disini - Rumah Pendidikan

advertisement
VONIS UNTUK SADDAM
Oleh Syafruddin Amir
Siapa menanam, dia akan menuai. Pepatah itu mungkin pas untuk
menggambarkan kondisi yang dialami Saddam Hussein saat ini. Terlepas dari
pro dan kontra atas keputusan Pengadilan Tinggi Irak pada 5 November lalu
perihal vonis hukuman mati untuk mantan orang nomor satu Irak tersebut,
Saddam telah memetik apa yang dulu dia tanam. Dari tangan besinya, sejumlah
nyawa terenggut, terutama mereka yang berseberangan politik dengan lelaki
kelahiran Tikrit, Irak Utara, 28 April 1937 itu. Kini vonis setimpal siap menunggu
Saddam di tiang gantungan.
Saddam bukanlah "orang besar" pertama yang bernasib nahas. Pada 1945,
mantan diktator fasis Italia, Benito Mussolini, dieksekusi mati. Nasib serupa
dialami mantan orang nomor satu di Rumania, Nicolae Ceausescu, pada 1989.
Sedangkan Adolf Hitler lebih memilih mati bersama kekasihnya, Eva Braun,
dengan cara bunuh diri ketimbang menyerah kepada tentara Sekutu. Teranyar,
tahun ini, penjagal manusia modern asal Serbia, Slobodan Milosevic, memilih
mati dalam tahanan pengadilan penjahat perang Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Namun, Saddam Hussein tetap mendapat tempat tersendiri, yang berbeda, juga
istimewa. Pemilik nama lengkap Saddam Hussein al-Majid al-Tikriti ini
merupakan figur yang dibenci sekaligus disanjung. Muslim Syiah Irak
menyambut gembira keputusan pengadilan tersebut, dengan turun ke jalan-jalan
di berbagai kota yang didominasi muslim Syiah, misalnya di Kota Sadr dan Najaf.
Namun, di kota berbasis muslim Sunni, seperti kota kelahiran Saddam, Tikrit,
ribuan orang turun ke jalan-jalan untuk memprotes keputusan kontroversial
tersebut, sambil mengusung foto mantan orang nomor satu Irak itu.
Saddam memang istimewa. Di tengah berkuasanya sang Polisi Dunia Tunggal,
Amerika Serikat, Saddam lantang meneriakkan protes antihegemoni negara
adidaya tersebut. Bahkan, saat terjepit pun, kala Amerika Serikat menginvasi dan
menduduki Irak pada 2003, perjuangan Saddam tak lantas terhenti. Puncaknya,
Saddam merelakan dua putra tercintanya, Uday dan Qusay, meregang nyawa di
ujung senapan para penjajah yang memakai baju prodemokrasi tersebut. Karena
itu, ketika langkah Saddam terhenti, dan dia menjadi tawanan, aroma
nasionalisme tersebut tak serta-merta pudar dari dirinya. Di depan hakim yang
memutuskan vonis hukuman mati untuknya, Saddam tetap garang
menampakkan tantangannya dan memekikkan pesan nasionalisme, "Hidup Irak!"
Bahkan jiwa kepemimpinan tetap melekat kuat pada sosok berkumis tebal itu
walau dalam saat genting. Sadar bahwa keputusan pengadilan tersebut akan
berbuntut panjang dan berakibat buruk pada persatuan dan kesatuan rakyat Irak,
Saddam menitip pesan agar rakyat Irak tidak membalas dendam kepada
penjajah Amerika Serikat, dan meminta rakyat Irak tetap bersatu meski gejolak
kekerasan sektarian terus meningkat.
Menjadi pesakitan
Tanggal 17 Juli 1979 mendapat catatan khusus di setiap warga Irak, karena
pada saat yang bertepatan dengan hari ulang tahun kesebelas pemerintahan
Partai Baath di Irak itu, Saddam Hussein al-Majid al-Tikriti resmi menggantikan
Jenderal Hasan Al-Bakr sebagai Presiden Republik Irak. Bakr mengundurkan diri
karena alasan kesehatan.
Dalam perjalanan kekuasaannya, lelaki yang merasakan kemiskinan pada masa
kecilnya ini menjadikan Irak sebagai negara yang disegani, tidak hanya di
kawasan Timur Tengah, tapi juga di dunia. Walau dikenal sebagai diktator
bertangan besi, Saddam, yang berasal dari golongan minoritas Sunni, mampu
menyatukan Irak yang terdiri atas 60 persen muslim Syiah, yang kebanyakan
berdiam di Irak bagian selatan, 37 persen muslim Sunni, yang mendiami wilayah
tengah Irak, dan etnis Kurdi di utara Irak. Namun, Saddam tetap memperhatikan
kesejahteraan rakyatnya dengan membebaskan biaya pendidikan dan
kesehatan.
Semula, kala terjadi perang Irak-Iran yang berlangsung dalam kurun waktu
delapan tahun, Irak menjadi sekutu Amerika Serikat, yang berkepentingan untuk
menghalau impor revolusi Iran ke berbagai negara Arab. Namun, setelah Irak
menginvasi dan menganeksasi Kuwait pada Agustus 1990, Amerika justru
menjadi pihak terdepan yang menyerang Irak, dibantu negara-negara sekutunya.
Sejak itu, pemerintah Saddam dianggap berbahaya bagi tatanan politik
internasional, dan Amerika berupaya keras menjatuhkan pemerintah Saddam
dengan berbagai cara.
Akhirnya, masa itu tiba. Dengan dalih tuduhan memproduksi senjata pemusnah
massal dan terkait dengan jaringan Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin,
Amerika Serikat menginvasi dan menduduki Irak pada 2003. Tuduhan itu tak
terbukti, tapi Saddam telah dijungkalkan secara paksa dari takhta kekuasaannya
dan menjadi pesakitan di balik jeruji penjara.
Ditentang Amnesty Internasional
Dengan tuduhan kejahatan kemanusiaan, pembunuhan atas 148 warga Syiah di
Desa Dujail pada 1982, Saddam divonis hukuman gantung. Irak terbelah. Warga
Syiah menyambut gembira keputusan tersebut, tapi sebaliknya dengan
penduduk Sunni. Terlepas dari keputusan pengadilan, proses pengadilan
Saddam dinilai tidak adil dan cacat secara hukum.
Sudah menjadi rahasia umum, proses pengadilan Saddam bermuatan politis dan
penuh tekanan dari pemerintah Amerika Serikat. Bahkan keputusan pada Ahad
dua pekan lalu itu dinilai sebagian kalangan sebagai upaya propaganda
pemerintah George Walker Bush untuk menggalang dukungan rakyat Amerika
bagi partainya, Republik, menjelang pemilu Kongres Amerika Serikat, yang jatuh
pada 7 November silam.
Amnesty International menentang hukuman mati untuk Saddam. Lembaga ini
menilai proses pengadilan itu sama sekali tidak netral. Bahkan standar paling
dasar, kata lembaga yang concern dengan masalah hak asasi manusia ini, tidak
terpenuhi, yakni adanya perlindungan keamanan bagi pengacara dan saksisaksi.
Suara serupa dilontarkan Presiden Gerakan Internasional untuk Keadilan Dunia
Chandra Muzaffar. Menurut Chandra Muzaffar, pengadilan Saddam cacat karena
telah melanggar hukum internasional. Sedangkan ahli hukum internasional dari
badan kajian Catham House, Sonya Sceats, menilai pengadilan tidak adil dan
cenderung berpihak, juga tak memenuhi standar hukum Irak dan internasional.
Tekanan politik Amerika terlihat jelas di balik proses pengadilan Saddam.
Terlepas dari bersalah-tidaknya Saddam, mantan penguasa Irak itu pantas
mendapat proses pengadilan yang adil, yang terbebas dari tekanan politis
negara mana pun, termasuk Amerika Serikat. Bahkan, lebih jauh, keputusan
kontroversial ini akan memicu konflik sektarian yang kian panas di negara seluas
434.923 kilometer persegi itu.
Lantas siapa yang diuntungkan? Mungkin semua orang sepakat menunjuk
pemerintah Amerika Serikat di bawah pimpinan George Walker Bush. Setelah
tuduhan soal produksi senjata pemusnah massal dan kaitan Saddam dengan
serangan teroris 11 September 2001 tidak terbukti, perlahan tapi pasti Bush
kehilangan dukungan dari rakyatnya. Terlebih ketika publik dalam negerinya kian
banyak menuntut penarikan mundur pasukan Amerika dari Irak, menyusul
bertambahnya prajurit Amerika yang tewas di Negeri Seribu Satu Malam itu,
Bush memerlukan strategi baru untuk menarik simpati rakyatnya. Bahkan Irak,
yang terbelah dalam perang saudara, bukan mustahil menjadi harapan tersendiri
bagi Bush. Irak yang tidak bersatu jelas lebih mudah dikuasai Amerika, untuk
lebih dalam menancapkan taring-taring keserakahannya.
Tidak berlebihan bila kalangan Sunni mengatakan Bush-lah orang yang pantas
mendapat vonis tersebut dibanding Saddam. Bila Saddam dinilai bersalah
karena pelanggaran hak asasi manusia di dalam negerinya, bagaimana dengan
Bush yang telah banyak mengorbankan nyawa orang tak berdosa di berbagai
belahan dunia, termasuk di Irak, demi ambisi duniawinya? Jika begitu, siapa
sejatinya yang layak disebut sebagai penjahat kemanusiaan?
Namun, kekalahan Bush dalam pemilu sela (midterm election) yang
dilaksanakan baru-baru ini, yang memenangkan Partai Demokrat di parlemen
dan senat, merupakan dampak ketidaksukaan rakyat Amerika terhadap
kepemimpinan George W. Bush yang menginvasi rakyat Irak.
"Jiwa-jiwa orang besar telah diangkat sebagai martir dan kembali kepada
pencipta-Nya. Mereka seperti burung-burung yang suci dalam kemurahan hati
Tuhan. Jika Saddam Hussein memiliki kesempatan untuk mengorbankan anakanak lelakinya selain Uday dan Qusay, Saddam akan mengorbankan mereka
dengan cara mulia yang sama" (doa Saddam Hussein).
Tulisan ini dimuat dalam rubrik opini Koran Tempo
Selasa, 21 November 2006
Download