Bahasa Muna / Wamba Wuna A. Wamba Wuna, Sebagai Warisan Budaya Masyarakat Muna. Dr. Sugeng Pujilelesono dalam Pengantar Antropilogi ( Trans Publishing 2015 ) mengatakan bahwa bahasa merupakan saraana komunikasi budaya, Lebih lanjut Sugeng mengungkapkan , salah satu unsure universal kebudayaan adalah adanya bahasa yang dipakai oleh seluruh komunitas yang tersebar di seluruh muka bumi ini ( Sugeng, 2005:135 ). Sedangkan Edwar Sapir ( 1884-1939 )mengatakan bahwa Budaya adalah sebuah realitas yang ditentukan oleh bahasa, sedangkan bahasa ialah sesuatu yang diwartiskan secara kultur atau turun temurun. Dari dua pendapat diatas,penulis berkesimpulan bahwa bahasa ,merupakan unsure utama yang membentuk kebudayaan yang diwariskan secara cultural atau turun temurun. Kendati demikian, sesungguhnya bahasa itu merupakan bagian dari budaya itu sendiri.Hal ini sebagaimana yang di definisikan oleh Edwar T Hall “ Kebudayaan adalah komunikasi, komunikasi adalah kebudayaan “. Sedangkan unsure utama komunikasi adalah bahasa, baik itu bahasa isyarat ataupun bahasa lisan. Sebagai suatu produk budaya yang merupakan sarana utama komunikasi , Bahasa Muna/Wamba Wuna tentu memiliki peran yang sangat sentral dalam membentuk budaya komunitas masyarakat penuturnya. Dalam realitas saat ini, Bahasa Muna/ Wamba Wuna menjadi alat Komunikasi masyarakat yang mendiami seluruh wilayah Pulau Muna ( Kabupaten Muna, Muna Barat dan Buton Tengah ), seluruh masyarakat di Pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Muna dan Pulau Buton yakni, Pulau Kadatua, Pulau Batu Atas dan Pulau Siompu ( Kabupaten Buton Selatan ), dan Pulau Talaga ( Kabupaten Buton Tengah ). Serta sebagian besar masyarakat yang mendiami Pulau Buton. Jadi bila merujuk pada definisi T. Hall diatas, maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan masyarakat wilayah-wilayah tersebut terbentuk dari peran besar Wamba Wuna/Bahawa Muna. Selain menjadi alat komunikasi utama di Pulau Muna ( Ex Kerajaan Muna ) dan Pulau Buton ( ex Kesultanan Buton ), Bahasa Muna/ Wamba Wuna juga merupakan bahasa tertua di kedua wilayah Kepulauan tersebut. Bahasa Muna/ Wamba Wuna diperkirakan telah digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat di Kepulauan Muna dan Buton sejak tahun 4000 SM. Bahasa Muna/ Wamba Wuna merupakan rumpun Austronesia, kelompok Celebic dalam cabang Western Malayo-Polynesian ( Rene Van Deberg, 2006 : 115 ). Pengelompokan Bahasa Muna/ Wamba Wuna kedalam rumpun Austronesia karena ditemukan kesamaan kosa kata dengan bahasa-bahasa daerah di wilayah Papua Nugini, Pulau Flores dan Papua yang juga masih satu rumpun Proto- Austronesia. Sedangkan dimasuknnya dalam kelompok Celebic dalam cabang Western Malayo-Polynesian karena ditemukan banyaknya kesamaan kosa kata dalam bahasa-bahasa daerah di Pulau Sulawesi seperti Bahasa Wotu di Sulawesi Selatan dan beberapa bahasa daerah di Sulawesi Tengah dan Utara. B. Sebaran Wilayah Penutur Bahasa Muna/ Wamba Wuna Dr Rene van den Berg, dosen linguistik di Darwin, Australia yang melakukan penelitian Bahasa Muna menjelaskan bahwa sebaran wilayah yang masyarakat nya menggunakan Bahasa Muna sebaagai bahasa tutur yang berada di daratan Pulau Buton adalah di wilayah Kecamatan Lasalimu, kamaru, Kapontori, Labuandiri, Lawele, laonti dan kambe-kambero ( Kabupaten Buton ), Bosuwa, Lawela, Batauga ( Buton Selatan ), Kecamatan Betoambari (Katobengke-TopaSulaa-Lawela, Labalawa), Kecamatan Bungi ( Liabuku, Wonco, Bungi, ) , Kecamatan Lealea ( Pulau Makasar, Lowu-lowu, Kalia-lia, Palabusa ) di Kota Baubau serta di ex kerajaan Muna meliputi Kecamatan Kambowa, Kecamatan Wakorumba Utara dan Kecamatan Bonegunu ( Kabupaten Buton Utara ), serta Kecamatan Wakorumba Selatan, Maligano dan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Muna ( Rene V. Deberg, 1989). Perkiraan waktu penggunaan Bahasa Muna/ Wambha Wuna sebagai alat komunikasi masyarakat di Jazirah Kepulauan Muna dan Buton tersebut didasarkan pada kedatangan para migran dari dataran tinggi Yunan Cina dan austeronesia Afrika. Para migrant ini yang diperkirakan menjadi nenek moyang manusia yang mendiami daratan Sulawesi termasuk di Kepulauan Muna dan Buton bagian Tenggara Pulau Sulawesi. Saat ini. Kedatangan para migrant itu tentu membawa serta kebudayaan mereka dari negeri asalnya termasuk bahasa. Bahasa para pendatang itu kemudian berasimilasi dengan bahasa penduduk lokal yang terlebih dahulu mendiami Pulau Muna yang datang sekitar 25.000 tahun SM ( Migran pertama tersebut diperkirakan telah mengalami kepunahan ). Dari percampuran dua bahasa ( migrant sekitar tahun 4.000 SM dan migrant sekitar 25.000 tahun SM ) tersebut kemudian tercipta bahasa baru yang dikenal saat ini sebagai Bahasa Muna/ Wamba Wuna. Dari Pulau Muna, Bahasa Muna / Wamba Wuna kemudian berkembang sampai ke Pulau Buton dan pulau-pulau kecil disekitar kedua pulau tersebut. Penyebaran Bahasa Muna/ Wamba Wuna di Pulau Buton dan pulau-pulau kecil disekitarnya di bawa oleh pendatamng dari Dataran Tinggi Yunan tesebut yang terlebih dahulu menetap di Pulau Muna. Seiring dengan semakin berkembangnya populasi mereka dan kuatnya keinginan untuk mencari tempat baru untuk bertempat tinggal dan mencukupi kebutuhan mereka, kemudian mereka bermigrasi ke pulau-pulau yang dekat dengan Pulau Muna yaitu Pulau Buton dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.. Di Pulau Buton, Bahasa Muna/ Wamba Wuna semakin berkembang dan bervariasi dari segi dialek setelah kedatangan para pendatang dari Jazirah Melayu khususnya di daratan Pulau Buton sekitar abad XIV Masehi. Pelopor para pendatang dari Melayu tersebut dalam sejarah Buton dikenal sebagai Mia Pata Miana. Pengaruh bahasa para pendatang tersebut selain mempengaruhi dialek, memperkaya kosa kata Bahasa Muna/ Wamba Wuna, juga melahirkan bahasa baru yakni Bahasa Wolio dan Bahasa Cia-Cia. Bukti kuat bahwa Bahasa Muna/ Wambha Wuna telah menjadi bahasa tutur masyarakat di Kepulauan Buton dan Muna sebelum kedatangan para pendatang dari Melayu sekitar abad ke 14 tersebut terungkap dari hikayat Mia Pata Miana. Hikayat Mia Pata Miana ini menceritakan proses kedatangan manusia pelopor para imigran dari Melayu yang kemudian kembangun peradaban baru di Pulau Buton. Menurut hikayat ini, jauh sebelum kerajaan Buton terbentuk dan kedatangan para migrant dari Melayu, Pulau Buton telah berpenghuni yang memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi diantara mereka. Penulis berasumsi bahasa bahasa tutur penghuni Pulau Buton saat itu adalah Bahasa Muna/ Wambha Wuna. Memang, belum ada literature sebelumnya yang mengatakan bahwa bahasa tutur penghuni Pulau Buton sebelum kedatangan para migrant dari Melayu adalah Bahasa Muna/ Wambha Wuna. Namun kalau melihat fakta di mana sebaran wilayah penutur Bahasa Muna/ Wambha Wuna di Pulau Buton yang begitu luas serta di setiap wilayah yang menjadi tempat pendaratan Mia Patamiana, penduduknya sampai saat ini menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna, sedangkan masyarakat lain yang berhubungan dengan migrant dari Melayu belakangan justru menggunakan Bahasa Wolio dan Cia-cia. maka dari penulis dapat pastikan bahwa bahasa penduduk Pulau Buton saat itu adalah Bahasa Muna/ Wambha Wuna. Sedangkan Bahasa Cia-cia dan Wolio adalah bahasa baru yang terbentuk akibat asimilasi antara Bahasa Muna dengan bahasa para pendatang dari Melayu itu. Asumsi penulis ini berdasarkan fakta dimana wilayah di Pulau Buton yang menggunakan Bahasa Wolio dan Cia-cia adalah wilayah yang dipilih oleh para pendatang itu untuk membangun peradaban baru sampai membangun kerajaan baru yakni Kerajaan Wolio. Berbeda dengan asumsi penulis, beberapa literature sejarah yang ditulis oleh para sejarawan Buton mengatakan bahwa masif nya wilayah sebaran penutur Bahasa Muna/ Wambha Wuna di jazirah Buton terjadi pada awal abad ke 16 Masehi. Hal itu bersamaan dengan menjadinya La Kilaponto Raja Muna ke – 7 sebagai penguasa di Kerajaan Wolio yang kemudian di rubahnya menjadi Kesultanan Butuuni Darussalam atau saat ini di kenal dengan Kesultanan Buton. Dalam literature itu dikatakan, bahwa masyarakat di Kerajaan Muna yang menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna sebagai bahasa tutur mereka, dibawah serta oleh Raja La Kilaponto untuk membantu beliau dalam memerangi Labolontio, bajak laut yang memporak porandakan kerajaan Wolio ( sebelum La Kilaponto menjadi raja ) dan sisa-sisa pasukannya. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa masuknya Bahasa Muna/ Wambha Wuna di Pulau Buton dibawa oleh Orang Muna yang lari meninggalkan Kerajaan Muna untuk mencari perlindungan di Kerajaan Wolio. Namun argumentasi tersebut terbantahkan dengan adanya fakta di mana justru pada masa itu Kerajaan Wolio lah yang dalam kondisi tidak aman karena gangguan bajak laut yang dipimpin oleh Labolontio. Kerajaan Wolio menjadi aman, setelah Raja Muna Sugi Manuru menugaskan Puteranya yang bernama La Kilaponto untuk menumpas Labolontio yang telah membuat Kerajaan Wolio diambang kehancuran sekaligus menjadi raja di kerajaan itu ( mengenai proses penugasan La Kilaponto menumpas Labolontio sekaligus menjadi raja di Kerajaan Wolio akan diulas pada Bab Sejarah Peradaban Orang Muna ). Berbeda dengan di Pulau Buton, Bahasa para pendatang dari Melayu itu tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan Bahasa Muna/ Wamba Wuna di Pulau Muna. Olehnya itu, di daratan Pulau Muna hanya ada satu bahasa yang dipakai oleh penduduknya yakni Bahasa Muna/ Wamba Wuna. Padahal secara historis, wilayah Pulau Muna terbagi dua yaitu wilayah Pulau Muna bagian Utara dibawah pemerintahan Kerajaan Muna dan Pulau Muna bagian Selatan di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Secara teori, seharusnya wilayah Pulau Muna yang masuk dalam wilayah administrasi Kesultanan Buton masyarakatnya menggunakan Bahasa Wolio yang di klaim sebagai bahasa persatuan Kesultanan Buton. Namun faktanya tidak, masyarakat disana justru sampai saat ini tetap menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna sebagai bahasa tutur mereka. Bandingkan dengan wilayah Pulau Buton bagian Utara yang masuk dalam administrasi Kerajaan Muna yang masyarakatnya sampai saat ini tetap menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna. Tidak terjadinya pembentukan bahasa baru dari asimilasi antara Bahasa Muna/ Wamba Wuna dengan bahasa yang dibawa oleh para pendatang dari melayu tersebut disebabkan karena para pendatang dari Melayu tersebut, tidak menetap dan membangun peradaban baru sebagai mana yang mereka lakukan di Pulau Buton ( Mengenai sejarah pemebntukan peradaban baru oleh para pendatang dari Melayu di Pulau Buton akan di ulas pada pembahasan Sejarah Peradaban Orang Muna ). Pengaruh yang terlihat dari asimilasi antara Bahasa Muna/ Wamba Wuna dengan bahasa para pendatang dari Melayu hanya sebatas terjadinya perbedaan dialek antara daratan Pulau Muna bagian Utara (ex Wilayah Kerajaan Muna ) dan Pulau Muna bagian Selatan ( ex Kesultanan Buton ). Selain itu terjadi juga penyerapan beberapa kosa kata Bahasa Melayu ke dalam Bahasa Muna/ Wamba Wuna.: Berikut beberapa contoh bahasa melayu yang diserap kedalam Bahasa Muna/ Wamba Wuna : Bahasa Muna/Wamba Bahasa Melayu Bahasa Indonesia Wuna langka langka jarang parigi perigi Saluran air, got Rusa rusa Rusa/ jonga Nea nama nama karambau kerbau Kerbau Rene Van Deberg mengungkapkan bahwa sekitar abad ke - 16 atau ke – 17 bangsa Portugis dan Spanyol membawa tanaman jagung di Pulau Muna. Lama kelamaan jagung menjadi makanan pokok di Muna. Terkait itu maka muncullah puluhan kosakata baru dalam Bahasa Muna/ Wamba Wuna yang berkaitan dengan pertumbuhan, produksi, dan konsumsi jagung sebagaimana yang dapat di lihat pada table berikut : kahitela Kambuse Kapusu Kamperodo jagung [kata ini berasal dari bahasa Ternate kasitela < Portugis Castela, nama daerah dan kerajaan Castilia di Spanyol sekitar abad ke-10 sampai ke-18; bandingkan juga Bahasa Indonesia ketela dengan asal yang sama, walaupun merujuk pada ubi] Biji jagung (tua atau muda ) yang direbus Biji jagung (tua ) yang direbus pakai kapur sehingga kulit arinya terlepas Buah jagung (muda) yang dimasak dengan kulitnya (ujung atas dan bawah dipotong, kulit luar sebagian dikeluarkan) kantiniwua jagung yang dimasak buahnya tanpa kulit bungkusan jagung muda yang ditumbuk dengan ujung katungkukoro pembungkus (kulit kantubhi buah jagung yang berukuran di bawah sedang tua dan keras (tentang jagung); sebagai kiasan juga mengenai angki gadis tua bhoka buah jagung yang isinya tersembul dari kulit bhokolo mengeluarkan kulit jagung dengan pisau (untuk pembungkus) ragi sejenis jagung yang bijinya berwarna ungu Lero Jamur (pada jagung) Sumber : ( Rene Vandeberg, 2014: 123 ) C. pulasi Penutur Dan Perkembangan Bahasa/ Wamba Wuna Berdasarkan luas wilayah dan kuantitas pengguna Bahasa Muna sebagai bahasa Tutur di Sulawesi tenggara, bahasa Muna merupakan bahasa kedua penutur terbanyak setelah Bahsa Tolaki-Mekonggga. Secara geografis penyebaran penutur kedua bahasa tersebut juga berbeda. Bahasa Tolaki-Mekongga sebarannya di daratan Pulau Sulawesi Bagian Tenggara, sedangkan Bahasa Muna Penuturnya tersebar di Kepulauan termasuk dua pulau besar yaitu Muna dan Pulau Buton. Dr, Rene Van dengberg juga menemukan penutur bahasa Muna ternyata bukan saja di tersebar di wilayah kepulauan Sulawesi bagian tenggara tetapi di sebagian Pulau Ambon dan kepualauan Maluku Utara. Dr. Rene Van Denberg tidak menjelaskan sejak kapan bahasa muna digunakan oleh maasyaarakat Pulau Ambon dan Kepulauan Maluku Utara serta bagaimana proses penyebarannya. Mungkin saja penyebaran bahasa Muna di Pulau Ambon dan Kepulauan Maluku utara tersebut lakukan oleh La Ode Wuna Putra raja Muna VI Sugi Manuru. Tradisi lisan masyarakat Muna menjelaskan bahwa salah seorang Putra Raja Muna VI Sugimanuru yaitu La Ode Wuna yang berwujud Ular berkepala manusia diusir karena berulah yang dapat mencoreng kewibawaan ayahaandanya sebagai Raja. Setelah diusir dari kerajaan Muna, La Ode Wuna kemudian berlayar menuju Pulau Halmahera di Maluku Utara. Dalam pelayaranya La Ode Wuna yang dikenal sakti menumpang pada dua buah kelapa. Sesampainya di pantai Pulau Halmahera ( maluku Utara ), La Ode Wuna kemudian menanam kelapa yang menjadi tumpangannya tersebut di pantai dimana dia terdampar. Jadi ada kemungkinan La Ode Wuna dan pengikutnyalah yang pertama menyebarkan bahasa Muna di Kepulauan Maluku/maluku Utara melalui alkulturasi budaya. Walaupun secara populasi cukup banyak dan sebaran wilayah penuturnya yang luas, bukan berarti bahasa Muna sudah dapat dikatakan aman . Bahkan beberapa ahli mengelompokan Bahasa Muna, Wambha Wuna dalam kategori rawan. Hal itu disebabkan minoimnya literature atau dokumen yang menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna. Mengutip Rene Vandeberg dalam “ Juara Satu Dan Dua: Membandingkan Situasi Kebahasaan Indonesia Dan Papua Nugi “ yang di muat dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia,dengan kode ISSN: 0215-4846 Volume ke-32, No. 2 pada bulan Agustus 2014 , Orang yang pertama menulis mengenai bahasa Muna adalah Nikolaus Adriani (1865-1926), seorang ahli bahasa daerah Sulawesi pada zaman kolonial. Selama keberadaannya di Sulawesi (yang disebut Celebes pada waktu itu), dia juga sempat menulis satu bab dalam bahasa Belanda mengenai bahasa Muna dalam bukunya tentang situasi kebahasaan di Sulawesi dan Halmahera (Adriani dan Kruyt 1914). Orang yang kedua yang meneliti bahasa Muna adalah orang Muna sendiri yang bernama Hanafi (1938- 1993). Hanafi (1968) adalah skripsi mengenai pronomina, aspek yang rumit dalam Bahasa Muna. Orang yang ketiga ialah La Ode Sidu, yang kemudian menjadi pakar bahasa Mun dengan beberapa terbitan, termasuk skripsi S1, S2, dan disertasi S3 (La Ode Sidu 2003). Mulai tahun 1980-an juga diterbitkan beberapa karya ilmiah mengenai bahasa Muna yang dikeluarka oleh Pusat Bahasa di Jakarta. Kami sendiri menulis tata bahasa Muna (van den Berg 1989), kamus Muna (bersama La Ode Sidu, versi Muna-Inggris 1996, versi Munandonesia 2000, cetakan kedua 2013), dan beberapa karangan ilmiah mengenai bahasa Muna, seperti situasi dialek Muna, fonologi historis, kata serapan dari bahasa Belanda, ketransitifan, deiksis, dan juga dialek Muna selatan. Awal tahun 1990-an dibentuk sebuah tim penelitian dan pengembangan Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 125 bahasa daerah Muna yang menerbitkan Pedoman Ejaan Bahasa Muna (Hanafi, dkk. 1991), diikuti oleh beberapa buku kecil dalam bahasa Muna: Kadadihi ne witeno Wuna (Atakasi 1991), Kabhanti Wuna (La Mokui 1991), Wata-watangke Wuna (La Mokui dan La Kimi Batoa 991). Sejak adanya muatan lokal di kabupaten Muna, muncullah juga beberapa buku pelajaran, termasuk metode untuk SD O Wamba Wuna (La Ode Sidu 1994) dan metode untuk SLTP Struktur Bahasa Muna (La Tia, dkk.). Bersama dengan La Mokui, kami menulis metode baru untuk SMP Maimo dopogurumana wamba Wuna (La Mokui dan van den Berg 2008a, 2008b), bersama pedoman gurunya. La Sinenda (2002) menulis Tata Bahasa Daerah Muna, tetapi sayangnya tidak pernah diterbitkan. Belakangan ini perlu disebut karya La Ode irad Imbo (2012) yang berjudul Kamus Bahasa Indonesia-Muna. Pada awal tahun 2014 dibuka laman khusus mengenai bahasa Muna (www.bahasamuna.org). Jelas perhatian pada bahasa Muna tidak mengecewakan, baik dari orang luar maupun dari penutur bahasa Muna sendiri. Walaupun status pendokumentasian bahasa Muna cukup tinggi, ada gejala bahasa Muna sudah agak sakit. Di Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sejak dulu bahasa Muna jarang dipakai oleh orang Muna sendiri. Orang dari luar yang datang di Muna hampir tidak ada yang belajar bahasa Muna. Sejak tahun 1990-an, penduduk di kampungpun mulai bergeser ke bahasa Indonesia, sehingga makin banyak anak-anak dan remaja tidak menguasai lagi bahasa ibu mereka. Seringkali dalam satu desa orang tua masih fasih berbahasa Muna (khususnya waktu bergaul dengan generasi di atas mereka), tetapi berkomunikasi dengan anak-anak di rumah pakai bahasa Indonesia. Kalau situasi ini tetap begitu (dan kami belum melihat tanda yang melawan perkembangan ini). Pada tahun 1989, Rene Van Deberg yang melakukan penelitian terhadap Bahasa Muna/ Wambha Wuna memperkirakan penutur Bahasa Muna di Kabupaten Muna ( yang ada di daratan Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara dan saat ini telah menjadi 3 kabupaten yakni Kabuopaten Muna, Muna Barat, dan Buton Utara ) yakni sekitar 300.000 penutur,. Dari jumlah itu Rene Van Deberg mengkategorikan Bahasa Muna/ Wambha Wuna betul-betul terancam dan berada dalam zona gawat. Pengkategorian yang dilakukan oleh Rene tersebut, tidak mempeerhitungkan penutur Bahasa Muna/ Wamba Wuna yang ada di Kepulauan Buton ( saat ini telah menjadi 2 Kabupaten dan 1 Kota, yakni Kabupaten Buton, Kota Baubau, dan Buton Selatan ) dan pentur Bahasa Muna/ Wambha Wuna yang ada di Pulau Muna Bagian Selatan yang saat itu masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton. Rene juga tidak memotret penduduk Kota Kendari yang berasal dari Kabupaten Muna dan Kabupaten lain yang masyarakatnya bertutur dalam Bahasa Muna/ Wambha Wuna yang saat ini di perkirakan berjumlah sekitar 25.000 jiwa. Berikut table daerah ( Kabupaten dan Kota ) yang penduduknya dalam keseharian bertutur dalam Bahasa Muna/ Wambha Wuna : Kabbutaten/ Kota Kecamatan/Pulau Perkiraan Jumah Penutur Muna Seluruh Kecamatan dan Pulau 300.000 Muna Barat Seluruh Kecamatan dan Pulau 75.000 Buton Utara Kec. Wakorumba Utara, Bone 15. 000 Gunu, Kambowa Baubau Kec. Betoambari,Lealea, Bungi 40.000 Buton Kec. Kapontori, Kamaru, 25.000 Buton Selatan Kec. Batauga, P.Batu Atas, 30.000 P.Kadatua, P. Siompu Buton Tengah Seluruh Kecamatan di Buton 75.000 Tengah Kendari Tersebar di seluruh Kota 25.000 Kendari Total 585.000 D. Basaha Muna/ Wamba Wuna, Bahasa Kebangsaan di Kesuktan Buton Dan Kerajaan Muna? “Bahasa Menunjukan Bangsa” demikian dikatakan JS. Badudu, seorang pakar bahasa Indonesia yang terkenal pada masa Orde Baru karena mengeritik dialek Presiden Suharto yang melafalkan kata makin dengan mangkin. JS. Badudu menyadari bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri bangsa. Olehnya itu setiap orang termasuk Suharto harus melafalkan pengucapan setiap kalimat bahasa sesuai dengan kaidah tata bahasa yang baik dan benar sebagai manifestasi jati diri dan identitas suatu bangsa, dalam hal ini Bangasa Indonesia. Menurut JS. Badudu kebesaran suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa besar kecintaan bangsa itu dengan bahasanya. Salah satu bentuk dari kecintaan tersebut adalah ditentukan dengan kualitas dan kuantitas orang yanng menggunakan bahasa bangsa tersebut. Mengapa JS. Badudu menekankan penggunaan bahasa dengan eksistensi suatu bangsa? Hal ini terjawab dengan sejarah kolonialisme moderen di mana untuk dapat mengifiltrasi suatu bangsa, maka hal pertama yang dilakukan bangsa tersebut adalah menyebar luaskan penggunaan bahasanya pada bangsa yang di incarnya. Bila melihat pengguna Bahasa Muna yang hampir melingkupi seluruh wilayah ex Kesultanan Buton, mungkinkah kita dapat berasumsi bahwa Buton itu merupakan bagian atau koloni dari Kerajaan Muna? Atau mungkinkah Bahasa Muna merupakan bahasa Kesultanan Buton? Pertanyaan diatas perlu diteliti lebih mendalam lagi, sebab berdasarkan artikel-artikel sejarah yang ditulis oleh sejarawan buton selama ini dikatakan bahwa bahasa kesultanan Buton adalah Bahasa Wolio. Padahal berdasarkan penelitian dan fakta yang ada hari ini pengguna bahasa Wolio hanyalah melingkupi masyarakat satu Kecamatan ( Kecamatan Wolio )dari 6 Kecamatan yang ada di Kota Bau-bau saat ini, selebihnya menggunakan bahasa Muna ( sebagian besar ) dan bahasa Ciacia ( sebagian kecil-khususnya di kecamatan Sorawolio). Soerjono Soekanto Dalam buku Sosiologi Suatu pengantar ( 1990) mengatakan interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu: 1) Adanya kontak sosial ( social contact, 2) adanya komunikasi. Apabila salah satu dari dua syarat tadi tidak terpenuhi maka mustahil terjadi interaksi sosial. Jadi bagai mana suatu kelompok dapat berkomunikasi dengan kelompok lain bila tidak saling memahami bahasa masing-masing? Padahal arti penting dari suatu komunikasi adalah memberikan penafsiran perilaku orang lain melalui pembicaraan dan gerak-gerak badania ( Sujano Sukanto, 1990:71-73). Jadi kalau kita masih tetap mengakui bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri suatu bangsa, maka bagi mana bisa bahasa Wolio dapat dikatakan menjadi identitas dan jati diri Kesultanan Buton? Badingkan dengan Bahasa Muna yang digunakan oleh hampir seluruh masyarakat ex Kesultanan Buton. Bukankah itu dapat dikatakan bahwa Bahasa Muna telah menjadi identitas dan jati diri Bangsa dari Kesultanan Buton? Untuk menjawab semua itu diperlukan suatu kejujuran dan kebesaran hati para sejarawan untuk mengungkap kebenaran sejarah dengan tidak perlu ada yang ditutup-tutupi. E. AKSEN Dr. Rene Van Debrg dalam penelitiaannya menemukan bahwa bahasa Muna memiliki banyak aksen. Setiap wilayah penyebaran bahasa muna memiliki aksen sendiri-sendiri dalam pengucapannya seperti aksen Bosua, Kamaru,Kaimbulawa,Lasalimu dan Muna, sedangkan menurut Burhanuddin ada juga aksen Pancana. Aksen Bosua digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Batauga, pantai barat daya Pulau Buton, sebelah selatan wilayah Katobengke-Topa-Sulaa dan Lawela. Sedangkan aksen Kaimbulawa digunakan oleh masyarakat ‘Siompu. Lantoi, Kambe-Kambero , Liabuku, Barangka dan Kapontori. Aksen Kamaru digunakan oleh masyarakat di Kecamatan kamaru kabupaten buton. Aksen Pancana di Gunakan oleh masyarakat yang mendiami pulau Muna bagian Selatan yaitu masyarakat Gu dan mawasangka. Aksen Pancana juga digunakan oleh masyarakat Pulau Talaga, Siompu dan Kadatua. Setiap aksen dalam pengucapan bahasa Muna, dipengaruhi oleh lingkungan dimana komunitas penggunanya menetap atau pengaruh luar dimana penggunanya sering berintaraksi dengan dunia luar. Dari interaksi-interaksi dari dua atau beberapa bahasa tersebut kemudian melahirkan aksen baru. Misalnya saja Masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang menggunakan Bahasa Wolio atau Cia-cia, maka aksennya akan berbeda dengan masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan masyarakat dari luar seperti melayu, jawa, arab dan lain-lain. F. PENGUCAPAN Bahasa Muna dari semua dialek/ aksen dalam pengucapannya tidak mengenal konsonan dalam setiap akhir kata. Dalam kosa kata bahasa muna tidak mengenal struktur konsonal vokal konsonan ( KVK ). Olehnya itu penyerapan bahasa asing kedalam bahasa Muna apabila berakhir dengan konsonan pada akhir pengucapannya maka selalu ditambah dengan vokal ( a,e,i,o,u ), atau di hilangkan huruf akhirnya sehingga berakhir dengan vokal. Contohnya sandal, dalam bahasa Muna pengucapannya di tambah dengan vokal ‘i’ sehingga pengucapannya menjadi sandal(i), atau Pelabuhan misalnya di hilangkan hurup ‘n’ sehungga dalam pengucapannya menjadi ‘pelabuha’(n). Selain tidak mngenal vokal dalam akhir kata, dalam alfabet bahasa Muna asli juga tidak mengenal huruf ‘C.’ Karena tidak huruf ‘ C ‘ tersebut, maka bila masyarakat muna mengucapkan kata-kata yang berasal dari kosa kata bahasa lain yang menggunakan huruf ‘C’, maka huruf ‘C’ tersebut di ganti dengan huruf ‘T’. Contohnya seperti dalam table berikut : No Kata Asli Bila Diucapkan Oleh Orang Muna 1 Cantik Tanti (k) 2 Suci Suti 3 Cowo Towo Namun berbeda dengan aksen Kaimbulawa dan pancana. Pada aksen Kaimbulawa dan Pancana huruf C justerudigunakan untuk mengganti huruf ‘T’ pada aksen Muna asli. Hal itu seperti terlihat pada table berikut : No Kosa Kata Bahasa Muna Diucapkan Dalam Asli Kaimbulawa & Pancana 1 Ihintu ( Kamu ) Isincu 2 Kuta ( Kutang/ BH ) Kuca 3 Titi ( Payudara ) C ic i 4 Suta ( piring kaleng ) Suca Aksen Penggunaan Hurup ‘C’ dalam pengucapan bahassa Muna tersebut mungkin saja dipengaruhi oleh bahasa Cia-cia. Hal ini dapat dimungkinkan karena masyarakat yang meggunakan huruf ‘c’ dalam pengucapannya pada umumnya masyarakat yang dalam pergaulannya sangat dekat dengan masyarakat yang menggunakan bahasa Cia-cia. Jadi karena pergaulan itulah sehingga terjadi perpaduan bahasa kedua suku bangsa tersebut. Ada juga kemungkinan bahwa penggunaan huruf ‘C’ tersebut dipengaruhi oleh bahasa Wolio. Hal ini terutama mempengaruhi masyarakat yang dalam pergaulannya sehari-hari sangat dekat dengan masyarakat pengguna bahasa wolio. Sugeng mengatakan bahwa bahasa juga dapat member pesan seseorang atau komunitas tersebut bersentuhan dengan dunia luar dari beragamnya kosa kata suatu kata ( Sugeng, 2015: 160 ).Dari fakta itu sehingga tidak heran bila masyarakat yang menggunakan bahasa muna dengan dialek Pancanan adalah masyarakat yang berdiam disekitar kecamatan Wolio yang mana masyarakatnya menggunakan bahasa Wolio dalam berkominasi sehari hari seperti Katobengke, palabusa, bosuwa, dan Pulau makasaar. G. Abjad Ada beberapa Abjad dalam bahasa Muna yang berbeda dengan abjad latin, tapi memiliki kemiripan dengan abjad aksara Arab dan sangsekerta. Abjad yang dimaksud adalah Gh dan dh ( Abjad Arab ) dan bh ( Sangsekerta ) . Kemiripan abjad dalam Bahasa Muna dengan Abjad dalam Bahasa Arab dan Sangsekerta tersebut menurut asumsi beberapa kalangan, merupakan gambaran kedekatan hubungan pergaulan masyarakat Muna dengan masyarakat Arab dan Sangsekerta. Dari kedekatan tersebutlah kemudian mempengaruh kebudayaan masyarakat Muna termasuk dalam penggunaan Bahasa. Walau ada beberapa abjad dalam bahasa muna yang memiliki kesamaan dengan abjad dalam bahasa arab, namun tdak bisa dikatakan bahwa Bahasa Muna masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Bahasa Arab. Hal ini diperkuat dengan ada pula beberapa abjad dalam Bahasa Arab yang tidak di kenal dalam Bahasa Muna misalnya huruf, J, Y, DZ, TH dan Z. Demikian juga dengan Bahasa Sangsekerta, Dalam Abjad Bahasa Muna tidak mengenal huruf C, J, X, Q, Y dan Z. Tidak adanya huruf – huruf tersebut lah yang membedahkan antara abjad Bahasa Muna dengan Abjad yang dikenal dalam Bahasa Arab dan Sangsekerta. Adapun abjad dalam bahasa muna (bahasa Muna Kuno) adalah sebagai berikut: A a B b D d E e F f G g H h I i K k M m N n O o P p R r S s T t U u Ww DH dh GH gh BH bh L l