TINJAUAN PUSTAKA Diagnosis dan Penatalaksanaan Malaria Tanpa Komplikasi pada Anak Armand Setiady Liwan Dokter Misi Keuskupan Manokwari-Sorong Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, Indonesia ABSTRAK Malaria adalah masalah kesehatan utama dunia. Kematian terbesar akibat malaria terjadi pada masa bayi dan kanak-kanak. Masalahnya antara lain karena gejala-gejala malaria pada anak berbeda dan sering tidak spesifik, juga tidak tersedia laboratorium di daerah. Selain itu, pola resistensi obat anti-malaria pun terus berubah dan berbeda di setiap daerah. Klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin tidak lagi digunakan karena tingginya resistensi di banyak negara. Peningkatan kemampuan tenaga medis dalam mendeteksi dan memahami penatalaksanaan malaria terbaru menjadi penting untuk mencegah terjadinya malaria berat. Kata kunci: Malaria, anak, diagnosis ABSTRACT Malaria is a major worldwide problem. Most of malaria death are in infancy and childhood. Problems encountered are that symptoms of malaria in children are different and often non-specific, and the unavailability of laboratory diagnosis. The pattern of anti-malarial drug resistance are also continues to change and vary by region; chloroquine and sulfadoxine-pyrimetamine are no longer used because of high resistance in many countries. Increased ability of medical personnel to detect cases and to understand the latest management of malaria are important to prevent severe malaria. Armand Setiady Liwan. Diagnosis and Management of Uncomplicated Malaria in Children. Keywords: Malaria, children, diagnosis PENDAHULUAN Malaria adalah salah satu penyakit infeksi parasit terpenting di dunia; penyakit ini menjadi masalah terutama bagi negaranegara yang sedang berkembang. WHO memperkirakan jumlah kasus malaria setiap tahun antara 300-500 juta dengan lebih dari 1 juta kematian. Sebagian besar kematian akibat malaria terjadi pada masa bayi dan kanak-kanak (lebih dari 3000 kematian per hari). Di Indonesia, malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Angka kesakitan cukup tinggi terutama di luar Jawa dan Bali. Malaria bermanifestasi sebagai penyakit akut ataupun kronik, ditandai dengan demam paroksismal, menggigil, kelelahan, berkeringat, anemia, dan splenomegali. Manifestasi klinis malaria pada anak berbeda dan tidak spesifik dibandingkan dewasa. Belum ditemukannya definisi klinis keluhan atau gejala klinis di daerah endemis tertentu dapat menyebabkan over diagnosis dan over treatment malaria pada anak.1,2 Alamat korespondensi EPIDEMIOLOGI Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan utama dunia dan terjadi di lebih dari 100 negara. Daerah transmisi utama terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Plasmodium falciparum adalah spesies predominan di Afrika, Haiti, dan New Guinea. Plasmodium vivax predominan di Bangladesh, Amerika Tengah, India, Pakistan, dan Sri Lanka. P. vivax dan P. falciparum predominan di Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Oceania. Plasmodium ovale adalah spesies yang paling tidak umum, terutama tersebar di Afrika.1 Gambar 1. Distribusi global spesies Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax1 email: [email protected] CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015 425 TINJAUAN PUSTAKA Tabel 1. Karakteristik Plasmodium yang menginfeksi manusia1,4 Karakteristik Lama fase intrahepatik (hari) Jumlah merozoit yang dilepaskan tiap hepatosit yang terinfeksi Lama fase eritrosit (jam) Sel darah merah yang diserang Kemampuan relaps Masa inkubasi P. falciparum P. vivax P. ovale 5,5 8 9 15 30.000 10.000 15.000 15.000 48 48 50 72 Semua sel darah merah (100%) Retikulosit (2%) Retikulosit (2%) Sel matang (<1%) Tidak Ya Ya Tidak 9-14(12) 12-17(15) 16-18(17) 18-40(28) Menurut survei kesehatan rumah tangga tahun 2001, terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap tahunnya di Indonesia. Diperkirakan 35% penduduk Indonesia tinggal di daerah berisiko terinfeksi malaria. Di pulau Jawa dan Bali, Annual Parasite index (API) masih berfluktuasi, pada tahun 2005, 2006, dan 2007 tercatat 0,95‰, 0,19‰ dan 0,16‰. Sedangkan di luar Jawa dan Bali, Annual Malaria Incidence (AMI) menurun dari 24,75‰ pada tahun 2005 menjadi 19,67‰ tahun 2007. Di Sumatera Utara antara tahun 2000-2004, diperkirakan lebih dari 50.000 kasus setiap tahun dengan 9-10 kasus kematian. Pada tahun 2010 WHO memperkirakan terdapat sekitar 600.000 kematian akibat malaria di seluruh dunia dan 86% adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun.3-6 PATOGENESIS Malaria disebabkan oleh protozoa Plasmo- Gambar 2. Siklus hidup Plasmodium4 426 P. malariae dium intraseluler yang ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk Anopheles betina. Saat ini, tercatat ada 5 spesies Plasmodium yang diketahui dapat menyebabkan malaria pada manusia, yaitu P. falciparum, P. malariae, P. vivax, P. ovale, dan P. knowlesi. Plasmodium knowlesi adalah spesies Plasmodium yang sebelumnya hanya teridentifikasi pada kera. Kasus pertama yang terjadi pada manusia tercatat di semenanjung Malaysia pada tahun 1965.1,3 Spesies Plasmodium dapat dijumpai dalam berbagai bentuk dan memiliki siklus hidup yang kompleks. Parasit ini dapat bertahan hidup di lingkungan seluler yang berbeda, baik dalam tubuh manusia (fase aseksual) maupun nyamuk (fase seksual). Replikasi Plasmodium terjadi melalui 2 tahap dalam tubuh manusia. Fase eritrositik yang terjadi di dalam sel-sel hati dan fase eritrositik yang terjadi di dalam sel darah merah.1 Fase eksoeritrositik dimulai dengan inokulasi sporozoit ke dalam peredaran darah oleh nyamuk Anopheles betina. Dalam hitungan menit, sporozoit akan menginvasi sel-sel hepatosit, berkembang biak secara aseksual dan membentuk skizon. Setelah 1-2 minggu, sel-sel hepatosit ruptur dan mengeluarkan ribuan merozoit ke dalam sirkulasi. Skizon spesies P. falciparum, P. Malariae, dan P. knowlesi sekali ruptur tidak akan lagi berada di hati. Skizon spesies P. vivax dan P. ovale ruptur dalam 6-9 hari dan ruptur sekunder pada skizon yang dorman (hipnozoit) dapat terjadi setelah beberapa minggu, bulan atau tahun sebelum mengeluarkan merozoit dan menyebabkan relaps (malaria kronis).1,2,4 Fase eritrositik dimulai saat merozoit dari hati menginvasi sel darah merah. Di dalam eritrosit, parasit ini bertransformasi menjadi bentuk cincin yang kemudian membesar membentuk tropozoit. Tropozoit berkembang biak secara aseksual yang kemudian ruptur dan mengeluarkan eritrositik merozoit, yang secara klinis ditandai dengan demam. Beberapa dari merozoit ini berkembang menjadi gametosit jantan dan gametosit betina, sekaligus melengkapi fase siklus aseksual pada manusia. Gametosit jantan dan gametosit betina ini dicerna oleh nyamuk Anopheles betina saat mengisap darah dari manusia. Dalam perut nyamuk, gametosit jantan dan betina ini bergabung untuk membentuk zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar, nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.1,4 MANIFESTASI KLINIS Penderita malaria biasanya menunjukan gejala utama demam tinggi yang bersifat paroksismal disertai menggigil, berkeringat, dan nyeri kepala. Selain itu, sering ditemukan kelelahan, anoreksia, nyeri punggung, mialgia, pucat, dan muntah. Manifestasi klinis malaria pada anak berbeda dengan orang dewasa, sehingga sering salah diintepretasikan dengan gastroenteritis akut atau infeksi virus akut lainnya. Anak-anak yang berasal dari daerah endemis malaria (partially immune) umumnya menunjukkan gejala minimal seperti berkurangnya aktifitas, anoreksia atau bahkan asimptomatik; tidak harus disertai demam, terutama bagi anak di daerah CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015 TINJAUAN PUSTAKA Tabel 2. Perbedaan manifestasi malaria berat pada anak dan dewasa4 Manifestasi pada Anak 1. Koma (malaria serebral) Manifestasi pada Dewasa 1. Koma** 2. Distres pernafasan 2. Gagal ginjal akut** 3. Hipoglikemia ( sebelum terapi kina )* 3. Edema paru, termasuk ARDS** 4. Anemia berat* 4. Hipoglikemia (umumnya sesudah terapi kina) 5. Kejang umum berulang 5. Anemia berat (<5%) 6. Asidosis metabolik 6. Kejang umum berulang 7. Kolaps sirkulasi, syok,hipotensi (sist<50mmHg) 7. Asidosis metabolik 8. Gangguan kesadaran selain koma 8. Kolaps sirkulasi, syok 9. Kelemahan yang sangat (severe prostration) 9. Hipovolumia, hipotensi 10. Hiperparasitemia 10. Pendarahan spontan 11. Ikterus 11. Gangguan kesadaran selain koma 12. Hiperpireksia (suhu >41°C) 12. Hemoglobinuria 13. Hemoglobinuria 13. Hiperparasitemia >5% 14. Pendarahan spontan 14. Ikterus (bilirubin total >5%) ** 15. Gagal ginjal 15. Hiperpireksia (>40°C) * komplikasi terbanyak pada anak endemis. Pada anak dengan asimptomatik yang positif parasit malaria di darah, dapat hanya menunjukkan splenomegali sebagai temuan tunggal.1,7,8 Sistem imunitas penderita sangat mempengaruhi manifestasi klinis malaria. Pada daerah endemis, mayoritas kematian terjadi pada anak-anak yang lebih muda akibat anemia berat. Pada populasi yang sama, orang dewasa dan anak-anak lebih besar biasanya menunjukkan gejala minimal dan bahkan asimptomatik. Sebaliknya pada daerah nonendemis, imunitas parsial penderita umumnya belum terbentuk atau terbentuk pada usia dewasa, dan mayoritas kematian diakibatkan oleh malaria serebral. Nyeri kepala, pusing dan iritabilitas dapat mendahului malaria serebral, tetapi pada anak non-imun (tidak tinggal di daerah endemis sejak lahir) kondisi dapat cepat berubah dari kondisi sadar penuh menjadi koma dalam hitungan jam. Kejang adalah kondisi yang umum pada anak-anak dan sering disertai peningkatan tekanan intrakranial.1,7 Komplikasi penting malaria berat pada anak adalah hipoglikemia. Hal ini terjadi karena supresi proses glukoneogenesis parasit di hati dan sekaligus menginduksi sekresi insulin di pankreas. Sekresi insulin meningkat dengan penggunaan kina dan dapat mengakibatkan sekuele neurologis yang berat. Distres pernafasan adalah komplikasi umum lain pada anak-anak, umumnya konsekuensi dari asidosis berat. Berbeda dengan anakanak, distres pernafasan pada orang dewasa biasanya akibat edema paru dan juga ARDS CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015 ** komplikasi terbanyak pada dewasa (acute respiratory distress syndrome). Gejalagejala seperti black water fever dan algid malaria (kolaps pembuluh darah, syok, dan hipotermi) jarang terjadi pada anakanak.1,6,7,8 Malaria anak sering menunjukkan gejala beragam sesuai kelompok umur. Hasil penelitian di kabupaten Sikka-NTT, gejala klinis yang membedakan malaria pada anak dengan penyakit lain adalah splenomegali, menggigil, dehidrasi ringan, riwayat kejang, dan pucat; dengan nilai spesifisitas 77,0%. Sedangkan gejala klinis terbaik pada pasien anak umur >5 tahun adalah splenomegali, menggigil, nyeri perut, dan dehidrasi ringan, dengan nilai spesifisitas 79,5%.6 Riwayat kejang terutama didapatkan pada bayi kurang dari satu tahun, diare pada balita, dan nyeri perut pada anak lebih besar. Infeksi malaria pada anak usia sekolah mempengaruhi prestasi belajar; malaria akut tidak berat mempengaruhi kemampuan kognitif anak di sekolah secara signifikan.5,7 Infeksi Plasmodium selama kehamilan dapat menyebabkan keguguran, retardasi pertumbuhan janin, lahir mati, berat bayi lahir rendah, kelahiran prematur, dan malaria kongenital. Pada malaria kongenital (umumnya muncul pada 10-30 hari kehidupan) transmisi terjadi selama kehamilan; dapat menunjukkan gejala demam, gelisah, pucat, ikterus, kejang, distres pernafasan, intoleransi minum, muntah, diare, sianosis, dan hepatosplenomegali. Menggigil tidak umum terjadi karena pusat pengatur suhu yang belum sempurna. Malaria pada kelompok usia ini tidak jarang terjadi di daerah endemis, namun sering tidak dikenali karena gejala yang tumpang tindih dengan penyakit lain, seperti sepsis.7,9,10 DIAGNOSIS Diagnosis malaria dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Secara klinis, sesuai rekomendasi WHO malaria dapat dicurigai berdasarkan daerah epidemiologisnya: • Di daerah non-endemis, diagnosis klinis malaria tidak berat harus didasarkan pada kemungkinan paparan malaria (berpergian ke daerah endemis) dan riwayat demam 3 hari terakhir tanpa gejala penyakit berat lainnya. • Di daerah endemis, diagnosis klinis didasarkan pada riwayat demam dalam 24 jam terakhir dan atau adanya gejala anemia (pucat pada palmar merupakan tanda paling reliabel pada anak yang lebih muda). Tetap perlu diperhatikan adanya gejala klasik seperti demam, menggigil, pucat disertai splenomegali; dan gejala lain seperti nyeri kepala, mual-muntah, nyeri otot-tulang, riwayat kejang (terutama bayi <1 tahun), diare (balita), dan nyeri perut (anak >5 tahun). Riwayat tinggal di daerah endemis malaria, Gambar 3. A. Apusan darah tebal; B-H. Apusan darah tipis; B. Signet ring P. falciparum tropozoit; C. Gametosit berbentuk pisang khas pada P. falciparum; D. Ameboid tropozoit khas P. vivax; E. Skizon P.vivax; F. Gametosit sferis P. vivax; G. Tropozoit P. ovale; dan H. Tropozoit pita P. malariae.1 427 TINJAUAN PUSTAKA riwayat sakit malaria, riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir dan juga riwayat transfusi darah penting ditelusuri.1,4,8 Hasil pemeriksaan laboratorium yang menyertai antara lain anemia, trombositopenia, leukosit normal/leukopenia, dan peningkatan LED. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan apusan darah tebal dan apusan darah tipis. Apusan darah tebal dibuat dengan pewarnaan Giemsa atau Field Stain, sedangkan apusan darah tipis dengan pewarnaan Wright atau Giemsa. Pemeriksaan apusan darah tebal bertujuan melihat jumlah eritrosit dalam darah, sementara pemeriksaan apusan darah tipis bertujuan melihat perubahan bentuk eritrosit, jenis Plasmodium, dan persentase eritrosit yang terinfeksi. Hasil apusan darah negatif tunggal tidak meniadakan diagnosis malaria, karena sebagian besar pasien bergejala akan menunjukkan hasil positif dalam 48 jam. Pemeriksaan darah serial setiap 6 jam selama tiga hari berurutan dapat dilakukan. Pemeriksaan apusan darah tipis tidak mungkin dapat membedakan morfologi spesies P. malariae dan P. knowlesi, sehingga diperlukan pemeriksaan lebih canggih seperti polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan praktis terutama di daerah endemis dapat dilakukan dengan rapid diagnostic test (RDT) berbentuk dipstick, dianjurkan menggunakan tes diagnostik cepat yang memiliki kemampuan minimal sensitivitas 95% dan spesifisitas 95%. Malaria tanpa komplikasi harus dibedakan dengan penyakit infeksi lain, seperti demam tifoid, demam dengue, infeksi saluran pernafasan akut, leptospirosis ringan dan infeksi virus akut lainnya.1,8,9,11 PENATALAKSANAAN Tenaga kesehatan perlu memperhatikan informasi terbaru tentang malaria karena pola resistensi obat anti-malaria terus berubah. Penatalaksanaan malaria tidak berat (tanpa komplikasi) adalah secara rawat jalan dengan obat anti-malaria yang direkomendasikan WHO. Klorokuin dan sulfodoksin-pirimetamin tidak lagi digunakan karena tingginya resistensi P. falciparum terhadap obat ini di banyak negara. Penatalaksanaan malaria tidak berat meliputi pengobatan simptomatik dan pengobatan anti-malaria bertujuan untuk eradikasi parasit dalam tubuh dan mencegah terjadinya komplikasi.1,4,11 428 Pengobatan Simptomatik Pemberian antipiretik pada anak demam untuk mencegah hipertermia dengan dosis paracetamol 15 mg/kgBB/dosis setiap 4-6 jam. Apabila terjadi hipertermia (suhu rektal >40°C), berikan paracetamol dosis inisial 20 mg/kgBB/dosis dilanjutkan dengan dosis rumatan 15 mg/kgBB/dosis. Pada anak kejang, sebaiknya berikan diazepam intravena perlahan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/dosis atau diazepam rektal 5 mg (berat badan <10 kg) atau 10 mg (berat badan >10 kg), dan segera rujuk ke rumah sakit, karena kejang merupakan salah satu gejala malaria berat yang membutuhkan penanganan lanjutan. Suplementasi zat besi dengan atau tanpa zinc secara bermakna meningkatkan kadar hemoglobin pada penderita malaria tropikana di daerah endemis. Namun, pemberian zat besi pada malaria dengan anemia ringan tidak dianjurkan, kecuali bila disebabkan oleh defisiensi besi.11,17 Pengobatan Anti-malaria Lini pertama: 1. Dehidroartemisin + piperakuin (fixed dose combination) Dosis dehidroartemisin 2-4 mg/kgBB dan piperakuin 16-32 mg/kgBB/dosis tunggal, diberikan selama 3 hari. Saat ini, rutin digunakan di Papua dan Papua Barat. Penggunaan dehidroartemisin-piperakuin pada anak lebih ditoleransi karena adverse event yang lebih rendah dari artesunatamodiakuin.12 2. Artesunat + amodiakuin (tablet 50 mg artesunat dan 153 mg amodiakuin) Dosis artesunat 4 mg/kgBB/dosis tunggal selama 3 hari, dan amodiakuin 10 mg- basa/ kgBB/dosis tunggal juga selama 3 hari.4,11,13,14 Lini kedua: 1. Kina (tablet 200 mg kina fosfat/sulfat) Dosis kina 10 mg/kgBB/dosis, diberikan 3 kali sehari selama 7 hari. Kina harus dikombinasikan dengan doksisiklin pada P. falciparum, dengan dosis doksisiklin: 2 mg/kgBB/dosis (usia >14 tahun), 1 mg/kgBB/dosis (8-14 tahun), 2 kali sehari selama 7 hari. Pada ibu hamil dan anak kurang dari 8 tahun direkomendasikan mengganti doksisiklin dengan klindamisin. Kombinasi kina dan klindamisin aman, efektif, dan memiliki adverse event lebih sedikit. Dosis klindamisin: 20 mg basa/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari.4,15 Obat anti-malaria lini pertama dan kedua (blood schizonticidal) harus ditambah primakuin. Primakuin bermanfaat untuk eradikasi Plasmodium yang dorman dalam jaringan, terutama hepar (tissue schizonticidal). Untuk P. falciparum khusus untuk anak >1 tahun, dosis primakuin: 0,75 mg-basa/kgBB/ dosis tunggal 1 hari. Sedangkan untuk P. vivax, P. ovale dan P. malariae dikombinasikan dengan primakuin 0,25 mg/kgBB/dosis tunggal selama 14 hari. Primakuin tidak boleh diberikan untuk anak usia <1 tahun, ibu hamil, dan defisiensi G6PD.1,4,16,18 Kondisi klinis malaria pada anak dapat cepat memburuk. Edukasi orang tua pasien penting sebagai partner pemantauan selama rawat jalan. Apabila anak tidak bisa menoleransi obat oral atau muncul gejala-gejala malaria berat sebaiknya dirujuk untuk pemberian antimalaria intravena dengan dosis terukur. WHO merekomendasikan pemberian artesunat rektal dosis tunggal pada anak dengan malaria sebelum dirujuk ke pusat pelayanan lanjutan. Data menunjukan kematian akibat malaria pada anak menurun dengan pemberian artesunat per rektal jika waktu rujuk melebihi 6 jam. PROFILAKSIS Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi risiko terinfeksi malaria, sehingga bila terinfeksi gejala klinisnya tidak berat. Ditujukan terutama untuk orang yang berpergian ke daerah endemis dalam waktu yang tidak terlalu lama, seperti turis. Untuk jangka waktu lama pada anak sebaiknya mengggunakan perlindungan diri seperti kelambu, repellent (Diethyltoluamide/DEET 2535%), kawat kasa, dan lain-lain. Penggunaan DEET 25-35% dihindari pada bayi <2 bulan dan sebaiknya dibilas secepatnya dari kulit apabila berada di dalam ruangan yang terlindungi. Kemoprofilaksis ditujukan terutama untuk P. falciparum karena virulensinya tinggi. Sehubungan dengan tingginya resistensi P. falciparum terhadap klorokuin, doksisiklin menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis pada anak usia lebih dari 8 tahun. Doksisiklin diminum 1 hari sebelum keberangkatan dengan dosis 2 mg/kgBB setiap hari selama tidak lebih dari 12 minggu. Pada anak yang lebih kecil dapat digunakan atovaquoneproguanil dan mefloquine. Atovaquoneproguanil memiliki sediaan tablet anak dan lebih ditoleransi dari mefloquine, dimulai dari CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015 TINJAUAN PUSTAKA 2 hari sebelum berpergian dan dikonsumsi setiap hari, sesuai waktu berpergian yang singkat. Untuk waktu berpergian yang lama, dapat diberikan mefloquine 4,6 mg basa/ kgBB/minggu, dimulai dari 2 minggu sebelum keberangkatan. Namun, mefloquine kurang disukai karena tidak ada sediaan untuk anak dan rasanya pahit.1,4,9 PROGNOSIS Sebagian besar anak dengan malaria tanpa komplikasi akan menunjukkan perbaikan dalam 48 jam setelah mulai pengobatan dan bebas demam setelah 96 jam. Apabila malaria dapat dideteksi dini dan diberi pengobatan yang tepat, prognosis malaria tanpa komplikasi pada anak umumnya baik. SIMPULAN Malaria tidak berat pada anak sering dijumpai terutama di daerah endemis. Gejala klinis yang tidak spesifik dan ketidaktersediaan pemeriksaan penunjang menjadikan kemampuan praktisi kesehatan menjadi sangat penting. Gejala klasik malaria adalah demam, menggigil, pucat, disertai splenomegali; dan gejala lain seperti nyeri kepala, mual-muntah, nyeri otot-tulang, riwayat kejang (terutama bayi <1 tahun), diare (balita) dan nyeri perut (anak >5 tahun). Pemeriksaan praktis, terutama di daerah endemis, seperti rapid diagnostic test berbentuk dipstick dapat digunakan. Kombinasi obat anti-malaria dehidroartemisin-piperakuin + primakuin lebih ditoleransi pada anak karena adverse event yang lebih rendah daripada kombinasi artesunat-amodiakuin + primakuin. Deteksi malaria sejak dini dan pengobatan yang tepat umumnya memberikan hasil yang baik. DAFTAR PUSTAKA 1. John CC, Krause PJ. Malaria (Plasmodium). In: Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor FN, Behrman RE, eds. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2011.p. 2. Parwati SB, Simplica MA, Ismoedijanto. Faktor determinan klinis pada malaria anak. Sari Pediatri. 2001;3(2):106-14. 3. Nelwan RHH. Malaria plasmodium knowlesi. 204th ed. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran; 2013.p.327-9. 4. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia gebrak malaria. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008. 5. Masyitah, Rahmawati L, Sofyani S, Lubis M, Lubis IZ. Short-term impact of acute uncomplicated malaria on the cognitive performance of school children living in endemic area. Paediatrica 6. Infectious Diseases Society of America. Diagnosis and treatment of malaria in children. Clin Infect Dis. 2003;37 (10):1340-8. 7. Siahaan L. Malaria pada anak usia sekolah di kabupaten Nias Selatan. 188th ed. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran; 2011. p. 513-5. 1139-43. Indonesiana 2009;49(2):82-6. 8. Malaria. Pedoman pelayanan medis ilmu kesehatan anak. Denpasar: SMF IKA FK UNUD/RSUP Sanglah; 2011. p. 219-23. 9. Laksono RD. Profilaksis malaria di perbatasan Indonesia-Timor Leste. 188th ed. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran; 2011.p.503-7. 10. Alessandro UD, Ubben D, Hamed K, Ceesay SJ, Okebe J, Taal M, et al. Malaria in infants aged less than six months – is it an area of unmet medical need? Malar J. 2012; 11:400. doi: 10.1186/1475-2875-11-400. 11. WHO. Hospital care of children. 2nd ed. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2013. p. 156-66. 12. Pasaribu PA, Chokejindachai W, Sirivichayakul C, Tanomsing N, Chavez I, Tjitra E, et al. A Randomized comparison of dihydroartemisinin-piperaquine and artesunate-amodiaquine combined eith primaquine for radical treatment of vivax malaria in Sumatera, Indonesia. J Infect Dis. 2013;208:1906-13. doi: 10.1093/infdis/jit407. [Epub 2013 Aug 6]. 13. WWARN DP Study Group. The effect of dosing regimens on the antimalarial efficacy of dihydroartemisinin-pipeaquine: A pooled analysis of individual patient data. Plos Med. 2013;10:1-6. 14. Hasugian AR, Purba HLE, Kenangalem E, Wuwung RM, Ebsworth EP, Maristela R, et al. Dihydroartemisinin-piperaquine versus artesunate-amodiaquine: Superior efficacy and posttreatment prophylaxis against multidrug-resistent plasmodium falciparum and plasmodium vivax malaria. PMC. 2008;44:1067-74. 15. Daulay PAD, Trisnawati Y, Lubis S, Lubis M, Pasaribu S. Comparison of quinine-doxycycline and quinine-clindamycin for falciparum malaria in children. Paediatrica Indonesiana 2011;51(4):187-91. 16. Roshental PJ, Goldsmith GS. Antiprotozoal drugs. In: Katzung BG, ed. Basic and clinical pharmacology. 10th ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2006.p. 920-31. 17. Dasraf D, Lubis BM, Lubis B, Rosdiana N, Lubis M, Pasaribu S. Effect of iron and zinc supplementation in the treatment of malaria in children. Paediatrica Indonesiana 2007;47(6):256-60. 18. Sutanto I, Tjahjono B, Basri H, Taylor WR, Putri FA, Meilia RA, et al. Randomized, open-label trial of primaquine against vivax malaria relaps in Indonesia. AAC. 2013;57:1128-35. 19. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. Guidelines for the treatment of malaria. Geneva: WHO; 2010. CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015 429