PAPER SPINAL CORD INJURY Disusun Oleh: Elsa Lase (133307010050) Dokter Pembimbing: Dr. dr. Adrian Khu, Sp.OT, FICS KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ORTHOPAEDIC FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM ROYAL PRIMA MEDAN 2018 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat pada waktunya. Saya mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing saya dokter-dokter spesialis orthopaedic (Sp.OT) yang telah memberikan tugas kepada saya sebagai upaya untuk menjadikan saya manusia yang berilmu dan berpengetahuan. Keberhasilan saya dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Untuk itu, saya mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Medan, 24 Juli 2018 Elsa Lase i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2 2.1. Anatomi Medulla Spinalis dan Dermatom ................................................ 2 2.2. Definisi Spinal Cord Injury ....................................................................... 5 2.3. Epidemiologi Spinal Cord Injury .............................................................. 6 2.4. Klasifikasi Spinal Cord Injury .................................................................. 6 2.5. Etiologi Spinal Cord Injury ....................................................................... 11 2.6. Patofisiologi Spinal Cord Injury ............................................................... 11 2.7. Gejala Klinis Spinal Cord Injury .............................................................. 14 2.8. Diagnosis Spinal Cord Injury.................................................................... 19 2.9. Tata Laksana Spinal Cord Injury .............................................................. 26 2.10Komplikasi Spinal Cord Injury ................................................................. 29 2.11. Prognosis Spinal Cord Injury .................................................................. 32 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 33 ii BAB I PENDAHULUAN Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian. Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Pusat data nasional cedera medula spinalis (National Spinal Cord Injury Statistical Center/ NSCISC 2004) memperkirakan setiap tahun di Amerika serikat ada 11.000 kasus cedera medula spinalis. Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda (usia 16-30 tahun), dan biasanya lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50,4%), jatuh (23,8%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya akibat kekerasan terutama luka tembak dan kecelakaan kerja. Dahulu, penatalaksanaan cedera medula spinalis akut hanya terapi konservatif. Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-1, 2, dan 3), penemuan terapi farmakologi dengan metilprednison menurunkan defisit neurologis. Baru-baru ini operasi dekompresi, stabilisasi dan fiksasi tulang belakang secara potensial mampu memperbaiki kerusakan akibat cedera medula spinalis. Hal tersebut menunjukkan kelak pendekatan secara farmakologi dan operasi akan mampu menurunkan kerusakan akibat cedera tersebut. 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Medulla Spinalis dan Dermatom Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak di kanalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater, arakhnoid dan piamater. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament, meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid. Bagian superior dimulai dari bagian foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya dengan medulla oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region lumbal. Dibawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar melalui foramen intervertebral. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan LCS (liquor cerebrospinal).1,2 Gambar 1. Anatomi Medula spinalis 3 2 Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui radiks anterior atau radiks motorik dan radiks posterior atau radiks sensorik. Masingmasing radiks melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia yang membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai. Masing-masing radiks saraf memiliki sebuah ganglion radiks posterior, yaitu sel-sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal diantaranya yaitu : 1,2 a. 8 pasang saraf servikal b. 12 pasang saraf torakal c. 5 pasang saraf lumbal d. 5 pasang saraf sakral e. 1 pasang saraf koksigeal Gambar 1. 31 pasang saraf spinal.3 3 Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea) yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan melintang, substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau kornu anterior atau posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea yang tipis. Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal. Substansi grisea mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, saraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian posterior sebagai input atau afferent, anterior sebagai Output atau efferent, comissura grisea untuk refleks silang dan substansi alba merupakan kumpulan serat saraf bermyelin. Fungsi medula spinalis :1,4,5 a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu ventralis. b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal ataupun eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh. Refleks yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan refleks yang melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut refleks otonom atau visceral. c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum. d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh. 4 Berkaitan dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di tubuh yang dipersarafi oleh saraf spinal tertentu yang disebut area dermatom. Saraf spinal juga membawa serat-serat yang bercabang untuk mempersarafi organ-organ dalam, dan kadang-kadang nyeri yang berasal dari salah satu organ tersebut dialihkan ke dermatom yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama.5 Gambar 3. Standard Neurological Clasification of Spinal Cord Injury7 2.2 Definisi Spinal Cord Injury Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi seksual.1,5,6 5 2.3 Epidemiologi Spinal Cord Injury Berdasarkan data dari National Spinal Cord Injury Statistical Centre dari University of Alabama yang dipublikasikan pada Februari 2013, insiden eidera medulla spinalis diperkirakan sekitar 40 kasus per satu juta populasi di Amerika Serikat atau 12.000 kasus per tahun. Cedera medulla spinalis seringkali diderita oleh dewasa muda, dengan hampir setengah dari seluruh kasus terjadi pada usia 16-30 tahun. Sejak tahun 2010, disabilitas neurologis yang diderita adalah tetraplegia inkomplit sebesar 40,6%, paraplegia inkomplit 18,7%, paraplegia komplit 18% dan tetraplegia komplit 11,6%.7 2.4 Klasifikasi Spinal Cord Injury American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan standart internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhensif. 6 Skala kerusakan menurut ASIA/ IMSOP adala sebagai berikut: Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5. Grade (B) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk segmen S4-S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan baik. Grade (C) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih berfungsi dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai kurang dari 3. Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi masih berfungsi dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai lebih dari 3. Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal. Skala kerusakan berdasarkan American Spinal Injury Association (ASIA) / International Medical Society of Paraplegia (IMSOP) Grade Tipe A Komplit B Inkomplit C Inkomplit D Inkomplit E Normal Gangguan spinalis ASIA/IMSOP Tidak ada fungsi sensorik dan motorik sampai S4-5 Fungsi sensorik masih baik tapi fungsi motorik terganggu sampai segmen sakral S4-5 Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot motorik utama masih punya kekuatan < 3 Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik utamanya punya kekuatan > 3 Fungsi sensorik dan motorik normal 7 Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas:5 a. Paraplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral. b. Quadriplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segment cervikal. Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplit berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu : (1) Central Cord Syndrome (2) Brown Sequard Syndrome (3) Anterior Cord Syndrome (4) Posterior Cord Syndrome (5) Cauda Equina Syndrome Nama Sindroma Central cord syndrome Brown- Sequard Syndrome Anterior cord syndrome Pola dari lesi saraf Cedera pada posisi sentral dan sebagian daerah lateral. Sering terjadi pada trauma daerah servikal Cedera pada sisi anterior dan posterior dari medula spinalis. Cedera akan menghasilkan gangguan medulla spinalis unilateral Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis Kerusakan Menyebar ke daerah sacral. Kelemahan otot ekstremitas atas lebih berat dari ekstremitas bawah. Kehilangan proprioseptif dan kehilangan fungsi motorik secara ipsilateral Kehilangan motorik dan secara komplit. funsgsi sensorik 8 Posterior cord syndrome Cauda equine syndrome Kerusakan pada posterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis Kerusakan pada saraf lumbal atau sacral sampai ujung medulla spinalis Kerusakan proprioseptif diskriminasi dan getaran. Fungsi motorik juga terganggu Kerusakan sensori dan lumpuh flaccid pada ekstremitas bawah dan kontrol berkemih dan defekasi. Selain itu, Spinal Cord Injury juga dibagi menjadi 3 fase yaitu: 1) Fase akut / spinal shock (2-3 minggu), cirinya: a. Gangguan motorik Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah cervical akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak bawah yang disebut paraplegi. b. Gangguan sensorik Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal yang terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun sensasi dalam. c. Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual) Bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat keluar apabila sudah penuh. d. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi) Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4 yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi tractus respiratorius, jika terkena maka diafragma pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena gangguan pernafasan. 9 e. Hipotensi orthostatik Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien bangkit dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang bed rest lama dan endurancenya menurun. 2) Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan) Dibagi dalam kriteria: a. Kriteria 1 Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif, flacciditas dan arefleksia. b. Kriteria 2 Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia. c. Kriteria 3 Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/ motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus. d. Kriteria 4 Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis. 3) Fase kronik (di atas 3 bulan) Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete / incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu: Setelah fase recovery kondisi pasien complete/incomplete vital sign pasien menurun dan autonomic disrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan pada sistem autonom. Fenomena ini tampak pada cedera medula spinalis di atas Th6. Hal ini disebabkan aksi relatif dari sistem saraf otonom sebagai respon dari beberapa stimulus, seperti kandung kemih, fesces yang mengeras (konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi rectal, stimulus suhu atau nyeri dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak, 10 berkeringat, kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah level lesi, hidung buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi lambat. 2.5 Etiologi Spinal Cord Injury Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis: a. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra. 1,5,6,8 b. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan. 1,5,6,8 2.6 Patofisiologi Spinal Cord Injury Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk dipahami, sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.9 Pada skema (Gambar), menggambarkan kombinasi dari berbagai macam tipe cedera medula spinalis. Banyak sel di medula spinalis mati seketika secara progresif setelah terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah cedera memar. Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer seringkali 11 menyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan parut yang bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia. A. B Gambar Skema medula spinalis potongan sagital, A. Medula spinalis intak (sebelum trauma), B. Medula spinalis setelah cedera.13 Akson asending dan desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki diri. Beberapa akson membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan dibentuk oleh sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag. Sebagian remielinasi muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.13 Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch) pada medula. Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari vertebra yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang lain atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan 12 menjepit medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan artritis degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan sindroma medula sentral.10 Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera primer dan sekunder.9 Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula spinalis, pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada umumnya terjadi akibat fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal, fraktur dislokasi, dan ruptur diskus akut. Kedua, Dampak cedera disertai kompresi sementara, dapat terjadi misalnya pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami cedera hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan atau asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis dan pada umumnya terjadi pada anakanak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang rawan, ototnya masih belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah. Pada orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi akibat luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah. Laserasi dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.9 Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan terjadi perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan 13 terganggunya aliran darah medula spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal ini menyebabkan substansia grisea rusak.9 Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro (mikrohemorrages) atau edema di sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat menyebabkan saraf tersebut semakin terganggu. Hal tersebut yang mendasari pemikiran bahwa substansia grisea mengalami kerusakan yang ireversibel selama satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami kerusakan selama 72 jam setelah cedera.9 Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter, eikosanoid vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid. Program jalur kematian sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan peningkatan tekanan jaringan.2 Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka suplai darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder.9,10 Cedera sekunder meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia, eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan elektrolit, trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 9 2.7 Gejala Klinis Spinal Cord Injury Tanda dan Gejala Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu, hilangnya reflek pada segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam. Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion pada lesi. Pada 14 trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis dapat kembali seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah trauma.10 Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya cedera. Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat digambarkan dari pola kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga sebaliknya, antara lain:10,14,15 1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan fungsi transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medula. Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi otonomik termasuk fungsi bowel, bladder dan sensorik. 2. Lesi Inkomplit a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh bagian ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal) dengan kolumna dorsalis yang masih intak dan sensasi raba (propioseptif), tekan dan posisi masih terjaga, meskipun terjadi paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri spinal. b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara ekstensif pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan (paralisis) dan kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) kontralateral di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau tembak. c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada sentral medula spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai 15 cedera yang konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan ekstremitas bawah disertai parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan sensorik ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf sensorik dan motorik sakral sebagian besar terletak di perifer medula servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari medula servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk selama trauma hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis servikal. Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat menyebabkan sel saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke serabut kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai disfungsi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang atau ekstrusi diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks dorsalis kompresi lumbosakral dibawah konus medularis. Pada umumnya terdapat disfungsi bowel dan bladder, parestesi, dan paralisis. Gambar. Pola Cedera medula spinalis.14 Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada pada daerah yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami gangguan fungsi, yang menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya sensasi. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat sementara atau menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera yang 16 terjadi. Cedera yang menyebabkan putusnya medula spinalis atau merusak jalur jalannya saraf di medula spinalis menyebabkan hilangnya fungsi yang menetap, tetapi trauma tumpul yang mengguncang medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot sebagian menyebabkan timbulnya kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka otot tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid). Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik). 1,5,6,8 Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme pada tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. 1,5,6,8 Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, refleks hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi. 1,5,6,8 Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis. Fase selanjutnya 17 setelah spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L3 sampai kauda ekuina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 1,5,6,8 Dapat dirumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu : 1,5,6,8 a. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia. b. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot dan reflek tendon myotome. c. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan sapstic blader dan bowel. d. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri. e. Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur ke duduk, Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed. f. Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru dan hipotensi. g. Skin problem menyangkut adanya dekubitus. Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8 akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius dan sebagian m. pectoralis mayor. Lesi setinggi thoracal 18 mempengaruhi otot-otot intercostalis dan abdominal, dampak umumnya yaitu efektifitas kinerja otot pernafasan menurun. 1,5,6,8 2.8 Diagnosis Spinal Cord Injury Pemeriksaan Fisik Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma. Deteksi awal cedera medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa (sequele) pada fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera medula spinalis harus dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar servikal (collar brace) dan papan (backboards).10 A. B. Gambar. A. Collar servikal, B. backboards. Di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan penanganan terhadap hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkanea (yang biasanya ditemukan pada cedera medula servikal tinggi). Selain itu juga dapat terjadi hipotensi yang disertai bradikardi, akibat hilangnya inervasi simpatik pada jantung saat terjadi cedera medula servikal yang disebut syok neurogenik. Hilangnya inervasi simpatik juga dapat menyebabkan ileus paralitik disertai sekuestrasi cairan abdomen, distensi kandung kemih, dan hipotermi.10 Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra yang tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen). Resusitasi terhadap hipotensi dan hipoventilasi harus segera dilakukan. Jika pasien sadar, riwayat kejadian harus ditanyakan, termasuk mekanisme terjadinya cedera, dan adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang timbul. Adanya keluhan berupa parestesi harus di perhatikan. Sakit kepala hebat, terutaama sakit kepala daerah oksipital, biasanya disertai fraktur odontoid atau hangman's fracture (fraktur bilateral dari pedikel C2). Palpasi pada pasien dengan menggerakan vertebra minimal didapatkan nyeri tekan atau deformitas. 19 Untuk mengetahui adanya paralisis, pasien diminta untuk menggerakkan tangannya sendiri dan diberikan tahanan. Refleks tendon dalam harus dievaluasi pada lengan dan kaki, berkurang atau hilangnya reflek tersebut dapat membantu pemeriksa mengetahui letak lesi. Gambar. Tingkat sensorik dan motorik dari medula spinalis.10 Hilangnya reflex abdomen (kontraksi akibat stimulasi kulit abdomen bagian bawah), menunjukkan adanya lesi di region T9-11. Hilangnya reflek kremasterika (kontraksi otot skrotal sebagai respon dari rangsangan yang diberikan di paha medial) menunjukkan adany lesi di medula T12-L1. Adanya reflek bulbokavernosus (kontraksi sphincter ani dengan melakukan kompresi pada penis atau klitoris atau dengan menurunkan tekanan trigonum bladder dengan balon kateter foley ketika kateter secara gentle ditarik keluar) menunjukkan bahwa jalur sensorik dan motorik sacral masih berfungsi. 20 Hilangnya reflek bulbokavernosus terjadi pada syok spinal atau cedera radiks dorsalis. Pemeriksaan sensoris pada ekstrimitas, dada, leher, dan wajah harus dilakukan untuk mengetahui tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau hilang. Sensasi pada sebagian region sakral hampir selalu disebabkan cedera inkomplit.10 Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus menggunakan tekhnik fireman’s carry atau log-roll, yaitu dibutuhkan minimal tiga orang pada masing-masing sisi dengan orang keempat yang memimpin gerakan sekaligus mempertahankan posisi kepala dengan traksi aksial secara gentle (4-7 kg) menggunakan satu tangan pada dagu (chin) dan tangan lainnya pada oksiput.10 Gambar Metode log-roll untuk memindahkan korban dengan cedera medula spinalis.16 Pemeriksaan Reflex Bulbo Cavernous Reflex bulbocavernosus adalah suatu reflex yang ditandai dengan kontraksi dari otot bulbospongiosus (otot spingter ani) ketika dorsum penis ditarik atau glans penis dikompresi. Juga disebut refleks penis.19 Bulbo Cavernosus Refleks atau BCR adalah salah satu cara untuk mengetahui apakah seseorang menderita shock spinal. Refleks ini merupakan 21 refleks polysynaptic yang berguna selain untuk mengetahui adanya syok spinal juga memperoleh informasi tentang adanya cedera sumsum tulang belakang / Spinal Cord Injury (SCI). Tes ini melibatkan pemantauan kontraksi sfingter anal sebagai respon terhadap gerakan meremas pada glans penis/klitoris atau tertariknya kateter Foley19. Refleks ini dimediasi oleh syaraf tulang belakang S2-S4. Tidak adanya refleks tanpa trauma sumsum tulang belakang sakral menunjukkan syok spinal. Biasanya ini adalah salah satu refleks pertama yang kembali setelah syok spinal. Tidak adanya fungsi motorik dan fungsi sensorik setelah refleks telah kembali menunjukkan adanya cidera spinal yang lengkap. Tidak adanya refleks ini dalam kasus di mana syok tulang belakang tidak dicurigai dapat menunjukkan lesi atau cedera medullaris konus atau cauda euina syndrome. Bulbokavernosus adalah istilah awal untuk m.bulbospongiosus, sehingga refleks ini seharusnya disebut "Bulbospongiosus refleks".20 Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan bahwa cedera komplit dari Conus Medullaris Sindrom. Di sisi lain tidak adanya BCR pada keadaan dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada conus medullaris atau cauda equina. Ilustrasi reflex bulbo cavernosus 22 Dikutip dari : Spector et all, Cauda equina syndrome. JAAOS 16:2008 Jika refleks telah kembali tapi masih ada kurangnya fungsi sensorik dan motorik maka ini hanya menunjukkan Spinal Cord Injury komplit. Dalam hal ini tidak mungkin bahwa fungsi neurologis penting yang pernah akan kembali. Jika syok spinal tidak terlibat, belum ada atau tidak adanya refleks ini maka bisa mengindikasikan cedera akar saraf sakral. Hal ini juga dapat diuji secara electrophysiologik melalui ransangan listrik pada penis dan rekaman dari kontraksi anus. Tes ini biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasi jika ada motor atau fungsi sensorik dari akar sakral dan di medullaris konus.21 Syok spinal biasanya berlangsung 48 jam dan pengakhiran shock spinal sinyal itu datang belakang bulbokavernosus refleks. Tetapi harus diingat bahwa shock spinal tidak diamati pada cedera yang terjadi di bawah lesi injurynya. Karena ini tidak menyebabkan shock spinal sehingga tidak adanya refleks bulbokavernosus menunjukkan adanya cedera cauda equina atau cedera conus medullaris.21 Berikut ini adalah kegunaan memeriksa refleks bulbocavernosus: Bulbocaverosus refleks menunjuk pada kontraksi sfingter anal sebagai respon terhadap meremas pada glans penis atau menarik pada Foley kateter Refleks mencakup S-1, S-2, dan S-3 akar saraf dan lengkung refleks sumsum tulang belakang yang dimediasi; Setelah trauma tulang belakang, ada atau tidak adanya refleks ini membawa makna prognostik yang signifikan Periode syok spinal biasanya sembuh dalam waktu 48 jam dan kembalinya BCR menandai berakhirnya shock spinal itu sendiri. Syok spinal tidak terjadi untuk lesi yang terjadi di bawah spinal cord, dan karenanya, fraktur daerah lumbal bagian bawah seharusnya tidak menyebabkan spinal syok (dan dalam situasi ini, tidak adanya refleks bulbocaveronsus menunjukkan bahwa adanya cauda equina syndrome Hilangnya refleks persisten bulbokavernosus mungkin akibat dari conus medullary syndrome, misalnya berasal dari suatu Burst fracture V lumbal Kegunaan Reflex Bulbocavernosus untuk Prognostik: 23 Absennya fungsi motorik dan fungsi sensorik bagian distal atau sensasi perirectal, bersama dengan pemulihan refleks bulbokavernosus, menunjukkan SCI yang komplit, dan dalam kasus seperti itu jarang terjadi pemulihan fungsi neurologis yang signifikan. Oleh karena itu, jika tidak ada pemulihan fungsi motorik atau sensorik dibawah fraktur site, pasien dicurigai memiliki cedera saraf tulang belakang yg komplit dan kita tidak lagi mengharapkan pemulihan fungsi motorik. Di sisi lain, adanya fungsi motorik sensorik dibawah level dari trauma, kita anggap sebagai SCI yang incomplete dimana pemulihannya ditentukan oleh bagian dari spinal cord yang paling terkena. Pemeriksaan Sacral Sparing Sacral sparing diuji dengan sentuhan ringan dan sensasi pin di persimpangan mukokutan anal (S4/5 dermatom), di kedua sisi, serta pengujian kontraksi anal dan sensasi anal yang mendalam sebagai bagian dari pemeriksaan dubur. Jika ada salah satu yang hadir, baik utuh atau gangguan, individual memiliki hasil sakral sparing (+) dan karena cedera sumsum tulang belakang yang inkomplit. 24 Pemeriksaan Penunjang Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada trauma vertebra.10 Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk penilaian cepat tentang kondisi tulang spinal.14 Foto lateral paling dapat memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap alignment (kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan dengan vertebra torakalis serta pemeriksaan angulasi spinal di setiap level. Jaringan lunak paravertebra atau prevertebral yang bengkak biasanya merupakan indikasi perdarahan pada daerah yang fraktur atau ligamen yang rusak. Foto anterioposterior regio thoraks dan level lainnya dapat menunjukkan vertebra torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan luasnya pedikel yang rusak.10 Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah dan torak atas seringkali tidak mungkin karena adanya korset bahu. Foto polos komplit pada spinal servikal meliputi gambaran mulut terbuka yang menunjukkan adanya proses odontoid dan masa lateral C1 pada pasien yang diduga mengalami trauma servikal.10,14 Gambaran oblik dari servikal atau lumbal akan menunjukkan adanya fraktur atau dislokasi. Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal dapat menggambarkan anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang tidak tampak pada foto polos,10,14 MRI memberikan gambaran yang sempurna dari vertebra, diskus, dan medula spinalis serta merupakan prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis.10,14 Kanalis yang mengalami subluksasi, herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen jelas tampak pada MRI. Selain itu, MRI juga dapat mendeteksi EDH atau kerusakan medula spinalis itu sendiri, termasuk kontusio atau daerah yang mengalami iskemi. 14 Tanda penting untuk diagnosis antara lain: 10 1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma 2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas 3. Kelemahan atau paralisis 4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing 25 5. Gambaran radiologis 2.9 Tata Laksana Spinal Cord Injury Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga terapi keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik. Transeksi anatomikal dari medula spinalis hampir tidak pernah terjadi pada cedera medula spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk melindungi jaringan spinal yang masih bertahan. Pertama, didapatkan riwayat cedera. Kedua, dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (cedera sekunder) dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk sehingga dapat dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi optimal supaya memungkinkan dilakukan perbaikan dan penyembuhan sistem saraf. Keempat, evaluasi dan rehabilitasi pasien harus dilakukan secara aktif untuk memaksimalkan fungsi yang masih bertahan meskipun jaringan saraf tidak berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan meminimalisir biaya secara ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medula spinalis.10 Steroid Dosis Spinal Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan NASCIS-3, pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula spinalis dapat diterapi dengan metilprednisolon segera saat diketahui mengalami cedera medula spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30 mg/kgBB secara IV dalam 8 jam, dan terutama dalam 3 jam setelah cedera, dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4 mg/kgBB tiap 45 menit setelah pemberian pertama. Jika pasien mendapatkan bolus metilprednisolon antara 3-8 jam setelah cedera, maka seharusnya pasien tersebut menerima infus metilprednisolon selama 48 jam sedangkan jika pemberian metilprednisolon dalam 3 jam setelah cedera, maka pemberian infus prednisolon diberikan selama 24 jam.10,14 Penelitian menunjukkan akan terjadi pemulihan motorik dan sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun pada pasien yang menerima metilprednisolon. Akan tetapi, penggunaan kortikosteroid belum jelas kesepakatannya. Steroid dosis spinal juga kontra indikasi untuk pasien dengan luka tembak atau cedera radiks 26 dorsalis (kauda ekuina), atau hamil, kurang dari 14 tahun, atau dalam pengobatan steroid jangka panjang, serta hipotermi (salah satu gejala yang timbul pada cedera medula spinalis).14 Bila terjadi spastisitas otot, berikan: Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari, Baklopen 3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan secara tradisional digunakan untuk mengobati gangguan muskuloskeletal yang menyakitkan. Efek samping sedasi dan pusing yang umum terjadi.6,8,22 Bila ada rasa nyeri bisa diberikan: Analgetika golongan NSAIDs (anti inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai pengobatan untuk nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus dihindari karena sering terjadi efek samping yang merugikan pada fungsi ginjal dan gastrointestinal. Antidepresan trisiklik: digunakan dalam pengobatan nyeri kronik untuk mengurangi insomnia, dan juga mengurangi sakit kepala. Alat Ortotik Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada spinal. Pada umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak adekuat untuk C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses brace diatas torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest paling banyak memberikan stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di pasangkan pada skul (tengkorak kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga dapat digunakan sebagai torakolumbal ortose.14 A. B. C. Gambar 10. Alat ortose rigid, A. Cervicothoracic orthoses brace, B. Minerva brace, C. Halo ring.17 27 Fiksasi skeletal dengan Gardner-Wells tongs atau halo traction dapat dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau halter traction dapat digunakan sementara. Thoraciter tractions anhald lumbar fractures dilakukan dengan mempertahankan pasien pada posisi netral, log rol diperlukan untuk penatalaksanaan dalam merawat kulit dan pulmonary.10 A. B. Gambar 11. Fiksasi, A. Gardner wells tongs, B. Cervical Halter skin traction.18 Operasi Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama adalah untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien dengan defisit neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang terlalu tidak stabil untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi stabilisasi dapat disertai mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik.14 Indikasi lain operasi yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai dengan defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan terjadinya epidural spinal atau subdural hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak stabil meliputi, spinal fusion menggunakan metal plates, rods, dan screws dikombinasi dengan bone fusion.10 28 Perawatan Berkelanjutan Sangat penting untuk melakukan pencegahan dan perawatan dari thrombosis vena dalam, hiperfleksi autonomik dan pembentukan ulkus dekubitus.14 Banyak pasien dengan cedera medula servikal atau torak tinggi membutuhkan bantuan ventilasi sampai dinding dada cukup kuat untuk bernafas. Pasien dengan cedera medula spinalis biasanya bernafas dengan menggunakan diafragma. Jika terjadi ileus paralitik disertai distensi abdomen atau pasien tampak lemah maka ventilasi akan memburuk. Pasien akan mengalami hipoksik, sehingga perlu diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.10 Pasien dengan cedera medula servikal tinggi (diatas C4) seringkali membutuhkan bantuan ventilasi permanen.14 Akibat hilangnya jalur simpatik medula spinalis, tekanan darah menjadi rendah dan menyebabkan cedera sekunder. Tekanan darah arteri rata-rata 8590 mmHg harus dipertahankan selama 7 hari pertama setelah terjadinya cedera medula spinalis untuk meningkatkan perfusi pada medula yang cedera. Jika produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan kateter, pasien dengan hipotensi sedang akan merespon terhadap pemberian konstriktor seperti efedrin, akan tetapi hal tersebut hanya boleh diberikan setelah dipastikan tidak ada perdarahan pada rongga dada atau abdomen.10 2.10 Komplikasi Spinal Cord Injury Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara potensial dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai infeksi saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang yang menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah dengan dengan cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan defisit motorik disertai cedera medula spinalis memiliki resiko tinggi thrombosis vena dalam. Pasien sebaiknya mendapatkan low-molecularweight heparin, pneumatic compression stockings atau keduanya sebagai profilaksis. 29 Berikut ini adalah komplikasi yang sering terjadi: a. Ulkus dekubitus: Merupakan komplikasi paling utama pada cedera medulla spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada daerah pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada cedera medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan sensasi saja, tapi juga peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan berkurang. 1,5,6,8 b. Osteoporosis dan fraktur : Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal, tulang akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang menumpu. Ketika aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak melakukan aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi penurunan kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang berkurang. 1,5,6,8 c. Pneumonia, atelektasis, aspirasi : Pasien dengan cedera medula spinalis di bawah Th4, akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi paru. Terjadi pada 10 tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat progresif sesuai keadaan. 1,5,6,8 d. Deep Vein Trombosis (DVT) : Merupakan komplikasi terberat dalam cedera medula spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi yang normal daripada pembuluh darah. e. Cardiovasculer disease: Komplikasi dari sistem kardiorespirasi merupakan resiko jangkapanjang pada cedera medulla spinalis. f. Neuropatic pain : Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis. Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di sekitarnya dapat berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya pasien akan merasakan terdapat phantom limb pain atau nyeri yang menjalar pada level lesi ke inervasinya. 1,5,6,8 g. Perubahan Tonus Otot : Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah paralisis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena. Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf 30 spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus descending, akan terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian kondisi tersebut akan diikuti dengan gejala autonom seperti berkeringat dan inkontinensia dari bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu akan terjadi peningkatan tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks. 1,5,6,8 h. Komplikasi Sistem respirasi : Bila lesi berada di atas level C4 akan menimbulkan paralisis otot inspirasi sehingga biasanya penderita membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi disegmen C5 – Th 12, timbul karena adanya gangguan pada otot ekspirasi yang mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m. adbominalis dan m. intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga menghambat kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret. 1,5,6,8 i. Kontrol Bladder dan Bowel : Pusat urinaris pada spinal adalah pada konus medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen sekral. Selama fase spinal syok, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa adanya spastisitas, kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot detrusor, dan refluks urethral. Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak adanya refleks bladder, akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada bladder ditambah dengan adanya lesi pada cauda equina. 1,5,6,8 j. Respon Seksual : Respon seksual berhubungan langsung dengan level dan komplit atau inkompletnya trauma. Terdapat dua macam respon, reflekogenik atau respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada penderita dengan lesi UMN dan psikogenik, dimana timbul melalui aktifitas kognisi seperti fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada LMN. Pria dengan level lesi yang tinggi dapat mencapai refleksif ereksi, tapi bukan ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia dapat lebih cepat 31 untuk ejakulasi, tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada kauda ekuina tidak memungkinkan terjadinya ejakulasi ataupun ereksi. 1,5,6,8 k. Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester terakhir. Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat dari hilangnya sensasi, dan persalinan diawali dengan disrefleksia autonomik. 1,5,6,8 2.11 Prognosis Spinal Cord Injury Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas cedera medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan kehilangan fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya tidak mungkin kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit dapat mulai berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih mudah mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior prognosisnya tidak sebaik sindroma medula inkomplit, sindroma medula sentral, dan Brown Squard’s sindrome. Penyebab utama kematian sindroma medula spinalis meliputi penyakit respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi juga termasuk dukungan emosional dan edukasi pasien tentang aktifitas harian dan latihan bekerja.10 32 DAFTAR PUSTAKA 1. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2003.h. 35-36. 2. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi ke5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16. 3. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Inc: Sanauer Assiciates; 2002.h.23-36, 277-283. 4. DeGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-42. 5. ASIA. Spinal cord injury. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu. 6. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23. 7. National spinal cord injury statistical centre. Spinal cord injury: Facts and figures at a glance. http://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Facts%20213.p df. 8. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives. Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord Medicine. Vol. 31. 2006. 9. Dumont, Randall J; Okonkwo, David O; Verma, Subodh ; Hurlbert, C John ; Boulos, Paul T; Dumont, Aaron S;. (2001). Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms. Clinical Neuropharmacology , 24 (5), 254-264. 10. Manley , Geoffrey T; Rosenthal, Guy; Papanastasio, Alexande M; Pitts, Larry H;. (2006). Spinal Cord Injury. In G. M. Doherty, Current Surgical Diagnosis & Treatment (Vol. 37). California: McGraw-Hill. 33 11. Liverman, Catharyn, T., Altevogt, Bruce, M., Joy, Janet, E., and Johnson, Richard, T. Editors. 2005. Spinal Cord Injury: Progress, Promise, and Priorities. Washington, D.C.:The National Academies Press. [serial online]. http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=11253&page=R1. 12. Feneis, Heinz; Dauber, Wolfgang;. (2000). Pocket Atlas of Anatomy Based on the International Nomenclature Fourth Edition, fully rivised. Ney York: Thieme. 13. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. (2006). Therapeutic Intervention After Spinal Cord Injury. Nature Publishing Group , 7, 628-640. 14. Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., & Galloway, A. C. (2010). Principles of Surgery Companion Handbook. USA: McGraw-Hill. 15. Kaye, Andrew H. (2006). Nerve injuries, peripheral nerve entrapments and spinal cord compression. In J. J. Tjandra, G. J. Clunie, A. H. Kaye, & J. A. Smith, Text Book of Surgery Third Edition (Vol. 51). Massachusetts: Blackwell Publishing. 16. Anonim. Management of Bone Injuries. [Serial Online]. http://www.freeed.net/sweethaven/MedTech/MedTech/default.asp?iNum=0411&uNum=2. (23 September 2011). 17. Miller-Keane. 2003. Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing, and Allied Health, Seventh Edition. by Saunders, an imprint of Elsevier, Inc. All rights reserved. [Serial Online]. http://medical-dictionary.thefreedictionary .com/Cervico-Thoraco-Lumbo-Sacral+Orthosis. (23 September 2011) 18. Anonim. Primary Surgery Vol.2 – Trauma : The spine : Skeletal traction. [Serial Online]. http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0232.html. (23 September 2011) 19. Bulbocavernosus Reflex - Wheeless' Textbook of Orthopaedics Dikutip dari http//www.wheelessonline.com\ortho 20. Vodusek, David Neurophysiological B.; Deletis, monitoring of Vedran the (2002). Sacral "Intraoperative Nervous System". 34 Neurophysiology in Neurosurgery, a Modern Intraoperative Approach (Academic Press): 153–165. 21. Spector et all, Review Article: Cauda equina syndrome. JAAOS 16:2008 22. Sidharta P. Tatalaksana Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian Rakyat; 2005.h.115-116. 35