See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/285895235 Sistem Skor Acute Physiology And Chronic Health Evaluation (Apache) II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif Article · January 2014 CITATION READS 1 3,822 5 authors, including: Diah Handayani Sopiyudin Dahlan University of Indonesia Epidemiologi Indonesia (Research Organization) 2 PUBLICATIONS 2 CITATIONS 35 PUBLICATIONS 77 CITATIONS SEE PROFILE All content following this page was uploaded by Sopiyudin Dahlan on 06 December 2015. The user has requested enhancement of the downloaded file. SEE PROFILE Diah Handayani: Sistem Skor APACHE II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif Sistem Skor Acute Physiology And Chronic Health Evaluation (Apache) II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif Diah Handayani,1 Nirwan Arief,1 Boedi Swidarmoko,1 Pudjo Astowo,1 Muhammad Sopiyudin Dahlan 2 1 Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan Jakarta. 2 PT. Epidemiologi Indonesia, Jakarta. Abstrak Latar belakang: Penggunaan sistem skor untuk prediksi kematian pasien di Intensive Care Unit (ICU) diperlukan dalam menentukan kebutuhan ICU dan prognosis. Berbagai studi di dunia menunjukkan penggunaan skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II membutuhkan evaluasi validitas sistem skor ini di tiap tiap rumah sakit. Penelitian ini dilakukan untuk evaluasi sistem skor APACHE II dalam memprediksi kematian pasien dengan penyakit paru dan pernapasan yang dirawat di ICU dan menentukan tingkat diskriminasi skor APACHE II terhadap hasil akhir pasien. Metode: Desain penelitian ini adalah cohort, dengan populasi adalah pasien dengan penyakit paru dan pernapasan yang dirawat di ICU RS Persahabatan pada Juli 2003 – Juni 2006. Dilakukan penilaian skor APACHE II dan luaran pasien. Hasil: Rerata skor APACHE II adalah 13,4±9,9 (0 to 49) dengan luaran pasien hidup 171 (72,8%) dan 64 (27,2%) meninggal, dengan rerata skor APACHE II antar dua kelompok berdasarkan luaran tersebut adalah 9±0,4 and 25±1,3 yang berbeda bermakna secara statistik (p=0,000). Nilai cut off point skor APACHE II adalah 16 dengan sensitivitas 79,9% dan spesifisitas 88%. Skor ini juga menunjukkan diskriminasi yang baik (AUC 0,906) tetapi tidak menunjukkan kalibrasi yang baik (p<0,5). Kesimpulan: Skor APACHE II menunjukkan diskriminasi yang baik terhadap luarab dan prediksi kematian. (J Respir Indo. 2014; 34: 36-45) Kata kunci: APACHE II, cut off point, prediksi mortalitas, ICU. Acute Physiology And Chronic Health Evaluation (Apache) II Scoring system as mortality prediction for Intensive Care Unit patients Abstract Background: Realizing the utility of scoring systems in mortality prediction of critically ill patients admitted to intensive care unit (ICU), studies worldwide have expressed a need to validate the Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II score for database of respective centers. The present study was undertaken to evaluate the performance of APACHE II score in prediction of mortality risk, as well as in determination of model validity in critically ill patients with respiratory problems and post thoracic surgery that were hospitalized in ICU of Persahabatan Hospital. Methods: A cohort study of the patients were hospitalized in ICU Persahabatan hospital with respiratory diseases were evaluated and scored of APACHE II and the outcome on July 2003 – June 2006. Results: Mean APACHE II score was 13.4±9.9 (0 to 49) there were 171 (72.8%) survivors and 64 (27.2%) non-survivors, whose mean APACHE II score being respectively 9±0,4 and 25±1.3 were significantly different (p=0.000). The cut off point of APACHE II score was 16 with sensitivity 79.9% and specificity 88%. This score also showed a good discrimination (AUC 0.906) but poor calibration (p<0.5). Conclusion: The APACHE II scoring system showed a good discrimination and the predicted mortality correlated with observed mortality. (J Respir Indo. 2014; 34: 36-45) Key words: The APACHE II, cut off point, mortality prediction, ICU. Korespondensi: dr. RR. Diah Handayani, Sp.P Email: [email protected]; Hp: 081315431753 36 J Respir Indo Vol. 34 No. 1 Januari 2014 Diah Handayani: Sistem Skor Acute Physiology And Chronic Health Evaluation (Apache) II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif PENDAHULUAN Kemajuan di bidang diagnosis, perawatan dan pengobatan penyakit-penyakit berat atau kondisi Penggunaan sistem skor di IPI membutuhkan analisis akurasi dan disesuaikan dengan kondisi IPI tersebut. Sistem skor APACHE II merupakan salah kritis meningkatkan kebutuhan perawatan intensif. satu sistem skor paling banyak digunakan untuk Pada negara maju sejak tahun 1970 hingga awal analisis kualitas IPI, penelitian berbagai penyakit dan 1980 laju peningkatan kebutuhan perawatan in- terapi terbaru suatu penyakit pada pasien rawat IPI. tensif pertahun sangat tinggi (Amerika Serikat Sistem skor APACHE II lebih diterima karena data yang mencapai 8% pertahun dan Kanada 4,8% pertahun). dibutuhkan untuk menentukan skor lebih sederhana, Peningkatan kebutuhan ini umumnya tidak sejalan definisi tiap variabel jelas dan reproduksibel serta dengan perkembangan instalasi perawatan intensif dikumpulkan dari pemeriksaan rutin pasien di IPI.11,12 (IPI). Hampir semua rumah sakit di berbagai negara Berbagai penelitian juga menunjukkan sistem skor selalu menunjukkan kebutuhan rawat intensif melebihi APACHE II memiliki sensitivitas yang baik dibandingkan kemampuan. Perawatan pasien di IPI membutuhkan sistem skor APACHE III. Penelitian Markgraf dkk.13 biaya yang sangat tinggi. Peningkatan kebutuhan di ruang perawatan intensif yang merawat ber- ini juga tidak sejalan dengan kemampuan finansial bagai kasus, menunjukkan angka kematian lebih rumah sakit maupun pasien. Untuk menjawab tan- sesuai dengan nilai prediksi APACHE II sedangkan tangan ini, dibutuhkan panduan atau standar untuk dibandingkan dengan APACHE III dan SAPS II lebih seleksi pasien yang mendapat perawatan intensif tinggi. Penelitian di sebuah IPI di Brazil menunjukkan dan ventilasi mekanis. Protokol seleksi pasien harus APACHE II berguna untuk menentukan derajat berat tetap memperhatikan faktor hukum dan etika medis penyakit pasien dan untuk menentukan laju mortalitas sehingga diperlukan suatu proses seleksi pasien pasien, yaitu mencapai 72,2%.11 yang rasional dan standar di setiap rumah sakit.1-5 Lebih dari 20 tahun telah dikembangkan METODE berbagai model penilaian (system score), seperti Acute Desain studi cohort dengan populasi pasien Physiology Chronic Health Evaluation (APACHE) rawat IPI RS Persahabatan dengan diagnosis penyakit I-IV, The Simplified Acute Physiology Score (SAPS), paru, gangguan respirasi, dan penyakit rongga toraks Mortality Probability Model (MPM) dan Trauma Injury lainnya serta pascabedah toraks. Pengambilan data Severity Scores (TRISS).6-9 Sistem skor APACHE retrospektif dilakukan melihat catatan rekam medik dikembangkan oleh Knauss dkk. sejak tahun 1971 di pasien yang dirawat IPI RS Persahabatan sejak Juli Amerika Serikat, sedangkan SAPS dikembangkan di 2003 sampai Juni 2006 sedangkan data prospektif Eropa.7 Sejak publikasi pertama tahun 1981 sistem skor APACHE terus dikembangkan melalui revisi yang sistematik multisenter dengan jumlah subjek yang sangat banyak. Tahun 1985 sistem skor APACHE orisinil mengalami reduksi dari 34 variabel menjadi 12 varibel sehingga APACHE II ini dikenal sebagai simplified APACHE. Beberapa tahun kemudian Knaus dkk. melakukan revisi APACHE II menjadi APACHE III yang dipublikasi pada tahun 1991. Pada tahun 2005, Knaus dkk. mempublikasi APACHE IV yang merupakan revisi APACHE III. Sistem skor APACHE IV menggunakan variabel yang sama dengan APACHE III dengan penambahan beberapa variabel.10 J Respir Indo Vol. 34 No. 1 Januari 2014 dilakukan secara consecutive sampling sejak Agustus – November 2006. Kriteria inklusi adalah umur > 16 tahun, penyakit dasar paru, dan gangguan respirasi, serta penyakit rongga toraks lainnya, pasien pascabedah toraks, dan bersedia mengikuti penelitian ini untuk data prospektif. Kriteria eksklusi meliputi pascabedah jantung dan pembuluh darah, luka bakar, infark miokard akut, dan data rekam medik tidak lengkap atau hilang untuk data retrospektif. Semua data dicatat dalam buku induk penentuan skor berdasarkan variabel APACHE II dengan nilai terburuk pada 24 jam pertama. Mencatat keadaan pasien saat keluar dari IPI (mati/ 37 Diah Handayani: Sistem Skor APACHE II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif hidup) semua intervensi tidak dianalisis karena tujuan penelitian ini hanya menghitung skor APACHE II dan menentukan faktor prognosis pasien saat masuk IPI. Semua pasien yang dirawat di IPI dicatat variabel dan data untuk APACHE II, pasien diikuti sampai keluar dari IPI untuk dilihat outcomenya (hidup atau mati). Semua data yang terkumpul dari rekam medis pasien dan catatan perjalanan pasien ditabulasi dalam tabel induk menggunakan Microsoft excel, analisis dilakukan menggunakan program SPSS for Windows 13.0. Analisis dilakukan secara bertahap, meliputi Analisis deskriptif, analisis bivariat, penentuan tingkat diskriminasi sistem skor APACHE II, menentukan cut off point, sensitivitas dan spesifisitas, dan menentukan tingkat kalibrasi skor APACHE II. HASIL Tabel 1. Karakteristik pasien. Karakteristik Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan Umur (tahun) APS Skor APACHE II Asal ruangan - Ruang bedah pusat - IGD (Instalasi Gawat Darurat) - Ruang rawat - IPI lain Sebaran kasus - Pascabedah toraks - Nonbedah Outcome - Hidup - Meninggal Lama rawat (hari) N (%) 159(67,7) 76 (32,3) 44,54±17,4 11,3±8,5 13,4±9,9 125 (53) 37 (15,7) 59 (25,1) 14 (5,9) 125 (53,1) 110 (46,9) 171 (72,8) 64 (27,2) 6,3±6,8 Tabel 2. Skor APACHE II. Data dari buku registrasi pasien IPI tercatat N (%) Skor APACHE II Torakotomi 22 (9,4) 8.00 jumlah rekam medis pasien yang dapat dipakai Lobektomi 18 (7,7) 6.83 sebanyak 200 pasien ditambah sejumlah pasien Segmentektomi 2 (0.9) 9.50 31 (13,2) 7.61 sebanyak 304 orang. Hasil penelusuran menunjukkan yang dirawat di IPI September-November 2006 Jenis tindakan bedah toraks Dekortikasi Open window 5 (2,1) 6.40 sampai memenuhi besar sampel sebanyak 235 Sternotomi 12 (5,1) 9.17 pasien. Berdasarkan diagnosis masuk IPI data kese- Bulektomi 3 (1,3) 6.00 luruhan menunjukkan rerata skor APACHE II pada Debulking 17 (7,2) 9.18 Bronkoplasti 1 (0,4) 7.60 Timotimektomi 5 (2,1) 7.29 7 (3) 8.00 kasus pascabedah toraks lebih rendah daripada kasus nonbedah, seperti terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Rerata skor APACHE II tertinggi pada pasien pneumonia dengan skor 26,05 diikuti suspek flu burung Pemasangan stent Perikardiotomi Total 2 (0,9) 0 125 7,8 dan asma akut dengan rerata skor APACHE II 24 sedangkan pasien dengan diagnosis tuberkulosis (TB) dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) Berdasarkan diagnosis outcome pasien sangat eksaserbasi memiliki rerata skor APACHE II 21. bervariasi, diagnosis nonbedah cenderung menun- Rerata skor APACHE II pada kelompok kasus jukkan outcome lebih buruk dibandingkan diagnosis pascabedah tertinggi adalah 9,5 pada jenis tindakan segmentektomi selanjutnya debulking dan sternotomi. Berdasarkan outcome atau hasil akhir pasien pascabedah toraks. Jenis tindakan bedah toraks keluar rumah sakit menunjukkan jumlah pasien yang laju mortalitas paling tinggi 11,5% terhadap keseluruhan meninggal sebanyak 64 (27,2%) dan yang bertahan penderita atau 73% dibandingkan seluruh penderita hidup sebanyak 171 (72,8%). Sebaran outcome pneumonia. Pasien dengan diagnosis TB, PPOK eksa- berbeda bermakna antar kelompok kasus dan antar serbasi, asma akut, bronkiektasis menunjukkan lebih kelompok data, seperti terlihat pada tabel 4. Rerata banyak pasien meninggal dibandingkan yang hidup skor APACHE II juga berbeda bermakna antara (> 50%). Pasien suspek flu burung yang meninggal pasien mati dan hidup. sebanyak 2 orang (50%). 38 dengan jumlah kematian paling tinggi yaitu debulking sebanyak 3 orang. Diagnosis pneumonia menunjukkan J Respir Indo Vol. 34 No. 1 Januari 2014 Diah Handayani: Sistem Skor Acute Physiology And Chronic Health Evaluation (Apache) II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif Tabel 3. Skor APACHE II pada kasus non bedah. Jenis penyakit Pneumonia Tuberkulosis (TB) ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) Suspek flu burung Gagal napas karena miastenia gravis Tumor paru Tumor mediastinum Hemoptisis masif PPOK eksaserbasi Asma akut berat Bronkiektasis Pneumotoraks Hematotoraks Trakeomalasi Pneumonia aspirasi Absesparu Efusi pleura keganasan Tumor intrapleura Total hidup. Tingkat kalibrasi sistem skor APACHE II meng- N (%) 37 (15,7) 5 (2,1) 3 (1,3) Skor APACHE II 26.05 21.40 22 4 (1,7) 4 (1,7) 24.5 15.25 4 (1,7) 4 (1,7) 5 (2,1) 1 (0,4) 1 (0,4) 1 (0,4) 1 (0,4) 4 (1,7) 5 (2,1) 1 (0,4) 1 (0,4) 1 (0,4) 1 (0,4) 110 15.25 11.33 3.75 21.79 24.14 19.29 7.6 9.25 8 1 14 16 6 19,7 gunakan uji Hosmer dan Lemeshow menunjukkan nilai chi-square 0,000, yang berarti terdapat perbedaan bermakna prediksi mortalitas sistem skor APACHE II dengan kejadian mortalitas seperti Tabel 2-4, sehingga tingkat kalibrasi skor APACHE II buruk tetapi tampak perbedan prediksi dan kejadian hanya beberapa seperti terlihat pada Gambar 2. PEMBAHASAN Sebagian besar pasien adalah jenis laki-laki (67,7%) sama dengan penelitian skor APACHE III terhadap pasien IPI RS Persahabatan oleh Wiweka dkk.12, yaitu pasien laki-laki (71,2%) dan penelitian Gupta dkk.13 karena sebagian kasus merupakan pascabedah toraks dan kasus nonbedah terbanyak adalah pneumonia dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Berbagai penelitian menunjukkan pasien IPI dengan diagnosis Tabel 4. Outcome pasien dan skor APACHE II. Karakteristik Outcome total Kelompok kasus - Pascabedah toraks - Nonbedah Skor APACHE II Hidup Mati 171 64 Nilai p 116 55 9 55 p = 0,000 Chi-square 9±0,4 25±1,3 p = 0,000 Mann Whitney tersebut lebih banyak laki-laki dari pada perempuan. Penelitian Afessa dkk.14 pada pasien dengan status asmatikus dan Dupont dkk.15 terhadap pasien bronkiektasis yang dirawat di IPI sesuai dengan populasi Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan 124 47 35 29 Lama Rawat (hari) 5,6 8,8 p 0,008 Chi-square pasien penyakit tersebut lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Pada penelitian ini pasien asma dan bronkiektasis tidak banyak. Karakteristik pasien berdasarkan umur menunjukkan rerata umur 44,5 tahun lebih muda dibandingkan hasil penelitian Wiweka dkk.12 pada populasi dan tempat yang sama, yaitu 48,62. Penelitian Gupta dkk.13 terhadap populasi pasien yang sama di India menunjukkan rerata Cut off point skor APACHE II Analisis ROC skor APACHE II umur yang sama yaitu 43,32 tahun dan penelitian terhadap Erbes dkk.16 pada populasi pasien TB (47 tahun), serta prediksi mortalitas, seperti terlihat pada Gambar Sudarsanam dkk.17 pada kasus campuran (16 tahun). 1 dengan besar AUC 0,906 (>0,8) menunjukkan Semua penelitian tersebut dilakukan di Asia di negara kemampuan diskriminasi untuk prediksi mortalitas berkembang berbeda dengan penelitian di negara maju yang baik. Penentuan cut off point skor APACHE dengan rerata umur lebih tua karena umur harapan II berdasarkan nilai sensitivitas dan spesifisitas hidup negara maju lebih tua sehingga jumlah pasien maksimal didapatkan cut off point skor APACHE dengan usia lanjut yang menjalani perawatan IPI II untuk menentukan prediksi mortalitas adalah 16 lebih banyak. Pada penelitian ini jumlah kasus dengan sensitivitas 79,7% dan spesifisitas 88,3%, pascabedah yang memiliki umur lebih rendah cukup seperti terlihat pada Gambar 1. Jika skor APACHE banyak sehingga rerata umur lebih rendah dari data II hari pertama pasien rawat IPI diatas 16 berarti penelitian lain yang memisahkan ruang IPI nonbedah dapat diprediksi mati sebaliknya jika skor APACHE dan bedah. Faktor umur dengan outcome menunjukan II hari pertama di bawah 16 maka pasien diprediksi rerata umur yang berbeda bermakna secara statistik J Respir Indo Vol. 34 No. 1 Januari 2014 39 Diah Handayani: Sistem Skor APACHE II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif dkk.13 dan Chiavone dkk.11 menunjukkan hal yang sebaliknya sebagian besar kasus merupakan kasus nonbedah yaitu masing-masing 64,8% dan 53,6%. Penelitian ini menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,000) antara mortalitas pada kasus pascabedah toraks (7,2%) dan nonbedah, (50%) hasil yang sama didapatkan pada penelitian Wiweka dkk.12 (mortalitas kasus pascabedah toraks 8,3% dan nonbedah 33,3%) yang menunjukan risiko pasien nonbedah mati empat kali dibandingkan kasus pascabedah toraks. Penelitian Gambar 1. Kurva AUC skor APACHE II. Gupta dkk.13 juga menunjukkan terdapat perbedaan bermakna mortalitas pada kasus pascabedah toraks hanya 2,6% sedangkan kasus nonbedah mencapai 18,7%. Jenis tindakan bedah dengan mortalitas tertinggi adalah debulking, sedangkan penelitian Gupta dkk.13 menunjukkan mortalitas tertinggi pada tindakan torakoplasti dan bulektomi. Perbedaan outcome antar kedua jenis kasus mungkin karena tindakan bedah toraks merupakan bedah elektif dengan persiapan maksimal sehingga kondisi pasien jauh lebih baik, kematian pada kasus pascabedah toraks lebih disebabkan oleh komplikasi pascabedah toraks bukan karena kondisi penyakit pasien berbeda dengan kasus nonbedah. Skor APACHE II dan rerata umur antara kedua kelompok kasus juga menunjukkan perbedaan bermakna sehingga menunjukkan derajat penyakit Gambar 2. Kalibrasi skor APACHE II. (p=0,001), pasien yang mati menunjukkan rerata umur yang lebih tua daripada pasien hidup hal yang sama pada penelitian lain hubungan peningkatan umur dengan risiko kematian.17-22 saat masuk pasien nonbedah lebih berat dengan rerata umur yang lebih tua. Diagnosis nonbedah yang terbanyak adalah pneumonia (15,7%) hal yang sama didapatkan pada penelitian Wiweka dkk.12 yang mencapai 70% dari keseluruhan kasus nonbedah diikuti asma akut berat Sebaran jenis tindakan bedah toraks, diagnosis, (10%). Penelitian Gupta dkk.13 menunjukkan diagnosis dan outcome nonbedah terbanyak adalah PPOK (75,2%) sedang- Sebaran kasus menunjukkan kasus pascabedah kan pneumonia dikelompokkan dalam penyakit infeksi toraks lebih banyak dibandingkan kasus nonbedah sebanyak (8,9%), pada penelitian ini PPOK menempati (50,5%:49,5%). Sejalan dengan penelitian Wiweka dkk.12 urutan kedua (6%). Perbedaan sebaran kasus antara pada populasi yang sama tahun 2003 mendapatkan kasus pascabedah toraks 54,5% karena semua tindakan penelitian di RS Persahabatan dan penelitian Gupta bedah merupakan tindakan bedah elektif dan perawatan terhadap pasien PPOK yang seringkali membutuhkan IPI pascabedah toraks merupakan prosedur baku rumah penggunaan ventilasi mekanis yang lama dan pada sakit serta RS Persahabatan merupakan rumah sakit kondisi PPOK eksaserbasi berat dengan riwayat gagal rujukan respirasi dan bedah toraks. Penelitian Gupta napas kronik sebaiknya dihindari penggunaan ventilasi 40 dkk.13 mungkin karena IPI RS Persahabatan lebih selektif J Respir Indo Vol. 34 No. 1 Januari 2014 Diah Handayani: Sistem Skor Acute Physiology And Chronic Health Evaluation (Apache) II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif mekanis invasif sehingga dengan keterbatasan nonbedah dengan laju mortalitas 42,8%. Mortalitas kapasiti IPI RS Persahabatan pasien PPOK dengan pasien PPOK yang dirawat di IPI menunjukkan hasil riwayat gagal napas, kor pulmonal atau hipertensi yang berbeda-beda antara berbagai penelitian, Nevin pulmonal seringkali ditolak untuk dirawat di IPI. dkk.23 mendapatkan mortalitas sebanyak 38,35%, Diagnosis nonbedah dengan mortalitas ter- Breen dkk.24 dan Ai-Ping dkk.20 menunjukkan mor- banyak adalah pneumonia (27 orang, 73%), sedangkan talitas pasien PPOK di IPI yang hampir sama hanya persentase terbesar adalah ARDS diikuti oleh asma 12% dan 11,5% sedangkan Groenewegen dkk.25 hanya akut berat, PPOK eksaserbasi, bronkiektasis, suspek 8%. Perbedaan ini karena mortalitas pada PPOK di- flu burung, dan TB serta tumor paru. Penelitian pengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pemakaian kor- Wiweka dkk. juga menunjukkan mortalitas tertinggi tikosteroid, riwayat perawatan IPI, kebutuhan ventilasi pada pasien pneumonia (33%) dan terdapat mekanis, PaCO2, dan skor APACHE II. Pada penelitian perbedaan antara mortalitas pada pasien pneumonia ini tingginya angka mortalitas mungkin dipengaruhi dan bukan pneumonia tetapi tidak bermakna secara modalitas terapi yang tersedia. Penelitian menunjukkan statistik. Tingkat mortalitas pasien pneumonia di IPI penggunaan ventilasi mekanis noninvasif memberikan memang tinggi tetapi penelitian ini mortalitasnya jauh hasil lebih baik dibandingkan ventilasi mekanis invasif lebih tinggi, mungkin disebabkan pasien pneumonia pada pasien PPOK sehingga seringkali pasien PPOK yang menjalani perawatan di IPI RS Persahabatan tidak mendapatkan bantuan ventilasi mekanis invasif sedangkan fasilitas ventilasi mekanis noninvasif di IPI RS Persahabatan terbatas. Diagnosis ARDS pada penelitian ini hanya meliputi 2,7% dari seluruh kasus nonbedah, tetapi mortalitasnya 100%. Berbagai penelitian tentang outcome ARDS menunjukkan mortalitas yang tinggi 12 datang dalam keadaan cenderung sepsis dan rerata skor APACHE II pasien pneumonia pada penelitian ini 26,05 yang menunjukkan derajat penyakit berat dengan gagal multiorgan (multiple organ failure). Pada penelitian Wiweka dkk.12 diagnosis pneumonia dan sepsis disebabkan oleh pneumonia dipisahkan sehingga pneumonia adalah pneumonia berat yang belum cenderung sepsis sedangkan pada penelitian ini sepsis disebabkan oleh pneumonia dikelompokkkan dalam diagnosis pneumonia. Berbagai faktor berhubungan dengan mortalitas di antaranya umur, jenis kuman, komorbid, gagal multiorgan yang cenderung terjadinya sepsis, pemakaian ventilasi mekanis, derajat penyakit (APS, SAPS II, APACHE II), dan terapi yang tidak adekuat. Tingkat mortalitas pasien pneumonia yang tinggi pada penelitian ini dapat juga dipengaruhi oleh kegagalan terapi yang diberikan selama perawatan di IPI maupun perawatan di ruang perawatan mencapai 30-70%.22,26,27 Penelitian ini juga menunjukkan mortalitas pasien suspek flu burung mencapai 50%, sebagian pasien ini disertai dengan pneumonia berat atau ARDS. Tingginya mortalitas ARDS dan suspek flu burung dengan pneumonia berat ataupun ARDS pada penelitian ini disebabkan derajat penyakit yang berat dengan rerata skor APACHE II mencapai 22 dan 24. Mortalitas yang tinggi mungkin juga dipengaruhi modalitas terapi terbaru untuk ARDS belum banyak digunakan di IPI RS Persahabatan, seperti penggunaan Nitrogen Monoksida (NO), surfaktan, prone position dan lain-lain. Keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas menyebabkan penelitian ini tidak melakukan sebelumnya, tetapi pada penelitian ini tidak dilakukan evaluasi terapi, sehingga belum dapat menentukan analisis terhadap perawatan di IPI maupun terapi yang penyebab pasti mortalitas pasien ARDS dan suspek flu diberikan. Hal ini perlu diperhatikan untuk meningkatkan burung. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi pasien kualitas terapi dan perawatan pasien pneumonia di IPI suspek flu burung secara terpisah dari pneumonia dan perawatan pasien dengan diagnosis lainnya. berat maupun ARDS untuk melihat karakteristik pasien Penelitian Gupta dkk.13 menunjukkan jumlah yang diduga flu burung saat masuk meskipun keempat kasus PPOK mencapai 50% dari seluruh kasus non- pasien tersebut ternyata bukan menderita flu burung bedah dengan angka mortalitas terbesar. Pada pene- berdasarkan pemeriksaan polymerase chain reaction litian ini pasien PPOK hanya 12,7% dari seluruh kasus (PCR) virus H5N1. J Respir Indo Vol. 34 No. 1 Januari 2014 41 Diah Handayani: Sistem Skor APACHE II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif Diagnosis asma hanya 7 pasien (6,3%) tetapi Skor APACHE mortalitasnya mencapai 71,4% sangat tinggi diban- Rerata skor APACHE II pada penelitian ini adalah dingkan penelitian Afessa dkk.14 menunjukkan mor- 13,4 hampir sama dengan penelitian Gupta dkk.13 talitas pasien status asmatikus sebesar 12%, yang berhubungan dengan tingginya PaCO2 dan skor APACHE II. Pada penelitian ini didapatkan rerata skor di India sebesar 12,87+8,25 didapatkan perbedaan APACHE II tinggi, yaitu 24,14% yang menunjukkan derajat penyakit yang berat dan terjadi gagal napas yang berat. Walaupun demikian, tingkat mortalitas pasien asma dan skor APACHE II belum bisa dijadikan data dasar karena jumlah kasusnya sedikit sehingga perlu evaluasi dan penelitian dengan jumlah kasus asma yang lebih banyak lagi. Pasien dengan bronkiektasis juga menunjukkan tingkat mortalitas yang jauh lebih tinggi (57%) daripada penelitian Dupont dkk.15 (19%). Pada penelitian tersebut diketahui umur lebih dari 65 tahun dan penggunaan long-term oxygen therapy (LTOT) menjadi faktor risiko mortalitas. Pada penelitian ini tingginya mortalitas mungkin disebabkan derajat penyakit yang berat dengan skor APACHE II 19 meskipun sama halnya dengan asma hasil penelitian ini belum dapat dijadikan nilai standar kasus bronkiektasis yang dirawat di IPI karena hanya meliputi 7 pasien. Tingkat mortalitas pasien TB juga sangat tinggi mencapai 60% hampir sama dengan penelitian Lee dkk.28 mencapai 61%. Berbeda dengan penelitian Erbes dkk.16 yang menunjukkan mortalitas 22,4%. Penelitian tersebut menunjukkan mortalitas pasien TB yang dirawat di IPI berhubungan dengan terjadinya gagal ginjal, kebutuhan ventilasi mekanis, konsolidasi pada foto toraks, sepsis dan gagal multigorgan, serta pneumonia nosokomial. Pada penelitian ini didapatkan rerata skor APACHE II yang tinggi, yaitu 21 jauh diatas nilai cut off point dan menunjukkan derajat penyakit yang berat sedangkan penelitian Lee dkk.28 menunjukkan rerata skor APACHE lebih rendah, yaitu 19 dan penelian Erbes dkk.16 13 sehingga tingginya mortalitas mungkin berhubungan dengan derajat penyakit. Jumlah pasien TB pada penelitian ini hanya 5 orang sehingga belum dapat dipastikan pengaruh skor APACHE II terhadap mortalitas sedangkan berbagai faktor lain seperti komorbid, komplikasi, dan terapi tidak dianalisis. 42 bermakna skor APACHE II antara data retrospektif dan prospektif. Hal ini karena terdapat perbedaan umur, skor APS dan sebaran kasus. Kelompok data prospektif memiliki sebaran kasus pascabedah toraks yang jauh lebih banyak, APS lebih rendah, tetapi rerata umur yang lebih tinggi. Perbedaan karakter kedua kelompok data seharusnya tidak ada sehingga dilakukan analisis stratifikasi dengan memisahkan kasus pascabedah toraks dan nonbedah karena kasus pascabedah toraks umumnya merupakan kasus risiko rendah cenderung untuk mendapatkan APS lebih rendah yaitu 6,78+3,2 dan 16,42+9,6 (p=0,000), jarang disertai komorbid berat dengan skor komorbid lebih rendah dan rerata umur lebih rendah 39+1,3 dibandingkan 50+1,7 (p=0,000). Perbedaan rerata skor APACHE II karena tindakan bedah elektif sehingga rerata umur, APS dan skor penyakit kronik lebih rendah daripada kasus nonbedah. Penelitian Gupta dkk.13 menunjukkan perbedaan bermakna rerata skor APACHE II antara kasus pascabedah toraks dan kasus nonbedah dengan hasil 5,98+2,62 berbanding 16,61+7,85. Sejalan dengan penelitian tersebut, pada penelitian ini didapatkan rerata skor APACHE II 7,8+3,8 untuk kasus pascabedah toraks dan 19,7+11 untuk kasus nonbedah. Prosedur persiapan pembedahan pada semua tindakan bedah toraks juga menurunkan dengan tajam risiko perubahan fisiologis dan mortalitas pascabedah. Hal yang sama dilakukan di RS Persahabatan setiap pasien yang akan menjalani tindakan bedah toraks terlebih dahulu melalui penentuan indikasi, syarat, pertimbangan risiko, dan manfaat melalui satu tim bedah toraks dan bagian pulmonologi termasuk penunjang lain, seperti anestesi dan rehabilitasi medik. Rerata skor APACHE II berdasarkan outcome menunjukkan skor APACHE II lebih tinggi pada kelompok pasien meninggal dibandingkan pasien hidup yang secara statistik bermakna. Perbedaan tingkat mortalitas disebabkan perbedaan derajat penyakit pasien, J Respir Indo Vol. 34 No. 1 Januari 2014 Diah Handayani: Sistem Skor Acute Physiology And Chronic Health Evaluation (Apache) II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif pasien meninggal masuk perawatan IPI dalam kondisi dengan gagal napas berat mendapatkan prioritas penyakit yang berat dan rerata skor APACHE II lebih daripada cut off point. Pasien pneumonia memiliki rerata skor APACHE perawatan IPI. Sementara itu pada penelitian Afesa dkk.14 dilakukan di IPI dengan kapasitas lebih besar untuk kasus gangguan respirasi. II tertinggi yaitu 26,05, sesuai kriteria perhimpunan Rerata skor APACHE II pasien flu burung 24,5 dokter paru Indonesia (PDPI) indikasi rawat IPI pada karena pasien suspek flu burung masuk IPI dengan pasien adalah pneumonia berat dengan perubahan indikasi ARDS sehingga skor APACHE II cukup tinggi. fisiologi dan atau memiliki komorbid berat atau disertai Hasil ini belum dapat mewakili karena pasien suspek gagal multiorgan. Skor APACHE II ini jauh lebih flu burung pada penelitian ini hanya empat orang dan tinggi dibandingkan berbagai penelitian lain tentang belum ada penelitian tentang skor APACHE II pada pneumonia di IPI menunjukkan derajat penyakit pasien pasien flu burung sebagai perbandingan, tetapi perlu pneumonia yang dirawat di IPI RS Persahabatan jauh untuk dijabarkan sehingga didapatkan gambaran lebih berat daripada pasien pneumonia di tempat lain. kondisi pasien suspek flu burung yang menjalani Hal ini mungkin disebabkan kegagalan terapi di ruang perawatan IPI untuk dasar seleksi pasien flu perawatan sebelumnya, perawatan IPI yang mahal burung yang akan dirawat di IPI jika terjadi pandemi menimbulkan pertimbangan dokter maupun keluarga yang membutuhkan perawatan IPI yang terbatas untuk merujuk pasien ke IPI terlambat sehingga datang meskipun perlu evaluasi lebih lanjut dibandingkan dalam kondisi yang buruk. Pasien dirujuk ke IPI jika dengan kasus flu burung confirm. Pasien ARDS juga telah terjadi gagal napas yang membutuhkan ventilasi menunjukkan rerata skor yang cukup tinggi yaitu 22, mekanis sehingga prognosisnya buruk. Pada penelitian hasil ini lebih tinggi daripada penelitian Bersten dkk.27 ini tidak dilakukan analisis terhadap perawatan dan yaitu 20. Hal ini mungkin disebabkan keterlambatan terapi baik di IPI maupun ruang perawatan sebelumnya diagnosis karena beberapa pasien menunjukkan data sehingga perlu evaluasi terhadap penentuan indikasi diagnosis awal bukan ARDS tetapi pneumonia dan pasien pneumonia yang akan dirawat di IPI sehingga memberikan hasil yang lebih baik. Pasien asma akut berat menunjukkan rerata satu pasien didiagnosis suspek flu burung sehingga skor APACHE II cukup tinggi yaitu 24,14. Pasien asma cukup tinggi yaitu 21,79 hampir sama dengan penelitian pada penelitian ini masuk IPI karena gagal napas Ai-Ping dkk.20 dan Breen dkk.23 sebesar 22, berbeda akibat asma akut berat sehingga terjadi perubahan dengan penelitian Nevins dkk.24 dkk yaitu 15 dan Gupta fisiologis yang besar sedangkan jumlah pasien asma dkk.13 sebesar 17,83. Faktor lain yang mempengaruhi pada penelitian ini hanya 7 orang. Hasil ini berbeda mortalitas pasien PPOK rawat IPI antara lain umur, 14 dengan penelitian Afesa dkk. derajat penyakit pasien saat masuk IPI lebih berat. Rerata skor APACHE II pada pasien PPOK juga pada pasien dengan riwayat penggunaan ventilasi mekanis, PaCO2, riwayat status asmatikus, yaitu hanya 12,1 dan penelitian Gupta penggunaan kortikosteroid oral, pH yang rendah, dan 13 dkk. menunjukkan rerata skor APACHE II pasien asma status nutrisi. Penelitian ini tidak melakukan analisis bronkial, yaitu 10,64. Skor APACHE II yang jauh lebih faktor yang mempengaruhi mortalitas selain skor tinggi dibandingkan berbagai penelitian lain mungkin APACHE II, tetapi tingginya skor APACHE II mungkin disebabkan kegagalan terapi di ruang perawatan disebabkan skor umur yang tinggi karena umumnya sebelumnya ataupun di IGD, tetapi pada penelitian pasien PPOK umurnya lebih tua. ini tidak dilakukan analisis tentang terapi. Jumlah Rerata skor APACHE II pada pasien TB pasien asma pada penelitian ini juga jauh lebih sedikit juga tinggi yaitu 21,4, lebih tinggi daripada rerata dibandingkan dengan penelitian lain sehingga belum skor APACHE II pasien TB pada penelitian Lee dapat menggambarkan kondisi sebelumnya hal ini dkk.28 yaitu 16,8 sedangkan penelitian Erbes dkk.16 mungkin disebabkan kapasitas IPI yang terbatas menunjukkan rerata skor APACHE II 13,1. Perbedaan sehingga hanya pasien asma yang mengancam jiwa ini menunjukkan derajat penyakit pasien TB pada J Respir Indo Vol. 34 No. 1 Januari 2014 43 Diah Handayani: Sistem Skor APACHE II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif penelitian ini lebih berat tetapi jumlah kasus TB pada belum dapat diketahui hubungan jenis tindakan dengan penelitian ini sangat sedikit sehingga rerata skor mortalitas. Perbedaan tingkat diskriminasi antara APACHE II untuk TB perlu dievaluasi dengan kasus kasus pascabedah toraks dan nonbedah juga berarti yang lebih banyak. Kedua hal ini mungkin disebabkan penggunaan skor APACHE II pada kasus pascabedah biaya perawatan IPI yang tinggi sehingga perawatan toraks tidak baik dan memerlukan penelitian lebih lanjut. IPI untuk pasien TB hanya jika derajat penyakitnya Tingkat kalibrasi skor APACHE II secara kese- sangat berat terutama membutuhkan ventilasi mekanis. luruhan mendapatkan nilai kemaknaan 0,034, terdapat Penelitian Lee dan Erbes mendapatkan skor APACHE perbedaan bermakna antara prediksi dan kejadian II tidak berhubungan dengan mortalitas, tetapi gagal mortalitas dengan skor APACHE II yang berarti tingkat ginjal akut, kebutuhan ventilasi mekanis, pankreatitis kalibrasinya tidak baik meskipun kurva kalibrasi menun- kronik, sepsis, ARDS, dan pneumonia nosokomial jukkan perbedaan antara prediksi dan kejadian mor- menunjukkan hubungan dengan mortalitas. talitas tidak terlalu besar karena perbedaan satu saja antara prediksi dan kejadian mortalitas akan menen- Cut off point, diskriminasi dan kalibrasi Skor tukan kemaknaan. Analisis terpisah antara kasus pasca- APACHE II bedah toraks dan nonbedah menunjukkan kalibrasi skor Penentuan cut off point dilakukan secara sta- APACHE II pada masing-masing kelompok baik. tistik dengan mencari nilai sensitivitas dan spesifisitas maksimal karena suatu sistem skor untuk menentukan KESIMPULAN prognosis sebaiknya memiliki sensitivitas dan spe- Sistem skor APACHE II dapat menentukan sifisitas yang baik. Secara keseluruhan didapatkan prediksi mortalitas pasien rawat IPI RS Persahabatan cut off point 16 yang berarti dengan skor APACHE II dengan tingkat diskriminasi baik dengan cut off point lebih atau sama dengan 16 memiliki prognosis yang skor APACHE II pada pasien yang dirawat di IPI RS buruk dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik Persahabatan adalah 16 dengan sensitivitas 79,7% (79,7% dan 88,3%). Kasus pascabedah memiliki cut dan spesifisitas 88,1%. Kemampuan diskriminasi off point 10 dengan sensitivitas 66,7% dan spesifisitas skor APACHE II baik, tetapi terdapat perbedaan ber- 66,4% lebih rendah daripada hasil keseluruhan dan makna tingkat diskriminasi skor APACHE II antara kasus nonbedah karena rerata skor APACHE II yang kasus pascabedah toraks dengan kasus nonbedah lebih rendah dan merupakan kasus risiko rendah. yang menunjukkan tingkat diskriminasi pada kasus Hasil penelitian ini menunjukkan skor APACHE II memiliki tingkat diskriminasi baik dengan kurva nonbedah lebih baik daripada kasus pascabedah toraks serta tingkat kalibrasi baik AUC lebih besar daripada 0,8. Analisis stratifikasi menunjukkan diskriminasi skor APACHE II pada DAFTAR PUSTAKA kasus pascabedah tidak baik dengan AUC < 0,8. Hal 1. Oh TE. Design and organization of intensive ini mungkin dipengaruhi derajat saat masuk karena diketahui bahwa tingkat prediksi, diskriminasi, dan kalibrasi skor APACHE II pada kasus risiko rendah menunjukkan hasil yang buruk. Tingkat diskriminasi care units. In: Bersten AD, Soni N, Oh TE, eds. Oh’s intensive care manual. 5th ed. Edinburg: Butterworth Heinemann; 2003.p.3-10. yang buruk pada kasus pascabedah mungkin juga 2. Bone RC. Consensus statement on the triase of the disebabkan pasien masuk ke IPI dalam pengaruh critically ill patients. Society of critical care medicine obat narkose sehingga penilaian GCS tidak tepat, ethics committee. JAMA. 1994;271:1200-3. sehingga skor APACHE II lebih rendah sehingga mempengaruhi skor APACHE II. Faktor risiko mor- 3. Kalb PE,Miller D. Utilization strategies for intensive care units. JAMA.1989;261:2389-96. talitas pada kasus bedah toraks juga dipengaruhi 4. Rao SM, Suhasini T. Organization of intensive jenis tindakan pada penelitian ini jumlah kasus untuk cae unit and predicting outcome of critical illness. masing-masing jenis tindakan tidak sama sehingga Indian J Anaest.2003;47:328-37. 44 J Respir Indo Vol. 34 No. 1 Januari 2014 Diah Handayani: Sistem Skor Acute Physiology And Chronic Health Evaluation (Apache) II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi Perawatan Intensif 5. Christian MD, Hawryluck L, Wax RS, Cook T, Lazar NM, Herridge MS, et al. Development of requiring mechanical ventilation. Eur Respir J. 2006;27:1223-8. triage protocol for critical care during an influenza 17. Sudarsanam TD, Thomas JK, John G. Predictors of mortality in mechanically ventilated patients. Postgrad Med J. 2005;81:780-3. 18. Kollef MH, Sherman G, Ward S, Fraser VJ. Inadequate antimicrobial treatment of infection. Chest. 1999;115:462-74. 19. Hoste EAJ, Lameire NH, Vanholder RC, Benoit DD, Deanyenaere JMA, Colandyn FA. Acute renal failure in patients with sepsis in a surgical ICU:predictive factors, incidence, comorbidity dan outcome. Am J Soc Nephrol. 2003;14:1022-30. 20. Ai-Ping C, Lee KH, Lim TK. In-hospital and pandemic. CMAJ. 2006;175:1377-81. 6. Branner AL, Godfrey Lj, Goether WE. Prediction of outcome from critical illness. A comparison of clinical judgment with a prediction role. Arch Intern Med. 1989;149:1083-6. 7. Terres D, Lemeshow S. As American as apple pie and APACHE. Crit care med. 1989;26:32-4. 8. Palazzo M. Assessment of severity and outcome of critical illness. In: Bersten AD, Soni N, Oh TE, eds. Oh’s intensive care manual. 5th ed.Edinburg: Butterworth Heinemann; 2003.p.11-31. 9. Knaus WA, Wagner DP, Draper EA, Zimmerman JE, Bergner M, Bastos PG, et al. The APACHE III prognostic system; risk prediction of hospital mortalitasy for critically ill hospitalized adults. Chest. 1991; 100:1619-36. 10. Zimmerman JE, Kramer AA, Mc Neir DS, Malila FM. Acute physiology and chronic health evaluation (APACHE) IV ICU length of stay benchmarks for today’s critically ill patients. Chest. 2005;128:297S. 11. Chiavone PA, Sens YAS. Evaluation of APACHE II system among intensive care patients at hospital. Sao Paulo Med J. 2003;121:53-7. 12. Wiweka IBS, Swidarmoko B, Rasmin M, Djaya IM, Jusuf A. Faktor prognosis pasien gawat napas yang dirawat di instalasi perawatan intensif rumah sakit Persahabatan Jakarta dengan kriteria APACHE III. J Respir Indo. 2007;27:38-42. 13. Gupta R, Arora VK. Performance evaluation of APACHE II score for an Indian patient with respiratory problems. Indian J Med Res. 2004;119:273-82. 14. Afessa B, Morales I, Curry JD. Clinical course and outcome of patients admitted to an ICU for status asthmaticus. Chest. 2001;120:1616-21. 15. Dupont M, Gacouin A, Lena H, Lavoue S, Brinchault G, Delaval P, et al. Survival of patients with bronchiectasis after the first ICU stay for respiratory failure. Chest. 2004;125:1815-20. 16. Erbes R, Oettel K, Raffenberg M, Mauch H, Schmidtloanas M, Lode H. Characteristic and outcome of patients with active pulmonary tuberculama rawatis J Respir Indo Vol. 34 No. 1 Januari 2014 View publication stats 5-year mortality of patients in the ICU for acute exacerbation of COPD: A retrospective study. Chest. 2005;128:518-24. 21. Marrie TJ, Liel Ling Wu. Factors influencing inhospital mortality in community-acquired pneumonia: a prospective study of patients not initially admitted to hte ICU. Chest. 2005;127:1260-70. 22. Agarwal R, Agarwal AN, Gupta D, Behera D, Jindal SK. Etiology and outcomes of pulmonary and extrapulmonary acute lung injury/ ARDS in a respiratory ICU in north India. Chest. 2006;130:724-9. 23. Nevins ML, Epstein SK. Predictors of outcome for patients with COPD requiring invasive mechanical ventilation. Chest. 2001;119:1840-9. 24. Breen D, Churches T, Hawker F, Torzillo PJ. Acute respiratory failure secondary to chronic obstructive pulmonary disease treated in the intensive care unit: a long term follow up study. Thorax. 2002;57:29-33. 25. Groenewegen KH, Schols AMWJ, Wouters EFM. Mortality and mortality-related factors after hospitalization for acute exacerbation of COPD. Chest. 2003;124:459-67. 26. Bernard GR. Acute respiratory distress syndrome. A historical perspective. Am J Respir Crit Care Med. 2005;172:798-806. 27. Bersten AD, Edibam C, Hunt T, Moran J. Incidence and mortality of acute lung injury and the acute respiratory distress syndrome in three Australian states. Am J Respir Crit Care Med. 2002;165:443-8. 28. Lee PL, Jerng JS, Chang YL, Chen CF, Hsueh PR, Yu CJ, Et al. Patient mortality of active tuberculama rawatis requiring mechanical ventilation. Eur Respir J. 2003;22:141-7. 45