MAKALAH AGRARIA DISUSUN OLEH: AINUN MASITA B011181328 HUKUM AGRARIA D FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa yang jumlahnya terbatas dan disediakan untuk manusia serta mahluk ciptaan Tuhan lainnya sebagai tempat kehidupan dan sumber kehidupan. Selain itu tanah sebagai ruang merupakan wahana yang harus dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Bagi bangsa Indonesia pembangunan tidak dapat dilepaskan dari tanah. Tanah merupakan bagian penting dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan social dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yang memiliki nilai setrategis karena arti kusus dari tanah sebagai factor produksi utama perekonomian bangsa dan Negara. B. 1. 2. 3. Rumusan Masalah Menjelaskan pengertian hukum agrarian dan ruang lingkupnya Menjelaskan pengertian tanah negara, hak ulayat, dan hak atas tanah Menjelaskan tentang kebijakan Pemerintah di bidang pertanian C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan saya dalam menyusun makalah ini adalah disamping untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa umumnya mampu memahami tentang hokum agraria BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Agraria dan Hukum Agraria dan Ruang Lingkupnya Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam bahasa latin kata agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan perladangan, persawahan, pertanian. Dalam terminologi bahasa indonesia agraria berarti urusan tanah pertanian, perkebunan, sedangkan dalam bahasa inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu berarti tanah dan selalu dihubungkan dengan pertanian. Pengertian agrarian ini, sama sebetulnya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikan tanah. Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminologi bahasa sebagaimana di atas, pengertian agraria dapat pula ditemukan dalam undang-undang pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri. Oleh karena itu pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti dan makna yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (pasal 1 ayat (2)). Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (1)). Boedi Harsono memasukkan bumi meliputi apa yang dikenal dengan sebutan Landas Kontinen Indonesia (LKI). Landasan Kontinen Indonesia merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luas perairan wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan dengan UndangUndang Nomor 4 Prp 1960 sampai ke dalam 200 meter atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di landasan kontinen Indonesia tersebut ada pada negara RI (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1937 (LN 1937-1, TLN 2994). Lebih jauh Boedi Harsono mengatakan bahwa pengertian air meliputi baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (pasal 1 ayat (5)). Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang pengairan (yang diubah dengan dengan UU Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air) telah diatur pengertian air yang tidak termasuk dalam arti yang seluas itu. Hal ini meliputi air yang terdapat di dalam dan atapun yang berasal dari sumber air, baik yang terdapat di atas muupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut (pasal 1 angka 3) . Berkaitan degan pengertian air tersebut, dalam UUPA diatur pula mengenai pengertian kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk di dalamnya bahan galian, mineral biji-bijian dan segala macam batuan, termasuk batu-batuan mulia yang merupakan endapanendapan alam (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan ). Untuk pengertian mengenai kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan semua kekayaan yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia (UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang perikanan jo. UU Nomor 31 Tahun 2004). Pada tahun 1983 hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi dan air terwujud dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini diatur hak berdaulat untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi dan lain-lainnya atas sumber daya alam hayati dan nonhayati yang terdapat di dasar laut serta tubuh bumi di bawahnya dan air di atasnya. Sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, Maka dalam pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidag hukum. Yang masing-masing mengatur hak-hak penguasan atas sumber-sumber daya alam tertentu. Sedangkan di lingkungan administrasi pemerintahan sebutan agraria dipakai dengan arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-perundangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya dibidang pertanahan. Adanya Badan Pertanahan Nasional semenjak Keputusan Presiden No 26 tahun 1988 yang sebagai lembaga pemerintah Non Departemen bertugas membantu administrasi pertanahan, adapun penggunaan adminstrasi pertanahan tidaklah mengurangi lingkup pengertian agraria karena meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik daratan maupun air laut. Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan pula dengannya, tetapi tidak selalu mengenai tanah. Karena luasnya cakupan pembahasan Hukum Agraria maka pendapat beberapa pakar pun berbeda-beda diantaranya, Subekti dan Tjitro Subono menjelaskan bahwa “hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan hukumperdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut , misalnya jual beli tanah, sewa menyewa tanah” . Menurut Lemaire “hukum agraria sebagai suatu kelompok hukum yang bulat meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negara”. S.J. Fockema Andreae merumuskan Agrarische Recht sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu. Ruang Lingkup Agraria dan Hukum Agraria Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agraria/sumber daya alam menurut ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Ruang lingkup agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut: Bumi Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan menurut pasal 4 ayat (1) UUPA adalah tanah. Air Pengertian air meneurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada dilaut wilayah Indonesia. Dalam pasal 1 angka3 Undang-uandang No. 11 tahun 1974 tentang pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat diatas maupun dibawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat dilaut. Ruang angkasa Pengertian ruang angaksa menurut pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang diatas air wilayah Indonesia. Pengertia ruang angkasa menurut pasal 48 UUPA, ruang diatas bumi dan air yang mengadung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan utnuk usaha-usaha memelihara dan mempterkembangkan kesuburuan bumi, air, serta kekayaan alam yang terkanding di dalamnya da hal-hal yang bersangkutan dengan itu. Kekayaan alam yang terkandung didalamnya Kekayaan alam yang terkandung didalam bumi disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, biji-biji, dan segala macam batua, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapat-endapan alam (undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan). Kekayaan alam yang terkandung di air adalah ikan dan m perairan pedalaman dan laut di wilayah Indonesia (Undangundang No. 9 tahun 1985 tentang perikanan). B. Pengertian Tanah Negara, Hak Atas Tanah, dan Hak Ulayat 1. Tanah Negara Istilah dan pengertian tanah negara ditemukan dalam PP No. 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah negara, Pasal 1 huruf a. tanah negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara. Menurut Pasal 2, Kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini, telah diserahkan kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah Negara ada pada Menteri Dalam Negeri. 2. Hak-hak Atas Tanah a. Pengertian Hak Atas Tanah Hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, yang berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Dasar dari pengaturan hukum pertanahan di Negara kita adalah Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka diadakan pembaharuan hukum bidang Agrariaan termasuk di dalamnya pembaharuan hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh orang-orang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. b. Pembagian Hak Atas Tanah Di Indonesia, hak atas tanah terbagi atas bermacam-macam, baik dilihat dari jenis hak maupun dari asal-usul surat tanah atau buktibukti hak. Dengan demikian secara garis besar hak atas tanah dapat dibedakan sebagai berikut : Hak Atas Tanah Adat: Menurut Budi Harsono Hak Ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut10. Masyarakat hukum adat yang terhimpun dalam kesatuan marga tersebut mempunyai hak atas tanah kemudian dikenal dengan nama “Hak Marga”, yaitu hak masyarakat hukum adat yang merupakan hak ulayat dari komunitas adat yang bersangkutan. Hak ini dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama-sama baik secara perseorangan maupun secara berkelompok yang diatur oleh kepala marga. Hak ulayat marga ini pada umumnya tidak mempunyai bukti tertulis dan meliputi wilayah yang cukup luas. Walaupun tidak tertulis akan tetapi dalam kenyataannya tetap diakui baik oleh masyarakat hukum adat maupun oleh masyarakat luas. Hak Perorangan Hak atas tanah perorangan yaitu hak individu yang ada pada mulanya berasal dari tanah marga. Karena seseorang telah lama dan secara terus menekan bahkan secara turuntemurun mengusahakan tanah marga tersebut, maka anggota masyarakat hukum adat mengakui bahwa tanah marga yang telah diusahakan tersebut menjadi hak individu yang bersangkutan. Hak Atas Tanah menurut UUPA Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam UUPA Pasal 2 ayat (2) memberi wewenang kepada negara untuk: mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1), pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Berdasarkan Hak Menguasai Negara, maka atas dasar ketentuan Pasal 2 UUPA, Negara diberikan wewenang untuk menentukan jenis-jenis hak atas tanah12. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 4 UUPA, yang menyatakan sebagai berikut; Atas dasar Hak Menguasai Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum. Hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturanperaturan yang lebih tinggi. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa. Sebagaimana implementasi dari ketentuan Pasal 4 UUPA tersebut maka ditetapkan jenis-jenis hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA yaitu : Hak Milik : Hak Guna Bangunan; Hak Guna Usaha; Hak Pakai; Hak Sewa; Hak Membuka Tanah Dan Memungut Hasil Hutan 3. Pengertian Tanah Ulayat dan Hak Ulayat Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”. Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tesebut menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan maka sebaliknya, tanah ulayat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi “bekas tanah ulayat”. Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sebagai hak dari suatu persekutuan, hak ulayat itu merupakan hak yang terletak di lapangan hukum publik yang berisi : kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan mengatur peruntukan, persediaan dan pencadangan semua bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (kewenangan menetapkan masterplan) kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan menentukan hubungan hukum antara warga persekutuan dengan bidang tanah tertentu dalam wilayah persekutuan (kewenangan pemberian izin/hak atas tanah) kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan mengatur hubungan hukum antar warga persekutuan atau antara warga persekutuan dengan orang luar persekutuan berkenaan dengan bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (izin-izin transaksi yang berhubungan dengan tanah) C. Kebijakan Pemerintah di BIdang Pertanian Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku sejak tahun 1969 di daerahdaerah kopra di Sulawesi. Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak yang memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan bahkan ada yang dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur tangan pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan itu mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang lebih baik adalah yang dapat mencapai tujuan nasional untuk menaikkan produksi secara optimal dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu. Beberapa Kebijakan di Bidang Pertanian Kebijakan Harga Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan pendapatan (price and economic policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilitas harga, sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian penyangga (support) atas harga-harga hasil pertanian supaya tidak terlalu merugikan petani atau langsung mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara seperti; Amerika Serikat, Jepang, dan Australia banyak sekali hasil pertanian seperti gandum, kapas, padi, dan gula yang mendapat perlindungan pemerintah berupa harga penyangga dan atau subsidi. Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga untuk beberapa hasil pertanian sejak tahun 1969 Kebijakan Pemasaran Di samping kebijakan harga untuk melindungi petani produsen, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan mata rantai pemasaran dari produsen ke konsumen, dengan tujuan utama untuk memperkuat daya saing petani. Kebijakan Struktural Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki strukutur produksi misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi. Kebijakan Pertanian dan Industri Elatisitas harga atas permintaan dan penawaran hasil-hasil pertanian jauh lebih kecil daripada hasil-hasil industri. Misalnya elastisitas harga atas permintaan radio, bukubuku, mobil dan lain-lain, jauh lebih tinggi daripada elatisitas harga atas permintaan beras dan bahan pakaian. Hal ini disebabkan pendapatan sektor industri pada umumnya lebih tinggi daripada pendapatan sektor pertanian maka elastisitas pendapatan atas permintaan barang-barang hasil industri lebih besar daripada atas bahan makanan pokok. Pendapatan Penduduk Desa dan Kota Perbedaan kebijakan antar sektor pertanian dan industri dapat dilihat pula dalam keperluan akan kebijakan yang berbeda antara penduduk kota dan penduduk desa. Perbedaan pendapatan antara penduduk kota dan penduduk pedesaan adalah sedemikian rupa sehingga mempunyai akibat dalam pola pengeluaran konsumsi dan perilaku ekonomi lain-lainnya. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Hukum agraria dalam ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandungdidalamnya.Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan pula dengannya, tetapi tidak melulu mengenai tanah. Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya.“bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.