Uploaded by Muhammad Alimuddin

BAHASA MUNA

advertisement
Bahasa Muna / Wamba Wuna
A. Wamba Wuna, Sebagai Warisan Budaya Masyarakat Muna.
Dr. Sugeng Pujilelesono dalam Pengantar Antropilogi ( Trans Publishing
2015 ) mengatakan bahwa bahasa merupakan saraana komunikasi budaya, Lebih
lanjut Sugeng mengungkapkan , salah satu unsure universal kebudayaan adalah
adanya bahasa yang dipakai oleh seluruh komunitas yang tersebar di seluruh muka
bumi ini ( Sugeng, 2005:135 ). Sedangkan Edwar Sapir ( 1884-1939 )mengatakan
bahwa Budaya adalah sebuah realitas yang ditentukan oleh bahasa, sedangkan
bahasa ialah sesuatu yang diwartiskan secara kultur atau turun temurun. Dari dua
pendapat diatas,penulis berkesimpulan bahwa bahasa ,merupakan
unsure utama
yang membentuk kebudayaan yang diwariskan secara cultural atau turun temurun.
Kendati demikian, sesungguhnya bahasa itu merupakan bagian dari budaya itu
sendiri.Hal ini sebagaimana yang di definisikan oleh Edwar T Hall “ Kebudayaan
adalah komunikasi, komunikasi adalah kebudayaan “. Sedangkan unsure utama
komunikasi adalah bahasa, baik itu bahasa isyarat ataupun bahasa lisan.
Sebagai suatu produk budaya yang merupakan sarana utama komunikasi ,
Bahasa Muna/Wamba Wuna tentu memiliki peran yang sangat sentral dalam
membentuk budaya komunitas masyarakat penuturnya. Dalam realitas saat ini,
Bahasa Muna/ Wamba Wuna menjadi alat Komunikasi masyarakat yang mendiami
seluruh wilayah Pulau Muna ( Kabupaten Muna, Muna Barat dan Buton Tengah ),
seluruh masyarakat di Pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Muna dan Pulau Buton
yakni, Pulau Kadatua, Pulau Batu Atas dan Pulau Siompu ( Kabupaten Buton
Selatan ), dan Pulau Talaga ( Kabupaten Buton Tengah ). Serta sebagian besar
masyarakat yang mendiami Pulau Buton. Jadi bila merujuk pada definisi T. Hall
diatas,
maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan masyarakat wilayah-wilayah
tersebut terbentuk dari peran besar Wamba Wuna/Bahawa Muna.
Selain menjadi alat komunikasi utama di Pulau Muna ( Ex Kerajaan Muna )
dan Pulau Buton ( ex Kesultanan Buton ), Bahasa Muna/ Wamba Wuna juga
merupakan bahasa tertua di kedua wilayah Kepulauan tersebut. Bahasa Muna/
Wamba Wuna diperkirakan telah digunakan sebagai alat komunikasi oleh
masyarakat di Kepulauan Muna dan Buton sejak tahun 4000 SM. Bahasa Muna/
Wamba Wuna merupakan rumpun Austronesia, kelompok Celebic dalam cabang
Western Malayo-Polynesian ( Rene Van Deberg, 2006 : 115 ). Pengelompokan
Bahasa Muna/ Wamba Wuna kedalam rumpun Austronesia karena ditemukan
kesamaan kosa kata dengan bahasa-bahasa daerah di wilayah Papua Nugini, Pulau
Flores dan Papua yang juga masih satu rumpun Proto- Austronesia. Sedangkan
dimasuknnya dalam kelompok Celebic dalam cabang Western Malayo-Polynesian
karena ditemukan banyaknya kesamaan kosa kata dalam bahasa-bahasa daerah di
Pulau Sulawesi seperti Bahasa Wotu di Sulawesi Selatan dan beberapa bahasa
daerah di Sulawesi Tengah dan Utara.
B. Sebaran Wilayah Penutur Bahasa Muna/ Wamba Wuna
Dr Rene van den Berg, dosen linguistik di Darwin, Australia yang
melakukan penelitian Bahasa Muna menjelaskan bahwa sebaran wilayah yang
masyarakat nya menggunakan Bahasa Muna sebaagai bahasa tutur yang berada di
daratan Pulau Buton adalah di wilayah Kecamatan Lasalimu, kamaru, Kapontori,
Labuandiri, Lawele, laonti dan kambe-kambero ( Kabupaten Buton ), Bosuwa,
Lawela, Batauga ( Buton Selatan ), Kecamatan Betoambari (Katobengke-TopaSulaa-Lawela, Labalawa), Kecamatan Bungi ( Liabuku, Wonco, Bungi, ) ,
Kecamatan Lealea ( Pulau Makasar, Lowu-lowu, Kalia-lia, Palabusa ) di Kota
Baubau serta di ex kerajaan Muna meliputi Kecamatan Kambowa, Kecamatan
Wakorumba Utara dan Kecamatan Bonegunu ( Kabupaten Buton Utara ), serta
Kecamatan Wakorumba Selatan, Maligano dan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten
Muna ( Rene V. Deberg, 1989).
Perkiraan waktu penggunaan Bahasa Muna/ Wambha Wuna sebagai alat
komunikasi masyarakat di Jazirah Kepulauan Muna dan Buton tersebut didasarkan
pada kedatangan para migran dari dataran tinggi Yunan Cina dan austeronesia
Afrika. Para migrant ini yang diperkirakan menjadi nenek moyang manusia yang
mendiami daratan Sulawesi termasuk di Kepulauan Muna dan Buton bagian
Tenggara Pulau Sulawesi. Saat ini.
Kedatangan para migrant itu tentu membawa serta kebudayaan mereka dari
negeri asalnya termasuk bahasa. Bahasa para pendatang itu kemudian berasimilasi
dengan bahasa penduduk lokal yang terlebih dahulu mendiami Pulau Muna yang
datang sekitar 25.000 tahun SM ( Migran pertama tersebut diperkirakan telah
mengalami kepunahan ). Dari percampuran dua bahasa ( migrant sekitar tahun
4.000 SM dan migrant sekitar 25.000 tahun SM ) tersebut kemudian tercipta bahasa
baru yang dikenal saat ini sebagai Bahasa Muna/ Wamba Wuna.
Dari Pulau Muna, Bahasa Muna / Wamba Wuna kemudian berkembang
sampai ke Pulau Buton dan pulau-pulau kecil disekitar kedua pulau tersebut.
Penyebaran Bahasa Muna/ Wamba Wuna di Pulau Buton dan pulau-pulau kecil
disekitarnya di bawa oleh pendatamng dari Dataran Tinggi Yunan tesebut yang
terlebih dahulu menetap di Pulau Muna. Seiring dengan semakin berkembangnya
populasi mereka dan kuatnya keinginan untuk
mencari tempat baru untuk
bertempat tinggal dan mencukupi kebutuhan mereka, kemudian mereka bermigrasi
ke pulau-pulau yang dekat dengan Pulau Muna yaitu Pulau Buton dan pulau-pulau
kecil di sekitarnya..
Di Pulau Buton, Bahasa Muna/ Wamba Wuna semakin berkembang dan
bervariasi dari segi dialek setelah kedatangan para pendatang dari Jazirah Melayu
khususnya di daratan Pulau Buton sekitar abad XIV Masehi. Pelopor para
pendatang dari Melayu tersebut dalam sejarah Buton dikenal sebagai Mia Pata
Miana. Pengaruh bahasa para pendatang tersebut selain mempengaruhi dialek,
memperkaya kosa kata Bahasa Muna/ Wamba Wuna, juga melahirkan bahasa baru
yakni Bahasa Wolio dan Bahasa Cia-Cia.
Bukti kuat bahwa Bahasa Muna/ Wambha Wuna telah menjadi bahasa tutur
masyarakat di Kepulauan Buton dan Muna sebelum kedatangan para pendatang dari
Melayu sekitar abad ke 14 tersebut terungkap dari hikayat Mia Pata Miana. Hikayat
Mia Pata Miana ini menceritakan proses kedatangan manusia pelopor para imigran
dari Melayu yang kemudian kembangun peradaban baru di Pulau Buton. Menurut
hikayat ini, jauh sebelum kerajaan Buton terbentuk dan kedatangan para migrant
dari Melayu, Pulau Buton telah berpenghuni yang memiliki bahasa sendiri untuk
berkomunikasi diantara mereka. Penulis berasumsi bahasa bahasa tutur penghuni
Pulau Buton saat itu adalah Bahasa Muna/ Wambha Wuna.
Memang, belum ada literature sebelumnya yang mengatakan bahwa bahasa
tutur penghuni Pulau Buton sebelum kedatangan para migrant dari Melayu adalah
Bahasa Muna/ Wambha Wuna. Namun kalau melihat fakta di mana
sebaran
wilayah penutur Bahasa Muna/ Wambha Wuna di Pulau Buton yang begitu luas
serta di setiap
wilayah
yang menjadi tempat pendaratan Mia Patamiana,
penduduknya sampai saat ini menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna,
sedangkan masyarakat lain yang berhubungan dengan migrant dari Melayu
belakangan justru menggunakan Bahasa Wolio dan Cia-cia. maka dari penulis
dapat pastikan bahwa bahasa penduduk Pulau Buton saat itu adalah Bahasa Muna/
Wambha Wuna. Sedangkan Bahasa Cia-cia dan Wolio adalah bahasa baru yang
terbentuk akibat asimilasi antara Bahasa Muna dengan bahasa para pendatang dari
Melayu itu. Asumsi penulis ini berdasarkan fakta dimana wilayah di Pulau Buton
yang menggunakan Bahasa Wolio dan Cia-cia adalah wilayah yang dipilih oleh para
pendatang itu untuk membangun peradaban baru sampai membangun kerajaan baru
yakni Kerajaan Wolio.
Berbeda dengan asumsi penulis, beberapa literature sejarah yang ditulis oleh
para sejarawan Buton
mengatakan bahwa masif nya wilayah sebaran penutur
Bahasa Muna/ Wambha Wuna di jazirah Buton terjadi pada awal abad ke 16
Masehi. Hal itu bersamaan dengan menjadinya La Kilaponto Raja Muna ke – 7
sebagai penguasa
di Kerajaan Wolio yang kemudian di rubahnya menjadi
Kesultanan Butuuni Darussalam atau saat ini di kenal dengan Kesultanan Buton.
Dalam literature itu dikatakan, bahwa masyarakat di Kerajaan Muna yang
menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna sebagai bahasa tutur mereka, dibawah
serta oleh Raja La Kilaponto untuk membantu beliau dalam memerangi Labolontio,
bajak laut yang memporak porandakan kerajaan Wolio ( sebelum La Kilaponto
menjadi raja ) dan sisa-sisa pasukannya.
Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa masuknya Bahasa Muna/
Wambha Wuna di Pulau Buton dibawa oleh Orang Muna yang lari meninggalkan
Kerajaan Muna untuk mencari perlindungan di Kerajaan Wolio. Namun
argumentasi tersebut terbantahkan dengan adanya fakta di mana justru pada masa
itu Kerajaan Wolio lah yang dalam kondisi tidak aman karena gangguan bajak laut
yang dipimpin oleh Labolontio. Kerajaan Wolio menjadi aman, setelah Raja Muna
Sugi Manuru menugaskan Puteranya yang bernama La Kilaponto untuk menumpas
Labolontio yang telah membuat Kerajaan Wolio diambang kehancuran sekaligus
menjadi raja di kerajaan itu ( mengenai proses penugasan La Kilaponto menumpas
Labolontio sekaligus menjadi raja di Kerajaan Wolio akan diulas pada Bab Sejarah
Peradaban Orang Muna ).
Berbeda dengan di Pulau Buton, Bahasa para pendatang dari Melayu itu
tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan Bahasa Muna/
Wamba Wuna di Pulau Muna. Olehnya itu, di daratan Pulau Muna hanya ada satu
bahasa yang dipakai oleh penduduknya yakni Bahasa Muna/ Wamba Wuna.
Padahal secara historis, wilayah Pulau Muna terbagi dua yaitu wilayah Pulau Muna
bagian Utara dibawah pemerintahan Kerajaan Muna dan Pulau Muna bagian Selatan
di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Secara teori, seharusnya wilayah Pulau
Muna yang masuk dalam wilayah administrasi Kesultanan Buton masyarakatnya
menggunakan Bahasa Wolio yang di klaim sebagai bahasa persatuan Kesultanan
Buton. Namun faktanya tidak, masyarakat disana justru sampai saat ini tetap
menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna sebagai bahasa tutur mereka.
Bandingkan dengan wilayah Pulau Buton bagian Utara yang masuk dalam
administrasi Kerajaan Muna yang masyarakatnya sampai saat ini tetap
menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna.
Tidak terjadinya pembentukan bahasa baru dari asimilasi antara Bahasa
Muna/ Wamba Wuna dengan bahasa yang dibawa oleh para pendatang dari melayu
tersebut disebabkan karena para pendatang dari Melayu tersebut, tidak menetap dan
membangun peradaban baru sebagai mana yang mereka lakukan di Pulau Buton (
Mengenai sejarah pemebntukan peradaban baru oleh para pendatang dari Melayu di
Pulau Buton akan di ulas pada pembahasan Sejarah Peradaban Orang Muna ).
Pengaruh yang terlihat dari asimilasi antara Bahasa Muna/ Wamba Wuna dengan
bahasa para pendatang dari Melayu hanya sebatas terjadinya perbedaan dialek
antara daratan Pulau Muna bagian Utara (ex Wilayah Kerajaan Muna ) dan Pulau
Muna bagian Selatan ( ex Kesultanan Buton ). Selain itu terjadi juga penyerapan
beberapa kosa kata Bahasa Melayu ke dalam Bahasa Muna/ Wamba Wuna.: Berikut
beberapa contoh bahasa melayu yang diserap
kedalam Bahasa Muna/ Wamba
Wuna :
Bahasa Muna/Wamba
Bahasa Melayu
Bahasa Indonesia
Wuna
langka
langka
jarang
parigi
perigi
Saluran air, got
Rusa
rusa
Rusa/ jonga
Nea
nama
nama
karambau
kerbau
Kerbau
Rene Van Deberg mengungkapkan bahwa sekitar abad ke - 16 atau ke – 17
bangsa Portugis dan Spanyol membawa tanaman jagung di Pulau Muna. Lama
kelamaan jagung menjadi makanan pokok di Muna. Terkait itu maka muncullah
puluhan kosakata baru dalam Bahasa Muna/ Wamba Wuna yang berkaitan dengan
pertumbuhan, produksi, dan konsumsi jagung sebagaimana yang dapat di lihat pada
table berikut :
kahitela
Kambuse
Kapusu
Kamperodo
jagung [kata ini berasal dari bahasa Ternate kasitela < Portugis
Castela, nama daerah dan kerajaan Castilia di Spanyol sekitar
abad
ke-10
sampai
ke-18;
bandingkan juga Bahasa Indonesia ketela dengan asal yang
sama, walaupun merujuk pada ubi]
Biji jagung (tua atau muda ) yang direbus
Biji jagung (tua ) yang direbus pakai kapur sehingga kulit arinya
terlepas
Buah jagung (muda) yang dimasak dengan kulitnya (ujung atas
dan
bawah
dipotong,
kulit luar sebagian dikeluarkan)
kantiniwua
jagung yang dimasak buahnya tanpa kulit
bungkusan jagung muda yang ditumbuk dengan ujung
katungkukoro
pembungkus (kulit
kantubhi
buah jagung yang berukuran di bawah sedang
tua dan keras (tentang jagung); sebagai kiasan juga mengenai
angki
gadis tua
bhoka
buah jagung yang isinya tersembul dari kulit
bhokolo
mengeluarkan kulit jagung dengan pisau (untuk pembungkus)
ragi
sejenis jagung yang bijinya berwarna ungu
Lero
Jamur (pada jagung)
Sumber : ( Rene Vandeberg, 2014: 123 )
C. pulasi Penutur Dan Perkembangan Bahasa/ Wamba Wuna
Berdasarkan luas wilayah dan kuantitas pengguna Bahasa Muna sebagai
bahasa Tutur di Sulawesi tenggara, bahasa Muna merupakan bahasa kedua penutur
terbanyak setelah Bahsa Tolaki-Mekonggga. Secara geografis penyebaran penutur
kedua bahasa tersebut juga berbeda. Bahasa Tolaki-Mekongga sebarannya di
daratan Pulau Sulawesi Bagian Tenggara, sedangkan Bahasa Muna Penuturnya
tersebar di Kepulauan termasuk dua pulau besar yaitu Muna dan Pulau Buton.
Dr, Rene Van dengberg juga menemukan penutur bahasa Muna ternyata
bukan saja di tersebar di wilayah kepulauan Sulawesi bagian tenggara tetapi di
sebagian Pulau Ambon dan kepualauan Maluku Utara. Dr. Rene Van Denberg tidak
menjelaskan sejak kapan bahasa muna digunakan oleh maasyaarakat Pulau Ambon
dan Kepulauan Maluku Utara serta bagaimana proses penyebarannya.
Mungkin saja penyebaran bahasa Muna di Pulau Ambon dan Kepulauan
Maluku utara tersebut lakukan oleh La Ode Wuna Putra raja Muna VI Sugi Manuru.
Tradisi lisan masyarakat Muna menjelaskan bahwa salah seorang Putra Raja Muna
VI Sugimanuru yaitu La Ode Wuna yang berwujud Ular berkepala manusia diusir
karena berulah yang dapat mencoreng kewibawaan ayahaandanya sebagai Raja.
Setelah diusir dari kerajaan Muna, La Ode Wuna kemudian berlayar menuju
Pulau Halmahera di Maluku Utara. Dalam pelayaranya La Ode Wuna yang dikenal
sakti menumpang pada dua buah kelapa. Sesampainya di pantai Pulau Halmahera (
maluku Utara ), La Ode Wuna kemudian menanam kelapa yang menjadi
tumpangannya tersebut di pantai dimana dia terdampar. Jadi ada kemungkinan La
Ode Wuna dan pengikutnyalah yang pertama menyebarkan bahasa Muna di
Kepulauan Maluku/maluku Utara melalui alkulturasi budaya.
Walaupun secara populasi cukup banyak dan sebaran wilayah penuturnya
yang luas, bukan berarti bahasa Muna sudah dapat dikatakan aman . Bahkan
beberapa ahli mengelompokan Bahasa Muna, Wambha Wuna dalam kategori
rawan. Hal itu disebabkan minoimnya literature atau dokumen yang menggunakan
Bahasa Muna/ Wambha Wuna.
Mengutip Rene Vandeberg dalam “ Juara Satu Dan Dua:
Membandingkan
Situasi
Kebahasaan
Indonesia
Dan Papua Nugi “
yang di muat dalam Jurnal Masyarakat Linguistik
Indonesia,dengan kode
ISSN: 0215-4846
Volume ke-32, No. 2
pada bulan Agustus 2014 , Orang yang pertama menulis mengenai bahasa Muna
adalah Nikolaus Adriani (1865-1926), seorang ahli bahasa daerah Sulawesi pada
zaman kolonial. Selama keberadaannya di Sulawesi (yang disebut Celebes pada
waktu itu), dia juga sempat menulis satu bab dalam bahasa Belanda mengenai
bahasa Muna dalam bukunya tentang situasi kebahasaan di Sulawesi dan Halmahera
(Adriani
dan
Kruyt
1914).
Orang
yang
kedua yang meneliti bahasa Muna adalah orang Muna sendiri yang bernama Hanafi
(1938- 1993). Hanafi (1968) adalah skripsi mengenai pronomina, aspek yang rumit
dalam Bahasa Muna. Orang yang ketiga ialah La Ode Sidu, yang kemudian menjadi
pakar bahasa Mun dengan beberapa terbitan, termasuk skripsi S1, S2, dan disertasi
S3 (La Ode Sidu 2003).
Mulai tahun 1980-an juga diterbitkan beberapa karya ilmiah mengenai
bahasa Muna yang dikeluarka oleh Pusat Bahasa di Jakarta. Kami sendiri menulis
tata
bahasa
Muna
(van
den
Berg
1989),
kamus Muna (bersama La Ode Sidu, versi Muna-Inggris 1996, versi Munandonesia 2000, cetakan kedua 2013), dan beberapa karangan ilmiah mengenai
bahasa Muna, seperti situasi dialek Muna, fonologi historis, kata serapan dari
bahasa Belanda, ketransitifan, deiksis, dan juga dialek Muna selatan. Awal tahun
1990-an dibentuk sebuah tim penelitian dan pengembangan Linguistik Indonesia,
Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 125 bahasa daerah Muna yang menerbitkan
Pedoman Ejaan Bahasa Muna (Hanafi, dkk. 1991), diikuti oleh beberapa buku kecil
dalam bahasa Muna: Kadadihi ne witeno Wuna (Atakasi 1991), Kabhanti Wuna (La
Mokui 1991), Wata-watangke Wuna (La Mokui dan La Kimi Batoa 991). Sejak
adanya muatan lokal di kabupaten Muna, muncullah juga beberapa buku pelajaran,
termasuk metode untuk SD O Wamba Wuna (La Ode Sidu 1994) dan metode untuk
SLTP Struktur Bahasa Muna (La Tia, dkk.). Bersama dengan La Mokui, kami
menulis metode baru untuk SMP Maimo dopogurumana wamba Wuna (La Mokui
dan van den Berg 2008a, 2008b), bersama pedoman gurunya. La Sinenda (2002)
menulis
Tata
Bahasa
Daerah
Muna,
tetapi
sayangnya tidak pernah diterbitkan. Belakangan ini perlu disebut karya La Ode irad
Imbo (2012) yang berjudul Kamus Bahasa Indonesia-Muna. Pada awal tahun 2014
dibuka laman khusus mengenai bahasa Muna (www.bahasamuna.org). Jelas
perhatian pada bahasa Muna tidak mengecewakan, baik dari orang luar maupun dari
penutur bahasa Muna sendiri. Walaupun status pendokumentasian bahasa Muna
cukup tinggi, ada gejala bahasa Muna sudah agak sakit. Di Raha, ibu kota
Kabupaten Muna, sejak dulu bahasa Muna jarang dipakai oleh orang Muna sendiri.
Orang dari luar yang datang di Muna hampir tidak ada yang belajar bahasa Muna.
Sejak tahun 1990-an, penduduk di kampungpun mulai bergeser ke bahasa
Indonesia, sehingga makin banyak anak-anak dan remaja tidak menguasai lagi
bahasa ibu mereka. Seringkali dalam satu desa orang tua masih fasih berbahasa
Muna (khususnya waktu bergaul dengan generasi di atas mereka), tetapi
berkomunikasi dengan anak-anak di rumah pakai bahasa Indonesia. Kalau situasi ini
tetap begitu (dan kami belum melihat tanda yang melawan perkembangan ini).
Pada tahun 1989, Rene Van Deberg yang melakukan penelitian terhadap
Bahasa Muna/ Wambha Wuna memperkirakan penutur Bahasa Muna di Kabupaten
Muna ( yang ada di daratan Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara
dan saat ini telah menjadi 3 kabupaten yakni Kabuopaten Muna, Muna Barat, dan
Buton
Utara
)
yakni
sekitar 300.000 penutur,. Dari jumlah itu Rene Van Deberg mengkategorikan
Bahasa Muna/ Wambha Wuna betul-betul terancam dan berada dalam zona gawat.
Pengkategorian yang dilakukan oleh Rene tersebut, tidak mempeerhitungkan
penutur Bahasa Muna/ Wamba Wuna yang ada di Kepulauan Buton ( saat ini telah
menjadi 2 Kabupaten dan 1 Kota, yakni Kabupaten Buton, Kota Baubau, dan Buton
Selatan ) dan pentur Bahasa Muna/ Wambha Wuna yang ada di Pulau Muna Bagian
Selatan yang saat itu masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton. Rene
juga tidak memotret penduduk Kota Kendari yang berasal dari Kabupaten Muna
dan Kabupaten lain yang masyarakatnya bertutur dalam Bahasa Muna/ Wambha
Wuna yang saat ini di perkirakan berjumlah sekitar 25.000 jiwa.
Berikut table daerah ( Kabupaten dan Kota ) yang penduduknya dalam
keseharian bertutur dalam Bahasa Muna/ Wambha Wuna :
Kabbutaten/ Kota
Kecamatan/Pulau
Perkiraan Jumah
Penutur
Muna
Seluruh Kecamatan dan Pulau
300.000
Muna Barat
Seluruh Kecamatan dan Pulau
75.000
Buton Utara
Kec. Wakorumba Utara, Bone
15. 000
Gunu, Kambowa
Baubau
Kec. Betoambari,Lealea, Bungi
40.000
Buton
Kec. Kapontori, Kamaru,
25.000
Buton Selatan
Kec. Batauga, P.Batu Atas,
30.000
P.Kadatua, P. Siompu
Buton Tengah
Seluruh Kecamatan di Buton
75.000
Tengah
Kendari
Tersebar di seluruh Kota
25.000
Kendari
Total
585.000
D. Basaha Muna/ Wamba Wuna, Bahasa Kebangsaan di Kesuktan
Buton Dan Kerajaan Muna?
“Bahasa Menunjukan Bangsa” demikian dikatakan JS. Badudu, seorang
pakar bahasa Indonesia yang terkenal pada masa Orde Baru karena mengeritik
dialek Presiden Suharto yang melafalkan kata makin dengan mangkin. JS. Badudu
menyadari bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri bangsa. Olehnya itu
setiap orang termasuk Suharto harus melafalkan pengucapan setiap kalimat bahasa
sesuai dengan kaidah tata bahasa yang baik dan benar sebagai manifestasi jati diri
dan identitas suatu bangsa, dalam hal ini Bangasa Indonesia.
Menurut JS. Badudu kebesaran suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa
besar kecintaan bangsa itu dengan bahasanya. Salah satu bentuk dari kecintaan
tersebut adalah ditentukan dengan kualitas dan kuantitas orang yanng
menggunakan bahasa bangsa tersebut.
Mengapa JS. Badudu menekankan penggunaan bahasa dengan eksistensi
suatu bangsa? Hal ini terjawab dengan sejarah kolonialisme moderen di mana untuk
dapat mengifiltrasi suatu bangsa, maka hal pertama yang dilakukan bangsa tersebut
adalah menyebar luaskan penggunaan bahasanya pada bangsa yang di incarnya.
Bila melihat pengguna Bahasa Muna yang hampir melingkupi seluruh
wilayah ex Kesultanan Buton, mungkinkah kita dapat berasumsi bahwa Buton itu
merupakan bagian atau koloni dari Kerajaan Muna? Atau mungkinkah Bahasa
Muna merupakan bahasa Kesultanan Buton?
Pertanyaan diatas perlu diteliti lebih mendalam lagi, sebab berdasarkan
artikel-artikel sejarah yang ditulis oleh sejarawan buton selama ini dikatakan bahwa
bahasa kesultanan Buton adalah Bahasa Wolio. Padahal berdasarkan penelitian dan
fakta yang ada hari ini pengguna bahasa Wolio hanyalah melingkupi masyarakat
satu Kecamatan ( Kecamatan Wolio )dari 6 Kecamatan yang ada di Kota Bau-bau
saat ini, selebihnya menggunakan bahasa Muna ( sebagian besar ) dan bahasa Ciacia ( sebagian kecil-khususnya di kecamatan Sorawolio).
Soerjono Soekanto Dalam buku Sosiologi Suatu pengantar ( 1990)
mengatakan interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat yaitu: 1) Adanya kontak sosial ( social contact, 2) adanya komunikasi.
Apabila salah satu dari dua syarat tadi tidak terpenuhi maka mustahil terjadi
interaksi sosial. Jadi bagai mana suatu kelompok dapat berkomunikasi dengan
kelompok lain bila tidak saling memahami bahasa masing-masing? Padahal arti
penting dari suatu komunikasi adalah memberikan penafsiran perilaku orang lain
melalui pembicaraan dan gerak-gerak badania ( Sujano Sukanto, 1990:71-73).
Jadi kalau kita masih tetap mengakui bahwa bahasa merupakan identitas dan
jati diri suatu bangsa, maka bagi mana bisa bahasa Wolio dapat dikatakan menjadi
identitas dan jati diri Kesultanan Buton? Badingkan dengan Bahasa Muna yang
digunakan oleh hampir seluruh masyarakat ex Kesultanan Buton. Bukankah itu
dapat dikatakan bahwa Bahasa Muna telah menjadi identitas dan jati diri Bangsa
dari Kesultanan Buton? Untuk menjawab semua itu diperlukan suatu kejujuran dan
kebesaran hati para sejarawan untuk mengungkap kebenaran sejarah dengan tidak
perlu ada yang ditutup-tutupi.
E. AKSEN
Dr. Rene Van Debrg dalam penelitiaannya menemukan bahwa bahasa Muna
memiliki banyak aksen. Setiap wilayah penyebaran bahasa muna memiliki aksen
sendiri-sendiri
dalam
pengucapannya
seperti
aksen
Bosua,
Kamaru,Kaimbulawa,Lasalimu dan Muna, sedangkan menurut Burhanuddin ada
juga aksen Pancana.
Aksen Bosua digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Batauga, pantai
barat daya Pulau Buton, sebelah selatan wilayah Katobengke-Topa-Sulaa dan
Lawela. Sedangkan aksen Kaimbulawa digunakan oleh masyarakat ‘Siompu.
Lantoi, Kambe-Kambero , Liabuku, Barangka dan Kapontori.
Aksen Kamaru digunakan oleh masyarakat di Kecamatan kamaru kabupaten
buton. Aksen Pancana di Gunakan oleh masyarakat yang mendiami pulau Muna
bagian Selatan yaitu masyarakat Gu dan mawasangka. Aksen Pancana juga
digunakan oleh masyarakat Pulau Talaga, Siompu dan Kadatua.
Setiap aksen dalam pengucapan bahasa Muna, dipengaruhi oleh lingkungan
dimana komunitas penggunanya menetap atau pengaruh luar dimana penggunanya
sering berintaraksi dengan dunia luar. Dari interaksi-interaksi dari dua atau
beberapa bahasa tersebut kemudian melahirkan aksen baru. Misalnya saja
Masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang
menggunakan Bahasa Wolio atau Cia-cia, maka aksennya akan berbeda dengan
masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan masyarakat dari luar seperti
melayu, jawa, arab dan lain-lain.
F. PENGUCAPAN
Bahasa Muna dari semua dialek/ aksen dalam pengucapannya tidak
mengenal konsonan dalam setiap akhir kata. Dalam kosa kata bahasa muna tidak
mengenal struktur konsonal vokal konsonan ( KVK ). Olehnya itu penyerapan
bahasa asing kedalam bahasa Muna apabila berakhir dengan konsonan pada akhir
pengucapannya maka selalu ditambah dengan vokal ( a,e,i,o,u ), atau di hilangkan
huruf akhirnya sehingga berakhir dengan vokal. Contohnya sandal, dalam bahasa
Muna pengucapannya di tambah dengan vokal ‘i’ sehingga pengucapannya
menjadi sandal(i), atau Pelabuhan misalnya di hilangkan hurup ‘n’ sehungga dalam
pengucapannya menjadi ‘pelabuha’(n).
Selain tidak mngenal vokal dalam akhir kata, dalam alfabet bahasa Muna
asli juga tidak mengenal huruf ‘C.’ Karena tidak huruf ‘ C ‘ tersebut, maka bila
masyarakat muna mengucapkan kata-kata yang berasal dari kosa kata bahasa lain
yang menggunakan huruf ‘C’, maka huruf ‘C’ tersebut di ganti dengan huruf ‘T’.
Contohnya seperti dalam table berikut :
No Kata Asli
Bila Diucapkan Oleh Orang Muna
1
Cantik
Tanti (k)
2
Suci
Suti
3
Cowo
Towo
Namun berbeda dengan aksen Kaimbulawa dan pancana. Pada aksen
Kaimbulawa dan Pancana huruf C
justerudigunakan untuk mengganti huruf ‘T’
pada aksen Muna asli. Hal itu seperti terlihat pada table berikut :
No Kosa Kata Bahasa Muna Diucapkan
Dalam
Asli
Kaimbulawa & Pancana
1
Ihintu ( Kamu )
Isincu
2
Kuta ( Kutang/ BH )
Kuca
3
Titi ( Payudara )
C ic i
4
Suta ( piring kaleng )
Suca
Aksen
Penggunaan Hurup ‘C’ dalam pengucapan bahassa Muna tersebut mungkin
saja dipengaruhi oleh bahasa Cia-cia. Hal ini dapat dimungkinkan karena
masyarakat yang meggunakan huruf ‘c’ dalam pengucapannya pada umumnya
masyarakat yang dalam pergaulannya sangat dekat dengan masyarakat
yang
menggunakan bahasa Cia-cia. Jadi karena pergaulan itulah sehingga terjadi
perpaduan bahasa kedua suku bangsa tersebut.
Ada juga kemungkinan bahwa penggunaan huruf ‘C’ tersebut dipengaruhi
oleh bahasa Wolio. Hal ini terutama mempengaruhi masyarakat yang dalam
pergaulannya sehari-hari sangat dekat dengan masyarakat pengguna bahasa wolio.
Sugeng mengatakan bahwa bahasa juga dapat member pesan seseorang atau
komunitas tersebut bersentuhan dengan dunia luar dari beragamnya kosa kata suatu
kata ( Sugeng, 2015: 160 ).Dari fakta itu sehingga tidak heran bila masyarakat yang
menggunakan bahasa muna dengan dialek Pancanan adalah
masyarakat yang
berdiam disekitar kecamatan Wolio yang mana masyarakatnya menggunakan
bahasa Wolio dalam berkominasi sehari hari seperti Katobengke, palabusa, bosuwa,
dan Pulau makasaar.
G. Abjad
Ada beberapa Abjad dalam bahasa Muna yang berbeda dengan abjad latin,
tapi memiliki kemiripan dengan abjad aksara Arab dan sangsekerta. Abjad yang
dimaksud adalah Gh dan dh ( Abjad Arab ) dan bh ( Sangsekerta ) . Kemiripan
abjad dalam Bahasa Muna dengan Abjad dalam Bahasa Arab dan Sangsekerta
tersebut menurut asumsi beberapa kalangan, merupakan gambaran kedekatan
hubungan pergaulan masyarakat Muna dengan masyarakat Arab dan Sangsekerta.
Dari kedekatan tersebutlah kemudian mempengaruh kebudayaan masyarakat Muna
termasuk dalam penggunaan Bahasa.
Walau ada beberapa abjad dalam bahasa muna yang memiliki kesamaan
dengan abjad dalam bahasa arab, namun tdak bisa dikatakan bahwa Bahasa Muna
masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Bahasa Arab. Hal ini diperkuat
dengan ada pula beberapa abjad dalam Bahasa Arab yang tidak di kenal dalam
Bahasa Muna misalnya huruf, J, Y, DZ, TH dan Z. Demikian juga dengan Bahasa
Sangsekerta,
Dalam Abjad Bahasa Muna tidak mengenal huruf C, J, X, Q, Y dan Z. Tidak
adanya huruf – huruf tersebut lah yang membedahkan antara abjad Bahasa Muna
dengan Abjad yang dikenal dalam Bahasa Arab dan Sangsekerta. Adapun abjad
dalam bahasa muna (bahasa Muna Kuno) adalah sebagai berikut:
A a
B b
D d
E e
F f
G g
H h
I i
K k
M m N n O o P p R r S s T t U u Ww DH dh GH gh BH bh
L l
Download