Catatan Isu Pendidikan Sepanjang 2018 Ilustrasi Foto INDOPOS.CO.ID - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat berbagai masalah pendidikan yang terjadi pada 2018. Seperti pelaksanaan ujian nasional di daerah bencana. Mengingat Indonesia memiliki potensi terkena bencana alam yang pastinya akan mengganggu proses pembelajaran di sekolah. Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriawan Salim mengatakan, daerah terkena bencana seperti Palu, Donggala, Lombok, Lampung dan Banten harus diberikan perlakukan khusus bagi para peserta didiknya. Pemerintah mesti memberi perhatian lebih, mendirikan sekolah-sekolah darurat dan proses pembelajaran yang tetap berlangsung dengan segala keterbatasan. "Kemudian yang terpenting yaitu menghadapi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2019 nanti. Kebijakan dan pelaksanaan UN 2019 di wilayah terdampak bencana tersebut harus tersendiri, diperlakukan khusus tak sama dengan wilayah lain," ujar Satriwan Salim dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (1/1/2019). Sebab infrastruktur dan fasilitas sekolah yang hancur, proses pembelajaran juga sudah terganggu. Kemdikbud mesti merancang kebijakan khusus UN bagi para peserta didik di wilayah terdampak bencana alam tersebut. Persoalan lain yaitu mengenai zonasi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) 2018 yang juga menyisakan banyak persoalan masalah pendataan yang lemah, persiapan tidak matang, sosialisasi Permendikbud yang terburu-buru, lemahnya pengawasan terhadap pembuatan Surat Ketarangan Tidak Mampu (SKTM) dan lemahnya koordinasi lintas dinas pendidikan di daerah. "Menumpuknya persoalan zonasi PPDB 2018 semestinya tidak terulang pada PPDB 2019 nanti, jika diagnosa persoalan di atas sudah diantisipasi sedini mungkin. Tapi FSGI ragu, jika persoalan PPDB 2019 nanti serta-merta akan teratasi semua, sebab hingga sekarang ini Permendikbud tentang PPDB 2019 saja belum kunjung ada. Ini membuat para orang tua, MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), dinas pendidikan dan masyarakat galau,” kata Satriwan yang juga guru di salah satu SMA swasta di Jakarta Timur. Sosialisasi PPDB 2019 sangat penting dilakukan mengingat ada wacana pemerintah melibatkan MKKS dalam melakukan pendataan jumlah calon peserta didik di wilayah zonasi mereka. Jika ini benar dilakukan tentu menambah tugas kepala sekolah, dan tak menutup kemungkinan kepala sekolah juga akan menugaskan para guru (membantu kepala sekolah) untuk melakukan pendataan kepada para calon siswa. "Tentu hal ini akan menambah dan membebani para guru, padahal dalam UU Guru dan Dosen serta PP tentang Guru tugas demikian tidak ada. Agar PPDB dengan skema baru ini justru tidak memproduksi masalah baru yang merugikan hak calon peserta didik," ucapnya. Bagi FSGI prinsipnya adalah apapun model sistem zonasi PPDB 2019, terpenting tidak merugikan siswa termasuk guru. Sudah menjadi keharusan pemerintah melengkapi saranaprasarana sekolah, ruang kelas jika di zona tersebut kelebihan peserta didik pendaftar. Termasuk sebaran gurunya (di satu zona) karena tak berimbang dengan jumlah siswa. Kemudian pendataan siswa harus dimulai dari sekarang. Makanya dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang baik antara kepala daerah (dinas). Agar PPDB dengan skema baru ini justru tidak memproduksi masalah baru yang merugikan hak calon peserta didik. Selain itu, mengenai perlindungan guru bahwa tahun ini ada guru yang meninggal akibat dianiaya oleh siswanya. Ada guru yang dipukul oleh orang tua siswa, dan yang mutakhir guyonan bernada kekerasan siswa kepada gurunya serta Kasus Baiq Nuril yang dikriminalisasi oleh kepala sekolahnya. Hal ini menunjukkan sekolah yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi guru dan siswa, justru menjadi area yang membahayakan jiwa mereka. Upaya maupun kebijakan pemerintah dalam bentuk regulasi tidak mampu memberikan perlindungan bagi guru. Keberadaan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan terhadap Tenaga Pendidik, tidak lebih hanya upaya pemerintah mencari selamat dari kewajiban memberikan perlindungan bagi guru. "Apalagi jika dikaji aturan yang ada dalam Permendikbud tersebut tak lebih hanya mengatur kewenangan Kemdikbud. Sementara stake holders lainnya seperti pemerintah daerah, organisasi profesi guru, masyarakat, orang tua, siswa dan sekolah tidak diatur secara langsung dalam Permendikbud tersebut," tukas Satriawan. Regulasi ada tapi sangat lemah dalam implementasi, karena bagaimana cara pelaksanaan Permedikbud ini pun pemerintah (daerah) gagap melaksanakannya. Ditambah guru-guru belum mengetahui dan sadar jika mereka dilindungi oleh undang-undang. Komnas HAM Catat 4 Kondisi Darurat Pendidikan Indonesia MOH NADLIR Kompas.com 02/05/2018, 12:58 WIB Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (19/3/2018).(KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO) JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintahahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dianggap belum mampu merealisasikan nawa cita atau agenda prioritas pemerintahan. Salah satu nawa cita Jokowi-JK yang masih belum tuntas adalah melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. "Masih jauh dari kata berhasil. Karena dunia pendidikan Indonesia saat ini sedang dalam kondisi darurat," kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/5/2018). Komnas HAM pun mencatat empat kondisi darurat pendidikan Indonesia. Pertama, darurat karena banyak kasus pelanggaran HAM. Adapun jumlah tindakan pelanggaran HAM di sekolah dan perguruan tinggi dari tahun ke tahun terus meningkat. Peningkatan jumlah juga bisa dilihat dari ragam bentuk pelanggaran, pelaku, korban dan modus operandinya. Baca juga : Sulitnya Soal UNBK Dianggap Hambat Peningkatan Kualitas Pendidikan Data Badan Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. "Data ini menunjukkan kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan," ujar Beka. Data Komnas HAM, kasus dugaan pelanggaran HAM terkait isu pendidikan cenderung meningkat. Pada 2017 terdapat 19 kasus, sedangkan 2018 sampai April 2018 sudah ada 11 kasus. Hak-hak yang dilanggar, antara lain hak atas pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan, dan hak atas hidup. "Tempat kejadiannya ada di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara," kata dia. Kedua, darurat karena ranking pendidikan Indonesia yang buruk. Pencapaian nilai Programme for Internasional Student Assessment (PISA) pada 2015 berada pada posisi 64 dari 72 negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Komnas HAM Catat 4 Kondisi Darurat Pendidikan Indonesia", https://nasional.kompas.com/read/2018/05 /02/12581141/komnas-ham-catat-4-kondisi-daruratpendidikan-indonesia. Penulis : Moh Nadlir Editor : Krisiandi REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama Results Internasional menyebut ada tiga permasalahan utama pendidikan di Indonesia. Masing-masing, yakni kualitas guru, sekolah yang tidak ramah anak dan deskriminasi terhadap kelompok marginal. "Ada tiga isu strategis yang perlu mendapat perhatian," kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam Seminar Internasion dan Laporan Right to Education Index (RTEI) 2016 di Jakarta, Kamis (23/3). Ia menyebut, penelitian RTEI mengukur lima faktor utama, yakni pemerintahan, ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan adaptasi. Dari lima faktor itu, Indonesia mendapatkan skor 77 persen untuk laporan pendidikan. Namun, posisi Indonesia sejajar dengan Nigeria dan Honduras. Ironisnya, ia menyebut, kualitas pendidikan Indonesia berada di bawah Filipina (81 persen) dan Etiopia (79 pensen). Penelitian itu menempatkan Inggris (87 persen) di urutan teratas. Disusul, Kanada (85 persen) dan Australia (83 persen). Ubaid menjelaskan, kualitas guru yang rendah disebabkan rasio ketersediaan guru, khususnya di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Berdasarkan hasil uji kompetensi guru pada 2016 menunjukkan nilai di bawah standar. Ia menyebut, hal tersebut tidak sebanding dengan anggaran yang dialokasikan untuk gaji guru. Sementara itu, Ubaid menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan, lingkungan sekolah di Indonesia belum ramah anak. Ia mencontohkan, hal itu terlihat dari masih maraknya kekerasan di sekolah, baik fisik maupun bukan fisik. Ia menyebut, setidaknya ada enam tipe kekerasan utama yang terus terulang di lingkungan sekolah. Yakni, penganiayaan guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, sesama siswa wali murid kepada guru, pelecehan seksual dan tawuran antarsekolah. ADVERTISEMENT Selain itu, Ubaid menyebut, akses pendidikan bagi kelompok marginal masih rendah. Kelompok marginal yang masuk kategori ini adalah perempuan, anak di penjara, kelompok difabel, anak keluarga miskin, dan para pengungsi. Ia mengingatkan, di Indonesia ada banyak pengungsi dari berbagai negera, seperti, Myanmar, Irak, Somalia, Afganista dan Palestina. Ubaid menyebut, JPPI dan Results Internasional merekomendasikan sejumlah hal untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Pertama, meningkatkan kualitas guru butuh komitmen jelas pemerintah dalam mengembangkan kapasitas guru. Pemerintah harus punya peta jalan yang jelas, terukur dan berkesinambungan. Juga evaluasi dan pemantauan harus dilakukan secara berkala. Sebab, dikhawatirkan kualitas guru akan terus menjadi dilema berkepanjangan. Kedua, pemerintah harus memberikan sanksi tegas terhadap pihak yang melakukan kekerasan di lingkungan sekolah. Hal itu bertujuan untuk menciptakan rasa aman dan ramah anak di sekolah. Selain itu, pemerintah harus mendorong sekolah dan orang tua aktif berpartisipasi dan mengontrol sekolah. Ketiga, Ubaid menjelaskan, perlu kebijakan afirmasi untuk kelompok marginal atas diskriminasi pendidikan yang dialami kelompok itu. Sebab, masih banyak anak tidak bisa sekolah karena identitas yang tidak sesuai dengan domisili. Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud, Hendarman menyebut, hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki dan mengatasi sejumlah permasalah pendidikan. Kendati demikian, ia mempertanyakan rendahnya hasil yang diperoleh Indonesia dalam peneltian itu. Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia (World Bank) menyebut bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, meski perluasan akses pendidikan untuk masyarakat dianggap sudah meningkat cukup signifikan. Indonesia sendiri telah mencanangkan program reformasi pendidikan untuk membenahi kualitas sektor ini selama 15 tahun sejak 2002. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves mengatakan kualitas pendidikan yang rendah tercermin dari peringkat Indonesia yang masih berada di posisi tertinggi dari negaranegara tetangga. Indikator peringkat kualitas pendidikan ini tercermin dalam jumlah kasus buta huruf. "Misalnya, 55 persen anak usia 15 tahun di Indonesia secara fungsional buta huruf, dibandingkan kurang dari 10 persen di Vietnam," ujarnya di Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (6/6). Sementara dari sisi akses pendidikan, jumlah siswa yang kini mampu bersekolah meningkat cukup signifikan. Adapun peningkatan akses ini dilakukan dengan meningkatkan pembiayaan, peningkatan partisipasi para pelaku lokal dalam tata kelola pendidikan, peningkatan akuntailitas dan kualitas guru, hingga memastikan kesiapan siswa. Sayangnya, hasil tersebut belum bisa memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Bank Dunia melihat masih ada sejumlah tantangan yang masih belum terselesaikan, misalnya tidak meratanya akses pendidikan itu alias masih ada ketimpangan. Dari sini, Bank Dunia melihat perlu ada perluasan akses pendidikan yang lebih merata dan sesuai dengan standar pendidikan internasional, baik secara kurikulum maupun praktik. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kriteria kualifikasi guru hingga meluncurkan kampanye perbaikan kualitas pendidikan. Sedangkan dari sisi pengaturan anggaran pendidikan, pemerintah dinilai perlu memberikan anggaran berdasarkan kinerja dan kualitas pendidikan yang bisa dibangun daerah. "Rekomendasi lain, agar melengkapi mekanisme pembiayaan yang ada untuk pendidikan dengan transfer yang targetnya ditetapkan dengan baik dan berbasis kinerja untuk sekolah dan kabupaten tertinggal," katanya. Menanggapi ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan memang kualitas pendidikan di Tanah Air masih menjadi tantangan bagi pemerintah. Padahal, dari sisi anggaran, dana untuk pendidikan telah mencapai Rp444 triliun atau sekitar 20 persen dari total belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Menurutnya, hal ini karena permasalahan pendidikan tak bisa diselesaikan dari sisi anggaran saja. Namun, harus pula dibahas secara teknis dengan tiga kementerian yang berkaitan langsung, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), dan Kementerian Agama (Kemenag). "Ada juga beberapa kementerian lain yang punya anggaran pendidikan vokasional atau teknikal. Selain itu, daerah juga perlu ikut sebagai keharusan untuk membayar pendidikan penuh, misalnya terhadap gaji dan tunjangan guru," jelasnya. Lihat juga: Genjot Pendidikan Agama, Anggaran Kemenag Naik Rp887 Miliar Khusus untuk kualitas pendidikan, ia bilang, yang menjadi tantangan di berbagai negara adalah persoalan manajemen dan efektivitas belajar anak di sekolah. "Begitu juga dengan kurikulum dan text book, itu penting agar negara bisa menyiapkan strategi dalam membangun SDM dengan tantangan yang ada, misalnya industrialisasi, teknologi yang berubah, dan keterbukaan informasi," pungkasnya. (chs/chs) o Masalah Pendidikan di Indonesia, Putus Sekolah hingga Salah Jurusan o VIVA – Pendidikan masih menjadi isu yang tak pernah habis dibicarakan di negeri ini. Masih banyak sekali permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia sehingga mendorong banyak pihak untuk melakukan aksi demi memperbaiki kondisi ini. Salah satu pengamat pendidikan dan penggagas berbagai gerakan di bidang pendidikan, Najeela Shihab mengungkapkan, ada tiga permasalahan pendidikan yang utama di Indonesia. "Pertama adalah akses, ada anak yang tidak bisa sekolah atau jauh sekali dari sekolah, ada yang sudah sekolah tapi kemudian putus sekolah," kata wanita yang punya panggilan akrab Ela ini dalam acara peluncuran Wardah Inspiring Movement di Restoran Bunga Rampai, Jakarta, Rabu 15 Agustus 2017. Kemudian, masalah kualitas. Menurut Ela, mereka yang sudah sekolah belum tentu belajar. Karena masih ada anak Indonesia yang sudah 2-3 tahun sekolah tapi masih belum bisa membaca. Ada anak yang sudah lulus sekolah menengah tapi masih seperti anak kelas tiga sekolah dasar. Selain itu, masih banyak anak-anak yang bisa membaca kalimat tapi hanya sekadar membaca saja, tanpa memahami isinya sehingga mereka tidak punya sikap kritis. Banyak pula mahasiswa yang masuk perguruan tinggi favorit tapi mereka salah jurusan, dan karena mereka merasa tidak sesuai dengan diri mereka akhirnya mereka tidak bisa optimal. "Sekadar masuk sekolah saja tidak cukup, tapi harus ada kualitas belajar," imbuh Ela. Isu ketiga adalah masalah kesenjangan. Sebagian kecil anak bisa mendapatkan pendidikan yang baik, akses yang baik, dan ekosistem mendukung, tapi masih banyak anak yang berada dalam kondisi memprihatinkan sehingga menjadi isu sosial di masyarakat. Permasalahan ini pula yang mendorong Ela menggagas gerakan Semua Murid Semua Guru, di mana salah satu program di dalamnya ada yang disebut dengan Kirim Budi. Kirim Budi merupakan sebuah gerakan mengirimkan flashdisk yang isinya disebut Ela sebagai 'mimpi'. "Mimpi mengenai profesi yang sebelumnya tidak terbayang oleh anak-anak di pelosok," kata Ela. Selama ini jika kita berkeliling dan bertanya pada anak-anak, apa cita-cita mereka, jawabannya tidak jauh dari profesi seperti polisi, dokter, guru, atau tentara. Padahal, masih ada kemungkinan pekerjaan lain di luar sana. Selain berisi mengenai profesi, flashdisk itu juga ada yang berisi video pembelajaran. Alasannya, masih banyak sekolah-sekolah di pelosok yang kekurangan banyak guru. Jika mengirim guru dalam bentuk sosok, akan ada banyak sekali kendalanya. Tapi, mereka masih bisa mendapatkan bantuan guru dalam bentuk video atau digital. Dengan demikian, anak-anak di pelosok tetap bisa mendapatkan akses pembelajaran sesuai dengan kurikulum. Serta, meningkatkan kualitas belajar mereka karena belum tentu guru di daerah dapat menerangkan semua materi belajar. (mus) PPDB Online Tangsel Kacau, Siswa Nilai Rendah Geser NEM Tinggi Hasan Kurniawan Jum'at, 13 Juli 2018 - 18:04 WIB views: 15.694 Salah seorang wali murid menunjukkan siswa yang nilai rendah menggeser nem tinggi. Foto/Hasan Kurniawan/KORAN SINDO A+ ATANGERANG SELATAN - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Online tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, gagal dan berlangsung sangat amburadul. Dody Wijaya (33), salah seorang wali murid mengatakan, dirinya protes ke Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany, karena pelaksanaan PPDB Online kacau, dan pihak dinas yang lambat mengatasi permasalahan yang ada. "NEM (nilai ebtanas murni) anak saya tinggi, yakni 23,71. Tetapi mengapa malah digeser dengan siswa lain yang NEM-nya lebih rendah, di bawah 20. Saya sangat kecewa," kata Dody ditemui di Pemkot Tangsel, Jumat (13/7/2018). Dody mendaftar PPDB Online pada 2 Juli 2018, dan masuk seleksi dengan nonor urut 20. Namun, terpental ke urutan 40, hingga server mati. "Lalu nama anak saya tidak ada alias hilang. Tetapi terdaftar masih ada. Di seleksinya yang tidak ada. Setelah seleksinya mental, berarti anak saya tidak lulus dan masuk," sambung Dody lagi. Kemudian, Dody melakukan pengecekan kepada NEM siswa lainnya. Bukan kepalang kagetnya, ternyata nilai USBN yang di bawah 20 banyak yang masuk. "Nah, anak saya yang nilai NEM-nya 23,71 dengan zona yang sama malah tidak masuk. Saya daftar sesuai zonasi ke SMPN 12 Tangsel, Jurang Mangu, Pondok Aren, Kota Tangsel," tambah Dody. Dijelaskan Dody, pihaknya sudah bolak balik ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangsel selama tiga kali. Sampai-sampai mengorbankan kerja dan istirahatnya. "Banyak kesalahannya. Pertama nomor urut 248 dan 249 dengan nama yang sama Frienda Busthomi Abdillah, dengan NEM 19,79. Lalu atas nama Rahayu Dwi Ariyanti, NEM-nya hanya 13,92," jelasnya. Buku IPS SD Berisi Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Heboh di Tangsel Hambali Selasa, 12 Desember 2017 - 18:33 WIB views: 10.695 Buku pelajaran IPS SD yang berisi keterangan tentang Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Foto:Okezone/Hambali A+ ATANGERANG SELATAN - Di saat banyak kecaman atas pengakuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump soal status Yerusalem sebagai ibu kota Israel, kini justru viral di media sosial terkait buku pelajaran sekolah dasar (SD) yang berisi keterangan yang sama. Dalam buku Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kelas 6 SD itu, pada halaman 15 disebutkan, Benua Asia terbagi 5 wilayah, yakni Asia Barat, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara. Sedangkan Israel masuk salah satu dari sejumlah negara di wilayah Asia Barat, dengan ibu kota Yerusalem. Padahal, pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh Presiden AS beberapa hari lalu telah memicu pergolakan di banyak negara. Pemimpin dunia, termasuk Presiden Joko Widodo mengecam keras atas pengakuan sepihak AS itu. Belum diketahui secara detail dimana buku IPS itu beredar. Hingga kini buku bercover depan warna abu-abu itu masih ramai diperbincangkan. Hanya ada file buku berbentuk Portable Document Format (Pdf) yang bisa diakses maupun di-download dari halaman https://drive.google.com/file/d/0BxWfzwt3ebPKNTByb3ZSaXJOazA/view. "Belum ada laporan, masih kami cek," ujar Kepala Dinas Pendidikan Tangerang Selatan, Taryono, saat dikonfirmasi terkait keberadaan buku sekolah itu di wilayah Tangsel, Selasa (12/12/2017). Diketahui, Yerusalem merupakan wilayah yang terletak di dataran tinggi di Pegunungan Yudea, antara Laut Tengah dan Laut Mati. Kota ini dianggap suci dalam tiga agama, Yudaisme, kristen, dan Islam. Israel telah lama mengklaim Yerusalem sebagai ibu kotanya. Listrik Sekolah Diputus, Pengamat: Belajar Pasti Terganggu Agie Permadi Rabu, 26 Juli 2017 - 18:29 WIB views: 28.106 Foto/Ilustrasi/SINDOnews A+ AJAKARTA - Wali Kota Jakarta Barat, Anas Efendi diminta untuk bisa mengendalikan pendidikan dan kelistrikan di Jakarta Barat. Hal tersebut menyusul adanya kasus pemutusan aliran listrik di 3 sekolah lantaran menunggak membayarnya. Adapun sekolah yang diketahui diputus listriknya adalah SMA Negeri 112 di Meruya, Kembangan, SMA Negeri 85 Srengseng dan SMA Negeri 65. "Kepala PLN dan itu kan satu pimpinan, wali kotanya siapa, wali kota itu harus mengendalikan pendidikan dan kelistrikan, kalau dimatikan apakah itu kebijakan wali kotanya?" kata Pengamat Pendidikan Arief Rachman saat dihubungi SINDOnews, Rabu (26/7/2017). Jika sekolah yang diputus listriknya tersebut merupakan sekolah negeri, lanjutnya, maka harus ditanyakan kepada kantor wilayah (kanwil) setempat dalam hal ini Dinas Pendidikan Jakarta Barat. "Kanwilnya harus ditanyakan, sebab pembiayan dikendalikan oleh dinas pendidikan, kecuali sekolah swasta," tuturnya. Dengan diputusnya listrik di sekolah, apalagi di sekolah negeri tentu hal tersebut akan berakibat pada proses kegiatan belajar mengajar termasuk pelayanan sekolah. "Kalau enggak ada listrik bagaimana? Itu komputer apa bisa dinyalakan, kalau mengganggu aktivitas belajar mengajar kan ya itu enggak usah ditanyakan udah pasti (mengganggu)," ujarnya. Sebelumnya diberitakan, 3 sekolah di Jakarta Barat dilakukan pemutusan listrik oleh PLN lantaran menunggak. Hal tersebut mengingat dana sistem operasional pihak sekolah yang digunakan yakni dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) baru turun September nanti. Sebab masuk dalam triwulan pendidikan.