PENGARUHI NILAI TUKAR DAN SUKU BUNGA ACUAN

advertisement
MODUS Vol.28 (1): 101-116, 2016
ISSN 0852-1875
PENGARUHI NILAI TUKAR DAN SUKU BUNGA ACUAN
TERHADAP NERACA TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA
PERIODE 2005:1 – 2015:1
Pendekatan Error Correction Model
Toni Saputra
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Email: [email protected]
R. Maryatmo
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh nilai tukar
dan suku bunga acuan terhadap neraca transaksi berjalan di Indonesia periode 2005:12015:1. Data yang digunakan merupakan data sekunder. Data sekunder bersumber dari
website Bank Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah Errror Correction Model
(ECM). Selanjutnya analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian.
Penelitian ini menghasilkan dua hal. Pertama, dalam jangka pendek nilai
tukar tidak berpengaruh terhadap neraca transaksi berjalan Indonesia. Dalam jangka
panjang nilai tukar memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap neraca transaksi
berjalan. Kedua, dalam jangka pendek suku bunga acuan tidak berpengaruh terhadap
neraca transaksi berjalan Indonesia. Dalam jangka panjang suku bunga acuan memiliki
pengaruh negatif terhadap neraca transaksi berjalan.
Kata Kunci: neraca transaksi berjalan Indonesia, nilai tukar, suku bunga acuan, Errror
Correction Model
Abstract
This study aims to determine and analyze the effect of exchange rates and interest
rates on current account in Indonesia from 2005: 1 to 2015: 1. The data used is secondary
data. Secondary data is sourced from the website of Bank Indonesia. The analysis tool used
is Errror Correction Model (ECM). Further descriptive analysis is used to explain the
study results.
MODUS Vol. 28 (1), 2016
101
Pengaruhi Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan Terhadap Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia ....
This research resulted in two things. First, in the short term exchange rate has no
effect on the current account in Indonesia. In the long term the exchange rate has a positive
and significant impact on the current account. Second, in the short-term benchmark
interest rate has no effect on the current account in Indonesia. In the long-term benchmark
interest rate has a negative effect on the current account.
Keywords: current account in Indonesia, the exchange rate, the benchmark interest rate,
errror Correction Model
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan sistem perekonomian terbuka. Negara dengan
sistem perekonomian terbuka melakukan kegiatan ekonomi dengan negara lain salah satunya
dengan melakukan transaksi internasional. Negara dengan sistem perekonomian terbuka
sebagian output dijual secara domestik dan sebagian dijual ke luar negeri. Oleh karena itu dalam
perekonomian terbuka pasar keuangan dan pasar barang sangat terkait (Mankiw, 2000).
Model IS-LM (Mundell-Fleming framework) menyatakan ada hubungan keseim-bangan
dalam perekonomian terbuka antara pasar keuangan dan pasar barang. Model IS-LM (MundellFleming framework) juga menyatakan kebijakan moneter memiliki peranan penting saat sebuah
negara menganut sistem kurs mengambang. Selain itu dalam perekonomian terbuka kecil tingkat
bunga negara tersebut akan ditentukan oleh tingkat bunga dunia. Premi resiko juga menyebabkan
perubahan suku bunga dalam negeri dan perubahan nilai tukar yang mempengaruhi transaksi
internasional suatu negara dalam perekonomian terbuka kecil. (Mankiw, 2000).
Seluruh transaksi internasional berupa barang dan jasa tersebut dicatat dalam neraca
pembayaran internasional (Balance of Payments). Neraca pembayaran internasional memberikan
gambaran kondisi perekonomian secara makro, karena berisi tentang seluruh transaksi ekonomi
yang meliputi perdagangan barang atau jasa, transfer keuangan dan transfer moneter antara
penduduk suatu negara dengan negara lain pada suatu periode waktu tertentu (Tambunan,
2011).
Neraca Pembayaran internasional bisa mengalami defisit atau surplus. Neraca pembayaran
defisit terjadi saat jumlah pembayaran atau pengeluaran lebih besar dibanding jumlah
penerimaan atau apabila transaksi kredit lebih kecil dibandingkan dengan transaksi debet.
Penyebab terjadinya defisit neraca pembayaran salah satunya karena defisit neraca transaksi
berjalan.
Surplus transaksi berjalan menunjukkan bahwa ekspor lebih besar dari impor. Negara
mengalami akumulasi kekayaan valuta asing sehingga mempunyai saldo positif dalam investasi
luar negeri. Sedangkan defisit neraca transaksi berjalan menunjukan impor yang lebih besar
dibandingkan ekspor, sehingga terjadi pengurangan investasi di luar negeri. Neraca transaksi
berjalan sangat erat hubungannya dengan penghasilan nasional sebab ekspor dan impor
merupakan komponen penghasilan nasional (Nopirin, 1996).
102
MODUS Vol. 28 (1), 2016
Toni Saputra dan R. Maryatmo
ISSN 0852-1875
Pemerintah mengintervensi untuk membantu menstabilkan neraca transaksi berjalan
melalui kebijakan moneter. Kebijakan moneter berupa tindakan pemerintah (melalui Bank
Indonesia) untuk mempengaruhi situasi makro yang dilaksanakan melalui pasar uang, dengan
cara mempengaruhi kebijakan nilai tukar dan tingkat bunga yang berlaku di pasar uang.
Semenjak tahun 1997 Indonesia sudah tidak lagi menganut sistem nilai tukar tetap.
Pada tanggal 14 Agustus 1997 secara resmi pemerintah Indonesia mengumumkan sistem nilai
tukar yang dianut adalah mengambang bebas (floating exchange rate system). Namun dalam
pelaksanaannya pemerintah tidak membiarkan nilai tukar benar-benar mengambang bebas.
Pemerintah melalui Bank Indonesia masih melakukan intervensi di pasar uang.
Peran Bank Indonesia dalam kebijakan moneter juga semakin penting sejak tahun 2005
menetapkan suku bunga acuan. Kenaikan tingkat suku bunga acuan ini diharapkan diikuti
oleh kenaikan tingkat suku bunga lainnya. Menurut Permana (2014) kenaikan suku bunga
acuan ini diharapkan mampu menciptakan stabilitas nilai tukar dan neraca pembayaran yang
sehat. Naiknya suku bunga acuan akan memicu naiknya suku bunga di dalam negeri yang
diharapkan mampu menahan capital outflow dan menarik capital inflow yang pada akhirnya
akan memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan dan menguatkan nilai tukar rupiah. Sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh Samuelson (1985) bahwa negara yang mengetatkan kebijakan
moneternya cenderung akan menaikan suku bunga domestiknya, dengan mengalirnya modal ke
dalam negeri maka mata uang negera itu akan mengalami apresiasi dengan akibat merosotnya
ekspor neto rill.
Kebijakan suku bunga yang mempengaruhi aliran modal nantinya akan berdampak pada
perubahan nilai tukar rupiah. Nilai tukar yang terapresiasi akan menyebabkan harga ekspor
menjadi lebih tinggi dan sebaliknya saat nilai tukar terdepresiasi maka harga ekspor lebih rendah.
Melalui mekanisme demikian suku bunga dan nilai tukar berfungsi sebagai alat mekanisme
penyesuaian neraca transaksi berjalan yang penting sehingga neraca pembayaran internasional
diharapkan selalu dalam keadaan yang stabil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh suku bunga terhadap neraca transaksi berjalan di Indonesia periode 2005:1 – 2015:1
dan untuk mengetahui pengaruh nilai tukar terhadap transaksi berjalan terhadap nilai tukar di
Indonesia periode 2005:1 – 2015:1.
2. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis
2.1. Neraca Transaksi Berjalan Dalam Sebuah Perekonomian Terbuka
Menurut Tambunan (2001) neraca transaksi berjalan (current account) merupakan bagian
dari neraca pembayaran yang berisi arus pembayaran jangka pendek (mencatat transaksi eksporimpor barang dan jasa), yang meliputi: Ekspor dan impor barang dan jasa. Untuk ekspor barangbarang dan jasa yang dicatat sebagai kredit dan impor barang-barang dan jasa diperlakukan
kembali sebagai debit. Net investment income tingkat bunga dan dividen diperlakukan sebagai
jasa karena merepresentasikan pembayaran untuk penggunaan modal. Net transfer (transfer
unilateral) meliputi bantuan luar negeri, pemberian-pemberian dan pembayaran lain antar
pemerintah dan antar pihak swasta. Net transfer bukan merupakan perdagangan barang dan jasa.
MODUS Vol. 28 (1), 2016
103
Pengaruhi Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan Terhadap Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia ....
Transaksi berjalan dengan kata lain merangkum aliran dana antara satu negara tertentu dengan
seluruh negara lain sebagai akibat dari pembelian barang-barang atau jasa atas asset financial
atau transfer unilateral.
Nopirin (1997) menyatakan bahwa neraca transaksi berjalan mempunyai arti khusus.
Surplus transaksi yang sedang berjalan menunjukkaan bahwa ekspor lebih besar dari impor, ini
berarti bahwa suatu negara mengalami akumulasi kekayaan valuta asing, sehingga mempunyai
saldo positif dalam investasi luar negeri. Sebaliknya defisit dalam neraca transaksi yang sedang
berjalan berarti impor lebih besar dari ekspor, sehingga terjadi pengurangan investasi di luar
negeri. Neraca transaksi yang sedang berjalan dengan demikian sangat erat hubungannya dengan
dengan penghasilan nasional, sebab ekspor dan impor merupakan komponen penghasilan
nasional. Persamaan dari pendapatan nasional dapat dilihat sebagai berikut:
Y=C+I+G+X–M
Di mana Y adalah pendapatan nasional, C untuk pengeluaran konsumsi, I adalah
untuk pengeluaran investasi (swasta), G adalah pengeluaran pemerintah, dan X – M adalah
neraca perdagangan neto. X- M positif berarti (C + I + G) < Y, artinya bahwa suatu negara
menghasilkan lebih banyak dari yang digunakan sehingga kelebihannya dijual di luar negeri. X
- M negatif berarti negara itu pengeluarannya lebih besar dari yang dihasilkan, selanjutnya ini
merupakan penjelasan bahwa neraca transaksi berjalan sangat penting dalam neraca Pembayaran
Internasional.
Krugman (1999) menyatakan pada kenyataanya perdagangan luar negeri suatu negara
jarang seimbang. Selisih antara ekspor barang dan jasa (X) serta impor barang dan jasa (M)
disebut sebagai neraca transaksi berjalan (current account, dengan simbol CA). Persamaannya
dapat ditulis:
CA = X – M
Berdasarkan persamaan diatas neraca transaksi berjalan sebagai catatan selisih ekspor dan
impor yang merupakan pendapatan nasional. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa transaksi
berjalan sama dengan selisih antar pendapatan nasional (Y) dengan pengeluaran penduduk
domestik (C + I + G), sehingga persamaanya sebagai berikut:
Y- (C + I + G ) = CA
Perekonomian tertutup mengasumsikan bahwa tabungan dan investasi harus senantiasa
sama S = I, namun dalam perekonomian terbuka tabungan dan investasi bisa saja berbeda karena
ada suatu perdagangan dengan negara lain. Persamaan mengenai tabungan nasional S = Y – C
– G dan transaksi berjalan maka dapat membuat suatu persamaan:
S - I = CA
104
MODUS Vol. 28 (1), 2016
Toni Saputra dan R. Maryatmo
ISSN 0852-1875
Persamaan diatas menunjukkan bahwa suatu perekonomian terbuka dapat menabung baik
dengan cara menumpuk cadangan modalnya atau dengan menciptakan kekayaan luar negeri
dengan investasi atau melalui pinjaman luar negeri. Dalgin (2013) menyatakan ada hubungan
antara neraca transaksi berjalan pendapatan nasional, investasi dan saving, sehingga persamaan
neraca transaksi berjalan dalam sebuah perekonomian terbuka berdasarkan persamaan di atas
adalah:
CA = Y- (C + I + G) = S – I
2.2. Peranan Suku Bunga dan Nilai Tukar Dalam Sebuah Perekonomian Terbuka
Persamaan S - I = CA telah menjelaskan bahwa suatu Negara yang mengalami defisit
neraca transaksi berjalan bisa menutupnya dengan pinjaman luar negeri. Mankiw (1999),
menjelaskan bahwa asumsi dasar dalam sebuah perekonomian terbuka adalah tingkat bunga
dalam perekonomian terbuka kecil (r) sama dengan tingkat bunga dunia (r*). Perekonomian
terbuka kecil memilki dampak yang kecil terhadap tingkat bunga riil dunia sehingga memilki
dampak yang amat kecil pada tabungan dan investasi dunia. Perekonomian terbuka kecil dengan
demikian menjadikan tingkat bunga dunia sebagi variabel eksogen. Persamaan uraian ini adalah:
NX = S – I
Persamaan ini menunjukan bahwa investasi tergantung pada tingkat bunga riil dunia.
Tingkat bunga yang tinggi membuat beberapa proyek tidak menguntungkan, karena itu neraca
perdagangan (NX) bergantung pada variabel tingkat suku bunga dunia.
Perdagangan internasional yang dilakukan setiap negara mempunyai sebuah mata uang
yang menunjukkan harga barang dan jasa. Krugman (1999) mengatakan bahwa harga suatu
mata uang terhadap mata uang lainnya disebut kurs. Kurs memerankan peranan sentral dalam
perdagangan internasional, karena kurs memungkinkan kita membandingkan harga-harga
segenap barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai negara.
Kurs dibedakan menjadi dua kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal adalah harga relatif
dari dua mata uang negara. Kurs riil merupakan harga relatif dari barang-barang kedua negara.
Kurs riil menyatakan tingkat dimana suatu negara bisa memperdagangkan barang-barang suatu
negara dengan negara lain (terms of trade), sehingga besarnya kurs riil () dihitung berdasarkan
kurs nominal (e) dan tingkat harga di kedua negara dengan perbandingan harga barang domestik
dan luar negeri (P/P*). Persamaanya dapat ditulis sebagai berikut (Mankiw, 2000):
∈ = e x ( P/P*)
Persamaan tersebut menjelaskan bahwa saat kurs riil rendah akan menyebabkan barang
–barang luar negeri relatif mahal dan barang-barang di dalam negeri relatif murah. Kurs riil
tinggi akan menyebabkan barang –barang luar negeri murah dan barang-barang di dalam negeri
relatif mahal. Harga barang-barang domestik yang tinggi akan membuat penduduk cenderung
MODUS Vol. 28 (1), 2016
105
Pengaruhi Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan Terhadap Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia ....
membeli barang impor dan penduduk luar negeri akan sedikit membeli barang ekspor, karena
itu jumlah ekspor bersih akan menurun.
2.3. Model IS-LM Dalam Sebuah Perekonomian Terbuka
John Maynard Keynes (1883-1946) melalui karyanya yang berjudul The General Theory of
Employment, Interest and Money (1936) tidak meyakini adanya mekanisme pasar yang bekerja
secara otomatis atau fleksibel. Keynes berpendapat bahwa Neraca Pembayaran Intenasional
(NPI) tidak secara otomatis mencapai keseimbangan melainkan diperlukan intervensi
pemerintah. Pernyataan dari Keynes sejalan dengan apa yang diteliti oleh Waluyo dan Siswanto
(1998) yang menyatakan bahwa perkembangan kinerja perdagangan internasional Indonesia
selama ini terlihat bahwa nilai tukar masih digunakan sebagai alat oleh otoritas moneter untuk
mendorong ekspor. Hal ini terlihat dengan kebijakan moneter Indonesia melalui Bank Indonesia
mengintervensi kurs rupiah dan suku bunga.
Berdasarkan teori Keynes tersebut terdapat suatu model IS – LM dalam perekonomian
tertututp yang menunjukkan penyebab bergesernya pendapatan agregat. Kurva IS menyatakan
investasi dan tabungan, dan kurva yang menyatakan apa yang terjadi di pasar barang dan jasa.
LM menyatakan apa yang terjadi pada penawaran dan permintaan uang. Suku bunga yang
menghubungkan kedua bagian dari model IS – LM karena mempengaruhi investasi dan
permintaan uang (Mankiw, 2000).
Perkembangan selanjutnya Robert Mundell dan Marcus Fleming pada tahun 1960-an
memperkenalkan suatu model yang merupakan variasi dari model IS-LM untuk ekonomi
yang sudah terbuka yang kemudian model ini dikenal dengan model Mundell-Fleming. Model
Mundell-Fleming merupakan suatu mekanisme transmisi moneter yang mengasumsikan
bahwa negara perekonomian terbuka kecil dengan mobilitas modal sempurna sehingga dapat
meminjam sebanyak yang dibutuhkan di pasar keuangan dunia. Mobilitas modal sempurna
akan membuat tingkat bunga perekonomian ditentukan oleh tingkat bunga dunia dan dan
perilaku perekonomian sesuai dengan kurs yang diadopsi dalam hal ini adalah mengasumsikan
bahwa perekonomian beroperasi pada sistem kurs mengambang (Mankiw, 2000).
Darwanto (2007) melalui penelitiannya mengatakan bahwa Indonesia menerapkan sistem
nilai tukar mengambang bebas (freely floating system) pada Agustus 1997, maka posisi nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing ditentukan oleh mekanisme pasar. Perdagangan dipengaruhi
oleh kebijakan nilai tukar dalam upaya untuk menjaga daya saing ekspor dan menekan impor
untuk mengurangi defisit transaksi berjalan. Berdasarkan kajian literatur tersebut penelitian ini
memiliki dua hipotesis yaitu:
H1 : Ada pengaruh positif antara nilai tukar terhadap neraca transaksi berjalan
Indonesia periode 2005:1 – 2015:1.
H2 : Ada pengaruh positif antara Suku bunga terhadap neraca transaksi berjalan
Indonesia periode 2005:1 – 2015:1.
106
MODUS Vol. 28 (1), 2016
Toni Saputra dan R. Maryatmo
ISSN 0852-1875
3. Metode Penelitian
3.1. Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Teknik pengumpulan yang digunakan dalam
pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara pencatatan data melalui berbagai sumber
berupa data time series. Teknik ini dilakukan dengan melihat data yang ada di Bank Indonesia
meliputi data nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, tingkat suku bunga acuan, dan
neraca transaksi berjalan Indonesia. Periode pengamatan adalah periode 2005:1-2015:1.
3.2. Model Matematis
Secara matematis kaitan variabel dependen dan independen ditulis sebagai berikut:
NTBt = f ( BIRt, KURSt )
+
+
di mana:
NTBt adalah neraca transaksi berjalan sebagai variabel dependen
BIRt adalah suku bunga Bank Indonesia sebagai variabel independen
KURSt adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sebagai variabel independen
3.3. Model Yang Ditaksir
Model yang ditaksir berupa model regresi linier berganda, kemudian uji akar-akar unit, uji
derajat integrasi dan uji kointegrasi.
3.4. Model Dalam Bentuk Regresi Linier Berganda
NTBt = α0 + α1 BIRt +α2 KURSt + µt
di mana :
NTBt adalah variabel dependen
BIRt dan KURSt adalah variabel independen
α0 adalah konstanta
α1 dan α2 adalah koefisien variabel independen
µt adalah error term
3.5. Uji Akar-Akar Unit
Uji akar-akar unit (Unit Roots Test) dilakukan untuk mengetahui stasioneritas data
sebelum melakukan pengujian dengan model ECM. Variabel yang akan digunakan dalam
membuat model adalah variabel NTBt.
MODUS Vol. 28 (1), 2016
107
Pengaruhi Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan Terhadap Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia ....
Data NTBt dikatakan stasioner jika memenuhi tiga kriteria yaitu jika rata-rata dan
variannya konstan sepanjang waktu dan kovarian antara dua data runtut waktu hanya tergantung
dari kelambanan antara dua periode waktu tersebut. (Gujarati, 2003)
Mean
E(NTBt)
= μ
Variance
var(NTBt)
= E(NTBt- μ)2 = σ2 Covariance
γk
=E [(NTBt- μ) (NTBt+1- μ)]
Persamaan diatas menunjukkan bahwa kovarian k pada kelambanan k adalah kovarian
antara nilai NTBt dan NTBt+1. Nilai k = 0 maka 0 merupakan varian dari NTB. Nilai k = 1
maka 1 merupakan kovarian dua nilai NTB yang saling berurutan. Data NTBt adalah stasioner
maka rata-rata varian dan kovarian dari data NTBt+1 harus sama dengan data NTBt.. Deteksi
stasioneritas data NTB dapat dijelaskan melalui model berikut:
NTBt = ρNTBt + µt -1 ≤ ρ ≤ 1
dimana µt merupakan variabel gangguan yang bersifat random, nilai ρ = 1 maka berarti
variabel NTBt mempunyai akar unit (unit root). Data time series yang mempunyai akar unit maka
data tersebut dikatakan bergerak secara random yang berarti data tidak stasioner (Gujarati,
2003). Jika dari hasil uji stasioneritas berdasarkan uji Dickey – Fuller diperoleh data yang belum
stasioner pada data level atau integrasi derajat nol, maka syarat stasionaritas model ekonomi
runtut waktu dapat diperoleh dengan cara differencing data, yaitu mengurangi data tersebut
dengan data periode sebelumnya.
Persamaan tersebut kedua sisinya dikurangi dengan NTBt-1 maka akan menghasilkan
persamaan berikut:
NTBt - NTBt-1 = ρNTBt - NTBt-1 + µt
= (ρ - 1)NTBt-1 + µt
Persamaan diatas dapat ditulis menjadi:
∆NTBt = δNTBt-1 + µt
Di mana δ = (ρ - 1) dan ∆NTBt = NTBt - NTBt-1 atau bisa disebut dengan first difference
dari NTBt.
Persamaan tersebut diestimasi dengan menggunakan hipotesis nol δ = 0 maka ρ = 1
sehingga data NTB mengandung akar unit yang berarti data time series NTB tidak stasioner
maka persamaannya akan menjadi:
∆NTBt = (NTBt - NTBt-1 ) = µt
108
MODUS Vol. 28 (1), 2016
Toni Saputra dan R. Maryatmo
ISSN 0852-1875
µt merupakan variabel ganguan yang mempunyai sifat white noise maka perbedaan atau
first difference dari data time series yang bersifat random walk adalah stasioner. Persamaan model
ECM dalam penelitian ini adalah:
∆NTBt = β0+ β1 ∆BIRt + β2 ∆KURSt + β3ECT+ εt
di mana:
β0 = konstanta
β1, β2 = pengaruh jangka pendek
β3
= koefisien standar adjustment ( 0< β3 <1)
ECT= NTBt-1 – α0 – α1 BIRt-1 – α2 KURSt-1
Persamaan diatas disebut dengan persamaan ECM tingkat pertama karena persamaan
tersebut menyertakan variabel independen dengan kelambanan satu. Nilai (NTBt-1- α0 – α1
BIRt-1 –α2 KURSt-1) menunjukkan besarnya ketidakseimbangan atau sering disebut dengan Error
Correction Term (ECT). Nilai koefisien (β3) biasa disebut dengan koefisien ECT menunjukkan
besarnya penyesuaian dari ketidakseimbangan. Semua koefisien dalam persamaan mencerminkan
hubungan jangka pendek antara variabel independen dengan variabel independen. Dalam
jangka panjang, NTBt = NTBt-1 , BIRt = BIR t-1 , KURSt = KURS t-1, sehingga persamaan hanya
bermakna jika (β3) tidak sama dengan nol. Kriteria pengujian ECM adalah dapat dilihat dari
nilai probabilitas. Apabila nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka signifikan artinya dalam
jangka pendek memiliki hubungan secara positif. Apabila nilai probabilitas lebih besar dari 0,05
maka tidak signifikan artinya dalam jangka pendek memiliki hubungan yang negatif.
4. Analisis Data dan Pembahasan
4.1. Uji Asumsi Klasik
Analisis ini untuk mengetahui ada atau tidak penyimpangan dari asumsi klasik. Uji asumsi
klasik terdiri dari: uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi.
4.2. Uji Multikolinearitas
Berikut adalah hasil uji multikolinearitas dengan metode Correlation Matrix:
Tabel 1
Uji Multikolinearitas metode Correlation Matrix
DNTB
DNTB
ECT (-1)
-0,109050
-0,131639
-0,443292
-0,131639
0,215766
1,000000
0,023451
-0,109050
ECT(-1)
-0,443292
Sumber: Data yang diolah
MODUS Vol. 28 (1), 2016
DBIR
1,000000
DKURS
DBIR
DKURS
1,000000
0,187441
0,215766
0,023451
0,187441
1,000000
109
Pengaruhi Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan Terhadap Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia ....
Berdasar tabel diatas terlihat bahwa koefisien korelasi yang rendah diduga tidak terdapat
multikolinearitas, untuk memastikan maka perlu dilakukan uji klien’s rule of thumb. Nilai
R-Square pada regresi auxiliary 0,079836 < nilai R-Square pada regresi awal 0.211216, maka
tidak terdapat penyakit multikolinsiearitas.
4.3. Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas dengan uji White hasilnya adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Deteksi Heteroskedastisitas Metode White
Heteroskedasticity Test: White
F-statistic
0,585186
Prob. F(3,36)
0,6286
Scaled explained SS
2,026130
Prob. Chi-Square(3)
0,5670
Obs*R-squared
1,859922
Sumber: Data yang diolah
Prob. Chi-Square(3)
0,6020
Nilai probabilitas Obs*R-square sebesar 0.6020>0,05 maka tidak terdapat heteroskedastisitas
dalam model.
4.4. Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi dengan metode Breusch - Godfrey hasilnya adalah sebagai berikut:
Tabel 3
Deteksi Autokorelasi Metode Breusch – Godfrey
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
Obs*R-squared
Sumber: Data yang diolah
0.310725
1.098867
Prob. F(3,33)
Prob. Chi-Square(3)
0.8175
0.7773
Berdasarkan hasil uji autokorelasi nilai probabilitas Obs*R-square sebesar 0,7773 > 0,05
maka tidak terdapat autokorelasi.
110
MODUS Vol. 28 (1), 2016
Toni Saputra dan R. Maryatmo
Dependent Variable: D(NTB)
ISSN 0852-1875
Tabel 4
Hasil Uji ECM
Method: Least Squares
Date: 10/01/15 Time: 20:52
Sample(adjusted): 2005:2 2015:1
Included observations: 40 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
D(KURS)
-0,001261
0,563432
-0,002237
ECT(-1)
-0,404058
0,138285
-2,921924
C
D(BIR)
R-squared
Adjusted
R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson
stat
86,99733
-418,3083
320,8561
523,1299
Prob.
0,271141
0,7878
-0,799626
0,4292
0,9982
0,0060
0,211216
Mean dependent var
1984,211
Akaike info criterion
18,1184
F-statistic
4.93841
0,145484
1,42E+08
-358,3694
2,096435
S.D. dependent var
Schwarz criterion
Prob(F-statistic)
90,9750
2146,48
18,2873
0,03422
Sumber: Data yang diolah
Tabel 4 ini menunjukkan bahwa ECT nilai probabilitas 0,0060 < 0,05. Variabel ECT
menunjukkan hasil signifikan dan negatif berarti bahwa model ECM valid dan terdapat penyesuaian
pada model jangka pendek untuk mencapai keseimbangan jangka panjang. Model ECM yang
sudah terpenuhi dengan demikian model ini dapat digunakan untuk estimasi selanjutnya.
Nilai ECT tersebut dapat dimaknai bahwa proses penyesuaian terhadap ketidakseimbangan
perubahan neraca transaksi berjalan di Indonesia dalam periode 2003:1-2015:1 relatif cepat.
Hal ini ditunjukkan oleh kecilnya nilai ECT. Nilai ECT sebesar -0,404058 menunjukkan
bahwa speed of adjustment atau kecepatan penyesuaian dari ketidakseimbangan jangka pendek
dalam model ECM adalah sebesar 0,404058 dalam setiap adanya ketidakseimbangan sebesar
1%, atau kecepatan penyesuaian dari ketidakseimbangan penuh (100%) dalam jangka pendek
sebesar 40,4%. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa proses penyesuaian neraca transaksi
berjalan Indonesia membutuhkan kurang lebih 2-3 kuartal untuk mencapai keseimbangan
penuh perubahan neraca transaksi berjalan (100%): 40,4% dalam satu periode atau kuartal).
Analisis dalam jangka pendek adalah sebagai berikut:
a. Nilai konstanta sebesar 86,99733 tidak signifikan pada α = 5% ( probabilitas t-hitung
0,7878 > 0,05) hal ini menunjukkan bahwa konstanta tidak perlu dijelaskan.
b. Koefisien nilai tukar (KURS) sebesar -0,001261 tidak signifikan pada α = 5% (probabilitas
t-hitung 0,9982 > 0,05).
MODUS Vol. 28 (1), 2016
111
Pengaruhi Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan Terhadap Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia ....
c. Koefisien Suku bunga acuan (BIR) sebesar -418.3083 tidak signifikan pada α = 5%
(probabilitas t-hitung 0,4292 > 0,05).
Analisa jangka panjang sebagai berikut:
a. Nilai konstanta sebesar -744.3928 tidak signifikan pada α = 5% (Prob t-stat 0,8377 > 0,05)
hal ini menunjukkan bahwa konstanta tidak perlu dijelaskan.
b. Koefisien nilai tukar (KURS) sebesar 0.850438 signifikan pada α = 5% (prob t-stat KURS
= 0,0126 < 0,05). Koefisien variabel KURS positif menunjukkan kenaikan variabel KURS
(yang berarti nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS terdepresiasi) sebesar 1 % akan
mendorong kenaikan surplus neraca transaksi berjalan sebesar sebesar 0,850438 juta dolar.
c. Koefisien Suku bunga acuan (BIR) sebesar -578.3292 signifikan pada α = 5% (prob t-stat
BIR = 0.0201 < 0.05). Koefisien variabel BIR tersebut bersifat berlawanan yang terlihat
pada koefisien GDP sebesar: 578,3292 (negatif ), artinya apabila terjadi kenaikan suku
bunga Bank Indonesia sebesar 1 % akan mendorong penurunan surplus transaksi berjalan
sebesar 578,3292 juta dolar AS.
Uji ini digunakan untuk melihat apakah secara individu variabel independen berpengaruh
terhadap variabel dependen. Pengujian ini dilakukan dengan melihat probabilitas dari tiap
variabel independen dengan tingkat α = 5%.
Variable
Tabel 5
Hasil Uji t
Prob.
C
0.7878
D(BIR)
0.4292
D(KURS)
ECT(-1)
Sumber: Data yang diolah
0.9982
0.006
Hasil uji t dari table 5 diketahui bahwa probabilitas t-hitung ECT(-1) dinyatakan
signifikan. Variabel D(KURS) dan D(BIR) dinyatakan tidak signifikan atau secara individu
tidak berpengaruh terhadap variabel NTB.
4.5. Uji F
Dalam model jangka pendek, hasil uji F menunjukkan nilai F hitung sebesar 4,938414
lebih besar dari nilai F tabel sebesar 3,23 pada tingkat signifikansi 5%. Hal ini berarti bahwa
variabel nilai tukar, suku bunga Bank Indonesia secara bersama-sama berpengaruh signifikan
terhadap variabel neraca transaksi berjalan.
112
MODUS Vol. 28 (1), 2016
Download