BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan rempah-rempah dan juga memiliki banyak kepulauan. Tidak heran wilayah Indonesia pada zaman dahulu pernah dijajah oleh Bangsa lain, ini disebabkan karena wilayah Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam nya. Namun sayang sekali Indonesia belum memiliki Sumber Daya Manusia yang dapat mengelola kekayaan alam yang ada di Indonesia dengan baik dan semaksimal mungkin. Indonesia memiliki 17.506 pulau-pulau yang menjadi batas langsung Indonesia dengan Negara tetangga. Berdasarkan hasil survey Base Point atau Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai. Dari 92 pulau terluar ini ada 12 pulau yang harus mendapatkan perhatian serius. Akibatnya wilayah perbatasan yang ada di Indonesia kurang diperhatikan, dan mungkin karena hal tersebut Negara-negara lain mulai berpikir untuk merebut perbatasan yang ada di Indonesia. Salah satu kasus yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah “ Sengketa Internasional Batas Wilayah (Ambalat) Antara Indonesia Dengan Malaysia “ Sebuah Negara tidak akan pernah terlepas dari sebuah permasalahan, begitu juga dengan Negara Indonesia yang tidak pernah terlepas dari masalah. Contohnya permasalahan mengenai perbatasan dengan Negara Malaysia. Masalah sengketa mengenai Blok Ambalat ini dimulai ketika pada 16 Februari 2005 perusahaan minyak Malaysia Petronas memberikan konsesi bagi hasil kepada perusahaan minyak Belanda Shell untuk mengeksplorasi minyak di Laut Sulawesi, yang disebut oleh pihakpihak itu sebagai blok Y dan Z. Sedangkan Indonesia, yang melihat wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan teritorialnya, menyebutnya sebagai Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Klaim Indonesia atas wilayah tersebut ditunjukkan dengan adanya kebijakan pemerintah Indonesia sejak 1966 untuk memberikan konsesi minyak kepada berbagai perusahaan minyak di kawasan timur Kalimantan itu tanpa pernah diprotes oleh pihak Malaysia. Tapi, pada 1979, pemerintah Malaysia mengumumkan peta wilayah berdasarkan interpretasi sepihak yang memasukkan wilayah timur Kalimantan tersebut ke dalam wilayah kedaulatan Malaysia. Ketika itu, peta buatan Malaysia ini diprotes oleh beberapa negara, seperti RRC, Filipina, Thailand, Inggris (mengatas namakan Brunei Darussalam), dan Indonesia,tapi tidak mendapatkan tanggapan dari pihak Malaysia hingga saat ini. Indonesia, yang merasa batas-batas wilayahnya tidak berubah, menegaskan klaim teritorialnya dengan memberikan konsesi selama 30 tahun kepada dua perusahaan minyak Italia, ENI Ambalat Ltd. dan ENI Bukat Ltd., untuk mengeksplorasi minyak di wilayah tersebut dan juga kepada perusahaan AS Unocal untuk melakukan pengeboran sejak 24 Februari 1998. Sementara konflik pada masa Perang Dingin didasari alasan-alasan ideologis, pada era pasca-Perang Dingin alasan-alasan mendasar yang dibungkus dengan alasan ideologis kemudian muncul ke permukaan. Salah satu jenis konflik yang sebenarnya paling primitif dalam peradaban manusia adalah konflik yang muncul karena adanya kompetisi untuk memperebutkan sumber daya yang vital dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup, yang dikenal dengan terminologi "konflik energi" (Michael T. Klare, Foreign Affairs, 80/3, Mei/Juni 2001). Menurut Klare, setidaknya ada tiga jenis konflik energi yang telah berlangsung, yaitu kompetisi untuk memperoleh akses atas sumber daya utama seperti minyak dan gas bumi, friksi atas alokasi air, dan perang internal untuk memperebutkan komoditas yang bernilai tinggi seperti berlian, emas, dan tembaga. Menurut Klare, konsumsi energi global akan mengalami peningkatan kira-kira 2% per tahun. Secara spesifik, berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Energi AS, konsumsi minyak global akan meningkat dari 77 juta barel per hari pada 1999 menjadi 110 juta barel per hari pada 2020. Negara-negara industri baru (newly emerging countries) seperti Brasil dan Malaysia kemungkinan besar akan mencapai tingkat konsumsi dua kali atau bahkan tiga kali lipat dari konsumsi energi sebelumnya. Sementara itu, jumlah sumber daya yang ada secara relatif jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan peningkatan konsumsi dunia secara besarbesaran tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan sumber-sumber alternatif bagi keterbatasan sumber daya alami tersebut. Selain itu, upaya untuk menekan penggunaan sumber daya dilakukan dengan menaikkan tingkat harga. Namun, di sisi lain, kemajuan di bidang teknologi yang menghasilkan penemuanpenemuan baru sering kali justru semakin memperparah tingkat konsumsi sumber daya. Sedangkan penemuan alternatif sumber daya lain belum mencapai tingkat substitusi yang optimal sehingga belum mampu menutupi kebutuhan terhadap sumber daya alami tersebut. Klare mengusulkan suatu pemetaan wilayah-wilayah sumber daya yang berpotensi untuk menjadi wilayah-wilayah konflik di masa depan. Untuk sumber daya minyak dan gas bumi, Klare memasukkan kawasan Teluk Persia, Laut Kaspia, Laut Cina Selatan, serta negara-negara Afrika seperti Aljazair, Angola, Chad, Nigeria, dan Sudan, ditambah Indonesia, Kolombia, dan Venezuela. Wilayah-wilayah ini mencakup empat perlima dari luas wilayah penghasil minyak dan gas bumi di dunia. Konflik kemudian tidak hanya potensial untuk terjadi di wilayah-wilayah sumber daya tersebut, tapi juga di wilayah-wilayah yang merupakan jalur pipa (pipelines) atau jalur lalu lintas bagi kapal-kapal tanker yang mengangkut minyak dan gas bumi. Menurut Klare, selain karena keberadaan sumber daya di wilayah-wilayah tersebut, konflik potensial terjadi karena adanya serangkaian faktor lain, di antaranya sejarah konflik di antara negara-negara di kawasan tempat terletaknya sumber daya itu dan faktor stabilitas politik, baik di dalam negara pemilik maupun di kawasan sumber daya tersebut. Dalam kasus IndonesiaMalaysia, kasus yang paling dekat keterkaitannya dengan konflik Ambalat ini adalah sengketa kepulauan Sipadan-Ligitan, yang berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada 2002 diserahkan kepemilikannya kepada Malaysia. Keputusan ini jelas memberikan trauma tersendiri bagi para elite politik di Indonesia. Bahkan kalangan elite dan sebagian kelompok masyarakat juga mengaitkan kasus Ambalat dengan Konfrontasi Malaysia pada 1963, yang sebenarnya merupakan taktik elite politik Orde Lama untuk mengalihkan fokus masyarakat dari kondisi politik dan ekonomi domestik saat itu yang carut-marut akibat kebijakan mercusuar yang dijalankan pemerintah Soekarno. Hal yang patut dicermati adalah kenyataan bahwa wilayah Indonesia yang saat ini terbelit konflik sosial berkepanjangan (manifes maupun latent) umumnya adalah daerah yang berada dijalur pelayaran internasional, seperti, Bali, Lombok, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Riau, Aceh, Papua dan lain-lain. Kenyataan ini patut diwaspadai karena tak tertutup kemungkinan adanya pihak luar yang bermain di dalam konflik yang terjadi di beberapa daerah ini. Selain itu sebab jika Indonesia gagal mengatasinya, dan konflik yang terjadi berkembang menjadi ancaman bagi keselamatan pelayaran internasional, maka berdasarkan keten-tuan internasional, negara asing diperbolehkan menu-runkan satuan militernya di wilayah itu demi menjaga kepentingan dunia. Dalam rangka pengamanan jalur-jalur strategis tersebut, sejumlah negara maju secara bersama-sama telah membentuk satuan reaksi cepat yang disebut "Stand By High Readness Brigade" (SHIRBRIG) berkekuatan 4000 personil yang selalu siap digerakkan ke suatu target sebagai "muscular peace keeping force." B. Rumusan Masalah 1. Apa yang melatar belakangi terjadinya sengketa internasional? 2. Mengapa Ambalat menjadi daerah rebutan antara Indonesia dengan Malaysia? 3. Bagaimana upaya Pemerintah Republik Indonesia dalam menjaga kedaultan NKRI? C. Tujuan 1. Dapat mengetahui latar belakang terjadinya sengketa internasional 2. Dapat mengetahui alasan Ambalat menjadi daerah rebutan antara Indonesia dengan Malaysia 3. Untuk mengetahui upaya Pemerintah Republik Indonesia dalam menjaga kedaultan NKRI? BAB II PEMBAHASAN A. Latar Belakang Terjadinya Sengketa Internasional Persengketaan bisa terjadi karena: 1. Terjadinya kesalahpahaman tentang suatu hal. 2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan Negara lain. 3. Dua Negara berselisih pendirian tentang suatu hal. 4. Pelanggaran hukum / perjanjian internasional. Sebab timbulnya sengketa internasional yang sangat potensial terjadinya perang terbuka: 1. Segi Politis (adanya pakta pertahanan / pakta perdamaian) Pasca Perang Dunia II (1945) muncul dua kekuatan besar yaitu Blok Barat (NATO pimpinan AS) dan Blok Timur (PAKTA WARSAWA pimpinan Uni Soviet). Mereka bersaing berebut pengaruh di bidang Ideologi, Ekonomi, dan Persenjataan. Akibatnya sering terjadi konflik di berbagai negara, missalnya Krisis Kuba, Perang Korea (Korea Utara didukung Blok Timur dan Korea Selatan didukung Blok Barat), Perang Vietnam dll. 2. Batas Wilayah. Suatu Negara berbatasan dengan wilayah Negara lain. Kadang antar Negara terjadi ketidak sepakatan tentang batas wilayah masing – masing. Misalnya Indonesia dengan Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan (Kalimantan). Sengketa ini diserahkan kepada Mahkamah Internasional dan pada tahun 2003 sengketa itu dimenangkan oleh Malaysia. Dengan runtuhnya Blok Timur dengan ditandai runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 maka AS muncul sebagai kekuatan besar (Negara Adikuasa). Sehingga cenderung membawa dunia dalam tatanan yang bersifat UNIPOLAR artinya AS bertindak sebagai satu – satunya kekuatan yang mengendalikan sebagian besar persoalan di dunia. Akibatnya cenderung muncul sengketa di dunia internasional. Selain terkait dengan kepentingan internasional (baca: negara-negara maju), Indonesia sebenarnya menghadapi beberapa persoalan latent dengan sesama negara anggota Asean. Penyebabnya selain karena perbedaan kepentingan masing negara yang tak dapat dipertemukan, juga karena berbagai sebab lain yang muncul sebagai akibat dinamika sosial politik dimasing- masing negara. Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, mungkin saja bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan aksi terorisme di kawa-san ini. Namun, sikap masing-masing negara tentu akan berbeda dalam soal tenaga kerja illegal, illegal loging, pelanggaran batas wilayah dalam penangkapan ikan, dan sebagainya. Hal yang sama juga bisa terjadi dengan Singapura dalam soal pemberantasan korupsi, penyelundupan dan pencucian uang. Sedangkan dengan Timor Leste masalah pelanggaran hak asasi manusia dimasa lampau dan lalulintas perbatasan kerap masih jadi ganjalan bagi harmonisasi hubungan kedua negara. Mengenai pengendalian pelayaran di kawasan Asia Tenggara, hingga kini Singapura tetap keras menolak usulan Indonesia untuk mengalihkan sebagian lalu lintas pelayaran kapal berukuran besar dari Selat Malaka ke Selat Lombok/Selat Makasar. Padahal jalur pelayaran di selat ini tidak hanya diper-gunakan untuk armada niaga tetapi juga bagi kapal perang. Dan Indonesia tentu ikut terganggu bila kapal-kapal perang dari dua negara yang sedang bertikai berpapasan di perairan Indonesia. Dalam satu dekade terakhir tampak adanya upaya beberapa negara Asean telah melipatgandakan kekuatan militernya. Terutama Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dari beberapa data tampak bahwa dalam aspek persenjataan, Thailand menunjukkan peningkatan yang signifikan diantara negara-negara di Asia Teng-gara. Untuk memperkuat angkatan laut, misalnya negara gajah putih ini telah memiliki kapal perang canggih, dan siap beroperasi hingga sejauh di atas 200-300 mil demi mengamankan kepentingan negaranya. Tentu, termasuk menjaga keselamatan nelayan Thailand yang banyak beroperasi di perairan teritorial Indonesia. Malaysia juga tak ketinggalan menambah armada perangnya. Angkatan Tentara Laut Diraja Malaysia, setidaknya dengan memiliki beberapa freegat dan korvet baru. Dengan penambahan kekuatan, kedua negara tersebut sangat berpeluang jadi mitra negara-negara maju demi mengimbangi Indonesia dalam soal pengamanan kawasan Asia Tenggara. B. Perebutan Blok Ambalat Ada yang mengartikan Ambalat adalah sebagai singkatan dari Ambang Batas Laut. Tapi ternyata dalam wikipedia bahasa Indonesia tidak disebutkan demikian. Itu berarti Ambalat adalah kata tunggal. Lagi pula ada banyak perbatasan laut Indonesia dengan negeri tetangga selain dengan Malaysia seperti Singapura, Thailand, Vietnam dan Filipina. Tapi perbatasan laut itu tidak pernah disebut dengan kata Ambalat. Di Malaysia, rakyat, pemerintah federal dan pihak kerajaan juga memakai kata Ambalat. Malah sering dibumbui dengan kalimat daerah kontroversi yang kaya minyak. Seolah-olah Malaysia ingin mengklaim bahwa negeri itu sudah diterima masuk dalam ’kawasan sengketa’. Yang tidak kita ketahui; apakah kata Ambalat itu sudah didaftarkan sebagai hak paten bahasa atau nama kawasan negeri Jiran? Sehingga suatu saat kelak - kalau sengketa batas negara ini muncul di pengadilan internasional - kita akan ’gelagapan’ lagi seperti pada sidang Pulau Sipadan dan Ligitan. Ada yang mengartikan bahwa Ambalat adalah sebuah pulau yang berpehuni, padahal pengartian dari Ambalat itu sendiri adalah perairan lautan Selat Makassar atau laut Sulawesi sebelah Utara Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan. Ambalat, perairan yang terjepit antara Sulawesi dan Kalimantan itu adalah titik paling didih dalam hubungan Indonesia dengan Malaysia beberapa tahun terakhir. Malaysia sudah mengincarnya sejak 1979. Ketika negeri jiran itu menerbitkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai basis untuk mengukur zona ekonomi eksklusif mereka. Di dalam peta mereka, Ambalat masuk Malaysia. Terang saja pemerintah Indonesia menepis klaim Malaysia. Soalnya, dari riwayata sejarahnya saja Ambalat masuk wilayah Kesultanan Bulungan (Kalimantan Timur) yang kini menjadi bagian dari Indonesia. Membuka lembaran hukum laut internasional atau konvensi hukum laut PBB yang telah dituangkan dalam UU No.17 tahun 1984, ternyata Ambalat juga diakui dunia Internasional sebagai wilayah Indonesia. Anehnya, Malaysia tetap ngotot. Mereka mengirim kapal perangnya untuk patrol di perairan tersebut. Bahkan ada nelayan yang berasal dari Indonesia pada saat melaut ditangkap dan dipukul, juga di usir. Sesungguhnya yang mereka incar bukan hanya keinginan memperluas batas wilayah negara, di sini ada kekayaan alam yang berlimpah di sini. Bahkan menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Manusia di Ambalat ada tambahan kandungan minyak dengan produksi 30.000 - 40.000 barel per hari. Masyarakat kawasan perbatasan sendiri seperti Nunukan, Tarakan dan Bulungan, baru mengetahui ada Ambalat di dekat rumah mereka. Selama ini yang mereka ketahui adalah Karang Unarang, sebuah kawasan prairan yang sering dimasuki kapal militer Malaysia. Para nelayan di utara Kalimantan Timur sudah hafal mana kawasan lintasan untuk perahu motor mereka, yakni kawasan yang lebih dalam. Di sana banyak terdapat ’gusung’ alias gundukan pasir yang ketika air surut akan membuat kandas perahu atau kapal yang terjebak di situ. Ketika ada kapal berbendera Malaysia dan kapal perang militer negeri Jiran itu terlihat memasuki perairan Indonesia di Karang Unarang tersebut, para nelayan umumnya memaklumi karena kemungkinan kapal tersebut menghindari ’gusung’ dan terpaksa meliuk memasuki perairan Indonesia. Nah, pada posisi itulah kemudian muncul ketegangan di Indonesia. Seolah-olah terjadi pelanggaran yang disengaja oleh Tentara Diraja Malaysia. Pemberitaan media massa sering pula meningkatkan tensi kemarahan, sehingga melontarkan kata-kata ’perang’. Dalam setiap perundingan, Malaysia tetap berkeras bahwa Blok Ambalat merupakan bagian dari teritorinya. Bahkan mereka mengirimkan salinan nota diplomatik yang intinya memprotes kehadiran kekuatan TNI di Blok Ambalat. Mengapa Ambalat jadi rebutan? Blok Ambalat dengan luas 15.235 kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun. Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah asset berharga karena di sana diketahui memiliki deposit minyak dan gas yang cukup besar. Kelak, jika tiba waktunya minyak dan gas tersebut bisa dieksploitasi, rakyat di sana juga yang mendapatkan dampaknya. Ambalat memang menjadi wilayah yang disengketakan oleh Malaysia dan Indonesia. Bahkan, pada 2005 sempat terjadi ketegangan di wilayah itu karena Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia sama-sama dalam keadaan siap tempur. Ahli geologi memperkirakan minyak dan gas yang terkandung di Ambalat ini mencapai Rp 4.200 triliun. Pemerintah melihat potensi ini. Dua perusahaan perminyakan raksasa diizinkan beroperasi di perairan Ambalat yang terbagi dalam tiga blok, yaitu East Ambalat, Ambalat, dan Bougainvillea, itu. Yaitu Eni Sp. A dan Chevron Pacific Indonesia. Ambisi teritorial Malaysia tidak hanya dilakukan terhadap Indonesia. Kita tentu ingat Sipadan dan Ligitan yang lepas dari Indonesia hanya karena Malaysia membangun kedua pulau tersebut sedangkan Indonesia yang menjunjung kejujuran dengan tidak membangun wilayah yang dipersengketakan dikalahkan oleh hakim-hakim Mahkamah Internasional. Bukan hanya Sipadan dan Ligitan yang dibangun oleh Malaysia. Kepulauan Spratley yang menjadi sengketa banyak negara (a.l. Malaysia, China, Vietnam, Philipina) juga dibangun oleh Malaysia. Mungkin Malaysia ingin mengulang kisah suksesnya dalam menganeksasi Sipadan dan Ligitan. C. Upaya Pemerintah Indonesia dalam Menjaga Kedaulatan NKRI Di mata Pemerintah Indonesia, Ambalat bukan wilayah sengketa, dan juga tak ada tumpang tindih wilayah. Jika Malaysia masuk, itu artinya upaya perampasan wilayah kedaulatan. Akan tetapi masyarakat perbatasan membutuhkan jawaban dan kepastian. Jangan biarkan mereka hidup dalam kebimbangan. Lantaran itu TNI bersama dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan dan masyarakat sudah bertekad untuk menjaga Ambalat dan Karang Unarang sebagai wilayah teritorial Indonesia. Mereka menancapkan bendera Merah Putih di perairan tersebut, sekaligus juga membiarkan nelayan mendirikan bagang lebih banyak lagi. Betapa istimewanya Ambalat, blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di laut Sulawesi atau Selat Makassar itu, hingga menjadi titik konflik antara dua negara bertetangga ini. Wilayah Ambalat merupakan wilayah yang memiliki potensi ekonomi cukup besar karena memiliki kekayaan alam, berupa sumber daya minyak. Oleh karena itu, wajar jika muncul berbagai kepentingan yang mendasari munculnya masalah persengketaan ini. Bukan saja kepentingan ekonomi, melainkan juga adanya faktor kepentingan politik di antara dua negara. Bagi Malaysia, secara internasional akan merasa "menang" terhadap Indonesia, jika berhasil mengklaim blok Ambalat. Beda lagi bagi Indonesia yang secara politik ingin mempertahankan blok Ambalat, karena dianggap sama dengan mempertahankan kedaulatan bangsa. Diketahui, pada 25 Mei lalu kapal perang milik angkatan laut Malaysia yakni KD Yu3508 ditemukan oleh kapal Indonesia KRI Untung Suropati berada di wilayah Ambalat. KD Yu mengatakan bahwa tujuannya ke Tawau, namun begitu KRI Untung Suropati berhasil mengusirnya. Lalu pada 29 Mei belasan kapal berbendera Malaysia, berhasil terdeteksi pesawat pengintai TNI Angkatan Udara di perairan batas terluar blok Ambalat. Salah satu diantaranya adalah kapal perang patroli Jerong milik Tentara Diraja Malaysia. Ci vis pacem para bellum -yang berarti jika ingin damai, bersiaplah untuk berperangadalah ungkapan klasik untuk menggambarkan suasana hati sebagian rakyat Indonesia dalam melihat sengketa wilayah Ambalat, Kalimantan Timur. Seakan-akan, tidak ada pilihan lain kecuali berperang untuk mempertahankan Blok Ambalat. Sementara itu, diplomasi menjadi pilihan yang tidak populer. Hal itu terbukti dengan maraknya pendirian posko-posko sukarelawan di seluruh wilayah tanah air dengan memanfaatkan retorika Bung Karno pada 1960-an ketika menginginkan konfrontasi dengan negeri jiran, "ganyang Malaysia". Sementara, pemimpin kedua negara masih berusaha mengedepankan dialog dan perundingan dalam menyelesaikan sengketa perbatasan dan pemilikan wilayah Ambalat tersebut. Hal itu bisa dilihat dari statemen kedua pemimpin, baik dari Malaysia maupun Indonesia, tentang perlunya menyelesaikan kasus tersebut dengan cara-cara damai. Pertanyaannya sekarang, di antara dua pilihan tersebut, mana yang lebih tepat dilakukan oleh kedua negara? Penyelesaian melalui jalur diplomasi, tampaknya, akan lebih elegan dalam masa sekarang ini dibandingkan dengan melaui jalur konfrontasi bersenjata. Mengingat zaman telah berubah dan hubungan antarbangsa telah berkembang menuju hubungan yang lebih mengedepankan penghargaan pada martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, perang yang ganas dan keji tidak lagi menjadi pilihan populer sebagai resolusi konflik antarbangsa. Penyelesaian sengketa wilayah Ambalat melalui konfrontasi bersenjata akan merugikan kedua belah pihak, yang tidak saja secara politik sebagai akibat langsung konfrontasi, tetapi juga di bidang ekonomi dan sosial. Secara politik, citra kedua negara akan tercoreng, paling tidak, di antara negara-negara anggota ASEAN. Kedua negara termasuk pelopor berdirinya ASEAN, di mana ASEAN didirikan sebagai sarana resolusi konflik, maka cara-cara penyelesaian konflik yang konfrontatif dapat menjatuhkan citra mereka di ASEAN. Dalam bidang ekonomi, kedua negara akan mengalami kerugian. Kedua belah pihak akan meningkatkan anggarannya untuk biaya berperang, sedangkan biaya itu bisa dialihkan kepada sektor lain. Belum lagi masalah TKI, yang kedua belah pihak sangat berkepentingan. Bagi Indonesia, TKI adalah remittance yang menjadi sumber devisa, sementara ekonomi Malaysia juga bergantung kepada keberadaan TKI. Perputaran ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan yang saling bergantung juga perlu dipertimbangkan. Aspek sosialnya juga tidak sedikit. Pengalaman berkonfrontasi dengan Malaysia pada tahun '60-an telah memberikan pengalaman traumatis bagi sebagian warga Indonesia. Berapa banyak keluarga yang terpisah akibat konfrontasi tersebut. Tidak adanya kompensasi dari akibat konfrontasi, terutama pada masyarakat di perbatasan. Tetapi, keinginan untuk menyelesaikan sengketa itu melalui jalur konfrontasi masih bisa dipahami, paling tidak dalam tiga hal. Pertama, masyarakat Indonesia mengalami pengalaman yang traumatis terhadap gagalnya upaya diplomasi atas perebutan Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia pada 2002. Indonesia dan Malaysia harus secara jelas menyampaikan mana batas wilayah yang diklaim dan apa landasan yuridisnya. Dalam hal ini, Malaysia tampaknya akan menggunakan peta 1979 yang kontroversial itu. Sementara Indonesia mendasarkan klaimnya pada UNCLOS 1982. Jika gagal, maka perlu dilakukan cooling down dan selanjutnya masuk langkah kedua dengan menetapkan wilayah sengketa sebagai status quo dalam kurun waktu tertentu. Pada tahap ini, bisa saja dilakukan eksplorasi di Blok Ambalat sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa saling percaya kedua belah pihak (confidence building measures). Pola ini pernah dijalankan Indonesia-Australia dalam mengelola Celah Timor. Langkah ketiga bisa memanfaatkan organisasi regional sebagai sarana resolusi konflik, misalnya, melalui ASEAN dengan memanfaatkan High Council seperti termaktub dalam Treaty of Amity and Cooperation yang pernah digagas dalam Deklarasi Bali 1976. Malaysia akan enggan menggunakan jalur ini karena takut dikeroyok negara-negara ASEAN lainnya. Sebab, mereka memiliki persoalan perbatasan dengan Malaysia akibat ditetapkannya klaim unilateral Malaysia berdasarkan peta 1979, seperti Filipina, Thailand, dan Singapura. Di samping itu, kedua negara juga bisa memanfaatkan jasa baik (good office) negara yang menjadi ketua ARF (ASEAN Regional Forum) untuk menengahi sengketa ini. Jika langkah ketiga tersebut tidak juga berjalan, masih ada cara lain. Membawa kasus itu ke Mahkamah Internasional (MI) sebagai langkah nonpolitical legal solution. Mungkin, ada keengganan Indonesia untuk membawa kasus tersebut ke MI karena pengalaman pahit atas lepasnya Sipadan dan Ligitan. Tetapi, jika Indonesia mampu menunjukkan bukti yuridis dan fakta-fakta lain yang kuat, peluang untuk memenangkan sengketa itu cukup besar. Pasal-pasal yang ada pada UNCLOS 1982 cukup menguntungkan Indonesia, bukti ilmiah posisi Ambalat yang merupakan kepanjangan alamiah wilayah Kalimantan Timur, bukti sejarah bahwa wilayah itu merupakan bagian dari Kerajaan Bulungan, dan penempatan kapal-kapal patroli TNI-AL adalah modal bangsa Indonesia untuk memenangkan sengketa tersebut. Republik Indonesia adalah Negara kepulauan berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3 wilayahnya berupa lautan. Dari 17.506 pulau tersebut terdapat Pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung Indonesia dengan negara tetangga. Berdasarkan hasil survei Base Point atau Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai. Dari 92 pulau terluar ini ada 12 pulau yang harus mendapatkan perhatian serius. Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga, diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, India, Thailand, Australia, dan Palau. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah penegakan kedaulatan dan hukum di laut, pengelolaan sumber daya alam serta pengembangan ekonomi kelautan suatu negara. Kompleksitas permasalah di laut akan semakin memanas akibat semakin maraknya kegiatan di laut, seperti kegiatan pengiriman barang antar negara yang 90%nya dilakukan dari laut, ditambah lagi dengan isu-isu perbatasan, keamanan, kegiatan ekonomi dan sebagainya. Dapat dibayangkan bahwa penentuan batas laut menjadi sangat penting bagi Indonesia, karena sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah laut. Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar yang terletak di pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Berdasarkan hasil survei Base Point atau titik dasar untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai. Dalam menyikapi gerak langkah Malaysia dalam memperluas wilayahnya Indonesia harus tegas. Kita tidak boleh lagi kehilangan sejengkal pun wilayah kita, apa pun ongkosnya. Terjaganya luas wilayah Indonesia merupakan wujud dari kedaulatan kita sehingga kita harus mempertahankan dengan cara apa pun. Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyelesaikan sengketa perbatasan melalui perundingan. Penyelesaian melalui perundingan tetap dapat dilakukan. Akan tetapi, kita tidak boleh percaya kepada Malaysia. Negara tetangga kita itu pandai mengkomunikasikan pesan damai ke dunia internasional. Padahal, di tataran teknis mereka berbeda sama sekali. Patok-patok perbatasan di Kalimantan selalu digeser. Kayu di hutan kita pun dicurinya. Sayangnya, para pemimpin kita seakan-akan tidak peduli dengan hal-hal tersebut. Upaya untuk mempertahankan wilayah Indonesia merupakan tanggung jawab kita semua. Selama ini kita mungkin memandang bahwa penanggung jawab upaya mempertahankan kedaulatan wilayah RI adalah TNI. Hal tersebut tidak tepat. Kita semua bertanggung jawab untuk membantu negara dalam mempertahankan kedaulatan wilayah RI. Kerja sama dan sinergi antar instansi pemerintah, pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah dengan swasta, dan pemerintah dengan masyarakat harus diperkuat. Agar tidak terjadi konflik berkepanjangan hendaknya pemerintah melalukan : 1. Pemetaan kembali titik-titik perbatasan Indonesia Pemetaan kembali titik-titik perbatasan wilayah Indonesia harus dilakukan. Hasil pemetaan baru tersebut harus dibandingkan dengan pemetaan yang pernah dilakukan sebelumnya. Koordinat titik-titik perbatasan sangat penting untuk kita inventarisir dan dimasukkan dalam sebuah undang-undang mengenai perbatasan wilayah Indonesia. Apabila perlu, daripada konstitusi diubah-ubanh hanya untuk keperluan rebutan kekuasaan, masukkan klausul mengenai titik-titik perbatasan tersebut dalam UUD. 2. Bangun jalan di sepanjang perbatasan darat. Pandangan kita mengenai perbatasan sebagai wilayah terpencil harus kita ubah. Mulai saat ini kita harus memandang perbatasan sebagai wilayah strategis. Strategis untuk mempertahankan wilayah kita. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah yang memiliki wilayah perbatasan darat dengan negara tetangga seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Papua harus memprioritaskan pembangunan prasarana jalan di sepanjang perbatasan. Jalan tersebut dihubungkan ke pusat kota atau pusat pemukiman terdekat. Tujuan pembangunan jalan tersebut adalah untuk merangsang pembangunan kota atau pemukiman baru di dekat perbatasan. 3. Bangun wilayah baru di dekat perbatasan. Setelah di sepanjang perbatasan dibangun jalan yang terhubung ke pusat kota atau pusat pemukiman terdekat, pemerintah daerah diharuskan membangun wilayah baru di dekat perbatasan. Pembangunan untuk perluasan kota yang sudah mapan harus dihambat dan masyarakat dirangsang untuk mengembangkan wilayah baru. Untuk melakukan hal tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menyusun konsep pengembangan wilayah perbatasan secara komprehensif agar wilayah baru yang dibentuk dapat hidup baik secara ekonomi maupun sosial. Selain itu, wilayah baru yang dibangun sebaiknya diarahkan untuk memiliki spesialsisasi. Misalnya, ada blok khusus jeruk Pontianak, blok khusus kebun aren, blok khusus sawah padi, dll. untuk merangsang masuknya investasi bisnis pendukung di sana. 4. Pembangunan pangkalan militer di dekat perbatasan. Saat ini kita melihat gelaran pasukan TNI kita kurang memadai untuk melakukan upaya menjaga perbatasan negara. Gelaran pasukan justru diletakkan di wilayah-wilayah padat penduduk yang sudah terbangun. Gelaran pasukan seperti ini harus diubah. Batalyon-batalyon yang berada di wilayah “aman” dari gangguan luar sepantasnya direlokasi ke wilayah perbatasan. Apalagi, urusan keamanan dan ketertiban saat ini sudah menjadi tanggung jawab kepolisian. 5. Galakkan kembali transmigrasi. Program transmigrasi yang dulu gencar dilaksanakan pada era Orde Baru harus digalakkan kembali. Transmigran diarahkan untuk mendiami wilayah-wilayah baru yang dibentuk di dekat perbatasan. Saya yakin, apabila infrastruktur transportasi dan komunikasi disiapkan, banyak penduduk dari wilayah-wilayah padat yang bersedia bertransmigrasi. 6. Pilih pemimpin yang kuat dan tegas. Pemimpin yang kuat dan tegas sangat penting. Terlepas dari segala kekurangan yang dituduhkan, kita pernah memiliki dua sosok pemimpin yang tegas sehingga dihormati kawan dan disegani lawan. Kedua pemimpin yang kuat dan tegas itu adalah Soekarno dan Soeharto. Pada saat kedua orang itu memimpin, tidak ada yang berani melecehkan negara kita. Akan tetapi, setelah berganti pemimpin, negara kita menjadi bulan-bulanan pelecehan terutama oleh Malaysia dan kadang-kadang Singapura. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga, diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, India, Thailand, Australia, dan Palau. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah penegakan kedaulatan dan hukum di laut, pengelolaan sumber daya alam serta pengembangan ekonomi kelautan suatu negara. Sengketa blok Ambalat antara Indonesia-Malaysia tercatat telah sering terjadi. Terhitung sejak Januari hingga April 2009 saja, TNI AL mencatat kapal Malaysia telah sembilan kali masuk ke wilayah Indonesia. Blok Ambalat dengan luas 15.235 kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun. Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah asset berharga karena di sana diketahui memiliki deposit minyak dan gas yang cukup besar. Kelak, jika tiba waktunya minyak dan gas tersebut bisa dieksploitasi, rakyat di sana juga yang mendapatkan dampaknya. B. Saran Dengan kekayaan yang di miliki Indonesia , diharapkan pemerintah bisa lebih memperhatikan sekali daerah-daerah perbatasan. Jangan sampai Indonesia kehilangan pulau kembali, untuk itu kita sebagai bangsa Indonesia harus siap siaga menjaga wilayah Negara kita baik itu di perbatasan maupun di didaerah perkotaan. Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Dari 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau yang harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Rondo, Berhala, Nipa, Sekatung, Marore, Miangas, Fani, Fanildo, Dana, Batek, Marampit dan Pulau Bras. DAFTAR PUSTAKA Koran tempo : Senin, 14 Maret 2005 Ambalat, Konflik Energi Indonesia-Malaysia Kahar, Jounil, 2004. Penyelesaian Batas Maritim NKRI . Pikiran Rakyat 3 Januari 2004 Tim Redaksi, 2004. Pulau-pulau terluar Indonesia. Buletin DISHIDROS TNI AL edisi 1/ III tahun 2004 http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/ekonomi/shell_ambalat050316-redirected http://www.scribd.com/doc/4407559/KONFLIK-RIMALAYSIA http://geopolitikenergi.wordpress.com/2007/05/09/konflik-ambalat-hanya-menguntungkanpenjajah www.tempo interaktif.com