Diagnosis dan Penatalaksanaan Malaria Tanpa

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Diagnosis dan Penatalaksanaan Malaria
Tanpa Komplikasi pada Anak
Armand Setiady Liwan
Dokter Misi Keuskupan Manokwari-Sorong
Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, Indonesia
ABSTRAK
Malaria adalah masalah kesehatan utama dunia. Kematian terbesar akibat malaria terjadi pada masa bayi dan kanak-kanak. Masalahnya
antara lain karena gejala-gejala malaria pada anak berbeda dan sering tidak spesifik, juga tidak tersedia laboratorium di daerah. Selain itu,
pola resistensi obat anti-malaria pun terus berubah dan berbeda di setiap daerah. Klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin tidak lagi digunakan
karena tingginya resistensi di banyak negara. Peningkatan kemampuan tenaga medis dalam mendeteksi dan memahami penatalaksanaan
malaria terbaru menjadi penting untuk mencegah terjadinya malaria berat.
Kata kunci: Malaria, anak, diagnosis
ABSTRACT
Malaria is a major worldwide problem. Most of malaria death are in infancy and childhood. Problems encountered are that symptoms of
malaria in children are different and often non-specific, and the unavailability of laboratory diagnosis. The pattern of anti-malarial drug
resistance are also continues to change and vary by region; chloroquine and sulfadoxine-pyrimetamine are no longer used because of high
resistance in many countries. Increased ability of medical personnel to detect cases and to understand the latest management of malaria are
important to prevent severe malaria. Armand Setiady Liwan. Diagnosis and Management of Uncomplicated Malaria in Children.
Keywords: Malaria, children, diagnosis
PENDAHULUAN
Malaria adalah salah satu penyakit infeksi
parasit terpenting di dunia; penyakit ini
menjadi masalah terutama bagi negaranegara yang sedang berkembang. WHO
memperkirakan jumlah kasus malaria setiap
tahun antara 300-500 juta dengan lebih dari
1 juta kematian. Sebagian besar kematian
akibat malaria terjadi pada masa bayi dan
kanak-kanak (lebih dari 3000 kematian per
hari). Di Indonesia, malaria masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Angka
kesakitan cukup tinggi terutama di luar Jawa
dan Bali. Malaria bermanifestasi sebagai penyakit akut ataupun kronik, ditandai dengan
demam paroksismal, menggigil, kelelahan,
berkeringat, anemia, dan splenomegali.
Manifestasi klinis malaria pada anak berbeda
dan tidak spesifik dibandingkan dewasa.
Belum ditemukannya definisi klinis keluhan
atau gejala klinis di daerah endemis tertentu
dapat menyebabkan over diagnosis dan over
treatment malaria pada anak.1,2
Alamat korespondensi
EPIDEMIOLOGI
Malaria merupakan salah satu masalah
kesehatan utama dunia dan terjadi di lebih
dari 100 negara. Daerah transmisi utama
terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Plasmodium falciparum adalah spesies predominan di Afrika, Haiti, dan New Guinea.
Plasmodium vivax predominan di Bangladesh,
Amerika Tengah, India, Pakistan, dan Sri Lanka.
P. vivax dan P. falciparum predominan di Asia
Tenggara, Amerika Selatan, dan Oceania.
Plasmodium ovale adalah spesies yang
paling tidak umum, terutama tersebar di
Afrika.1
Gambar 1. Distribusi global spesies Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax1
email: [email protected]
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
425
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Karakteristik Plasmodium yang menginfeksi manusia1,4
Karakteristik
Lama fase intrahepatik (hari)
Jumlah merozoit yang dilepaskan tiap
hepatosit yang terinfeksi
Lama fase eritrosit (jam)
Sel darah merah yang diserang
Kemampuan relaps
Masa inkubasi
P. falciparum
P. vivax
P. ovale
5,5
8
9
15
30.000
10.000
15.000
15.000
48
48
50
72
Semua sel darah
merah (100%)
Retikulosit
(2%)
Retikulosit
(2%)
Sel matang
(<1%)
Tidak
Ya
Ya
Tidak
9-14(12)
12-17(15)
16-18(17)
18-40(28)
Menurut survei kesehatan rumah tangga
tahun 2001, terdapat 15 juta kasus malaria
dengan 38.000 kematian setiap tahunnya
di Indonesia. Diperkirakan 35% penduduk
Indonesia tinggal di daerah berisiko terinfeksi malaria. Di pulau Jawa dan Bali,
Annual Parasite index (API) masih berfluktuasi,
pada tahun 2005, 2006, dan 2007 tercatat
0,95‰, 0,19‰ dan 0,16‰. Sedangkan di
luar Jawa dan Bali, Annual Malaria Incidence
(AMI) menurun dari 24,75‰ pada tahun 2005
menjadi 19,67‰ tahun 2007. Di Sumatera
Utara antara tahun 2000-2004, diperkirakan
lebih dari 50.000 kasus setiap tahun dengan
9-10 kasus kematian. Pada tahun 2010 WHO
memperkirakan terdapat sekitar 600.000
kematian akibat malaria di seluruh dunia
dan 86% adalah anak-anak di bawah usia 5
tahun.3-6
PATOGENESIS
Malaria disebabkan oleh protozoa Plasmo-
Gambar 2. Siklus hidup Plasmodium4
426
P. malariae
dium intraseluler yang ditransmisikan ke
manusia melalui nyamuk Anopheles betina.
Saat ini, tercatat ada 5 spesies Plasmodium
yang diketahui dapat menyebabkan malaria
pada manusia, yaitu P. falciparum, P. malariae,
P. vivax, P. ovale, dan P. knowlesi. Plasmodium
knowlesi adalah spesies Plasmodium yang
sebelumnya hanya teridentifikasi pada kera.
Kasus pertama yang terjadi pada manusia
tercatat di semenanjung Malaysia pada tahun
1965.1,3
Spesies Plasmodium dapat dijumpai dalam
berbagai bentuk dan memiliki siklus hidup
yang kompleks. Parasit ini dapat bertahan
hidup di lingkungan seluler yang berbeda,
baik dalam tubuh manusia (fase aseksual)
maupun nyamuk (fase seksual). Replikasi
Plasmodium terjadi melalui 2 tahap dalam
tubuh manusia. Fase eritrositik yang terjadi
di dalam sel-sel hati dan fase eritrositik yang
terjadi di dalam sel darah merah.1
Fase eksoeritrositik dimulai dengan inokulasi
sporozoit ke dalam peredaran darah oleh
nyamuk Anopheles betina. Dalam hitungan
menit, sporozoit akan menginvasi sel-sel
hepatosit, berkembang biak secara aseksual
dan membentuk skizon. Setelah 1-2 minggu,
sel-sel hepatosit ruptur dan mengeluarkan
ribuan merozoit ke dalam sirkulasi. Skizon
spesies P. falciparum, P. Malariae, dan P.
knowlesi sekali ruptur tidak akan lagi berada
di hati. Skizon spesies P. vivax dan P. ovale
ruptur dalam 6-9 hari dan ruptur sekunder
pada skizon yang dorman (hipnozoit) dapat
terjadi setelah beberapa minggu, bulan atau
tahun sebelum mengeluarkan merozoit dan
menyebabkan relaps (malaria kronis).1,2,4
Fase eritrositik dimulai saat merozoit dari
hati menginvasi sel darah merah. Di dalam
eritrosit, parasit ini bertransformasi menjadi
bentuk cincin yang kemudian membesar
membentuk tropozoit. Tropozoit berkembang biak secara aseksual yang kemudian
ruptur dan mengeluarkan eritrositik merozoit,
yang secara klinis ditandai dengan demam.
Beberapa dari merozoit ini berkembang
menjadi gametosit jantan dan gametosit
betina, sekaligus melengkapi fase siklus
aseksual pada manusia. Gametosit jantan dan
gametosit betina ini dicerna oleh nyamuk
Anopheles betina saat mengisap darah dari
manusia. Dalam perut nyamuk, gametosit
jantan dan betina ini bergabung untuk
membentuk zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding
lambung nyamuk. Pada dinding luar, nyamuk
ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya
menjadi sporozoit. Sporozoit ini bersifat
infektif dan siap ditularkan ke manusia.1,4
MANIFESTASI KLINIS
Penderita malaria biasanya menunjukan
gejala utama demam tinggi yang bersifat
paroksismal disertai menggigil, berkeringat,
dan nyeri kepala. Selain itu, sering ditemukan
kelelahan, anoreksia, nyeri punggung, mialgia,
pucat, dan muntah. Manifestasi klinis malaria
pada anak berbeda dengan orang dewasa,
sehingga sering salah diintepretasikan dengan gastroenteritis akut atau infeksi virus
akut lainnya. Anak-anak yang berasal dari
daerah endemis malaria (partially immune)
umumnya menunjukkan gejala minimal
seperti berkurangnya aktifitas, anoreksia atau
bahkan asimptomatik; tidak harus disertai
demam, terutama bagi anak di daerah
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2. Perbedaan manifestasi malaria berat pada anak dan dewasa4
Manifestasi pada Anak
1.
Koma (malaria serebral)
Manifestasi pada Dewasa
1.
Koma**
2.
Distres pernafasan
2.
Gagal ginjal akut**
3.
Hipoglikemia ( sebelum terapi kina )*
3.
Edema paru, termasuk ARDS**
4.
Anemia berat*
4.
Hipoglikemia (umumnya sesudah terapi kina)
5.
Kejang umum berulang
5.
Anemia berat (<5%)
6.
Asidosis metabolik
6.
Kejang umum berulang
7.
Kolaps sirkulasi, syok,hipotensi (sist<50mmHg)
7.
Asidosis metabolik
8.
Gangguan kesadaran selain koma
8.
Kolaps sirkulasi, syok
9.
Kelemahan yang sangat (severe prostration)
9.
Hipovolumia, hipotensi
10. Hiperparasitemia
10. Pendarahan spontan
11. Ikterus
11. Gangguan kesadaran selain koma
12. Hiperpireksia (suhu >41°C)
12. Hemoglobinuria
13. Hemoglobinuria
13. Hiperparasitemia >5%
14. Pendarahan spontan
14. Ikterus (bilirubin total >5%) **
15. Gagal ginjal
15. Hiperpireksia (>40°C)
* komplikasi terbanyak pada anak
endemis. Pada anak dengan asimptomatik
yang positif parasit malaria di darah, dapat
hanya menunjukkan splenomegali sebagai
temuan tunggal.1,7,8
Sistem imunitas penderita sangat mempengaruhi manifestasi klinis malaria. Pada
daerah endemis, mayoritas kematian terjadi
pada anak-anak yang lebih muda akibat
anemia berat. Pada populasi yang sama, orang
dewasa dan anak-anak lebih besar biasanya
menunjukkan gejala minimal dan bahkan
asimptomatik. Sebaliknya pada daerah nonendemis, imunitas parsial penderita umumnya belum terbentuk atau terbentuk pada usia
dewasa, dan mayoritas kematian diakibatkan
oleh malaria serebral. Nyeri kepala, pusing
dan iritabilitas dapat mendahului malaria
serebral, tetapi pada anak non-imun (tidak
tinggal di daerah endemis sejak lahir) kondisi
dapat cepat berubah dari kondisi sadar penuh
menjadi koma dalam hitungan jam. Kejang
adalah kondisi yang umum pada anak-anak
dan sering disertai peningkatan tekanan
intrakranial.1,7
Komplikasi penting malaria berat pada anak
adalah hipoglikemia. Hal ini terjadi karena
supresi proses glukoneogenesis parasit di hati
dan sekaligus menginduksi sekresi insulin di
pankreas. Sekresi insulin meningkat dengan
penggunaan kina dan dapat mengakibatkan
sekuele neurologis yang berat. Distres
pernafasan adalah komplikasi umum lain
pada anak-anak, umumnya konsekuensi
dari asidosis berat. Berbeda dengan anakanak, distres pernafasan pada orang dewasa
biasanya akibat edema paru dan juga ARDS
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
** komplikasi terbanyak pada dewasa
(acute respiratory distress syndrome). Gejalagejala seperti black water fever dan algid
malaria (kolaps pembuluh darah, syok,
dan hipotermi) jarang terjadi pada anakanak.1,6,7,8
Malaria anak sering menunjukkan gejala
beragam sesuai kelompok umur. Hasil
penelitian di kabupaten Sikka-NTT, gejala
klinis yang membedakan malaria pada anak
dengan penyakit lain adalah splenomegali,
menggigil, dehidrasi ringan, riwayat kejang,
dan pucat; dengan nilai spesifisitas 77,0%.
Sedangkan gejala klinis terbaik pada pasien
anak umur >5 tahun adalah splenomegali,
menggigil, nyeri perut, dan dehidrasi ringan,
dengan nilai spesifisitas 79,5%.6 Riwayat
kejang terutama didapatkan pada bayi kurang
dari satu tahun, diare pada balita, dan nyeri
perut pada anak lebih besar. Infeksi malaria
pada anak usia sekolah mempengaruhi
prestasi belajar; malaria akut tidak berat
mempengaruhi kemampuan kognitif anak di
sekolah secara signifikan.5,7
Infeksi Plasmodium selama kehamilan dapat
menyebabkan keguguran, retardasi pertumbuhan janin, lahir mati, berat bayi lahir
rendah, kelahiran prematur, dan malaria
kongenital. Pada malaria kongenital (umumnya muncul pada 10-30 hari kehidupan)
transmisi terjadi selama kehamilan; dapat
menunjukkan gejala demam, gelisah, pucat,
ikterus, kejang, distres pernafasan, intoleransi
minum, muntah, diare, sianosis, dan hepatosplenomegali. Menggigil tidak umum terjadi
karena pusat pengatur suhu yang belum
sempurna. Malaria pada kelompok usia
ini tidak jarang terjadi di daerah endemis,
namun sering tidak dikenali karena gejala
yang tumpang tindih dengan penyakit lain,
seperti sepsis.7,9,10
DIAGNOSIS
Diagnosis malaria dapat ditegakkan secara
klinis dan laboratoris. Secara klinis, sesuai
rekomendasi WHO malaria dapat dicurigai
berdasarkan daerah epidemiologisnya:
• Di daerah non-endemis, diagnosis klinis
malaria tidak berat harus didasarkan pada
kemungkinan paparan malaria (berpergian
ke daerah endemis) dan riwayat demam
3 hari terakhir tanpa gejala penyakit berat
lainnya.
• Di daerah endemis, diagnosis klinis
didasarkan pada riwayat demam dalam 24
jam terakhir dan atau adanya gejala anemia
(pucat pada palmar merupakan tanda
paling reliabel pada anak yang lebih muda).
Tetap perlu diperhatikan adanya gejala klasik
seperti demam, menggigil, pucat disertai
splenomegali; dan gejala lain seperti nyeri
kepala, mual-muntah, nyeri otot-tulang,
riwayat kejang (terutama bayi <1 tahun),
diare (balita), dan nyeri perut (anak >5 tahun).
Riwayat tinggal di daerah endemis malaria,
Gambar 3. A. Apusan darah tebal; B-H. Apusan darah tipis; B. Signet ring P. falciparum tropozoit; C. Gametosit berbentuk
pisang khas pada P. falciparum; D. Ameboid tropozoit khas P. vivax; E. Skizon P.vivax; F. Gametosit sferis P. vivax; G. Tropozoit P.
ovale; dan H. Tropozoit pita P. malariae.1
427
TINJAUAN PUSTAKA
riwayat sakit malaria, riwayat minum obat
malaria satu bulan terakhir dan juga riwayat
transfusi darah penting ditelusuri.1,4,8
Hasil pemeriksaan laboratorium yang menyertai antara lain anemia, trombositopenia,
leukosit normal/leukopenia, dan peningkatan
LED. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan
apusan darah tebal dan apusan darah tipis.
Apusan darah tebal dibuat dengan pewarnaan Giemsa atau Field Stain, sedangkan
apusan darah tipis dengan pewarnaan Wright
atau Giemsa. Pemeriksaan apusan darah tebal
bertujuan melihat jumlah eritrosit dalam
darah, sementara pemeriksaan apusan darah
tipis bertujuan melihat perubahan bentuk
eritrosit, jenis Plasmodium, dan persentase
eritrosit yang terinfeksi. Hasil apusan darah
negatif tunggal tidak meniadakan diagnosis
malaria, karena sebagian besar pasien bergejala akan menunjukkan hasil positif dalam
48 jam. Pemeriksaan darah serial setiap 6
jam selama tiga hari berurutan dapat dilakukan.
Pemeriksaan apusan darah tipis tidak
mungkin dapat membedakan morfologi
spesies P. malariae dan P. knowlesi, sehingga
diperlukan pemeriksaan lebih canggih seperti
polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan
praktis terutama di daerah endemis dapat dilakukan dengan rapid diagnostic test (RDT)
berbentuk dipstick, dianjurkan menggunakan tes diagnostik cepat yang memiliki
kemampuan minimal sensitivitas 95% dan
spesifisitas 95%. Malaria tanpa komplikasi
harus dibedakan dengan penyakit infeksi lain,
seperti demam tifoid, demam dengue, infeksi
saluran pernafasan akut, leptospirosis ringan
dan infeksi virus akut lainnya.1,8,9,11
PENATALAKSANAAN
Tenaga kesehatan perlu memperhatikan
informasi terbaru tentang malaria karena pola
resistensi obat anti-malaria terus berubah.
Penatalaksanaan malaria tidak berat (tanpa
komplikasi) adalah secara rawat jalan dengan
obat anti-malaria yang direkomendasikan
WHO. Klorokuin dan sulfodoksin-pirimetamin
tidak lagi digunakan karena tingginya
resistensi P. falciparum terhadap obat ini di
banyak negara. Penatalaksanaan malaria tidak
berat meliputi pengobatan simptomatik dan
pengobatan anti-malaria bertujuan untuk
eradikasi parasit dalam tubuh dan mencegah terjadinya komplikasi.1,4,11
428
Pengobatan Simptomatik
Pemberian antipiretik pada anak demam
untuk mencegah hipertermia dengan dosis
paracetamol 15 mg/kgBB/dosis setiap 4-6
jam. Apabila terjadi hipertermia (suhu
rektal >40°C), berikan paracetamol dosis
inisial 20 mg/kgBB/dosis dilanjutkan dengan
dosis rumatan 15 mg/kgBB/dosis. Pada anak
kejang, sebaiknya berikan diazepam intravena
perlahan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/dosis
atau diazepam rektal 5 mg (berat badan <10
kg) atau 10 mg (berat badan >10 kg), dan
segera rujuk ke rumah sakit, karena kejang
merupakan salah satu gejala malaria berat
yang membutuhkan penanganan lanjutan.
Suplementasi zat besi dengan atau tanpa
zinc secara bermakna meningkatkan kadar
hemoglobin pada penderita malaria
tropikana di daerah endemis. Namun,
pemberian zat besi pada malaria dengan
anemia ringan tidak dianjurkan, kecuali bila
disebabkan oleh defisiensi besi.11,17
Pengobatan Anti-malaria
Lini pertama:
1. Dehidroartemisin + piperakuin (fixed
dose combination)
Dosis dehidroartemisin 2-4 mg/kgBB dan
piperakuin 16-32 mg/kgBB/dosis tunggal,
diberikan selama 3 hari. Saat ini, rutin
digunakan di Papua dan Papua Barat.
Penggunaan
dehidroartemisin-piperakuin
pada anak lebih ditoleransi karena adverse
event yang lebih rendah dari artesunatamodiakuin.12
2. Artesunat + amodiakuin (tablet 50 mg
artesunat dan 153 mg amodiakuin)
Dosis artesunat 4 mg/kgBB/dosis tunggal
selama 3 hari, dan amodiakuin 10 mg- basa/
kgBB/dosis tunggal juga selama 3 hari.4,11,13,14
Lini kedua:
1. Kina (tablet 200 mg kina fosfat/sulfat)
Dosis kina 10 mg/kgBB/dosis, diberikan 3 kali
sehari selama 7 hari. Kina harus dikombinasikan dengan doksisiklin pada P. falciparum,
dengan dosis doksisiklin: 2 mg/kgBB/dosis
(usia >14 tahun), 1 mg/kgBB/dosis (8-14 tahun),
2 kali sehari selama 7 hari. Pada ibu hamil dan
anak kurang dari 8 tahun direkomendasikan
mengganti doksisiklin dengan klindamisin.
Kombinasi kina dan klindamisin aman, efektif,
dan memiliki adverse event lebih sedikit. Dosis
klindamisin: 20 mg basa/kgBB/hari dibagi 3
dosis selama 7 hari.4,15
Obat anti-malaria lini pertama dan kedua
(blood schizonticidal) harus ditambah
primakuin. Primakuin bermanfaat untuk
eradikasi Plasmodium yang dorman dalam
jaringan, terutama hepar (tissue schizonticidal).
Untuk P. falciparum khusus untuk anak >1
tahun, dosis primakuin: 0,75 mg-basa/kgBB/
dosis tunggal 1 hari. Sedangkan untuk P.
vivax, P. ovale dan P. malariae dikombinasikan dengan primakuin 0,25 mg/kgBB/dosis
tunggal selama 14 hari. Primakuin tidak
boleh diberikan untuk anak usia <1 tahun,
ibu hamil, dan defisiensi G6PD.1,4,16,18
Kondisi klinis malaria pada anak dapat cepat
memburuk. Edukasi orang tua pasien penting
sebagai partner pemantauan selama rawat
jalan. Apabila anak tidak bisa menoleransi
obat oral atau muncul gejala-gejala malaria
berat sebaiknya dirujuk untuk pemberian antimalaria intravena dengan dosis terukur. WHO
merekomendasikan pemberian artesunat
rektal dosis tunggal pada anak dengan
malaria sebelum dirujuk ke pusat pelayanan
lanjutan. Data menunjukan kematian
akibat malaria pada anak menurun dengan
pemberian artesunat per rektal jika waktu
rujuk melebihi 6 jam.
PROFILAKSIS
Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi risiko terinfeksi malaria, sehingga
bila terinfeksi gejala klinisnya tidak berat.
Ditujukan terutama untuk orang yang berpergian ke daerah endemis dalam waktu
yang tidak terlalu lama, seperti turis. Untuk
jangka waktu lama pada anak sebaiknya
mengggunakan perlindungan diri seperti
kelambu, repellent (Diethyltoluamide/DEET 2535%), kawat kasa, dan lain-lain. Penggunaan
DEET 25-35% dihindari pada bayi <2 bulan dan
sebaiknya dibilas secepatnya dari kulit apabila
berada di dalam ruangan yang terlindungi.
Kemoprofilaksis ditujukan terutama untuk
P. falciparum karena virulensinya tinggi.
Sehubungan dengan tingginya resistensi P.
falciparum terhadap klorokuin, doksisiklin
menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis pada
anak usia lebih dari 8 tahun. Doksisiklin
diminum 1 hari sebelum keberangkatan
dengan dosis 2 mg/kgBB setiap hari selama
tidak lebih dari 12 minggu. Pada anak yang
lebih kecil dapat digunakan atovaquoneproguanil dan mefloquine. Atovaquoneproguanil memiliki sediaan tablet anak dan
lebih ditoleransi dari mefloquine, dimulai dari
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
TINJAUAN PUSTAKA
2 hari sebelum berpergian dan dikonsumsi
setiap hari, sesuai waktu berpergian yang
singkat. Untuk waktu berpergian yang lama,
dapat diberikan mefloquine 4,6 mg basa/
kgBB/minggu, dimulai dari 2 minggu sebelum
keberangkatan. Namun, mefloquine kurang
disukai karena tidak ada sediaan untuk anak
dan rasanya pahit.1,4,9
PROGNOSIS
Sebagian besar anak dengan malaria tanpa
komplikasi akan menunjukkan perbaikan
dalam 48 jam setelah mulai pengobatan
dan bebas demam setelah 96 jam. Apabila
malaria dapat dideteksi dini dan diberi
pengobatan yang tepat, prognosis malaria
tanpa komplikasi pada anak umumnya
baik.
SIMPULAN
Malaria tidak berat pada anak sering dijumpai terutama di daerah endemis. Gejala
klinis yang tidak spesifik dan ketidaktersediaan pemeriksaan penunjang menjadikan
kemampuan praktisi kesehatan menjadi
sangat penting. Gejala klasik malaria
adalah demam, menggigil, pucat, disertai
splenomegali; dan gejala lain seperti nyeri
kepala, mual-muntah, nyeri otot-tulang,
riwayat kejang (terutama bayi <1 tahun),
diare (balita) dan nyeri perut (anak >5
tahun). Pemeriksaan praktis, terutama di
daerah endemis, seperti rapid diagnostic
test berbentuk dipstick dapat digunakan.
Kombinasi obat anti-malaria dehidroartemisin-piperakuin + primakuin lebih
ditoleransi pada anak karena adverse event
yang lebih rendah daripada kombinasi
artesunat-amodiakuin + primakuin. Deteksi
malaria sejak dini dan pengobatan yang
tepat umumnya memberikan hasil yang
baik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
John CC, Krause PJ. Malaria (Plasmodium). In: Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor FN, Behrman RE, eds. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2011.p.
2.
Parwati SB, Simplica MA, Ismoedijanto. Faktor determinan klinis pada malaria anak. Sari Pediatri. 2001;3(2):106-14.
3.
Nelwan RHH. Malaria plasmodium knowlesi. 204th ed. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran; 2013.p.327-9.
4.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia gebrak malaria. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
5.
Masyitah, Rahmawati L, Sofyani S, Lubis M, Lubis IZ. Short-term impact of acute uncomplicated malaria on the cognitive performance of school children living in endemic area. Paediatrica
6.
Infectious Diseases Society of America. Diagnosis and treatment of malaria in children. Clin Infect Dis. 2003;37 (10):1340-8.
7.
Siahaan L. Malaria pada anak usia sekolah di kabupaten Nias Selatan. 188th ed. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran; 2011. p. 513-5.
1139-43.
Indonesiana 2009;49(2):82-6.
8.
Malaria. Pedoman pelayanan medis ilmu kesehatan anak. Denpasar: SMF IKA FK UNUD/RSUP Sanglah; 2011. p. 219-23.
9.
Laksono RD. Profilaksis malaria di perbatasan Indonesia-Timor Leste. 188th ed. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran; 2011.p.503-7.
10. Alessandro UD, Ubben D, Hamed K, Ceesay SJ, Okebe J, Taal M, et al. Malaria in infants aged less than six months – is it an area of unmet medical need? Malar J. 2012; 11:400. doi:
10.1186/1475-2875-11-400.
11. WHO. Hospital care of children. 2nd ed. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2013. p. 156-66.
12. Pasaribu PA, Chokejindachai W, Sirivichayakul C, Tanomsing N, Chavez I, Tjitra E, et al. A Randomized comparison of dihydroartemisinin-piperaquine and artesunate-amodiaquine
combined eith primaquine for radical treatment of vivax malaria in Sumatera, Indonesia. J Infect Dis. 2013;208:1906-13. doi: 10.1093/infdis/jit407. [Epub 2013 Aug 6].
13. WWARN DP Study Group. The effect of dosing regimens on the antimalarial efficacy of dihydroartemisinin-pipeaquine: A pooled analysis of individual patient data. Plos Med.
2013;10:1-6.
14. Hasugian AR, Purba HLE, Kenangalem E, Wuwung RM, Ebsworth EP, Maristela R, et al. Dihydroartemisinin-piperaquine versus artesunate-amodiaquine: Superior efficacy and posttreatment
prophylaxis against multidrug-resistent plasmodium falciparum and plasmodium vivax malaria. PMC. 2008;44:1067-74.
15. Daulay PAD, Trisnawati Y, Lubis S, Lubis M, Pasaribu S. Comparison of quinine-doxycycline and quinine-clindamycin for falciparum malaria in children. Paediatrica Indonesiana
2011;51(4):187-91.
16. Roshental PJ, Goldsmith GS. Antiprotozoal drugs. In: Katzung BG, ed. Basic and clinical pharmacology. 10th ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2006.p. 920-31.
17. Dasraf D, Lubis BM, Lubis B, Rosdiana N, Lubis M, Pasaribu S. Effect of iron and zinc supplementation in the treatment of malaria in children. Paediatrica Indonesiana 2007;47(6):256-60.
18. Sutanto I, Tjahjono B, Basri H, Taylor WR, Putri FA, Meilia RA, et al. Randomized, open-label trial of primaquine against vivax malaria relaps in Indonesia. AAC. 2013;57:1128-35.
19. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. Guidelines for the treatment of malaria. Geneva: WHO; 2010.
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
429
Download