BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori Penelitian 1. Teori Sinyal

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori Penelitian
1.
Teori Sinyal (Signaling Theory)
Teori sinyal menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai
dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak
eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena
terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar karena
perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan
prospek yang akan datang daripada pihak luar (investor, kreditor).
Kurangnya
informasi
bagi
pihak
luar
mengenai
perusahaan
menyebabkan mereka melindingi diri mereka dengan memberikan
harga yang rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan
nilai perusahaan dengan mengurangi informasi asimetri. Salah satu
cara untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan
sinyal pada pihak luar, salah satunya berupa informasi keuangan yang
dapat dipercaya dan akan mengurangi ketidakpastian mengenai
prospek perusahaan yang akan datang (Wolk et al, 2000).
Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya
sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan
keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah
dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik.
Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan
15
16
bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain (Sari
dan Zuhrohtun, 2006).
Teori signal juga dapat membantu pihak perusahaan (agent),
pemilik (prinsipal), dan pihak luar perusahaan mengurangi asimetri
informasi dengan menghasilkan kualitas atau integritas informasi
laporan
keuangan.
Untuk
memastikan
pihak-pihak
yang
berkepentingan meyakini keandalan informasi keuangan yang
disampaikan pihak perusahaan (agent), perlu mendapatkan opini dari
pihak lain yang bebas memberikan pendapat tentang laporan keuangan
(Jama‟an, 2008). Signalling theory (teori sinyal) digunakan untuk
menjelaskan bahwa pada dasarnya suatu informasi dimanfaatkan
perusahaan untuk memberi sinyal positif maupun negatif kepada
pemakainya. Teori sinyal (Leland dan Pyle dalam Scott, 2012:475)
menyatakan bahwa pihak eksekutif perusahaan yang memiliki
informasi lebih baik mengenai perusahaannya akan terdorong untuk
menyampaikan informasi tersebut kepada calon investor dimana
perusahaan
pelaporannya
dapat
meningkatkan
dengan
mengirimkan
nilai
perusahaan
sinyal
melalui
melalui
laporan
tahunannya. Manajemen tidak sepenuhnya menyampaikan seluruh
informasi yang diperolehnya tentang semua hal yang dapat
mempengaruhi nilai perusahaan ke pasar modal, sehingga jika
majemen menyampaikan suatu informasi ke pasar, maka umumnya
pasar akan bereaksi terhadap informasi tersebut sebagai suatu sinyal.
17
Pengungkapan CSR dalam annual report diharapkan mampu
dijadikan sinyal oleh perusahaan ketika menarik minat investor untuk
menanamkan dana pada saham perusahaan. Investor akan bereaksi
positif apabila melihat perusahaan mengimplementasikan CSR. Hal
inilah yang memotivasi perusahaan mencoba memberikan sinyal
positif ketika mengungkapkan CSR.
2.
Teori Agensi (Principal-Agency Theory)
Jensen
dan
Meckling
(1976)
dalam
Sugiri
(2003)
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak yang
menyatakan bahwa seorang atau lebih (prinsipal) meminta kepada
orang lain (agen) untuk melakukan jasa tertentu demi kepentingan
prinsipal, dengan mendelegasikan otoritas kepadanya. Pendelegasian
otoritas memang menjadi sebuah keharusan dalam hubungan
keagenan ini untuk memungkinkan agen mempertanggungjawabkan
kinerjanya kepada prinsipal. Dalam setiap hubungan keagenan, timbul
agency cost yang ditanggung baik oleh prinsipal maupun oleh agen.
Konsep Agency theory menurut Anthony dan Govindarajan
(1995:569) dalam Widyaningdyah (2001) adalah hubungan atau
kontrak antara principal dan agent. Principal mempekerjakan agent
untuk melakukan tugas untuk kepentingan principal, termasuk
pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari principal kepada
agent. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang
18
saham bertindak sebagai principal, dan CEO (Chief Executive Officer)
sebagai agent mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk
bertindak sesuai dengan kepentingan principal.
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara principal
dengan agent. Menurut Darmawati et al. (2005), inti dari hubungan
keagenan
adalah
adanya
pemisahan
antara
kepemilikan
(principal/investor) dan pengendalian (agent/manajer). Kepemilikan
diwakili oleh investor yang mendelegasikan kewenangan kepada agen
dalam hal ini manajer untuk mengelola kekayaan investor. Investor
mempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan wewenang
pengelolaan tersebut, mereka akan memperoleh keuntungan dengan
bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor.
Setyapurnama dan Norpratiwi (2004) menyatakan hubungan
keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak yang
bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda. Pemilik modal
menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik
modal,
sedangkan manajer juga menginginkan bertambahnya
kesejahteraan bagi para manajer. Dengan demikian muncullah konflik
kepentingan antara pemilik (investor) dengan manajer (agen). Pemilik
lebih tertarik untuk memaksimumkan return dan harga sekuritas dari
investasinya, sedangkan manajer mempunyai kebutuhan psikologis
dan ekonomi yang luas, termasuk memaksimumkan kompensasinya.
Kontrak yang dibuat antara pemilik dengan manajer diharapkan dapat
19
meminimumkan konflik antar kedua kepentingan tersebut. Alijoyo
dan Zaini (2004) beranggapan bahwa pemisahan fungsi eksekutif dan
fungsi pengawasan pada teori keagenan menciptakan “checks and
balances”, sehingga terjadi independensi yang sehat bagi para manajer
untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang maksimum dan return
yang memadahi bagi para pemegang saham.
3.
Teori Kontingensi (Contingency Theory)
Teori kontingensi mula-mula diperkenalkan oleh Lawrence dan
Lorsch (1967) kemudian dipakai oleh Kazt dan Rosenzweig (1973)
yang menyatakan bahwa tidak ada cara terbaik dalam mencapai
kesesuaian antara faktor organisasi dan lingkungan untuk memperoleh
prestasi yang baik bagi suatu organisasi. Menurut Sari (2006) dalan
Azli dan Azizi (2009), teori kontingensi merupakan suatu teori yang
cocok digunakan dalam hal yang mengkaji reka bentuk, perancangan,
prestasi dan kelakuan organisasi serta kajian yang berkaitan dengan
pengaturan strategik. Menurut Raybun dan Thomas (1991) dalam Azli
dan Azizi (2009), teori kontingensi menyatakan pemilihan sistem
akuntansi oleh pihak manajemen adalah tergantung pada perbedaan
desakan lingkungan perusahaan. Teori ini penting sebagai media
untuk menerangkan perbedaan dalam struktur organisasi. Variabel
yang sering dipakai dalam bidang ini adalah organisasi, lingkungan,
teknologi, cara pembuatan keputusan, ukuran perusahan, struktur,
20
strategi, dan budaya organisasi (Raybun dan Thomas, 1991), serta
ketidakpastian, teknologi, industri, misi dan strategi kompetitif,
observabilitas (Fisher, 1999).
Dalam konteks penelitian ini akan digunakan variabel kontingen
CSR dan GCG untuk melihat pengaruhnya terhadap nilai perusahaan.
CSR merupakan strategi yang digunakan oleh perusahaan sebagai
akibat dari desakan lingkungan di sekitar perusahaan. Dalam UU No.
40, 2007, dinyatakan bahwa perusahaan yang aktifitasnya dalam
sektor atau yang berhubungan dengan sumber daya alam harus
menerapkan CSR. Tuntutan dari para stakeholder dan lingkungan
telah „memaksa‟ perusahaan agar keberadaan perusahaan diapresiasi
secara positif oleh stakeholder sehingga tercapai tingginya nilai
perusahaan.
Menurut IICG (2010), GCG dapat didefinisikan sebagai
struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ-organ
perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan
secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Menurut Daniri
(2008), GCG dipicu oleh krisis ekonomi yang melanda dunia, agar
krisis tidak terulang kembali maka dikembangkan sistem dan struktur
pengelolaan perusahaan yang lebih baik. Penerapan GCG mewajibkan
suatu perusahaan menerapkan struktur dan sistem tertentu. Dalam
kaitannya dengan struktur, perusahaan diwajibkan menciptakan
perangkat organisasi tertentu (seperti komisaris independen, komite
21
audit, komite remunerasi) untuk menjalankan fungsi spesifik,
sedangkan dalam hal sistem, manajemen perusahaan diwajibkan
mengikuti proses atau aturan tertentu dalam pengambilan keputusan
dan dalam menjalankan kegiatannya secara umum.
B. Nilai Perusahaan
Nilai
perusahaan
merupakan
persepsi
investor
terhadap
perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang
tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Tujuan utama perusahaan
menurut theory of the firm adalah untuk memaksimumkan kekayaan atau
nilai perusahaan (value of the firm) (Salvatore, 2005). Memaksimalkan
nilai perusahaan sangat penting artinya bagi suatu perusahaan, karena
dengan memaksimalkan nilai perusahaan berarti juga memaksimalkan
kemakmuran pemegang saham yang merupakan tujuan utama perusahaan.
Menurut Husnan (2000) nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia
dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Sedangkan
menurut Keown (2004) nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat
berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar. Nilai perusahaan
merupakan persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan
yang sering dikaitkan dengan harga saham.
Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi.
Nilai perusahaan yang tinggi akan membuat pasar percaya tidak hanya
22
pada kinerja perusahaan saat ini namun juga pada prospek perusahaan di
masa depan.
Menurut Christiawan dan Tarigan (2007), terdapat beberapa
konsep nilai yang menjelaskan nilai suatu perusahaan antara lain:
a.
Nilai nominal yaitu nilai yang tercantum secara formal dalam
anggaran dasar perseroan, disebutkan secara eksplisit dalam neraca
perusahaan, dan juga ditulis jelas dalam surat saham kolektif.
b.
Nilai pasar, sering disebut kurs adalah harga yang terjadi dari proses
tawar-menawar di pasar saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika
saham perusahaan dijual di pasar saham.
c.
Nilai intrinsik merupakan nilai yang mengacu pada perkiraan nilai riil
suatu perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai intrinsik ini
bukan sekadar harga dari sekumpulan aset, melainkan nilai
perusahaan sebagai entitas bisnis yang memiliki kemampuan
menghasilkan keuntungan di kemudian hari.
d.
Nilai buku, adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar
konsep akuntansi.
e.
Nilai likuidasi itu adalah nilai jual seluruh aset perusahaan setelah
dikurangi semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai sisa itu
merupakan bagian para pemegang saham. Nilai likuidasi bisa dihitung
berdasarkan neraca performa yang disiapkan ketika suatu perusahaan
akan likuidasi.
23
Berbagai macam faktor dapat mempengaruhi nilai perusahaan
antara lain kepemilikan manajerial, kinerja keuangan suatu perusahaan,
kebijakan deviden, corporate governance dan lain sebagainya. Sebagai
contoh, penelitian yang dilakukan oleh Suranta dan Machfoedz (2003)
mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa nilai
perusahaan akan lebih tinggi ketika direktur memiliki bagian saham yang
lebih besar. Minguez and Francisco (2000) yang melakukan penelitian
tentang struktur kepemilikan terhadap perusahaan-perusahaan publik di
Spanyol
mengungkapkan
bahwa
struktur
kepemilikan perusahaan
berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh
Wijaya (2006) menemukan bahwa kebijakan dividen memberikan
pengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian Siallagan
(2006) juga menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance
berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
Nilai perusahaan menggambarkan seberapa baik atau buruk
manajemen mengelola kekayaannya, hal ini bisa dilihat dari pengukuran
kinerja keuangan yang diperoleh. Suatu perusahaan akan berusaha untuk
memaksimalkan nilai perusahaannya. Peningkatan nilai perusahaan
biasanya ditandai dengan naiknya harga saham di pasar.
Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai
pasar perusahaan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi
manajemen mengenai penilaian investor terhadap kinerja perusahaan
dimasa lampau dan prospeknya dimasa depan. Ada beberapa rasio untuk
24
mengukur nilai pasar perusahaan, salah satunya Tobin‟s Q. Pengukuran
kinerja dengan menggunakan Tobin‟s Q tidak hanya memberikan
gambaran pada aspek fundamental saja, tetapi juga sejauh mana pasar
menilai perusahaan dari berbagai aspek yang dilihat oleh pihak luar
termasuk investor. Tobin‟s Q mewakili sejumlah variabel yang penting
dalam pengukuran kinerja, antara lain aktiva tercatat perusahaan,
kecenderungan pasar yang memadai seperti pandangan – pandangan analis
mengenai prospek perusahaan, dan variabel modal intelektual atau
intangible asset.
Jadi semakin besar nilai Tobin‟s Q menunjukkan bahwa
perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi
karena semakin besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan
nilai buku asset perusahaan maka semakin besar kerelaan investor untuk
mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut
(Sukamulja, 2004). Jadi, Tobin‟s Q merupakan rasio yang digunakan
untuk mengukur seberapa efektif manajemen memanfaatkan sumber dayasumber daya ekonomis dalam kekuasaannya.
Nilai perusahaan merupakan variabel dependen yang diukur
dengan menggunakan Tobin‟s Q yang dihitung dengan menggunakan
rumus:
Q=
(EMV + D)
TA
Keterangan:
25
EMV ( Nilai Pasar Ekuitas) = P (Closing Price) x Qshares (Jumlah
saham yang beredar)
D ( Debt )
= Nilai buku dari total hutang
TA
= Total Asset
C. Kinerja Keuangan
Kinerja adalah suatu gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan perusahaan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning
suatu perusahaan. Sedangkan kinerja keuangan adalah prestasi kerja yang
telah dicapai oleh perusahaan dalam suatu periode tertentu dan tertuang
pada laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan (Munawir, 1998).
Tujuan manajemen adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan.
Untuk mencapai tujuan ini, perusahaan harus memanfaatkan keunggulan
dari kekuatan perusahaan dan secara terus menerus memperbaiki
kelemahan – kelemahan yang ada. Salah satu caranya adalah mengukur
kinerja keuangan dengan menganalisa laporan keuangan menggunakan
rasio-rasio keuangan. Hasil pengukuran terhadap percapaian kinerja
dijadikan dasar bagi manajemen atau pengelola perusahaan untuk
perbaikan kinerja pada periode berikutnya dan dijadikan landasan
pemberian reward and punishment terhadap manajer dan anggota
organisasi. Pengukuran kinerja yang dilakukan setiap periode waktu
tertentu sangat bermanfaat untuk menilai kemajuan yang telah dicapai
perusahaan dan menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat untuk
26
pengambilan keputusan manajemen serta mampu menciptakan nilai
perusahaan itu sendiri kepada para stakeholder.
Menurut Putri (2009), ada dua macam kinerja yang diukur dalam
berbagai penelitian, yaitu kinerja operasi perusahaan dan kinerja pasar.
Kinerja operasi perusahaan diukur dengan melihat kemampuan perusahaan
yang tampak pada laporan keuangannya. Untuk mengukur kinerja operasi
perusahaan biasanya digunakan rasio profitabilitas. Rasio profitabilitas
mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuangan pada tingkat
penjualan, aset, dan modal saham tertentu, rasio yang sering digunakan
adalah ROE, yaitu rasio keuangan yang berfungsi untuk mengukur
kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan dengan modal tertentu.
Rasio ini merupakan ukuran profitabilitas dari sudut pemegang saham
(Hanafi & Halim, 1996). ROE merupakan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri yang dimiliki, sehingga
ROE ini ada yang menyebut rentabilitas modal sendiri (Sutrisno,
2000:267). Salah satu alasan utama perusahaan beroperasi adalah
menghasilkan laba yang bermanfaat bagi para pemegang saham, ukuran
yang digunakan dalam pencapaian alasan ini adalah tinggi rendahnya
angka ROE yang berhasil dicapai. Semakin tinggi ROE, maka semakin
tinggi pula kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba untuk para
pemegang saham.
Return On Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio
profitabilitas yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan
27
atas keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktivitas yang digunakan
untuk aktivitas operasi perusahaan dengan tujuan menghasilkan laba
dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Return On Asset (ROA)
merupakan rasio yang terpenting di antara rasio profitabilitas yang ada
(Ang, 2007:29). ROA yang negatif disebabkan laba perusahaan dalam
kondisi negatif pula atau rugi. Hal ini menunjukkan kemampuan dari
modal yang diinvestasikan secara keseluruhan belum mampu untuk
menghasilkan laba. Menurut Brigham (2006:109) Return On Asset (ROA)
diperoleh dengan cara membandingkan net income terhadap total asset.
1.
Rasio Kinerja Keuangan
Pada umumnya berbagai rasio uang dihitung bisa dikelompokkan
kedalam 4 (empat) tipe dasar (Munawir, 2004:194). yaitu:
a.
Rasio Likuditas yang menunjukkan kemampuan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban finansial yang berjangka pendek tepat
pada waktunya.
b.
Rasio Solvabilitas yang menunjukkan kapasitas perusahaan untuk
memenuhi kewajiban baik itu jangka pendek maupun jangka
panjang.
c.
Rasio Aktivitas yang menunjukkan sejauh mana efisiensi
perusahaan dalam menggunakan asset untuk memperoleh
penjualan.
28
d.
Rasio Profitabilitas, rasio yang dapat mengukut seberapa besar
kemampuan perusahaan memperoleh laba baik dalam hubungan
dengan penjualan, asset maupun laba bagi modal sendiri
Adapun klasifikasi dari masing-masing tipe rasio tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Rasio Likuiditas
Pengertian rasio Likuiditas menurut Munawir (2004:31)
adalah “rasio yang menunjukkan kemampuan suatu perusahaan
untuk memenuhi kewajiban pada saat ditagih”. Rasio-rasio
likuiditas yaitu:
a) Current Ratio
Rasio
ini
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
melunasi kewajiban jangka pendeknya dari aktivitas lancarnya.
Rasio ini dihitung dengan membagi aktiva lancarnya dengan
kewajiban jangka pendek.
Aktiva Lancar
Rasio Lancar =
Hutang Lancar
b) Quick Ratio atau Acid-Test Ratio
Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan melunasi
kewajiban jangka pendeknya dari aktiva cepat (quick asset).
Rasio ini dihitung dengan membagi jumlah kas, surat berharga,
da piutang dagang bersih dengan kewajiban jangka pendeknya.
29
Aktiva – Persediaan
Quick Ratio =
Hutang Lancar
c) Ratio Kas (Cash Ratio)
Rasio ini digunakan untuk menentukkan tinggi rendahnya
likuiditas perusahaan,
rasio
ini digunakan karena
kas
merupakan pos yang paling likuid yang dimiliki perusahaan
guna melunasi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya.
Kas
Rasio Kas =
Hutang Lancar
2) Rasio Solvabilitas
Rasio
Solvabilitas
merupakan
suatu
indikator
untuk
mengukur perbandingan dana yang disediakan oleh pemilik
perusahaan dengan dana yang berasal dari kreditor perusahaan
(dibelanjai dari hutang).
a) Rasio Hutang Terhadap Modal (Total Debt to Equity Ratio).
Rasio ini menunjukkan proporsi dari hutang jangka panjang
terhadap dana pemegang saham.
Hutang Jangka Panjang
Hutang Terhadap Modal =
Dana Pemegang Saham
30
b) Rasio Hutang Total Terhadap Aktiva Tetap (Total Debt to Total
Asset). Rasio ini menunjukkan tingkat total hutang sebagai
persentase dari total aktiva.
Total Hutang
Total Hutang Terhadap Modal =
Total Aktiva
c) Ratio terhadap Aliran Kas (Debt to Operating Cash Flow).
Rasio ini menunjukkan hubungan antara hutang jangka pendek
dan jangka panjang dan aliran kas operasi perusahaan. Dalam
hal ini aliran kas operasi terdiri dari laba setelah pajak dan
penyusutan.
Hutang / Aliran Kas Operasi =
Total Hutang
Aliran Kas Operasi
d) Rasio Modal Sendiri dengan Total Aktiva (Stockholders Equity
Ratio). Merupakan ratio yang menunjukkan tingkat solvabilitas
perusahaan (likuiditas jangka panjang) dengan anggapan bahwa
semua aktiva akan dapat direalisir sesuai dengan apa yang
dilaporkan dengan neraca
Stockholders Equity Ratio =
e) Rasio
Kemampuan
Converage
Ratio).
Membayar
Rasio
ini
Equity
Total Aktiva
Bunga
(Times
mengukur
Interest
jaminan
dari
31
penghasilan sebelum bunga dan pajak (Earning Before Interest
and Taxes atau EBI).
Kemampuan Membayar Bunga =
EBT
Bunga
3) Rasio Aktivitas.
Rasio Aktivitas merupakan indikator untuk mengukur
efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya yang
dikelolanya.
a)
Inventory Turn Over (Rasio Perputaran Persediaan).
Rasio ini menunjukkan kecepatan perusahaan untuk menjual
tingkat persediaan barang rata-rata. Makin tinggi rasio ini
maka makin pendek waktu persediaan barang menunggu
penjualan
INTO =
Harga Pokok Barang yang Dijual
Persediaan Awal + Persediaan Akhir
b) Periode Pengumpulan Piutang (Average Collection Period).
Rasio ini menggambarkan kemampuan rata-rata perusahaan
dalam menagih piutang yang dihitung dalam hari . Semakin
tinggi rasio ini berarti semakin lama waktu yang diperlukan
untuk menagih piutangnya.
Average Collection Period =
Piutang Rata-rata  360
Penjualan Kredit
32
c)
Rasio Perputaran Piutang (Receivable Turn Over).
Rasio ini mengukur efektifitas pemberian kredit perusahaan.
Rasio perputaran piutang ini juga merupakan indikator
efisiensi
perusahaan
dalam
menagih
piutangnya
dan
mengkonversikannya kembali menjadi kas.
Perputaran Piutang =
Penjualan
Piutang Rata-rata
4) Rasio Profitabilitas
Rasio Profitabilitas merupakan alat yang digunakan untuk
menganalisis
kinerja
keuangan,
tingkat
profitabilitas
akan
menggambarkan posisi laba keuangan.
Menurut Harmono (2009:196) menyatakan bahwa: “Analisis
profitabilitas ini menggambarkan kinerja fudamental perusahaan
ditinjau dari tingkat efisiensi dan efektifitas perasi perusahaan
dalam memperoleh laba.
Adapun
jenis-jenis
rasio
profitabilitas
menurut
Sutrisno
(2009:222) adalah sebagai berikut:
a. Return On Equity (ROE)
ROE adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
keuntungan dengan modal sendiri yang dimiliki.
Laba Bersih
ROE =
 100 %
Ekuitas Biasa
33
b. Return On Assets (ROA)
ROA adalah salah satu bentuk dari salah satu profitabilitas yang
dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan atas
keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktivitas yang
digunakan untuk aktivitas operasi perusahaan dengan tujuan
menghasilkan
laba
dengan
memanfaatkan
aktiva
yang
perusahaan
untuk
dimilikinya. Beasley (2009:297)
Laba Bersih
ROA =
Total Aktiva
c. Net Profit Margin (NPM)
Profit
Margin
merupakan
kemampuan
menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan penjualan yang
dicapai
Net Profit Margin =
Laba bersih setelah pajak
Penjualan
d. Gross Profit Margin.
Rasio ini merupakan perimbangan antara gross profit (laba kotor)
yag diperoleh perusahaan dengan tingkat penjualan yang dicapai
pada periode yang sama.
𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 =
Penjualan − Harga Pokok pejualan
Penjualan
34
D. Corporate Social Responsibility (CSR)
1. Pengertian Corporate Social Responbility.
Seperti dikemukakan oleh Robins (2005), definisi CSR yang
mencerminkan maksud CSR dan digunakan oleh Uni Eropa adalah
sebagai berikut:
CSR is a concept whereby companies integrate social and
environmental
concerns in
their business
operations
and
stakeholder relations on a voluntary basis; it is about managing
companies in a socially responsible manner (Holand, 2003).
Definisi lain dari CSR adalah sebagai berikut:
The obligation of the firm to use its resources in ways to benefit
society, through commited participation as a member of society,
taking into account the society at large, and improving welfare of
society at large independently of direct gains of the company (Kok
et al, 2001, p. 287).
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa CSR
dijalankan terintegrasi dengan bisnis perusahaan, memperhatikan
kepentingan stakeholders (pemangku kepentingan) dengan harapan
memberikan manfaat/kesejahteraan bagi masyarakat.
Menurut Daniri (2007), CSR lahir dari desakan masyarakat atas
perilaku perusahaan yang biasanya selalu fokus untuk memaksimalkan
laba, mensejahterakan para pemegang saham., dan mengabaikan
35
tanggung jawab sosial seperti perusakan lingkungan, eksploitasi sumber
daya alam, dan lain sebagainya. Pada intinya, keberadaan perusahaan
berdiri secara berseberangan dengan kenyataan kehidupan sosial.
Konsep dan praktik CSR saat ini bukan lagi dipandang sebagai suatu
cost center tetapi juga sebagai suatu strategi perusahaan yang dapat
memacu dan menstabilkan pertumbuhan usaha secara jangka panjang.
Oleh karena itu penting untuk mengungkapkan CSR dalam perusahaan
sebagai wujud pelaporan tanggung jawab sosial kepada masyarakat.
Pengungkapan tanggung jawab sosial atau sering disebut sebagai
corporate social reporting adalah proses pengkomunikasian efek-efek
sosial dan lingkungan atas tindakan-tindakan ekonomi perusahaan pada
kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dan pada masyarakat
secara keseluruhan (Gray et. al., 1987). Dampak negatif perusahaan
terhadap lingkungan sekitar mengakibatkan hilangnya kepercayaan
masyarakat. Untuk meminimalisir dampak negatif tersebut adalah
dengan
mengungkapkan
informasi-informasi
mengenai
operasi
perusahaan sehubungan dengan lingkungan sebagai tanggung jawab
perusahaan.
2. Konsep dan Praktik CSR.
Konsep dan praktik CSR saat ini bukan lagi sebagai suatu cost
center tetapi juga sebagai suatu strategi perusahaan yang dapat memacu
dan menstabilkan pertumbuhan usaha secara jangka panjang. Oleh
36
karena itu penting untuk mengungkapkan CSR dalam perusahaan
sebagai wujud pelaporan tanggung jawab kepada masyarakat.
Menurut Elkington dalam Wibisono (2007) jika perusahaan ingin
bertahan maka harus memperhatikan 3P yaitu bukan hanya profit yang
diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada
masyarakat (people) dan ikut aktif manjaga kelestarian lingkungan
(planee). Ketiga prinsip tersebut saling mendukung dalam pelaksanaan
program CSR. Berikut merupakan gambar dari 3P
Profit
(Keuntungan
Ekonomi)
Plane
(Keberlanjutan
Lingkungan
Hidup)
People
(Kesejahteraan
Masyarakat)
Gambar 2.1 Tripple Bottom Lines CSR
Menurut Wibisono (2007) perusahaan memperoleh beberapa
keuntungan karena menerapkan tanggung jawab sosial antara lain:
untuk mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image
perusahaan, layak mendapat ijin untuk beroperasi (social license to
37
operate), mereduksi risiko bisnis perusahaan, melebarkan akses ke
sumber daya, membentangkan akses menuju market, mereduksi biaya,
memperbaiki hubungan dengan stakeholder, memperbaiki hubungan
dengan regulator, dan meningkatkan semangat dan produktifitas
karyawan.
3. Aspek Pengungkapan CSR Menurut GRI.
GRI (Global Reporting Intiative) merupakan sebuah jaringan
berbasis organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia,
paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan
berkomitmen untuk terus-menerus melakukan perbaikan dan penerapan
di seluruh dunia.
Pertanggungjawaban sosial perusahaan tersebut diungkapkan di
dalam laporan yang disebut sustainability reporting. Namun, banyak
perusahaan yang mengungkapkan aktivitas CSR di dalam laporan
tahunan (annual report). Sustainability Reporting adalah pelaporan
mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan
kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development).
Sustainability
report
membahas pelaporan perusahaan tentang tanggung jawabnya terhadap
ekonomi, lingkungan, dan sosial yang akan mempengaruhi perusahaan
secara keseluruhan.
38
Berdasarkan indikator kinerja GRI, pengungkapan CSR terdiri
dari tiga indikator kinerja yaitu indikator kinerja ekonomi, lingkungan,
dan sosial. Pada indikator kinerja sosial, dikategorikan lebih lanjut ke
dalam tiga kategori yaitu tenaga kerja, hak asasi manusia, masyarakat,
dan tanggung jawab produk. Sehingga total ada enam indikator.
Indikator kinerja menghasilkan perbandingan informasi mengenai
kinerja organisasi dalam hal ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Organisasi didorong untuk mengikuti struktur ini dalam mengkompilasi
laporan mereka, namun demikian format lainnya tetap dapat dipilih.
Berikut ini ke enam indikator:
Tabel 2.1
Indikator Pengungkapan CSR Menurut GRI
No.
Indikator
1
Kinerja Ekonomi
2
Kinerja Lingkungan
3
Praktek
Tenaga
Kerja dan Pekerjaan
yang Layak
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
a.
b.
c.
d.
e.
Aspek
Kinerja Ekonomi
Kehadiran Pasar
Dampak Ekonomi Tidak Langsung
Material
Energi
Air
Biodiversitas
Emisi, Efluen, dan Limbah
Produk dan Jasa
Kepatuhan
Pengangkutan/Transportasi
Pekerjaan
Tenaga Kerja/Hubungan Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Jabatan
Pelatihan dan Pendidikan
Keberagaman dan Kesempatan
Kesetaraan
39
4
Hak Asasi Manusia
5
Masyarakat/Sosial
6
Tanggung
Produk
Jawab
a.
b.
c.
d.
e.
f.
a.
b.
c.
d.
e.
a.
b.
Praktek Investasi dan Pengadaan
Nondiskriminasi
Pekerja Anak
Kerja Paksa dan Kerja Wajib
Praktek/Tindakan Pengamanan
Hak Penduduk Asli
Komunitas
Korupsi
Kebijaksanaan Publik
Kelakuan Tidak Bersaing
Kepatuhan
Kesehatan dan Keamanan Pelanggan
Pemasangan Label bagi Produk dan
Jasa
c. Komunikasi Pemasaran
d. Keleluasaan
Pribadi
(privacy)
Pelanggan
e. Kepatuhan
E. Good Corporate Governance (GCG)
1. Pengertian Good Corporate Governance
Menurut Daniri (2004), dengan mengutip riset Berle dan Means
pada tahun 1934, isu GCG muncul karena terjadinya pemisahan antara
kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Pemisahan ini memberikan
kewenangan kepada pengelola (manajer/direksi) untuk mengurus
jalannya perusahaan, seperti mengelola dana dan mengambil keputusan
perusahaan atas nama pemilik. Pemisahan ini didasarkan pada
principal-agency theory yang dalam hal ini manajemen cenderung akan
meningkatkan keuntungan pribadinya daripada tujuan perusahaan.
Selain memiliki kinerja keuangan yang baik, perusahaan juga
diharapkan memiliki tata kelola yang baik. Definisi dan prinsip CG
40
yang saat ini masih bertahan dan dapat diakomodasi serta diadaptasi
oleh berbagai regulasi yang ada khususnya di negara Indonesia (Utama,
2004), yaitu:
a.
Cadbury Committee
Menurut Komite Cadburry (2004), yang kemudian dikutip
oleh FCGI dalam publikasi pertamanya, corporate governance
adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara
pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan
ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak – hak dan kewajiban
mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan. Komite Cadburry dalam laporannya
juga menyatakan bahwa GCG terdiri dari 3 prinsip utama yaitu,
keterbukaan, integritas, dan akuntabilitas.
b.
OECD
(Organization
for
Economic
Cooperation
and
Development)
Sebagaimana yang diuraikan oleh OECD (2004), yang
dikutip oleh FCGI dalam terbitannya ada 4 unsur penting dalam
CG yaitu:
1) Keadilan (Fairness), yaitu kepastian perlindungan atas hak
seluruh pemegang dari penipuan (fraud) dan penyimpangan
lainnya serta adanya pemahaman yang jelas mengenai
41
hubungan berdasarkan kontrak diantara penyedia sumber daya
perusahaan dan pelanggan.
2) Transparansi (Transparancy), yaitu keterbukaan mengenai
informasi kinerja perusahaan, baik ketepatan waktu maupun
akurasinya. Hal ini berkaitan dengankualitas informasi
akuntansi yang dihasilkan,
3) Akuntabilitas
(Accountability),
yaitu
penciptaan
sistem
pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian wewenang,
peranan, hak dan tanggung jawab dari pemegang saham,
manajer, dan auditor.
4) Pertanggungjawaban
(Responsibility),
yaitu
pertanggungjawaban perusahaan kepada stakeholders dan
lingkungan dimana perusahaan itu berada.
Ada beberapa definisi corporte governance yang digunakan oleh
perusahaan menurut kissane seperti yang dikutip Ridwan dan Camellia
(2007:63) adalah definisi corporate governance sebagai:
The legal and participal system fot the exercise of power and
control in the conductof the bussines of a corporation, including
in particular the relantionship among the shareholders, the board
directors, and its committes, the executive officers, and other
constituencies (such us employees, local communities and major
costomers and suppliers).
42
Dengan demikian definisi corporate governance yang umum
digunakan adalah corporate governance sebagai sistem hukum dan
praktik untuk menjalankan kewenangan dan kontrol dalam kegiatan
bisnis perusahaan. Kegiatan itu meliputi hubungan khusus antara
pemegang saham, komisaris dan komite-komitenya, direksi, pejabat
eksekutif, dan komite lainnya (seperti pegawai, masyarakat lokal, dan
pelanggan dan pihak supplier).
Pengertian good corporate governance menurut Tumbull Report
di Inggris yang dikutip oleh Tsuguoki Fujinuma dalam Arief Effendi
(2009:1) adalah sebagai berikut:
Corporate governance is a company’s system of internal control,
which has as its principalalm the management of risk that are
significant to the fulfillment of its bussines objectives, with a view
to saveguarding the company’s assets and enhanching overtime
the value of the shareholders investment.
Berdasarkan
pengertian
diatas,
corporate
governance
didefinisikan sebagai suatu sistem pengendalian internal perusahaan
yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna
memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dan
meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang.
CG timbul karena kepentingan perusahaan untuk memastikan
kepada pihak penyandang dana (principal/investor) bahwa dana yang
43
ditanamkan digunakan secara tepat dan efisien. Selain itu dengan CG,
perusahaan memberikan kepastian bahwa manajemen (agent) bertindak
yang terbaik demi kepentingan perusahaan (Setyapurnama dan Nor
Pratiwi, 2004).
Penerapan
good
corporate
governance
diyakini
mampu
menciptakan kondisi yang kondusif dan landasan yang kokoh untuk
menjalankan
operasional
perusahaan
yang
baik,
efisien
dan
menguntungkan. Coombes dan Watson (2000) dalam Fachrurozi (2007)
menyatakan bahwa pemegang saham saat ini sangat aktif dalam
meninjau kinerja perusahaan karena mereka menganggap bahwa CG
yang lebih baik akan memberikan imbal hasil yang lebih tinggi bagi
mereka. Tujuh puluh lima persen dari investor mengatakan bahwa
praktek CG paling tidak sama pentingnya dengan kinerja keuangan
ketika mereka mengevaluasi perusahaan untuk tujuan investasi. Bahkan
80% dari investor mengatakan bahwa mereka akan membayar lebih
mahal untuk saham perusahaan yang memiliki CG yang lebih baik
(wellgoverned company atau WGC) dibandingkan perusahaan lain
dengan kinerja keuangan relatif sama.
Dey Report (1994) mengemukakan bahwa CG yang efektif dalam
jangka
panjang
dapat
meningkatkan
kinerja
perusahaan
dan
menguntungkan para pemegang saham. Morck, Shleifer dan Vishny
(1988) dalam Bernhart dan Rosenstein (1998) yang menguji hubungan
antara kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris terhadap
44
nilai perusahaan menemukan bahwa nilai perusahaan meningkat sejalan
dengan peningkatan kepemilikan manajerial sampai dengan 5%,
kemudian menurun pada saat kepemilikan manajerial 5%-25%, dan
kemudian meningkat kembali seiring dengan adanya peningkatan
kepemilikan manajerial secara berkelanjutan. Black et al. (2003)
berargumen bahwa pertama, perusahaan yang dikelola dengan lebih
baik akan dapat lebih menguntungkan sehingga mendapat dividen yang
lebih tinggi. Kedua, disebabkan oleh karena investor luar dapat menilai
earnings atau dividen yang sama dengan lebih tinggi untuk perusahaan
yang menerapkan CG yang lebih baik. Hasil menunjukkan bahwa tidak
ditemukan bukti bahwa perusahaan dengan CG yang baik lebih
menguntungkan atau membayar dividen yang lebih tinggi, tetapi
ditemukan bukti bahwa investor menilai earnings atau arus dividen
yang sama dengan lebih tinggi untuk perusahaan yang menerapkan CG
yang lebih baik.
2. Manfaat Good Corporate Governance.
GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien,
transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-udangan.
Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling
berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia
usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk
dan jasa dunia usaha. Penerapan sistem GCG diharapkan dapat
45
meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut.
a.
Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu
organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya
kesejahteraan pemegang saham, pegawai, dan stakeholders lainnya
dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapai tantangan
organisasi kedepan.
b.
Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka,
adil dan dapat dipertanggungjawabkan.
c.
Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para shareholders
dan stakeholders.
3. Mekanisme Good Corporate Governance
Mekanisme CG merupakan suatu aturan main, prosedur dan
hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan
pihak yang melakukan kontrol, pengawasan terhadap keputusan
tersebut. Mekanisme CG diarahkan untuk menjamin dan mengawasi
berjalannya sistem governance dalam sebuah organisasi (Walsh dan
Schward, 1990 dalam Arifin, 2005).
Menurut Barnhart dan Rosenstein (1998) dalam Lastanti (2004),
mekanisme CG dibagi menjadi dua, yaitu internal mechanism
(mekanisme internal), seperti komposisi dewan direksi/komisaris,
kepemilikan manajerial, dan kompensasi eksekutif. Mekanisme yang
46
kedua yaitu external mechanism (mekanisme eksternal), seperti
pengendalian oleh pasar dan level debt financing.
Mekanisme CG yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dewan komisaris, karena keterbatasan data mekanisme yang lain.
Dalam penelitian ini semakin tinggi dewan komisaris diharapkan pihak
manajemen akan berusaha meningkatkan kemampuan monitoring
perusahaan dan berkontribusi untuk meningkatkan kinerja keuangan.
Hal ini disebabkan oleh pihak dewan komisaris
juga akan
meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan.
a.
Kepemilikan Manajerial
Salah satu elemen CG yang mempengaruhi insentif bagi
manajemen untuk melaksanakan kepentingan terbaik dari
pemegang saham adalah pemilikan saham oleh manajemen.
Kepemilikan manajemen didefinisikan sebagai persentase saham
yang dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut dalam
pengambilan keputusan perusahaan yang meliputi komisaris dan
direksi (Midiastuty dan Machfoedz, 2003).
Kepemilikan manajerial adalah situasi dimana manajer
memiliki saham perusahaan atau dengan kata lain manajer
tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan. Dalam
laporan keuangan, keadaan ini ditunjukkan dengan besarnya
persentase kepemilikan saham perusahaan oleh manajer. Karena
hal ini merupakan informasi penting bagi pengguna laporan
47
keuangan maka informasi ini akan diungkapkan dalam catatan
atas laporan keuangan. Adanya kepemilikan manajerial menjadi
hal yang menarik jika dikaitkan dengan agency theory. Dalam
kerangka agency theory, hubungan antara manajer dan pemegang
saham digambarkan sebagai hubungan antara agent dan principal
(Schroeder et al. 2001). Agent diberi mandat oleh principal untuk
menjalankan bisnis demi kepentingan principal. Manajer sebagai
agent dan pemegang saham sebagai principal. Keputusan bisnis
yang diambil manajer adalah keputusan untuk mamaksimalkan
sumber daya (utilitas) perusahaan. Suatu ancaman bagi pemegang
saham jikalau manajer bertindak untuk kepentingannya sendiri,
bukan untuk kepentingan pemegang saham. Dalam konteks ini
masing-masing pihak memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Inilah
yang menjadi masalah dasar dalam agency theory yaitu adanya
konflik kepentingan. Pemegang saham dan manajer masingmasing
berkepentingan
untuk
mamaksimalkan
tujuannya.
Masing-masing pihak memiliki risiko terkait dengan fungsinya,
manajer memiliki resiko untuk tidak ditunjuk lagi sebagai
manajer jika gagal menjalankan fungsinya, sementara pemegang
saham memiliki resiko kehilangan modalnya jika salah memilih
manajer. Kondisi ini merupakan konsekuensi adanya pemisahan
fungsi pengelolaan dengan fungsi kepemilikan.
48
b. Dewan Komisaris.
Struktur dewan dalam perusahaan di Indonesia menganut
sistem dua tingkat (two tiers system) yang menganut sistem
hukum kontinental Eropa. Disini perusahaan mempunyai dua
badan terpisah yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan
dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi mengelola dan
mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan
dewan komisaris. Dewan direksi juga harus memberikan
informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang
diajukan oleh dewan komisaris, sehingga dewan komisaris
bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen serta
tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen dan
tidak boleh mewakili perusahaan dalam transaksi-transaksi
dengan pihak ketiga. Anggota Dewan Komisaris diangkat dan
diganti dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Negaranegara dengan Two Tiers System adalah Denmark, Jerman,
Belanda, dan Jepang. Karena sistem hukum Indonesia berasal dari
sistem hukum Belanda, maka hukum perusahaan Indonesia
menganut Two Tiers System untuk struktur dewan dalam
perusahaan.
49
Gambar 2.2
Struktur Dewan Komisaris dan Dewan Direksi dalam Two Tiers
System yang diadopsi oleh Indonesia
Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS)
Dewan
Komisaris
Sumber: FCGI
Dewan
Direksi
Supervisi
pengawasan
Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting
dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan Good Corporate
Governance. Menurut Egon Zehnder (www.cic-fcgi.org), Dewan
Komisaris merupakan inti dari Corporate Governance yang
ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan,
mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta
mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, Dewan
Komisaris
merupakan
suatu
mekanisme
mengawasi
dan
mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada
pengelola
perusahaan.
Mengingat
manajemen
yang
bertanggungjawab untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing
perusahaan sedangkan Dewan Komisaris bertanggungjawab
50
untuk
mengawasi
manajemen,
maka
Dewan
Komisaris
merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan.
Dewan komisaris ada dua jenis yaitu komisaris independen
dan komisaris non-independen. Komisaris independen merupakan
komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi, sedangkan
komisaris non-independen merupakan komisaris yang terafiliasi.
Yang dimaksusd dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai
hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham
pengendali, anggota Direksi dan Dewan Komisaris lain, serta
dengan perusahaan itu sendiri. Mantan anggota Direksi dan
Dewan Komisaris yang terafiliasi serta karyawan perusahaan,
untuk jangka waktu tertentu termasuk dalam kategori terafiliasi
(KNKG, 2006).
c.
Komite Audit
Komite audit adalah sekelompok orang yang dipilih oleh
kelompok yang lebih besar, untuk mengerjakan pekerjaan tertentu
untuk melakukan tugas-tugas khusus. Di dalam perusahaan, komite
ini sangat berguna untuk menangani masalah-masalah yang
membutuhkan integrasi dan koordinasi sehingga dimungkinkan
permasalahan – permasalahan yang signifikan atau penting dapat
segera teratasi (Kusumaning, 2004).
Secara definisional, dewan komisaris berwenang mamanage
hal-hal bisnis. Komisaris dipilih oleh pemegang saham sehingga
51
mereka bertanggung jawab terhadap pemegang saham. Dewan
komisaris
melakukan
pekerjaannya
sendiri
atau
dengan
memberikan otoritasnya kepada komite yang bertanggung jawab
terhadap dewan. Sebagai pihak yang diberi otoritas oleh dewan
komisaris, komite audit bertugas untuk mengawasi proses
pelaporan keuangan dalam perusahaan, sehingga keberadaan
komite audit dalam perusahaan akan memperkecil kemungkinan
terjadinya manajemen laba.
Komite audit bukan bersifat wajib (mandatory) dan tidak
selalu ada pada perusahaan kecil. Tanggung jawab komite audit
meliputi: mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit eksternal,
dan mengamati sistem pengendalian internal (termasuk audit
internal). Dari ketiga tanggung jawab tersebut, pengawasan pada
laporan keuangan dan pengawasan pada audit eksternal adalah
yang berkaitan dengan aktivitas manajemen laba. Pengawasan pada
laporan keuangan meliputi laporan keuangan dan kebijakan
akuntansi.
Adanya
kewajiban
dibentuknya
komite
audit
pada
perusahaan-perusahaan publik oleh Bursa Efek Indonesia dalam
pengaturan pencatatan No I – A, dalam rangka penyelenggaraan
pengelolaan perusahaan yang baik menunjukkan bahwa BEI ingin
meningkatkan pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan
sehingga dapat mengurangi aktivitas manajemen melalui akrual
52
diskrisioner. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Verschoor (1993)
dalam Kusumaning (2004) mengenai pengawasan pada audit
eksternal diharapkan dapat meningkatkan independensi auditor
sehingga dapat memperbaiki efektivitas audit.
Oleh karena itu, keberadaan komite audit yang cukup
independen
dapat
membantu
dalam
mengurangi
aktivitas
manajemen laba. (Kusumaning, 2004). Proporsi anggota komite
audit
independen
berpengaruh
negatif
terhadap
earning
management. Semakin tinggi persentase anggota independen maka
semakin kecil
earning
management
yang
dilakukan oleh
perusahaan. (Chtourou, Bedard dan Chtourou, 2003).
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berhubungan dengan kinerja keuangan, CSR, GCG
dan nilai perusahaan telah dilakukan dengan peneliti sebelumnya, sehingga
beberapa poin penting dari hasil penelitian sebelumnya dapat dijadikan
dasar dalam penelitian ini. Berikut ini akan diuraikan beberapa penelitian
terdahulu.
1. Klapper dan Love (2002) menemukan adanya hubungan positif antara
corporate governance dengan kinerja perusahaan yang diukur dengan
Return On Assets (ROA) dan Tobin‟s Q. Penemuan penting lainnya
adalah bahwa penerapan corporate governance di tingkat perusahaan
lebih memiliki arti dalam negara berkembang dibandingkan dalam
53
negara maju. Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang
menerapkan corporate governance yang baik akan memperoleh manfaat
yang lebih besar di negara-negara yang lingkungan hukumnya buruk.
2. Siallagan dan Machfoedz (2006) meneliti hubungan mekanisme
corporate governance, kualitas laba dan nilai perusahaan. Dalam
penelitian
ini
mekanisme
corporate
governance
diproksi
oleh
kepemilikan manajerial, keberadaan komite audit, dan proporsi dewan
komisaris independen. Hasil menunjukkan bahwa mekanisme corporate
governance mempengaruhi nilai perusahaan (Tobin’s Q).
3. Yuniasih dan Wirakusuma (2007) meneliti pengaruh kinerja keuangan
terhadap nilai perusahaan dengan mempertimbangkan CSR dan
corporate governance sebagai variabel moderasi. Kinerja keuangan
diproksikan dengan ROA, sedangkan corporate governance diproksikan
dengan kepemilikan manajerial. Hasilnya mengindikasikan bahwa ROA
berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, pengungkapan CSR dapat
memoderasi hubungan antara ROA dengan nilai perusahaan, akan tetapi
kepemilkan manajerial tidak dapat memoderasi hubungan antara ROA
dengan nilai perusahaan.
4. Lastanti (2004) meneliti hubungan antara struktur corporate governance
dengan kinerja dan reaksi pasar. Dalam penelitian tersebut digunakan
struktur corporate governance berupa komposisi dewan komisaris
independen, struktur kepemilikan terkonsentrasi dan kepemilikan
institusional.
Sedangkan kinerja perusahaan diproksi oleh nilai
54
perusahaan (Tobin’s Q) dan kinerja keuangan (ROA & ROE). Hasil
penelitian menyatakan terdapat hubungan positif signifikan antara
independensi dewan komisaris dan Tobin’s Q. Sementara variabel lain
tidak berpengaruh secara signifikan, baik terhadap Tobin’s Q, ROA dan
ROE.
5. Hasil penelitian Harjoto dan Jo (2007) dalam Rustiarini (2010)
menemukan bahwa pengungkapan Corporate Social Responsibility
berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu
No.
Peneliti
1.
Klapper dan
Love (2002)
dalam
Daemawati,
dkk (2005)
2.
Siallagan dan
Machfoedz
(2006)
3.
Yuniasih dan
Wirakusuma
(2007)
Judul Penelitian
Hubungan antara
Corporate Governance
dengan kinerja
perusahaan
Kepemilikan
manajerial, komisaris
independen, komite
audit, leverage, firm
size kualitas laba dan
nilai perusahaan
Pengaruh kinerja
keuangan terhadap nilai
perusahaan dengan
mempertimbangankan
CSR dan corporate
governance sebagai
variabel moderasi
Hasil penelitian
Adanya hubungan positif
antara corporate
governance dengan kinerja
perusahaan yang diukur
dengan ROA dan Tobins Q
Mekanisme CG
mempengaruhi nilai
perusahaan (Tobins Q)
ROA berpengaruh positif
terhadap nilai perusahaan,
pengungkapan CSR dapat
memoderasi hubungan
antara ROA dengan nilai
perusahaan, akan tetapi
kepemilikan manajerial
tidak dapat memoderasi
hubungan antara ROA
dengan nilai perusahaan
55
4.
5.
Lastanti,
2004
komposisi dewan
komisaris independen,
struktur kepemilikan
terkonsentrasi,
kepemilikan
institusional, dan
Kinerja Keuangan
Harjoto dan
Corporate Sosial
Jo, 2007
Responsibility dan Nilai
perusahaan
hubungan positif signifikan
antara independensi dewan
komisaris dan Tobin‟s Q.
Sementara variabel lain
tidak berpengaruh secara
signifikan, baik terhadap
Tobin‟s Q, ROA dan ROE.
Corporate Social
Responsibility berpengaruh
positif terhadap nilai
perusahaan.
G. Kerangka Pemikiran Teoritis
Perbedaan hasil penelitian yang meneliti pengaruh kinerja keuangan
terhadap nilai perusahaan mengindikasikan terdapat variabel lain yang ikut
mempengaruhi. Dalam hal ini penulis memasukkan variabel ROA, ROE,
CSR, dan GCG yang nantinya akan dapat dilihat apakah variabel ini akan
mempengaruhi terhadap nilai perusahaan atau tidak. Oleh karena itu dapat
digambarkan suatu kerangka pemikiran sebagai berikut:
Kinerja Keuangan
(ROE dan ROA)
Nilai Perusahaan
CSR
(Corporate Social Responsibility)
GGC (Dewan Komisaris)
Gambar 2.3
Kerangka Pemikiran Teoretis
(Tobin’s Q)
56
H. Perumusan Hipotesis
1.
Kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan
Para investor melakukan overview suatu perusahaan dengan
melihat rasio keuangan sebagai alat evaluasi investasi, karena rasio
keuangan mencerminkan tinggi rendahnya nilai perusahaan. Jika
investor ingin melihat seberapa besar perusahaan menghasilkan return
atas investasi yang akan mereka tanamkan, yang akan dilihat pertama
kali adalah rasio profitabilitas, terutama ROE, karena rasio ini
mengukur seberapa efektif perusahaan menghasilkan return bagi para
investor. Return On Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio
profitabilitas yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan
perusahaan atas keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktivitas
yang digunakan untuk aktivitas operasi perusahaan dengan tujuan
menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya.
Semakin tinggi rasio ini, maka semakin besar nilai profitabilitas
perusahaan, yang pada akhirnya dapat menjadi sinyal positif bagi
investor dalam melakukan investasi untuk memperoleh return tertentu.
Tingkat return yang diperoleh menggambarkan seberapa baik nilai
perusahaan
di
mata
investor.
Apabila
perusahaan
berhasil
membukukan tingkat keuntungan yang besar, maka hal ini akan
memotivasi para investor untuk menanamkan modalnya pada saham,
sehingga harga saham dan permintaan akan saham pun akan
meningkat. Harga saham dan jumlah saham yang beredar akan
57
mempengaruhi nilai Tobins Q sebagai proksi dari nilai perusahaan,
jika harga saham dan jumlah saham yang beredar naik, maka nilai
Tobins Q juga akan naik. Tobins Q yang bernilai lebih dari 1,
menggambarkan bahwa perusahaan menghasilkan earning dengan
tingkat return yang sesuai dengan harga perolehan asset-asetnya
(Tobins dan Brainard, 1977). Hal ini selaras dengan penelitian
Wahyuni (2005) yang menunjukkan bahwa rasio profitabilitas ROE
berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham. Penelitian yang
dilakukan Ulupui (2007) dan Makaryawati (2002), Carlson dan
Bathala (1997) dalam Suranta dan Pratana (2004) menemukan bahwa
ROA berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Penelitian yang
dilakukan oleh Suranta dan Pratana (2004) dan Kaaro (2002) dalam
Suranta dan Pratana (2004) menemukan ROA berpengaruh negatif
terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut,
H1 : Kinerja keuangan berpengaruh terhadap nilai perusahaan
2.
Corporate Social Responbility terhadap nilai perusahan
Adanya ketidakkonsistenan hubungan terhadap nilai perusahaan,
penelitian yang dilakukan oleh Yuniasih dan Wirakusuma (2007),
bahwa terdapat berbagai hasil penelitian yang mengungkapkan ROE
mempunyai pengaruh positif dan negatif terhadap nilai perusahaan,
dan ROA berpengaruh positif statistis pada nilai perusahaan diduga
58
terdapat variabel kontingen yang turut menginteraksi. Dalam
penelitian ini, variabel kontingen yang akan digunakan adalah
pengungkapan CSR.
Variabel kontingen CSR akan turut menginteraksi hubungan
dengan nilai perusahaan pada suatu kondisi tertentu. Desakan
lingkungan perusahaan menuntut perusahaan agar menerapkan strategi
untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Strategi perusahaan seperti
CSR dapat dilakukan untuk memberikan image perusahaan yang baik
kepada pihak eksternal. Perusahaan dapat memaksimalkan modal
pemegang saham, reputasi perusahaan, dan kelangsungan hidup
jangka panjang perusahaan dengan menerapkan CSR. Telah
disebutkan
dalam
UU
bahwa
perusahaan
yang
aktivitasnya
berhubungan dengan lingkungan alam wajib menerapkan CSR.
Perusahaan tidak hanya memandang laba sebagai satu-satunya tujuan
dari perusahaan tetapi ada tujuan yang lainnya yaitu kepedulian
perusahaan terhadap lingkungan, karena perusahaan mempunyai
tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba untuk
pemegang saham (Gray et. al., 1987).
Disamping kinerja keuangan yang akan dilihat investor sebelum
memutuskan untuk berinvestasi dalam suatu perusahaan, adanya
pengungkapan item CSR dalam laporan keuangan diharapkan akan
menjadi nilai plus yang akan menambah kepercayaan para investor,
bahwa perusahaan tersebut akan terus berkembang dan berkelanjutan
59
(sustainable). Para konsumen akan lebih mengapresiasi perusahaan
yang mengungkapkan CSR dibandingkan dengan perusahaan yang
tidak mengungkapkan CSR, mereka akan membeli produk yang
sebagian laba dari produk tersebut disisihkan untuk kepentingan sosial
lingkungan,
misalnya
untuk
beasiswa,
pembangunan
masyarakat, program pelestarian lingkungan, dan lain
fasilitas
sebagainya.
Hal ini akan berdampak positif terhadap perusahaan, selain
membangun image yang baik di mata para stakeholder karena
kepedulian perusahaan terhadap sosial lingkungan, juga akan
menaikkan laba perusahaan melalui peningkatan penjualan. Dengan
demikian nilai ROE akan tinggi, dan akan menarik perhatian para
investor untuk berinvestasi serta berpengaruh bagi peningkatan kinerja
saham di bursa efek. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis
alternatif yang diajukan adalah sebagai berikut.
H2 :Pengungkapan CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
3.
Good Corporate Governance terhadap nilai perusahaan.
Peneliti juga memasukkan variabel kontingen GCG sebagai
suatu struktur yang sistematis untuk memaksimalkan nilai perusahaan.
GCG mensyaratkan adanya tata kelola perusahaan yang baik. Tata
kelola perusahaan yang baik menggambarkan bagaimana usaha
manajemen mengelola aset dan modalnya dengan baik agar menarik
para investor. Pengelolaan aset dan modal suatu perusahaan dapat
60
dilihat dari kinerja keuangan yang ada. Jika pengelolaannya dilakukan
dengan baik maka otomatis akan meningkatkan nilai perusahaan.
Proksi dari GCG yang digunakan adalah Dewan komisaris yang
bertugas melakukan pengawasan terhadap manajemen, tidak boleh
melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen dan tidak boleh
mewakili perusahaan dalam transaksitransaksi dengan pihak ketiga
(FCGI, 2002).
Dewan komisaris merupakan wakil para pemegang saham dalam
mengawasi pengelolaan perusahaan dan mencegah pengendalian yang
berlebihan oleh manajemen. Teori agensi menjelaskan bahwa ukuran
dewan komisaris yang semakin besar akan memudahkan dilakukan
pengendalian terhadap agen dan mencegah terjadinya penyimpangan.
Pengawasan yang dilakukan dewan komisaris menjadikannya sebagai
pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan (FCGI, 2002). Ukuran
dewan komisaris yang besar akan meningkatkan kemampuan
monitoring perusahaan dan berkontribusi untuk meningkatkan kinerja
perusahaan (Pfeffer dan Salancik, 2003). Oleh sebab itu, perusahaan
yang memiliki ukuran dewan komisaris semakin besar akan memiliki
kinerja perusahaan yang semakin baik.
Anggota dewan komisaris yang mempunyai keahlian dalam
bidang tertentu juga dapat memberikan nasihat yang bernilai dalam
penyusunan strategi dan penyelenggaraan perusahaan (Fama dan
61
Jensen, 1983) dalam Darwis, (2009). Fungsi kontrol yang dilakukan
oleh komisaris diambil dari teori agensi. Dari perspektif teori agensi,
dewan komisaris mewakili mekanisme internal utama untuk
mengontrol
perilaku
oportunistik
manajemen
sehingga
dapat
membantu menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajer
(Jensen, 1993) dalam Darwis, (2009). Dari kedua fungsi dewan
tersebut, terlihat bahwa jumlah komisaris berpengaruh terhadap
nilai/kinerja perusahaan. Penelitian yang dilakukan Siallagan dan
Machfoedz (2006) menemukan bahwa dewan komisaris secara positif
signifikan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan uraian
tersebut maka hipotesis alternatif yang diajukan adalah sebagai
berikut.
H3 : Good Corporate Governance berpengaruh terhadap nilai
perusahaan.
Download