MENGUNGKAP RASIONALITAS TUNTUTAN PAPUA MERDEKA Oleh: Eko Surya Prasetyo, S.H. Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Siapa Papua? 1 Dalam persepsi orang Papua, kemerdekaan Papua pertama kali dideklarasikan dengan pengibaran bendera Morning Star (Bintang Kejora) pada tahun 1 Desember 1961. Akan tetapi, pernyataan kemerdekaan ini diabaikan atau “dibatalkan” oleh perjanjian antara Belanda dan Indonesia yang ditanda-tangani di New York tahun 1962, di mana Belanda sepakat mentransfer penyelenggaraan pemerintahan di Papua kepada Indonesia di bawah pengawasan PBB (dikenal sebagai misi UNTEA-United Nations Temporary Excecutive Authority). Orang-orang Papua yang tidak merasa terlibat dalam proses perjanjian itu menganggap bahwa Papua semata-mata sebagai obyek persengketaan internasional. Anggapan ini termasuk terhadap pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di bawah pengawasan PBB pada tahun 1969 dimana kemudian menjadi legitimasi bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia. Mereka memandang bahwa kekuasaan Indonesia atas Papua tidaklah legitimate. Hal ini kemudian ditegaskan kembali ketika Presidium Dewan Papua (PDP) menyelenggarakan kongresnya pada tahun 2000, dengan penolakan terhadap persetujuan New York yang dianggap tidak mempunyai dasar moral dan legal yang kuat karena tidak terlibatnya wakil-wakil masyarakat Papua dalam proses tersebut, dan juga menolak hasil Pepera pada tahun 1969 karena dilaksanakan secara tidak demokratis, pemaksaan, dan intimidasi terhadap wakil-wakil masyarakat yang menjadi peserta Pepera tersebut yang sebenarnya juga dipilih sendiri oleh Indonesia. Presidium Dewan Papua juga menyatakan bahwa kemerdekaan Papua telah diproklamirkan pada tahun 1961. Chauvel menjelaskan bahwa menguatnya nasionalisme Papua dipengaruhi oleh empat faktor yakni pertama, ketidakadilan sejarah mengenai proses terintegrasinya tanah air mereka ke dalam Indonesia. Kedua, banyak elit Papua merasa rivalitas dengan pejabat-pejabat Indonesia (non Papua) yang telah mendominasi pemerintahan Papua. Ketiga, permasalahan pembangunan ekonomi dan administrasi pemerintahan di wilayah Papua, serta kesadaran akan perbedaan antara Papua dan bagian-bagian Indonesia lainnya sehingga muncul perasaan PanPapuans. Keempat, transisi demografi di Papua dengan masuknya warga “pendatang” dalam jumlah besar menimbulkan perasaan termarjinalisasi dan tersingkirkan di tanah mereka sendiri. Bagaimana Otonomi Khusus Papua? Otonomi Khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era reformasi melalui Perubahan Kedua UUD 1945 khususnya Pasal 18B ayat (1) yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Keberadaan otonomi khusus merupakan salah satu bagian dari pembalikan politik yang bersifat sentralistik menuju desentralisasi dan penghargaan kepada keberagaman.2 Otonomi khusus berarti hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki suatu daerah ditentukan berbeda dari dengan daerah pada umumnya.3 Pemahaman terhadap aspek atau faktor yang mendasari lahirnya kebijakan otonomi khusus merupakan sesuatu yang penting bukan hanya dari sisi historis atau sejarah, tetapi juga karena aspek atau faktor yang lain, seperti aspek sosial politik, ekonomi dan hukum, bahkan kondisi lingkungan alam dan demografis.4 Terdapat beberapa daerah yang memiliki kekhususan dan keistimewaan, diantaranya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)5, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta6, Papua dan Papua Barat7, dan Aceh8. Sejarah mencatat bahwa secara sosial politik, lahirnya UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua disebabkan oleh desakan rakyat Papua dengan tuntutan Papua Merdeka mulai 1998 – 2000. Aspirasi ini muncul dikarenakan 3 penyebab utama yakni 1). Persolan sejarah integrasi politik Papua, 2). Telah terjadinya berbagai kekerasan Negara dan pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua dan 3). Kegagalan pembangunan dalam bidang Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Infrastruktur. Masyarakat Papua menyampaikan tuntutan Merdeka tersebut melalui aksi damai kemudian memuncak pada tahun 1999 dengan tatap muka 100 orang wakil Papua dengan Presiden B.J. Habibie di Istana Negara untuk memyampaikan Papua ingin keluar dari Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya masyarakat Papua mengungkapkannya melalui Kongres Papua II pada tahun 2000.9 Otonomi khusus Papua dilatarbelakangi oleh pengakuan negara terhadap dua hal penting, pertama, pemerintah mengakui bahwa terdapat permasalahan di Papua yang belum terselesaikan di berbagai bidang, meliputi bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Kedua, pemerintah mengakui bahwa Azmi Muttaqin, “Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Merespon Konflik dan Aspirasi Kemerdekaan Papua” hlm 9-10. Muchamad Ali Safa’at, “Problem Otonomi Khusus Papua” hlm. 1. 3 Ibid hlm. 2. 4 Stepanus Malak, Buku Otonomi Khusus Papua (Ar-Raafi, 2012) at 53. 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta]. 6 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta [Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta]. 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua [Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua]. 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh]. 9 Malak, supra note 4 at 53–54. 1 2 apa yang dijalankan di Papua belum memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM khususnya bagi masyarakat Papua.10 Kekhususan otonomi khusus Papua, di sektor pembagian kekuasaan, kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), kepala eksekutif dipegang oleh Gubernur dibantu Wakil Gubernur yang memerlukan syarat khusus yakni orang asli Papua, dan kekuasaan yudikatif mengakui adanya peradilan adat khusus masyarakat hukum adat Papua. Selain itu juga mengatur keberadaan MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Di sektor perekonomian,11 terdapat dana perimbangan bagian Provinsi Papua dan Kabupaten/Kota dengan rincian: bagi hasil pajak: Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90%, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80%, Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20%; bagi basil sumber daya alam: Kehutanan sebesar 80%, Perikanan sebesar 80%, Pertambangan umum sebesar 80%, Pertambangan minyak bumi sebesar 70% , dan Pertambangan gas alam sebesar 70%. Bagaimana Implementasinya? Pembangunan Manusia, Status Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua 2018 meningkat dari rendah menjadi sedang setelah nilainya menyentuh level 60,06. IPM mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga dimensi: kesehatan, pendidikan, dan penghasilan individu untuk mendukung kehidupan yang layak. Ada empat kategori pembangunan manusia: sangat tinggi (IPM lebih dari 80), tinggi (antara 70 dan 80), sedang (antara 60 dan 70) dan rendah (di bawah 60).12 Hal ini membuat tak ada lagi provinsi di Indonesia yang status IPM nya rendah. Meski demikian, ketimpangan IPM antar daerah masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari IPM berdasarkan kabupaten/kota yang menunjukkan interval yang cukup dalam dari yang tertinggi menuju terendah, yang dipegang oleh Yogyakarta (tertinggi) sebesar 86,11 dan Nduga sebesar 29,42. Papua sendiri menjadi provinsi dengan disparitas yang paling tinggi antar kabupaten/kotanya dibanding provinsi lainnya. Disparitas IPM antar kabupaten/kota di Provinsi Papua mencapai 50, yang ditunjukkan oleh perbedaan IPM di kota Jayapura sebesar 79,58 (tertinggi) dan kabupaten Nduga sebesar 29,42 (terendah). Di samping masih tingginya gap antara orang Papua Asli dan “pendatang”.13 Persoalan Ekonomi, data BPS 2019 menunjukkan dua provinsi Papua memiliki kemiskinan tertinggi di Indonesia. Papua hampir 28 persen dan Papua Barat 23 persen.14 Selama satu tahun terakhir, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Papua mengalami peningkatan dari 2,91 persen pada Februari 2018 menjadi 3,42 persen pada Februari 2019. Angka ini naik 0,51 persen dibanding TPT Februari 2018. Menurut Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Bagas Susilo, jumlah pengangguran pada Februari 2019 sebesar 61.885 orang, meningkat sekitar 3.129 orang dibanding Agustus 2018 dan bila dibanding keadaan Februari 2018 meningkat sebanyak 8.607 orang.15 Perlindungan HAM, Amnesty International mencatat ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan, sebanyak 34 kasus pelakunya berasal dari kepolisian, 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan 11 kasus gabungan TNI-Polri, dan satu kasus tambahan juga melibatkan Satpol PP. Akuntabilitas penyelesaiannya pun amat miris, dari 69 kasus, 26 kasus diselidiki namun tidak diumumkan ke publik dan 25 kasus tidak diselidiki.16 Isu Lingkungan Hidup, dalam temuan BPK terhadap Freeport Indonesia adalah kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah pertambangan (tailing) langsung ke sungai, atas pencemaran lingkungan tersebut negara dirugikan Rp 185 triliun. Pada temuan BPK lain Freeport menggunakan lahan kawasan hutan lindung seluas 4.500 hektar selama 8 tahun. Terkait penggunaan aset negara tersebut seharusnya Freeport membaya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 270 triliun. Pembayaran kewajiban tersebut tidak sebanding dengan harga 41,64 persen saham PT Freeport Indonesia sebesar USD 3,85 miliar atau setara dengan Rp 56 triliun, sebab itu pembayaran saham seharusnya dilakukan sesudah permasalahan lingkungan tersebut diselesaikan.17 Penghormatan terhadap Hak Ulayat Papua, pemerintah daerah sering menjadi bagian dari masalah karena memberikan izin tanpa persetujuan warga. Perusahaan melakukan aktivitas tanpa dilengkapi dokumen legal, seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan hak guna usaha (HGU). Yayasan Pusaka mencatat terdapat sekitar 14 perusahaan yang hampir semua bergerak di sektor kelapa sawit berkonflik dengan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, supra note 7. Lihat Pasal 34 ayat (3), Ibid. 12 Yenny Tjoe, “Pertumbuhan ekonomi selama 20 tahun hanya dinikmati orang kaya. Seberapa parah ketimpangan di Indonesia?”, online: The Conversation <http://theconversation.com/pertumbuhan-ekonomi-selama-20-tahun-hanya-dinikmati-orang-kaya-seberapa-parahketimpangan-di-indonesia-102107>. 13 Eduardo Simorangkir, “Kualitas Hidup Makin Baik, Tapi Kesenjangan di Papua Masih Tinggi”, online: detikfinance <https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4512501/kualitas-hidup-makin-baik-tapi-kesenjangan-di-papua-masih-tinggi>. 14 Ahda Bayhaqi, “Sandiaga Nilai Permasalahan di Papua adalah Kesenjangan Ekonomi”, online: merdeka.com <https://m.merdeka.com/peristiwa/sandiaga-nilai-permasalahan-di-papua-adalah-kesenjangan-ekonomi.html>. 15 “Setahun Terakhir, Pengangguran Terbuka di Papua Naik 3,42 Persen”, online: kumparan <https://kumparan.com/bumi-papua/setahunterakhir-pengangguran-terbuka-di-papua-naik-3-42-persen-1r1hPnR29Nd>. 16 I D N Times & Helmi Shemi, “Kilas Balik Jalan Terjal Kasus HAM di Papua”, online: IDN Times <https://bali.idntimes.com/news/indonesia/helmi/sudah-kasi-tinggal-dia-mati-jalan-terjal-kasus-ham-di-papua-regional-bali>. 17 Liputan6com, “Freeport Diminta Tuntaskan Masalah Lingkungan di Papua”, (10 October 2018), online: liputan6.com <https://m.liputan6.com/bisnis/read/3664415/freeport-diminta-tuntaskan-masalah-lingkungan-di-papua>. 10 11 masyarakat adat Papua di Papua dan Papua Barat. Total luas lahan yang dikuasai 14 perusahaan tersebut mencapai 343.000 hektar,18 Bagaimana Pandangan Islam? 1. Dari segi Kesetaraan, Islam memperlakukan setiap warganya dengan perlakuan yang adil tanpa memandang kepercayaan, warna kulit, strata sosial maupun kondisi ekonomi; 2. Dari segi Pengelolaan Kekayaan, Islam melarang pengelolaan sumber daya alam yang merupakan harta umum diserahkan kepada swasta maupun asing. Negara wajib mengelolanya dan diserahkan untuk sebesar-besarnya kepada umat; 3. Dari aspek penegakan hukum, Hukum akan diberlakukan tegas dan pandang bulu bagi siapa yang melakukan kejahatan. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta]. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta [Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta]. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua [Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua]. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh]. Malak, Stepanus. Buku Otonomi Khusus Papua (Ar-Raafi, 2012). Muttaqin, Azmi. “Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Merespon Konflik dan Aspirasi Kemerdekaan Papua”. Safa’at, Muchamad Ali. “Problem Otonomi Khusus Papua”. Bayhaqi, Ahda. “Sandiaga Nilai Permasalahan di Papua adalah Kesenjangan Ekonomi”, online: merdeka.com <https://m.merdeka.com/peristiwa/sandiaga-nilai-permasalahan-di-papua-adalah-kesenjangan-ekonomi.html>. Liputan6com. “Freeport Diminta Tuntaskan Masalah Lingkungan di Papua”, (10 October 2018), online: liputan6.com <https://m.liputan6.com/bisnis/read/3664415/freeport-diminta-tuntaskan-masalah-lingkungan-dipapua>. Simorangkir, Eduardo. “Kualitas Hidup Makin Baik, Tapi Kesenjangan di Papua Masih Tinggi”, online: detikfinance <https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4512501/kualitas-hidup-makin-baik-tapikesenjangan-di-papua-masih-tinggi>. Times, I D N & Helmi Shemi. “Kilas Balik Jalan Terjal Kasus HAM di Papua”, online: IDN Times <https://bali.idntimes.com/news/indonesia/helmi/sudah-kasi-tinggal-dia-mati-jalan-terjal-kasus-ham-di-papuaregional-bali>. Tjoe, Yenny. “Pertumbuhan ekonomi selama 20 tahun hanya dinikmati orang kaya. Seberapa parah ketimpangan di Indonesia?”, online: The Conversation <http://theconversation.com/pertumbuhan-ekonomi-selama20-tahun-hanya-dinikmati-orang-kaya-seberapa-parah-ketimpangan-di-indonesia-102107>. “Setahun Terakhir, Pengangguran Terbuka di Papua Naik 3,42 Persen”, online: kumparan <https://kumparan.com/bumi-papua/setahun-terakhir-pengangguran-terbuka-di-papua-naik-3-42-persen1r1hPnR29Nd>. “Perjuangan Rakyat Papua Pertahankan Tanah Ulayat”, online: BenarNews <https://www.benarnews.org/indonesian/berita/tanah-ulayat-papua-11162018123249.html>. “Perjuangan Rakyat Papua Pertahankan Tanah Ulayat”, online: BenarNews <https://www.benarnews.org/indonesian/berita/tanah-ulayatpapua-11162018123249.html>. 18