BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Dalam pembelajaran kimia sangat memerlukan kegiatan penunjang berupa praktikum maupun eksperimen di laboratorium. Hal ini dikarenakan metode praktikum adalah salah satu bentuk pendekatan keterampilan proses. Bagi peserta didik diadakannya praktikum selain dapat melatih bagaimana penggunaan alat dan bahan yang tepat, juga membantu pemahaman mereka terhadap materi kimia yang diajarkan di kelas. Selain itu, bagi peserta didik yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, maka melalui praktikum mereka dapat memperoleh jawaban dari rasa ingin tahunya secara nyata. Namun demikian tidak semua SMA memiliki laboratorium yang memadai, sehingga tidak semua konsep kimia yang diajarkan diikuti praktikum di laboratorium. Untuk melaksa-nakan praktikum yang berkaitan dengan materi pokok yang diajarkan di kelas diperlukan seperangkat alat dan bahan yang kadang-kadang sulit dipenuhi oleh sekolah. Ketiadaan alat dan bahan kimia sering menjadi kendala tidak dilakukannya praktikum, meskipun guru pengampu memiliki petunjuk praktikumnya. Oleh karena itu sangat diperlukan kreativitas guru kimia dalam mencari alternatif bahan dan alat lain yang dapat digunakan agar praktkum tetap dapat dilaksanakan. Dengan demikian pelaksanaan praktikum tidak bergantung pada fasilitas laboratorium yang ada di sekolah, tetapi cukup menggunakan bahan dan alat yang dengan mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan kenyataan di lapangan, sebagian besar guru kimia relatif hanya sedikit melakukan kegiatan praktikum, yaitu hanya bergantung pada alat dan bahan yang tersedia. Padahal praktikum merupakan kegiatan wajib yang harusnya menyertai setiap pembelajaran materi di kelas. Berkaitan dengan hal itu, maka penting bagi guru kimia untuk dibekali pengetahuan mengenai bagaimana cara mengembangkan praktikum yang berbasis lingkungan, sehingga kendala fasilitas laboratorium yang tidak memadai dapat diatasi dengan baik. Pada kesempatan ini 1 akan disajikan beberapa contoh praktikum kimia sederhana dengan menggunakan alat dan bahan yang ada di lingkungan sekitar. Salah satu konsep kimia yang sering kali ditemukan di lingkungan sekitar adalah koloid. Contohnya antara lain susu, tinta, cat, sabun, kanji, minyak rambut bahkan udara berdebu termasuk sistem koloid. Kimia koloid mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan dan penghidupan manusia. Proses di alam sekitar kebanyakan berhubungan dengan sistem koloid. Protoplasma dalam sel makhluk hidup merupakan suatu koloid, sehingga kimia koloid diperlukan untuk menerangkan reaksi-reaksi dalam sel. Selain itu tanah terdiri dari bahan-bahan koloid dan pemahaman tentang koloid sangat membantu dalam meningkatkan kesuburan lahan. sebagai contoh, hampir semua bahan pangan mengandung partikel dengan ukuran koloid, seperti protein, karbohidrat, dan lemak. Emulsi seperti susu juga termasuk koloid. Dalam bidang farmasi, kebanyakan produknya juga berupa koloid, misalnya krim, salep adalah emulsi. Dalam industri cat, semen, dan industri karet untuk membuat ban semuanya melibatkan sistem koloid. Semua bentuk seperti spray untuk serangga, cat, hair spray dan sebagainya adalah juga koloid. Dalam bidang pertanian, tanah juga dapat digolongkan sebagai koloid. Proses seperti memutihkan, menghilangkan bau, menyamak, mewarnai, pemurnian, melibatkan adsorpsi pada permukaan partikel koloid dan karena itu pemahaman sifat-sifat koloid sangat penting. Jadi, terlihat betapa pentingnya koloid dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, perlu diadakan percobaan praktikum sederhana tentang kimia koloid demi memperdalam pemahaman siswa. Sedangkan karena keterbatasan waktu serta ingin benar-benar memanfaatkan alat dan bahan yang sederhana maka dalam laporan percobaan ini yang dilakukan adalah koagulasi dalam sistem koloid. Koagulasi sendiri merupakan suatu peristiwa pengendapan partikel koloid; dispersi yaitu memecah butir-butir yang lebih besar menjadi butir-butir seukuran koloid. 1.2. Rumusan masalah 1.2.1. Apakah ada koagulasi pada percobaan yang dilakukan? 1.2.2. Bagaimana proses koagulasi pada sistem koloid? 2 1.2.3. Mengapa koloid bisa mengalami koagulasi? 1.3. Tujuan 1.3.1. Mengetahui adanya koagulasi pada sistem koloid. 1.3.2. Menjelaskan proses koagulasi pada sistem koloid. 1.3.3. Memberikan alasan mengapa koloid bisa mengalami koagulasi. 1.4. Manfaat 1.4.1. Sebagai pembuktiaan bahwa koloid bias mengalami koagulasi 1.4.2. Sebagai bahan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang proses koagulasi pada sistem koloid. 1.4.3. Sebagai sumber pengetahuan mengenai alasan terjadinya koagulasi pada sistem koloid. 3 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Pengertian Koloid Thomas Graham (1805-1809), dalam penyelidikannya mengenai difusi larutan melalui membran telah membedakan koloid dengan kristaloid. Dari pengamatannya ternyata partikel zat dalam larutan ada yang berfungsi cepat dan lambat. Zat-zat yang mudah terdifusi umumnya membentuk kristal dalam keadaan padat, sehingga ia menyebutnya kristaloid. Contohnya NaCl dalam air. Istilah ini tidak populer karena ada zat yang bukan kristal tetapi mudah berdifusi misalnya HCl dan HNO3. Sedangkan zat-zat yang sukar berdifusi seperti lem, agar-agar, putih telur dinamakan koloid. (Bahasa Yunani kolla = perekat) Menurut Graham kecepatan difusi suatu zat dipengaruhi oleh massa partikelnya. Makin besar massa partikel makin kecil kecepatan difusinya. Ada hubungan antara massa dan ukuran partikel. Bila massa partikel besar berarti ukurannya besar, demikian sebaliknya. Salah satu perbedaan nyata antara koloid dan kristaloid adalah ukuran partikelnya. Berdasarkan ukuran partikel ini, campuran zat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Kristarloid (larutan sejati) Diameter partikelnya lebih kecil dari 1 nm (10-9m) 2. Koloid Diameter partikelnya antara 1 nm – 100 nm 3. Suspensi Diameter partikelnya lebih besar dari 100 nm Ukuran partikel larutan sangat kecil, sehingga tidak dapat diamati oleh mikroskop, dan dapat melalui kertas saring maupun membran. Partikel koloid ukurannya terletak antara larutan dan suspensi, sehingga masih cukup kecil nutuk menembus kertas saring biasa, tetapi cukup besar untuk melewati membran atau filter ultra. Berbeda dengan larutan, partikel koloid dapat terlihat dengan mikroskop ultra. 4 2.2. Penggolongan Koloid Koloid dapat digolongkan berdasarkan bentuk partikelnya, cara pembentukannya, interaksi antara kedua fasa dan perubahannya menjadi bukan koloid. 2.3.1. Bentuk partikel Dari segi bentuk partikel koloid dapat berupa: Lembaran (laminar) Serat (fibrilar) Butiran (korpuskular) 2.3.2. Cara pembentukannya Berdasarkan cara pembentukannya koloid dibedakan menjadi koloid dispersi, koloid asosiasi dan koloid makromolekul. Koloid dispersi, yaitu koloid yang terbentuk dari penyebaran (dispersi) partikel-partikel kecil yang tidak larut dalam medium (fase pendispersi) dengan membentuk agregat-agregat molekul atau atom yang sangat banyak. Contohnya: dispersi koloid emas (Au) dan belerang (S). Koloid asosiasi, yaitu koloid yang terbentuk dari gabungan (asosiasi) molekul-molekul kecil, atom atau ion yang larut dalam medium sehingga membentuk agregat-agregat molekul yang disebut misel. Contoh: larutan sabun dan detergen. Koloid makromolekul, yaitu koloid yang terbentuk dari molekul tunggal yang sangat besar (makromolekul). Contoh: protein dan polimer tinggi seperti karet dan plastik. 2.3.3. Interaksi dengan medium Koloid Irofil, yaitu koloid yang mempunyai daya tarik kuat dengan medium pendispersinya, sehingga sulit dipisahkan (stabil). Koloid Irofob, yaitu koloid yang daya tariknya kecil terhadap medium pendispersinya, sehingga cenderung memisah (tak stabil). 2.3.4. Perubahan bentuk Koloid reversibel, yaitu koloid yang dapat berubah menjadi bukan koloid demikian pula sebaliknya. Contoh: susu bubuk dan plasma darah kering. 5 Koloid irreversibel, yaitu koloid yang setelah berubah menjadi bukan koloid tidak dapat menjadi koloid kembali. Contoh: sel belerang dan sel emas. (Estien Yazid, 2005) 2.3. Sifat-sifat Koloid Koloid mempunyai beberapa sifat yang berbeda dengan larutan. Sifat khusus koloid timbul akibat ukuran partikelnya lebih besar daripada larutan. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut: 2.3.1. Sifat Fisika Sifat-sifat fisika koloid berbeda-beda tergantung jenisnya. Pada koloid hidrofob sifat-sifat seperti rapatan, tegangan muka dan viskositas hampir sama dengan medium pendispersinya. Sedangkan koloid hidrofil karena terjadi hidrasi. Sifat-sifat fisikanya sangat berbeda dengan mediumnya. Viskositasnya lebih besar dan tegangan mukanya lebih kecil. 2.3.2. Sifat Koligatif Suatu koloid dalam medium cair juga mempunyai sifat koligatif. Sifat ini hanya bergantung pada jumlah partikel koloid bukan pada jenisnya. Sifat-sifat koligatif koloid umumnya lebih rendah daripada larutan sejati dengan jumlah partikel yang sama. Sifat koligatif berguna untuk menghitung konsentrasi atau jumlah partikel koloid. Kecuali pengukuran tekanan osmosa, dipakai untuk menetapkan berat molekul rata-rata koloid makromolekul. 2.3.3. Sifat Optis Pada tahun 1869, Tyndall menemukan bahwa apabila suatu berkas cahaya dilalukan pada larutan koloid, maka berkas cahaya tadi akan tampak. Tetapi apabila berkas cahaya yang sama dilakukan pada larutan sejati, berkas cahaya tadi tidak kelihatan. Efek ini dikenal sebagai efek Tyndall. 2.3.4. Sifat Kinetik Selain menunjukkan efek Tyndall, partikel koloid bila diamati dibawah mikroskop ultra nampak sebagai bintik-bintik bercahaya yang selalu bergerak secara acak dengan jalan berliku-liku. Gerakan acak partikel koloid dalam suatu medium pendispersi ini disebut gerakan Brown. Partikel zat terlarut akan mendifusi dari larutan yang konsentrasinya tinggi ke daerah yang konsentrasinya lebih rendah. Difusi erat kaitannya dengan gerakan 6 Brown, sehingga dapat dianggap molekul-molekul atau partikel-partikel koloid mendifusi karena gerakan Brown. Partikel-partikel koloid mempunyai kecenderungan untuk mengendap karena pengaruh gravitasi bumi. Hal tersebut bergantung pada rapat massa partikel terhadap mediumnya. Jika rapat massa partikel lebih besar dari medium suspensinya, maka partikel tersebut akan mengendap. Sebaliknya bila rapat massanya lebih kecil akan mengapung. 2.3.5. Sifat Listrik Permukaan partikel koloid mempunyai muatan listrik disebabkan terjadinya ionisasi atau penyerapan ion-ion dalam larutan. Akibatnya partikel koloid dapat bergerak dalam medan listrik. Bergeraknya partikel-partikel koloid oleh pengaruh medan listrik ini disebut elektroforesis. 2.3.6. Adsorpsi Partikel koloid mempunyai permukaan luas, sehingga mempunyai daya adsorpsi yang besar. Adsorpsi adalah peristiwa penyerapan suatu zat, ion atau molekul yang melekat pada permukaan. Sedangkan bila penyerapan sampai ke bawah permukaan disebut absorpsi. Absorpsi adalah proses penyerapan oleh suatu benda baik berupa padatan atau cairan yang langsung keseluruh bagian benda itu. (Yazid, 2005) 2.4. Koagulasi Koloid Koagulasi juga merupakan salah satu sifat dari koloid. Koagulasi adalah penggumpalan partikel koloid dan membentuk endapan. Koagulasi ini terjadi karena elektrolit yang muatannya berlawanan. Apabila muatan koloid dihilangkan, maka kestabilan koloid akan berkurang dan dapat menyebabkan koagulasi atau penggumpalan. Penghilangan muatan koloid dapat terjadi pada sel elektroforesis atau jika elektrolit ditambahkan ke dalam sistem koloid. Apabila arus listrik dialirkan cukup dalam ke dalam sel elektroforesis, maka partikel koloid akan digumpalkan ketika mencapai elektrode. Jadi, koloid yang bermuatan negatif akan digumpalkan di anode, sedangkan koloid yang bermuatan positif digumpalkan di katode. Dengan terjadinya koagulasi, berarti zat terdispersi tidak lagi membentuk koloid. Koagulasi dapat terjadi secara fisik seperti pemanasan, 7 pendinginan dan pengadukan atau secara kimia seperti penambahan elektrolit, pencampuran koloid yang berbeda muatan. 2.4.1. Proses Koagulasi Koagulasi dapat terjadi karena pengaruh fisis, seperti pemanasan, pendinginan, dan pengadukan. Koagulasi secara kimia dapat terjadi dengan penambahan elektrolit yang mengandung ion-ion dengan muatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid. Akibat adanya muatan yang berlawanan akan terjadi penetralan muatan koloid sehingga partikel-partikelnya tidak lagi bermuatan. Hal ini menyebabkan kestabilan koloid akan terganggu dan terjadi pengendapan. 2.4.2. Contoh Koagulasi Contoh koagulasi dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut ini. Pembentukan delta di muara sungai terjadi karena koloid tanah liat (lempung) dalam air sungai mengalami koagulasi ketika bercampur dengan elektrolit dalam air laut. Karet dalam lateks digumpalkan dengan menambahkan asam format. Lumpur koloidal dalam air sungai dapat digumpalkan dengan menambahkan tawas. Sol tanah liat dalam air sungai biasanya bermuatan negatif sehingga akan digumpalkan oleh ion Al 3+ dari tawas (alumunium sulfat). Asap atau debu dari pabrik/ industri dapat digumpalkan dengan alat koagulasi listrik dari Cottrell. Asap dari pabrik rokok sebelum meninggalkan cerobong asap dialirkan melalui ujung-ujung logam yang tajam dan bermuatan pada tagangan tinggi (20.000-75.000 V). Ujung-ujung yang runcing akan mengisolasikan molekul-molekul dalam udara. 2.4.3. Faktor Penyebab Koagulasi Faktor penyebab terjadinya koagulasi pada koloid antara lain yaitu: Pemanasan, contohnya yaitu santan yang dipanaskan. Penambahan koagulan, contohnya yaitu pada pembuatan tahu. Aktivitas enzim atau mikroba, contohnya yaitu pada susu yang sudah basi. 8 BAB III Metode Penelitian 5.1. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah: 1) Gelas bening 1 buah 2) Sendok makan 1 buah Sedangkan bahan yang digunakan adalah: 1) Susu cair 2) Cuka 5.2. Prosedur Kerja 1) Masukkan susu cair ke dalam gelas. 2) Tambahkan 5 sendok makan cuka ke dalam gelas yang telah berisi susu cair. 3) Aduk secara perlahan dan diamkan beberapa saat. 4) Amati dan catat perubahan yang terjadi. 9 BAB IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil Pengamatan Berdasarkan hasil pengamatan setelah pencampuran susu cair dengan 5 sendok makan cuka maka warna susu menjadi lebih keruh (agak kecoklatan) dan Nampak ada sedikit gumpalan yang menempel pada ujung gelas setelah didiamkan beberapa saat, seperti yang ditunjukan pada gambar berikut. Gambar 4.1. Susu cair ditambahkan dengan cuka 4.2. Pembahasan Susu termasuk emulsi cair karena zat fase cair terdispersi dalam zat fase cair. Artinya, zat terdispersi berfase cair dan zat pendispersi (medium) berfase cair. Susu termasuk koloid karena secara makroskopis bersifat homogen, tetapi heterogen jika diamati dengan mikroskop ultra, dapat disaring dengan penyaring ultra. Susu memiliki komposisi yang berkisar pada 87,7% air, 4,9% laktosa (karbohidrat), 3,4% lemak, 3,3% protein, dan 0,7% mineral. Keberadaan campuran partikel laktosa, lemak dan protein yang terdispersi secara merata dalam air ini akan menyebabkan kelakuan sifat materi yang tergolong sebagai koloid. Ukuran partikel tersebut berkisar antara 5-200 nanometer. Secara fisik apabila disorot dengan suatu sinar maka akan terjadi reflektansi dan pantulan karena keberadaan partikel-partikel koloid ini. Sifat susu bersesuaian dengan sifat-sifat koloid, seperti memberikan gejala efek tyndall ketika disinari, dapat menggumpal (bila telah basi/ berubah jadi asam). 10 Susu tergolong sistem koloid yang kurang stabil sehingga mudah mengalami koagulasi. Untuk melindungi koloid tersebut agar tidak terkoagulasi maka di dalam susu terdapat kasein yang berfungsi untuk menstabilkan emulsi yang disebut emulgator (zat pengemulsi). Sehingga apabila penambahan cuka (suatu asam) pada susu maka akan dengan mudah mengendapkan kasein pada susu. Penambahan asam mengakibatkan penambahan ion H+ sehingga akan menetralkan protein dan menuju tercapainya pH isoelektrik. Penambahan larutan asam berarti menambahkan konsentrasi dari ion H+ yang kemudian akan mengadakan reaksi dengan muatan negatif protein yang berasal dari gugus hiroksil bebasnya. Semakin banyak konsentrasi H+ yang ditambahkan maka semakin banyak pula penurunan pH dari susu sehingga titik isoelektriknya semakin dekat. Apabila pH isoelektrik sudah tercapai maka muatan yang saling berlawanan akan saling menetralkan sehingga akan terbentuk gumpalan (koagulasi). 11 BAB V Penutup 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 5.1.1. Penambahan cuka pada susu cair akan menimbulkan koagulasi (gumpalan) 5.1.2. Proses koagulasi pada susu bermula dari mengendapnya kasein pada susu akibat dari penambahan asam sehingga kasein yang merupakan penstabil koloid susu tidak berfungsi lagi. 5.1.3. Susu mudah mengalami koagulasi karena kurang stabilnya sistem koloid susu. 5.2. Saran Agar lebih memperjelas percobaan tersebut maka sebaiknya menggunakan dua gelas yaitu adanya pembanding antara susu yang tidak terkoagulasi dengan susu yang terkoagulasi akibat penambahan asam. 12 Daftar Pustaka Alifah R.A. 2012. Koloid Susu. dreams.blogspot.com/2012/06/koloid-susu.html http://alifah- Anonim. 2016. Pengertian Koagulasi. https://www.temukanpengertian.com/2016/02/pengertian-koagulasi.html Copriady, J., Azmi, J, Maharani. 2011. Isolasi Karakterisasi dan Pentuan Laktalbuminn Susu Sapi Fries Holdstein dengan Metode Lowry. Jurnal Natur Indonesia. 13 (2): 134–137 Hidayat, Kusrahayu dan S.Mulyani. 2013. Total Bakteri Asam Laktat, Nilai pH dan Sifat Organoleptik Drink Yoghurt dari Susu Sapi yang Diperkaya dengan Ekstrak Buah Mangga. Animal Agriculture Journal. Vol. 2. No. 1 13