DIKTAT ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN (RP09-1209) Eko Budi Santoso Ema Umilia Belinda Ulfa Aulia PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2012 LEMBAR PENGESAHAN 1. Program 2. Judul 3. Ketua Tim a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP d. Jabatan Fungsional e. Pangkat/Golongan f. Jabatan Struktural g. Bidang Keahlian h. Laboratorium i. Fakultas/Jurusan j. Tim No : Penulisan Diktat Tahun 2012 : Analisa Lokasi dan Keruangan (RP09-1209) : : Dr. Ir. Eko Budi Santoso, Lic.rer.reg. : Laki-laki : 196107261989031004 : Lektor : Penata Tingkat I / IIId : Kepala Laboratorium : Pengembangan Wilayah : Perencanaan Wilayah : FTSP / Perencanaan Wilayah dan Kota Bidang Nama lengkap keahlian Fakultas/Jurusan Instansi / Perguruan Tinggi 1. Ema Umilia, ST, MT Perenc. Kota FTSP/PWK ITS 2. Belinda U. Aulia, ST, MSc GIS FTSP/PWK ITS 4. Dana dan Waktu : a. Jangka waktu program yang diusulkan : 1 tahun b. Biaya yang disetujui tahun 2012 : Rp. 10.000.000,- Surabaya, 29 Nopember 2012 Mengetahui, Ketua Jurusan Perenc. Wilayah dan Kota Ketua Tim Putu Gde Ariastita, ST, MT NIP. 19780402 200501 1 003 Dr. Ir. Eko Budi Santoso, Lic.rer.reg. NIP. 19610726 198903 1 004 Menyetujui, Dekan FTSP Dr. Ir. Hidayat Soegihardjo M, MS. NIP. 19550325 198003 1 004 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME sehingga DIKTAT MATA KULIAH ANALISA LOKASI DAN KERUANGAN (RP-09-1209) dapat terselesaikan dengan baik. Diktat ini diharapkan dapat menjadi panduan mengajar yang lengkap tidak hanya bagi pengajar namun juga berguna bagi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Analisa Lokasi dan Keruangan. Sehingga diharapkan terdapat penyempurnaan atau pemutakhiran bahan mengajar baik melalui literatur maupun masukan dalam proses diskusi belajar-mengajar. Di dalam penyusunan diktat ini banyak pihak yang telah memberi kepercayaan dan membantu di dalam pelaksanaanya, untuk itu kami mengucapkan terima kasih. Penyusun, 2 KERANGKA MATERI DIKTAT Tujuan Instruksional Umum: Memberikan pemahaman tentang pengertian teori lokasi dan kedudukannya dalam perencanaan wilayah dan kota. Tujuan Instruksional Khusus: 1. Menjelaskan pengertian Teori Lokasi 2. Menjelaskan aspek Lokasi dan Implikasinya terhadap perencanaan wilayah dan kota 3. Menjelaskan ruang lingkup analisis lokasi dan keruangan 4. Menjelaskan faktor-faktor dasar penentuan lokasi 5. Menjelaskan permasalahan dalam penentuan lokasi Tabel 1. Pembahasan Diktat Berdasarkan Kompetensinya BAB Bab 1 Bab 2 Kompetensi Menjelaskan pengertian teori lokasi dan kedudukannya dalam perencanaan wilayah dan kota 1. 2. 3. 4. 5. 1. Menjelaskan teori lokasi klasik yang menjadi dasar perkembangan pendekatan analisis lokasi mutakhir Sub bab Pengantar Teori Lokasi Pengertian Lokasi dan Implikasinya Ruang lingkup analisis lokasi dan keruangan Faktor-faktor dasar lokasi Masalah Lokasi Teori Von Thünen: Land Use Theory 2. Teori Weber : ndustrial Location Theory 3. Teori Lösch dan Christaller : Central Place Theory 4. Teori Hotelling: Spatial Competition and Competitive Differentiation 5. Teori Alonso Bab 3 Bab 4 Menjelaskan pendekatan dalam 1. Dasar-dasar dan Analisis lokasi kegiatan analisis lokasi beberapa komponen industri kegiatan kota dan wilayah seperti perumahan, pemerintahan, 2. Dasar-dasar dan analisis lokasi kegiatan perdagangan (retail) industri, komersial, fasilitas sosial 3. Dasar-dasar dan analisis lokasi fasilitas dan ekonomi 4. Dasar-dasar dan analisis lokasi Permukiman Mampu mengimplementasikan 1. Aplikasi Multicriteria Analysis untuk teknik analisis yang sesuai untuk menentukan pemilihan lokasi mengkaji aspek lokasional 2. Perspektif analisis keruangan dan Analisis 3 BAB Kompetensi Sub bab komponen kegiatan wilayah dan interaksi keruangan kota 3. Analisis sistem pusat permukiman dan komposisi keruangan 4. Aplikasi SIG untuk Analisis interaksi keruangan 4 BAB 1. TEORI LOKASI DAN KEDUDUKANNYA DALAM PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA 1.1. Pengantar Teori Lokasi Pengertian lokasi lokasi diartikan sebagai tempat, posisi, site, tapak, ruang lokasi absolut: posisi yg dikaitkan dengan sistem grid konvensional, contoh: Washington D.C. posisinya 38°50’ LU dan 77°00’ BB lokasi relatif: posisi yg dikaitan dengan lokasi lainnya, contoh: malang terletak 90 km di sebelah Selatan Surabaya lokasi dapat dinyatakan dalam bentuk node (simpul), network (jejaring), area KONTEKS LOKASI RELATIF social space: jumlah kontak sosial yg terjadi dalam waktu tertentu (jumlah kontak per minggu) cost space: biaya yg dikeluarkan untuk interaksi antar simpul (rupiah) time space: waktu yg dibutuhkan untuk interaksi antar simpul (jam, menit) absolute space: jarak fisik antar dua simpul (kilometer) 1.2. Persoalan Lokasional dan Spasial Distribusi spasial: karakteristik ruang/lokasi frekuensi kegiatan (harian, mingguan, bulanan) pola lokasional (terpusat, tersebar) keterkaitan antar kegiatan Struktur spasial dan proses spasial menentukan distribusi spasial struktur spasial bersifat static phenomena proses spasial bersifat dynamic phenomena struktur spasial dan proses spasial merupakan circularly causal (hubungan sebab akibat) Sifat Distribusi Discrete distribution terdiri dari kumpulan kejadian yang berbeda - rumah, pabrik, pompa bensin ketika dinyatakan secara terpisah dalam suatu area Continuous distribution bila ada kejadian yang terkait 5 - temperatur udara dan air bersifat kontinyu dalam suatu area tergantung pada sirkulasi udara Contingent distribution bila besaran distribusi dinyatakan dalam bentuk area atau waktu - produksi dinyatakan dalam ton, rupiah per hektar, atau jarak tempuh per jam Pola Distribusi Pola Statis: pola distribusi yg menggambarkan waktu tertentu dengan mengukur lokasi, susunan, dan besaran yg dapat diuraikan untuk kurun waktu tertentu - distribusi pusat perbelanjaan atau rumah sakit di area metropolitan Pola Dinamis: pola distribusi menggambarkan perubahan yang terjadi pada periode waktu yg berbeda - persebaran permukiman dapat dilihat untuk waktu yg berbeda dan diperbandingkan Pola Jejaring: pola didefinisikan oleh garis batas atau penghubung (link) antar simpul dalam suatu sistem transportasi - sirkuler, heksagonal, linier digunakan untuk menggambarkan jaringan transportasi Pola Normatif: pola yang “seharusnya” dengan pemberian asumsi tertentu - mengindikasikan suatu pola yg diuraikan dari prinsip teoritis yg dapat diperbandingkan dengan pola dunia nyata Penentuan proses dan struktur dalam distribusi spasial terkait: Perspektif waktu yang digunakan - PERGERAKAN MANUSIA DENGAN KENDARAAN ATAU JALAN KAKI MERUPAKAN hasil struktur spasial dari obyek seperti jalan, rel kereta, airport, sidewalk kecepatan proses perubahan - pilihan manusia terhadap aktifitas pertanian, industri, komersial menghasilkan econimic spatial structure catatan: lebih mudah membuat peta distribusi phenomena fisik yg statis dibanding pergerakan manusia, motif pergerakan, atau membuat keputusan untuk itu 1.3. Implikasi Lokasi Biaya transportasi: aktivitas memilih lokasi yg dapat meminimalkan ongkos angkut Jangkauan pelayanan: aktivitas memilih lokasi yg dapat memaksimalkan pelayanan Agglomerasi: keuntuntungan/ keunggulan lokasional yg diperoleh beberapa aktivitas bila mengelompok pada suatu area tertentu 6 Struktur Kota: tatanan berbagai aktivitas kota yg dicirikan dari pola penggunaan lahannya Distribusi Spasial Berdasarkan Aktivitas Aktivitas Primer, adalah aktivitas yang mengandalkan hasil hutan, tambang, perikanan, pertanian yang nonkomersial. Aktivitas Sekunder, adalah aktivitas yang melibatkan produksi massal seperti mekanisasi pertanian, buruh pabrik. Aktivitas Tertier, adalah aktivitas pemenuhan dan distribusi kegiatan jasa. Aktivitas Kuarter, adalah aktivitas yang menggunakan pemrosesan informasi untuk pekerjaan (Information & Communication Technology) 1.4. Teori Lokasi Teori Lokasi membahas pertanyaan penting tentang Siapa (Perusahaan, Individu, Pemerintah) yang memproduksi barang atau jasa tertentu pada Lokasi yang mana, dan Mengapa memilih lokasi tersebut Banyak kebijakan pemerintah yang melibatkan upaya untuk mengalihkan/mengarahkan kegiatan produksi, yang pertama harus diteliti adalah dasar keputusan-keputusan lokasi awal untuk memahami dampak insentif yang dapat mengubah pola lokasi Pendekatan Teori Lokasi Typically researchers in location theory have been concentrating very much on the resolution (optimization phase) of a given problem (Stefan Nickel, Justo Puerto. 2005). Proses pemecahan masalah pemilihan lokasi: - Definition of the problem - Identification of side constraints - Choice of the right objective function(s) - Data collection - Data analysis (data mining) - Optimization (actual resolution) - Visualization of the results - Discussion if the problem is solved or if the phases have to be started again. 7 1.5. Locational Analysis Locational analysis was originally the central question of regional economics. Based on the earlier work of Von Thiinen, Weber, Losch, Christaller and others, locational analysis has succeeded in developing an impressive series of theoretical contributions and empirical analyses in order to provide adequate answers to the question where (and why) specific economic activities are taking place in a given spatial system. (P. NIJKAMP and E. S. MILLS (1986) Perkembangan Teori Lokasi Location Theory has shifted its attention away from “hard” (cost) factors, relating to the proximity of markets and suppliers, towards relatively “soft” factors as the (perceived) quality of institutions, knowledge levels and environmental quality. Tabel 2.Perubahan Kecenderungan Lokasi Sumber: Mathijs Assink & Nico Groenendijk (2009) Location Analysis Location Analysis Tools Help Starbucks Brew Up New Ideas - The phenomenal growth at Starbucks Coffee Co. has been aided with the help of site selection technology to strengthen the decision-making process of strategic planning and market development. 8 Faktor-Faktor Penentu Lokasi Faktor Teknologi: terkait dengan penyediaan infrastruktur (jalan raya, pelabuhan, bandara, irigasi, etc.) Faktor Ekonomi dan Geografi: kenyamanan lingkungan, kemampuan membayar (willingness to pay), akses terhadap pasar, etc. Faktor Politis: terkait kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Zoning, Kemudahan Fiskal, etc. Faktor Sosial: terkait perilaku masyarakat, sosial-budaya, privasi, etc. Referensi: 1. Mathijs Assink & Nico Groenendijk (2009) SPATIAL QUALITY, LOCATION THEORY AND SPATIAL PLANNING, Paper presented at Regional Studies Association Annual Conference 2009, Understanding and Shaping Regions: Spatial, Social and Economic Futures, Leuven, Belgium, April 6-8, 2009 2. Peter Nijkamp, ed.(1986) HANDBOOK OF REGIONAL AND URBAN ECONOMICS: VOL. 1 REGIONAL ECONOMICS, North-Holland 3. Stefan Nickel, Justo Puerto. (2005). LOCATION THEORY: AN UNIFIED APPROACH. Springer Verlag. Berlin. 4. Chan, Yupo. 2011. Location Theory and Decision Analysis: Analytics of Spatial Information Technology. Springer. New York. 9 BAB 2. TEORI LOKASI KLASIK YANG MENJADI DASAR PERKEMBANGAN PENDEKATAN ANALISIS LOKASI MUTAKHIR 2.1. Teori Von Thünen: Land Use Theory Teori Von Thunen merupakan teori dasar atau teori klasik dalam teori lokasi. Teori ini mengawali perkembangan teori lokasi berikutnya. Analogi yang digunakan masih sangat sederhana yaitu terkait analisis lokasi wilayah perdesaan dengan sistem lokasi yang sederhana. 2.1.1. Aspek Lokasi/Spasial Hukum Geografi “ Tobler” “setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan lebih dari yang lainnya”, (Tobler dalam Rustiadi, 2009). Aspek lokasi/spasial landasan lokasi dan ruang/spasial (Tarigan , 2005) ruang adalah permukaan bumi, baik yang ada di atasnya maupun yang ada di bawahnya sepanjang manusia bisa menjangkaunya. lokasi menggambarkan posisi pada pada ruang. Dalam konteks wilayah, lokasi menggambarkan keterkaitan antar kegiatan di suatu lokasi dan berbagai kegiatan lainnya di lokasi lain ( faktor kedekatan lokasi/spasial). Teori lokasi ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial. (Tarigan, 2005) 2.1.2. Perkembangan Teori Lokasi Analisis Lokasi Analisis lokasional merupakan pertanyaan initi dari ilmu ekonomi wilayah. Analisis-analisis lokasional pada dasarnya berupaya mencari jawaban-jawaban tentang “ dimana” dan “ mengapa” aktivitas ekonomi memilih lokasi (Rustiadi, 2009). 10 Teori-teori lokasi klasik Pada awalnya (hingga 1950-an), teori lokasi hanya didominasi oleh pendekatanpendekatan geografis-lokasional atau disebut sebagai karya-karya teori lokasi klasik (Von Thunen, Weber, Palander, Hotteling, Predhol, Losch, dan lainnya) Teori-teori lokasi neoklasik Setelah tahun 1950-an, teori lokasi berkembang dengan analogi-analogi ilmu ekonomi umum, dan diperkaya oleh analisis-analisis kuantitatif standar ilmu ekonomi, khususnya ekonometrika, dynamic model dan model-model optimasi seiring berkembangnya cabang ilmu regional science. Perkembangan mutakhir teori lokasi Sejak akhir 1980-an mulai tumbuh pendekatan-pendekatan metodologis kuantitatif yang mempertimbangkan aspek spasial, terkait dengan perkembangan metode-metode statistika spasial, ekonometrika spasial dan SIG. 2.1.3. Model Von Thunen Teori Lokasi Von Thunen ditulis oleh Johan Heinrich Von Thunen tahun 1826. Teori lokasi Von Thunen diawali oleh analisis lokasi areal produksi pertanian. Karyanya berjudul ‘Der Isolierte Staat (The Isolated State atau Negara yang Terisolasi). Von Thunen menggambarkan negeri yang terisolasi dengan iklim dan tanah yang seragam, topografi yang seragam dan datar, serta alat-alat transportasi yang seragam yang hanya dilayani oleh kereta yang ditarik oleh hewan atau ternak. Asumsi yang digunakan: Areal pertanian satu ragam (uniform) dalam atribut lingkungannya Hanya ada satu pasar akibat lokasi yang terisolasi Transportasi sejenis dan biaya transportasi meningkat bersamaan dengan jarak terhadap pasar. Semua petani bertindak rasional/ ekonomis, yang penggunaan lahannya untuk memaksimumkan profit, mereka mempunyai info yang cukup mengenai biaya produksi dan harga pasar. Pola ruang dengan bentuk wilayah yang melingkar seputar kota zona-zona konsentrik. Area Isolated State : model ideal dengan karakteristik wilayah yang terisolasi (bagan bagian atas) 11 Modified Condition: keberadaan sungai dan sub centre/pasar lainnya (bagan bagian bawah) Klasifikasi zona: zona 1-6 Tabel 3. Pola Land Use Von Thunen Pola Land Use Model Von Thunen Keterangan Klasifikasi zona: 1. Zona 1: paling mendekati kota/pasar, diusahakan tanaman yang mudah rusak (highly perishable), seperti sayuran dan kentang (free cash cropping) 2. Zona 2: merupakan hutan dengan hasil kayu (foresting) 3. Zona 3: menghasilkan biji-bijian seperti gandum, dengan hasil yang relatif tahan lama dan ongkos transportasi murah 4. Zona 4: merupakan lahan garapan dan rerumputan yang ditekankan pada hasil perahan seperti susu, mentega dan keju. 5. Zona 5: untuk pertanian yang berubahubah, dua sampai tiga jenis tanaman 6. Zona 6: berupa lahan yang paling jauh dari pusat, digunakan untuk rerumputan dan peternakan domba dan sapi. Konsep dasar model Von Thunen adalah; membuat kurva hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar.(Nugroho, 2004) Sewa lahan / Land Rent adalah nilai atau harga yang dihubungkan dengan aset-aset yang memberikan aliran produksi san jasa sepanjang lahan dipergunakan (Mills dalam Nugroho, 2004). Sehingga, sewa lahan merupakan residu (privat profit) dari perolehan-perolehan ekonomi penggunaan lahan sesudah dikurangi biaya konstruksi dan operasi. 12 Model Von Thuenen FORMULA SEWA LAHAN : R = E ( p – a ) – E. f. k DIMANA: R = Sewa Lahan E = Produksi per unit area p = Harga per unit komoditi a = Biaya produksi per unit komoditi f = Ongkos angkut per unit jarak per unit komoditi k = Jarak terhadap pasar Konsep dasar model Von Thunen adalah; membuat kurva hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar.(Nugroho, 2004) Gambar 1. Model Von Thunen dengan Satu Komoditas Bila ada lebih dari satu komoditas, maka akan didapati sewa lahan yang paling optimum untuk setiap komoditas. Gambar 2. Model Von Thunen dengan Zero Rent Margin 13 Gambar 3. Aplikasi Zone Konsentrik Von Thunen Studi Kasus Petani menanam jeruk dengan hasil panen 2 ton/ha, sedangkan harga jeruk di pasar Rp. 5 juta/ton dan biaya produksi Rp. 1.5 juta/ton. Untuk mengangkut jeruk ke pasar diperlukan biaya Rp. 100 ribu/ton/km. Berapa jauhkah jarak maksimum dari pasar yang memungkinkan petani untuk menanam jeruk? Jawaban:....? R = E ( p – a ) – Efk R = 2 ( 5 – 1.5) – (2)(0.1)k asumsi R = 0 artinya sewa lahan Nol/tidak ada privat profit/tidak memungkinkan lagi untuk menaman jeruk. 0 = 10 – 3 – 0.2k 0.2k = 7 ------- k = 35 km sebagai jarak maksimum 14 Latihan Komoditas A B C D Harga Pasar (Rp/Kg) 600 100 500 600 Hasil (ton/Ha) 1 3 2,5 1 Biaya Produksi (Rp/Kg) 400 25 350 550 Biaya Transport (Rp/Km/Kg) 1,5 2,5 3 2 1. Komoditas apa yang ditanam pada areal yang dekat dengan pasar? 2. Komoditas apa yang paling jauh dari pasar? 3. Gambarkan dalam diagram von thunen kelima komoditas diatas! 2.1.4. Aplikasi Model Von Thunen Penerapan Model Von Thunen dapat diaplikasikan pada identifikasi pola land use dan menjelaskan fenomena Urban Sprawl. Hal ini dapat dikaitkan dengan model Von Thunen Land Rent yang menjelaskan Urban bid-rent Curve (distance decay function), hal ini digunakan sebagai basis analisis bagi penggunaan lahan dan merupakan komponen dasar dalam model penggunaan lahan masa kini. Berikut ini adalah aplikasi model Von Thunen. 15 (buku: Community Economic,Theory & Application) Gambar 4. Pola Land Use pada Model Von Thunen Von Thunen Land Rent Urban bid-rent Curve (distance decay function) Aplikasinya pada land use Digunakan untuk melihat sejauh mana alokasi geografis suatu kegiatan di suatu wilayah. (buku: Community Economic,Theory & Application) Gambar 5. Urban bid-rent Curve 16 Fenomena Urban Sprawl: Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (Yunus: 125, 2000) The areal expansion of urban concentrations beyond what they have been. Urban sprawl involves the conversion of land peripheral to urban center that has previously been used for non urban uses to one or more urban uses (Notham, 1975) The continuos expansion around large cities, where by there is always a zone of land that is in the process of being converted from rural to urban use (Harvey dan Clark, 1971) The growth of metropolitan area through the process of development of miscellaneous types of land use in the urban fringe area (Domouchel, 1976) Faktor Urban Sprawl : Gerak Sentrifugal (Daldjoeni, 1987) Gerak sentrifugal gerak keluar dari penduduk dan berbagai usahanya dispersi kegiatan manusia dan relokasi zona-zona kota Hal yang mendorong gerak sentrifugal (Daldjoeni, 1987): Gangguan yang berulang, seperti kemacetan dan polusi Industri modern memerlukan lahan relatif kosong di pinggiran kota memungkinkan pemukiman tidak padat dan bebas kemacetan Sewa tanah yang jauh lebih murah dibandingkan dengan di tengah kota Terbatasnya perluasan ruang keterbatasan lahan di tengah kota Perumahan di dalam kota umumnya sempit, kuno, tidak sehat perumahan di pinggir kota dapat lebih sehat, luas, model mutakhir Sebagian penduduk secara naluri berkeinginan menghuni wilayah di luar kota yang terasa lebih alami Model Von Thunen dalam menjelaskan fenomena Urban Sprawl Penjelasan urban sprawl melalui model Von Thunen: Prinsip penggunaan lahan: highest and best Penggunaan lahan untuk pertanian dan kehutanan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan untuk perumahan, industri, komersial harga komoditi dianggap stabil kurva bid-rent relatif flat dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya Asumsi terjadi pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan Latar Belakang Pertumbuhan urban sprawl Ekonomi meningkat stimulasi pasar tenaga kerja pengangguran lebih rendah dan pendapatan pekerjaan lebih baik makin banyak perumahan baru permintaan 17 lahan untuk perumahan, industri, komersial meningkat alokasi geografis akan permintaan lahan juga meningkat. Dampak Pertumbuhan Permintaan meningkat akan lahan suplai lahan dengan pengubahan guna lahan terjadi konversi lahan peningkatan harga lahan pergeseran bid-rent curve pergeseran edge of city “URBAN SPRAWL” Model Von Thunen dalam menjelaskan fenomena Urban Sprawl (buku: Community Economic,Theory & Application) Gambar 6. Fenomena Urban Sprawl Aplikasi Model Von Thunen Model Von Thunen merupakan dasar teori dalam pengembangan teori lokasi selanjutnya. Model Von thunen dalam perkembangan mengalami penyempurnaan dari para ahli lainnya, untuk dapat lebih menjelaskan gambaran kompleks analisa lokasi saat ini, akibat perkembangan teknologi transportasi, teknologi produksi. Sehingga hambatan jarak menjadi relatif. 18 Referensi: 1. Perencanaan dan pengembangan Wilayah (2009), Ernan Rustiadi, Sunsun saefulhakim, Dyah R. Panuju. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta 2. Perencanaan Pembangunan Wilayah (2005). Robinson Tarigan. Bumi Aksara. Jakarta 3. Pembangunan Wilayah; Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan (2004). Iwan Nugroho dan Rochmin Dahuri. LP3ES. Jakarta. 4. Community Economic: Theory & Application, second edition.(2004). pengarang: Ron Shaffer, Steve Deller, Dave Marcouiller. Penerbit: Blackwell Publishing. 2.2. Teori Weber : Industrial Location Theory In 1909 the German location economist Alfred Weber formulated a theory of industrial location in his book entitled Über den Standort der Industrien (Theory of the Location of Industries, 1929). Weber's theory, called the location triangle, sought the optimum location for the production of a good based on the fixed locations of the market and two raw material sources, which geographically form a triangle. He sought to determine the least-cost production location within the triangle by figuring the total costs of transporting raw material from both sites to the production site and product from the production site to the market. The weight of the raw materials and the final commodity are important determinants of the transport costs and the location of production. Commodities that lose mass during production can be transported less expensively from the production site to the market than from the raw material site to the production site. The production site, therefore, will be located near the raw material sources. Where there is no great loss of mass during production, total transportation costs will be lower when located near the market. Gambar 7. Weber’s Triangle 19 Perhitungan indeks bahan baku (IB) IB = Bobot bahan baku local / Bobot produk akhir Keterangan: - IB > 1, perusahaan akan berlokasi dekat ke bahan baku, - IB < 1, perusahaan akan berlokasi dekat ke pasar Konsep ini dijelaskan dengan menggunakan segitiga lokasional, di mana lokasi optimum (p) adalah keseimbangan antara kekuatan yang ditimbulkan oleh sumber bahan baku (input 1 dan input 2) dan titik pasar (market). Untuk mengetahui apakah lokasi optimum lebih dekat ke sumber input atau pasar, digunakan index bahan, yaitu perbandingan berat input bahan lokal dengan berat produk akhir. Asumsi teori Weber: 1. Unit studi terisolasi, homogen, konsumen terpusat di titik tertentu, semua unit perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas (persaingan sempurna). 2. Sumber daya alam: air, pasir, lempung, tersedia di mana-mana (ubiquitous) 3. Bahan lainnya seperti mineral dan biji besi tersedia terbatas pada sejumlah tempat (sporadis) 4. Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, mengelompok pada beberapa lokasi dan mobilitasnya terbatas. Isotim dan Isodapane Isotim is line of equal transit costs from a alocation. Market isotim+input isotims + total cost Isodapanes is lines of equal total cost between all points within a production system (equal sum of isotims) Gambar 8. Isotim 20 Gambar 9. Isodapane FAKTOR LOKASI MENURUT ALFRED WEBER (1909) Berdasarkan kelaziman yg terjadi Berlaku umum dan praktis untuk setiap kegiatan industri (biaya transport, biaya tenaga kerja, biaya lahan, etc.) Berlaku khusus dan hanya terjadi pada kegiatan tertentu pada bobot (bahan mentah dan produk mudah busuk, kelembaban udara, aliran air) Berdasarkan pengaruh ruang Faktor regional dimana industri tertarik pada aspek geografis tertentu, jaringan utama orientasi industri (ketersediaan lahan, simpul transportasi, tempat bongkar-muat, pelabuhan). Faktor regional yang murni ekonomi adalah harga bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya transport Faktor aglomerasi/deglomerasi dimana dalam jaringan utamanya tidak tergantung pada orientasi geografis, antar industri saling terkait atau saling berjauhan (menekan harga melalui produksi massal, penggunaan mesin yg lebih baik (internal faktor), ketersediaan bantuan (eksternal faktor) Berdasarkan sifat dan keadaan Faktor alamiah dan teknis: posisi dan iklim, tingkat upah (umr), kualitas tenaga kerja Faktor sosial budaya: tingkat suku bunga, tingkat pendidikan, tingkat kinerja Referensi: Alfred Weber and Subsequent Developments (http://faculty.washington.edu/krumme/450/weber.html) 21 in Industrial Location Theory 2.3. Teori Lösch dan Christaller : Central Place Theory Teori Christaller (1933) Model Christaller menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold. Teori Central Place diperkenalkan pertama kali pada tahin 1933 oleh seorang Geographer Walter Christaller yang menjelaskan distribusi spasial kota dalam suatu ruang. Pada suatu pusat kotadi Selatan Jerman, Crhristaller berpendapat bahwa tujuan utama sebuah pusat permukiman atau pasar adalah menyediakan barang dan jasa untuk populasi di lingkungan sekitarnya. Teori Central place menggunakan konsep dasar threshold dan range. Lokasi atas suatu tempat ditentukan oleh threshold-nya, atau kebutuhan area pasar minimum atas suatu barang maupun jasa untuk dapat ditawarkan secara ekonomis, contohnya membawa sebuah perusahaan dapat mengadakan barang dan jasa dan menjaganya menjadi sebuah bisnis. Christaller menyarankan bahwa setiap lokasi mengembangkan pasarnya sampai rangenya atau ukuran maksimum/jarak maksimum dimana konsumen mampu melakukan perjalanan untuk menjangkau suatu komoditi atau jasa. Dalam kondisi ideal pusat pasar dengan ukuran dan fungsi yang sama akan memiliki jarak yang sama satu sama lain. Gambar 10. Ilustrasi Range dan Threshold Teori Christaller mengasumsikan kondisi ideal dimana sebuah dataran homogen yang sama dengan kepadatan populasi dan daya beli yang sama. Dalam hal ini, teori central place mirip dengan teor lokasi Weber dan Von Thunen, dimana lokasi diasumsikan euclidean, dataran isotropic dengan kemampuan daya beli konsumen yang sama besar ke segala arah. Christaller menyarankan bahwa barang dan jasa dapat dikategorikan menjadi rangkaian tingkatan dari kekhususan rendah atau orde dasar (seperti produk pangan) sampai orde tinggi atau memiliki kekhususan tinggi (seperti sebuah tingkatan layanan kesehatan atau tingkatan alat-alat rumah tangga maupun kendaraan). Misal: dilakukan kategorisasi atau pengelompokan produk. Kelompok 1: diperlukan sehari-hari: produk pangan. Kelompok 2: diperlukan setiap 3 bulan sekali: sandang, peralatan rumah tangga, dll. Kelompok 3: diperlukan setahun sekali: furniture. Kelompok 4: barang mewah, kendaraan. Semakin tinggi kelompok barang, range dan threshold nya semakin luas. Dalam konsep ruang, makin luas wilayah pemasaran suatu barang, ordenya semakin tinggi. Pada contoh diatas, barang kelompok 4 22 termasuk pada orde I, barang kelompok 3 sebagai orde II, dst. Masing-masing item atau jasa memiliki optimal market areanya masing-masing dan dapat digambarkan sebagai sebuah radius lingkaran. Untuk memastikan bahwa seluruh bagian dataran terlayani, maka seluruh lingkaran market area harus tumpang tindih. Hasil polanya dapat digambarkan menggunakan bentuk geometrik lingkaran, segi enam, dan segitiga. Gambar 2.3.2 Gambar 11. Bentuk Heksagon dapat Mengisi Ruang secara Efisien Asumsi Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait teori Christaller adalah terori tersebut berdasar pada sebuah asumsi dimana model tersebut tidak dapat diterapkan pada situasi yang realistis. Asumsi yang digunakan adalah: 1. Permukaan bumi datar, tak terbatas, dan memiliki sumber daya yang homogen dimana tersebar secara merata atau dengan kata lain tidak terdapat perbedaan kondisi geografis; 2. Tidak terdapat batasan administrasi dan politis yang dapat menyimpangkan perkembangan permukiman 3. Tidak terdapat eksternal ekonomi yang mengganggu pasar 4. Populasi tersebar secara merata diseluruh area dan tidak terdapat pusat permukiman 5. Banyak pedagang kecil menawarkan produk yang sama dan tidak ada keragaman produk 6. Semua pembeli memilik daya beli yang sama 7. Biaya transportasi sama ke semua arah dan ragamnya sebanding dengan jarak 8. Pembeli membayar biaya transportasi produk atau layanan 9. Tidak ada akomodasi untuk inovasi atau kewirausahaan. Proses Model Christaller Mula-mula terbentuk area perdagangan satu komoditi berbentuk lingkaran dengan range dan threshold tertentu. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dari komoditi tersebut, lingkaran ini tidak tumpang tindih. Kemudian digambarkan lingkaran berupa range dari komoditi tersebut yang tumpang tindih. Range yang tumpang tindih dibagi antara dua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal heksagonal yang menutupi seluruh wilayah yang tidak tumpang tindih. Tiap komoditi berdasarkan tingkatan rodenya memiliki heksagonal sendiri-sendiri. Dengan menggunakan k = 3, barang orde I lebar heksagonalnya 3 kali heksagonal barang orde II, dst. Tiap heksagonal memiliki pusat yang besar-kecilnya sesuai dengan besarnya heksagonal tersebut. Heksagonal yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih, tetapi antara 23 heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang tindih. Terdapat komoditi yang range nya luas, sedang, atau kecil. Hirarki yang sama memiliki daerah pemasaran yang tidak tumpang tindih, tetapi hirarki yang berbeda memiliki daerah pemasaran yang tumpang tindih. Berbagai jenis barang pada orde yang sama cenderung bergabung pada pusat dari wilayahnya sehingga pusat itu menjadi lokasi konsentrasi (kota)/central place. Pusat dari hirarki yang lebih rendah berada pada sudut dari hirarki yang lebih tinggi sehingga pusat yang lebih rendah berada pada pengaruh tiga hirarki yang lebih tinggi. Pusat dari beberapa wilayah yang lebih rendah berada di dalam heksagonal dari pusat yang lebih tinggi. Walaupun heksagonal hanya menggambarkan wilayah pemasaran dari barang dengan orde yang berbeda, tetapi christaller mengaitkan teorinya dengan susunan orde perkotaan. Ada kota yang menjual barang orde IV, III, dst. Kota yang menjual barang orde tertinggi sampai terendah dinyatakan sebagai kota orde I. Makin rendah orde barang yang bisa disediakan oleh suatu kota, orde kotanya juga makin rendah. Gambar 12. Konsep Heksagon Christraller yang Mendasari Teori Orde kota Kondisi ini menimbulkan beberapa kota memiliki orde yang lebih tinggi daripada desa yang memiliki orde yang lebih rendah. Akhirnya, muncullah konsep hirarki kota. Untuk setiap urutan tertentu, secara teoritis pemukiman akan memiliki jarak dari satu sama lain. Pemukiman urutan yang lebih tinggi akan lebih jauh terpisah dari urutan yang lebih rendah. Aplikasi di Indonesia Penerapan model Christaller di Indonesia, salah satu contohnya dapat dilihat dari hierarki layanan fasilitas kesehatan. Di tingkat kecamatan, PUSKESMAS melayani kebutuhan kesehatan masyarakat pada level penyakit ringan. Di tingkat kabupaten, terdapat RSUP yang melayani kebutuhan kesehatan masyarakat dengan ragam layanan yang lebih bervariasi sehingga penyakit berat dapat ditangani dan jangkauan layanan yang lebih jauh. Sedangkan di tingkat propinsi, RSUP mampu memberikan layanan kesehatan lengkap untuk segala macam penyakit dan jangkauan layanan paling luas. 24 Evaluasi Apabila dibandingkan dengan kondisi yang sebenarnya terdapat beberapa hal yang perlu dicermati terkait asumsi yang digunakan oleh Christaller yaitu: 1. Biaya produksi bervariasi, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi saja tetapi juga oleh faktor ketersediaan SDA 2. Biaya transportasi tidaklah sama ke segala arah 3. Pasar lingkup rumah tangga tidak tersebar secara merata 4. Praktek-praktek kompetisi dapat mengakibatkan terjadinya persaingan pasar tidak sempurna Teori Lösch (1940) Ahli ekonomi dari Jerman, August Losch, memodifikasi dan melengkapi teori central place Christaller. Dalam bukunya, The Spatial Organization of the Economy (1940), Losch memulainya dengan skala aktivitas ekonomi terkecil yaitu pertanian, dimana secara reguler lahan pertanian terdistribusi di seluruh dataran dengan pola kisi-kisi segitiga. Losch mengusulkan sebuah model konsumen berdasarkan stuktur administratif dan industri yang berseberangan dengan pusat layanan Christaller. Didasarkan pada asumsi yang tidak realistik, teori pusat layanan merupakan sebuah titik awal yang membantu untuk membangun sebuah pemikiran mengenai perbedaan perkembangan komunitas dan meskipun demikian juga berguna dalam pertimbangan untuk lokasi perdagangan dan layanan serta ketentuan untuk lokasi barang dan jasa khusus. Konsep dari sebuah penataan suatu hirarki juga mempertimbangkan dampak jaringan sosial terhadapa aktivitas ekonomi dan pergerakan orang yang termodifikasi berdasarkan tingkatan hirarki atas layanan yang tersedia. Teori pusat layanan memberikan sebuah pondasi untuk sebuah bangunan besar penelitian empiris atas kerangka pembangunan kota dan hal ini berguna untuk pembangunan ekonomi kota dan wilayah yang memiliki isu mengenai lokasi dan kelangsungan hidup aktivitas ekonomi. Gambar 13. Keberagaman Fungsi di Metropolis yang Masing-masing memiliki Market Area Menurut Losch, suatu metrópolis memiliki fungsi yang berragam dan fungsi tersebut memiliki area pasar yang dibatasi oleh range dan thresholdnya masing-masing. Jadi tidak perlu ditentukan sebuah hirarki pasar karena akan muncul dengan sendirinya. 25 Gambar 14. Jaringan Kota yang Dibentuk oleh Ragam Fungsi (Aktivitas) yang berbeda Gambar di atas menunjukkan, bahwa masing-masing fungsi membentuk pangsa pasarnya masingmasing, yang saling bertumpang tindih dengan pangsa pasar yang lainnya yang akhirnya membentuk suatu jaringan. Losch berseberangan dengan Christaller dimana ditegaskan bahwa tidak semua orde tinggi dibentuk oleh konstruksi orde yang lebih rendah. Referensi Caves, Roger W. (2005) Encyclopedia of The City, London and New York: Taylor and Francis Group. Christaller, W. (1966 [1933]) Central Places in Southern Germany (Die zentralen Orte in Süddeutschland), trans. C.W. Baskin, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Lösch, A. (1954 [1940]) Economics of Location, trans. William Woglom from 2nd rev. edn, New Haven: Yale University Press. 2.4. Teori Hotelling: Spatial Competition and Competitive Differentiation Muncul sebagai kelemahan teori lokasi yang mengasumsikan bahwa karakter demand dalam suatu ruang (space) adalah seragam Pengembangan dari konsep “least-cost location” dengan mempertimbangkan “ketergantungan lokasi” Produsen dalam memilih lokasi industri berprilaku untuk menguasai market area seluas-luasnya yang dipengaruhi oleh perilaku konsumen dan keputusan berlokasi produsen lainnya Kontributor pemikiran: Fetter (1942), Hotteling (1929). Locational Interdependence, Pada kondisi inelastic demand Industri A pertama kali memasuki market, kemudian industri B berkompetisi dengan A Jika keduanya berlokasi di tengah, maka market area terbagi sama dari kedua industri Jika B berpindah ke kanan, harga di kanan lebih rendah dibandingkan dengan harga di tengah 26 Jika, demand-nya inelastic (membeli produk pada harga berapa pun) maka B tidak mendapat keuntungan dari perubahan lokasi ini Gambar 15. Locational Interdependence pada Inelastic Demand Locational Interdependence, Pada kondisi elastic demand Dua industri A dan B berkolusi memonopoli pasar dan berlokasi pada posisi kuartil Keduanya membagi market area sama luasnya Perbandingan dengan lokasi di tengah, biaya angkut di lokasi kuartil lebih besar dibadingkan dengan lokasi yang di tengah Keuntungan berlokasi di kuartil melebihi berbagai kemungkinan alternatif lainnya Pemikiran Hotteling dikritik oleh Devletoglou (1965) bahwa market area yang dipisahkan oleh garis indiferen adalah tidak realistis Gambar 16 Locational Interdependence pada Elastic Demand Referensi: Robinson Tarigan, Perencanaan Pembangunan Wilayah, edisi revisi, 2005. Industrial Location; an Economic Geographical Analysis. David M. Smith, 1971. 27 2.5. Teori Alonso Faktor-faktor Dasar Lokasi William Alonso extended the Von Thünen model in his book Location and Land Use (1964) and put it in an urban context. The central market town in the Von Thünen model is interpreted by Alonso as a city with a Central Business District (CBD) in the city centre. Households must commute there in order to work in the CBD. Again transportation costs are considered the main explanatory factor in the location decision of households and enterprises. This so-called bid-rent function approach now forms the basis of all contemporary theories on land use and land values. The bid rent theory is a geographical economic theory that refers to how the price and demand for real estate changes as the distance from the Central Business District (CBD) increases. It states that different land users will compete with one another for land close to the city center. This is based upon the idea that retail establishments wish to maximize their profitability, so they are much more willing to pay more money for land close to the CBD and less for land further away from this area. This theory is based upon the reasoning that the more accessible an area (i.e., the greater the concentration of customers), the more profitable. Bid-rent functions are typically formulated as follows: A household is supposed to spend its income on three things:1) land, 2) transportation costs and 3) all other goods. The household requires a location in a simplified city, which is monocentric, uniform, and in which markets are competitive. Employment, goods, and services are only available in the city centre. For an individual household the prices of land are given. Land prices are supposed to decrease with increasing distance from the city centre, which is “essentially true for most cities” and a requirement for the market equilibrium. 28 Gambar 17. Bid Rent Curve Land users all compete for the most accessible land within the CBD. The amount they are willing to pay is called "bid rent". The result is a pattern of concentric rings of land use, creating the Concentric zone model. It could be assumed that, according to this theory, the poorest houses and buildings will be on the very outskirts of the city, as that is the only place that they can afford to occupy. However, in modern times this is rarely the case, as many people prefer to trade off the accessibility of being close to the CBD, and move to the edges of the settlement, where it is possible to buy more land for the same amount of money (as Bid Rent states). Likewise, lower income housing trades off greater living space for greater accessibility to employment. For this reason low income housing in many North American cities, for example, is often found in the inner city, and high income housing is at the edges of the settlement. Though later used in the context of urban analysis, though not yet using this term, the bid rent theory was first developed in an agricultural context. One of the first theoreticians of bid rent effects was probably David Ricardo, according to whom the rent on the most productive land is based on its advantage over the least productive, the competition among farmers ensuring that the full advantages go to the landlords in the form of rent. Later, this theory was developed by J. H. von Thünen who combined it with the notion of transport costs. His model implies that rent at any location is equal to the value of its product minus production costs and transport costs. Admitting that transportation costs are constant for all activities, this will lead to a situation where activities with the highest production costs are located near to the market place. Those with low production costs will be farther away. 29 The concentric land-use structure thus generated closely resembles the urban model described above: CBD - high residential - low residential. This model, introduced by William Alonso, was inspired by von Thünen's model. Land users, whether they be retail; office; or residential, all compete for the most accessible land within the CBD. The amount they are willing to pay is called bid rent. This can generally be shown in a ‘bid rent curve’. Based upon the reasoning that the more accessible the land, generally in the centre, is the more expensive land. Commerce (in particular large department stores/chain stores) is willing to pay the greatest rent to be located in the inner core. The inner core is very valuable for them because it is traditionally the most accessible location for a large population. This large population is essential for department stores, which require a considerable turnover. As a result, they are willing and able to pay a very high land rent value. They maximise the potential of their site by building many stories. As one goes farther from the inner core, the amount commerce is willing to pay declines rapidly. Industry, however, is willing to pay to be in the outer core. There is more land available for their factories, but they still have many of the benefits of the inner core, such as a market place and good communications. As one goes farther out, the land becomes less attractive to industry because of the reducing communication links and a decreasing market place. Because householders do not rely heavily on these and can now afford the reduced costs (when compared with the inner and outer core),they can purchase land. The further from the inner core and, the cheaper the land. This is why inner city areas are very densely populated (terraces, flats and high rises), whilst the suburbs and rural areas are sparsely populated (semi and detached houses with gardens). Referensi Dedi NS Setiono [2011], Ekonomi Pengembangan Wilayah: Teori dan Analisis, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta Rustiadi, Ernan, et.al. [2009], Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Sjafrizal [2008], Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi, Baduose Media, Padang Tarigan, Robinson [2006], Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi, Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta Krumme, (http://faculty.washington.edu/krumme/450/weber.html) William Alonso [1964], Location and Land Use, Harvard University Press, Cambridge, MA. William Alonso [1960], a theory of the urban land market, Papers in Regional Science, Volume 6, Issue 1, pp 149 – 157. 30 BAB 3. PENDEKATAN DALAM ANALISIS LOKASI 3.1. Dasar-dasar dan Analisis lokasi kegiatan industri FAKTOR LOKASI UNTUK KEGIATAN INDUSTRI FAKTOR LOKASI DARI SISI MAKRO Transportasi Jarak terhadap pemasok, konsumen Ketersediaan komunikasi (pos, bank, telkom, etc) Posisi terhadap jaringan jalan (arteri, kolektor, tol) Posisi terhadap jaringan kereta api & terminal container Posisi terhadap kanal, angkutan sungai & penyeberangan Posisi terhadap bandara, pelabuhan Tenaga kerja Ketersediaan tenaga kerja Kemampuan/keterampilan (profesional, tukang, buruh) Upah tenaga kerja Tempat pelatihan tenaga kerja (blk) Kondisi sosial budaya masyarakat setempat Iklim (temperatur, kelembaban, curah hujan, etc.) Pajak, retribusi, pungutan, insentif FAKTOR LOKASI DARI SISI MIKRO Lahan Layanan transportasi Penyediaan energi Kelistrikan (tegangan, kinerja, gardu induk, biaya samb.) Gas (jenis pelayanan, jaring distribusi, harga, biaya samb.) Batubara Penyediaan air bersih Layanan jaringan pdam (sambungan, kinerja, sumber air, harga jual) Penggunaan air tanah (kualitas, kuantitas) Pengolahan limbah cair Pengelolaan limbah padat Kegiatan usaha yg berdekatan 31 PERTIMBANGAN DALAM PEMILIHAN LOKASI INDUSTRI Location of resources & markets Changing demand for products Transportation costs for assembly & distribution Variations in manufacturing costs; principally in labor cost, but also in land cost, costs of heating & cooling the plant, disposal of waste, and corporate & inventory taxes Scale of operations Techniques of production – labor-intensive or capital intensive Availability of capital Governmental policy that serves to encourage industry to locate in special areas by guaranteeing markets, providing land and/ or trained employees & tax reductions Agglomeration economies achieved through availability of specialized services & inter-industry linkages between suppliers & customers within specialized manufacturing regions Amenity factors, such as superior schools, or location adjacent to college or university, which offers pool of prospective employees. Mild climate, cultural amenities, and suburban locations are especially to management Gambar 18. Variabel Lokasi Industri 32 Gambar 19. Kasus 1 Lokasi Alternatif Gambar 20. Kasus 2 Lokasi Alternatif 33 Gambar 21. Kasus 3 Lokasi Alternatif Gambar 22. Kasus 4 Lokasi ALternatif 34 Gambar 23. Kasus 5 Lokasi ALternatif KLASIFIKASI INDUSTRI Resource orientation: utilize bulky or perishable raw material normally seek location close to source of raw material. Expl. Mining industries, fruit canning Market orientation: location of market-oriented industries having high distribution cost is positively correlated with location of population. expl. Printing industries, office equipment & supplies Optional orientation: industries can be either market or resource oriented because of ability to rearrange (exchange) technique production to maximize profitability of alternative location Gambar 24. Klasifikasi Industri Berdasarkan Lokasi 35 Theories of Industrial Clusters Discussion of two theories of regional clusters, (Marshallian) industrial districts and Porters regional clusters. The two cluster theories are discussed in the context of innovation. A main theme is to which extent and how the two types of clusters stimulate the innovation capability of cluster firms. The interest in innovation is related to some ‘stylised facts’ about firms’ innovation processes: - Firms rely first of all on internal competence in their innovation activity - However, firms also often bring in ideas, information and knowledge from external actors during the innovation process - The ‘quality’ of the external environment and the firms’ ability to use external knowledge determine to a large extent the innovation capability of an economy - Firms often find external actors of importance for their innovation process in their local area. These actors may constitute regional clusters or innovation systems. What is an industrial district? Definition of the districts The districts have many firms and jobs in one or a few adjacent industrial sectors in a local area. (The area is overrepresented with jobs in a sector compared with the national average, as measured with location quotients) Local networks between firms creating external economies, i.e. the achievement of effective production through extensive, external division of labour between firms specialising within various phases of a production chain. (What can happen to achieve more effective production when firms share the same suppliers?) A specific, local socio-cultural dimension denoted as Marshallian agglomeration economies consisting of three factors: a) mutual trust between firm leaders, workers etc. that reduces transaction costs, b) accumulation of skill among workers (denoted as an ‘industrial atmosphere’) c) stimulation of incremental innovations through ‘learning by doing’ and ‘learning by using’ by factor a and b Alfred Marshall’s century-old theory of industrial districts. (Marshall 1890, 1920) Marshall’s basic point about why companies in the same industry congregate still holds: industrial districts enjoy the same economies of scale that only giant companies normally get. Specialized suppliers arrive. Skilled workers know where to come to ply their trade. And everyone involved benefits from the spillovers of specialized knowledge. As Marshall put it, “The mysteries of the trade become no mysteries, but are as it were in the air.” (James Surowiecki 2000, p. 68, emphasis added.) Back to Marshall’s external economies ”Something is in the air” – i.e. benefits that are not represented as costs for the single firms: Labour market pooling Networks of supplier and auxiliary firms Localised knowledge spillovers From Mark I to Mark II Industrial Districts Mark I Industrial districts: Traditional industrial districts with considerable growth in the 1960s and 70s. The local system of firms is innovative, first of all as regards small, stepwise changes in products and processes (incremental innovations). The innovation activity builds on the experience based competence of entrepreneurs and skilled workers, and on close cooperation between persons and firms in an atmosphere of mutual trust and understanding (i.e. agglomeration economies) Mark II industrial districts: In the 1980s the traditional industrial districts had to upgrade themselves to mark II districts in order for firms to carry out more radical innovations. Radical 36 innovations were necessary to meet increased competition from low cost countries and to introduce more advanced technology. Upgrading to mark II districts take place through the establishment of centres for real service. The centres have specialised competence for the dominating industrial sectors in the districts. The centres offer subsidised services to firms, such as information about markets and technological development, help in exporting or in introducing new production equipment. The centres supply the system of firms with professional competence that small firms often cannot possess themselves, but competence necessary to carry out more radical innovations Why the large interest in industrial districts? The interest in industrial districts far exceeds their empirical significance. Districts are of some importance in countries with craft traditions like Italy, Spain, France, Denmark (and examples are found in Norway) The interest of the districts is rooted in: a) the fact that the districts may constitute a possibly new and more human-centred industrial development. The model symbolise the possibility of small firms and craft skills in a world of impersonal big firms and deskilling b) the emphasizing of social and cultural factors (as traditions and trust) in economic life, i.e. that industrial development rely on more than ‘economic factors’, c) what the districts can tell about the mechanisms of innovation, learning and knowledge flow, i.e. that these build on factors in the local environment and not just on factors internal to firms, d) what the districts have to say about the possibility of independent SMEs to be internationally competitive as long as the SMEs collaborate, i.e. that local areas can develop without relying on large firms The boat-building industry in the Arendal-Grimstad region: The growth of an industrial district? The development of the industry: Six historical phases 1. The start: Tradition and knowledge about boatbuilding from the period of sailing vessels, when Arendal was by fare the largest shipping town in Norway 2. The revolution with the building of glass fibre boats in the 1950s. This kind of boat building started in Arendal by the linking of external knowledge and local competence 3. Spreading of the knowledge in the local area in the 1950s and 60s, giving rise to many start-ups and growth 4. The growth of giant firm Fjord Plast, and the centre for the building of motor boats in Europe 5. Restructuring in the 1970s and 80s. Start-ups, specialisation on firm level and growth of subcontractors What is an industry cluster? Geographic concentration of interconnected companies and institutions in a particular field A cluster includes the core or driver industries upstream industries (suppliers) downstream industries (customers) other institutions (such as, agricultural extension, research labs, trade associations, and so on) The background of Porter’s cluster theory Michael Porter departs from studies of firm strategies, particularly the question of how individual firms can compete internationally 37 In the 1980s he started to study what makes a nation’s firms and industries competitive in global markets. This research led to the theory of clusters, first national clusters (1990), then regional clusters (1998) The central idea behind the cluster theory is: a) that the national (or regional) environment is of central importance in stimulating firms’ competitiveness (‘Competitive advantage is created and sustained through a highly localized process’), b) that the environment influences the ability to succeed in particular industries or industry segments (nations become the home base for competitive firms in some particular industries, and most important is competitiveness in sophisticated industries), c) that the international successful firms in an industry constitute systems or clusters of firms, and d) that firms and industries become competitive by continually upgrading and innovation (and by developing new and sophisticated industries) Porter’s cluster definition Clusters are geographic concentrations of interconnected companies, specialised suppliers, service providers, firms in related industries, and associated organisations (such as universities, standard agencies, trade associations) in a particular field linked by commonalities and complementarities. There is competition as well as cooperation. Why are Industry Clusters Important? Industry clusters create a competitive advantage for the region. The competitive advantage derives from four factors (M.E. Porter, 1990): Factor conditions Demand conditions Related and supporting industries Firm strategy, structure, and rivalry Firm Strategy and Rivalry Factor (Input) Conditions Demand Conditions Related and Supporting Industries Gambar 25. Porter’s Diamond Source: Michael Porter, Harvard Business School The sources of locational competitive advantage in a nation (‘the diamond’) Four broad attributes of a nation form an environment that can promote or impede the creation of competitive advantage by firms in specific industries 1) Factor conditions. Factors of production (inputs) such as skilled labour, natural resources, capital or infrastructure. Important factors are created, and disadvantage of 38 factors can contribute to sustained competitive success (e.g. automation because of high labour costs) 2) Demand conditions. The quantity and particularly quality of home demand for the industry’s products / services (the importance of sophisticated and demanding customers for innovation). 3) Relating and supporting industries. Supplier and related industries that are international competitive. Support cost-effective supplies and stimulates innovation 4) Firm strategy, structure, and rivalry. How companies are created, organised, and managed, and the nature of domestic rivalry. How firms are managed support some type of industries more than others (f.ex. liberal and coordinated market economies ‘support’ different types of industries) Two additional variables can influence the national system in important ways; chance and government policy What are Industry Clusters? Three critical conceptual dimensions: 1. Linkage, Interdependence between businesses/industries/sectors 2. Stage of development, Clusters may be existing, emerging, or potential 3. Geography Linkage The heart of cluster analysis May be formal or informal Sources common value (e.g. production, market) chains similar labor skill requirements shared or similar technologies or knowledge and/or innovation exchange Choice of study linkage determined, at least in part, from policy goals. Stage of Development Offers different cluster types for study focus, depending on goals Existing stage Existing clusters are those that have reached a critical mass in size and/or diversity of operation Existing clusters may be expanding or contracting at any given point in time Emerging Emerging clusters are likely to achieve critical mass, given current trends Potential Potential clusters are those with potential, but uncertain growth environment and possibly have only a few related industries Geography Clusters must be identified by more than locality Regional concentration versus global dispersion Cross boundary linkages Study order: Linkage/economic logic (Geographic concentrations) 39 Cluster Organizations Help identify careers in related industries Help guide local schools and colleges in providing appropriate training Help policy makers understand the connections between industry requirements and the training needed for successful welfare reform and implementation of the Workforce Investment Act What is a cluster? Firms in one or more industries that have competitive advantage in a region Cluster competitive advantage may be based on resources, shared labor pool, access to research or other institutions, presence of significant customers or suppliers in the region, and innovation within the cluster Empirical definition in this study: High LQ, strong inter-industry ties (sales or purchases from other industries as depicted in input-output model), or moderate LQ + significant size Data sources: IMPLAN input-output model for each WDA, ESD data on cluster characteristics Industry Cluster Bubble Chart Four Quadrants Northwest: Mature clusters Specialization and slow or declining growth Northeast: Star clusters Specialization and fast growth Southeast: Emerging clusters Not specialized, but fast growth Southwest: Transforming clusters Not specialized and slow or declining growth 4.0 3.5 3.0 LQ in 2006 2.5 2.0 1.5 1.0 -150 -100 -50 0.5 0 50 100 0.0 -0.5 -1.0 % chg in LQ 2001-2006 Gambar 26. Madison County, Missouri Industry Clusters 40 150 200 Gambar 27. The California Wine Cluster Keterkaitan Pusat Pertumbuhan Dan Pengembangan Industri Dalam proses pembangunan akan timbul industri unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan daerah Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan ekonomi Kegiatan ekonomi yang timbul merupakan gabungan dari sistem industri-industri unggulan dengan industri-industri yang tergantung dari industri unggulan Aspek lokasi dalam pengembangan industri Industri yang didasarkan pada ketersediaan bahan baku (resources based industry) Industri yang memproses hasil dari sektor primer, misal bahan pertanian dan bahan pangan, dimana ditentukan oleh ketersediaan bahan baku/bahan mentah yang tersedia di daerah tersebut Industri yang dekat dengan pasar produksi (market oriented industry) Industri bahan makanan yang tidak tahan lama dan industri jasa-jasa Industri yang letaknya netral terhadap pasar maupun bahan mentah (foot-loose industry) Industri yang umumnya terdiri dari industri pengolahan dimana efisiensinya tidak tergantung pada bahan baku yang tersedia di daerah tersebut Konsepsi ekonomi spasial dalam pengembangan industri WILAYAH PUSAT PERTUMBUHAN INDUSTRI (WPPI) 41 Beberapa Zona Industri yang memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembangnya kegiatan industri dan mempunyai keterkaitan ekonomi yang bersifat dinamis karena didukung sistem perhubungan yang mantap ZONA INDUSTRI Satuan geografis sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya kegiatan industri baik berupa industri dasar yang berorientasi pada sumber daya alam, industri kunci yang bertumpu kepada pengolahan potensi pembangunan yang ada, maupun industri hilir yang berorientasi kepada konsumen akhir dengan populasi tinggi, sebagai penggerak utama (prime mover)yang secara keseluruhan membentuk berbagai kawasan-kawasan yang terpadu dan beraglomerasi dalam kegiatan ekonomi yang mempunyai daya ikat spasial, sehingga mewujudkan suatu sistem ekonomi dalam batasan jarak tertentu. PENGELOMPOKAN LOKASI INDUSTRI BESAR DAN MENENGAH Kompleks Industri Lokasi industri yang berlokasi di luar kota dan jauh dari permukiman penduduk, terutama untuk menampung industri-industri dasar dan lebih dikenal dengan istilah Kompleks Industri yang menjadi inti Zona Industri. Estat Industri (Industrial Estate) Lahan yang dipersiapkan secara khusus guna menampung industri-industri yang bersifat manufaktur yang dikelola oleh suatu manajemen terpusat, dengan luasan yang cukup memadai bagi pengembangan sistem kegiatan industri yang terintegrasi yang lokasinya masih di dalam radius pelayanan sarana dan prasarana perkotaan. Lahan Peruntukan Industri/Kawasan Industri (Umum) Lokasi industri yang telah ditetapkan dalam Master Plan suatu daerah / kota yang biasanya terletak pada jalur jalan regional di luar wilayah yang dapat bersifat pertumbuhan pita atau plotting setempat dan masih berbaur dengan kegiatan lain secara lebih teratur. Kawasan Berikat Lokasi industri yang berlokasi pada areal yang mempunyai tingkat aksesbilitas tinggi baik dari dan ke pelabuhan maupun airport, mempunyai ketentuan-ketentuan pabean khusus dan dimaksudkan untuk proses pengolahan manufaktur dan pergudangan berorientasi ekspor. PENGELOMPOKAN LOKASI INDUSTRI KECIL Permukiman Industri Kecil Lokasi industri kecil yang biasanya berbaur dengan permukiman para pengusaha dan pengrajin dalam tingkat aglomerasi yang cukup besar dari beraneka ragam jenis industri kecil terkait, terletak di daerah pinggiran kota (daerah semi urban). Sentra Industri Kecil Lokasi industri kecil, berbaur atau tidak berbaur dengan daerah permukiman para pengrajin dalam jumlah relatif kecil atau industri-industri sejenis dan terletak di dalam kota atau di pedesaan. Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK) Tempat-tempat usaha industri kecil yang dikelompokkan dan disediakan oleh suatu badan tertentu yang berupa los-los kerja. Sarana usaha industri kecil tersebut dimaksudkan untuk menunjang dan bekerjasama secara langsung dengan industri besar, biasanya terletak di dalam suatu estet industri. Strategi pengembangan industri Industri substitusi import 42 Diharapkan bisa menghasilkan barang-barang baru di dalam negeri yang semula di import Melakukan proteksi untuk membatasi barang-barang import Industri promosi eksport Hasil produksi dalam negeri mempunyai daya saing internasional yang kuat didorong untuk kepentingan eksport Gambar 28. Lokasi Persebaran Industri Prioritas di WPPI I,II,III PENGEMBANGAN INDUSTRI BERDASAR POTENSI PASAR (LN & DN) Industri Padat Sumber Daya Alam, meliputi industri-industri yang banyak menggunakan sumber daya alam sebagai bahan baku. Industri ini mempunyai potensi yang kuat dari sisi internal supply, dan untuk pengembangan produk ini sudah dapat didukung oleh litbang dalam negeri; Kriteria pemilihan industri padat sumber daya alam: nilai ekspor, kandungan lokal, orientasi pasar, dan nilai produksi Industri Padat Tenaga Kerja, meliputi industri-industri yang banyak menggunakan tenaga kerja. Untuk dapat mengembangkan produk ini diperlukan usaha meningkatkan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja, baik melalui penanaman modal maupun penerapan teknologi; Kriteria pemilihan industri padat tenaga kerja: nilai ekspor, penyerapan tenaga kerja, nilai tambah per tenaga kerja, orientasi pasar, dan nilai produksi; Industri Padat Modal, meliputi industri-industri yang banyak menggunakan modal. 43 Dalam pengembangan produk ini diperlukan usaha meningkatkan penanaman modal asing. Pada umumnya untuk mengembangkan produk ini sangat tergantung pada faktor eksternal; Kriteria pemilihan industri padat modal: total investasi, ICOR, nilai tambah, orientasi pasar, dan nilai produksi Industri Padat Teknologi, meliputi industri-industri yang mengandalkan teknologi sebagai faktor keunggulan untuk bersaing. Untuk mengembangkan produk ini diperlukan usaha meningkatkan penguasaan teknologi, baik melalui alih teknologi maupun melalui teknologi yang menyatu pada barang modal yang diimpor. Kriteria pemilihan industri padat teknologi: nilai ekspor, kandungan impor, nilai tambah, nilai produksi, orientasi pasar, biaya litbang, dan pelatihan tenaga kerja. TUJUAN PENGEMBANGAN INDUSTRI Mendorong suatu wilayah meraih keunggulan daya saing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage) Menciptakan pertumbuhan wilayah yang dinamis Meningkatkan nilai tambah (value added) melalui pengembangan produk-produk unggulan PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI Memperkuat industri-industri yang terdapat dalam rantai nilai, yang mencakup industri inti, industri terkait, dan industri pendukung dengan keunggulan lokasi, yang dapat mendorong keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif; Memperkuat keterkaitan antar klaster dalam satu sektor maupun dengan klaster pada sektor lainnya, sekaligus mendorong kemitraan antara IKM dengan perusahaan besar dan kaitan interaktif yang relevan lainnya, sehingga membentuk jaringan industri serta struktur yang mendukung peningkatan nilai tambah melalui peningkatan produktivitas; Mendorong tumbuhnya industri terkait yang memerlukan pasokan bahan baku dan penolong yang sama, sehingga memperkuat partnership antara industri prioritas, terkait, dan pendukung; Memfasilitasi upaya-upaya pemasaran dalam maupun luar negeri. 44 Gambar 29. Kerangka Keterkaitan Industri Pengolahan Kakao dan Coklat Gambar 30. Lokasi Pengembangan Industri Pengelolahan Kakao dan Coklat 45 Referensi: Dedi NS Setiono [2011], Ekonomi Pengembangan Wilayah: Teori dan Analisis, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta Gordon J. Fielding [1974], Geography as Social Science, Harper and Row, New York. Michael E. Porter [1990], The Competitive Advantage of Nations, Harvard Business Review. 3.2. Dasar-dasar dan analisis lokasi kegiatan perdagangan (retail) Elemen apa saja yang berpengaruh pada keberhasililan sebuah tapak? Secara umum, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan sebuah tapak dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu pengelolaan, tapak, dan lokasi. Sudah terdapat beberapa upaya untuk mengetahui kepentingan relative masing-masing faktor utama tersebut, tetapi masing-masing faktor tersebut penting dan dapat menenggelamkan bisnis jika tidak secara hati-hati dikontrol. Faktor pengelolaan biasanya terdiri dari elemen-elemen yang bisa dikontrol dari dalam bangunan. Seperti managemen toko, layanan pelanggan, barang, kebersihan, penampilan, dekorasi, dan penataan semua elemen tersebut penting untuk elemen pengelolaan. Faktor tapak merupakan elemen yang berhubungan dengan kondisi fisik penataan bangunan dan property disekitarnya. Elemen seperti tempat parkir, penandaan, lebar ruang pejalan kaki, taman, aksesibilitas, keluar/masuk, tipe pemusatan, dan hal-hal lainnya seperti bangunan yang berdiri sendiri atau bangunan penghubung yang semuanya penting untuk tapak. 46 Faktor lokasi, yang berkontribusi terhadap pemilihan lokasi yaitu demografi, permintaan konsumen, kepadataan lalu lintas, generator lalu lintas (pusat perbelanjaan, Rumah Sakit, bandara stadion), populasi harian, kompetisi, bisnis pelengkap, dan gaya hidup. Tekait dengan faktor lokasi, terdapat dua pertimbangan penting yang harus diputuskan oleh sebuah pengecer (retailer), yaitu: 1. Memilih target pasar 2. Menentukan format retail yang bagaimana yang paling efektif untuk menjangkau pasar. Gambar 31. Format Retail Seorang retailer dapat menjangkau konsumen potensial melalui dua konsep yaitu store atau non store format retail. Pengecer toko (store based retalilers) mengoperasikan sebuah toko dengan lokasi yang sudah tetap sehingga membutuhkan konsumen untuk bergerak ke toko untuk melihat dan memilih barang atau layanan yang diinginkan. Sedangkan pengecer non-toko (non-store based retailers) menankap konsumen yang ada di rumah, di tempat kerja, atau tempat selain toko dimana konsumen mudah untuk melakukan pembelian. Bentuk-bentuk store based diantaranya yaitu pusat bisnis, mall, free standing, dan non tradisional. Sedangkan bentuk-bentuk non store based yaitu penjualan via internet, penjualan langsung ke rumah-rumah, penjualan non formal di sepanjang jalan, dan penjualan melalui mesin-mesin barang. Beberapa tipe retail berdasarkan konsep toko (store based): 1. Central Business Districts (CBD) usually consists of an unplanned shopping area around the geographic point at which all public transportation systems converge; it is usually in the center of the city and often where the city originated historically. 2. Secondary Business District (SBD) is a shopping area that is smaller than the CBD and that revolves around at least one department or variety store at a major street intersection. 3. Neighborhood Business District (NBD) is a chopping area that evolves to satisfy the convenience-oriented shopping needs of a neighborhood, generally contains several small stores (with the major retailer being a supermarket or a variety store), and its located on a major artery of a residential area. 4. Shopping Center (or mall) is a centrally owned or managed shopping district that is planned, has balanced tenancy (the stores complement each other in merchandise offerings), and is surrounded by parking facilities. 47 5. Anchor Stores are the stores in a shopping center that are the most the most dominant and are expected to draw customers to the shopping center. 6. Free-Standing Retailer generally locates along major traffic arteries and does not have any adjacent retailers to share traffic with. Variabel Pertimbangan Pemilihan Lokasi Retail Sebuah study mengungkapkan bahwa faktanya retailer memiliki criteria tertentu yang mereka gunakan untuk mencari lokasi baru untuk sebuah toko. Charles G. Schimdt. Seorang professor dari Departeman Geografi di University Colorado-Denver, mengemukakan empat karakteristik utama dalam memilih lokasi retail yaitu: 1. Volume lalu lintas yang padat 2. Frontage yang lebar dan akses yang aman untuk keluar masuk menuju tapak 3. Ukuran tapak untuk ekspansi 4. Threshold populasi Brubaker (2004) Peneliti lainnya, Brubaker, melakukan penelitian untuk mengidentifikasi pemilihan lokasi untuk penyewa ritel. Brubaker melakukan interview terhadap sejumlah real estate regional direktur, developer, ahli tata kota, dan makelar. Beberapa criteria yang harus dimiliki oleh sebuah lokasi adalah signage, visibility, ukuran tapak, parker, kepadatan lalu lintas, co-tenancy, dan demografi penduduk (populasi penduduk, tingkat pendapatan, kompetisi dan wilayah perdagangan. Davidson et al (1980) Davidson mengungkapkan bahwa terdapat secara berurutan terdapat empat hal penting yang harus diputuskan untuk memilih lokasi perdagangan, yaitu pertimbangan wilayah, pertimbangan cakupan pasar, pertimbangan area perdagangan, dan pertimbangan tapak. Gambar 32. Pertimbangan untuk Mennetukan Lokasi Tapak Pertimbangan Wilayah Pertimbangan yang digunakan untuk memutuskan lokasi wilayah adalah a. b. c. d. e. f. g. h. i. Kondisi populasi (ukuran, pertumbuhan, kepadatan, distribusi, dan lahan kosong) Jaringan kota (ukuran, jarak dan hubungan dengan kota disekitarnya) Karakteristik lingkungan (iklim, vegatasi, karakteristik medan) Karakteristik ekonomi (tenaga kerja, industry, trend) Target pasar (jumlah dan prosentas populasi yang dibidik) Budaya local Kompetisi Tingkat kejenuhan pusat perbelanjaan Daya beli Pertimbangan Kawasan Pasar a. Dimensi populasi (ukuran, pertumbuhan, kepadatan, distribusi) dan dimensi target populasi pasar 48 b. Publik transportasi dan jaringan jalan c. Karakteristik ekonomi dan daya beli efektif d. Potensi pasar dalam hal barang e. Selera konsumen f. Intensitas persaingan (kejenuhan pasar) g. Kemampuan distribusi h. Karakteristik lingkungan i. Batasan peraturan dan zonasi j. Iklim bisnis Pertimbangan Area Perdagangan (Trade Area) Area perdagangan adalah wilayah geografis yang berdekatan yang menyumbangkan sebagian besar jumlah penjualan dan konsumen. Area perdagangan bisa dibagi menjadi tiga polygon yaitu zona utama, zona sekunder, dan zona tersier (cincin terluar). Zona utama merupakan area geografis dimana pusat perbelanjaan atau toko memperoleh 60% - 65% tingkat penjuala dari total konsumen. Zona sekunder merupakan area geografis yang menyumbangkan 20% tingkat penjualan dari total konsumen. Sedangkan zona tersier merupakan zona dimana pengunjung hanya sesekali saja untuk berbelanja di pusat perdagangan. Beberapa alasan mengapa pengunjung di zona ini mendatangi pusat perbelanjaan yang jauh secara jarak dari rumah yaitu ketersediaan akses jalan bebas hambatan, toko berada pada jalan menuju tempat kerja, dan toko berada dekat dengan daerah wisata. Gambar 33. Area Perdagangan Pertimbangan Karakteristik Tapak a. Profil tapak (ukuran dan bentuk) b. Kebutuhan sewa/harga tanah c. Rasio parkir d. Arus pejalan kaki e. Akses public transportasi f. Visibilitas g. Akses menuju area perdagangan 49 Themido et al (1998) Sedangkan menurut Themido dkk, terdapat dua kelompok variabel yang dijadikan sebagai tools untuk menilai lokasi suatu kawasan yaitu evaluasi kondisi tapak dan evaluasi area perdagangan. Gambar 34. Klasifikasi Variabel Penilaian Lokasi (Themido et al, 1998) Evaluasi atas kondisi tapak didasarkan pada tiga hal yaitu ukuran toko, konfigurasi toko (mencakup komposisi ritel dan rantai layanan), dan variabel lokasi (mencakup aksesibilitas tapak dan konfigurasi tapak). Sedangkan untuk Evaluasi atas kondisi area perdagangan ada dua hal utama yaitu potensi penjualan sekarang dan masa depan (mencakup ukuran pasar dan area tankapan), dan kompetisi sekarang dan masa yang akan datang (mencakup dimensi dan kualitaskompetisi. Metode Estimasi Potensi Area Perdagangan (Trade Area) Perkembangan dari prediksi akurat penjualan merupakan hal penting dalam pemilihan lokasi ritel (Kotler, 1984). Prediksi penjualan dengan metode statistik berkontribusi untuk menemukan hubungan antara tingkat penjualan dengan variable berpengaruh lainnya seperti profil tapak dan kondisi demografi. Pastor (1994) juga menekankan akan pentingnya teknik baru yang focus pada keduanya yaitu mampu menemukan lokasi yang optimal untuk outlet baru dan memprediksi penjualan berdasarkan criteria yang obyektif. 1. Analog Model Analog model merupakan upaya pertama yang digunakan dalam proses memilih lokasi retail (Applebaum, 1968). Pencetus model ini, William Applebaum, fokus pengamatan pada lokasi ritel eksisting yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi lokasi ritel potensial lainnya. Pengunjung dari ritel eksisting diinterview untuk menentukan dimana mereka tinggal sehingga selanjutnya dapat ditemukan area perdagangan utama ritel eksisting. Model ini menggunakan tingkat penjualan ritel eksisting untuk memprediksi lokasi masa depan yang potensial (Buckner, 1998). Untuk menentukan kinerja ritel yang direncanakan makan dilakukanlah perbandingan sistematis antara karakteristik ritel eksisting dengan karakteristik ritel yang direncanakan (Breheny, 1988). Salah satu keuntungan model analog atas metode lain adalah adaptasinya untuk menilai hampir semua jenis toko ritel.Tetapi kekurangannya adalah metode ini sangatlah subyektif dan dapat bekerja dengan baik hanya ditangan analis yang sudah berpengalaman (Buckner, 1998). 2. Gravity Model Gravity model digunakan secara luas dalam teknik menentukan lokasi ritel. Metode ini berasal dari William J. Reilly’s yang disebut dengan “Hukum Gravitasi Ritel”. Pada intinya, metode ini merupakan 50 metode yang digunakan untuk mengevaluasi tingkah laku manusia yang mengukur bahwa setiap individu kemungkinan akan tertarik menuju ritel bergantung pada jarak tempuh, jarak tempuh ke toko alternative, dan keunggulan masing-masing lokasi. Hukum Reilly’s secara sederhana dapat diibaratkan sebagai batasan area perdagangan, dengan cara menentukan titik yang berbeda dari dua kota atau dua wilayah, maka masing-masing luasan area perdagangan dapat ditentukan. Gambar 35. Gravity Model 3. Multiple Regresi Model Analog model berkembang menjadi multiple regresi model. Model ini pada intinya memiliki fungsi yang sama seperti analog model. Model ini menentukan hubungan antara tingkat penjualan dan karakteristik tapak sepeti jarak menuju lokasi, populasi, dan kompetisi (Breheny, 1988). Multiple regresi model mencari hubungan antara variable independen tertentu dan variasi penjualan antara kelompok toko (Breheny, 1988). Multiple regresi model dianggap lebih menguntungkan daripada model lainnya. Ketika sudah diformulasikan, regresi model mudah untuk diimplementasikan dan tidak membutuhkan analis berpengalaman untuk mengoperasikannya (Buckner, 1998). Sebagai tambahan, metode ini dapat 51 meninvestigasi hubungan yang lebih kompleks, flexible, dan dapat mengetes banyak variable sekaligus (Breheny, 1988). PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 112 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern Lokasi pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk Peraturan Zonasinya. Batasan luas lantai penjualan Toko Modern adalah sebagai berikut: 1. Minimarket, kurang dari 400 m2 (empat ratus meter per segi); 2. Supermarket, 400 m2 (empat ratus meter per segi) sampai dengan 5.000 m2 (lima ribu meter per segi); 3. Hypermarket, di atas 5.000 m2 (lima ribu meter per segi); 4. Department Store, di atas 400 m2 (empat ratus meter persegi); 5. Perkulakan, di atas 5.000 m2 (lima ribu meter per segi). Pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib: 1. Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Tradisional, Usaha Kecil dan Usaha Menengah yang ada di wilayah yang bersangkutan; 2. Memperhatikan jarak antara Hypermarket dengan Pasar Tradisional yang telah ada sebelumnya; 3. Menyediakan areal parkir paling sedikit seluas kebutuhan parker 1 (satu) unit kendaraan roda empat untuk setiap 60 m2 (enam puluh meter per segi) luas lantai penjualan Pusat Perbelanjaan dan/atau Toko Modern; dan 4. Menyediakan fasilitas yang menjamin Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang bersih, sehat (hygienis), aman, tertib dan ruang publik yang nyaman. Perkulakan hanya boleh berlokasi pada atau pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor primer atau arteri sekunder. 1. Hypermarket dan Pusat Perbelanjaan: Hanya boleh berlokasi pada atau pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor; dan Tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lokal atau lingkungan di dalam kota/perkotaan. 2. Supermarket dan Department Store: Tidak boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan lingkungan; dan Tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lingkungan di dalam kota/perkotaan. 3. Minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan. 4. Pasar Tradisional boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lokal atau jalan lingkungan pada kawasan pelayanan bagian kota/kabupaten atau lokal ata lingkungan (perumahan) di dalam kota/kabupaten. 52 Referensi Applebaum, W. (1968). The Analog Method for Estimating Potential Store Sales. In C. Kornblau, Guide to Store Location Research. Reading, Mass.: Addison-Wesley. Breheny, M. J. (1988). Practical Methods of Retail Location Analysis: A Review. In N. Wrigley, Store Choice, Store Location and Market Analysis (pp. 39-86). London: Routledge. Brubaker, B. T. (2004). Site Selection Criteria in Community Shopping Centers: Implications for Real Estate Developers. Cambridge. Buckner, R. W. (1998). Site Selection: New Advancements in Methods and Technology. New York: Chain Store Publishing Corp. Laddel, et al (2009). Retail Site Selection: A New, Innovative Model for Retail Development. Woolbright Development, Inc. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern Schmidt, C. G. (n.d.). Location Decision-Making Within a Retail Corporation. 60-71. 3.3. Dasar-dasar dan analisis lokasi fasilitas LOKASI OPTIMUM LAYANAN FASILITAS Untuk memilih lokasi yang optimal bagi layanan fasilitas perlu memperhatikan prinsip pemanfaatan sumberdaya yang paling minimum, seperti waktu, biaya, jangkauan layanan, etc Metoda perhitungan: LO = ∑ d.W = minimum – LO = Lokasi Optimum – d = jarak antara lokasi pusat pelayanan dan lokasi yang dilayani – W = bobot lokasi yang dilayani The P-median Problem In the p-median problem we are interested in finding the location of p facilities to serve demand nodes so that the transportation cost is minimized. The transportation cost is given by the product of the demand at the demand node and the distance between the demand node and the facility that serves the demand node. There are no capacity constraints at the facilities. 53 Gambar 36. P-Median Model As there are no capacity constraints at the facilities, it is optimal to satisfy the demand at a demand node from a single facility. An optimal solution can be found by restricting the search to the demand nodes. Fixed costs are assumed to be equal. The number of possible solutions is n! p!n p ! For even moderate values of n and p the number of possible solutions can be very large: For example, if n=20 and p=5, there are 15,504 solutions. If n=50 and p=10, the problem has more than 1010 possible solutions. If you could evaluate 1 million solutions per second, it will take you 3 hours for total enumeration. The P-median Problem Inputs: hi = demand at node i dij = distance between demand node i and site j p = number of facilities Decision variables: 54 1 if a facility is located at site j Xj 0 otherwise 1 if demand at node i is served by a facility at site j Yij 0 otherwise min h d Y Y 1 X p for all i Yij X j for all i, j Yij 0,1 for all i, j X j 0,1 for all j i i subject to ij ij j ij j j j Tabel 4. Distance Matrix For The Network Site j Node i A B C D E F G H I J K L A 0 15 37 55 24 60 18 33 48 40 58 67 B 15 0 22 40 38 52 33 48 42 55 61 61 C 37 22 0 18 16 30 41 28 20 58 39 39 D 55 40 18 0 34 12 59 46 24 62 43 34 E 24 38 16 34 0 36 25 12 24 47 37 43 F 60 52 30 12 36 0 57 42 12 50 31 22 55 G 18 33 41 59 25 57 0 15 45 22 40 61 H 33 48 28 46 12 42 15 0 30 37 25 46 I 48 42 20 24 24 12 45 30 0 38 19 19 J 40 55 58 62 47 50 22 37 38 0 19 40 K 58 61 39 43 37 31 40 25 19 19 0 21 L 67 61 39 34 43 22 61 46 19 40 21 0 Tabel 5. Cost (demand x distance) matrix for the network Demand Node i A 0 A 150 B 444 C 990 D 120 E 1440 F 198 G 528 H 624 I 880 J 1102 K 1340 L B 225 0 264 720 190 1248 363 768 546 1210 1159 1220 C 555 220 0 324 80 720 451 448 260 1276 741 780 D 825 400 216 0 170 288 649 736 312 1364 817 680 E 360 380 192 612 0 864 275 192 312 1034 703 860 Site j F G 900 270 520 330 360 492 216 1062 180 125 0 1368 627 0 672 240 156 585 1100 484 589 760 440 1220 H 495 480 336 828 60 1008 165 0 390 814 475 920 Tabel 6. Heuristic Algorithm 56 I 720 420 240 432 120 288 495 480 0 836 361 380 J 600 550 696 1116 235 1200 242 592 494 0 361 800 K 870 610 468 774 185 744 440 400 247 418 0 420 L 1005 610 468 612 215 528 671 736 247 880 399 0 Note that the optimal solution had a total cost of 1444 whereas the heuristic solution provides a total cost of 1707. This means that we can improve the solution obtained by the heuristic. Therefore we apply an improvement algorithm. For each facility site, this algorithm identifies the set of demand nodes that are served from the facility called as the neighborhood. Within each neighborhood, the optimal 1-median is found. Summary of Exchange Opportunities from Neighborhood Search Solution (Facilities at sites A, F, H, I and J with a total cost of 1572) Referensi: Rushton, G. [1979], Optimal Location of Facilities, Compress, Inc., Wentworth Alperovich G, Weksler I, [1982], "Optimal location of public facilities: the case of median and quartile locations" Environment and Planning, Volume 9(2); 143 – 152 57 3.4. Dasar-dasar dan analisis lokasi Permukiman Perumahan merupakan pencerminan dan pengejawantahan dari diri pribadi manusia, baik secara perseorangan maupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan dengan alam lingkungannya. Sehingga perumahan tidak dapat dilihat hanya sebagai benda mati atau sarana kehidupan sematamata, tetapi lebih dari itu perumahan merupakan suatu proses bermukim, kehadiran manusia dalam menciptakan ruang hidup di lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya (Yudohusodo dkk, 1991, hal 1). Perkembangan permukiman dan wilayah saling berpengaruh. Menurut Yudohusodo,dkk (1991), perumahan dan permukiman dapat menjadi salah satu unsur pengarah pertumbuhan wilayah. Sehingga konsep perkembangan permukiman dapat merujuk pada teori perkembangan kota dan wilayah. Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang (Pasal 56, UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan. Lingkungan Hunian adalah bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman. Kegiatan Penyelenggaraan Permukiman baru meliputi: 1. Penyediaan lokasi permukiman; 2. Penyediaan PSU permukiman; dan 3. Penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. KriteriaTeknis: Karakteristik Lokasi dan Kesesuaian Lahan Kawasan perumahan harus dilengkapi dengan: 1. Sistem pembuangan air limbah 2. Sistem pembuangan air hujan 3. Sistem penyediaan air bersih yang sesuai syarat kuantitas dan kualitas 4. Sistem pembuangan sampah 5. Penyediaan sarana perkotaan yang sesuai dengan standar kebutuhan Secara Teknis, Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan diatur secara rinci pada SNI 031733-2004, tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Adapun Aaspekaspek dalam perencanaan lingkungan perumahan meliputi: 58 1. Persyaratan Lokasi a. Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat, dengan kriteria sebagai berikut: 1) Kriteria Keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan merupakan kawasan lindung (catchment area), olahan pertanian, hutan produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas bangunan pada area Bandara, daerah dibawah jaringan listrik tegangan tinggi; 2) Kriteria Kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan daerah yang mempunyai pencemaran udara di atas ambang batas, pencemaran air permukaan dan air tanah dalam; 3) Kriteria Kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian (aksesibilitas), kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal, langsung atau tidak langsung), kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana lingkungan tersedia); 4) Kriteria Keindahan/Keserasian/Keteraturan (Kompatibilitas), dicapai dengan penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan lingkungan yang ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh rawa atau danau/setu/sungai/kali dan sebagainya; 5) Kriteria Fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana; 6) Kriteria Keterjangkauan Jarak, dicapai dengan mempertimbangkan jarak pencapaian ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna lingkungan terhadap penempatan sarana dan prasarana-utilitas lingkungan; dan 7) Kriteria Lingkungan Berjati Diri, dicapai dengan mempertimbangkan keterkaitan dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama aspek kontekstual terhadap lingkungan tradisional/lokal setempat. b. Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status kepemilikannya, dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan ekologis. c. Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin tumbuh di kawasan yang dimaksud. 59 2. Persyaratan Fisik a. Ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat, kecuali dengan rekayasa/ penyelesaian teknis. b. Kemiringan lahan tidak melebihi 15% (lihat Tabel 2) dengan ketentuan: 1) tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datarlandai dengan kemiringan 0-8%; dan 2) diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15%. Tabel 7. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng Sumber : SNI 03-1733-2004 3. Kebutuhan Prasarana dan sarana Untuk merencanakan bangunan rumah yang memenuhi persyaratan teknis kesehatan, keamanan dan kenyamanan, data dan informasi yang perlu dipersiapkan: a) jumlah dan komposisi anggota keluarga; b) penghasilan keluarga; c) karakteristik nilai sosial budaya yang membentuk kegiatan berkeluarga dan kemasyarakatan; d) kondisi topografi dan geografi area rencana sarana hunian; e) kondisi iklim; suhu, angin, kelembaban kawasan yang direncanakan; f) pertimbangan gangguan bencana alam; g) kondisi vegetasi eksisting dan sekitar; dan h) peraturan setempat, seperti rencana tata ruang yang meliputi GSB, KDB, KLB, dan sejenisnya, atau peraturan bangunan secara spesifik, seperti aturan khusus arsitektur, keselamatan dan bahan bangunan. Sedangkan Kebutuhan Sarana penunjang lainnya ditentukan berdasarkan ketentuan berikut ini: 60 Tabel 8. Ketentuan Kebutuhan Sarana Permukiman Sumber : SNI 03-1733-2004 Referensi: 1. Perencanaan dan pengembangan Wilayah (2009), Ernan Rustiadi, Sunsun saefulhakim, Dyah R. Panuju. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta 2. Rumah Seluruh Rakyat, Siswono Yudohusodo. 3. UU No.26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang 4. UU No.1 Tahun 2011, tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman 5. SNI 03-1733-2004, tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan 61 BAB 4. TEKNIK ANALISIS YANG SESUAI UNTUK MENGKAJI ASPEK LOKASIONAL KOMPONEN KEGIATAN WILAYAH DAN KOTA 4.1. Aplikasi Multicriteria Analysis untuk menentukan pemilihan lokasi Multi-Criteria Decision Making (MCDM) atau pengambilan keputusan yang didasarkan banyak criteria merupakan sebuah metode atau prosedur yang memproses banyak criteria yang bertentangan untuk dapat digabungkan menjadi sebuah proses perencanaan. Atau dengan kata lain dapat juga didefinisikan menjadi mengukur dan mengintegrasikan atribut yang bervariasi untuk menjawab suatu tujuan. Gambar 37. Multiple Criteria untuk Menjawab Satu Tujuan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu menjawab satu tujuan (dalam hal ini tujuannya adalah pemilihan lokasi) maka masing-masing criteria harus diketahui bobotnya. Tujuan dari pembobotan criteria adalah untuk menjelaskan tingkat kepentingan masing-masing criteria relative terhadap criteria lainnya. Pembobotan criteria dapat dilakukan dengan banyak cara, yaitu dengan metode ranking, metode rating, metode perbandingan berpasangan (pair wise comparison), metode trade-off analisis, dan metode perbandingan. Namun, aplikasi empiris menyarankan bahwa metode perbandingan berpasangan adalah salah satu teknik yang paling efektif untuk pengambilan keputusan spasial yang memakai pendekatan berbasis GIS (Malczewski, 2006). Metode perbandingan berpasangan dikembangkan oleh Saaty dalam konteks Analytical Hierarchy Process (AHP) (Saaty, 1980). Metode AHP dibangun berdasarkan tiga prinsip, yaitu dekomposisi, penilaian komparatif, dan sintesis prioritas (Malczewski, 1999). Metode ini menggunakan perbandingan berpasangan untuk menciptakan matriks rasio. Dalam hal ini dibutuhkan sebuah input perbandingan berpasangan sehingga dapat dihasilkan bobot relative sebagai output. Secara khusus, bobot 62 ditentukan oleh normalisasi eigenvector yang terkait dengan nilai eigen maksimum matriks rasio (timbal balik). Selanjutnya AHP dapat dibagi menjadi: 1. Penyusunan Hirarki AHP Menguraikan sebuah permasalahan menjadi sebuah hirarki merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam prosedur AHP. Struktur hirarki tersebut terdiri dari tujuan, sasaran, atribut, dan alternatif. Biasanya sebuah alternative direpresentasikan dalam GIS database. Masing-masing layer mengandung nilai atribut. Nilai atribut inilah yang nantinya dimasukkan ke dalam alternative, sehingga masing-masing alternative nantinya akan terhubung dengan tingkatan elemen yang tertinggi yaitu tujan. Atribut inilah yang nantinya menghubungkan antara metode AHP dan prosedur GIS. 2. Perbandingan atas Elemen Pengambilan Keputusan Metode perbandingan berpasangan dirumuskan dalam tiga langkah. Langkah pertama yaitu mengembangkan matriks perbandingan berpasangan dengan memasukkan nilai dalam skala 1 sampai 9. Hal ini dilakukan untuk memberikan nilai preferensi relative atas dua criteria. Tabel 4.1 menunjukkan tingkat intensitas kepentingan yang digunakan untuk matriks perbandingan berpasangan. Tabel 4.1 Tingkat Intensitas Kepentingan Nilai 1 Keterangan Kedua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya 5 7 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya 9 2, 4, 6, 8 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Langkah kedua, bobot criteria dikomputasikan dengan cara: a) menjumlah nilai masing-masing kolom pada matriks perbandingan berpasangan, b) membangi masing-masing eemen dalam matriks dengan nilai total kolom (matriks yang dihasilkan disebut dengan matriks perbandingan berpasangan normalisasi), dan c) mengkomputasikan rata-rata elemen pada masing-masing baris pada matriks normalisasi yang dapat dilakukan dengan membagi jumlah skor normalisasi dengan masing-masing baris dengan angka 3 (atau sebanyak jumlah criteria). Nilai rata-rata yang dihasilkan akan 63 memberikan sebuah estimasi bobot relative criteria yang diperbandingkan. Tabel 4.2 menunjukkan kalkulasi dari masing-masing langkah untuk menentukan bobot criteria relative. Tabel 9. Determining the Relative Criterion Weight (Malczewski, 1999) Langkah ketiga, yaitu menentukan konsistensi perbandingan dengan mengestimasikan perbandingan rasio. Hal ini membutuhkan beberapa langah sebagai berikut: a) menentukan weighted sum vector dengan cara mengalikan bobot criteria pertama dengan kolom pertama matriks perbandingan berpasangan, kemudian mengalikan bobot kedua dengan kolom kedua, bobot ketiga dengan kolom ketiga, dan akhirnya menjumlahkan semua nilai pada baris yang sama, dan b) menentukan konsistensi vector dengan cara membagi weighted sum vector dengan bobot criteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tabel 4.3 menunjukkan dua tahap kalkulasi dari langkah ketiga untuk menentukan konsistensi rasio. Tabel 10. Penentuan Konsistensi Rasio (Malczewski, 1999) Langkah terakhir yaitu dengan menentukan nilai rata-rata konsistensi vector yang disebut dengan lambda (λ) and index konsistensi (CI). Nilai lamda (λ) merupakan ni;ai rata-rata dari konsistensi vector. Kalkulasi CI tergantung pada pertimbangan bahwa lamda (λ) selalu lebih besar atau sama dengan jumlah criteria dengan syarat (n) bernilai positif. Jika perbandingan berpasangan merupakan matriks yang konsisten, lambda akan bernilai sama dengan jumlah criteria (λ = n). Oleh karena itu, sebuah ukuran (λ = n) dipercaya sebagai nilai atas derajat ketidakkonsistenan. Ukuran tersebut dapat dinormalisasi sebagai berikut 64 Selanjutnya, kita dapat mengkalkulasikan consistency ratio (CR), yang dijelaskan sebagai berikut: Dimana RI adalah random index. Random index bergantung pada jumlah elemen yang dikomparasikan. Rasio didapat dari pengukuran CR yang menunjukkan kinerja penilaian. Jika rasio kurang dari 0.1 (CR < 0.10) menunjukkan sebuah tingkatan kekonsistenan atas perbandingan berpasangan namun jika a reasonable level of consistency in the pair-wise comparison. Namun jika rasio lebih dari 0.1 (CR ≥ 0.10) menunjukkan terjadinya penilaian yang tidak konsisten. Jika terjadi ketidak konsistenan maka nilai asli dari matriks perbandingan berpasangan harus dipertimbangkan ulang dan direvisi (Malczewski, 1999) Nilai di atas menunjukkan Randim Indek (RI) untuk masing-masing ukuran matriks. 3. Pembentukan Peringkat Prioritas Langkah terakhir dalam analisis pembobotan dengan menggunakan metode perbandingan berpasangan adalah menggabungkan bobot relative masing-masing tingkatan yang didapat dari langkah kedua. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan perkalian berurutan masing-masing matriks pada masing-masing tingkatan hirarki. Berat gabungan yang didapatkan pada langkah kedua menunjukkan skor alternative peringkat atau skor alternative keputusan yang digunakan untuk membuat keputusan terhadap keseluruhan analisis. Total keseluruhan skor Ri atas alternative ke-i merupakan total penjumlahan dari peringkat masing-masing tingkatan dan diformulasikan sebagai berikut: 65 Dimana wk merupakan vector prioritas yang berhubungan dengan elemen ke-k pada struktur hirarki criteria, Σ wk = 1; dan rik merupakan vector prioritas dari membandingkan alternative pada masingmasing criteria. Nilai Ri yang paling besar mengindikasikan alternative yang paling diinginkan. Keseluruhan peringkat alternatf didapatkan dengan cara menggabungkan bobot atribut dengan data. Jika data atribut dapat direpresentasikan dengan layer, maka metode AHP dapat digabungkan dengan GIS. GIS memiliki kemampuan untuk mengolah atribut (map layer) data dan memasukkan bobot AHP ke dalam layer sehingga dimungkinkan untuk memperoleh peringkat dalam GIS. Referensi J. Malczewski, GIS and Multicriteria Decision Analysis. Canada: John Wiley & Sons Inc., 1999. J. Malczewski, "Integrating Multicriteria Analysis and Geogrphic Information System. The Ordered Weighted Averaging (OWA) Approach," International Journal on Environmental Technology and Management, vol. 6 (1/2), 2006. T. L. Saaty, The Analytic Hierarchy Process. New York: McGraw-Hill, 1980 4.2. Perspektif analisis keruangan dan Analisis interaksi keruangan Konsep interaksi spasial Perpindahan manusia, barang dan informasi antar titik-titik (tempat-tempat) yang berlainan Interaksi terjadi untuk menjembatani jarak Efek-efek yang terjadi di titik-titik saat terjadinya interaksi antar pelaku kegiatan Fungsi interaksi untuk menjamin kelangsungan fungsi suatu fungsi keruangan Akibat adanya interaksi keruangan akan mendorong: – Sistem keruangan lestari, termasuk spesialisasi antar wilayah yang berinteraksi – Muncul pusat-pusat interkasi baru – Terjadinya persebaran (difusi) baru dari barang dan manusia Prasyarat terjadinya interaksi keruangan Adanya komplementaritas, yaitu saling melengkapi – Dua lokasi atau lebih harus ada kebutuhan saling melengkapi atau komplementaritas, yang didorong oleh permintaan dan penawaran Adanya transferabilitas – Kemungkinan barang atau manusia dapat dipindahkan ke tempat lain, selain dibutuhkan biaya dan waktu, juga harus diperhitungkan peraturan dan tata tertib pelaksanaannya 66 Adanya intervening opportunity – Terjadinya gangguan yang menghambat hubungan interaksi antar lokasi yang berbeda, maka akan memunculkan keputusan untuk mencari lokasi yang lain Model gravitasi Setiap lokasi mempunyai daya tarik tertentu yang menjadi preferensi pengambilan keputusan tentang pilihan lokasi Daya tarik tergantung pada potensi yang terdapat pada suatu lokasi Adanya daya tarik mendorong berbagai kegiatan lain untuk berlokasi di dekat kegiatan yang telah ada terlebih dahulu Model gravitasi digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut Daya tarik suatu lokasi (kota atau wilayah) dapat diukur dari jumlah penduduk, lapangan kerja, total pendapatan, fasilitas pelayanan publik, dll Rumus model gravitasi Pi . Pj Tij = k -------------------------dijb Keterangan: – Tij = jumlah trip antara kota i dengan kota j – Pi = penduduk kota i – Pj = penduduk kota j – dij = jarak antara kota i dengan kota j – b = cepatnya penurunan jumlah trip seiring dengan bertambahnya jarak, sering digunakan b = 2 – k = konstanta Breaking point theory Interaksi antara kota besar dengan kota-kota kecil di sekitarnya memberikan pengaruh terhadap pola keruangan Breaking point theory untuk menyajikan cara meramalkan garis perbatasan (pelayanan) yang memisahkan wilayah-wilayah di sekitar dua kota yang berlainan besarnya Breaking point merupakan titik terluar suatu kota yang berkembang akibat adanya pengaruh interaksi antara dua kota Breaking point dipengaruhi oleh jarak antar kota yang saling berinteraksi dan jumlah penduduk pada masing-masing kota tersebut Rumus breaking point theory dij BPj = --------------------1 + √ (Pi / Pj) Keterangan: – BPj – dij – Pi – Pj = breaking point (batas pengaruh) kota j = jarak antara kota i dan kota j = penduduk kota i = penduduk kota j 67 Penentuan hierarki kota Membantu dalam penentuan fasilitas publik yang harus/perlu dibangun di masing-masing kota Penentuan fasilitas publik tidak hanya menyangkut jenis, tetapi juga kapasitas dan kualitas pelayanan (low order – high order) Mengarahkan lokasi fasilitas publik agar lebih tepat dan lebih efisien Membentuk struktur ruang bersama dengan sistem transportasi yang menghubungkan antara pusat dan hinterlandnya Penetapan orde kota berdasarkan metode rank size rule Metode rank size rule untuk penentuan orde kota berdasarkan atas jumlah penduduk Metode perhitungan: Pn = P1 x Rn -1 – Pn = jumlah penduduk kota orde ke-n – P1 = jumlah penduduk kota terbesar di wilayah tersebut (Orde I) – Rn -1 = orde kota dengan pangkat -1 atau 1/Rn Penetapan orde kota berdasarkan metode zipf Metode zipf untuk penentuan orde kota berdasarkan atas jumlah penduduk menurut tingkat ranking perkotaan yang digunakan di wilayah tersebut Metode perhitungan: Pn = P1 / nq – Pn = jumlah penduduk kota orde ke-n – P1 = jumlah penduduk kota terbesar di wilayah tersebut (Orde I) – n = orde (ranking) kota tersebut – q = sebuah pangkat 4.3. Analisis sistem pusat permukiman dan komposisi keruangan TEORI PERKEMBANGAN KOTA Seiring dengan perjalanan waktu, kota akan mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan sosial-ekonomi dan budayanya serta interaksinya dengan kotakota lain dan daerah sekitarnya. Secara fisik, perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari penduduknya yang semakin bertambah padat, bangunan-bangunan semakin rapat dan wilayah tebangun terutama permukiman yang cenderung semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan sosial dan ekonomi kota. Dinamika perkembangan kota pada dasarnya adalah baik dan alamiah karena perkembangan tersebut merupakan ekspresi dari masyarakat di dalam kota tersebut. Pola penggunaan lahan kota sifatnya tidak statis, tergantung pada perkembangan dan pertumbuhan kota. Penambahan dan pengurangan bangunan, pengubahan fungsi, pertambahan jumlah penduduk, perubahan struktur penduduk, komposisi penduduk, tuntutan masyarakat, serta perubahan nilai-nilai kehidupan, dan aspek-aspek kehidupan (politik, sosial, ekonomi dan budaya 68 teknologi, psikologi, religius) dari waktu ke waktu telah menjadikan kota menjadi dinamis dalam artian selalu berubah dari waktu ke waktu demikian juga pola penggunaan lahannya. Secara garis besar, kekuatan dinamis yang mempengaruhi struktur keruangan kota dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Kekuatan-kekuatan centrifugal (centrifugal forces), kekuatan-kekuatan yang menyebabkan terjadinya pergerakan dan fungís-fungsi perkotaan dari bagian dalam suatu kota menuju ke bagian luarnya. 2. Kekuatan-kekuatan centripetal (centripetal forces), kekuatan-kekuatan yang menyebabkan terjadinya pergerakan baik penduduk maupun fungsi-fungsi yang berasal dari bagian luar menuju kebagian dalam daerah13 perkotaan. Peripheral Zones Inner Zones CITY Inner Zones CORE Inner Zones Inner Zones Peripheral Zones Gambar 38. Struktur Keruangan Kota Yang Dipengaruhi Oleh Kekuatan Sentripetal Dan Sentrifugal Tabel 11. Kekuatan-Kekuatan Dinamis Yang Mempengaruhi Struktur Keruangan Kota (Model Charles Colby) Centripetal Movement Pull Forces (Place of Detination) Push Forces (Place of Origin) Attractive Qualities of Inner Zones : High access to rest of city High access to other central firm Prestige site Many services & facilities, etc. Unattractive Qualities Peripheral Zones : Low access to rest of city Lack of many services Lack of many facilities Low prestige sites, etc. 69 Centrifugal Movement Pull Forces (Place of Detination) Push Forces (Place of Origin) Attractive Qualities of Peripheral Zones : Pleasant environtment Plenty cheap land Access to axial and circumferential transport Less traffic congestion Free fromm pollution Unattractive Qualities Inner Zones : Congestion Expensive land Land shortage Prohibitive regulation High taxes Pollution, etc. Sumber : Yunus (1999) Perkembangan kota dapat menyebabkan batas fisik kota berubah-ubah setiap saat sehingga seringkali terlihat batas fisik kota telah berada jauh diluar batas administrasinya Mengacu pada hubungan antara eksistensi batas fisik dan batas administrasi kota, terdapat tiga kemungkinan hubungan yaitu : 1. Sebagian besar batas fisik kekotaan berada jauh di luar batas administrasi kota (Under Bounded City) 2. Sebagian besar batas fisik kekotaan berada di dalam batas administrasi kota (Over Bounded City) 3. Batas fisik kota koinsiden dengan batas administrasi (True Bounded City) Under Bounded City Over Bounded City Batas Administrasi Batas Administrasi Batas Morfologi Batas Morfologi Rute Transportasi Rute Transportasi Sumber : Yunus, 2000 Gambar 39. Perkembangan Kota Struktur Ruang kota ditinjau dari UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 70 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional (UU No. 26 Tahun 2007). Gambar 40. Struktur Ruang Kota Struktur Perkotaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Gambar 41. Struktur Ruang Perkotaan Sistem Pusat Pelayanan terdiri atas: Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota. 71 Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara. Struktur Ruang Perdesaan Gambar 42. Struktur Ruang Perdesaan Struktur Ruang Perdesaan meliputi: Desa Pusat Pertumbuhan diarahkan dapat terkait dengan pusat-pusat desa disekitarnya dan dapat memberikan efek menetes secara mikro bagi kawasan desa disekitarnya. Selain Desa Pusat Pertumbuhan, untuk tetap menjaga keterkaitan antara kota dan desa (urban-rural linkages) yang bersifat interdependensi/timbal balik dan saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian di pedesaan mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian antara lain: modal, teknologi, informasi, peralatan pertanian dan lain sebagainya. Keterkaitan tersebut merupakan salah satu ciri dari ”AGROPOLITAN”. Referensi: 1. Hadi Sabari Yunus, 1999. The Urban Land Use Change : The Case of the City of Yogyakarta, Proceedings of Remote Sensing for Urban Study and Land Use Planning, Geography Faculty, Gadjah Mada University, Yogyakarta. 2. Yunus, Hadi Sabari. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 3. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 72 4.4. Aplikasi SIG untuk Analisis interaksi keruangan Perencana memerlukan solusi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sementara juga mengembangkan kemampuan untuk secara efektif memprediksi dan menanggapi masalah perkotaan yang kronis dan fluktuatif di masa depan. Sebagian besar keberhasilan perencana dalam memerangi masalah perkotaan yang kronis ditentukan oleh kemampuan mereka untuk memanfaatkan alat yang efektif dan perencanaan sistem dukungan yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan berdasarkan informasi . Hari ini, perencana memanfaatkan GIS di seluruh dunia dalam berbagai aplikasi. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sebuah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk menangkap, mengumpulkan, menyimpan, mengambil, mengubah, menganalisis, dan menampilkan data geospasial dari dunia nyata untuk tujuan tertentu (Chang, 2008; Burrough et.al, 1998)Beberapa software SIG yang tersedia di pasar yaitu ArcGIS, GeoMedia, MapInfo, ERDAS, IDRISI dan Autocad Map. Dari sekian banyak software, ArcGIS dari Enviromental Systems Research Institute (ESRI) adalah yang paling populer (Dong, 2008). Berikut ini beberapa aplikasi bagaimana GIS digunakan sebagai platform untuk membantu perencana mencapai tujuan mereka dalam menciptakan masyarakat yang makmur dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan sekaligus melindungi lingkungan dan mempromosikan pembangunan ekonomi. GIS dapat menyediakan platform perencanaan yang diperlukan untuk visualisasi, pemodelan, analisis, dan kolaborasi. Analisis Kesesuaian Lahan SPBU Analisis kesesuaian lahan merupakan proses dalam menentukan kesesuaian sebuah penggunaan lahan untuk penggunaan yang telah ditentukan (Hopkins, 1977; Steiner, 2000). Dengan kata lain, analisis kesesuaian merupakan proses untuk menentukan apakah lahan tersebut sesuai untuk penggunaan khusus dan untuk menentukan tingkat kesesuaian. Perkembangan dan dan kemampuan untuk mengoverlay peta digital membuat peta kesesuaian lahan lebih cepat dan lebih mudah. Dikarenakan analisis kesesuaian lahan melibatkan beberapa data set analisis, GIS dapat digunakan secara efektif dalam melihat karakteristik lahan dan beberapa jumlah layer untuk masing-masing lokasi sehingga dapat menyelesaikan permasalahan. GIS dapat memproses banyak sekali data dan memiliki fungsi untuk menampilkan dan menghasilkan peta (Manlun, 2003). 73 Tujuan Analisis kesesuaian lahan SPBU, menentukan lahan yang sesuai untuk lokasi SPBU dengan sudut pandang pertimbangan kualitas lingkungan. Kriteria Kriteria yang digunakan untuk menentukan lokasi yang sesuai untuk SPBU, adalah sebagai berikut. Tabel 12. Kriteria dan Indikator dalam Penentuan Lokasi SPBU Sasaran Perlindungan tata air dari kebocoran tangki penyimpanan dalam tanah (UST) perlindungan area sekitar dari bahaya kebakaran dan ledakan pemilihan tata lahan yang tepat guna Kriteria Air tanah Garis pantai Sungai Sumur Jarak terhadap permukiman Jarak terhadap sekolah dan rumah sakit Jarak dari SUTT / SUTM Ketersediaan lahan Kelerengan lahan Zonasi penggunaan lahan pemilihan kemudahan akses terkait aktivitas keluar masuk menuju tapak Layanan tanggap darurat Jarak terhadap persimpangan Jarak terhadap jalan utama Jarak terhadap jalur KA Jarak terhadap Stasiun PMK Jarak terhadap Rs (Sumber: Aulia, 2011) 74 Indikator Penyimpanan UST Min. 300 ft dari air tanah Min. 3.250 ft dari Garis pantai Min. 500 ft dari sungai dan danau Min. 250 ft dari sumur artesis Min. 100 ft dari permukiman Min. 500 ft dari sekolah dan rumah sakit Min. 150 ft dari SUTT/SUTM Lahan Kosong/peruntukan perdagangan maupun industri Max. 35% kelerengan Terletak pada zona perdagangan jasa dan/atau industri Min. 250 ft dari persimpangan Min. 40 ft. Dari jalan utama Min. 820 ft dari jalur KA Min. pada jarak 8 minutes (driving time) dari PMK Min. pada jarak 8 minutes (driving time) dari Rs Proses dan Hasil Garis pantai perlindungan Jalan utama Jarak terhadap Sekolah dan RS Kelerengan lahan Jangkauan layanan tanggap darurat Jarak aman terhadap sungai Penggunaan lahan Gambar 43. Tahapan Analisis Kesesuaian Lahan dan Gambaran Proses Overlay Data Layer Gambar 36. menunjukkan proses analisis kesesuaian lahan yang terdiri dari empat tahap yaitu rasterization, buffering, reclassification, dan overlay.Konversi dari data vector ke data raster disbut dengan rastrisasi (rasterization) dam metode ini menggunakan algoritma computer yang berbeda (Piwowar et.al, 1990). Dalam raster, penampang garis dirubah menjaru sebuah penampang sel kotak yang disebut juga dengan pixel (seperti elemen gambar). Setelah semua data dirasterisasi maka selanjutnya diberlakukan kriteria jarak maksimum yang disebut juga dengan Euclidean Distance. Ukuran jarak tersebut berbeda tergantung kriteria yang digunakan. Pada prinsipnya penerapan Euclidean distance tersebut dilakukan dengan cara menarik garis lurus dari sel sumber ke sel lain sesuai spesifikasi maksimum yang ditentukan (Chang, 2008). Setelah itu, semua data map layer siap untuk direklasifikasikan. Tujuan dari reklasifikasi adalah untuk memberikan nilai untuk kelas pada masing-masing data layer sehingga masing-masing layer memiliki ukuran yang sama dalam menentukan lokasi yang paling sesuai (Tomlin, 1990). 75 Gambar 44. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan SPBU (Aulia, 2012) Gambar di atas menunjukkan hasil peta kesesuaian lahan SPBU. Berdasarkan kriteria yang diinputkan pada masing-masing data map layer maka dapat diketahui bahwa sebagian besar kota Surabaya memiliki kesesuaian tinggi untuk lokasi SPBU. Kawasan yang digaris bawahi tidak sesuai khususnya adalah kawasan sempadan pantai, sempadan sungai, dan RTH. Referensi Aulia, Belinda, “Penataan SPBU berdasarkan Preferensi Pelaku dan Micro Zonasi Kegempaan”, Penelitian BOPT, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia, 2012. Aulia, Belinda, “Siting Suitability Analysis of Petrol Filling Station using GIS and Analytical Hierachy Process: A Case Study of Surabaya Metropolitan”, Thesis, Civil Engineering Department: Universiti Teknologi PETRONAS, Malaysia, 2011. K. T. Chang, Introduction to Geographic Information System vol. Fourth Edition. Unites States: McGrawHill, 2008. P. A. Burrough and R. A. McDonnell, Principles of Geogrpahical Information System. New York: University of Oxford, 1998. J. Dong, "GIS and Location Theory Based Bioenergy Systems Planning," in Systems Design Engineering. vol. Master of Applied Science Ontario, Canada: University of Waterloo, 2008. L. D. Hopkins, "Methods for Generating Land Suitability Maps: a Comparative Evaluation," Journal for American Institute of Planners, vol. 43, pp. 386-399, 1977. 76 F. Steiner and L. McSherry, "Land Suitability Analysis for The Upper Gila River Watershed," in Landscape and Urban Planning. vol. 50, 2000, pp. 199-214. Y. Manlun, "Suitability Analysis of Urban Green Space System Based on GIS," in Urban Planning and Management. vol. Master of Science in Geo-Information Science and Earth Observation Enschede, The Netherlands: International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation, 2003. J. M. Piwowar, E. F. LeDraw, and D.J.Dudycha, "Integration of Spatial Data in Vector and Raster Formats in a Geographic Information System Environment," International Journal of Geographical Information System, vol. 4, pp. 429-44, 1990. C. D. Tomlin, Geographic Information Systems and Cartographic Modeling. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1990. 77 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. 1 KERANGKA MATERI DIKTAT ............................................................................................................... 3 BAB 1. TEORI LOKASI DAN KEDUDUKANNYA DALAM PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA ................ 5 1.1. Pengantar Teori Lokasi ....................................................................................................... 5 1.2. Persoalan Lokasional dan Spasial........................................................................................ 5 1.3. Implikasi Lokasi .................................................................................................................. 6 1.4. Teori Lokasi ........................................................................................................................ 7 1.5. Locational Analysis ............................................................................................................. 8 BAB 2. TEORI LOKASI KLASIK YANG MENJADI DASAR PERKEMBANGAN PENDEKATAN ANALISIS LOKASI MUTAKHIR ...................................................................................................................................... 10 2.1. Teori Von Thünen: Land Use Theory ................................................................................. 10 2.1.1. Aspek Lokasi/Spasial ................................................................................................. 10 2.1.2. Perkembangan Teori Lokasi ...................................................................................... 10 2.1.3. Model Von Thunen ................................................................................................... 11 2.1.4. Aplikasi Model Von Thunen ...................................................................................... 15 2.2. Teori Weber : ndustrial Location Theory .......................................................................... 19 2.3. Teori Lösch dan Christaller : Central Place Theory ........................................................... 22 2.4. Teori Hotelling: Spatial Competition and Competitive Differentiation............................... 26 2.5. Teori Alonso Faktor-faktor Dasar Lokasi ........................................................................... 28 BAB 3. PENDEKATAN DALAM ANALISIS LOKASI ................................................................................ 31 3.1. Dasar-dasar dan Analisis lokasi kegiatan industri .............................................................. 31 3.2. Dasar-dasar dan analisis lokasi kegiatan perdagangan (retail)........................................... 46 3.3. Dasar-dasar dan analisis lokasi fasilitas............................................................................. 53 3.4. Dasar-dasar dan analisis lokasi Permukiman..................................................................... 58 BAB 4. TEKNIK ANALISIS YANG SESUAI UNTUK MENGKAJI ASPEK LOKASIONAL KOMPONEN KEGIATAN WILAYAH DAN KOTA ....................................................................................................... 62 4.1. Aplikasi Multicriteria Analysis untuk menentukan pemilihan lokasi .................................. 62 78 4.2. Perspektif analisis keruangan dan Analisis interaksi keruangan ........................................ 66 4.3. Analisis sistem pusat permukiman dan komposisi keruangan ........................................... 68 4.4. Aplikasi SIG untuk Analisis interaksi keruangan ................................................................ 73 79 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Model Von Thunen dengan Satu Komoditas ................................................................... 13 Gambar 2. Model Von Thunen dengan Zero Rent Margin ................................................................ 13 Gambar 3. Aplikasi Zone Konsentrik Von Thunen ............................................................................. 14 Gambar 4. Pola Land Use pada Model Von Thunen.......................................................................... 16 Gambar 5. Urban bid-rent Curve ...................................................................................................... 16 Gambar 6. Fenomena Urban Sprawl ................................................................................................ 18 Gambar 7. Weber’s Triangle ............................................................................................................ 19 Gambar 8. Isotim ............................................................................................................................. 20 Gambar 9. Isodapane ...................................................................................................................... 21 Gambar 10. Ilustrasi Range dan Threshold ....................................................................................... 22 Gambar 11. Bentuk Heksagon dapat Mengisi Ruang secara Efisien .................................................. 23 Gambar 12. Konsep Heksagon Christraller yang Mendasari Teori Orde kota ................................... 24 Gambar 13. Keberagaman Fungsi di Metropolis yang Masing-masing memiliki Market Area............ 25 Gambar 14. Jaringan Kota yang Dibentuk oleh Ragam Fungsi (Aktivitas) yang berbeda .................... 26 Gambar 15. Locational Interdependence pada Inelastic Demand ..................................................... 27 Gambar 16 Locational Interdependence pada Elastic Demand......................................................... 27 Gambar 17. Bid Rent Curve.............................................................................................................. 29 Gambar 18. Variabel Lokasi Industri ................................................................................................ 32 Gambar 19. Kasus 1 Lokasi Alternatif ............................................................................................... 33 Gambar 20. Kasus 2 Lokasi Alternatif ............................................................................................... 33 Gambar 21. Kasus 3 Lokasi Alternatif ............................................................................................... 34 Gambar 22. Kasus 4 Lokasi ALternatif .............................................................................................. 34 Gambar 23. Kasus 5 Lokasi ALternatif .............................................................................................. 35 Gambar 24. Klasifikasi Industri Berdasarkan Lokasi .......................................................................... 35 Gambar 25. Porter’s Diamond ......................................................................................................... 38 Gambar 26. Madison County, Missouri Industry Clusters ................................................................. 40 Gambar 27. The California Wine Cluster .......................................................................................... 41 Gambar 28. Lokasi Persebaran Industri Prioritas di WPPI I,II,III ........................................................ 43 Gambar 29. Kerangka Keterkaitan Industri Pengolahan Kakao dan Coklat ........................................ 45 Gambar 30. Lokasi Pengembangan Industri Pengelolahan Kakao dan Coklat.................................... 45 Gambar 31. Format Retail ............................................................................................................... 47 Gambar 32. Pertimbangan untuk Mennetukan Lokasi Tapak ........................................................... 48 Gambar 33. Area Perdagangan ........................................................................................................ 49 80 Gambar 34. Klasifikasi Variabel Penilaian Lokasi (Themido et al, 1998) ............................................ 50 Gambar 35. Gravity Model .............................................................................................................. 51 Gambar 36. P-Median Model........................................................................................................... 54 Gambar 37. Multiple Criteria untuk Menjawab Satu Tujuan............................................................. 62 Gambar 38. Struktur Keruangan Kota Yang Dipengaruhi Oleh Kekuatan Sentripetal Dan Sentrifugal 69 Gambar 39. Perkembangan Kota ..................................................................................................... 70 Gambar 40. Struktur Ruang Kota ..................................................................................................... 71 Gambar 41. Struktur Ruang Perkotaan............................................................................................ 71 Gambar 42. Struktur Ruang Perdesaan ............................................................................................ 72 Gambar 43. Tahapan Analisis Kesesuaian Lahan dan Gambaran Proses Overlay Data Layer ............. 75 Gambar 44. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan SPBU (Aulia, 2012)....................................................... 76 81 DAFTAR TABEL Tabel 1. Pembahasan Diktat Berdasarkan Kompetensinya ................................................................. 3 Tabel 2.Perubahan Kecenderungan Lokasi ......................................................................................... 8 Tabel 3. Pola Land Use Von Thunen ................................................................................................. 12 Tabel 4. Distance Matrix For The Network ....................................................................................... 55 Tabel 5. Cost (demand x distance) matrix for the network ............................................................... 56 Tabel 6. Heuristic Algorithm ............................................................................................................ 56 Tabel 7. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng ......................................... 60 Tabel 8. Ketentuan Kebutuhan Sarana Permukiman ........................................................................ 61 Tabel 9. Determining the Relative Criterion Weight (Malczewski, 1999)........................................... 64 Tabel 10. Penentuan Konsistensi Rasio (Malczewski, 1999).............................................................. 64 Tabel 11. Kekuatan-Kekuatan Dinamis Yang Mempengaruhi Struktur Keruangan Kota (Model Charles Colby).............................................................................................................................................. 69 Tabel 12. Kriteria dan Indikator dalam Penentuan Lokasi SPBU........................................................ 74 82