BAB 4 - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Menular Seksual (IMS)
2.1.1. Pengertian IMS
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang sebagian besar menular
lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. Hubungan seks ini
termasuk hubungan seks lewat liang senggama, lewat mulut (oral) atau lewat dubur
(Depkes RI, 2004).
IMS juga disebut penyakit kelamin atau penyakit kotor. Namun itu hanya
menunjuk pada penyakit yang ada di kelamin. Istilah IMS lebih luas maknanya,
karena menunjuk pada cara penularannya. Tanda-tandanya tidak selalu ada di alat
kelamin. Tanda-tandanya juga ada di alat penglihatan, mulut, saluran pencernaan,
hati,otak dan bagian tubuh lainnya. Contohnya HIV/AIDS dan Hepatitis B yang
menular lewat hubungan seks, tetapi penyakitnya tidak bisa dilihat dari alat
kelaminnya. Artinya, alat kelaminnya masih tampak sehat meskipun orangnya
membawa bibit penyakit-penyakit ini (Depkes RI, 2004).
2.1.2. Jenis Penyakit IMS
IMS ada banyak sekali jenisnya. Beberapa diantaranya yang paling penting
adalah : GO atau kencing nanah, Klamidia, Herpes kelamin, Sifilis atau raja singa,
Jengger ayam, Hepatitis, dan HIV/AIDS.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Jenis IMS, Gejala dan Cara Pemeriksaan
Nama IMS
Chlamidya
(klamidia)
Raja singa
(sifilis)
Kencing Nanah
(GO)
Herpes genital
Gejala Khusus
Keluar cairan lendir &
bening dari kemaluan, terasa
Nyeri saat Kencing
gatal berwarna kuning atau
kehijauan dan bau.
Bintil-bintil berair
Pada stadium lanjut akan
seperti cacar
disertai timbulnya nampak kelamin kulit seperti
luka yang terasa
koreng berwarna merah
nyeri di sekitar
(luka terbuka)
kelamin.
Gejala Umum
Nyeri yang sangat
saat kencing
HIV / AIDS
Pemeriksaan
cairan atau
lendir
Tes darah
Tampak cairan berupa nanah
Pemeriksaan
kental pada kemaluan. Cairan
Nanah
juga bisa keluar dari dubur
Badan lemes, nyeri Tampak kelainan kulit yang
sendi pada daerah berbenjol-benjol, bulat atau Tes darah
terinfeksi, demam lonjong kecil sebesar 2-5 mm
Kutil
kelamin/Jengger
Timbul kutil pada
Ayam
daerah terinfeksi
Hepatitis
Jenis Tes
Badan lemes,
kurang gairah dan
kadang demam
Virus walaupun
sudah ada di dalam
darah tidak
menunjukkan gejala
sama sekali
Dalam kasus lanjut, kutil
Pemeriksaan
bergerombol seperti jengger
jaringan dan
ayam di daerah kemaluan dan
tes darah
daerah anus
Pada kasus parah, tampak
kulit selaput mata berwarna
kuning
Penderita yang sudah
menunjukkan gejala AIDS,
nampak gejala yang sangat
kompleks, yang sulit
dibedakan dengan penderita
kanker stadium lanjut.
Tes darah
Tes darah
untuk
mendeteksi
virus HIV :
Elisa dan
Western
Blood
Sumber: Depkes RI, 2004
Universitas Sumatera Utara
Tidak semua IMS bisa diobati seperti HIV/AIDS, Herpes, Jenger Ayam dan
Hepatitis termasuk jenis-jenis IMS yang tidak bisa disembuhkan. HIV/AIDS
termasuk paling berbahaya. HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan dan merusak
kekebalan tubuh manusia untuk melawan penyakit apapun. Akibatnya, orang menjadi
sakit-sakitan dan banyak yang meninggal karenanya. Sementara Herpes, sering
kambuh dan sangat nyeri kalau kambuh. Pada Herpes, yang diobati cuma gejala
luarnya saja, tetapi bibit penyakitnya akan tetap hidup di dalam tubuh selamanya.
Hepatitis juga tidak bisa disembuhkan. Walau begitu, ada jenis Hepatitis tertentu
yang bisa dicegah dengan imunisasi (Lelyana, 2006).
2.1.3. Penanggulangan IMS
Upaya pencegahan dan penanggulangan IMS ditingkat pelayanan dasar masih
ditujukan kepada kelompok risiko tinggi berupa upaya pencegahan dan
penanggulangan IMS dengan pendekatan sindrom. Saat ini ditemui hambatan
sosiobudaya yang sering mengakibatkan ketidak tuntasan dalam pengobatannya,
sehingga menimbulkan komplikasi IMS yang serius seperti kemandulan, keguguran,
dan kecacatan janin (Depkes RI, 2004).
Pedoman penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Depkes RI (2004)
tentang kriteria yang digunakan dalam pemilihan obat untuk IMS yaitu angka
kesembuhan atau kemanjuran tinggi (sekurang-kurangnya 90-95% di wilayahnya),
harga murah, toksisitas dan toleransi yang masih dapat diterima, diberikan dalam
dosis tunggal, cara pemberian per oral, dan tidak merupakan kontra indikasi pada ibu
Universitas Sumatera Utara
hamil atau ibu menyusui kebijaksanaan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS
sebagai berikut: (a) meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor
termasuk kerjasama internasional dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan IMS dan HIV/AIDS, (b) meningkatkan desentralisasi dengan
pendekatan pelayanan kesehatan dasar, (c) pencegahan adalah fokus utama,
diintegrasikan dengan perawatan, dukungan dan pengobatan, (d) memperkuat aspek
manajemen dan aspek hukum dan perundangan yang berkaitan dengan upaya
penanggulangan IMS dan HIV/AIDS, termasuk aspek perlingdungan kerahasiaan dan
aspek pencegahan diskriminasi/stigmatisasi penderita IMS dan HIV/AIDS, dan
(e) mengintegrasikan kegiatan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS dengan penyakit
lainnya antara lain tuberkulosis.
2.2. Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)
Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Klinik IMS ini mencakup:
(a) melaksanakan kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks aman,
(b) memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah tertular
IMS, (c) melaksanakan kegiatan penapisan untuk IMS asymptomatic bagi semua
populasi beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 (tiga) bulan, (d) memberikan
layanan konseling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi pasangan tetap klien pekerja
seks melalui sistem partner notification, (e) menjalankan sistem monitoring dan
surveilans, dan (f) memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat –obat
bebas untuk mencegah atau mengobati IMS (KPA Nasional, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Maksud dan tujuan dari layanan IMS adalah bertujuan untuk menjalankan
fungsi kontrol dan menekan penyebaran IMS pada PSK perempuan, pria, waria,
pelanggan PSK dan pasangan seks tetapnya (KPA Nasional, 2005).
2.2.1. Struktur dan Standar Pelayanan
Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Klinik Sanitasi IMS yang
dikembangkan melalui kerjasama Depkes RI, Usaid dan Family Health International
(2007) menyebutkan bahwa struktur di dalam klinik IMS harus mempunyai fungsi
seperti hal berikut ini: (a) ruang tunggu dan registrasi, (b) ruang pemeriksaan,
(c) laboratorium untuk memfasilitasi secepatnya diagnosa dan pengobatan pada
pasien, sebaiknya ruang pemeriksaan dan laboratorium berdampingan tetapi
dipisahkan dengan sebuah horden atau sekat, (d) ruang pengobatan dan konseling.
Setiap bangunan klinik harus dipelihara dengan baik untuk mendapatkan lingkungan
yang nyaman, aman, dan hygienis. Setiap klinik harus memelihara peralatan
kliniknya dalam keadaan bekerja dengan baik. Setiap waktu kewaspadaan universal
untuk mencegah penularan infeksi melalui darah dan indikator lain untuk
mengendalikan infeksi harus diterapkan
Standar Minimum untuk Klinik IMS yang telah dikembangkan untuk
memperbaiki kualitas diagnosis dan pengobatan IMS secara keseluruhan untuk klinik
IMS di Indonesia. Untuk melaksanakan ini, setiap klinik IMS harus melakukan halhal: (a) kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman,
(b) pelayanan ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi;( kelompok “inti” misalnya
pekerja seks dan kelompok “penghubung” pelanggan mereka), (c) pelayanan yang
Universitas Sumatera Utara
efektif, yaitu pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala, (d) program
penapisan, dan pengobatan secepatnya untuk IMS yang tanpa gejala pada kelompok
risiko tinggi yang menjadi sasaran, (e) program penatalaksanaan mitra seksual,
(f) sistim monitoring dan surveilans yang efektif. Jika sebagai model klinik untuk
klinik-klinik yang ada disekitarnya harus berusaha untuk melaksanakan pelayanan
klinis IMS yang sama, dengan memberikan pelatihan yang sesuai pada klinik-klinik
tersebut. Bentuk pelayanan IMS dan promosi yang diberikan harus berdasarkan pada
pengetahuan dari kelompok sasaran dalam kebiasaannya mencari pengobatan
(Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
2.2.2. Petugas Klinik IMS
Setiap klinik harus mempunyai staf yang ramah, client-oriented, tidak
menghakimi dan dapat menjaga konfidensialitas, serta dapat melakukan fungsi –
fungsi berikut ini dengan baik, meliputi : (a) administrasi klinik, registrasi pasien,
pencatatan dan pelaporan, (b) anamnesis kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual,
pemeriksaan fisik dan pengobatan, (c) laboratorium berdasarkan tes diagnostik,
(d) konseling, serta (e) memelihara standar klinis untuk penatalaksanaan IMS
(Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
2.2.3. Pengelolaan Klinik IMS
a. Pengelolaan Syndrom yang Disempurnakan (Enhanced Syndromic Management).
Semua
klinik
harus
dapat
menerapkan
“Pengelolaan
Syndrom
yang
Disempurnakan” untuk IMS yang mencakup: (a) anamnesis kesehatan seksual
Universitas Sumatera Utara
yang baik, (b) pemeriksaan fisik yang benar dan adekuat (termasuk spekulum dan
pemeriksaan bimanual dari saluran reproduksi pasien wanita, dan pemeriksaan
rektum jika ada indikasi), (c) pemeriksaan laboratorium yang secepatnya, supaya
hasil pemeriksaan tersedia sebelum pasien meninggalkan klinik, (d) pengobatan
segera, langsung dan tepat, konseling dan tindak lanjutnya bagi setiap pasien.
b. Standar Pengobatan. Semua klinik harus mengelola IMS menurut “Prosedur Tetap
Penatalaksanaan Penderita Penyakit Menular Seksual dengan Pendekatan Sindrom
dan Laboratorium’ yang diterbitkan oleh PPM&PLP (2004), atau terbitan revisi
lanjutannya.
c. Obat-obatan dan bahan habis pakai: Semua klinik harus tetap menjaga adanya
pengadaan obat-obatan utama yang dibutuhkan untuk pengobatan IMS yang tepat
(seperti dalam ‘standar pengobatan’), atau memiliki akses untuk obat-obatan ini
melalui apotik setempat atau sumber lainnya. Pengadaan obat-obatan ini di klinik
harus dijaga dengan seksama untuk memastikan adanya persediaan yang cukup dan
berkesinambungan. Semua obat-obatan dan bahan habis pakai harus disimpan
dengan tepat dan tidak melampui tanggal kadaluwarsanya. Semua klinik yang
memberikan pengobatan antibiotik, khususnya melalui injeksi.
intramuskular, harus mempunyai perlengkapan yang cukup dan siap untuk
menangani reaksi alergi atau anafilaktik.
d. Peralatan Klinik. Setiap klinik harus menjaga agar peralatan klinik dalam keadaan
bekerja dengan baik (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Strategi Pengendalian IMS
Ada beberapa strategi yang telah menunjukkan dampaknya terhadap
penularan IMS di masyarakat jika hal ini diterapkan dengan tepat. Ini harus termasuk
penapisan dan pengobatan secepatnya dari kelompok berisiko tinggi. Orang yang
berisiko tinggi terkena IMS dan penularan infeksi berikutnya yang belum menerima
pelayanan harus dicapai dengan intervensi ini dan harus dimasukkan ke dalam model
pelayanan. Akses yang adekuat dalam memberikan pelayanan pada kelompok risiko
tinggi dan pasien lain diperoleh dengan memprioritaskan pelaksanaan jam buka klinik
yang tepat. Strategi untuk Perubahan Perilaku Berkesinambungan dapat menjelaskan
secara eksplisit unsur-unsur yang berhubungan dengan IMS (contoh pengenalan
gejala, pentingnya dapat pengobatan segera, pentingnya menyelesaikan pengobatan,
pentingnya pengobatan pasangan, interaksi antara IMS dan HIV, dll) harus
dikembangkan dan dilaksanakan (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
Untuk memilih startegi mana yang akan diterapkan setiap klinik harus
melaksanakan pengkajian dan analisa dari kelompok sasaran yang akan dilayani. Ada
beberapa langkah-langkah yang dapat diikuti untuk melaksanakan hal tersebut:
a. Menilai banyaknya IMS, pada kelompok di mana klinik IMS tersebut akan
memberikan pelayanan. Setiap klinik harus membuat pemetaan kelompok sasaran
yang akan mereka layani dengan baik. Registrasi populasi harus dibuat untuk
kelompok ini. Dan harus diperbaharui secara teratur, setiap bulan
b. Menganalisa kesempatan untuk melakukan tindakan pencegahan pada kelompok
ini.Strategi dan kegiatan berikut ini telah menunjukan adanya dampak terhadap
penularan IMS di masyarakat, jika diterapkan dengan tepat. Intervensi yang paling
Universitas Sumatera Utara
tepat untuk pelayanan IMS adalah intervensi yang mempunyai sasaran untuk
mungurangi waktu infektivitas dari IMS. Kemampauan pelayanan IMS untuk
menerapkan masing-masing kegiatan intervensi ini akan tergantung pada sumber
yang mereka miliki, dan tingkat efisiensi serta pengorganisasian yang bisa mereka
capai.
c. Mengembangkan kebijakan pencegahan dan menerapkan prosedur yang berdasar
pada hasil penilaian dan analisa.
d. Menciptakan tujuan pencegahan, yang berdasar pada data yang dikumpulkan oleh
pelayanan IMS pada langkah penilaian, analisa dan pengembangan kebijakan
pencegahan.
e. Mengevaluasi kemajuan dari tujuan pencegahan dengan cara mengkaji keefektifan
dan cakupannya secara teratur (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).demiologi unt
V
2.2.5. Strategi Dasar Intervensi Khusus untuk Klinik IMS di Indonesia
a. Kurangi waktu infektifitas untuk mencegah penularan & komplikasi lebih lanjut,
dilakukan (a) deteksi dini (penemuan kasus), (b) pengobatan, (c) penemuan kasus
secara
aktif
melalui
penapisan,
pengawasan,
dan
notifikasi
pasangan,
(d) memperbaiki akses yang efektif pada perawatan medis (faktor-faktornya
mencakup biaya, mutu, lokasi dan waktu), (e) meningkatkan kepekaan terhadap
IMS,
memperbaiki pengetahuan tentang gejala dan kebiasaan untuk mencari
perawatan kesehatan, (f) Enhanced Syndromic management’ dari IMS mis.
perpendek atau hilangkan waktu tunggu antara kunjungan ke klinik IMS sampai
pengobatan IMS (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
Universitas Sumatera Utara
b. Kurangi Intensitas terkena infeksi dari orang yang rentan, jika terpapar: (a) kurangi
efisiensi penularan per paparan, (b) tingkatkan penggunaan kondom, (c) kurangi
praktek seksual yang berisiko mis. hubungan seks melalui anal tanpa perlindungan,
(d) kurangi faktor pendamping yang kritis mis. obati IMS untuk mengurangi
penularan HIV, (e) kurangi paparan seksual pada tahap kritis infeksi mis. HSV-2
primer, (f) promosi kebersihan alat genital (mis. mencuci sebelum dan sesudah
behubungan seks) (Depkes RI, Usaid dan FHI, 2007).
c. Kurangi paparan dari orang yang rentan terhadap orang yang terinfeksi:
(a) modifikasi perilaku dari orang yang rentan, (b) modifikasi perilaku dari orang
yang diketahui terkena infeksi, (c) modifikasi perilaku orang yang berpotensi untuk
terkena infeksi, (d) promosikan penundaan kegiatan seksual, abstinensia,
monogami, atau mengurangi angka pertukaran pasangan, (e) promosikan tes secara
meluas, seperti konseling dan testing HIV secara sukarela, (f) kembangkan dan
promosikan pesan media dengan target orang yang terkena atau berpotensial
terkena infeksi untuk melindungi pasangannya, (g) promosikan kesehatan dan
kebersihan alat genital, (h) kurangi paparan pada masyarakat yang melakukan
seksual berisiko sangat tinggi (mis. tempat pelacuran) dan ciptakan upaya – upaya
pencegahan di lingkungan tersebut (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
2.2.6. Monitoring dan Evaluasi Klinik IMS
a. Monitoring merupakan proses metodologi pengumpulan data secara teratur. Ini
dilakukan oleh staf pelayanan klinik IMS dengan tujuan untuk melihat hubungan
pelayanan yang sudah diberikan dengan kegiatan-kegiatan yang mereka
rencanakan.
Universitas Sumatera Utara
b. Evaluasi mencakup analisa dan pengkajian sebuah program, atau bagian dari
sebuah program. Hal ini untuk penentuan ukuran keberhasilan atau nilai dari
sebuah program, dan menolong peserta program untuk melakukan evaluasi diri dan
memperbaiki praktek palayanan dan programnya.
2.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Dever (1984), faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan atau
pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:
1. Faktor Sosiokultural
a.
Norma dan nilai sosial yang ada di masyarakat. Norma, nilai sosial dan
keyakinan yang ada pada masyarakat akan memengaruhi seseorang dalam
bertindak, termasuk dalam menggunakan pelayanan kesehatan.
b.
Teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan. Kemajuan di bidang
teknologi dapat mengurangi atau menurunkan angka kesakitan sehingga
secara tidak langsung dapat mengurangi penggunaan pelayanan kesehatan.
2. Faktor Organisasi.
a.
Ketersediaan sumber daya.
Yaitu sumber daya yang mencukupi baik dari segi kuantitas dan kualitas,
sangat memengaruhi penggunaan atau permintaan
terhadap pelayanan
kesehatan. Suatu sumber daya tersedia apabila sumber daya itu ada atau bisa
didapat tanpa mempertimbangkan sulit atau mudah penggunaannya. Suatu
pelayanan hanya bisa digunakan apabila jasa tersebut tersedia.
Universitas Sumatera Utara
b.
Keterjangkauan lokasi
Yaitu berkaitan dengan keterjangkauan tempat dan waktu. Keterjangkauan
tempat diukur dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya perjalanan.
Peningkatan akses yang dipengaruhi oleh berkurangnya jarak, waktu,
ataupun biaya tempuh mungkin mengakibatkan peningkatan pemakaian
pelayanan yang berhubungan dengan keluhan-keluhan penyakit ringan.
c.
Keterjangkauan sosial terdiri dari dua dimensi yaitu dapat diterima dan
terjangkau. Dapat diterima mengarah kepada faktor psikologis, sosial dan
budaya, sedangkan terjangkau mengarah kepada faktor ekonomi.
d.
Karakteristik struktur organisasi formal dan cara pemberian pelayanan
kesehatan.
Bentuk-bentuk praktek pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek
tunggal, praktek bersama atau yang lainnya membawa pola pemanfaatan
yang berbeda-beda.
3. Faktor yang berhubungan dengan konsumen.
Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen berhubungan
langsung dengan penggunaan atau permintaan terhadap pelayanan kesehatan.
Kebutuhan terdiri atas kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan diagnosa
klinis (evaluated need). Perceived need ini dipengaruhi oleh:
a.
Faktor sosiodemografi, yang terdiri dari umur, jenis kelamin, ras, bangsa,
status perkawinan, jumlah keluarga, dan status sosial ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
b.
Faktor sosiopsikologis, yang terdiri dari persepsi sakit, gejala sakit dan
keyakinan terhadap perawatan medis atau dokter.
c.
Faktor epidemiologis, yang terdiri dari mortalitas, morbiditas, dan faktor
resiko.
4. Faktor yang Berhubungan dengan Petugas Kesehatan.
a.
Faktor ekonomi.
Konsumen tidak sepenuhnya memiliki prefensi yang cukup akan pelayanan
yang akan diterima, sehingga mereka menyerahkan hal ini sepenuhnya ke
tangan provider.
b.
Karakteristik dari Petugas Kesehatan (Provider).
Yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, keahlian petugas, serta
fasilitas yang dimiliki oleh pelayanan kesehatan tersebut.
Menurut
Sarwono (2007) yang mengutip Mechanic, sebelum seseorang
menentukan untuk mencari upaya pengobatan, terlebih dahulu terjadi proses dalam
diri individu yaitu: (a) dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala/tanda-tanda yang
menyimpang dari keadaan biasa, (b) banyaknya gejala yang dianggap serius dan
diperkirakan menimbulkan bahaya, (c) dampak gejala tersebut terhadap hubungan
dengan keluarga, hubungan kerja, dan kegiatan sosial lainnya, (d) frekuensi dari
gejala dan tanda-tanda yang tampak, (e) nilai ambang dari mereka yang terkena
gejala atau kemungkinan individu untuk diserang penyakit, (f) informasi pengetahuan
dan asumsi budaya terhadap penyakit, (g) perbedaan interpretasi terhadap gejala yang
Universitas Sumatera Utara
dikenal, (h) adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala sakit,
(i) tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut, tersedianya
biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial.
2.4. Motivasi
Gitosudarmo dan Sudita (2000), mendefinisikan motivasi sebagai faktorfaktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan, mengarahkan perilakunya
untuk memenuhi tujuan tertentu. Selanjutya menurut Widjaja (1996) bahwa motivasi
adalah psikologis tertentu dalam diri seseorang yang muncul oleh karena adanya
dorongan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Dari motivasi ini kemudian timbul
tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan tadi. Terdapat perbedaan antara pengertian
motif dan motivasi. Motif adalah sesuatu dorongan yang ada dalam diri seseorang
untuk berbuat sesuatu, baik berupa gerakan maupun ucapan. Motivasi adalah tindak
lanjut dari motif yaitu perbuatan atau gerakan, baik berupa ucapan maupun tindakan
perilaku dalam cara-cara tertentu yang dilakukan seseorang.
Kata motivasi berasal dari kata latin “movere” yang berarti “menggerakkan”.
Arti kata ini tentunya tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana
perilaku orang teraktualisasi. Untuk memahami proses apa yang terjadi, membuat
orang berperilaku secara aktual, maka perlu beberapa definisi perilaku yang
dinyatakan beberapa pakar. Davis dan Newstrom (1996) mengemukakan bahwa
motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak
untuk melakukan sesuatu tindakan dengan tujuan tertentu atau usaha-usaha yang
Universitas Sumatera Utara
dapat menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak melakukan sesuatu
karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan
perbuatannya.
Menurut Gibson, dkk (1996), teori motivasi terbagi kedalam dua kategori
yaitu teori kepuasan dan teori proses. Teori kepuasan memfokuskan pada faktorfaktor dalam diri seseorang yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan, dan
menghentikan perilaku.
Sedangkan teori proses menerangkan dan menganalisa
bagaimana perilaku di dorong, dipertahankan, dan dihentikan.
Motivasi adalah lebih bersifat sebagai suatu proses daripada merupakan satu
produk. Sebagai suatu proses, kita tidak mengamati motivasi secara langsung,
namun kita membuat kesimpulan dari perilaku tertentu dalam wujut tugas, usaha,
dorongan, dan pengungkapan (mis, “saya sangat suka bekerja dalam hal ini “).
Beberapa teori menyatakan bahwa motivasi banyak menjelaskan perilaku manusia
(Pintrich dan Schunk, 1996).
Motivasi melibatkan tujuan yang memberikan dorongan dan arah terhadap
aksi yang dilakukan. Pandangan kognitif mengenai motivasi dipadukan dalam
penekanan yang ada
mengenai pentingnya tujuan.
Tujuan dalam hal ini tidak
dirumuskan dengan baik dan dapat berubah sesuai dengan pengalaman, namun yang
penting dalam hal
ini adalah seseorang memiliki sesuatu untuk dicapai atau
diperoleh (Pintrich dan Schunk, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Motivasi butuh aktivitas, yakni fisik atau mental. Usaha fisik, dorongan dan
keinginan lainnya memunculkan aksi. Aktivitas mental mencakup aksi seperti
perencanaan,
usaha pencapaian,
pengaturan, motivasi,
monitoring, pemecahan
masalah, dan penilaian perkembangan. Aktivitas yang dilakukan mengarah kepada
pencapaian tujuan (Pintrich dan Schunk, 1996).
2.5. Evaluasi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Untuk mengetahui keberhasilan suatu program, kajian output (cakupan)
program yang dibandingkan dengan targetnya adalah salah satu cara sebagai bahan
penilaian. Cakupan program dapat dinilai setelah pelaksanaan kegiatan dari program
tersebut. Perhitungan cakupan ini dapat dilakukan dengan menggunakan statistik
sederhana yaitu jumlah orang yang mendapatkan pelayanan dengan jumlah penduduk
sasaran program dimaksud. Dalam usaha peningkatan efesiensi dan efektifitas
penatalaksanaan program perlu dilatih keterampilan dan kepekaan petugas untuk
mengkaji masalah program dan masalah kesehatan masyarakat di wilayah binaannya.
Efek dari penatalaksanaan program tersebut adalah perubahan pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat yang diukur dengan peran serta masyarakat untuk memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang tersedia (Muninjaya,2004).
2.6. Landasan Teori
Sebagai acuan dalam menentukan variabel penelitian serta menyusunnya
dalam suatu kerangka konseptual, maka keseluruhan teori-teori yang telah dipaparkan
di atas dirangkum dalam suatu landasan teori seperti diuraikan berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan penderita IMS pada masyarakat menuntut dilakukannya program
pelayanan dan penanganan secara terpadu dan komprehensif. Klinik IMS Puskesmas
Kabanjahe sebagai unit pelayanan dan penanggulangan masalah penyakit infeksi
menular seksual diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam mengurangi
jumlah penderita infeksi menular seksual di masyarakat.
Penanganan pasien infeksi menular seksual yang dilakukan di sarana
pelayanan kesehatan seperti Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik dari pasien sebagai pengguna pelayanan kesehatan maupun dari
petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Faktorfaktor tersebut memberikan pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Menurut Anderson (1995), bahwa determinan individu terhadap pemanfaatan
pelayanan kesehatan oleh keluarga, tergantung kepada: (a) predisposisi keluarga
untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan, (b) kemampuan mereka untuk
melaksanakannya, (c) kebutuhan mereka terhadap jasa pelayanan kesehatan.
Komponen predisposisi keluarga mencakup karakteristik keluarga sebelum
kejadian penyakit dimana terdapat kecenderungan yang berbeda dalam penggunaan
pelayanan kesehatan, meliputi variabel demografi (seperti: umur, jenis kelamin, status
perkawinan); variabel struktur sosial (seperti: pendidikan, pekerjaan kepala keluarga,
suku bangsa); serta kepercayaan dan sikap terhadap perawatan medis, dokter dan
penyakit (termasuk stres serta kecemasan yang ada kaitannya dengan kesehatan).
Universitas Sumatera Utara
Komponen
kemampuan melaksanakan pemanfaatan pelayanan kesehatan
adalah suatu kondisi yang memungkinkan orang untuk memanfaatkan pelayanan
kesehatan, atau setidak-tidaknya mereka siap memanfaatkannya. Meskipun keluarga
memberikan predisposisi untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, namun beberapa
faktor harus tersedia untuk menunjang pelaksanaannya yaitu faktor: kemampuan,
baik dari keluarga (misalnya: penghasilan dan asuransi kesehatan) dan dari komunitas
(misalnya: tersedianya fasilitas, petugas kesehatan, lamanya menunggu pelayanan
serta lamanya waktu yang digunakan untuk mencapai fasilitas pelayanan tersebut).
Komponen kebutuhan terhadap jasa pelayanan kesehatan yang dirasakan,
diukur dengan (a) perasaan subjektif terhadap penyakit (meliputi: jumlah hari sakit
yang dilaporkan, jumlah gejala-gejala penyakit yang dialami, dan laporan tentang
keadaan kesehatan umum); dan (b) evaluasi klinis terhadap penyakit (biasanya
didasarkan atas keluhan-keluhan yang mungkin memerlukan pengobatan menurut
kelompok usia.
Sistem pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Anderson (1995) yang
telah diuraikan di atas dapat dijelaskan secara skematis sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Predisposisi
a. Demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan)
b. Struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, jumlah
keluarga, suku bangsa, agama, perpindahan tempat
tinggal)
c. Keyakinan (penilaian terhadap status sehat/sakit,
sikap terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan
tentang penyakit)
Kemampuan
a. Kemampuan
keluarga (penghasilan,
asuransi
kesehatan, sumber lain)
b. Komunitas (jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia,
biaya untuk pelayanan kesehatan, karakter penduduk
pedesaan/perkotaan)
PEMANFAATAN
PELAYANAN
KESEHATAN
Kebutuhan
a. Perasaan subjektif terhadap penyakit (jumlah hari
sakit, jumlah gejala-gejala penyakit)
b. Evaluasi klinis terhadap penyakit (gejala dan
keluhan penyakit berdasarkan aspek klinik dan
membutuhkan pengobatan)
Sesuai dengan konsep pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Anderson
(1995), bahwa faktor predisposisi penggunaan jasa pelayanan kesehatan, salah
satunya adalah karakteristik pengguna pelayanan kesehatan. Di samping faktor-faktor
yang telah disebutkan Anderson tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan, faktor
lain yang turut memengaruhi adalah motivasi (intrinsik dan ekstrinsik) masyarakat
dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
Menurut Widjaja (1996) bahwa motivasi adalah kondisi psikologis dalam diri
seseorang yang muncul karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Dari
motivasi ini kemudian timbul tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan tadi. Terdapat
perbedaan antara pengertian motif dan motivasi. Motif adalah sesuatu dorongan yang
ada dalam diri seseorang untuk berbuat sesuatu, baik berupa gerakan maupun ucapan.
Motivasi adalah tindak lanjut dari motif yaitu perbuatan atau gerakan, baik berupa
ucapan maupun tindakan perilaku dalam cara-cara tertentu yang dilakukan seseorang.
Menurut Herzberg dalam Reksohadiprojo (2000) pengertian motivasi
dibedakan menjadi motivasi internal dan motivasi eksternal sebagai berikut :
a. Motivasi Internal. Kebutuhan dan keinginan yang ada dalam diri seseorang akan
menimbulkan motivasi internalnya. Kekuatan ini akan memengaruhi pikirannya,
yang selanjutnya akan mengarahkan perilaku orang tersebut.
b. Motivasi Eksternal. Teori motivasi eksternal tidak mengabaikan teori motivasi
internal, tetapi justru mengembangkannya. Teori motivasi eksternal menjelaskan
kekuatan – kekuatan yang ada didalam individu yang dipengaruhi faktor eksternal
yang dikendalikan.
Mengacu kepada pendapat Anderson tersebut maka dalam penelitian ini yang
menjadi faktor yang dianggap berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan
kesehatan di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe adalah: umur, jenis kelamin, suku,
pendidikan pekerjaan, penghasilan, tempat tinggal dan jenis penyakit. Serta motivasi
Universitas Sumatera Utara
dalam
memanfaatkan
pelayanan
kesehatan
mengacu
kepada
pendapat
Reksohadiprojo (2000) tentang motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
2.7. Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik Predisposisi
1. Ciri-ciri demografi
- Umur
- Jenis Kelamin
- Status Perkawinan
2. Struktur sosial
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Suku Bangsa
- Pendapatan
3. Keyakinan Terhadap
Pelayanan
Karakteristik Kemampuan
PEMANFAATAN
PELAYANAN KLINIK IMS
PUSKESMAS KABANJAHE
- Kunjungan berulang
- Kunjungan tidak berulang
Karakteristik Kebutuhan
1. Perasaan Subjektif
2. Evaluasi Klinis
Motivasi
1. Intrinsik
2. Ekstrinsik
Gambar 2.1
Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download