BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan kenaikan kadar gula darah diatas kadar normal atau disebut sebagai hiperglikemia (ADA, 2011). Kenaikan kadar gula darah ini disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, kelainan aksi insulin, atau keduanya. Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel beta pancreas dan akan meregulasi metabolisme karbohidrat dan lemak dengan meningkatkan absorpsi glukosa darah ke jaringan otot dan lemak. Selain itu juga Insulin akan cenderung membuat energi disimpan di dalam lemak daripada digunakan oleh tubuh. Prevalensi terjadinya diabetes secara global saat ini mencapai 171 juta kejadian pada tahun 2000 dan diduga akan mencapai 366 juta pada tahun 2030 (Wild, Roglic, Green, Sicree, & King, 2004). Perkumpulan Endrokinologi Indonesia ( PERKENI ) pada tahun 2011 mengungkapkan masih sekitar 50% Indonesia sendiri diperkirakan penyandang diabetes yang belum terdiagnosis. Ditambah lagi, hanya 2/3 dari penderita yang 1 terdiagnosis diabetes kemudian akan melakukan pengobatan diabetes, sehingga akan meningkatnya angka kejadian diabetes di Indonesia adalah suatu hal yang wajar. Terdapat 3 tipe diabetes, diabetes gestasional, diabetes mellitus tipe 1, dan diabetes mellitus tipe 2. Diabetes gestasional adalah diabetes yang dialami oleh ibu hamil tanpa riwayat diabetes sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh resistensi insulin selama kehamilan yang membuat tubuh ibu tidak dapat menggunakan insulin yang tersedia dengan baik akibat blokade pada hormon insulin (ADA, 2011). Diabetes mellitus tipe 1 adalah diabetes dengan kelainan genetik, dimana tubuh tidak bisa memproduksi insulin. Diabetes tipe 1 adalah diabetes yang dikenal sebagai diabetes insipidus. Diabetes mellitus tipe 2 atau sering disebut sebagai Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) adalah diabetes yang dapat disebabkan oleh resistensi insulin sampai defisiensi insulin relatif. T2DM adalah tipe diabetes yang paling banyak menyerang manusia. Sekitar 90% prevalensi diabetes dari seluruh dunia adalah T2DM (“WHO | Diabetes,” n.d.). Tingginya kadar gula darah atau hiperglikemia pada pasien T2DM, dapat menimbulkan efek langsung maupun tidak 2 langsung pada kompleks vaskular manusia. Efek yang timbul adalah sumber dari morbiditas dan mortalitas pada seluruh pasien diabetes termasuk pasien T2DM. Efek perlukaan yang ditimbulkan dapat berupa komplikasi makrovaskular berupa penyakit stroke. arteri koroner, Sedangkan ditimbulkan dapat penyakit komplikasi berupa syaraf perifer, mikrovaskular nefropati, neuropati, dan yang dan retinopati (Fowler, 2008). Retinopati Diabetika (RD) merupakan komplikasi mikrovaskular yang paling banyak terjadi pada penderita diabetes. Prevalensi RD bervariasi, mulai dari 28,8% pada penderita kurang dari 5 tahun dan 78,8% pada penderita lebih dari atau sama dengan 15 tahun (Klein, 1984). Dalam sebuah studi dari memberikan nilai prevalensi global RD sebesar 34,6% untuk semua jenis RD. Tingginya angka tersebut mencerminkan bahwa prevalensi RD cukup tinggi secara global. RD merupakan kondisi yang terjadi pada penderita diabetes yang menyebabkan kerusakan progresif pada retina (“Diabetic Retinopathy,” n.d.) sehingga menyebabkan kebutaan. Kebutaan adalah salah satu akibat dari RD yang paling ditakuti namun paling dapat dicegah. Selain itu, diabetes merupakan kondisi terbanyak yang 3 menyebabkan terjadinya RD pada penderita usia 30-69 tahun. 20 tahun setelah onset terjadinya diabetes, maka hampir seluruh penderita diabetes tipe 1 dan lebih dari 60% penderita T2DM akan mengalami beberapa derajat RD. bahkan saat diagnosis pasien T2DM, hampir seperempat pasien yang terdiagnosis sudah mengalami RD (Watkins, 2003). Secara umum, RD merupakan komplikasi pada retina maupun makula akibat kelaianan endothelial yang diakibatkan dari penderita diabetes. Karakterisasi proses molekuler dan seluler yang permeabilitas terdapat telah dalam disadari pertumbuhan bahwa vaskular faktor dan pertumbuhan angiogenik dan faktor permeabilitas vaskuler atau disebut dengan Vascular Endothelial Growth Factor ( VEGF ) memiliki peran vital terhadap komplikasi mikrovaskular pada penderita diabetes (Caldwell et al., 2003). Selain itu, salah satu mekanisme yang juga diduga mengawali terjadinya komplikasi mikrovaskular adalah peran aldose reductase pada jalur polyol yang akan mereduksi glukosa menjadi sorbitol (Fowler, 2008). Sorbitol yang terakumulasi ini akan menimbulkan kerusakan pada mikrovaskular sehingga salah satunya akan menyebabkan retinopati. 4 RD juga memiliki beberapa faktor resiko terkait yang dapat meningkatkan prevalensi. Faktor resiko yang berkontribusi terhadap kejadian dan perkembangan RD umumnya adalah kondisi hiperglikemia, tingginya tekanan darah, dan durasi penyakit diabetes itu sendiri (Esteves et al., 2008). Studi agregasi genetika familial juga menunjukan terhadap bahwa kejadian RD. terdapat Untuk mengidentifikasi RD, dapat dilakukan screening terhadap kejadian dan progresivitas RD. Untuk progresivitas RD, sebuah studi telah menunjukan bahwa beberapa komponen menjadi prediktor RD yaitu manifestasi non optalmologis bersama dengan kontrol glikemik (Harris Nwanyanwu et al., 2013). Selain itu telah ditemukan juga bahwa gangguan napas saat tidur atau disebut dengan Sleep Disorder Breathing dapat menjadi faktor resiko progresivitas RD pada penderita RD tingkat lanjut (Shiba et al., 2011). Obstructive Sleep Apnea ( OSA ) adalah gangguan pernapasan ketika tidur dengan ciri-ciri kolapsnya saluran pernapasan atas yang mengakibatkan hambatan aliran udara pada saat dilakukan usaha untuk bernapas secara kontinu (Nannapaneni, Ramar, & Surani, 2013). Salah satu bentuk OSA adalah SDB seperti yang telah disebutkan sebelumnya. 5 OSA menyebabkan suatu kondisi hipoksia pada jaringan yang mengakibatkan adanya fragmentasi tidur dan kelelahan pada siang hari. Fragmentasi tidur tersebut akan meningkatkan aktivitas simpatik yang mengakibatkan naiknya kadar gula darah dengan menurunkan sensitivitas insulin dan mengurangi efektivitas glukosa. Suatu studi cross sectional pada populasi mengestimasi bahwa 40% penderita OSA memiliki diabetes. Prevalensi OSA pada penderita diabetes mencapai 23%. Sedangkan pada gangguan napas saat tidur atau disebut SDB mencapai 58% (Nannapaneni et al., 2013). Meningkatnya resiko RD pada penderita OSA tersebut dimediasi oleh adanya peningkatan marker inflamasi yang menurunkan fungsi regulasi endothel dan menaikkan resistansi insulin (Kato et al., 2000). Saat ini, kondisi hipoksia yang banyak terdapat pada penderita diabetes akibat berbagai kondisi masih sering diabaikan. Kondisi hipoksia terus menerus akan meningkatkan resiko kerusakan endothel melalui mekanisme disregulasi hipotalamus pituitari aksis yang akan memperparah kondisi RD (Banerjee et al., 2013; Nannapaneni et al., 2013) . Dalam penelitian ini dicari korelasi Obstructive Sleep Apnea dengan kejadian retinopati pada pasien diabetes 6 mellitus tipe 2 di komunitas: Jogjakarta Eye Diabetic Study dengan harapan memperkaya pengetahuan penulis tentang prediktor maupun faktor resiko retinopati diabetika yang masih jarang dikemukakan sehingga dapat memastikan pengetahuan penulis terhadap hipotesis dari literatur. I.2. PERUMUSAN MASALAH Apakah ada hubungan antara obstructive sleep apnea dengan kejadian retinopati pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di komunitas Jogjakarta Eye Diabetic Study? I.3. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara obstructive sleep apnea dengan kejadian retinopati pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di komunitas Jogjakarta Eye Diabetic Study. I.4 KEASLIAN PENELITIAN Hubungan antara Obstructive Sleep Apnea dan kejadian 7 retinopati sudah banyak oleh diteliti di dunia, antara lain Kosseifi et al. 2014 dengan judul “The Association between Obstructive Sleep Apnea Syndrome and Microvascular Complications in well-controlled Diabetic Patients ”, didapatkan hasil bahwa OSA berhubungan dengan komplikasi mikrovaskular bahkan pada pasien T2DM terkontrol. Shiba et al. 2011 juga telah meneliti dengan judul “Evaluation of The Relationship Disordered between Breathing in Background Patients Factors with and Sleep Proliferative Diabetic Retinopathy.” dengan hasil yang mengkonfirmasi hubungan antara SDB dan faktor pendukung yang dinilai menjadi faktor resiko progresi RD pada pasien RD tingkat lanjut. Belum ada penelitian di Indonesia hubungan obstructive sleep apnea dengan kejadian retinopati pada pasien diabetes mellitus tipe 2. I.5. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai publikasi ilmiah dalam hal prevensi dan manajemen penyakit retinopati diabetika. 8