% less volume used
by the TWT.
www.adoels77.blogspot.com
28
MCL MT4000
Ku-Band 665 Watt TWTA
Physical Specifications Dimensions:
7.00" H (178.00 mm)
19.00" W (483.00 mm)
24.00" L (610.00 mm)
Ku-Band 200 Watt SSPA
• Chassis:
19.0 x 7.0 x 28.0 in.
483 x 178 x 711 mm.
Reliability
Tubes are known to have a limited life and transistors do not. This, on the surface, suggests
that the reliability of solid state amplifiers should far exceed the reliability of tube amplifiers.
That would be true if the RF amplifier were the most failure prone component, which it is
not.
The following is a quote from a manufacturer of solid state power amplifiers:
“The reliability of the microwave power Gallium Arsenide Field-Effect Transistors (GaAs
FETs) used in today’s solid state power amplifiers is so good that their mean time between
failure (MTBF) is measured in millions of hours. Generally, other common electronics
components are more likely to fail than the output devices.”
www.adoels77.blogspot.com
29
In another article on TWTAs and SSPAs, the following statement was made:
“Reliability is also a major concern for users of power amplifiers. The largest study
performed on the relative MTBFs for the two types of amplifiers has been done on amplifiers
used in all the Intelsat satellites. The failure rate of the SSPA population was higher than the
TWTA amplifier population by about 15%. Therefore the user should consider similar
sparing philosophies for amplifiers when developing maintenance plans for Satcom
systems.”4
Most high power amplifier failures occur in the power supply system, whether it is high
voltage (TWTA) or high current (SSPA). With proper heat sinking and power handling, the
TWTA typical MTBF around 70,000 hours (including the tube) should be exceeded by Solid
State Power Amplifiers. In reality, most SSPA systems are redundant, with many advertising
redundant power supplies that are “hot swappable” for user convenience when they fail. This
is a good feature that suggests that this is a major problem for the ultimate user.
• Most failures in TWTAs and SSPAs are not in the RF devices
• Heat kills components
• Heat in TWTAs is less than or equal to the heat in SSPAs
SSPA Soft Failure Mode
Soft failures occur when one stage of an array of parallel power amplifier stages fails. The
other stages continue to operate and the power, instead of completely dropping out, decreases
from a few dB to about 6 dB (much worse for some of the more remote failure modes). The
worst case soft failure mode is when two stages are combined and one stage fails. This leads
to a 6 dB decrease in amplitude. When four stages are combined at the output (see Figure 7)
failure of a single stage (no signal) causes the output level to drop 3 dB; see Figure 8. When
the failed stage passes some signal and the phase of that signal is 180 degrees out of phase
with the other parallel signals, the output can decrease anywhere from 3 dB to 6 dB. Figures
9 and 10 show some possible soft fail scenarios for four and eight stages in parallel,
respectively. All of these possible scenarios result in a decrease in power that is unacceptable
for earth station operation.
www.adoels77.blogspot.com
30
Satellite earth stations must maintain power at the satellite within +/- 0.5 dB, of their preassigned level (under clear sky conditions). The soft failure mode of a solid state amplifier is
only a good feature when the system is equipped with an automatic failure recovery system,
one that makes up for the typical 3 to 6 dB power loss of a single amplifier stage. The most
prevalent failure recovery systems used by most earth stations in mission critical situations
are 1:1, 1:2, or 1:N redundancy configurations, where a spare HPA is automatically switched
into the main communications channel. The redundancy topology is used in both SSPA and
TWTA HPA systems. Failure in the driver stage of an SSPA results in a catastrophic failure.
Sources of Supply
The primary output amplifier in a TWT is obviously a Traveling Wave Tube. MCL designs
its TWTA with sufficient flexibility to be able to use tubes from multiple sources or vendors
without reconfiguring the HPA. There are usually multiple domestic or international vendors
that have designs or design their tubes specifically for MCL such that they readily drop into
MCL HPA sockets.
www.adoels77.blogspot.com
31
Field Effect Transistors (FET) used in the output stage of higher power SSPAs are mostly
foreign manufactured from a single source (some lower power, higher frequency devices are
manufactured domestically). Designs are based on solid state devices that are unique to the
product. Drop-in replacement devices rarely exist and usually require a redesign of the
amplifier, causing major problems for the manufacturer and its customers.
Conclusion
SSPA and TWTA are both viable alternatives to consider for power amplification in a
satellite earth station, with SSPA the more advantageous at lower power, i.e. less than 20
watts. At greater power levels, size, weight, and efficiency become important characteristics
that skew the preferred choice to the TWTA. The following table summarizes the comparison
of a 200 watt SSPA and a 665 watt TWTA, but this comparison typically can be scaled to
other power levels in the range of 50 watts to 2.5k watts. The TWTA advantage increases at
higher power levels and higher frequencies, where SSPA efficiency decreases.
www.adoels77.blogspot.com
32
200 Watt SSPA vs. MCL MT4000 700 Watt TWTA
SSPA
• 200 Watt P1dB (250 Watts Psat)
• 2800 Watts AC Power
• 7.1% Efficient
MCL MT4000
• 665 Watt Psat (Equivalent to SSPA 222 Watts)
• 2400 Watts AC Power at Psat (27.8% Efficient)
• 28% Efficient at Psat
• Back-Off (Usually Mode of Operation)
• 1650 Watts TWT vs. 2800 Watts SSPA
• TWTA uses 40% less power
TWT vs. SSPA Comparison
• MT4000 is 10% higher equivalent power
• Typically uses 41% less power
• 266% more available power
• Smaller size (24" vs. 28" length)
References
1. “Microwave PA Thermal Design for SATCOM Systems,” Stephen D. Turner, and Ahmed
M. Zaghlol, Jan 1, 2003.
2. “Power Amplifiers,” Robert A. Nelson, Via Satellite supplement, December 2004.
3. “A Comparison of SSPA and TWTA Amplifier Systems / Advantech” Application Note.
4. “Traveling Wave Tube vs. Solid State Amplifiers,” Stephan Van Fleteren Communications
and Power Industries (CPI, formerly Varian Associates).
www.adoels77.blogspot.com
33
4. OB-Van dan Mobile Up-Link / SNG-Van
OB-Van (Outside Broadcast Van) adalah kendaraan berupa Van yang berisi satu set
peralatan studio seperti: Sync Genarator, Video Switcher, Audio Mixer, Intercom dan
satu set perangkat Audio-Video Monitoring. Output dari OB-Van yang berupa sinyal audiovideo ini selanjutnya bisa direkam ke dalam pita cassete, hardisk atau dikirim ke studio
melalui satelit untuk keperluan siaran langsung (Live).
Perangkat yang digunakan untuk mengirim sinyal dari OB-Van ke studio melalui satelit ini
disebut dengan Up-Link. Perangkat Up-Link banyak juga yang digunakan untuk mengirim
berita, sehingga kemudian disebut dengan SNG (Satellite News Gathering) atau Alat
Pengumpul Berita (melalui Satelit). Perangkat SNG bisa juga dipasang secara permanen di
atas kendaraan dengan tujuan agar mudah diangkut tanpa harus melakukan ibongkar-pasang,
sehingga perangkat ini sering disebut dengan Mobile Up-Link. Kemudian mengingat
kendaraan yang paling sering digunakan adalah jenis Van maka akhirnya Mobile Up-Link
ini disebut dengan SNG-Van.
OB-Van dan SNG-Van pada dasarnya adalah dua sistem yang berbeda. Disiplin ilmu dalam
mengoperasikannya pun juga berbeda, karena OB-Van adalah perangkat produksi,
sedangkan SNG-Van adalah perangkat transmisi. Itulah sebabnya masing-masing perangkat
dapat beroperasi secara terpisah tanpa harus terikat satu sama lain. Kedua alat ini dibutuhkan
dalam satu kesatuan ketika produksi (di luar studio) sedang dilakukan dimana program yang
sedang diproduksi itu harus disiarkan secara langsung (Live). Dalam kasus seperti ini
perangkat produksi dan transmisi dibutuhkan secara bersamaan di satu lokasi. Bila kasus
seperti ini sering dilakukan, maka mudah dimengerti bila terdapat OB-Van yang sekaligus
sudah dilengkapi dengan perangkat Up-Link. Dalam hal ini OB-Van telah dirancang
sedemikian rupa sehingga sekaligus juga berfungsi sebagai Mobile Up-Link. Jadi perangkat
produksi dan perangkat transimisi disusun dalam satu Van.
2W bekerjasama dengan PT. Trimega Cipta Kreasindo (TritaK), spesialist komsat dan
autobody kendaraan SPV (Special Purpose Vehicle), menyediakan jasa layanan desain dan
implementasi OB-Van dan/atau SNG-Van.
www.adoels77.blogspot.com
34
www.adoels77.blogspot.com
35
5. CONTOH RANCANGAN SNG PORTABLE
Gambar 1: Contoh implementasi SNG menggunakan Portable Rack
www.adoels77.blogspot.com
36
Gambar 2: Diagram rancangan Portable SNG
Gambar 3: Contoh produk Portable Rack 8 RU (a) Penutup dipasang (b) Penutup
dibuka.
www.adoels77.blogspot.com
37
6. TVRO dan Stasiun Relay TV
Hukum alam menghendaki bahwa sebuah pemancar, betapapun besar daya pancarnya,
memiliki jarak jangkau yang terbatas. RCTI misalnya, meskipun daya pancarnya sudah
cukup besar (60 ribu watt) tetapi di kota Merak yang jaraknya hanya sekitar seratus kilometer
dari Jakarta, siaran RCTI sudah sulit diterima dengan jelas. Kalau begitu bagaimana mungkin
seseorang yang berada di Irian yang jaraknya lebih dari seribu kilometer dari Jakarta mampu
menangkap siaran RCTI? Kenyataannya, banyak masyarakat di Irian yang bisa menerima
siaran RCTI dengan baik. Lalu bagaimana caranya?
Caranya ialah dengan menggunakan Stasiun Relay. Setiap stasiun TV swasta nasional
memiliki perangkat Up-Link yang berfungsi untuk memancarkan siarannya ke arah satelit.
Kemudian oleh satelit siaran itu dipancarkan balik ke bumi dengan wilayah cakupan (foot
print) yang sangat luas. Sinyal yang dipancarkan oleh satelit ini kemudian dengan mudah bisa
ditangkap dengan menggunakan peralatan yang disebut TVRO (Television Receive Only).
Satu set TVRO terdiri dari: Antena Parabola, LNB, dan Satellite Receiver. Berhubung bagian
yang paling menonjol adalah antena parabolanya, maka orang awam sering menyebut TVRO
dengan sebutan Parabola saja. Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa untuk menerima
siaran TV itu harus menggunakan Parabola? Ya, karena sinyal dari satelit yang sampai di
bumi sangatlah lemah, sehingga perlu antena yang besar untuk menangkapnya. Antena yang
besar ini kemudian didesain sedemikian rupa sehingga sinyal yang ditangkap dapat
dikumpulkan ke satu titik yang disebut dengan titik api. Di titik api inilah kemudian sinyal
yang masih lemah ini diperkuat lagi menggunakan sebuah amplifier.
Amplifier yang digunakan noisenya harus sangat rendah. Amplifier yang seperti ini disebut
Low Noise Amplifier (LNA). Tapi mengapa harus low noise? Karena setiap amplifier
disusun dari rangkaian penguat yang bertingkat-tingkat. Di setiap tingkat akan selalu muncul
noise yang berasal dari dalam penguat itu sendiri. Noise yang muncul di tingkat pertama pasti
akan diperkuat oleh penguat tingkat kedua, ketiga dan seterusnya. Jadi makin besar noise
yang dihasilkan dari dalam penguat itu sendiri akan menjadi besar pula di tingkat paling
akhir. Oleh karena itu noise yang muncul haruslah sangat rendah. Jika tidak, yang diperkuat
bukannya sinyal input, tetapi malah noise itu sendiri. Jadi dengan amplifier yang low noise
sinyal input bisa diperkuat dengan sedikit sekali tambahan noise. Kini sudah banyak LNA
dengan noise yang sangat rendah (20 derajad Kelvin) sementara faktor penguatannya sangat
besar (60 dB). Gain yang besar dan noise yang rendah merupakan syarat ideal untuk sebuah
LNA.
Setalah sinyal dari satelit yang lemah tadi diperkuat oleh LNA, maka sinyal menjadi cukup
kuat untuk di geser frekuensinya. Ssinyal dari satelit yang semula frekuensinya 3,7 - 4,2 GHz
(C-band) digesar frekuensinya menjadi 950 - 1.450 kHz (L-band) dengan menggunakan
osilator lokal 5.15 GHz. Penggesaran frekuensi dari C-band ke L-band ini dilakukan di
dalam blok LNA, sehingga rangkaian LNA berikut rangkaian penggeseran frekuensi ini
kemudian disebut dengan Low Noise Blok Amplifier (disingkat menjadi LNB). Pengeseran
frekuensi dari C-band ke L-band dimaksudkan agar sinyal tersebut dapat disalurkan melalui
kabel coaxial yang lebih panjang. Melalui kabel coaxial inilah sinyal tersebut kemudian
dihubungkan ke pesawat penerima satelit atau IRD (Integrated Receiver Decoder). Penerima
satelit umumnya diletakkan di dalam ruang (indoor) sedangkan LNB diletakkan di luar ruang
(outdoor). Itulah sebabnya diperlukan kabel coaxial yang cukup panjunga untuk
www.adoels77.blogspot.com
38
menghubungkan keduanya. Di dalam pesawat penerima, sinyal diperkuat lagi, digeser
frekuensinya lagi dan di-demodulasi sehingga akhirnya menghasilkan sinyal audio dan video.
Sinyal audio-video inilah yang kemudian di masukkan ke input pemancar dan selanjutnya
dipancarkan agar bisa diterima oleh pesawat penerima televisi biasa. Itulah secara garis besar
cara kerja dari sebuah Stasiun Relay TV.
Gambar (1): Diagram stasiun relay TV melalui satelit
Jangkauan Pemancar TV tidak seluas jangkauan satelit. Pemancar TV rata-rata hanya bisa
menjangkau wilayah dalam radius sekitar 100 km, sedangkan satelit bisa menjangkau
wilayah ribuan kilometer persegi. Satelit Palapa-D misalnya, bisa menjangkau seluruh
Indonesia dan bahkan negara-negara tetangga seperti: Malaysia, Singapura, Brunei, Philipina,
Thailand, Papua Nugini dan sebagian wilayah Australia. Itulah sebabnya TV nasional yang
siaranya juga di up-link ke satelit bisa diterima di negara-negara tersebut dengan
menggunakan TVRO.
Bila materi siaran memiliki hak cipta, misalnya film-film Hollywood, sedangkan hak siar
yang dimiliki oleh stasiun TV hanya untuk wilayah Indonesia saja, maka materi siaran itu
tidak boleh disiarkan ke negara-negara tetangga. Padahal pancaran sinyal dari satelit sudah
pasti akan menjangkau negara-negara tetangga itu. Itulah sebabnya khusus untuk materi
siaran yang memiliki hak cipta seperti itu, sinyal up link sengaja diacak (scrambled).
Akibatnya siaran tersebut tidak bisa diterima oleh TVRO biasa. Hanya pesawat penerima
(IRD) yang dilengkapi dengan fasilitas anti acak (de-scrambling) saja yang bisa
menerimanya. Dengan kata lain hanya stasiun relay TV saja yang bisa menerima siaran itu,
karena IRD-nya sudah dilengkapi dengan kartu de-scrambling. Stasiun relay kemudian akan
memancarkan materi siaran itu ke wilayah jangkauannya. Jadi wilayah-wilayah yang berada
www.adoels77.blogspot.com
39
di luar jangkauannya tidak akan bisa menerima materi siaran itu meskipun sudah memiliki
parabola (TVRO). Demikian juga di negara-negara tetangga. Walaupun sudah memiliki
parabola (TVRO) tetapi negara-negara tetangga tetap tidak bisa menerima siaran itu karena
sinyalnya di acak.
7. Studio to Transmitter Link (STL)
Posisi antena pemancar yang paling ideal adalah di tempat yang tinggi. Tujuannya adalah
agar supaya radiasi gelombang radia yang dipancarkannya bisa secara bebas menjangkau
wilayah yang seluas-luasnya tanpa terhalang apapun. Sebab frekuensi kerja siaran TV berada
pada band UHF, sehingga untuk mendapatkan penerimaan sinyal yang baik adalah bila
antena pemancar dana antena penerima bisa saling melihat (Line of Sight). Untuk memenuhi
syarat ideal ini maka diperlukan menara yang cukup tinggi untuk menempatkan antena di
atasnya. Makin tinggi letak antena pemancar dengan sendirinya akan mudah dilihat oleh
antena penerima.
Namun ketinggian menara antena juga ada batasnya. Bukan saja karena makin tinggi harga
menara itu makain mahal, akan tetapi ketinggian menara seringkali dibatasi oleh Perda
(peraturan daerah). Sebab hal ini menyangkut keindahan tata kota atau karena masalah
keamanan penerbangan setempat. Untuk mengatasi masalah Perda ini kemudian menara
antena dipilih untuk ditempatkan di suatu tempat yang agak tinggi di pinggir kota. Sebagai
contoh misalnya Semarang. Di Semarang menara-menara TV hampir semuanya ditempatkan
di bukit Gombel, karena posisi tanahnya agak tinggi sehingga antena penerima siaran TV bisa
dengan mudah melihat ke arah ini. Demikian juga dengan Makasar, dimana menara-menara
TV banyak ditempatkan di Bili-bili yang letaknya di pinggir kota dan posisi tanahnya cukup
tinggi sehingga pacaraan sinyalnya bisa menjangkau wilayah yang sangat luas.
Di sisi lain, posisi yang ideal untuk peralatan produksi dan studio adalah di dalam kota.
Sebab jumlah personel yang terlibat di dalamnya jauh lebih banyak, dan koordinasi dengan
pihak luar pasti juga lebih mudah. Oleh karena itu posisi antara pemancar dan studio ini
menjadi ada jarak. Jaraknyapun seringkali juga tidak dekat. Malah ada yang mencapai 20 km
lebih. Nah agar sinyal dari studio ini bisa dipancarkan oleh pemancar diperlukan sebuah
saluran sebagai penghubung. Saluran penghubung ini kemudian disebut dengan STL (Studio
to Transmitter Link).
Ada tiga jenis STL yang bisa dipilih, yaitu: microwave, fiber optic atau satelit. Perangkat
satelit relatif mahal dan harga sewa transpondernya juga mahal. Fiber optic sangat lama
pemasangnnya dan butuh perizinan yang rumit untuk menggelarnya di sepanjang lintasannya.
Jadi dari tiga pilihan itu yang paling sering dipilih adalah microwave, karena perangkat
microwave harganya relatif lebih murah dan waktu pemasangannya relatif sangat cepat.
www.adoels77.blogspot.com
40
Gambar (1): Tiga pilihan STL, yaitu: (1) Microwave (2) Fiber Optic dan (3) Satelit
Dalam operasinya STL harus sangat handal, artinya link tidak boleh putus. Sebab kalau putus
berarti siaran tidak bisa berlangsung. Oleh karena itu STL harus dibuat redundant. Tujuannya
adalah bila satu link putus maka link satunya lagi akan menggantikannya. Dengan demikian
kehandalan link benar-benar terjamin. Mengenai konfgurasi redundant, cukup banyak
konfigurasi yang bisa dipilih, yaitu:
1. Konfigurasi 2 pasang microwave link, A dan B (A sebagai main dan B sebagai back up)
2. Konfigurasi 2 fiber optic link, A dan B (A sebagai main dan B sebagai back up)
3. Konfigurasi microwave sebagai main dan fiber optic sebagai back up
4. Konfigurasi microwave sebagai main dan satelit sebagai back up
5. Konfigurasi fiber optic sebagai main dan satelit sebagai back up
Konfigurasi nomor (1) adalah konfigurasi yang paling banyak digunakan oleh stasiun TV
lokal, sedangkan konfigurasi nomor (4) yang paling banyak digunakan oleh stasiun TV
nasional di Jakarta.
www.adoels77.blogspot.com
41
8. Digital Radio / Microwave Link
Karena alasan tertentu banyak pemancar TV yang terpaksa harus diletakkan di tempat yang
jauh dari studio, sehingga diperlukan saluran penghubung untuk mengirim sinyal gambar dan
suara dari studio ke pemancar. Saluran penghubung ini sering disebut STL (Studio to
Transmitter Link), dimana STL ini bisa berupa kabel coaxial, serat optik atau gelombang
radio. Menggelar kabel coaxial atau serat optik pada umumnya butuh waktu yang lama dan
sering menghadapi masalah non-teknis yang bertele-tele. Oleh karena itu pemakaian
gelombang radio dinilai paling praktis dan paling cepat pemasangannya.
Untuk keperluan tersebut, ebs (european broadcast systems) menawarkan Digital Radio Link
dengan features sbb.:
www.adoels77.blogspot.com
Download