Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi

advertisement
Web Publishing
ISSN 2088-7590
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi
JTMGB
Volume 9 Nomor 3 Desember 2015
Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia
Society of Indonesian Petroleum Engineers
JTMGB
Vol. 9
No. 3
Hal. 113-156
Jakarta
Desember 2015
ISSN 2088-7590
Keterangan gambar cover :
EOR dengan Microbial/Biosurfactants
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi
ISSN 0216-6410
JTMGB
Volume 9 Nomor 3 Desember 2015
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi adalah majalah ilmiah diterbitkan setiap kwartal
yang menyajikan hasil penelitian dan kajian sebagai kontribusi para professional ahli teknik
perminyakan indonesia yang tergabung dalam Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia
(IATMI) dalam menyediakan media komunikasi kepada anggota IATMI pada khususnya dan
mensosialisasikan dunia industri minyak dan gas bumi kepada masyarakat luas pada umumnya.
KEPUTUSAN KETUA UMUM IATMI PUSAT
NO: 003/SK/IATMI/III/2015
Penanggung Jawab : Ir. Alfi Rusin
Pemimpin Redaksi
: Ir Raam Krisna
Redaktur Pelaksana : Ir. Andry Halim
Peer Review
: Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar (Enhanced Oil Recovery)
Prof. Dr. Ir. Pudjo Sukarno (Integrated Production System)
Prof. Dr. Ir. Doddy Abdassah, PhD. (Reservoir Engineering)
Dr. Ir. RS Trijana Kartoatmodjo (Production Engineering)
Dr. Ir. Arsegianto (Ekonomi & Regulasi Migas)
Dr. Ir. Bambang Widarsono (Penilaian Formasi)
Dr. Ir. Sudjati Rachmat, DEA (Well Stimulation and Hydraulic
Fracturing)
Dr. Ir. Sudarmoyo, SE, MT (Penilaian Formasi)
Dr. Ir. Ratnayu Sitaresmi (Penilaian Formasi - CBM)
Dr. Ir. Sugiatmo Kasmungin (Reservoir Engineering)
Dr. Ing. Ir. Bonar Tua Halomoan Marbun (Drilling Engineering)
Suryono Adisoemarta, PhD. (Petroleum Engineering)
Senior Editor
: Ir. Junita Musu, M.Sc.
Ir. Ida Prasanti
Ir. Chairatil Asri
Sekretaris
: Ir. Bambang Pudjianto (IATMI)
Layout Design
: Alief Syahru Syaifulloh, S.Kom. (Sekretariat IATMI)
Sirkulasi
: Abdul Manan, A.Md. (Sekretariat IATMI)
Alamat Redaksi: Patra Office Tower Lt.1 Ruang 1-C
Jl. Jendral Gatot Subroto Kav. 32-34
Jakarta 12950 – Indonesia. Tel/Fax: +62-21-5203057
website: http://www.iatmi.or.id email: [email protected]
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi (ISSN 0216-6410)
diterbitkan oleh Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia, Jakarta
Didukung oleh Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi
ISSN 0216-6410
JTMGB
Volume 9 Nomor 3 Desember 2015
DAFTAR ISI
Rembesan Minyak di Sungai Banyumeneng, Demak, Jawa Tengah
Agus Sabar Sabdono dan Denys Candra Hutama ............................................................ 113 - 120
Klasifikasi Rock Type Formasi Tarakan dan Santul, Lapangan Bunyu, Cekungan Tarakan
Achmad Syarif, Asep Hudiman, Mohamad Amin A. Nazar dan Zeppy I. Budiarto ......... 121 - 130
A Comparison of Utilization of Modern Production Data Analysis to Volumetric &
Reservoir Simulation Method in Estimating Hydrocarbon In Place in Alfa-I and Beta-III
Layers in EP Field
Aris Buntoro, Edo Pratama and Eka Andhini ................................................................... 131 - 140
Produksi Biosurfaktan untuk Peningkatan Perolehan Minyak Tahap Lanjut dengan DNA
Rekombinan
Cut Nanda Sari, Usman, Yani Faozani, Leni Herlina, Oni Kristiawan, Safrizal,
Abdul Haris dan Ken Sawitri ............................................................................................ 141 - 148
Optimasi Konsentrasi Chemical Matrix Acidizing pada Batuan Pasir dengan Menggunakan
Core Sintetik
Antonius Dwiyanto dan Muhammad Arham Nur ............................................................. 149 - 156
KATA PENGANTAR
JTMGB Edisi Desember 2015
Para Pembaca JTMGB yang budiman,
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya kami kembali
bisa menjumpai para pembaca dengan aneka materi bacaan ilmiah yang tersaji dalam Majalah Ilmiah
JTMGB Volume 9 Nomor 3 Edisi Desember 2015.
Majalah ilmiah JTMGB Edisi Desember 2015 hadir dengan 5 (lima) tulisan menarik untuk para
pembaca setia JTMGB. Diantaranya adalah tulisan terkait bidang geologi yang membahas Rembesan
minyak di sungai Banyumeneng dari struktur geologi sesar naik yang menjadi jalur migrasi minyak
menuju ke permukaan karena tekanan yang lebih rendah, dimana ditemukan 5 spot rembesan minyak,
2 diantaranya masih aktif mengeluarkan gas.
Dari aspek petrofisik membahas pengelompokan/pembagian klasifikasi rock type formasi Tarakan
dan Santul menggunakan persamaan Winland yang memformulasikan hubungan antara porositas,
permeabilitas, pore throat radius batuan (R35) terhadap profil tekanan kapiler (Pc) injeksi merkuri.
Di bidang Reservoir mengulas optimasi konsentrasi Chemical Matrix Acidizing pada batuan
pasir dengan menggunakan core sintetik, merupakan metode stimulasi yang bisa dilakukan untuk
memperbaiki permeabilitas di area sekitar lubang sumur yang mengalami kerusakan sehingga
produksi dari sumur tersebut mengalami peningkatan.
EOR mengulas 2 tulisan yaitu produksi Biosurfaktan untuk peningkatan perolehan minyak tahap
lanjut dengan DNA Rekombinan yang membahas produksi biosurfaktan peptida menggunakan teknik
DNA rekombinan dimana metode ini memungkinkan produksi surfaktan dalam jumlah besar dengan
harga lebih murah.
Penerapan enhanced oil recovery, pembaca dapat menemukan pada artikel yang menyajikan tulisan
tentang komparasi injektivitas CO2 dibawah MMP dan diatas MMP pada lapangan “G”, metode
miscible injection, yaitu injeksi fluida yang akan bercampur, namun metode ini kurang popular
dilakukan di Indonesia karena kondisi reservoir di Indonesia pada umumnya bertekanan rendah
jauh dibawah MMP karbon dioksida/. Metode yang umum di Indonesia adalah immiscible injection,
yaitu karbon dioksida diinjeksikan sebagai pendorong fluida reservoir tanpa harus bercampur secara
kimiawi.
Kami berharap edisi JTMGB Desember 2015 ini dapat melengkapi referensi para pembaca. Selamat
membaca dan mudah-mudahan memberikan manfaat untuk kita semua.
Selamat Tahun Baru 1.1.2016, semoga di tahun 2016, semuanya akan jauh lebih baik.
(Alfi Rusin)
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi
ISSN 0216-6410
Date of issue: 2016-01-28
The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
Agus Sabar Sabdono (Teknik Geologi UNDIP)
Denys Candra Hutama (Teknik Geologi UNDIP)
Rembesan Minyak di Sungai Banyumeneng, Demak,
Jawa Tengah
Oil Seepage at Banyumeneng river, Demak, Middle of
Java
JTMGB. Desember 2015, Vol. 9 No. 3, p 113-120
Penelitian ini dilakukan di Sungai Banyumeneng
yang berada pada bagian tenggara dari Kota Semarang,
kawasan ini merupakan satuan Formasi Kerek (Tmk)
yang berumur Miosen Tengah atau sekitar 11-17 juta
tahun yang lalu. Lithologi yang dijumpai berupa napal,
batupasir dengan ukuran butir sedang-sangat kasar
(1/4-2mm) dan batugamping. Pada singkapan ini juga
dijumpai struktur geologi sesar naik dengan nilai strike/
dip N 2260E/500. Struktur sesar inilah yang menjadi
jalur migrasi minyak menuju ke permukaan karena
tekanan yang lebih rendah. Dari lokasi ini ditemukan 5
spot rembesan minyak yang 2 di antaranya masih aktif
mengeluarkan gas. Dari hasil measuring stratigraphy
didapatkan dominasi batugamping dengan ketebalan
berkisar antara 1-2,5 m dengan pola pengendapan
coarsening upward dikarenakan perselingan antara
batulanau, batupasir dan batugamping menunjukan
gradasi ukuran butir yang semakin mengasar. Struktur
sedimen yang ditemukan berupa laminasi, claycast,
slump dan crossbed yang mengindikasikan lingkungan
pengendapan laut tepatnya continental slope.
Kata Kunci: Banyumeneng, sesar naik, rembesan
minyak.
Achmad Syarif (Pertamina EP Asset 5)
Asep Hudiman (Pertamina EP Asset 5)
Mohamad Amin A. Nazar (Pertamina EP Asset 5)
Zeppy I. Budiarto (Pertamina EP Asset 5)
Klasifikasi Rock Type Formasi Tarakan dan Santul,
Lapangan Bunyu, Cekungan Tarakan
Rock Type Clasification Of Tarakan And Santul
Formation, Bunyu Field, Tarakan Basin
JTMGB. Desember 2015, Vol. 9 No. 3, p 121-130
Rock type adalah unit batuan yang terbentuk
atau terendapkan pada kondisi yang serupa serta
mengalami proses diagenesa serupa yang menghasilkan
hubungan yang unik dalam hal porositas-permeabilitas
serta profil tekanan kapiler (Pc) terhadap saturasi air (Sw).
Berdasarkan definisi tersebut maka pengelompokkan
batuan menjadi suatu rock type hendaknya berdasarkan
pada pendefinisian fasies atau litofasies yang dikaitkan
dengan karakter petrofisikanya.
Salah satu metode yang umum dipakai dalam
pembagian rock type adalah menggunakan persamaan
Winland yang memformulasikan hubungan antara
porositas, permeabilitas, pore throat radius batuan (R35)
terhadap profil tekanan kapiler (Pc) injeksi merkuri.
Berdasarkan persamaan ini maka satu kisaran nilai R35
akan mewakili satu unit rock type tertentu.
Lapangan Bunyu adalah salah satu struktur
yang terletak di Cekungan Tarakan yang memiliki
reservoir batupasir Formasi Tarakan, Formasi Santul
dan Formasi Tabul yang diendapkan pada lingkungan
pengendapan delta. Berdasarkan tujuh data full core
yang ada, telah diidentifikasi lima litofasies yang dibagi
berdasarkan kesamaan sifat fisik batuan, tekstur, struktur,
komposisi dan diagenesa. Analisa terhadap kisaran nilai
R35 dari sampel core plug menunjukkan hubungan yang
cukup konsisten antara rock type terhadap litofasiesnya.
Persamaan hubungan antara porositas-permeabilitas,
tekanan kapiler-saturasi air selanjutnya dihitung untuk
masing-masing rock type-nya.
Kata Kunci: Litofasies, Rock Type.
Aris Buntoro (Petroleum Engineering UPN “Veteran”)
Edo Pratama (Petroleum Engineering UPN “Veteran”)
Eka Andhini (Petroleum Engineering UPN “Veteran”)
A Comparison of Utilization of Modern Production
Data Analysis to Volumetric & Reservoir Simulation
Method in Estimating Hydrocarbon In Place in Alfa-I
and Beta-III Layers in EP Field
Perbandingan
Penggunaan
Metode
Modern
Production Data Analysis terhadap Metode
Volumetrik dan Simulasi Reservoir dalam Perkiraan
Cadangan Hidrokarbon pada Lapisan Alfa-I dan
Beta-III di Lapangan EP
JTMGB. Desember 2015, Vol. 9 No. 3, p 131-140
Cut Nanda Sari (R&D Oil & Gas “LEMIGAS”)
Usman (R&D Oil & Gas “LEMIGAS”)
Yani Faozani (R&D Oil & Gas “LEMIGAS”)
Leni Herlina (R&D Oil & Gas “LEMIGAS”)
Oni Kristiawan (R&D Oil & Gas “LEMIGAS”)
Safrizal (R&D Oil & Gas “LEMIGAS”)
Abdul Haris (R&D Oil & Gas “LEMIGAS”)
Ken Sawitri (R&D Oil & Gas “LEMIGAS”)
Produksi Biosurfaktan untuk Peningkatan Perolehan
Minyak Tahap Lanjut dengan DNA Rekombinan
Production of Biosurfactant for Enhanced Oil
Recovery by Recombinant DNA
JTMGB. Desember 2015, Vol. 9 No. 3, p 141-148
Alfa and Beta Layers are oil and gas productive
layers located on EP Field. According to volumetric
method, Alfa-I Layer has Original Oil In Place (OOIP)
about 8.28 MMSTB and Beta-III Layer has Original Gas
In Place (OGIP) about 9.96 Bscf. Reservoir simulation
is conducted to update the reserves for plan of further
development strategy. According to simulation results,
Alfa-I Layer has OOIP about 7.75 MMSTB and Beta-III
Layer has OGIP about 9.81 Bscf.
An integrated method is applied for estimating
hydrocarbon in place of Alfa-I and Beta-III Layers in
addition also can be estimating reservoir characteristics.
This method is called by Modern Production Data
Analysis, is a method to evaluate the reservoir using
combined rate and pressure data without the need to shut
in wells. This study aims to apply modern production data
analysis by an approach of type curves such Fetkovich,
Blasingame, Agarwal-Gardner, and Normalized Pressure
Integral type curves and flowing material balance
method integrated with volumetric method and reservoir
simulation.
From the results, Alfa-I Layer has OOIP around
8.59-9.59 MMSTB and Beta-III Layer has OGIP around
5.69-9.01 Bscf according to type curve and flowing
material balance methods. And reservoir characteristics of
Alfa-I Layer which including permeability around 7.928.97 mD and skin factor around 0.07-0.27, while Beta-III
Layer has permeability around 5.43-6.70 mD and skin
factor around 0.11-6.94 according to type curve methods.
Surfaktan untuk peningkatan poduksi minyak tahap
lanjut yang banyak digunakan saat ini dalam industri
perminyakan dihasilkan dari sintesis petrokimia.
Dengan pendekatan nanobioteknologi, molekul dengan
sifat surfaktan dapat direkayasa dari unsur-unsur
molekul hayati sebagai alternatif surfaktan sintetis
produk petrokimia. Dalam penelitian sebelumnya telah
dihasilkan surfaktan peptida yang memiliki potensi
sebagai alternatif surfaktan konvensional surfaktan
untuk peningkatan produksi minyak tahap lanjut.
Makalah ini membahas produksi biosurfaktan peptida
menggunakan teknik DNA rekombinan. Metode ini
memungkinkan produksi surfaktan dalam jumlah
besar dengan harga lebih murah. Dengan bakteri inang
Eschericia Coli dan metode purifikasi kromatografi
kolom cair yang selektif mengikat protein target
berdasar tag yang disisipkan, biaya produksi 1 liter
surfaktan peptida dengan konsentrasi 5 µM sebesar Rp.
45.450, lebih rendah 1/50 – 1/60 dari produksi sintesis
kimia.
Keywords: Volumetric method, Reservoir simulation,
Modern production data analysis.
Kata Kunci: biosurfaktan, pengurasan minyak tahap
lanjut, DNA rekombinan, bakteri inang.
Antonius Dwiyanto (Pertamina EP Asset 2)
Muhammad Arham Nur (Pertamina EP Asset 2)
Optimasi Konsentrasi Chemical Matrix Acidizing
pada Batuan Pasir dengan Menggunakan Core
Sintetik
Optimal Chemical Matrix Acidizing Concentration at
Sandstone by Using Synthetic Cores
JTMGB. Desember 2015, Vol. 9 No. 3, p 149-156
Lumpur pemboran jenis water base mud merupakan
lumpur pemboran yang umum digunakan di lapangan
minyak di dunia. Lumpur pemboran selain berfungsi
untuk menahan tekanan formasi saat pemboran
berlangsung, juga berfungsi untuk mengurangi resiko
terjepitnya pipa pemboran oleh cutting pemboran yang
tidak dapat terangkat dengan baik ke permukaan. Invasi
lumpur pemboran ke dalam area di sekitar lubang sumur
sering terjadi, invasi ini bisa mengakibatkan terbentuknya
skin positif akibat terjadinya penurunan permeabilitas
di area sekitar lubang sumur sehingga mengakibatkan
kemampuan sumur untuk mengalirkan fluida berkurang.
Acidizing merupakan suatu metode stimulasi
yang bisa dilakukan untuk memperbaiki permeabilitas
di area sekitar lubang sumur yang mengalami kerusakan
sehingga produksi dari sumur tersebut mengalami
peningkatan.
Pemilihan konsentrasi chemical acidizing
yang optimal dapat dilakukan dengan cara
mensimulasikannya di core sintetik yang identik.
Acidizing batuan pasir di laboratorium dengan
menggunakan campuran HCl 15% + HF 5% telah
menyebabkan perbaikan kemampuan alir batuan
menjadi dua kali dari sebelum di acidizing. Perbaikan
ini menyebabkan kenaikan produksi sumur tersebut.
Kata Kunci: acidizing, water base mud, core sintetik.
Rembesan Minyak di Sungai Banyumeneng, Demak, Jawa Tengah
Oil Seepage at Banyumeneng river, Demak, Middle of Java
Agus Sabar Sabdono1 dan Denys Candra Hutama2
Program Studi Teknik Geologi Universitas Diponegoro Semarang
[email protected]; [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilakukan di Sungai Banyumeneng yang berada pada bagian tenggara dari Kota
Semarang, kawasan ini merupakan satuan Formasi Kerek (Tmk) yang berumur Miosen Tengah atau sekitar
11-17 juta tahun yang lalu. Lithologi yang dijumpai berupa napal, batupasir dengan ukuran butir sedangsangat kasar (1/4-2mm) dan batugamping. Pada singkapan ini juga dijumpai struktur geologi sesar naik
dengan nilai strike/dip N 2260E/500. Struktur sesar inilah yang menjadi jalur migrasi minyak menuju ke
permukaan karena tekanan yang lebih rendah. Dari lokasi ini ditemukan 5 spot rembesan minyak yang
2 di antaranya masih aktif mengeluarkan gas. Dari hasil measuring stratigraphy didapatkan dominasi
batugamping dengan ketebalan berkisar antara 1-2,5 m dengan pola pengendapan coarsening upward
dikarenakan perselingan antara batulanau, batupasir dan batugamping menunjukan gradasi ukuran butir
yang semakin mengasar. Struktur sedimen yang ditemukan berupa laminasi, claycast, slump dan crossbed
yang mengindikasikan lingkungan pengendapan laut tepatnya continental slope.
Kata kunci: Banyumeneng, sesar naik, rembesan minyak.
Abstract
This research was conducted in Banyumeneng River located on the southeastern of the Semarang
city. This area is part of Kerek formation (Tmk) in Middle Miocene Epoch or about 11-17 million years ago.
Lithology is encountered in the form of napal, sandstone with grain size is medium-very coarse(1/4-2mm)
and limestones. In this outcrop also found geology structure that is fault which up to the value of the strike /
dip is N 2260E / 500. Fault structure that is the migration path towards the oil to the surface because of the
lower pressure. From this location 5 spot oil seepage found that 2 of them are still active out of gas. From the
results obtained from measuring stratigraphy, dominated by limestones with a thickness ranging from 1-2.5
meters with depositional patterns due to the coarsening upward. It can happen because interbedded siltstone,
sandstone and limestone beds shows grain size gradation that coarser. Sedimentary structures is found in the
form of laminated, claycast, crossbed, slump that indicates marine depositional environment rather continental
slope facies.
Keywords : banyumeneng, reverse fault, oil seepage.
PENDAHULUAN
Sekarang keberadaan energi merupakan
hal yang penting dan tidak bisa dilepaskan
dari kehidupan manusia. Kondisi sumberdaya
energi yang semakin berkurang sedangkan
populasi penduduk terus mengalami peningkatan
mengakibatkan kelangkaan energi yang terjadi
seperti sekarang ini. Tidak bisa dipungkiri
lagi, bahwa minyak bumi merupakan energi
utama yang berperan penting dalam menopang
keberlangsungan kegiatan industri baik dalam
skala kecil ataupun besar. Untuk mengatasi
masalah ini harus dilakukan penghematan dalam
penggunaan energi, mencari sumber energi
alternatif serta melakukan kegiatan eksplorasi
untuk menemukan cadangan minyak dan gas bumi
yang baru. Pada dasarnya sumber energi dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu energi konvensional
dan unkonvensional. Energi konvensional
merupakan sumber energi yang jika habis tidak
dapat diperbaharui lagi seperti minyak bumi,
batubara dan mineral logam lainnya, sedangkan
energi unkonvensional merupakan sumber energi
113
114
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 113-120
yang dapat diperbaharui seperti matahari, air,
angin dan biogas.
Kegiatan eksplorasi merupakan suatu
kegiatan untuk menemukan sumber energi yang
dapat dijadikan cadangan. Sesuai dengan data
yang dikeluarkan dari SKK Migas bahwa dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir ini kegiatan ekplorasi
migas di indonesia mengalami penurunan. Hal
ini disebabkan karena resiko yang sangat besar
sehingga merugikan pihak perusahaan. Daerah
target merupakan tempat yang sangat terpencil
sehingga sulit untuk diakses serta mengingat
ketersediaan sarana dan prasarana untuk
menunjang kegiatan eksplorasi. Peran geologist
dan geopyhsics sangat diperhitungkan dimana
survey geofisika yang dilakukan oleh geopyhsics
yang hasilnya akan dianalisis oleh geologist untuk
mengetahui gambaran bawah permukaan apakah
dengan kondisi yang demikian memungkinkan
terdapat minyak, melihat dari struktur batuan
yang ada seperti source rock, reservoir rock, trap,
migrasi dan caprock.
Daerah
Banyumeneng,
Kabupaten
Demak berada di sebelah tenggara kota Semarang
yang di sebelah utara berbatasan dengan Desa
Kebonbatur, di sebelah selatan berbatasan dengan
desa Kawengen, di sebelah timur berbatasan
dengan desa Sumberejo dan di sebelah barat
berbatasan dengan desa Kalikayen. Secara geologi
regional, Banyumeneng memiliki morfologi
berupa perbukitan bergelombang miring (van
Bemmelen, 1962). Banyumeneng termasuk
kedalam Zona Kendeng dan Formasi Kerek yang
berumur Miosen Tengah (11-17 juta tahun lalu)
yang memiliki satuan lithologi berupa batupasir,
batulanau dan batugamping. Sedangkan pada
Zona Kendeng terbentuk antiklinorium akibat
deformasi kompresi berarah relatif utara-selatan
pada kala Plio-Plistosen yang juga mengkibatkan
terjadinya patahan di daerah ini.
PERMASALAHAN
Sungai Banyumeneng merupakan sungai
utama yang berada di Kabupaten Demak dengan
lebar sungai sekitar 15 m. Pembentukan sungai
ini sangat dipengaruhi oleh proses tektonik, hal
ini dicirikan dengan banyaknya struktur-struktur
geologi yang terbentuk akibat deformasi. Pada
bagian tepi sungai dibatasi oleh perbukitan
yang didominasi oleh vegetasi berupa pohon
bambu, jati, ilalang dan semak belukar. Sungai
ini memiliki peranan penting bagi warga sekitar
disamping digunakan sebagai irigasi juga
digunakan untuk mandi bagi sebagian warga
masyarakat ketika mendapati sumur mereka
kering akibat musim kemarau. Ditinjau dari
aspek pendidikan kawasan ini digunakan sebagai
objek studi geologi. Sebenarnya banyak sekali
yang bisa dipelajari dari lokasi ini, namun pada
kesempatan kali ini penulis akan memberikan
ulasan hasil penelitian kami yang berhubungan
dengan dunia migas, karena ditemukan beberapa
spot rembesan minyak [Gambar 1 dan 2]. Proses
terbentuk dan pengaruh kondisi geologi sungai
Banyumeneng dan regional menjadi bahan yang
akan dibahas dalam penelitian.
METODOLOGI
Data yang didapatkan dalam paper ini
merupakan data yang diambil langsung pada saat
survey lapangan yang kemudian dikembangkan
melalui analisis dari buku-buku dan literatur yang
berkaitan dengan kondisi geologi, minyak dan
gas bumi, petrologi dan sedimentologi stratigrafi.
HASIL DAN ANALISIS
Data yang didapatkan dari survey
lapangan berupa hasil observasi secara petrologi,
struktur geologi dan measuring stratigraphy.
Satuan lithologi yang menjadi penyusun daerah
Banyumeneng yaitu satuan lithologi batupasir,
satuan lithologi batulanau (napal) dan satuan
lithologi batugamping. Satuan lithologi batupasir
ini memiliki ukuran butir sedang-sangat kasar
(1/2-2 mm), sortasi baik, kemas tertutup,
roundness rounded, dan semennya karbonatan.
Sedangkan batulanau memiliki ukuran 1/161/256 mm dengan sortasi sangat baik, kemas
tertutup dan semennya karbonatan. Batugamping
memiliki ukuran 1/8-1/4 mm, sortasi buruk,
kemas terbuka dan roundness angular. Struktur
satuan lithologi ini berupa perlapisan dan
kedudukannya perulangan perselingan dengan
nilai strike/dip N 1400E/550.
Struktur geologi yang ada di lapangan
berupa kekar, sesar geser sinistral dan sesar
naik. Kekar terbentuk akibat adanya gaya
endogen tetapi belum mengakibatkan lapisan
batuan bergeser. Sesar terbentuk akibat adanya
Rembesan Minyak di Sungai Banyumeneng, Demak, Jawa Tengah
(Agus Sabar Sabdono dan Denys Candra Hutama)
deformasi sehingga menyebabkan lapisan batuan
menjadi bergeser [Gambar 3]. Sesar geser sinistral
terbentuk pada satuan lithologi batugamping dan
batulanau [Gambar 4]. Sedangkan struktur sesar
naik dicirikan dengan hangingwall-nya berada
diatas footwall-nya. Struktur sesar ini menjadi
faktor penting terbentuknya rembesan minyak
di permukaan, karena rembesan dapat keluar
melalui rekahan-rekahan yang terbentuk akibat
proses tektonisme regional.
Measuring
stratigraphy
dilakukan
sepanjang 26 meter dengan metode rentang tali.
Metode ini dilakukan dengan merentangkan tali
sepanjang lapisan batuan yang berupa perlapisan
dimana harus tegak lurus dengan jurus perlapisan
batuan. Metode ini bertujuan untuk mencari
ketebalan sebenarnya dari lapisan batuan dan
menentukan umur serta urutan lapisan batuan
di daerah survey. Didapatkan hasil berupa nilai
strike/dip batuan N 1400E/550 dengan lapisan
batugamping dan batulanau yang cukup tebal dan
batupasir yang menyisip [Gambar 5]. Struktur
sedimen yang ditemukan yaitu crossbed laminasi
dan claycast. Pola pengendapan mengkasar keatas
(coarsening upward) dan kedudukan lapisan
batuan yang berupa perulangan perselingan
serta terdapat bidang erosional menunjukkan
adanya proses pengendapan dari arah darat dan
laut. Proses transportasi material sedimen yaitu
turbidit ditandai dengan adanya struktur sedimen
claycast dan slump akibat adanya slope. Material
ini membawa kandungan karbonat yang tinggi
sehingga menyebabkan lithologi di daerah
survey mengandung unsur CaCO3 (karbonatan).
Sehingga material ini terendapkan di lingkungan
pengendapan laut yaitu fasies Continental Slope.
PEMBAHASAN
Berdasarkan pada hasil survey di lapangan
didapatkan lithologi batupasir dengan struktur
laminasi, ukuran butir pasir sedang-pasir sangat
kasar (1/4-2 mm ), bentuk butir subroundedrounded, sortasi baik dan kemas tertutup
serta memiliki struktur cross-bedding, ripple,
perlapisan dengan semen karbonatan ketebalan
berkisar 0,1-2,34 m, batulanau juga memiliki
semen karbonatan dengan ketebalan berkisar 0,30,9 m dan batugamping dengan ketebalan 0,582,67 m yang banyak dijumpai fosil-fosil moluska
dan brachiopoda. Dari measuring stratigraphy
115
yang dilakukan sepanjang 26 meter didapatkan
perselingan batupasir, batugamping dan batulanau
dimana batulanau dan batugamping lebih dominan
dibanding batupasir. Pola pengendapannya adalah
coarsening upward atau mengkasar ke atas. Hal
ini menunjukkan adanya suatu peristiwa geologi
yaitu proses pengendapan yang berasal dari dua
arah dimana supply of sediment dari darat lebih
besar daripada laut yang menyebabkan urutan
stratigrafi berupa perselingan. Dengan ditemukan
struktur sedimen seperti claycast, laminasi dan
crossbed juga menandakan bahwa adanya supply
of sediment dari 2 arah dan disertai dengan
proses longsoran karena pengaruh slope ataupun
pengaruh aktivitas tektonisme dimana daerah
Banyumeneng yang termasuk Formasi Kerek
dan Zona Kendeng mengalami proses deformasi
sangat aktif pada Kala Pliosen.
Struktur geologi dibedakan menjadi
2 yaitu struktur primer dan struktur sekunder,
struktur primer merupakan struktur yang
terbentuk bersamaan dengan pembentukan
batuan itu sendiri, contohnya perlapisan
dan laminasi. Sedangkan struktur sekunder
merupakan struktur yang terbentuk setelah
batuan ada contohnya kekar, sesar dan lipatan. Di
lokasi survey ditemukan struktur geologi berupa
kekar, sesar geser sinistral dan sesar naik. Kekar
yang ditemukan berupa kekar gerus yang berada
di tepian sungai, serta kekar tarik yang berada
di tebing [Gambar 6]. Kekar gerus merupakan
kekar yang saling berpasangan membentuk huruf
X, dimana pada daerah ini cenderung berarah
utara-selatan atau dikenal dengan pola meratus.
Kekar tarik sendiri terbentuk karena adanya gaya
yang mendorong batuan untuk bergerak saling
menjauhi, sehingga terbentuk alur seperti garis
pada batuan.
Rembesan minyak (oil seepage) di sungai
Banyumeneng ini ditunjukkan dengan gelembung
gas. Rembesan ini keluar bersama sama dengan
air. Rembesan dipengaruhi oleh kontrol tektonik
dan stratigrafi regional [Gambar 7]. Dengan
stratigrafi batupasir, batulanau dan batugamping
dan adanya perselingan serta bidang erosional
menandakan adanya pengendapan yang berbeda
waktu. Pengendapan batugamping relatif lebih
muda dibanding pengendapan batupasir dan
batulanau ditandai dengan struktur sedimen
claycast. Struktur sedimen claycast merupakan
struktur dimana material gampingan menginklusi
116
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 113-120
material yang lebih halus seperti lanau sehingga
menunjukkan adanya pengaruh slope atau
gravitasi. Kontrol tektonik erat kaitannya dengan
struktur patahan yang relatif berarah utaraselatan dimana jenis gayanya berupa kompresi.
Aktivitas tektonisme ini membentuk struktur
yaitu sesar yang ditemukan di lapangan dan
antiklinorium secara regional yang berumur 3,6
juta tahun lalu. Sesar ini berupa sesar naik yang
terjadi akibat gaya kompresi. Dengan lithologi
berupa batupasir dan batugamping yang cukup
tebal dimana memiliki sifat fisik porositas dan
permeabilitas tinggi dapat menyimpan fluida
dengan baik.
Pengaruh kontrol tektonik regional
dengan adanya oil seepage sangat besar karena
adanya patahan pula yang ditemukan di lapangan,
dimana minyak yang berasal dari source rock
yang pergerakannya dipengaruhi oleh tekanan
yang ada di bawah permukaan menyebabkan
terjadi proses migrasi hidrokarbon dari tekanan
yang tinggi menuju ke tekanan yang lebih rendah
yaitu sealed stratigraphic ataupun perangkap.
Migrasi ini terjadi karena adanya batuan yang
memiliki permeabilitas yang tinggi. Ketika
minyak berada pada kondisi air yang jenuh, maka
minyak akan mencoba menuju ke permukaan.
Dengan volume minyak yang tidak terlalu besar
di sungai Banyumeneng, dan adanya faktor
tektonisme yang intensif serta adanya bidang
erosional menunjukkan adanya ruang untuk
minyak menuju ke permukaan melalui rekahan
(leaking).
KESIMPULAN DAN SARAN
Daerah Banyumeneng, Demak, Jawa
Tengah merupakan daerah yang memiliki
stratigrafi dan struktur geologi yang cukup
kompleks, dipengaruhi oleh aktivitas tektonik
yang intensif pada kala Pliosen [Gambar
9]. Keberadaan struktur geologi inilah yang
memungkinkan minyak bumi untuk bermigrasi,
menuju tempat yang memiliki tekanan lebih
rendah sehingga timbul rembesan minyak.
Penelitian lebih lanjut sangat diharapkan baik dari
Pemerintah ataupun Perguruan Tinggi mengingat
penelitian penulis pada makalah ini terbatas pada
metode yang digunakan yaitu metode observasi.
Penelitian lebih lanjut dengan metode geologi
dan geofisika dapat membuktikan keberadaan
basic petroleum system dan potensi hidrokarbon
di daerah ini terutama di Formasi Kerek karena
memiliki struktur geologi dan stratigrafi yang
kompleks dimana berada pada lingkungan
pengendapan laut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya ucapkan banyak terima kasih kepada
ketua IATMI SM UNDIP 2013-2014, pada warga
desa Banyumeneng yang telah memberikan ijin
untuk melakukan penelitian lebih lanjut sehingga
paper ini dapat kami selesaikan. Tak lupa terima
kasih kepada kedua orang tua yang senantiasa
mendukung kami untuk dapat menyelesaikan
paper ini.
REFERENSI
Rittenhouse, Gordon. 1972. Stratigraphic-trap
classification:AAPG Mem 16 Stratigraphic
Field Oil and Gas. 14-28
Halbouty, Michel T. 1972. Rationale for Deliberate
Pursuit of Stratigraphic, Unconformity and
Paleogeomorphic Traps : AAPG Mem 16
Stratigraphic Field Oil and Gas. 3-10
Nichols, Gary. 2009.
Sedimentology and
Stratigraphy Second Edition. A John Wiley and
Sons Ltd. United Kingdom.
Tucker, Maurice E. 2003. Sedimentary Rock in the
Field third edition. Department of Geological
Science Unversity of Durham. UK
R.E. Thanden, H.Sumadirdja, P.W. Richards,K.
Sutisna dan T.C. Amin .1996.Peta Geologi
Lembar Magelang dan Semarang,Jawa. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.
E.Fjhaer, R.M.Holt, P.Horsrud,A.M. Raaen dan
R.Risnes.2008.Petroleum
Related
Rock
Mechanic.Amsterdam.Elseiver
Magon, Leslie B dan Wallace G.Dow.1994.Petroleum
System from Source to Trap.Oklahoma,USA.
AAPG Memoir-60
http://media.unpad.ac.id/thesis/270110/2006/14071
0060030_a_2170.pdf [26 september 2014]
http://www.skkmigas.go.id/en/statistik/statistikproduksi [26 september 2014]
http://www.skkmigas.go.id/en/statistik/statistikpenerimaan-negara-dari-sektor-hulu-migas [25
september 2014]
Pemuatan Gambar Kolom Stratigrafi dari Software
Corel Draw x6
Rembesan Minyak di Sungai Banyumeneng, Demak, Jawa Tengah
(Agus Sabar Sabdono dan Denys Candra Hutama)
LAMPIRAN
Gambar 1. Rembesan minyak.
Gambar 2. Rembesan minyak pada rekahan.
Gambar 3. Struktur perlapisan terdeformasi.
Gambar 4. Sesar geser sinistral.
Gambar 5. Batugamping klastik.
Gambar 6. Struktur kekar tarik.
117
118
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 113-120
Gambar 7. Kolom stratigrafi sungai Banyumeneng.
Gambar 8. Grafik penurunan produksi migas Indonesia.
Rembesan Minyak di Sungai Banyumeneng, Demak, Jawa Tengah
(Agus Sabar Sabdono dan Denys Candra Hutama)
Sungai
Banyumeneng,
Formasi Kerek
Gambar 9. Peta geologi daerah Banyumeneng.
119
120
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 113-120
Gambar 10. Peta kontur daerah Banyumeneng.
Klasifikasi Rock Type Formasi Tarakan Dan Santul,
Lapangan Bunyu, Cekungan Tarakan
Rock Type Clasification Of Tarakan And Santul Formation,
Bunyu Field, Tarakan Basin
Achmad Syarif1, Asep Hudiman1, Mohamad Amin A. Nazar1 dan Zeppy I. Budiarto1
1Pertamina EP Asset 5
Abstrak
Rock type adalah unit batuan yang terbentuk atau terendapkan pada kondisi yang serupa serta
mengalami proses diagenesa serupa yang menghasilkan hubungan yang unik dalam hal porositas-permeabilitas
serta profil tekanan kapiler (Pc) terhadap saturasi air (Sw). Berdasarkan definisi tersebut maka pengelompokkan
batuan menjadi suatu rock type hendaknya berdasarkan pada pendefinisian fasies atau litofasies yang dikaitkan
dengan karakter petrofisikanya.
Salah satu metode yang umum dipakai dalam pembagian rock type adalah menggunakan persamaan
Winland yang memformulasikan hubungan antara porositas, permeabilitas, pore throat radius batuan (R35)
terhadap profil tekanan kapiler (Pc) injeksi merkuri. Berdasarkan persamaan ini maka satu kisaran nilai R35
akan mewakili satu unit rock type tertentu.
Lapangan Bunyu adalah salah satu struktur yang terletak di Cekungan Tarakan yang memiliki reservoir
batupasir Formasi Tarakan, Formasi Santul dan Formasi Tabul yang diendapkan pada lingkungan pengendapan
delta. Berdasarkan tujuh data full core yang ada, telah diidentifikasi lima litofasies yang dibagi berdasarkan
kesamaan sifat fisik batuan, tekstur, struktur, komposisi dan diagenesa. Analisa terhadap kisaran nilai R35
dari sampel core plug menunjukkan hubungan yang cukup konsisten antara rock type terhadap litofasiesnya.
Persamaan hubungan antara porositas-permeabilitas, tekanan kapiler-saturasi air selanjutnya dihitung untuk
masing-masing rock type-nya.
Kata kunci: Litofasies, Rock Type.
Abstract
Rock types are units of rock formed or deposited under similar conditions and experiencing similar
diagenetic processes which results in a unique porosity-permeability relationship and capillary pressure (Pc)
versus water saturation (Sw) profile. Based on that definition, rock type identification and classification should
be based on facies or litofacies classification and its relation with petrophysic characters.
One of common method to identify rock type is winland equation which established an empirical
relationship between porosity, permeability, and pore throat radius (R35) from mercury injection capillary
pressure. Using this equation, an individual range of R35 value represented by a specific rock type.
Bunyu field is located in Tarakan Basin. The potential hydrocarbon reservoirs are sandstone from
Tarakan, Santul and Tabul Formations which were deposited in deltaic environment. Five litofacies have
been identified from seven full core samples based on its sedimentary textures and structures. Calculated
R35 values from core plug samples show consistent relationship between rock types with their litofacies
classification. Empirical relationship between porosity-permeability and capillary pressure-water saturation
is then established for each rock types unit.
Keywords: Litofacies, Rock Type.
PENDAHULUAN
Indonesia (Gambar 1). Lapangan ini terletak pada
cekungan dan sub-cekungan Tarakan. Produksi
Lapangan Bunyu merupakan lapangan lapangan Bunyu dimulai oleh Bataafsche
minyak dan gas yang terletak pada bagian Petroleum Maatschappij (BPM) melalui sumur
tenggara dari Pulau Bunyu, Kalimantan Timur, B-001 dan B-016, dan B-017 pada tahun 1922.
121
122
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 121-130
Produksi dari lapangan Bunyu pernah
terhenti dari tahun 1937-1952 oleh karena
Perang Dunia II. BPM kemudian menjadi
operator Lapangan Bunyu sampai tahun 1957
yang kemudian diambil alih oleh NIAN dan
PERMINDO sampai tahun 1961. Sejak tahun
1968 Lapangan Bunyu Dioperasikan oleh
PERTAMIN (yang kemudian berubah nama
menjadi PERTAMINA). Pengelola lapangan
ini sempat berubah menjadi PT USTRAINDO
pada tahun 1993-1994, namun pada tahun 1995
kembali menjadi asset PT PERTAMINA sampai
saat ini.
Target utama reservoar dari lapangan
bunyu adalah batupasir dari formasi Tarakan
dan Santul yang terletak di bawah formasi
Bunyu. Batupasir dari formasi Tarakan memiliki
karakter melensa, dengan tebal antara 5-10 m
dengan kisaran laju alir produksi yang sangat
variatif mulai di bawah 50 bopd sampai dengan
5400 bopd. Lebarnya kisaran produksi ini selain
berkaitan dengan tekanan reservoir juga sangat
berkaitan dengan kualitas reservoir batupasirnya.
Pendekatan Rock Type yang menghubungkan
unit batuan dengan nilai porositas terhadap
permeabilitas serta tekanan kapiler terhadap
saturasi air diharapkan dapat dipakai untuk
memprediksi kualitas reservoir dan tingkat
produktivitasnya dengan lebih baik terutama
dalam pemodelan dinamis dari reservoir yang
bersangkutan.
Geologi Regional
Cekungan Tarakan adalah sebuah
cekungan yang terletak pada daerah daratan dan
lautan wilayah Kalimantan. Batas bagian barat
dari cekungan ini adalah Tinggian Kucing, dan
timur adalah Laut Sulawesi. Tinggian Sampoerna
adalah batas utara dari cekungan dengan
batas selatan adalah Tinggian Mangkalihat.
Berdasarkan atas posisi deposenternya, cekungan
tarakan dibagi menjadi empat subcekungan
(Gambar 2), yaitu: Subcekungan Tidung,
Subcekungan Berau, Subcekungan Muara, dan
Sub cekungan Tarakan.
Cekungan Tarakan terbentuk ketika awal
Eosen dengan dimulainya proses pemekaran
dari laut Sulawesi membentuk cekungan berarah
Barat – Timur. Proses pembentukan cekungan
ini dikontrol oleh adanya kolisi dari plat India
dan Eurasia pada 50 jtl (Hall, 2002). Pada kala
ini, sesar turun berarah NW-SE dan NNE-SSW
terbentuk secara intensif. Pada fase selanjutnya
di Eosen Akhir, cekungan mengalami fase
sagging dimana endapan transgresi laut mulai
terendapkan sampai Oligosen dan Miosen Awal.
Akhir dari fase ini membentuk konfigurasi
basement baru sebagai tempat pengendapan
sedimen berikutnya.
Fase kompresi dan reaktivasi dan patahan
terjadi pada Miosen tengah yang disebabkan oleh
kolisi dari fragment kontinen di Laut Cina Selatan.
Hal ini juga diikuti oleh pengangkatan dari
cekungan dan pengendapan progradasi sedimen
delta berarah ke timur dari sedimen silisiklastik
pada bagian utara Depocenter Tarakan hingga
Miosen Akhir dan Pliosen Awal.
Fase terakhir adalah fase tektonik
kompresi dari cekungan karena kolisi dari
kontinen Australia terhadap kontinen Busur
Vulkanik Banda. Fase ini menyebabkan fase
kompresi dari cekungan selama Pliosen –
Pleistosen dan juga inversi dari struktur awal.
Pada Kala Pleistosen ini, sedimentasi dari Formasi
Tarakan terbentuk pada saat penurunan cekungan
yang cepat di wilayah timur Cekungan Tarakan
sehingga menyebabkan terbentuknya kembali
endapan tebal dari sedimen delta dengan dominasi
fluvial. Hal-hal tersebut membuat interaksi siklus
progradasi delta dengan perpindahan deposenter
ke arah timur dari cekungan tarakan (Ellen, et
al., 2009). Fase sedimentasi terakhir dicirikan
dengan diendapkannya Formasi Bunyu secara
tidak selaras diatas endapan sebelumnya pada
fase tektonik yang terakhir hingga saat ini.
Stratigrafi dari Lapangan Bunyu menurut
Akuanbatin et al. (1984) dibagi menjadi 5
formasi yaitu formasi Meliat (Miosen Tengah),
Formasi Tabul (Miosen Tengah – Miosen
Akhir), Formasi Santul (Miosen akhir), yang
tersusun oleh endapan delta berupa perselingan
antara Batulempung, Batulanau, dan Batupasir
terendapkan pada delta plain - prodelta. Formasi
Tarakan (Pliosen), yang tersusun oleh perslingan
batupasir, batulanau, batulempung, dan batubara
terendapkan pada lingkungan upper delta plain
– fluvial. Formasi Bunyu berumur Pleistosen
terletak diatas formasi Tarakan yang terdiri atas
batupasir kasar – medium, sedikit konglomerat,
serta interkalasi dari batulempung dan batubara
terendapkan pada lingkungan fluvial (Gambar 3).
Klasifikasi Rock Type Formasi Tarakan Dan Santul, Lapangan Bunyu, Cekungan Tarakan
(Achmad Syarif, Asep Hudiman, Mohamad Amin A. Nazar dan Zeppy I. Budiarto)
Metode Interpretasi
Rock Type
Fasies dan Klasifikasi
Menurut Selley, (1985) Interpretasi
lingkungan pengendapan dan fasies dapat
dilakukan dengan data yang terpisah dan
terbatas dari singkapan, batuan inti, cutting yang
dikombinasikan dengan data seismik dan log.
Interpretasi ini didasarkan atas beberapa variabel
yang dibentuk oleh interaksi antara parameter
fisik, kimia, dan biologi, yaitu geometri, litologi,
struktur sedimen, pola arus purba, dan fosil.
Pada penelitian ini, digunakan data batuan
inti dari tujuh sumur dengan interval kedalaman
bervariasi antara 878 m sampai dengan 1604
m untuk dapat menentukan litofasies, rock
type, fasies pengendapan dan lingkungan
pengendapannya.
Tahapan interpretasi meliputi pembagian
batuan kedalam litofasies berdasarkan kesamaan
sifat fisik batuan, tekstur, struktur, komposisi
dan diagenesanya; pembagian unit Rock Type
berdasarkan kesamaan trend perubahan nilai
pore throat radius R35 yang dihitung dengan
menggunakan persamaan Winland, dan analisa
hubungan karakter petrofisika (porositas vs
permeabilitas dan Pc vs Sw) satu rock type
terhadap jenis litofasiesnya. Asosiasi litofasies
secara vertikal selanjutnya dipakai juga untuk
menentukan fasies pengendapan beserta
lingkungan pengendapannya.
Rock type adalah unit batuan yang
terbentuk atau terendapkan pada kondisi yang
serupa serta mengalami proses diagenesa seragam
sehingga menghasilkan hubungan yang unik
dalam hal porositas-permeabilitas serta profil
tekanan kapiler Pc terhadap saturasi air (Peralta,
O.O., 2009). Berdasarkan definisi tersebut maka
pengelompokkan batuan menjadi suatu rock type
hendaknya berdasarkan pada pendefinisian fasies
atau litofasies yang dikaitkan dengan karakter
petrofisikanya.
Salah satu metode yang umum
dipakai dalam pembagian rock type adalah
menggunakan persamaan Winland yang
memformulasikan hubungan antara porositas,
permeabilitas, pore throat radius batuan
terhadap profil tekanan kapiler (Pc) dengan
persamaan sebagai berikut :
Log(R35) = 0,732 + 0,588log(k) – 0,864log(φ)
123
R35 adalah pore-throat radius yang
dihitung dalam kondisi 35% saturasi merkuri pada
tes porosimetry merkuri dimana pada kondisi
35% saturasi memberikan hubungan yang paling
baik antara pore-throat radius dengan porositas
dan permeabilitasnya. Ukuran pore-throat radius
dapat berupa micropore, mesopore, ataupun
macropore. Micropore berukuran kurang dari 0.5
µm yang mengandung air dengan saturasi air tak
tergantikan (irreducible water saturation) dan
sedikit hidrokarbon. Ukuran mesopore memilki
diameter antara 0.5 – 5 µm, memiliki kandungan
hidrokarbon yang cukup baik. Macropore
memiliki diameter > 5 µm merupakan ukuran
pori yang produktif dalam menunjang produksi
hidrokarbon. Kesamaan trend nilai R35 pada
penelitian ini dipakai untuk menggolongkan
batuan menjadi satu unit Rock Type yang sama.
IDENTIFIKASI LITOFASIES DAN KLASIFIKASI ROCK TYPE
Pembagian Litofasies
Berdasarkan hasil deskripsi megaskopis,
data SEM, XRD dan Petrografi dari batuan
inti dari tujuh sumur yang tersebar di lapangan
Bunyu dapat diidentifikasi lima litofasies yang
dibagi berdasarkan kesamaan sifat fisik batuan,
tekstur, struktur, komposisi dan diagenesa yang
terjadi (Gambar 5), yaitu sebagai berikut:
Litofasies Batubara, Batulempung dan Batulanau – Nonreservoar (C)
Litofasies ini berwarna hitam, abu-abu
sampai coklat muda, memiliki kandungan material
organik yang tinggi. Pada batulempung-lanau,
sering dijumpai material karbon dan bioturbasi
dengan derajat rendah – tinggi didominasi
oleh ichnofasies Skolithos dan Cruziana yang
menunjukan lingkungan pengendapan dengan
energi rendah-sedang, air payau dan substrat
yang berbutir halus-medium.
Litofasies Batupasir Sangat Halus Lentikuler
– Flasser (S1)
Data fasies ini didapat pada batuan inti
sumur X-0301. Berwarna abu-abu dengan ukuran
butir pasir sangat halus, kebundaran subangular-
124
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 121-130
subrounded, grain supported dengan kontak
antar butir point > planar, sortasi sedang-baik.
Struktur sedimen yang umum dijumpai
pada fasies ini adalah lentikuler dan flasser,
dengan bioturbasi dari ichnofacies skolithos
dengan intensitas sedang-tinggi.
Komposisi penyusun dari fasies ini
didominasi oleh kuarsa (62-66%) dengan
fragment batuan (6,8-8,4%) yang berupa
baturijang, metakuarsit, batulempung, sekis,
batuan beku serta sedikit feldspar (3,2-3,6%).
Mineral aksesori yang mendominasi adalah
muskovit, zirkon, klorit, dan material organik
karbonan yang kadang terkonsentrasi sebagai
lapisan tipis terputus (faintly laminated).
Visible porosity berkisar Antara 7,616,8% dengan tipe porositas yang berkembang
adalah pori intergranular dan sekunder dari
proses pelarutan. Diagenesa yang terjadi adalah
kompaksi, sementasi berupa quartz overgrowth,
mineral replacement, clay coating dimana illite
adalah mineral yang berperan serta kaolinite,
siderite dan pirit sebagai mineral pengisi antar
pori serta sedikit pelarutan.
Litofasies Batupasir Halus-Sedang Silang Siur
Sideritik (S3)
Litofasies ini terdapat pada hampir
seluruh data batuan inti kecuali di sumur X-1402.
Litofasies ini berwarna abu-abu sampai coklat
(bergantung pada jumlah kandungan siderite)
dengan ukuran butir pasir halus, kebundaran
subrounded-rounded, grain supported, kontak
antar butir umumnya planar, point dan sedikit
concave-convex, dengan sortasi yang bagus.
Pada litofasies ini struktur sedimen
silang-siur berkembang dengan baik, diikuti
oleh adanya sedikit sisipan berupa batulempung
diantara batupasir membentuk mud drape dengan
ketebalan bervariasi.
Mineral penciri dari litofasies ini adalah
Siderit yang muncul sebagai mineral autigenic
dan mineral penganti. Komposisi penyusun
utama adalah kuarsa (44,5-47%), feldspar (0,751,75%), fragmen batuan (19-20,5%) yang berupa
batulempung, chert dan metakuarsit dan batuan
beku.
Visible porosity berada pada kisaran 1518%. Diagenesa yang terjadi adalah kompaksi
Litofasies Batupasir Sangat Halus-Halus akibat burial sebagai proses yang paling
dominan, presipitasi dan sementasi, mineral
Silang-Siur (S2)
autigenik berupa kaolinit (pengisi pori), ilite (clay
Fasies ini terutama terdapat pada coating), dan Pirit, serta pelarutan mineral tidak
batuan inti sumur X-1402, X-1406 dan X-1409, stabil khususnya feldspar serta fragmen batuan
berwarna abu-abu – putih dengan ukuran butir volkanik yang memperbagus kualitas reservoar.
pasir halus, kebundaran subrounded-subangular,
kontak antar butir planar-point, grain supported, Litofasies Batupasir Sedang-Kasar dengan
klastika batulempung (S4)
subrounded-subangular, sortasi bagus-sedang.
Struktur sedimen pada umumnya berupa
Litofasies ini terdapat pada batuan inti
silang-siur yang kadang terpotong oleh bioturbasi
X-0202, X-1406, berwarna putih – abu-abu.
dengan intensitas redah-sedang.
Komposisi penyusun fasies ini didominasi Memiliki ukuran butir hingga pasir sedangoleh kuarsa (49–65%), feldspar (0,7-2,75%), kasar kebundaran subrounded-subangular, grain
fragmen batuan (12,25-18,5%) yang berupa supported, kontak antar butir umumnya pointchert, metakuarsit dan batuan beku. Adapun planar, dengan sortasi yang bagus.
Pada litofasies ini struktur sedimen silangmineral lain yang ditemukan adalah detrital
clay sebagai matriks, Pirit (0,4%), Siderit (0,4- siur berkembang dengan baik dengan sedikit
4%), Kaolinite (1,2-1,6%), dan material karbon klastika batulempung sideritik dan batubara
berukuran kerikil dengan derajat kebundaran
(material organik).
Visible porosity dari batuan berkisar yang cukup baik (subrounded-well rounded).
Komposisi penyusun dari fasies ini
antara 12,25-18,25%. Diagenesa yang terjadi
adalah kompaksi, sementasi berupa quartz didominasi oleh kuarsa (65-68%), feldspar (2overgrowth, presipitasi mineral autigenic berupa 2,8%) dan fragmen batuan (7,6-21,2%) berupa
pirit, kaolinit, zeolit, dan siderite, sedikit clay batulempung, baturijang, metaquarzite, sekis,
batuan beku serta sedikit plagioklas. Mineral
coating, serta pelarutan.
Klasifikasi Rock Type Formasi Tarakan Dan Santul, Lapangan Bunyu, Cekungan Tarakan
(Achmad Syarif, Asep Hudiman, Mohamad Amin A. Nazar dan Zeppy I. Budiarto)
aksesri yang mendominasi adalah muskovit,
zirkon, klorit, dan material organik.
Visible porosity berada pada kisaran 15,220,4%. Porositas Diagenesa yang terjadi adalah
kompaksi akibat burial, presipitasi mineral
autigenic berupa Pirit, Kaolinit, Zeolit, dan
Siderite. Ketiga mineral terakhir juga berperan
dalam penggantian grain-matriks serta sebagai
semen. Selain itu sedikit clay coating juga
berkembang. Pelarutan dari mineral juga terjadi
sehingga porositas sekunder berkembang di
fasies ini.
Pengelompokan Asosiasi Fasies Pengendapan
Pada umumnya satu atau beberapa
litofasies akan membentuk satu fasies genetik
untuk mendapatkan fasies genetik tertentu dalam
konteks. Pengelompokan dari beberapa asosiasi
fasies inilah yang disebut sebagai asosiasi fasies
pengendapan yang ditentukan berdasarkan atas
data batuan inti, fosil jejak, data paleontology,
kondisi terhadap marker dan suksesi sikuen
stratigrafinya.
Melalui metode ini, maka asosiasi fasies
pengendapan yang didapat pada batuan inti dapat
dikelompokan menjadi tiga, yaitu
1. Batubara dan Batulempung Delta
Plain
2. Batupasir Distributary Channel
3. Batupasir Mouth Bar
Batubara dan Batulempung Delta Plain
memiliki asosiasi litofasies C dengan karakter
khusus yang berkembang adalah warna gelap
dengan tingginya kandungan material organik.
Batupasir Distributary Channel berasosiasi dengan fasies S1, S2, S3 dan S4 dengan
litofasies S4 umumnya merupakan bagian bawah
dari channel (channel base) yang diikuti oleh
litofasies S3, S2, dan S1 pada bagian atas.
Batupasir Mouth Bar pada umumnya
tersusun oleh litofacies S1, S2 dan S3 dengan
karakter peralihan rezim sedimentasi antara
sedimen berbutir halus dan sedimen berbutir
kasar pada sebuah mouth bar.
Klasifikasi Rock Type
125
batuan inti dari tujuh sumur. Nilai R35 yang
didapatkan selanjutnya diurutkan dari nilai
terkecil ke nilai terbesar dan diplot silang
(crossplot) terhadap nomor sampel/kumulatif data
(Gambar 4) untuk mendapatkan trend perubahan
nilai R35-nya. Satu nilai trend akan mewakili
satu unit Rock Type. Nilai porositas dari masingmasing Rock Type selanjutnya juga diplot silang
(crossplot) terhadap nilai permeabilitasnya untuk
menguji konsistensi hubungan antara porositas
terhadap permeabilitas di masing-masing unit
Rock Type (Gambar 6). Persamaan hubungan
antara porositas vs permeabilitas selanjutnya
dapat dipakai untuk mengkonversi nilai porositas
menjadi permeabilitas pada sumur atau interval
yang tidak memiliki data batuan inti. Konsistensi
hubungan antara Pc vs Sw pada masing-masing
Rock Type juga diuji dengan melakukan plot
silang (crossplot) antara nilai Pc terhadap Sw
dimana masing-masing unit Rock Type memiliki
trend kurva Pc tersendiri (Gambar 7 dan 8).
Dari analisa data batuan inti tujuh sumur
Field Bunyu didapatkan lima unit Rock Type
sebagai berikut:
Rock Type-1
Rock Type ini masuk dalam kategori
batuan bukan reservoir. Litofasiesnya berupa
batubara (C1) dan batulempung-batulanau
(C2). Rock Type ini tidak dilakukan perhitungan
porosity, permeability, dan Pc vs Sw sehingga
perhitungan pore throat radius tidak dilakukan.
Rock Type-2
Rock Type ini masuk dalam kategori
batuan reservoir kualitas rendah-sedang.
Litofasiesnya berupa batupasir sangat halus
lintikular-flaser (S1). Porositas berkisar antara
10,7-15,7% dengan permeabiltas berkisar antara
0,13-1,37 mD, pore throat size berkisar antara
0,21-0,60 µm. Kurva plot silang antar Pc vs Sw
menunjukkan nilai Swirr 53,5 % pada tekanan
kapiler reservoir (Pc_res) 3,75 Psi.
Rock Type-3
Klasifikasi Rock Type dilakukan dengan
Rock Type ini masuk dalam kategori
menghitung nilai pore throat radius (R35) batuan reservoir kualitas sedang. Litofasiesnya
menggunakan persamaan Winland pada data berupa batupasir sangat halus-halus silang-
126
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 121-130
siur (S2). Porositas berkisar antara 15,9-32,0%
berdasarkan kesamaan sifat fisik batuan,
dengan permeabiltas berkisar antara 19-463 mD,
tekstur, struktur, komposisi dan diagenesa
pore throat size berkisar antara 2,12-10,63 µm.
yang terjadi.
Kurva plot silang antar Pc vs Sw menunjukkan 2. Asosiasi litofasies di Formasi Tarakan dan
nilai Swirr 26,9 % pada tekanan kapiler reservoir
Santul menunjukkan Fasies pengendapan
(Pc _res) 8,04 Psi.
batupasir mouth bar, batupasir distributary
channel serta batubara dan batulempung
Rock Type-4
delta plain yang diendapkan pada lingkungan
pengendapan delta.
Rock Type ini masuk dalam kategori 3. Pembagian unit Rock Type bunyu dilakukan
batuan reservoir kualitas baik. Litofasiesnya
dengan penentuan kesamaan trend perubahan
berupa batupasir sangat halus-sedang silang-siur
nilai pore throat radius (R35) terhadap
sideritik (S3). Porositas berkisar antara 23,17nomor sampel (kumulatif data). Berdasarkan
37,54% dengan permeabiltas berkisar antara
kesamaan trend tersebut dapat diidentifikasi
449-2159 mD, pore throat size berkisar antara
lima unit rock type.
11,68-22,82 µm. Kurva plot silang antar Pc vs Sw 4. Masing-masing unit Rock Type memiliki
menunjukkan nilai Swirr 18,4 % pada tekanan
hubungan Porositas efektif terhadap
kapiler reservoir (Pc _res) 159,44 Psi.
permeabilitas dan Tekanan kapiler (Pc)
terhadap Saturasi Air (Sw) yang tertentu yang
Rock Type-5
mencerminkan kualitas reservoirnya.
5. Berdasarkan analisa petrografi dan SEM
Rock Type ini masuk dalam kategori batuan
pada masing-masing litofasies, tekstur
reservoir kualitas sangat baik. Litofasiesnya
batuan terutama ukuran butir serta struktur
berupa batupasir sangat sedang-kasar berklastika
sedimennya dari masing-masing litofasies
batulempung (S4). Porositas berkisar antara 25,6diperkirakan merupakan faktor yang paling
37,54% dengan permeabiltas berkisar antara
dominan dalam menentukan kualitas reservoir
1370-3578 mD, pore throat size berkisar antara
dan unit Rock Type-nya.
22,89-34,72 µm. Kurva plot silang antar Pc vs Sw
menunjukkan nilai Swirr 15,6 % pada tekanan REFERENSI
kapiler reservoir (Pc _res) 67,14 Psi.
Berdasarkan analisa petrografi dan SEM Bahar, A., 2013, Rock typing, short course material,
pada masing-masing litofasies, secara umum
tidak dipublikasikan
proses diagenesa yang terjadi pada batupasir Hall, 2002, Cenozoic geological and plate tectonic
Rock Type-2 sampai dengan 5 adalah sama,
evolution of SE Asia and SW Pacific: Computerdimana proses yang paling dominan adalah
based reconstruction, model and animation,
proses kompaksi. Berdasarkan hal tersebut maka
Journall of Asian Earth Sciences 20 (2002).
perbedaan tekstur batuan terutama ukuran butir Heriyanto, N., Satoto, W., Sardjono, S., 1992. An
serta struktur sedimennya dari masing-masing
Overview of Hydrocarbon Maturity and Its
litofasies kemungkinan menjadi faktor yang
Migration Aspects in Bunyu Island, Tarakan
paling dominan dalam menentukan kualitas
Basin. Proceedings Indonesian Petroleum
reservoir dan unit Rock Type-nya. Batupasir
Association, 21st Annual Convention, vol. 1,
berukuran kasar, tersortasi baik dengan struktur
hal. 1-22.
sedimen silang siur memiliki kualitas reservoir Lefort, J.J., Thiriet, J.P., Le Quellec, P., Bailey, J.B.
yang lebih baik dibandingkan batupasir
2000. Sequence stratigraphy of the offshore
berukuran lebih halus dengan struktur flaser dan
Tarakan. AAPG, V.84, p. 1395-1518.
atau lentikular.
Peralta, O.O., 2009, Rock types and flow units in static
KESIMPULAN
1. Formasi Tarakan dan Santul di Field Bunyu
tersusun oleh lima litofasies yang dibedakan
and dynamic reservoir modeling: application to
mature fields, SPE Paper No. 122227
Pertamina, 2004, Routine, special core analysis and
rock description for convetional core from well
X-1309, tidak dipublikasikan
Klasifikasi Rock Type Formasi Tarakan Dan Santul, Lapangan Bunyu, Cekungan Tarakan
(Achmad Syarif, Asep Hudiman, Mohamad Amin A. Nazar dan Zeppy I. Budiarto)
Pertamina, 2005, Routine, special core analysis and
rock description for convetional core from well
X-1402, tidak dipublikasikan
Pertamina EP, 2008, Routine, special core analysis
and rock description for convetional core from
well X-1406, tidak dipublikasikan
Pertamina EP, 2010, Routine, special core analysis
and rock description for convetional core from
well X-1409, tidak dipublikasikan
Pertamina EP, 2012, Routine, special core analysis
and rock description for convetional core from
well X-0202, tidak dipublikasikan
127
Pertamina EP, 2013, Routine, special core analysis
and rock description for convetional core from
well X-0301, tidak dipublikasikan
Pertamina EP, 2013, Routine, special core analysis
and rock description for convetional core from
well X-0302, tidak dipublikasikan
Potter, G., 2010, Core analysis uncertainty and rock
typing, SPWLA Carbonate Workshop material,
tidak dipublikasikan
Selley, R. (1985). Ancient Sedimentary Environment
and their sub-surface diagnosis (3rd ed.). New
York: Cornell University Press.
LAMPIRAN
Gambar 1. Peta lokasi penelitian.
Gambar 2. Peta Cekungan - sub Cekungan dan Elemen Struktur Cekungan Tarakan (Ahmad & Samuel, 1984, Lefort,
et.al., 2000).
128
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 121-130
Gambar 3. Kolom stratigrafi Cekungan Tarakan (after Heryanto, et. al., 2006).
Gambar 4. Plot silang Pore throat size (R35) terhadap nomor sampel (kumulatif data). Warna hijau, biru, merah muda dan
jingga mewakili pengelompokan trend nilai R35 pada masing-masing Rock Type (RT-2 s/d RT-5).
Klasifikasi Rock Type Formasi Tarakan Dan Santul, Lapangan Bunyu, Cekungan Tarakan
(Achmad Syarif, Asep Hudiman, Mohamad Amin A. Nazar dan Zeppy I. Budiarto)
129
Gambar 5. Fasies pengendapan ideal Formasi Tarakan dan Santul di Field Bunyu beserta asosiasi litofasies dan
Rock Type-nya.
Gambar 6. Plot silang Porosity efektif (PHIE) vs Permeability RT-2 s/d RT-5 beserta persamaan trendline-nya.
130
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 121-130
Gambar 7. Plot silang Tekanan kapiler (Pc) vs Saturasi Air (Sw) injeksi merkuri pada beberapa contoh core plug yang
mewakili RT-2 s/d RT-5).
Gambar 8. Kurva Pc vs Sw (brine) pada kondisi reservoir dari Rock Type-2 sampai dengan Rock Type-5.
A Comparison of Utilization of Modern Production Data Analysis to
Volumetric & Reservoir Simulation Method in Estimating Hydrocarbon In
Place in Alfa-I and Beta-III Layers in EP Field
Perbandingan Penggunaan Metode Modern Production Data Analysis terhadap
Metode Volumetrik dan Simulasi Reservoir dalam Perkiraan Cadangan
Hidrokarbon pada Lapisan Alfa-I dan Beta-III di Lapangan EP
Aris Buntoro1, Edo Pratama1, and Eka Andhini1
Engineering Department of UPN “Veteran” Yogyakarta
Jl. SWK 104 (Lingkar Utara) Condongcatur Depok Sleman DIY, 55283
Corresponding e-mail: [email protected]
1Petroleum
Abstract
Alfa and Beta Layers are oil and gas productive layers located on EP Field. According to volumetric
method, Alfa-I Layer has Original Oil In Place (OOIP) about 8.28 MMSTB and Beta-III Layer has Original
Gas In Place (OGIP) about 9.96 Bscf. Reservoir simulation is conducted to update the reserves for plan of
further development strategy. According to simulation results, Alfa-I Layer has OOIP about 7.75 MMSTB and
Beta-III Layer has OGIP about 9.81 Bscf.
An integrated method is applied for estimating hydrocarbon in place of Alfa-I and Beta-III Layers in
addition also can be estimating reservoir characteristics. This method is called by Modern Production Data
Analysis, is a method to evaluate the reservoir using combined rate and pressure data without the need to
shut in wells. This study aims to apply modern production data analysis by an approach of type curves such
Fetkovich, Blasingame, Agarwal-Gardner, and Normalized Pressure Integral type curves and flowing material
balance method integrated with volumetric method and reservoir simulation.
From the results, Alfa-I Layer has OOIP around 8.59-9.59 MMSTB and Beta-III Layer has OGIP around
5.69-9.01 Bscf according to type curve and flowing material balance methods. And reservoir characteristics of
Alfa-I Layer which including permeability around 7.92-8.97 mD and skin factor around 0.07-0.27, while Beta-III
Layer has permeability around 5.43-6.70 mD and skin factor around 0.11-6.94 according to type curve methods.
Keywords: Volumetric method, Reservoir simulation, Modern production data analysis.
Abstrak
Lapisan Alfa dan Beta merupakan lapisan produktif mengandung minyak dan gas yang terletak
di Lapangan EP. Berdasarkan perkiraan cadangan dengan metode volumetrik, Lapisan Alfa-I mempunyai
Original Oil In Place (OOIP) sebesar 8.28 MMSTB dan Lapisan Beta-III mempunyai Original Gas In Place
(OGIP) sebesar 9.96 Bscf. Simulasi reservoir dilakukan untuk meng-update besarnya cadangan untuk rencana
pengembangan lapangan tahap lanjut. Berdasarkan hasil simulasi, Lapisan Alfa-I mempunyai OOIP sebesar
7.75 MMSTB dan lapisan Beta-III mempunyai OGIP sebesar 9.81 Bscf.
Suatu metode terintegrasi diaplikasikan untuk memperkirakan cadangan pada Lapisan Alfa dan
Beta disamping juga dapat memperkirakan karakteristik reservoir. Metode ini disebut Modern Production
Data Analysis, yang merupakan suatu metode untuk mengevaluasi reservoir menggunakan kombinasi data
laju produksi dan tekanan tanpa harus menutup sumur. Studi ini bertujuan untuk mengaplikasikan Modern
Production Data Analysis dengan pendekatan type curves diantaranya Fetkovich, Blasingame, AgarwalGardner, dan Normalized Pressure Integral type curves dan metode flowing material balance yang terintegrasi
dengan metode volumetrik dan simulasi reservoir.
Dari hasil analisa yang diperoleh, Lapisan Alfa-I mempunyai OOIP sekitar 8,59-9,59 MMSTB dan
Lapisan Beta-III mempunyai OGIP sekitar 5,69-9,01 Bscf berdasarkan pendekatan type curve dan metode flowing
material balance. Dan karakteristik reservoir yang meliputi permeabilitas dan faktor skin pada Lapisan Alfa-I
yaitu permeablitas sekitar 7,92-8,97 mD dan faktor skin sekitar 0,07-0,27, sedangkan pada Lapisan Beta-III
yaitu permeabilitas sekitar 5,43-6,70 mD dan faktor skin sekitar 0,11-6,94 berdasarkan pendekatan type curve.
Kata kunci: Metode volumetrik, Simulasi reservoir, Modern production data analysis.
131
132
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 131-140
I. INTRODUCTION
which evolve during production of a well, to
extract quantitivie information about reservoir
properties. The procedure and theory for ratetransient analysis is analogous to pressuretransient analysis; in fact, the modern concept of
rate-transient analysis is to analyze production
data like one would a long-term drawdown
test, which is a classic well-test procedure. For
constant rate production of a single well, the
flowing pressure of the well, which changes
during the test, is interpreted using classic welltest analysis concepts. Two primary flow-regimes
are typically observed (Figure 1): 1) transient
flow, where the pressure transient is propagating
away from the well during production and 2)
boundary-dominated flow, where all reservoir
boundaries have been contacted and the reservoir
is now depleting like a tank. Transient flow
can be interpreted for reservoir properties, and
boundary-dominated flow can be interpreted
to obtain reservoir volume and hydrocarbon in
place.
Estimation of hydrocarbon in place
and reservoir characteristics for oil and gas
reservoirs is needed from the time when such
reservoirs are first discovered to future times
when they are being developed by drilling stepout wells or infill wells. One of methods to
estimate reserves is traditional decline analysis.
Generally, the results are meaningful, but they
can sometimes be unrealistic (optimistic or
pessimistic). Meanwhile, in identifying reservoir
characterization, generally by doing well testing,
often called pressure transient analysis (PTA).
But, this method required shutting in wells
and sometimes there is any technical problems
happened.
Modern Production Data Analysis is a
method to evaluate the reservoir using combined
rate and pressure data without the need to
shut in wells. This analysis is able to estimate
hydrocarbon in place, expected ultimate recovery,
and recovery factor with flowing material
balance and other modern techniques. Reservoir
characteristics, such as permeability and skin
factor can be determined by using type curves.
Alfa and Beta Layers are one of oil and
gas productive layers in EP Field. These layers are
considered to be planned for further development.
It is crucial to estimate hydrocarbon in place of
both layers as a platform for development strategy.
A new idea is applied to estimate hydrocarbon
in place in Alfa and Beta Layers by integrating
volumetric method, reservoir simulation, and also
modern production data analysis as an alternative
solution to predict hydrocarbon in place as well
as reservoir characteristics. A new flow chart
is presented in estimation of hydrocarbon in
Figure 1. Concept of rate transient analysis (R. Clarkson,
place where modern production data analysis is Christopher, 2011).
integrated with volumetric method and reservoir
2.2 Methods of Modern Production Data
simulation.
Analysis
II.
MODERN
PRODUCTION
DATA
2.2.1 Type Curve Methods
ANALYSIS
2.1 Concept of Modern Production Data
Analysis
2.2.1.1 Fetkovich type curve
Fetkovich presented a new set of type
curves
that
extended the Arps type curves into the
Modern production data analysis as
known as rate transient analysis (rta), involves transient flow region. He recognized that decline
the interpretation of characteristic flow-regimes, curve analysis was applicable only during the
A Comparison of Utilization of Modern Production Data Analysis to Volumetric & Reservoir Simulation Method in
Estimating Hydrocarbon In Place in Alfa-I and Beta-III Layers in EP Field (Aris Buntoro, Edo Pratama, and Eka Andhini)
time period when production was in boundary
dominated flow; i.e., during the depletion period.
This meant that the early production life of a well
was not analyzable by the conventional decline
curve methods. Fetkovich used analytical flow
equations to generate type curves for transient
flow, and he combined them with the Arps
empirical decline curve equations. Accordingly,
the Fetkovich type curves are made up of two
regions which have been blended to be continuous
and thereby encompass the whole production
life from early time (transient flow) to late time
(boundary dominated flow).
The Fetkovich analytical typecurves
can be used to calculate three parameters:
permeability, skin and reservoir radius.
133
The rate integral is:
The derivative of the rate integral is:
2.2.1.3 Agarwal and Gardner type curve
The Agarwall and Gardner typecurves are
all derived using the well testing definitions of
dimensionless rate and time. The models are all
based on the constant rate solution. Three sets of
type curves; rate vs time typecurves (qD and tDA
format), inverse of pressure derivative (1/pDd) vs
tDA, and inverse of pressure integral-derivative
(1/ pDid) vs tDA.
The Agarwal and Gardner type curve
method is quite similar to that presented by
Palacio and Blasingame, only after matching the
normalized rate (q/dP) and the material balance
pseudotime against constant rate typecurves in
well test format (Agarwal-Gardner type curves),
an estimate of a value named the Inverse Pressure
Derivative (IPD) is made. The IPD is given by
2.2.1.4 Agarwal and Gardner type curve
2.2.1.2 Blasingame type curve
Blasingame typecurves have identical
format to those of Fetkovich. However, there
are three important differences in presentation;
models are based on constant rate solution
instead of constant pressure, exponential and
hyperbolic stems are absent, only harmonic
stem is plotted, rate integral and rate integralderivative typecurves are used (simultaneous
typecurve match).
Blasingame type curve method uses the
normalized rate (q/dP) and the material balance
pseudotime (tca) and plots those values to be
matched against type curves of dimensionless
rate and dimensionless time (constant rate type
curves in Fetkovich dimensionless format). Then
the integrals defined in the equations below (rateintegral and rate-integral derivative) are plotted.
This method uses a normalized pressure
(dP/q) instead of a normalized rate as shown in
the previous methods (Palacio and Blasingame
and Agarwal and Gardner). Again, the method
tries to match the normalized pressure versus
the material balance pseudo time (tca) data to
a plot of dimensionless pressure (Pd) versus
dimensionless time (tda), which is a constant rate
type curve in well test format. Once the match is
performed, the pressure integral is plotted as well
as the pressure-integral derivative.
Pressure integral:
Pressure integral – derivative:
134
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 131-140
2.2.2 Flowing Material Balance Method
as hydrocarbon volume. Then, those values are
divided with avalaible reservoir parameter (Boi,
The Flowing Material Balance uses the Bgi) to get hydrocarbon in place.
concept of stabilized or “pseudo-steady-state”
flow to evaluate total in-place fluid volumes. 3.2 Reservoir Simulation
In a conventional material-balance calculation,
reservoir pressure is measured or extrapolated
Reservoir simulation is conducted based
based on stabilized shut-in pressures at the well. on geology-reservoir 3D model such as porosity,
In a flowing situation, the average reservoir facies, permeability distributions and reservoir
pressure clearly cannot be measured. However, data namely SCAL and PVT data. Then, these
in a stabilized flow situation, there is very close data are processed to support hydrocarbon in
connectivity between well flowing pressures place estimation. Thus, reservoir simulaton is
(which can be measured) and the average only conducted till initialization step.
reservoir pressure. Figure 2 shows how these
pressures are related.
3.3 Modern Production Data Analysis
Figure 2. Illustration of pseudosteady – state (Fekete-FAST
RTA).
The figure illustrates that the pressure
drop measured at the wellbore while the well
is flowing at a constant rate is the same as the
pressure drop that would be observed anywhere
in the reservoir, including the location which
represents average reservoir pressure. This is true
only if pseudo-steady-state conditions are present
(all boundaries have been reached).
III. METHODOLOGY
Hydrocarbon in place estimation in Alfa
and Beta Layers is conducted by integrating
volumetric method, reservoir simulation, and
modern production data analysis. Appendix A
shows the methodology flow chart in this study.
3.1 Volumetric Method
Estimation of hydrocarbon in place with
volumetric method by using geological data such
as bulk volume, net to gross/ NTG and reservoir
properties distributions from each layers, from
these data will obtained pore volume map as well
Modern production data analysis or rate
transient analysis (rta) is conducted in a well
from each layers. At initial step, it is important
to determine the key well. Thus, well screening
criteria is done to determine a key well from
each layers where the layers have been divided
into blocks as volume calculation results. Data
preparation and processing are conducted after
selecting a key well, namely production and
pressure data, rock and fluid properties, and well
completion data.
Flow regimes identification is done
before applying rate transient analysis in each
wells. This analysis is very important to know
the reservoir conditions where still in transient or
have reached boundary dominated flow system.
Because estimation of hydrocarbon in place
and reservoir characteristics used rate transient
analysis only applicable when the reservoir
condition has stabilized. Hydrocarbon in place
is estimated by an approach of type curves are
blasingame, agarwal and gardner, normalized
pressure integral type curves and non-type
curve is flowing material balance method while
reservoir characteristics are predicted within type
curves method.
IV. RESULTS AND DISCUSSIONS
Based on volumteric calculation, Alfa
Layer has total initial oil in place of 19.82
MMSTB. According to sectorization process,
Alfa Layer has 3 blocks are Alfa I-III (Table I).
Beta Layer has total initial gas in place of 71.50
Bscf and based on sectorization, Beta Layer has
A Comparison of Utilization of Modern Production Data Analysis to Volumetric & Reservoir Simulation Method in
Estimating Hydrocarbon In Place in Alfa-I and Beta-III Layers in EP Field (Aris Buntoro, Edo Pratama, and Eka Andhini)
135
4 blocks are Beta I-IV (Table II). In this study,
Based on reservoir simulation, Alfa-I Layer
analysis is conducted in Alfa-I and Beta-III has OOIP of 8.28 MMSTB while Beta-III Layer
Layers, respectively (Figure 3 and 4).
has OGIP of 9.81 BSCF (Table III). Initialization at
Alfa-I Layer is done by changing capillary pressure
Table I. OOIP of Alfa Layer.
values while at Beta-III Layer is done by changing
depth references values and reservoir temperature.
Table III. Simulation results.
Table II. OGIP of Beta Layer.
Rate transient analysis is conducted
by firstly determine a key well in each layers.
Screening criteria to determine a key well for this
analysis same as criteria for reservoir simulation,
such the wells have long time period of production,
active well (still produced), and represent block
performance. After screening process according
to those requirements, Well “X” and Well “Y” are
determined as a key well in Alfa-I and Beta-III
Layers, respectively. Well “X” is an oil well has
been producing for 12 years and Well “Y” is a gas
well which has been producing for 10 years. Figure
5 and 6 show production profile of Well “X” and
Well “Y”.
Figure 3. OOIP distributions in Alfa Layer.
Figure 5. Production profile Well “X”.
Figure 4. OGIP distributions in Beta Layer.
Figure 6. Production profile Well “Y”.
136
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 131-140
In estimating hydrocarbon in place
of Well “X” and Well “Y” used rate transient
analysis, firstly, it should be analyzed the
reservoir flow conditions whether transient or
boundary dominated system. In this study, we
apply Fetkovich type curve to analyze it. Figure
7 and 8 show Fetkovich type curve analysis in
Well “X” and Well “Y”. Based on the results, it
shows that flow regime of reservoir has reached
boundary dominated flow system. Reservoir
characteristics are obtained permeability is 8.97
mD and skin factor is 0.10 for Well “X” and Well
“Y” has permeability of 5.43 mD and skin factor
of 0.11.
Figure 7. Fetkovich type curve analysis in Well “X”.
analysis results in Well “X”. Data matching and
validating in type curves are shown in Figure 9 –
11 and flowing material balance method is shown
in Figure 12. Rate transient analysis results of Well
“Y” are shown in Table V while data matching
and validating in type curves are shown in Figure
13 – 15 and flowing material balance method is
shown in Figure 16. In matching and validating
process, the analytical models are constructed.
Model history match can be carried out using
three different modes: pressure only (P), flow rate
only (q) or pressure and flow rate simultaneously
(qP). In this case, we use pressure and flow
rate simultaneously (qP) for history matching
(Figure 17 and 18). In this mode, parameters are
varied until a good match is obtained. To get a
better match by changing some of the parameter
values according to the results from type curves
analysis. The red lines show calculated flow rates
while the brown lines show calculated flowing
pressure. The magenta lines show the calculated
reservoir pressures. A good match is obtained due
to calculated pressure and flow rate agrees with
actual pressure and flow rate. Thus, type curves
analysis in both of wells are valid for initial oil
and gas in place and reservoir characteristics
estimation.
Table IV. Rate transient analysis/ rta results in Well “X”
(Alfa-I Layer)
Figure 8. Fetkovich type curve analysis in Well “Y”.
According to the Fetkovich results,
initial oil and gas in place can be estimated by
using modern type curves and flowing material
balance method due to reservoir condition has
reached reservoir boundary where pressure and
production rate have stabilized at pseudosteadystate flow regime. Table IV shows rate transient
Figure 9. Blasingame type curve analysis in Well “X”.
A Comparison of Utilization of Modern Production Data Analysis to Volumetric & Reservoir Simulation Method in
Estimating Hydrocarbon In Place in Alfa-I and Beta-III Layers in EP Field (Aris Buntoro, Edo Pratama, and Eka Andhini)
Figure 10. Agarwal-Gardner type curve analysis in Well “X”.
Figure 11. Normalized Pressure Integral type curve analysis
in Well “X”.
Figure 12. Flowing Material Balance method in Well “X”.
137
Figure 13. Blasingame type curve analysis in Well “Y”.
Figure 14. Agarwal-Gardner type curve analysis in Well “Y”.
Figure 15. Normalized Pressure Integral type curve analysis
in Well “Y”
Table V. Rate transient analysis/ rta results in Well “Y” (BetaIII Layer)
Figure 16. Flowing Material Balance method in Well “Y”.
138
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 131-140
analysis is an integrated method due to type curves
and non-type curve analysis are integrated to each
others and validated in estimating hydrocarbon in
place and reservoir characteristics. The results of
these methods are shown below:
Table VI. The results comparison from Volumetric, Reservoir
simulation, and Modern production data analysis
Figure 17. History match of Well “X” by analytical model.
Figure 18. History match of Well “Y” by analytical model.
Modern production data analysis result
is an unique results caused the results are not in
certain values but ranging values, as used type
curves and non type curve method simultaneously
and integrated to each others. From the results,
Well “X” has OOIP around 8.59-9.59 MMSTB
and Well “Y” has OGIP around 5.69-9.01 Bscf
according to type curve and flowing material
balance methods. And reservoir characteristics
Well “X” which including permeability around
7.92-8.97 mD and skin factor around 0.070.27, while Well “Y” has permeability around
5.43-6.70 mD and skin factor around 0.11-6.94
according to type curve methods. These results
from both of wells are interpretated for Alfa-I and
Beta-III Layers.
V. CONCLUSIONS & RECOMMENDATIONS
From this study, layers sectorization
and key well selection are the key in integrating
modern production data analysis or rate transient
analysis with volumetric method and reservoir
simulation. In addition, modern production data
As the results of modern production data
analysis are not significantly difference with
volumetric and reservoir simulation in estimating
hydrocarbon in place as well as could be estimate
reservoir characteriscs, it is fully recommended
to apply this method in another blocks for plan
of further development strategy in Alfa and Beta
Layers in EP Field.
ACKNOWLEDGMENTS
We would like to say thank you so
much for LPPM UPN “Veteran” Yogyakarta
and Petroleum Engineering Department of UPN
“Veteran” Yogyakarta for supporting this study.
Nomenclature
B
= formation volume factor
Bgi = initial gas formation volume
factor
Bo
= oil formation volume factor
A Comparison of Utilization of Modern Production Data Analysis to Volumetric & Reservoir Simulation Method in
Estimating Hydrocarbon In Place in Alfa-I and Beta-III Layers in EP Field (Aris Buntoro, Edo Pratama, and Eka Andhini)
Boi
= initial oil formation volume
factor
Ct
= total compressibility
h
= net pay
k
= permeability
P
= pressure
Po
= reference pressure
PD = dimensionless pressure
PDd = dimensionless pressure
derivative
PDi = dimensionless pressure integral
PDid = dimensionless pressure integralderivative
Pi
= initial reservoir pressure
Pp
= pseudo-pressure
Pwf = well flowing pressure
q
= flow rate
qD = dimensionless rate
qDd = dimensionless rate
qDdi = dimensionless rate integral
qDdid = dimensionless rate integralderivative
re
= exterior radius of reservoir
reD = dimensionless exterior radius of
reservoir
rw
= wellbore radius
rwa = apparent wellbore radius
s
= skin factor
t
= flow time
ta
= pseudo-time
tc
= material balance time
tca
= material balance pseudo-time
tD
= dimensionless time
tDA = dimensionless time
tDd = dimensionless time
Φ
= porosity
µ
= viscosity
REFERENCES
Agarwal, R., Gardner, D.C., Kleinsteiber, S.W. and
Fussel, D.D..: “Analyzing Well Production Data
Using Combined Type-Curve and DeclineCurve Analysis Concepts”, paper SPE 49222
139
presented at the 1998 SPE Annual Technical
Conference and Exhibition, 27-30 September,
New Orleans, Louisiana.
Akhter, Salma, et. al.. 2011. “A Study Commonly
Used Conventional Methods for Gas Reserve
Estimation”. Jornal of Chemical Engineering,
IEB. Vol. ChE. 26. No. 1, December 2011.
Craft, B.C. and Hawkins, M.F. 1991. “Applied
Petroleum Reservoir Engineering Second
Edition”. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs,
New Jersey.
Fekete. “Software Training Course – F.A.S.T RTA
(Rate Transient Analysis)”. Fekete Associates
Inc.
Haq, Bashirul and Gomes, Edmond. 2001.
“Estimation of Gas in Place of Bangladesh
Using Flowing Material Balance Method”.
4th International Conference on Mechanical
Engineering, December 26-28, 2001, Dhaka,
Bangladesh/pp.I 153-158.
Mattar,L and McNeil,R. “The ‘Flowing Gas’
Material Balance”. The Journal of Canadian
Petroleum Technology.
Mireault, Ray and Dean, Lisa. 2007. ”Reservoir
Engineering for Geologists”. Canadian Society
of Petroleum Geologists.
R. Clarkson, Christopher. 2011. “Integration of
Rate-Transient and Microseismic Analysis
for Unconventional Gas Reservoirs: Where
Reservoir Engineering Meets Geophysics.
University of Calgary, Calgary, Alberta,
Canada.
Rodrigues, Luis Carlos. 2005. “Early Prediction
of Reserves in Tight Gas Reservoirs”.
Thesis. Mewbourne School of Petroleum and
Geological Engineering.
Rukmana, Dadang. 2013. “Presentasi Workshop
Simulasi Reservoir”. Dinas Pengembangan
Lapangan,
Divisi
Pengkajian
dan
Pengembangan,
Bidang
Pengendalian
Perencanaan SKK Migas.
Schlumberger. 2006. “PETREL Seismic to
Simulation Software; Reservoir Engineering
Course v.2005 (course ed. 1).
140
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 131-140
Produksi Biosurfaktan untuk Peningkatan Perolehan Minyak Tahap Lanjut
dengan DNA Rekombinan
Production of Biosurfactant for Enhanced Oil Recovery by Recombinant DNA
Cut Nanda Sari1, Usman1, Yani Faozani1, Leni Herlina1, Oni Kristiawan1, Safrizal1,
Abdul Haris1 dan Ken Sawitri1
1Research and Development Center for Oil and Gas Technology “LEMIGAS”
Abstrak
Surfaktan untuk peningkatan poduksi minyak tahap lanjut yang banyak digunakan saat ini dalam
industri perminyakan dihasilkan dari sintesis petrokimia. Dengan pendekatan nanobioteknologi, molekul
dengan sifat surfaktan dapat direkayasa dari unsur-unsur molekul hayati sebagai alternatif surfaktan sintetis
produk petrokimia. Dalam penelitian sebelumnya telah dihasilkan surfaktan peptida yang memiliki potensi
sebagai alternatif surfaktan konvensional surfaktan untuk peningkatan produksi minyak tahap lanjut.
Makalah ini membahas produksi biosurfaktan peptida menggunakan teknik DNA rekombinan. Metode ini
memungkinkan produksi surfaktan dalam jumlah besar dengan harga lebih murah. Dengan bakteri inang
Eschericia Coli dan metode purifikasi kromatografi kolom cair yang selektif mengikat protein target berdasar
tag yang disisipkan, biaya produksi 1 liter surfaktan peptida dengan konsentrasi 5 µM sebesar Rp. 45.450,
lebih rendah 1/50 – 1/60 dari produksi sintesis kimia.
Kata Kunci: biosurfaktan, pengurasan minyak tahap lanjut, DNA rekombinan, bakteri inang.
Abstract
Surfactant for enhanced oil recovery that has been widely used in petroleum industry produced
from synthesized petrochemical. Using nanobiotechnology, molecular of surfactant nature characteristic
are engineered from molecules natural-based resources as one of alternative surfactant synthesis
from petrochemical. The previous research shown that chemically synthesized peptide surfactant offer
promising alternative to conventional surfactants for chemical enhanced oil recovery. This paper
discusses the peptide biosurfactant production using recombinant DNA tecnique. The technique allows
to obtain surfactant peptide in large quantities and cheaper. With a host bacterium Eschericia coli and
liquid column chromatography purification method that selectively bind to target proteins based on tags
which are inserted, the cost to produce 1 liter of 5 µM peptide surfactant is around Rp. 45.450 (forty five
thousand four hundred and fifty rupiah), which is lower 1/50 – 1/60 compared with the production using
chemical synthesis.
Keyword: biosurfactant, enhanced oil recovery, recombinant DNA, host bacterium.
I. PENDAHULUAN
Penggunaan surfaktan untuk peningkatan
perolehan minyak tahap lanjut (enhanced oil
recovery, EOR) telah dikenal luas dalam industri
perminyakan. Tambahan perolehan minyak
dari proses pendesakan minyak dengan larutan
surfaktan bervariasi hingga dapat mencapai 23%
(Al-Saadi et al., 2014, Zhu et al., 2014). Kriteria
pemilihan surfaktan untuk proses EOR adalah
tegangan antarmuka (interfacial tension, IFT)
minyak-air rendah, adsorpsi larutan surfaktan
pada permukaan batuan reservoar rendah,
kompatibel dengan fluida reservoar, dan biaya
produksi rendah.
Larutan surfaktan yang diinjeksikan ke
dalam reservoar berfungsi menurunkan tegangan
antarmuka minyak-air melalui adsorpsi dengan
mematahkan ikatan-ikatan hidrogen pada
permukaan molekul. Untuk keberhasilan injeksi
surfaktan EOR, IFT harus diturunkan dari kisaran
10 hingga 30 dyne/cm pada tipikal injeksi air
menjadi kurang dari 10-3 dyne/cm. Harga IFT
yang sangat rendah akan mengurangi tekanan
kapiler dalam pori batuan sehingga minyak yang
menempel pada permukaan rongga batuan mudah
141
142
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 141-148
terlepas dan mengalir ke sumur produksi.
Selain adsorpsi pada batas fase likuidlikuid, surfaktan juga dapat teradsorpsi pada batas
fase padat-likuid dan merubah sudut kontak padatlikuid. Dalam teknik perminyakan, karakteristik
ini digunakan untuk merubah sifat kebasahan
batuan (wettability) dari oil-wet menjadi waterwet sehingga minyak dari reservoar lebih mudah
mengalir menuju sumur produksi (Wang and
Mohanty, 2014).
Surfaktan konvensional yang saat ini
banyak digunakan dalam industri perminyakan
dihasilkan dari adalah senyawa organik yang
memiliki komposisi struktur satu atau lebih
“ekor” nonpolar sebagai hidrofobik yang
terhubung dengan sebuah polar bagian “kepala”
sebagai hidrofilik. Bagian ekor biasanya terdiri
atas rantai, lurus atau bercabang, hidrokarbon
atau fluorokarbon dengan 8-18 atom karbon.
Bagian kepala dapat berupa nonionik, ionik,
atau zwitterionik. Interaksi bagian kepala dengan
molekul air melalui interaksi dipole atau iondipole. Pada dasarnya karakteristik surfaktan
merupakan manifestasi dari rasio antara bagian
hidrofilik dan hidrofobik yang dikenal sebagai
HLB. Semakin rendah nilai HLB semakin
cenderung untuk mudah larut dalam minyak dan
membentuk emulsi air dalam minyak.
Berbeda dengan surfaktan konvensional,
surfaktan peptida memiliki sebuah struktur
polyamide backbone dengan dekorasi rantai
hidrofilik dan hidrofobik sepanjang sisinya.
Struktur peptida dapat dikembangkan sedemikian
rupa melalui reformasi ikatan hidrogen reguler
polyamide backbone. Peptida yang disusun
oleh 20 jenis asam amino dapat memiliki sifat
surfaktan apabila asam amino hidrofobik (valine,
leucine, dll) berada terpisah secara ruang terhadap
asam amino hidrofilik (histidine, threonine,
dll). Dengan kata lain, peptida dapat direkayasa
memiliki sifat ampifilik - pemisahan bagian
hidrofilik dan hidrofobik - dengan mengatur posisi
asam amino penyusunnya, yang merupakan syarat
utama surfaktan. Dua jenis struktur sekunder
peptida yang paling populer adalah α-helix dan
β-sheet. Struktur α-helix terbentuk bilamana
hidrogen tulang punggung (backbone) grup
amide saling mengikat dan tersusun bagaikan
uliran, sedangkan struktur β-sheet terbentuk
hampir terbentang penuh dimana backbone yang
bersebelahan menebar ikatan hidrogen didalam
atau diantara molekul. Jenis struktur molekul
peptide akan mempengaruhi nilai IFT (Jaya dkk.,
2011).
Perancangan surfaktan peptida dengan
pendekatan bioteknologi protein telah dilakukan
melalui proses sebagai berikut (Jaya dkk, 2012):
1) perancangan sekuen asam amino struktur
heliks, 2) perancangan sekuen asam amino
struktur hidrofobik, 3) perancangan sekuen
asam amino struktur hidrofilik bermuatan ion
negatif, 4) simulasi sekuen hasil perancangan
dengan beberapa parameter simulasi kondisi
reservoir, dan 5) sintesis kimia hasil perancangan
dan validasi sifat helisitas dengan circular
dichroism spectroscopy. Sintesa kimia dilakukan
menggunakan solid phase peptide synthesis
sementara high pressure liquid chromatography
digunakan untuk pemurnian. Hasil dari penelitian
ini adalah diperoleh sekuen molekul asam amino
surfaktan peptide, yang selanjutnya disebut
SUPEL, dengan sifat helisitas dan stabilitas suhu
lebih baik dari AM1 dan AFD4, produk surfaktan
peptida yang dipublikasikan pertama kali (Dexter
dkk., 2006).
Pembuatan surfaktan peptida yang
digunakan saat ini menggunakan teknik solid
phase peptide synthesis alias pembuatan secara
sintesis kimia. Metode ini diterapkan karena
cepat dalam tahapan skrining dimana diperlukan
surfaktan dalam versi beragam dan waktu
cepat. Untuk aplikasi di lapangan dimana hanya
digunakan satu jenis surfaktan protein dengan
volume yang besar. Penelitian ini bertujuan
mengembangkan metode produksi surfaktan
peptida skala besar dengan biaya yang lebih
ekonomis. Mengingat protein adalah produk
akhir informasi genetik, maka teknologi DNA
rekombinan dapat digunakan untuk membuat
protein dalam jumlah besar. DNA penyandi
surfaktan protein disisipkan ke dalam vektor
plasmid untuk dimasukkan ke dalam organisme
inang. Dalam penelitian ini digunakan bakteri E
coli sebagai organismo inang karena dapat adaptif
terhadap berbagai jenis protein (McKinstry dkk,
2014). Dalam organisme inang inilah berdasar
informasi dari “cetak biru” DNA yang disisipkan,
proses pembuatan surfaktan peptida dilakukan.
Metode ini sudah lazim digunakan dalam
produksi protein rekombinan untuk aplikasi
di bidang kesehatan, pangan, dan lingkungan
(Gavanji, 2013).
Produksi Biosurfaktan untuk Peningkatan Perolehan Minyak Tahap Lanjut dengan DNA Rekombinan
(Cut Nanda Sari, Usman, Yani Faozani, Leni Herlina, Oni Kristiawan, Safrizal, Abdul Haris dan Ken Sawitri)
II. METODE PENELITIAN
143
(methionine), maka sekuen DNA yang sebenarnya
disintesis dimulai dengan ATG sebelum kodon
Metode produksi surfaktan peptida TTC yang mengkode Phe (phenylalanine).
dengan teknik DNA rekombinan pada
mikroorganisme dilakukan melalui: 1) sintesis 3.2 Penyisipan Fragmen DNA
sekuen DNA penyandi surfaktan peptida dengan
codon usage, 2) menyisipkan sintesa DNA
Fragmen DNA penyandi SUPEL
penyandi surfaktan peptida ke vektor ekspresi kemudian disisipkan ke dalam plasmid pET28a
plasmid, 3) mentransformasikan vektor yang (Novagen) yang memiliki promoter dari
memuat DNA penyandi surfaktan peptida ke virus bakteriofaga T7 sehingga mempunyai
dalam organisme inang bakteri E (eschericia) tingkat ekspresi tinggi. Seperti dapat dilihat
coli, 4) mengkultur organisme inang E coli pada Gambar 2, berdasar peta vektor pET28a,
strain BL21 yang mengandung vektor yang telah untuk mendapatkan surfaktan protein tanpa
disisipi oleh DNA penyandi surfaktan peptida, tag, fragmen DNA harus disisipkan pada situs
5) mengekstraksi surfaktan peptida rekombinan pemotongan enzim restriksi NcoI. Sementara
dari organisme inang, 6) memurnikan surfaktan untuk mendapatkan surfaktan protein dengan tag
peptida rekombinan dengan teknik kromatografi His (Histidine), fragmen DNA harus disisipkan
kolom cair dan memastikan kemurnian pada situs pemotongan enzim restriksi NdeI.
surfaktan peptida dengan teknik SDS PAGE Untuk mendapatkan fragmen DNA penyandi
(sodium dodecyl sulphate-polyacrylamidegel SUPEL dengan situs pemotong enzim restriksi
electrophore-sis), 7) melakukan perhitungan yang berbeda, telah dilakukan polymerase chain
biaya produksi secara keseluruhan per-volume reaction (PCR) menggunakan sekuen primer
surfaktan peptida rekombinan yang dihasilkan.
(Kralicek dkk, 2011).
Ukuran fragmen DNA hasil PCR
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
dikonfirmasi dengan elektroforesis dalam gel
agarosa 2 % yang menggunakan buffer TAE.
3.1 Sintesa Sekuen DNA
Setelah elektroforesis, gel dicelup dalam cairan
Sybr Safe yang akan memperlihatkan besar
Sekuen asam amino dan DNA ukuran DNA dengan visualisi menggunakan alat
penyandi protein CheA (Histidine Kinase) GelDoc. Produk PCR dimurnikan menggunakan
dari archea thermotoga maritima yang bagian kit NucleoSpin Gel and PCR Clean-up. Lalu
phosphotransfer domainnya menjadi protein fragmen hasil amplifikasi dipotong dengan
1TQG.PDB, diunduh dari GenBank (http://www. enzim restriksi masing-masing secara bersamaan
ncbi.nlm.nih.gov) dengan kode akses masing- (double digest) pada suhu 37oC selama minimal
masing AAA96387 dan U30501. Walaupun 2 jam. Setelah itu, fragmen hasil pemotongan
informasi 3 basa nukleotida yang digunakan dielektroforesis dalam gel agarosa 2% (Gambar
untuk menerjemahkan 1 asam amino - disebut 3). Selanjutnya, pitanya dipotong dan gel
kodon - pada seluruh makhluk hidup yang dilarutkan serta dimurnikan menggunakan kit
dirangkum dalam Tabel Kode Genetik adalah NucleoSpin Gel and PCR Clean-up. Fragmen
sama, penggunaan jenis kodonnya berbeda-beda. DNA dengan plasmid pET28a kemudian diligasi
Artinya T. maritima dan E. coli menggunakan dengan kit DNA Ligation Ver.1. Sekuen DNA
kodon yang berbeda untuk menyandi suatu asam dibaca menggunakan alat DNA sequencer
amino, misal fenilalanine (Phe atau F) yaitu kapiler 3130. Visualisasi elektroferogram hasil
UUC pada T. maritima dan UUU pada E. coli. pembacaan sekuen DNA ditampilkan dalam
Karena itu, sekuen DNA penyandi SUPEL yang Gambar 4.
akan digunakan untuk memproduksi surfaktan di
bakteri E. coli dimodifikasi agar sesuai dengan 3.3 Transformasi Vektor ke Bakteri Inang
codon usage dalam bakteri inang. Sekuen
DNA penyandi 1TQG.PDB hasil modifikasi
Plasmid berbentuk lingkar memiliki
diperlihatkan pada Gambar 1. Karena untuk muatan ion negatif dari gugus fosfat DNA. Agar
ekspresi protein diperlukan start codon Met plasmid mudah masuk ke dalam bakteri inang
144
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 141-148
E. coli, maka permukaan bakteri diperlakukan
agar bermuatan positif dan membran luarnya
dihilangkan atau dikenal dengan istilah
cell competent. Transformasi atau upaya
memasukkan plasmid ke dalam cell competent
dilakukan dengan teknik kejut panas / heat shock
17. Tahapannya adalah sebagai berikut. Plasmid
diinkubasi bersama cell competent pada suhu 4oC
selama 10 menit, kemudian diinkubasi pada suhu
42oC selama 45 detik, lalu diinkubasi lagi pada
suhu 4oC selama 2 menit. Setelah itu ditambahkan
medium LB sebanyak 1 ml, kemudian dikultur
dengan cara dikocok pada suhu 37oC selama 1
jam. Terakhir, cairan kultur sebanyak 100 µl
dituangkan dan diratakan di atas medium padat
LB agar yang mengandung antibiotik kanamycin
50 µg/ml selama semalam dalam suhu 37oC.
3.4 Kultur
Keberadaan target DNA penyandi
surfaktan protein pada koloni yang telah diratakan
dikonfirmasi menggunakan teknik koloni PCR.
Setelah dipastikan, koloni dibiakkan dalam medium
LB cair untuk membuat stok gliserol 40% dan
disimpan dalam suhu -80oC. Kultur awal dilakukan
dalam medium LB cair 100 µL dan dikocok
dengan shaker horizontal dengan kecepatan 140
rpm pada suhu 37oC selama semalam. Setelah itu,
kultur awal ini dipindahkan ke dalam reaktor 3 L
yang diisi dengan medium LB cair 2 L bersama
bahan pengaktif promoter, bahan penghilang busa
adecanol 1 ml. Kultur dilakukan selama semalam
dengan kontrol suhu 25oC, aerasi 1 vvm, dan
agitasi 600 rpm. Dissolved oxygen (DO) diukur
untuk memastikan aktivitas bakteri selama kultur.
Metode kultur dengan bahan pengaktif promoter
ini - auto induction - adalah metode paling banyak
digunakan saat ini untuk menghasilkan protein
rekombinan dengan ekspresi sangat tinggi dan
paling ekonomis (Studier, 2005). Panen bakteri
dilakukan dengan sentrifugasi medium kultur
dengan kondisi 5.000 × g, 30 menit, 4oC. Setelah
dicuci menggunakan cairan NaCl 0,85% dingin,
cell pellet disimpan pada suhu -80oC sampai
digunakan untuk ekstraksi.
3.5 Ekstraksi
Sebanyak 20 g cell pellet disuspensi
dengan 40 µl buffer 50 µM potasium fosfat
pH 7,0 untuk surfaktan protein tanpa tag dan
40 µl buffer 50 µM potasium fosfat pH 7,0
yang mengandung 10 µM Imidazole dan 300
µM NaCl untuk surfaktan protein dengan tag
Histidine. Suspensi sel kemudian dimasukkan
ke dalam alat Frenchpressure untuk memecah
sel. Setelah sampel diencerkan 2 × menggunakan
buffer yang sama, sampel disentrifugasi dengan
kondisi 22.000 × g, 30 menit, 4oC. Supernatan
yang mengandung ekstrak larut air dipisahkan
untuk digunakan dalam proses selanjutnya yaitu
purifikasi.
3.6 Purifikasi
Purifikasi
menggunakan
teknik
kromatografi kolom cair (Young dkk., 2012).
Untuk sampel ekstrak larut air yang mengandung
surfaktan tanpa tag, sampel terlebih dahulu
didialisis menggunakan dialysis membrane
dengan ukuran lubang 3.500 Da (spectrum
laboratories) dalam 5 L buffer 50 µM potasium
fosfat pH 7,0 selama semalam, suhu 4oC.
Sementara untuk sampel ekstrak larut air yang
mengandung surfaktan dengan tag, sampel bisa
langsung digunakan untuk tahapan berikutnya,
purifikasi kromatografi kolom cair. Prediksi
muatan ion yang menentukan nilai pI surfaktan
protein SUPEL menggunakan Compute pI/MW
(ExPASY Bioinformatics Resource Portal: http://
web.expasy.org/compute_pi).
Berdasarkan nilai pI, untuk sampel
ekstrak larut air yang mengandung surfaktan
protein tanpa tag, purifikasi dilakukan 2 tahap,
pertama menggunakan kolom penukar anion
Toyopearl DEAE-650, setelah itu menggunakan
kolom penukar kation Toyopearl CM-650.
Pertama, sampel diinkubasi bersama matriks
Toyopearl DEAE-650 dan sampel surfaktan
protein berada di fraksi yang tidak berikatan
dengan matriks. Selanjutnya sampel dipurifikasi
dengan Toyopearl CM-650. Caranya, setelah
Toyopearl DEAE-650 M diekuilibrasi dengan
buffer 50 µM potasium fosfat, sampel diinjeksi
ke dalam kolom, kemudian dialirkan buffer yang
sama sebanyak 5 x bed volume untuk melepas
protein-protein yang tidak berikatan spesifik
dengan matriks. Setelah itu, protein-protein yang
berikatan dengan matriks dielusi menggunakan
gradien linier 0-100 % buffer 50 µM potasium
fosfat pH 7,0 yang mengandung 200 µM NaCl.
Produksi Biosurfaktan untuk Peningkatan Perolehan Minyak Tahap Lanjut dengan DNA Rekombinan
(Cut Nanda Sari, Usman, Yani Faozani, Leni Herlina, Oni Kristiawan, Safrizal, Abdul Haris dan Ken Sawitri)
Purifikasi sampel surfaktan protein
dengan tag lebih sederhana yaitu, sampel
ekstrak larut air langsung dapat diaplikasikan ke
dalam kolom Ni-NTA Agarose. Setelah kolom
diekulibrasi dengan buffer 50 µM potasium fosfat
pH 7,0 yang mengandung 10 mM imidazole
dan 300 mM NaCl (buffer A) sebanyak 3 x bed
volume matriks, sampel diinjeksi, lalu dialirkan
buffer A lagi sebanyak 3 × bed volume untuk
melepas protein-protein yang tidak berikatan
spesifik dengan matriks.
Perbedaan tahapan dalam produksi
surfaktan protein tanpa dan dengan tag dirangkum
dalam Tabel 1. Protein tanpa tag memerlukan
tahapan yang lebih banyak dalam kegiatan
purifikasi dibanding dengan protein dengan tag.
Tahap terakhir adalah protein-protein yang
berikatan dengan matriks dielusi menggunakan
step gradien buffer 50 µM potassium fosfat pH 7,0
yang mengandung 300 µM NaCl tapi kandungan
imidazole bertingkat dari 70 µM, 130 µM, 190
µM, 250 µM, 310 µM, 370 µM, 430 µM dan 500
µM. Fraksi hasil elusi, dielektroforesis dalam gel
SDS 16,5 % bersama marker polypetide SDSPAGE molecular weight standards dan dicat
menggunakan coomassie brilliant blue.
Konfirmasi hasil purifikasi surfaktan
protein dilakukan dengan elektroforesis SDSPAGE yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar
5. Keterangan lajur dalam Gambar 5 adalah:
1. SUPEL dengan tag; 2. SUPEL tanpa tag; 3.
Peptida J4 (kontrol); 4. Peptida J6 (kontrol).
Tanda panah menunjukkan pita surfaktan protein
target.
Hasil komputasi nilai pI SUPEL tanpa tag
dan dengan tag, masing-masing menunjukkan
angka 7,98 dan 9,31. Nilai yang cenderung ke
arah basa membuat protein ini tidak mampu
berikatan dengan matriks anion tapi sebaliknya
mampu berikatan dengan matriks kation
kromatografi kolom cair. Keberadaan sekuen
asam amino yang merupakan situs pemotongan
enzim thrombin pada sekuen surfaktan protein
dengan tag memungkinkan penghilangan sekuen
asam amino tambahan bila keberadaannya tidak
diinginkan.
145
teknologi DNA rekombinan. Produksi protein
surfaktan menggunakan tag menghasilkan
protein rekombinan lebih banyak karena tahapan
yang lebih sedikit. Perhitungan biaya bahan
habis pakai untuk produksi protein surfaktan
menggunakan tag ditampilkan dalam Tabel 2.
Seperti diperkirakan, komponen bahan
habis pakai terbesar dalam produksi adalah
tahapan down stream atau purifikasi yang
mencakup 75%. Bila biaya overhead lain seperti
sumber daya manusia dan utilitas (listrik, air, dll)
diasumsikan 100% dari biaya produksi, maka
biaya total Rp. 4.000.000 untuk menghasilkan
surfaktan protein menggunakan 1 liter medium.
Menurut data Tabel 2, dari 1 liter medium
bisa dihasilkan surfaktan protein murni 1,1 g.
Sehingga untuk menghasilkan larutan surfaktan
protein dengan konsentrasi 5 µM (berat molekul
SUPEL adalah 2.500 g/mol) sebanyak 1 liter,
diperlukan biaya minimal (12,5 / 1.1) x Rp.
4.000.000 = Rp. 45.450. Apabila diperlukan
surfaktan protein sebanyak 100 L, maka
perkiraan biaya produksi sekitar Rp. 4.545.000
juta. Dibandingkan dengan biaya produksi
menggunakan sintesis kimia, biaya ini 1/50 1/60 lebih rendah.
IV. KESIMPULAN
Produksi surfaktan peptida SUPEL
skala besar dapat dilakukan dengan teknologi
DNA rekombinan. Proses produksi dengan
bakteri inang Eschericia coli berlangsung relatif
cepat dan biaya rendah. Protein rekombinan
telah dipurifikasi menggunakan kromatografi
kolom cair. Produksi satu liter SUPEL dengan
konsentrasi 5 µM memerlukan biaya Rp.
45.450. Biaya ini lebih rendah 1/50 – 1/60 dari
produksi SUPEL menggunakan sintesis kimia.
Biaya purifikasi yang mencapai 75% merupakan
komponen biaya terbesar dalam proses produksi
SUPEL dengan DNA rekombinan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
3.7 Kajian Keekonomian
Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” atas dukungan
yang diberikan dalam pelaksanaan kegiatan
Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa penelitian dan pengembangan produksi biosurfaktan
surfaktan protein SUPEL bisa diproduksi dengan untuk peningkatan produksi tahap lanjut.
146
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 141-148
REFERENSI
Al-Saadi, F. S., Al-Subhi, H. A., and Sl-Siyabi, H.,
2014. Recovery Factor Estimation in EOR
Polymerflood Project: Field Case, SPE EOR
Conference at Oil and Gas West Asia, 31 March
– 2 April, Muscat, Oman.
Dexter, A.F., Malcom, A.S., dan Middelberg, A.P.J.,
2006. Reversible Active Switching of the
Mechanical Properties of a Peptide Film at FluidFluid Interface, Nature Materials, Volume 5,
June 2006, pp. 502-506.
Jaya, I., Witarto, A.B., Udiharto, M., Usman, Haris,
A., Rahayu, S.A., Sugihardjo, Syafrizal, Faozani,
Y., Nanda, C., dan Kristiawan, O., 2012.
Perancangan Surfaktan Protein untuk Pengurasan
Minyak, Prosiding Simposium Nasional dan
Kongres IATMI XII, Jakarta.
Jaya, I., Witarto, A.B., Haris, A., Faozani, Y., Syafrizal,
dan Usman, 2011. Pengaruh Jenis Struktur
Molekul Peptida terhadap Tegangan Antar Muka:
Sebuah Upaya Pengembangan Surfaktan EOR
dengan Penerapan Nanobioteknologi, Diskusi
Ilmiah XI, PPPTMGB “LEMIGAS”, Jakarta.
Kralicek, A.V., Radjainia, M., Mohamad Ali, N.A.B.,
Carraher, C., Newcomb, R.D., and Mitra, A.K.,
2011. A PCR-directed cell-free approach to
optimize protein expression using diverse fusion
tags,
Protein Expression and Purification,
Volume 80, November 2011, pp. 117-124.
McKinstry, W. J., Hijnen, M., Tanwar, H.S., Sparrow,
L.G., Nagarajan, S., Pham, S.T., and Mark, J.,
2014. Expression and purification of soluble
recombinant full length HIV-1 Pr55Gag protein
in Escherichia coli, Protein Expression and
Purification, Volume 100, August 2014, pp. 10-18.
Gavanji, S., 2013. Application of Recombinant DNA
Technology - A Review, Volume 2 (2), pp. 29-31.
Studier, F.W., 2005. Protein production by autoinduction in high-density shaking cultures,
Protein Expression and Purification, Volume 41
(2005), pp. 207-234.
Wang, L. and Mohanty, K., 2014. Enhanced Oil
Recovery in Gasflooded Carbonate Reservoirs
by Wettability-Altering Surfactants, SPE Journal,
Volume 20 (01), pp. 60-69.
Young, C.L., Britton, Z.T., and Robinson, A.S., 2012.
Recombinant protein expression and purification:
A comprehensive review of affinity tags and
microbial applications. Biotechnology Journal,
Volume 7 (2012), pp. 620-634.
Zhu, Y., Cao, F., Bai, Z., Wang, Z., Wang, H., and Zhao,
S., 2014. Studies on ASP Flooding Formulation
Based n Alkylbenzene Sulfonate Surfactants,
SPE Asia Pacific Oil & Gas Conference and
Exhibition, 14-16 October, Adelaide, Australia.
LAMPIRAN
Tabel 1. Ringkasan tahapan dan hasil purifikasi SUPEL tanpa dan dengan tag.
Produksi Biosurfaktan untuk Peningkatan Perolehan Minyak Tahap Lanjut dengan DNA Rekombinan
(Cut Nanda Sari, Usman, Yani Faozani, Leni Herlina, Oni Kristiawan, Safrizal, Abdul Haris dan Ken Sawitri)
Tabel 2. Komponen biaya produksi bahan habis pakai surfaktan peptida.
Gambar 1. Sekuen DNA penyandi 1TQG hasil modifikasi.
Gambar 2. Peta vector pET28a (Sumber: Novagen).
Gambar 3. Elektroforesis gel agarosa fragmen DNA penyandi SUPEL.
147
148
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 141-148
Gambar 4. Elektroferogram fragmen DNA penyandi SUPEL hasil sintesis DNA.
Gambar 5. SDS-PAGE sampel surfaktan protein SUPEL (2.5 kD).
Optimasi Konsentrasi Chemical Matrix Acidizing pada Batuan Pasir dengan
Menggunakan Core Sintetik
Optimal Chemical Matrix Acidizing Concentration at Sandstone
by Using Synthetic Cores
Antonius Dwiyanto dan Muhammad Arham Nur
PT Pertamina EP Asset 2, Jl Jendral Sudirman No.3, Prabumulih, Sumatera Selatan
Abstrak
Lumpur pemboran jenis water base mud merupakan lumpur pemboran yang umum digunakan
di lapangan minyak di dunia. Lumpur pemboran selain berfungsi untuk menahan tekanan formasi saat
pemboran berlangsung, juga berfungsi untuk mengurangi resiko terjepitnya pipa pemboran oleh cutting
pemboran yang tidak dapat terangkat dengan baik ke permukaan. Invasi lumpur pemboran ke dalam area
di sekitar lubang sumur sering terjadi, invasi ini bisa mengakibatkan terbentuknya skin positif akibat
terjadinya penurunan permeabilitas di area sekitar lubang sumur sehingga mengakibatkan kemampuan
sumur untuk mengalirkan fluida berkurang.
Acidizing merupakan suatu metode stimulasi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki permeabilitas
di area sekitar lubang sumur yang mengalami kerusakan sehingga produksi dari sumur tersebut mengalami
peningkatan.
Pemilihan konsentrasi chemical acidizing yang optimal dapat dilakukan dengan cara
mensimulasikannya di core sintetik yang identik. Acidizing batuan pasir di laboratorium dengan
menggunakan campuran HCl 15% + HF 5% telah menyebabkan perbaikan kemampuan alir batuan menjadi
dua kali dari sebelum di acidizing. Perbaikan ini menyebabkan kenaikan produksi sumur tersebut.
Kata kunci: acidizing, water base mud, core sintetik
Abstract
Types of water base drilling mud drilling is commonly used in the oil field in the world. Drilling
mud in addition serves to hold the formation pressure while drilling is in progress, also serves to reduce the
risk of stuck string drill pipe by cutting that can not be lifted to the surface properly. Drilling mud invasion
into the area around the wellbore often happens, this invasion can lead to the formation of a positive skin
permeability due to the decrease in the area around the wellbore, resulting in the well’s ability to drain the
fluid decreases.
Acidizing is a stimulation method that can be done to improve permeability in the area around the
damaged wellbore so that the production of these wells has increased.
Selection of optimal acidizing chemical concentration can be done by simulation with identical
synthetic cores. Sandstone acidizing in the laboratory by using a mixture of 15% HCl + 5% HF has led
to the improvement of flow ability of the rock to twice before in acidizing. These improvements led to an
increase in production of the well.
Keywords: acidizing, water base mud, synthetic cores
I. PENDAHULUAN
Permeabilitas merupakan besaran yang
menyatakan kemampuan suatu batuan untuk
mengalirkan fluida. Permeabilitas batuan
umumnya dinyatakan dalam satuan darcy. Suatu
batuan dikatakan mempunyai permeabilitas satu
darcy jika satu fasa fluida dengan viskositas satu
centipoise mengisi rongga dan mengalir pada
laju alir satu centimeter kubik per detik per satu
centimeter kuadrat luas penampang di bawah
tekanan atau gradien hidrolik satu atmosphere
per centimeter.
Pada awalnya batuan formasi memiliki
nilai permeabilitas tertentu. Kegiatan seperti
pemboran atau pun work over bisa menyebabkan
149
150
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 149-156
permeabilitas dari batuan formasi menjadi turun.
Penurunan permeabilitas batuan formasi ini yang
dinamakan formation damage.
Fungsi utama dari lumpur pemboran yaitu
mengontrol tekanan di lubang sumur, mengangkat
cutting kepermukan, serta menjaga stabilitas
lubang sumur ketika pemboran berlangsung.
Selain itu lumpur pemboran juga memiliki fungsi
lainnya seperti menahan sebagian berat drill
string dan casing, mendinginkan dan melumasi
drill string, sebagai media logging dan lain-lain.
Penggunaan lumpur pemboran memberikan
juga akan memberikan beberapa keuntungan
seperti mengurangi resiko terjepitnya drill string,
mengurangi kehilangan tekanan ketika pemboran
berlangsung, mengurangi korosi, mengurangi
terjadinya loss circulation, dan meningkatkan
laju penetrasi drill string.
Water Based Mud merupakan lumpur
pemboran yang umum digunakan pada pemboran
di lapangan panas bumi. Water Based Mud
pada umumnya mudah untuk dibuat dan lebih
murah dibanding lumpur lainnya. Kebanyakan
pemboran dilakukan secara overbalance, dimana
tekanan hidrostatik lumpur dibuat sedikit lebih
besar dibanding tekanan formasinya sehingga
menyebabkan lumpur pemboran bermigrasi ke
dalam area dekat lubang sumur. Partikel-partikel
halus yang terdapat pada lumpur pemboran
kemungkinan menyumbat pori-pori batuan
atau pun filtrat dari lumpur pemboran bereaksi
kimia dengan clay di dalam formasi. Hal ini
akan menyebabkan permeabilitas batuan dekat
lubang sumur menurun secara drastis, sehingga
mengakibatkan kemampuan sumur tersebut untuk
mengalirkan fluida kepermukaan berkurang.
Stimulasi dilakukan untuk meningkatkan
kapasitas produksi dari suatu sumur. Salah satu
parameter yang dapat diperbaiki dari stimulasi
sumur adalah meningkat permeabilitas batuan
di sekitar lubang sumur. Ada banyak metode
yang dapat digunakan untuk meningkatkan
permeabilitas batuan disekitar lubang sumur
seperti melakukan fracturing atau pun acidizing.
Karakteristik reservoir di sekitar lubang
sumur merupakan hal penting yang perlu
dipertimbangkan sebelum melakukan pemilihan
metode stimulasi.
Dasar dari metode acidizing adalah
melarutkan mineral fomasi dan material asing
seperti lumpur pemboran yang masuk kedalam
formasi ketika proses pemboran maupun work
over dilakukan. Keberhasilan proses acidizing
ini tergantung dari metode yang dilakukan,
jenis asam yang dipakai, serta konsentrasi dari
asam yang akan digunakan. Acidizing dapat
dikelompokan kedalam dua kelompok besar
yaitu matrix acidizing dan acid fracturing.
Matrix
acidizing
didefinisikan
penginjeksian
asam
kedalam
porositas
formasi dimana tekanan injeksinya lebih
kecil dibandingkan dengan tekanan rekah
formasi tersebut. Target dari matrix acidizing
ini adalah untuk mencapai penetrasi asam
secara radial kedalam formasi. Stimulasi ini
biasanya dikerjakan dengan cara memperbaiki
permeabilitas formasi disekitar lubang sumur
melalui pelebaran pori dan melarutkan partikelpartikel yang menyumbat pori batuan.
Ada dua jenis asam yang dapat digunakan
dalam stimulasi acidizing, yaitu asam inorganik
(asam kuat) seperti hydrochloric acid (HCl) dan
hydrofluoric acid (HF) serta asam organik (asam
lemah) seperti acetic acid dan glacial acetic acid,
acetic anhydride, citric acid, dan formic acid.
HCl merupakan asam inorganik yang
paling sering digunakan pada stimulasi sumur.
HCl memiliki banyak keuntungan dalam
aplikasinya, diantaranya:
• Biayanya murah dan mudah didapat.
• Tegangan permukaan dapat dikontrol untuk
menambah:
- Penetrasi.
- Penurunan friksi tekanan.
• Dapat diemulsikan untuk laju reaksi yang
rendah.
• Mudah untuk dibersihkan.
• Mengeliminasi produk reaksi yang tidak
dapat larut.
HCl normalnya dipompakan dengan
selang konsentrasi 3.0% sampai dengan 28%.
HCl dengan konsentrasi rendah dapat digunakan
untuk menghilangkan sumbatan garam. HCl
dengan konsentrasi tinggi digunakan untuk
mendapatkan waktu reaksi yang lebih lama dan
menciptakan channel aliran yang besar.
Konsentrasi HCl yang sering digunakan
adalah HCl 15%, dengan alasan:
• Biaya per unit volume nya termurah untuk
asam yang kuat.
• Mudah dalam penanganan bahaya.
• Menghasilkan kuantitas pelarutan garam terbesar.
Optimasi Konsentrasi Chemical Matrix Acidizing Pada Batuan Pasir Dengan Menggunakan Core Sintetik
(Antonius Dwiyanto dan Muhammad Arham Nur)
151
HCl merupakan cairan yang tidak menggambarkan metodologi penelitian secara
berwarna, tetapi akan menjadi kekuning- umum.
kuningan jika terkontaminasi dengan besi, klorin,
atau pun zat-zat organik. Biasanya HCl yang
dijual dipasaran memiliki konsetrasi 37% dari
berat larutannya.
HF merupakan asam inorganik lainnya
yang biasa digunakan dalam stimulasi. Biasanya
HF digunakan:
• Bersamaan dengan HCl.
• Untuk melakukan acidizing di matrik batuan
pasir.
• Untuk menghilangkan partikel yang tidak
dapat dilarutkan oleh HCl.
• Konsentrasi yang umumnya digunakan
berkisar 1,5% sampai 6%.
HF dapat merusak silika, karet, serta logam
seperti besi dan masih banyak material organik
lainnya. Pada stimulasi sumur, HF normalnya
dikombinasikan dengan HCl. HF merupakan
zat yang beracun, baik sendiri maupun ketika
dicampur dengan HCl, sehingga dibutuhkan
Gambar 1. Metodologi penelitian secara umum.
perhatian yang ekstra dalam penanganannya.
II. METODOLOGI
Hal-hal yang harus dipersiapkan sebelum
melakukan penelitian antara lain adalah alat dan
Penelitian dilakukan dengan melihat bahan dan prosedur penelitian.
kemampuan larutan asam dengan konsentrasi
tertentu untuk memperbaiki permeabilitas batuan 2.1 Alat dan Bahan
yang telah terinvasi lumpur pemboran dan efek
Alat-alat dan bahan yang digunakan
korosinya.
Area disekitar lubang sumur yang terdiri dari alat dan bahan pembuatan core dan
telah terinvasi lumpur pemboran dimodelkan lumpur, alat dan bahan acidizing, alat dan bahan
dengan core sintetik dengan komposisi mineral tes injektivitas, serta alat dan bahan pengamatan
tertentu. Core sintetik tersebut kemudian diukur korosi. Alat dan bahan tersebut ditampilkan pada
porositasnya untuk memastikan bahwa core lampiran A sampai dengan B. Pengukur densitas
tersebut memiliki karakteristik yang tidak jauh fluida digunakan alat picnometer dan pengukuran
berbeda satu sama lainnya. Setelah itu core viskositas fluida digunakan alat viskometer
dirusaki lumpur pemboran dengan cara merendam ostwald.
core tersebut kedalam lumpur pemboran pada
temperatur reservoir. Lalu acidizing dilakukan 2.2 Prosedur Pembuatan Core
terhadap core tersebut dengan cara merendam
Core yang dibuat merepresentasikan
core tersebut kedalam larutan asam yang tersedia
dan terakhir adalah melakukan injectivity test batuan reservoir panas bumi sedimen. Core
terhadap core yang telah di acidizing dengan tersebut terdiri dari mineral karbonat dan pasir.
Prosedur pembuatan core adalah sebagai berikut:
mengunakan peralatan core flooding.
batuan
karbonat
dengan
Efek korosi diamati dengan cara • Haluskan
menggunakan palu.
merendam material yang mengandung besi (paku)
kedalam larutan asam pada temperatur tertentu • Ayak butiran batuan karbonat dengan
menggunakan pengayak.
dengan cara mengamati kehilangan massa yang
dialami paku yang telah direndam. Gambar 1. • Bahan dasar core dibuat dari campuran
152
•
•
•
•
•
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 149-156
butiran batuan karbonat : pasir : semen
dengan perbandingan sebesar 4:15:9.
Campuran karbonat, pasir, dan semen
ditambahkan air secukupnya, diaduk hingga
homogen dan dicetak ke dalam selongsong
plastik dengan panjang 5 cm dan diameter
dalam 2,5 cm.
Cetakan core didiamkan tiga hari hingga
kering, kemudian core dikeluarkan dari cetakan
dengan menggunakan peralatan coring.
Core kemudian dicuci dengan air dan
dikeringkan di dalam oven.
Gerinda core sehingga dimensinya sama
dengan karet penjepit pada core holder.
Core ditentukan dimensinya dan ditimbang
berat keringnya.
Core dijenuhkan oleh air formasi selama 3 hari.
Setelah 3 hari, berat basah core ditentukan
untuk menentukan volume pori.
•
•
•
•
dengan cara mengencerkan larutan HCl 32%
dan HF 65% menggunakan air injeksi yang
telah disaring sebanyak 150 ml dan diaduk
dengan menggunakan magnetic stirer.
Panaskan larutan yang telah dibuat hingga
temperatur 125ºC.
Rendam core didalam larutan selama 10
menit.
Angkat core.
Ulangi percobaan tersebut untuk core dan
larutan-larutan yang lainnya.
2.6 Prosedur Injectivity Test
Prosedur penginvasian lumpur kedalam
core adalah sebagai berikut:
• Tuang lumpur kedalam gelas pyrex 1 liter.
• Masukkan core kedalam gelas sampai seluruh
bagian core terendam.
• Masukkan kedalam oven selama 1 hari.
• Panaskan lumpur dan core menggunakan heater,
temperatur heater yang digunakan 150°C.
• Angkat core dari lumpur, lalu bersihkan.
Prosedur acidizing terhadap core adalah
sebagai berikut:
• Siapkan air injeksi yang telah disaring
sebanyak 1200 ml.
• Tuangkan air kedalam chamber portable.
• Pompakan air dengan menggunakan
kompresor
menuju
chamber
fluida
penginjeksi yang berada didalam oven.
• Panaskan air sampai dengan temperatur
125°C.
• Masukkan core ke dalam selubung karet.
• Pastikan core tersimpan dengan baik dalam
selubung karet.
• Masukkan selubung karet kedalam core
holder.
• Jepit selang karet yang berisi core dengan
menggunakan gas nitrogen pada tekanan 110
psi.
• Injeksikan air dengan menggunakan pompa
Ruska pada tekanan tertentu dan tampung air
yang keluar dari core holder serta waktunya
untuk mengetahui laju air yang terinjeksikan.
• Setelah diinjeksikan pada titik tekanantekanan injeksi tertentu, injeksikan core
sampai dengan tekanan 100 psi, matikan
pompa dan catat penurunan tekanan dan air
yang masih mengalir terhadap waktu.
• Lakukan prosedur tersebut untuk core yang
lainnya.
2.5 Prosedur Acidizing
2.7 Prosedur Pengamatan Efek Korosi
•
•
2.3 Prosedur Pembuatan Lumpur Pemboran
Lumpur yang digunakan adalah lumpur
standar dengan perbandingan 22,5 gr bentonite
dan 350 ml air. Prosedur pembuatannya adalah
sebagai berikut:
• Siapkan 3 buah cup besi.
• Isi tiap cup dengan air 350 ml.
• Masukkan kedalam tiap cup tersebut bentonite
22,5 gr.
• Aduk dengan menggunakan mixer sampai rata.
2.4 Prosedur Invasi Lumpur
Prosedur acidizing terhadap core adalah
Prosedur pengamatan efek korosi
sebagai berikut:
terhadap material besi adalah sebagai berikut:
• Tentukan core yang akan di acidizing.
• Siapkan 8 botol plastik 100 ml.
• Buat larutan asam HCl 15% + HF 3%, HCl • Buat larutan asam HCl 7,5 % + HF 5, HCl
15% + HF 5%, dan HCl 15% + HF 9%
15% + HF 3%, HCl 15% + HF 5%, dan HCl
Optimasi Konsentrasi Chemical Matrix Acidizing Pada Batuan Pasir Dengan Menggunakan Core Sintetik
(Antonius Dwiyanto dan Muhammad Arham Nur)
•
•
•
•
•
•
•
•
•
15% + HF 9% dengan cara mengencerkan
larutan HCl 32% dan HF 65% menggunakan
air injeksi yang telah disaring sebanyak
150 ml dan diaduk dengan menggunakan
magnetic stirer.
Masukkan larutan yang telah dibuat kedalam
botol plastik 100 ml.
Masukkan larutan kedalam oven sampai
temperaturnya 70°C.
Ukur berat mula-mula paku dengan
menggunakan timbangan analitik.
Masukkan paku kedalam botol yang berisi
larutan HCl dan HF dengan konsentrasi
tertentu lalu masukkan kembali kedalam
oven dan pastikan seluruh permukaan paku
benar-benar terendam oleh larutan.
Setelah satu jam keluarkan paku dari
larutan.
Keringkan paku dengan menggunakan tisu
lalu timbang.
Masukkan paku kedalam botol yang berisi
larutan HCl dan HF lalu masukkan kembali
kedalam oven ulangi pengukuran tersebut
tiap satu jam.
Hentikan perendaman pada jam ke 7 dan ukur
kembali berat kering paku.
Ulangi prosedur tersebut untuk suhu 26ºC.
2.8 Hasil Pengukuran Porositas
Porositas merupakan perbandingan
antara volume pori dengan volume bulknya. Porositas batuan dapat mengindikasikan
kemampuan batuan tersebut untuk menampung
fluida. Makin besar porositasnya maka
kemampuan batuan tersebut untuk menampung
fluida makin besar. Berdasarkan hubungan antar
porinya porositas dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu: Porositas efektif, yaitu perbandingan
antara volume pori yang saling terhubung
dengan volume bulk-nya. Porositas absolut,
yaitu perbandingan antara volume pori total
dengan volume bulk-nya.
Porositas dapat dituliskan secara
matematika melalui persamaan:
Ф = ( Vp / Vb ) x 100%
dimana:
Ф
= porositas, (%)
Vp
= Volume pori, (cc)
Vb
= Volume bulk, (cc)
153
Porositas yang diukur dalam percobaan
ini adalah porositas efektif dengan metode water
saturation. Tabel 1 merupakan hasil pengukuran
densitas dan viskositas air injeksi yang digunakan
untuk mensaturasi core.
Tabel 1. Densitas dan viskositas air injeksi.
Porositas core memiliki selang 19-20%.
Hal ini memungkinkan untuk menganggap
porositas core adalah sama. Nilai porositas
masing-masing core terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data core.
2.9 Hasil Injectivity Test
Sebelum dilakukan injectivity test, core
yang telah dibuat di invasi dengan menggunakan
lumpur pemboran lalu diasamkan. Asam yang
digunakan terdiri dari tiga campuran yaitu
campuran HCl 15%+ HF 3% dan HCl 15% dan HF
5% dan HCl 15%+ HF 9%. Core yang digunakan
dalam proses acidizing pada percobaan ini dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Data core.
Dari hasil injeksi air formasi ke dalam
core pada tekananan tertentu terlihat bahwa core
yang di acidizing dengan campuran HCl 15%+
HF 5% dan HCl 15% dan HF 3% memberikan
nilai Injectivity Index yang lebih besar dibanding
core yang di acidazing dengan campuran HCl
154
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 149-156
15%+ HF 9%, maupun core yang tidak di
acidizing. Penambahan konsentrasi asam HF
menjadi 9% justru menurunkan Injectivity Index
dari core tersebut. Hal ini dimungkinkan banyak
partikel-partikel core yang tergerus oleh HF yang
menyumbat pori-pori core, sehingga permeabilitas
core menjadi menurun. Hubungan antara tekanan
injeksi dengan rate injeksi ditampilkan. Gambar
2 dan 3 juga menggambarkan bahwa nilai
permeabilitas core yang di acidizing dengan
campuran HCl 15%+ HF 5% dan HCl 15%
dan HF 3% lebih baik dibanding core yang di
acidizing dengan campuran HCl 15%+ HF 9%.
Penurunan suhu dengan cara menginjeksikan air
kedalam sumur beberapa hari sebelum injeksi
disarankan untuk dilakukan untuk mengurangi
laju korosi.
Gambar 4. Grafik Time vs weight loss pada temperatur 26°C.
Gambar 2. Grafik injection rate vs injection pressure.
Gambar 5. Grafik Time vs weight loss pada temperatur 70°C.
III. Kesimpulan
Gambar 3. Grafik penurunan tekanan.
Asam yang akan diinjeksikan ke sumur
akan melewati pipa-pipa injeksi dan pipa-pipa
produksi. HF dan HCl merupakan asam kuat,
sehingga efek korosi harus dipertimbangkan agar
pipa-pipa tersebut tidak mengalami kerusakan
yang nantinya dapat menurunkan kapasitas
produksi sumur tersebut.
Efek korosi diamati dengan cara melihat
weight loss yang dialami sampel (paku besi)
pada temperatur dan campuran tertentu. Dari
Gambar 4 dan 5 terlihat bahwa peningkatan
temperatur meningkatkan laju korosi. Sumur
panas bumi memiliki temperatur yang lebih besar
dibandingkan sumur-sumur minyak dan gas.
1. Campuran HF 5% dan HCl 15% memberikan
perbaikan Productivity Index terbaik yaitu 2
kali dari kondisi awal.
2. Kenaikan temperatur mempercepat proses
korosi, sehingga proses pendinginan sumur
sebelum acidizing perlu dilakukan untuk
mengurangi efek dari korosi tersebut.
IV. Saran
1. Proses penginvasian lumpur dan acidizing di
laboratorium tidak hanya mempertimbangkan
temperatur, tetapi juga tekanan dasar
sumurnya.
2. Untuk mendapatkan hasil yang lebih
refresentatif, core yang digunakan
adalah core asli dari sumur yang akan di
acidizing.
3. Pasang pressure gauge tepat di inlet dan
outlet core holder agar permeabilitas core
dapat diukur.
Optimasi Konsentrasi Chemical Matrix Acidizing Pada Batuan Pasir Dengan Menggunakan Core Sintetik
(Antonius Dwiyanto dan Muhammad Arham Nur)
REFERENSI
Ahmed, Tarek, “Reservoir Engineering Handbook”,
Gulf Professional Publishing, 2001.
BJ Service., “Acidizing Concept and Design”, 2000.
Bellarby,
Jonathan,
“Well
Completion
Design”,Elsevier Science, 2009.
Dake, L. P., “Fundamentals of Reservoir Engineering”
Elsevier Science, 1978.
Darley, H.,”Composition and Properties of Drilling
and Completion fluids”,Gulf, 1988.
155
Economides, M., “A Practical Companion to
Reservoir Stimulation”, Elsiver Scienece,
1992.
Economides,
M.,
“Reservoir
Stimulation”,
Schlumberger Education Services, 1989.
Guom, B., “Petroleum Production Engineering”,
Elsevier Science, 2007.
Prassl, W.L, “Drilling Engineering”, Curtin University
of Technology, 2000.
Schecter,R.S, “Oil Well Stimulation”, Prantice-Hall,
1992.
LAMPIRAN
Lampiran A. Penentuan Chemical di Laboratorium.
156
JTMGB, Vol. 9 No. 3 Desember 2015: 149-156
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada para Mitra Bestari yang telah mengevaluasi, mereview dan
memberikan saran perbaikan tulisan-tulisan yang dimuat di majalah Jurnal Teknologi Minyak dan
Gas Bumi (JTMGB) edisi penerbitan Volume 9 Nomor 3, Desember 2015.
1.
2.
3.
4.
5.
Prof. Dr. Ir. Pudjo Sukarno
Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar
Prof. Dr. Ir. Sudjati Rachmat, DEA.
Dr. Ir. Bambang Widarsono
Dr. Ir. Ratnayu Sitaresmi
INDEKS
A
acidizing 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155
acoustic properties 63
adsorbed natural gas cylinder tube 97
airgun-mini seismic 97
anjungan pemboran CBM 97
atribut seismik 63, 64, 68, 70, 71, 73
J
jetting 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95
B
bakteri inang 141, 143, 145
banyumeneng 113, 114, 115, 116, 118, 119, 120
besaran akustik 63, 64, 67, 68, 70, 73
besaran petrofisik 63, 64, 67, 68, 70, 73
biosurfactant 141
biosurfaktan 141, 145
L
lapangan marginal 37, 38, 39, 40
litofasies 121, 123, 124, 125, 126, 129
litofacies 121, 125
C
chemical 75, 79, 83, 85, 86, 87, 89
CO2 15, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 60, 61, 62
commingle 7, 8, 9, 10, 12
core sintetik 149, 151
D
DNA rekombinan 141, 142, 143, 145
domestic component level 97
drilling rig CBM 97
dual string 7, 8, 9, 10, 11, 12, 17
E
ekosistem rawa-gambut 75
enhanced oil recovery141, 146
environmental physico-chemical 75
EOS 53, 54, 55, 56, 57
F
fisika-kimia lingkungan 75, 76, 79
H
heterogeneous 19
host bacterium141
I
IPR 8, 16, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29,
30, 31, 32, 33, 34, 35
K
karakterisasi reservoir 37, 38, 39, 46
kawasan suaka margasatwa 75, 77, 79, 81
korelasi 29, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59
M
metode volumetrik 131
minimum miscibility pressure 53, 54, 56, 57, 58
model analitik petrofisik 63, 65, 67, 69, 71, 73
modern production data analysis 131, 132, 134, 138
multilateral well 19, 30
O
oil seepage 113, 115, 116
P
paraffin 83, 84, 85, 86, 87
peat-swamp ecosystem 75
penetrasi 85, 89, 90, 92, 93, 94, 99
penetration 89
pengurasan minyak tahap lanjut 141
permeabilitas 89, 90
permeability 83, 84, 87, 89
petrophysic analitic model 63
petrophysic properties 63
pola deposisional 37
prediksi permeabilitas 37, 38, 39, 40, 41, 44, 45
R
recombinant DNA 141, 146
recovery factor 7, 8, 10, 11, 12, 21, 55, 56
rembesan minyak 113, 114, 115, 116, 117
reservoir simulation 131, 132, 134, 135, 138
reverse fault 113
rock type 121, 122, 123, 125, 126, 128, 129, 130
S
seismic attributes 63
seismik airgun mini 97, 106
semen 1, 2
sesar naik 113, 114, 115, 116
simulasi reservoir 37, 38, 39, 42, 43, 46, 131, 139
single string 7, 8, 9, 10, 11, 12
slim tube 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59
stimulasi 83, 84, 85, 86, 87, 89
stimulation 83, 85, 88, 89
sumur dangkal 1, 2
synthetic cores 149
T
tabung ANG 97, 98, 101, 102, 103, 109, 110, 112
TKDN 97, 98, 99, 100, 102, 104
V
volumetric method 131, 132, 134, 138
W
water base mud 149
well testing 83, 84, 85, 87
wildlife sanctuary 75
JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI
PEDOMAN PENULISAN
ISI DAN KRITERIA UMUM
Naskah makalah ilmiah (selanjutnya disebut ”Naskah”) untuk publikasi di Jurnal Teknologi Minyak
dan Gas Bumi (JTMGB) dapat berupa artikel hasil penelitian atau artikel ulas balik/tinjauan (review) tentang
minyak dan gas bumi, baik sains maupun terapan. Naskah belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang
diajukan pada majalah/jurnal lain.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai kaidah masing-masing bahasa yang
digunakan. Naskah harus selalu dilengkapi dengan Abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Abstract dalam Bahasa
Inggris. Naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan JTMGB akan dikembalikan ke
penulis oleh redaksi untuk diperbaiki.
FORMAT
Umum. Seluruh bagian dari naskah termasuk judul abstrak, judul tabel dan gambar, catatan kaki, dan daftar
acuan diketik satu setengah spasi pada electronic-file dan print-out dalam kertas HVS ukuran A4. Pengetikan
dilakukan dengan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 point.
Setiap halaman diberi nomor secara berurutan termasuk halaman gambar dan tabel. Hasil penelitian atau ulas
balik/tinjauan ditulis minimum 5 halaman dan maksimum sebanyak 15 halaman, di luar gambar dan tabel.
Selanjutnya susunan naskah dibuat sebagai berikut:
Judul. Pada halaman judul tuliskan judul, nama setiap penulis, nama dan alamat institusi masing-masing
penulis, dan catatan kaki, yang berisikan terhadap siapa korespondensi harus ditujukan termasuk nomor
telepon dan faks serta alamat e-mail jika ada.
Abstrak. Abstrak/abstract ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak
berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah tanpa harus memberikan keterangan terlalu
terperinci dari setiap bab. Abstrak tulisan bahasa Indonesia paling banyak terdiri dari 250 kata, sedangkan
tulisan dengan bahasa Inggris maksimal 200 kata. Kata kunci/keywords ditulis di bawah abstrak/abstract dan
terdiri atas tiga hingga lima kata.
Pendahuluan. Bab ini harus memberikan latar belakang yang mencukupi sehingga pembaca dapat memahami
dan dapat mengevaluasi hasil yang dicapai dari penelitian yang dilaksanakan tanpa harus membaca sendiri
publikasi-publikasi sebelumnya, yang berhubungan dengan topik yang bersangkutan.
Permasalahan. Bab ini menjelaskan permasalahan yang akan dilakukan penelitian ataupun kajian.
Metodologi. Berisi materi yang membahas metodologi yang dipergunakan dalam menyesaikan permasalahan
melalui penelitan atau kajian.
Hasil dan Analisis. Hanya berisi hasil-hasil penelitian baik yang disajikan dengan tulisan, tabel, maupun
gambar. Hindarkan penggunaan grafik secara berlebihan bila dapat disajikan dengan tulisan secara singkat.
Batasi penggunaan foto, sajikan yang benar-benar mewakili hasil penemuan. Beri nomor gambar dan tabel
secara berurutan. Semua gambar dan tabel yang disajikan harus diacu dalam tulisan.
Pembahasan atau Diskusi. Berisi interpretasi dari hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang
dikaitkan dengan hasil-hasil yang pernah dilaporkan.
Kesimpulan dan Saran. Berisi kesimpulan dan saran dari isi yang dikandung dalam tulisan. Kesimpulan atau
saran tidak boleh diberi penomoran.
Ucapan Terima Kasih. Bila diperlukan dapat digunakan untuk menyebutkan sumber dana penelitian dan
untuk memberikan penghargaan kepada beberapa institusi atau orang yang membantu dalam pelaksanaan
penelitian dan atau penulisan laporan.
JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI
PEDOMAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
Acuan.
Acuan ditulis dan disusun menurut abjad. Beberapa contoh penulisan sumber acuan:
Jurnal
Hurst, W., 1934. Unsteady Flow of Fluids in Oil Reservoirs. Physics (Jan. 1934) 5, 20.
Buku
Abramowitz, M and Stegun, I.A., 1972. Handbook of Mathematical Functions. Dover Publications,
Inc., New York.
Bab dalam Buku
Costa, J.E., 1984. Physical geomorphology of debris flow. Di dalam: Costa, J.E. & Fleischer, P.J.
(eds), Developments and Applications of Geomorphology, Springer-Verlag, Berlin, h.268-317.
Abstrak
Barberi, F., Bigioggero, B., Boriani, A., Cavallini, A., Cioni, R., Eva, C., Gelmini, R., Giorgetti, F.,
Iaccarino, S., Innocenti, F., Marinelli, G., Scotti, A., Slejko, D., Sudradjat, A., dan Villa, A., 1983. Magmatic evolution and structural meaning of the island of Sumbawa, Indonesia-Tambora volcano, island of Sumbawa, Indonesia. Abstract 18th IUGG I, Symposium 01, h.48-49.
Peta
Simandjuntak, T.O., Surono, Gafoer, S., dan Amin, T.C., 1991. Geologi Lembar Muarabungo, Sumatera.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Prosiding
Marhaendrajana, T. and Blasingame, T.A., 1997. Rigorous and Semi-Rigorous Approaches for the Evaluation
of Average Reservoir Pressure from Pressure Transient Tests. paper SPE 38725 presented at the SPE Annual Technical Conference and Exhibition, San Antonio, Oct. 5–8.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Marhaendrajana, T., 2000. Modeling and Analysis of Flow Behavior in Single and Multiwell Bound ed
Reservoir. PhD dissertation, Texas A&M University, College Station, TX.
Informasi dari Internet
Cantrell, C., 2006. Sri Lankan’s tsunami drive blossom: Local man’s effort keeps on giving. Http://
www.boston.com/news/local/articles/2006/01/26/sri_lankans_tsunami_drive_blossoms/[26 Jan 2006]
Software
ECLIPSE 100 (software), GeoQuest Reservoir Technologies, Abbingdon, UK, 1997.
Naskah sedapat mungkin dilengkapi dengan gambar/peta/grafik/foto. Pemuatan gambar/peta/grafik/foto selalu
dinyatakan sebagai gambar dan file image yang bersangkutan agar dilampirkan secara terpisah dalam format
image (*.jpg) dengan ukuran minimal A4 dan minimal resolusi 300 dpi, Corel Draw (*,cdr), atau Autocad
(*,dwg). Gambar dan tabel diletakkan di bagian akhir naskah masing-masing pada halaman terpisah. Gambar
dan tabel dari publikasi sebelumnya dapat dicantumkan bila mendapat persetujuan dari penulisnya.
PENGIRIMAN
Penulis diminta mengirimkan satu eksemplar naskah asli beserta dokumennya (file) di dalam compact disk
(CD) yang harus disiapkan dengan program Microsoft Word. Pada CD dituliskan nama penulis dan nama
dokumen. Naskah akan dikembalikan untuk diperbaiki jika persyaratan ini tidak dipenuhi. Naskah agar
dikirimkan kepada:
Redaksi Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi
d.a. Patra Office Tower Lt. 1 Ruang 1C
Jln. Jend. Gatot Subroto Kav. 32-34
Jakarta 12950 – Indonesia
Pengiriman naskah harus disertai dengan surat resmi dari penulis penanggung jawab/korespondensi
(corresponding author) yang harus berisikan dengan jelas nama penulis korespondensi, alamat lengkap untuk
surat-menyurat, nomor telepon dan faks, serta alamat e-mail dan telepon genggam jika memiliki. Penulis
korespondensi bertanggung jawab atas isi naskah dan legalitas pengiriman naskah yang bersangkutan. Naskah
juga sudah harus diketahui dan disetujui oleh salah satu penulis dan atau seluruh anggota penulis dengan
pernyataan secara tertulis.
ISSN 021664101-2
ISSN 0216-6410
9
7 7 0 2 1 6
6 4 1 0 1 4
Download