budaya sosial ekonomi dalam bisnis di wilayah kota

advertisement
BUDAYA SOSIAL EKONOMI DALAM BISNIS DI WILAYAH KOTA SURAKARTA
Anwar Hamdani
STIE “AUB” Surakarta
Abstrak
Dewasa ini Indonesia khususnya di wilayah kota Surakarta memasuki suatu era dimana
bisnis menjadi ujung tombak dari pembangunan nasional. Hal tersebut bukan saja sebagai
tuntutan dari dalam bangsa Indonesia itu sendiri yang memang bertekad untuk mencapai
kesejahteraan umum, tetapi juga sebagai konsekuensi logis dari perubahan dunia yang
semakin tak terbatas.
Di Indonesia, perhatian terhadap bisnis yang etis sendiri mulai gencar sejak tahun
2000-an dengan keluarnya pendapat pejabat pemerintah, akademisi, dan pela ku sbisnis yang
intinya menghimbau para pelaku bisnis agar mementingkan etika di bidang bisnis. Di satu pihak
dihimbau untuk diutamakan, di lain pihak etika bisnis diliputi kecurigaan bahkan sinisme. Sikap
sinis ini dapat dimengerti bila mengingat kasus ko rupsi yang sempat membudaya di Indonesia
meski telah ada perangkat hukum yang sifatnya memaksa bagi pelanggarnya. Keterpurukan ini
semua menunjukkan bahwa bisnis di wilayah kota Surakarta belum memiliki arah dan nilai
yang jelas untuk menuju pada titik tuj uan yang mulia dari bisnis yaitu dunia bisnis yang
memiliki karakter dan citra yang "bonafit".
Kata Kunci: Budaya, Ekonomi, Bisnis
PENDAHULUAN
D
i dalam aktivitas bisnis, muara akhir
dari proses aktivitas tersebut adalah
kepercayaan, dan ini adalah kriteria
penting untuk ukuran bonafiditasnya suatu
perusahaan. Secara pararel, kinerja atau
keunggulan bersaing dari sebuah peru sahaan pada akhinya ditentukan oleh sejauh
mana produktivitas yang tercermin melalui
kualitas produk dan jasa (pelayanan) yang
diberikan terhadap masyarakat sebagai
konsumen; dan pada sisi konsumen apa
yang dilakukannya menciptakan keper cayaan
Bisnis merupakan kegiatan yang
berhubungan dan berkepentingan dengan
lingkungan Derwin ungkapan lain dapat
dinyatakan bahwa bisnis merupakan
kegiatan pengelolaan sumber -sumber
ekonomi yang disediakan oleh lingku ngannya (Muslich, 1998:17).
Pengembangan perusahaan merupakan
suatu proses, yang tidak lepas dari
pengaruh "day to day operation" (operasi
sehari-hari), dan juga menerima dampak
dari pengaruh lingkungan, balk internal
maupun ekstemal. Sehingga dapat dika takan perkembangan suatu perusahaan
(organisasi) berjalan melalui suatu proses,
dan proses pengembangan tersebut tidak
lepas dari pengaruh kondisi usaha
organisasi dan budaya dalam pe rusahaan
tersebut.
Atmosoeprapto (2001: 69) ber pendapat "budaya pensahaan" sering juga
disebut "budaya kerja", karena tidak bisa
dipisahkan dengan kinerja (performance)
Sumber Daya Manusia; maka makin kuat
budaya perusahaan, makin kuat pula
dorongan untuk berprestasi. Penyatuan
pandangan dari Sumber Daya Manusia di
dalam pemsahaan ini diperlukan dalam
bentuk ketegasan dari perusahaan, yang
dituartgkan dalam bentuk budaya kerja
yang akan mencerminkan spesifikasi dan
karakter perusahaan tersebut.
Lebih lanjut Atmosoeprapto (2000:
89) menerangkan bahwa kinerja (performance) lebih mudah dinilai karena te rukur,
sedangkan "citra" tidak teru kur tetapi bisa
dirasakan. Kedua-duanya sating mempe-
ngaruhi satu sama lain, bahkan bisa
dikatakan bagaikan dua sisi mata ua ng
yang tidak bisa dipisahkan. Citra dari suatu
perusahaan sangat ditentukan oleh peri laku perusahaan sebagai organisasi (organi
zation behavior) dan kinerja perusahaan.
Sehingga dapat kita tank benang
merahnya, bahwa produktivitas yang baik
akan menumbuhkan sebuah citra yang baik,
dimana citra adalah suatu persepsi orang
atas kita atau suatu organisasi, yang tumbuh
dari opini masyarakat. Produktivitas dan
citra yang baik dan suatu organisasi itu akan
menumbuhkembangkan dukungan "Stake
holders" (pemegang saham), karyawan
instansi terkait, mitra usaha, pelanggan,
pemasok terhadap perusahaan.
Bisnis itu sendiri dapat dianggap
sebagai suatu sistem total yang terdiri dari
sub-sub sistem yang lebih kecil yang dise but sistem industri. Setiap industri terdiri
dari banyak perusahaan dengan berbagai
ukuran perusahaan dan setiap perusahaan
mencakup beberapa subsistem seperti
organisasi dan sumber daya manusia,
produksi, pemasaran, keuangan (Jatmiko,
2004: 4).
KAJIAN PUSTAKA
A. Organisasi dan Manajemen Sumber
Daya Manusia
Organisasi adalah suatu unit (satuan)
sosial yang dikoordinasikan dengan sadar,
yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang
berfungsi atas dasar yang relatif terns menerus untuk mencapai suatu tujuan atau
serangkai tujuan bersama (Robbins, 2003:
4).
Organisasi-organisasi ada untuk
memenuhi kebutuhan yang berbeda, misal:
sekolah memberikan pelayanan pendi dikan, organisasi keagamaan melayani
kebutuhan spiritual bagi para penganut
agama tertentu; sedangkan organisasi
bisnis (perusahaan) menghasilka n barangbarang dan jasa-jasa untuk memuaskan
kebutuhan ekonomi masyarakat.
Salah satu hal faktor utama dalam
kesuksesan suatu organisasi adalah pengo r
ganisasian sumber daya manusia dengan
pembagian tenaga kerja dan spesialisasi
kerja. Mengingat tujuan ut ama dibentuknya organisasi adalah sebagai saran
menyatukan sumberdaya yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi,
maka apabila penyatuan sumberdaya
tersebut sesuai dengan spesialisasi kerja
akan dapat menghasilkan efektivitas dan
efisiensi. Kombinasi atau penggabungan
sumberdaya dapat menghasilkan sinergi.
Sinergi teijadi apabila output total atas
usaha-usaha bersama lebih besar dan pada
output dan usaha secara individual
(Jatmiko, 2004: 162).
B. Produksi dan Operasi
Produksi adalah semua aktivitas yang
menambah nisi guna suatu barang atau
produk. Suatu aktivitas membuat produk
agar tersedia bagi pemakai atau konsumen
disebut aktivitas produksi. Produksi mem punyai make yang lebih luas dari pada
pabrikasi (manufacturing), karena aktivitas
produksi mencakup baik industri-industri
pabrikasi (manufacturing) maupun industri
jasa (Jatmiko, 2004: 128).
Sistem produksi terdiri dari semua aktivitas
yang berhubungan dengan masukan proses
transformasi atau merubah bentuk, dan
keluaran (output). Produktivitas adalah
hubungan antara output dan input dalam
suatu sistem produksi.
Namun Atmosoeprapto (2001:1)
menambahkan bahwa produktivitas bukan
hanya sekedar output dibagi per unit input.
Man tetapi produktivitas juga merupakan
basil dari efisiensi pengelolaa n masukan
dan efektivitas pencapaian sasaran.
Efektivitas merupakan ukuran yang meng gambarkan sejauh mana sasaran dapat
dicapai, sedangkan efisensi menggam barkan bagaimana sumber-sumber daya
dikelola secara tepat dan benar.
Sependapat dengan teori tersebut,
Bilinear dan Kapustin, seperti yang dikutip
oleh Sinungan (1987:13), berpendapat
bahwa produktivitas kadang-kadang dipandang sebagai penggunaan intensif ter hadap sumber-sumber konversi tenaga
kerja dan mesin yang diukur secara tepat
dan benar-benar menunjukkan suatu
penampilan yang efisien.
1) Pemasaran
Pemasaran didefmisikan sebagai
suatu sistem aktivitas bisnis yang dirancang
untuk merencanakan, menetapkan harga,
mempromosikan dan mendistribusi kan
barang dan jasa untuk kepentingan pasar,
baik pasar konsumen rumah tangga dan
atau pasar industri (Jatmiko, 2004: 90).
Dalam hal ini perusahaan hams
memahami bahwa inti dari setiap usaha
pemasaran adalah mengetahui perilaku
konsumen dan lingkungan pemasarannya.
Sehingga pihak manajemen dapat menen tukan kebijakan strategi pemasaran apa
yang akan digunakan.
2) Keuangan Perusahaan
Manurut (Jatmiko, 2004: 206) di
dalam aktivitas bisnis salah satu ukuran
keberhasilan perusahaan didasarkan pada
tingkat keberhasilan atau kinerja keuangan
atau finasial yang dicapainya. Sasaransasaran yang harus dicapai dari keberhasilan kinerja keuangan adalah :
a. Memaksimumkan keuntungan
b. Memaksimumkan pangsa pasar
c. Memaksimumkan kesejahteraan para
pemegang saham (Shareholders)
Pembiayaan dengan modal sendiri
memang memiliki beberapa keuntungan,
salah satunya adalah dapat memini mumkan pembayaran bunga dana pinja man. Namun, di dalam aktivitas bisnis, ada
alasan lain mengapa suatu perusahaan
tidak membiayai aktivitas bisnisnya dengan
modal sendiri adalah karena dengan modal
sendiri pada umumnya lebih mahal dari
pada dibiayai dengan hutang. Karena para
pemegang saham (shareholders) yang
menanamkan atau menginvestasikan dana
dalam suatu perusahaan menghadapi risiko
yang lebih besar dari pada orang yang
meminjam dana untuk membiayai p erusahaan. Berdasarkan definisi tersebut,
kesejahteraan para pemegang saham
(stakeholders) merupakan kepentingan
yang utama, sehingga perusahaan di dalam
melakukan aktivitas bisnisnya ha rus
memaksimumkan kesejahteraan para
pemegang saham tersebut dalam be ntuk
pembagian deviden yang semakin tinggi.
Di dalam pengukuran keberhasilan
suatu usaha atau bussiness, terdapat bebe rapa pendekatan, antara lain pendekatan
dengan menggunakan perspektif balancedscorecard model yang diperkenalkan oleh
Kaplan dan Norton pada tahun 1992,
dalam Moeljono, 2003: 57). Selanjutnya,
dengan suatu penelitian pada tahun 1996
yang menggunakan beberapa perusahaan
yang berhasil, Kaplan dan Norton mengem bangkan metode pengukuran kinerja untuk
`organisasi masa depan', yang disari kan
menjadi empat perspektif yaitu sebagai
berikut :
a. To succeed financially, how should he
look to our shareholder ? (keberhasilan dalam investasi, adalah bagai mana seharusnya perusahaan mense jahterakan investor ?)
b. To succeed with our vision, how should
we look to our customers ? (Untuk
keberhasilan dalam visi, adalah bagai mana seharusnya perusahaan membe rikan pelayanan terbaiknya terhadap
pelanggan?)
a. To satisfy our shareholders and
customers, at what internal business
processes must we excel
(Untuk kesejahteraan investor dan
kepuasan pelanggan, adalah seam
spesifik
bagaimana
perusahaan
mengungguli kompetitor lain ?)
d. To succeed with our vision, how shall
we sustain our capacity to learn and to
grow ?
e. (Untuk keberhasilan dalam visi, adalah
bagaimana perusahaan membentuk
kesiapan mental untuk tarus berinovasi
dan berkernbang ?)
Dari semua fungsional dalam dunia
bisnis yang diuraikan tersebut, manakala
semua tercakup dalam sistem perusahaan
akan menghasilkan sebuah bisnis (peru sahaan) yang bonafit deng an wujud
tercapainya sasaran manajemen SDM,
manajemen produksi dan operasi, mana jemen pemasaran dan manajemen
keuangan. Fungsi yang berjalan di sebuah
unit bisnis akan menuju pada sebuah
perusahaan yang bonafit.
Namun demikian juga perlu disa dari bahwa bonafiditas bisnis bukan saja
ditentukan oleh keberhasilan menjalankan
fungsi-fungsi manajemen perusahaan.
Terdapat variabel yang panting itu
mengenai nilai, budaya kerja dan etika
dalam ekonomi dan bisnis.
Naskah ini melihat peranan budaya
kerja, etika dan nilainilai yang terjadi di
masyarakat dikaitkan dengan bisnis yang
login menggambarkan bukan saja fungsi
manajemen yang menjadikan suatu bisnis
menjadi sukses, namun ada variabel
budaya kerja, etika dan nilai itu berperan.
C. Nilai-Nilai dalam Bisnis
Bisnis menmakan bagian dari hidup
kita sehari-hari. Kita membeli barang di
waning, supermarket. Kita makan di kantin,
restoran. Kita melakukan perjalanan
dengan bus, taksi, kereta api, pesawat
terbang. Dan berbagai aktivitas lainnya.
Menurut Jatmiko (2004: 3) Bisnis
adalah suatu sistem yang menghasilkan
atau memproduksi barang dan jasa untuk
memuaskan kebutuhan konsumen dan
pelanggan. Dengan menekankan pada
definisi "sistem", kita dapat mengapresiasi
keterkaitan hubungan antara perusahaan
bisnis dan konstituen-konsituen lain dalam
masyarakat. Setiap aktivitas atau kegiatan
yang dilakukan oleh sektor bisnis ber dampak pada sistem sosial yang lebih
besar. Sistem bisnis sangat berkaitan
dengan sistem politik, sistem ekonomi,
sistem sosial, dan sistem hukum dan
perundang-undangan yang berlaku.
Mendukung pemyataan diatas,
Deal dan Kennedy (2001:4) berpendapat
bahwa bisnis adalah lembaga instinisi/
organisasi yang bersifat humanity, bukan
merupakan sekumpulan gedung -gedung,
stuktur organisasi, analisis strategis, d an
perencanan lima tahunan.
Dalam menelusuri dan mengung -
kapkan nilai-nilai dalam bisnis hendaknya
perlu kita kaji dahulu beberapa kondisi
permasalahan mengenai dunia bisnis yang
terjadi di tanah air. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
asing, seperti Political and Economic Risk
Consultance Ltd (PERC) di Hongkong dan
Transparency International di Berlin tahun
1997, menempatkan Indonesia pada
peringkat tertinggi dalam kasus pelang garan korupsi (Gunardi, 1999: 2).
Kita pun melihat, akhir-akhir ini
semakin terasa tuntutan dari masyarakat
mendesakkan pengusutan tuntas korupsi,
kolusi dan nepotisme (ICKN), perbaikan
undang-undang anti korupsi, pembuatan
undang-undang baru anti monopoli, dan
lain-lain. Semua dimaksudkan untuk mem bongkar seluruh perangkat dan mem bentuk kembali perangkat barn yang
nantinya diharapkan bisa efektif untuk
mencegah praktek-praktek curang yang
merugikan masyarakat.
Salah santu contoh nyata dalam
aktivitas perekonomian nasional kita, tidak
bisa dipungkiri lagi bahwa badan usaha
milik negara (BUMN) adalah pelaku
ekonomi yang paling besar peranannya.
Antara lain karena mereka memiliki "kue
bisnis" yang paling besar pula. Gabungan
lima BUMN Pertamina, Telkom, Garuda,
Lembaga Keuangan dan PLN saja telah jauh
lebih besar dibanding resources tenaga
kena, peluang bisnis dalam arti penguasaan
pasar serta dananya. Tetapi bukan berarti
BUMN tanpa kelemahan.
Sementara orang mengatakan
gambaran umum BUMN adalah organisasi
bisnis yang besar gemuk dan lamban.
Padahal "ritme" bisnis di era globalisasi/
regionalisasi juga menghadirkan kecepatan
sebagai faktor untuk memenangkan
persaingan. Problema struktural (strucural
handycap) tennasuk penyebab pokok
kelambanan BUMN. Karena terkait
langsung dengan birokrasi pemerintah.
Hubungan
birokrasi
langsung
tersebut membuat BUMN sulit ber gerak
lincah, sebab pengambilan keputusan
panting dalam proses bisnisnya cenderung
memakan waktu lama dan berbelit.
Mereka misalnya harus terlebih dahulu
menunggu konfirmasi dari departemennya;
sementara perubahan dan gerakangerakan di pasar semakin dinamis.
Kondisi kebirokratisan tersebut
jauh lebih menyulitkan BUMN saat di lanes
di lingkungan persaingan bebas. Bukan
salah BUMN sebenarnya, sebab ia memang
diposisikan monopolistis. Praktek monopoli
itulah yang menyebabkan sulitnya,
malahan mungkin mustahilnya BUMN
mengukur efisiensinya. Ukuran efisiensi itu
sendiri bukan sekedar perimbangan input
dan output, tetapi kemampuan untuk
bersaing secara efektif Jadi kunci efisiensi
adalah persaingan dan takarannya de ngan
demikian adalah seberapa jauh sebuah
organisasi
bisnis
memenangkan
persaingan.
Upaya-upaya melepaskan posisi
monopoli diberbagai BUMN seperti
TELKOM dan PLN dengan pola Built
Operate and Own (BOO); Built, Operate
and Transfer (SOT) serta Kerja Sama
Operasi (KSO), merupakan usaha mencip takan kompetisi dan perlu diterapkan pada
BUMN agar terjadi proses efisiensi secara
alamiah dari dalam (Abeng, 2000: 11 -14).
Pelaku ekonomi yang lain adalah
swasta. Benar mereka tumbuh dan ber kembang dari pasar, tetapi pasar tersebut
adalah ciptaan pemerintah itu sendiri. Dan
sebagai institusi bisnis, banyak swasta yang
partumbuhannya terjadi semata -mata
karena faktor proteksi pemerintah.
D. Budaya Kerja
Jika dikatakan bahwa logika pengu saha adalah memanage pasar, dan pasar
adalah pemerintah yang memproteksinya,
maka model manajemennya yang paling
subur adalah "lobby". Pasar demikian
gampang diraih, dikembangkan dan loyal
dengan "lobby management".
Strateginya tentulah memanfaatkan jasa jasa kekuasaan untuk perolehan p roteksi
dan pasar, dengan mengedepankan
kedekatan pribadi maupun rupa -rupa
kompensasi non-bisnis" (Abeng, 2000: 16).
Pengembangan budaya yang tidak
terarah seperti yang digambarkan diatas
bisa memacu berkembangnya pola hidup
yang terlalu mengejar kebebasan mutlak
sehingga meninggalkan/menyimpang dari
sistem nilai yang sudah ada. Dan dampak
akhirnya bisa mengakibatkan timbulnya
kerawanan sosial yang akan dapat berpe ngaruh negatif terhadap produktivitas yang
pada gilirannya akan berdampak negatif
pula pada pertumbuhan ekonomi.
Pertama kali perlu disadari bahwa
bisnis dalam arti pertukaran terdapat
dalam setiap kebudayaan sehingga dengan
demikian bisnis dilandasi nilai dan norma norma yang ada Akan tetapi sejarah telah
membuktikan bahwa hanya dengan peran
akal budilah maka teknologi produk den
produksi berkembang, dan bisnis menjadi
semakin kaya varian produknya dan
semakin kompleks. Akibatnya kompetisi
pun tak terelakkan, yang lalu diwadahi
dalam sistem ekonomi perusahaan swasta,
dan bersamaan dengan itu nilai dan norma
yang ada tertantang validitas dan relevan sinya. Sejauh nilai dan norma itu masih
mampu melandasi hubungan bisnis antar
manusia di dalam kultur itu raja, maka
belum ada yang dipersoalkan. Akan tetapi,
ketika bisnis itu sudah lama bersinggungan
dengan kultur-kultur yang lain dan itu ta k
terelakkan mengingat Indonesia terdiri dan
berbagai macam kultur medan kompetisi
pun makin luas, dan nilai norma yang ada
dituntut justifikasinya (Gunardi, 1999: 4).
Nilai dan teori mengenai nilai
sangat berhubungan dengan berbagai
bidang studi, misalnya dengan filsafat,
etika atau dengan manajemen. Pendekatan
yang pertama dilakukan oleh Langeveld
sebagaimana dalam Ndraha (1997: 17), ia
membahas teori nilai dan etika.
Hofstede
dalam
Culture's
Consequences (1980: 19) mendefinisikan
nilai sebagai "kecenderungan mendasar
yang lebih menyukai atau memilih suatu
keadaan tertentu". Sedangkan Dananjaja
dalam sistem Nilai Manajer Indonesia
(1986: 22) berpendapat bahwa nilai adalah
"pengertian-pengertian (conceptions) yang
dihayati seseorang mengenai apa yang
lebih panting atau kurang panting, apa
yang lebih baik atau kurang baik, dan apa
yang lebih benar dan apa yang kurang
benar. Seperti diketahui, nilai bersifat
abstrak la baru dapat diamati atau dira sakan jika terekam atau termuat pada
suatu wahana, seperti suara pada pita,
program pada disket, atau gambar pada
film. Jadi budaya dengan nilai tak
terpisahkan (Ndraha 1997: 25).
"Apakah sebenamya yang tercakup
dalam konsep kebudayaan itu?" banyak
orang mengartikan konsep itu dalam arti
yang terbatas, ialah pikiran, karya, dan
basil karya manusia yang memenuhi
hasratnya akan keindahan. Sebalilmya,
banyak orang terutama par a ahli ilmu
sosial, mengartikan konsep kebudayaan itu
dalam arti yang amat luas yaitu selunih
total dari pikiran, karya, dan basil karya
manusia yang tidak berakar kepada
nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa
dicetuskan oleh manusia sesudah suatu
proses belajar (Koentjaraningrat, 2004:1).
Bahwa kebudayaan itu mem punyai paling sedikit tiga wujud, ialah : (1)
Wujud pertama adalah wujud ideel dari
kebudayaan. Sifatnya abstra k, tak dapat
diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam
kepala-kepala, atau dengan perkataan lain,
dalam alam pikiran dari warga masyarakat
dimana kebudayaan yang bersangkutan itu
hidup. Kebudayaan ideel ini dapat kita
sebut adat tata-kelakuan atau secara
singkat adat dalam arti khusus, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya.
Kebudayaan ideal ini biasanya juga
berfungsi sebagai tata kelakuan yang
mengatur, mengendali, dan memberi arah
kepada kelakuan dan perbuatan manusia
dalam masyarakat. (2) Wujud kedua dari
kebudayaan yang sering disebut sistem
sosial, mengenai kelakuan berpola dari
manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri
dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia
yang berinteraksi, berhubungan, serta
bergaul satu dengan yang lain, yang dar i
detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari
tahun ke tahun selalu mengikuti pola -pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. (3) Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, da n
memerlukan keterangan banyak karma
merupakan seluruh total dari basil fisik dari
aktivitas perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat, maka sifatnya
paling konkret, dan berupa benda-benda
atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
difoto (Koentjaraningrat, 2004:5-6).
Dari penjelasan mengenai kondisi
peunasalahan dalam dunia bisnis di tank
air tersebut. Maka, di dalam konsep nilai nilai dalam bisnis dapat kita pahami bahwa
dimensi keberadaan suatu perusahaan
terwujud dalam keterkaitan dengan lin gkungan masyarakatnya.
Sebagaimana yang diungkapkan Gunardi
(1999:18), bahwa lingkungan masyarakat
berupa individu atau institusi yang mem pengaruhi atau dipengaruhi oleh tmdakan,
keputusan, kebijakan, praktek -praktek,
atau tujuan perusahaan itu secara institusional disebut pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders). Adapun kepentingan yang dimaksud mencakup tiga
tingkatan, yaitu:
1. Kepedulian sederhana karma pengaruh
dari perusahaan itu (an interest).
2. Hal legal atau moral untuk suatu per lakuan tertentu atau susunan perlindungan tertentu (a legal or mom!
right).
3. Klaim legal terhadap kepemilikan
perusahaan (ownership)
Dalam kenyataannya, setiap peru sahaan dengan bidang usaha berbeda
mempunyai pihak-pihak kepentingan yang
berbeda, misalnya perusahaa n makanan
instan tentu akan mempunyai pihak -pihak
berkepentingan yang berbeda dengan
peru-sahaan yang bergerak di bidang jasa
pariwisata Bahkan, dua perusahaan yang
bergerak dalam bidang usaha yang sama
dan besar kapasitas usahanya pun sama
akan mempunyai pihak-pihak berkepentingan yang berbeda, tergantung pada
kesadaran, kebijakan, strategi dan
agesivitas perusahaan itu yang pada
gilirannya mempengaruhi keberadaan,
vitalitas, dan kesuksesan perusahaan.
Stakeholders sebagai suatu komunitas di
sini tak hanya sekadar kolektivitas individu
yang masing-masing mempunyai kepentingan sendirisendiri, namun mereka juga
mempunyai kepentingan untuk bersama sama, berbagi identitas dan makna -makna
ini dikarenakan, sejarah suatu budaya peru
sahaan melibatkan pengetah uan, pengalaman, dan penghayatan nilai bersama
yang diakui oleh individu-individu di dalam
perusahaan.
Dari semua elemen itu, Gunardi
(1999:109) menyatakan nilai dasar melan dasi sekaligus mengikat seluruh elemen
lain bersama-sama. Penjelmaan nilaitersebut menjadi identifikasi atau karakter
yang khas bagi perusahaan tersebut di
dalam melakukan aktivitas bisnisnya.
Secara tegas, dapat disimpulkan
bahwa budaya korporat akan berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan. Paling tidak,
budaya koporat yang sudah ter intemalisasi
melalui nilai-nilai yang diyakini bersama
oleh anggota organisasi, akan memberikan
kemampuan untuk meminimalkan deviasi
dan kemampuan untuk beradaptasi
dengan situasi yang tak terduga Hal ini
sangat menentukan bagi organisasi berin teraksi dengan lingkungan, serta dalam
cara-cara mengelola personil secara
internal atau hubungan atasan bawahan.
Dalam kaitannya budaya dengan
Keunggulan bisnis, Hampden-Turner (1994)
sebagaimana dalam Ndraha (1997: 114)
menjelaskan bahwa, la mempelajari dua
pola budaya perusahan Kedua pola itu
diperagakan melalui dua lingkaran, (1)
Vicious Circle "lingkaran setan" dan (2)
Virtous Circle "lingkaran suci". Pada Vicious
Circle, budaya "promotes an extreme
formality" (birokrasi yang kaku). Untuk
menegakkan formalitas t ersebut diperlukan
"increasing
centralization
of
authority" (sentralitas kekuasaan). Tetapi,
semakin tinggi fonnalitas dan se makin
tersentralisasi kekuasaan, sema kin banyak
penyimpangan informasi dan sikap ber tindak sendiri dilakukan oleh unit kerja
bisnis, karena pada hakikatnya mereka
"precipitating
considerable
informal
resistance and dissent' (resisten dan terjadi
perbedaan pendapat apabila menyerap
budaya informal). Pada gilirannya itu
sernakin mendorong peningkatan fonna litas dan sentralisasi kekua saan. Dalam
praktek, fonnalisasi kekuasaan itu ber bentuk keseragaman, keserentakan, pene tapan target yang hams dikejar dengan
jabatan sebagai jaminannya, manajemen
top-down, dan pembentukan wadah
tunggal setiap institusi ekonomi sosial agar
mudah dikendalikan dari atas. Kondisi
seperti itulah oleh Hampden -Tumer diibaratkan roda lingkaran yang jari jarinya
lemah sehingga putaran rodanya kemana mana, akhimya cepat lepas. Berbeda
halnya dengan Virtous Circle, budaya
dengan cennat mancatat dan memperha tikan semua sikap dan perilaku informal
(carefully notes what informal activity)
yang terdapat di kalangan unit kerja bisnis,
yang dilakukan demi keinginan dan
kepuasan konsumen (of most values to
customers). Dan memformulasikan hal itu
ke dalam prosedur operasional organisasi,
sehingga sistem informasi terpusat justru
menghargai dan mendorong aktivitas
informal di atas. Kondisi itu oleh Hampden Tumer diibaratkan roda lingkaran yang jari jarinya kuat sehingga rodanya senantiasa
stabil dan terkendalikan, secepat apa pun
putarannya.
Budaya kerja adalah suatu falsafah
yang didasari oleh pandangan hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat,
kebiasaan dan kekuatan pendorong,
membudaya dalam kehidupan suatu
kelompok masyarakat atau organisasi,
kemudian tercermin dari sikap menjadi
perilaku, kepercayaan, cita -cita, pendapat
dan tindakan yang terwujud sebagai
"kerja" atau "bekerja." Berpijak dari nilai nilai yang dimiliki oleh bangsa atau
masyarakat Indonesia, Triguno (1996:3)
mengemukakan bahwa apabila budaya
kerja diolah sedemikian rupa menjadi nilai nilai baru yang akan menjadi sikap dan
perilaku manajemen yang diharapkan
dapat menghadapi tantangan di era globa -
lisasi. Dan apabila dilakukan dengan
sungguh-sungguh melalui suatu proses
yang terkendali dengan melibatkan semua
SDM dalam seperangkat sistem, alat -alat
pendukung maka akan tercipta budaya
kerja yang berorientasi memuaskan
konsumen atau masyarakat.
Untuk melakukan program Budaya
Kerja, menurut Triguno (1996:27) diper lukan persiapan yang berupa penciptaan
lingkungan kerja dengan paradigma yang
disepakati untuk mencapai tujuan organi sasi dengan cara yang lebih efektif. Unsur
budaya kerja itu adalah mata rantai proses,
dimana tiap kegiatan berkaitan dengan
proses lainnya atau suatu hasil pekerjaan
merupakan suatu masukan bagi proses
pekerjaan lainnya.
Salah satu BUMN yang meraih
kesuksesan adalah Bank Rakyat Indonesia,
dimana pada tahun 2002 berdasarkan
laporan dari majalah INFOBANK – mengadakan rating - menyebutkan bahwa BRI
mempunyai kinerja dengan rangking
tertinggi diantara bank-bank dengan aset
raksasa - diatas Rp 20 trilliun (Moelyono,
2003: 126). Sebagai perusahaan yang ber pegang teguh pada TKI (tradisi, kehor matan, dan identitas), BRI dari sebuah bank
yang mengandalkan pada "penugasan"
pemerintah menjadi korporasi yang mempunyai core bossiness pengelolaan (bukan
lagi sekadar "penyaluran") kredit. BRI
bahkan dikenal bukan saja sebagai bank
yang fokus pada usaha kecil dan mene ngah, namun juga menjadi bank yang
mempunyai standar pelayanan tinggi.
Semau hasil yang diraih trsebut bukanlah
"langkah cepat", akan tetapi lebih mene kankan pada sebuah proses transformasi
budaya. Pada tahun 1999, menindak lanjuti pembentukan IWG (Implemen tation Working Group) BRI melakukan
transformasi budaya dengan melakukan
brainstorming tentang nilai-nilai (values)
yang dianggap hidup di organisasi. Dengan
core values (Integritas, Profesionalisme,
Kepuasan Nasabah, Keteladanan, dan
Penghargaan pada SDM), menjadi panduan
bersama bagi seluruh insan BRI dalam
melakukan aktivitas bisnisnya.
Apabila kita bandingkan, sejalan
dengan kajian empirik di atas Islam menetapkan prinsip dasar perdagangan dan
niaga, yaitu : kejujuran, kepercayaan, dan
ketulusan. Menurut (Ahmad, 2001: 99 -108)
ajaran Al-Qur'an yang menyangkut keadi lan adalah bisnis ini bisa kita kategorikan
pada dun judul Pertama yang bersifat
imperatif (bentuk perintah) dan yang
berbentuk perlindungan.
1. Imperatif (bentuk perintah)
Kategori ini mengandung perintah dan
rekomendasi yang berkaitan dengan peri laku dalam bisnis, antara lain yaitu
a) Hendaknya janji, kesepakatan dan
kontrak dipenuhi Al-Qur'an mengharuskan agar semua kontrak dan janji
kesepakatan dihormati, dan semua
kewajiban dipenuhi. Juga mengi ngatkan dengan keras bahwa setiap
orang akan dimintai pertanggungan
jawab oleh Allah dalam hal yang
berkaitan dengan ikatan janji dan
kontrak yang dilakukan.
b) Jujur dalam Timbangan dan takaran
(ukuran)
Al-Qur'an banyak sekali memerin tahkan kaum muslimm dalam ayat ayatnya untuk menimbang dan
mengukur dengan cara yang benar dan
jangan sampai melakukan kecurangan
dan pengamanan baik takaran maupun
timbangan Siapa saja yang melakukan
kecurangan dalam timbangan dan
takaran dia akan mendapat konse kuensi yang pahit dan getir dari Allah.
c) Kerja, gaji dan bayaran
Etika kerja dalam Islam mengharuskan
bahwasanya gaji dan bayaran serta
spesifikasi dan sebuah pekejaan yang
akan dikerjakan hendaknya jelas jelas
disetujui pada saat mengadakan kese pakatan awal. Ini juga mengharuskan
bahwa gaji yang telah ditentukan, dan
juga bayaran-bayaran yang lain
hendaknya dibayarkan pada saat
pekerjaan itu telah selesai tanpa ada
d)
e)
f)
g)
h)
sedikitpun penundaan dan pengu rangan.
Jujur, tulus hati dan benar
Pada seat penipuan dan tipu daya
dikutuk dan dilarang, bahkan hampir
mendekati titik nadir, kejujuran bukan
hanya
diperintahkan,
dinyatakan
sebagai keharusan yang mutlak dan
absolut.
Effisien dan kompeten
Al-Qur'an memerintahkan manusia
untuk menguasai alam ini dan memper
gunakan sumber-sumber kekayaannya
Untuk menghindari penyelewengan
dan kelalaian hendaknya dibutu hkan
tugas-tugas tersebut dilakukan dengan
cara yang seefisien mungkin dan penuh
kompetensi.
Seleksi berdasarkan keahlian
Standar Al-Qur'an untuk kepatutan
sebuah pekerjaan adalah berdasarkan
pada keahlian dan kompetensi dalam
bidangnya. Karena tanpa kompe tensi
dan kejujuran tidak akan laha efisiensi.
Bahwasanya kualifikasi al-qur’an
bisa dilihat pada surat 28:26 mem berikan gambaran bahwa prioritas
pemilihan orang pekerja hendaknya
didasarkan seseorang tersebut mele bihi yang lain dalam kapasitasnya, balk
secara fisik dan juga mental, untuk
memangku pekerjaan yang disediakan.
Investigasi dan Verifikasi
Al-Qur'an
memerintahkan
kaum
muslimin untuk melakukan penye lidikan dan verifikasi (tabayina) ter hadap semua pemyataan dan infonnasi
yang datang sebelum ia melakukan
satu keputusan dan melakukan satu
aksi (tindakan).
Serbaneka
Kaum muslimin diperintahkan untuk
bekerjasama antara satu dengan yang
lain dalam rangka menegakkan
keadilan dan kebenaran. Sebalilmya
kerjasama dalam hal-hal yang berbau
dosa dan permusuhan sangat dilarang.
Saat mengomentari ayat 5 surat Al Maidah, Ibnu Katsir berkata: "Keadilan
adalah kewajiban bagi setiap orang,
terhadap semua orang dan segala
situasi".
2. Perlindungan
A1-Qur'an memberikan petunjuk petunjuk yang pasti bagi orang -orang yang
beriman yang berguna sebagai alat
perlindungan. Terdapat dalam beberapa
ayat antara lain : Surat A l-Bagarah ayat
282-283, clan surat tersebut itu bisa kita
ambit beberapa hal yang sangat penting,
yaitu:
a) Penulisan Kontrak
Al-Qur'an menganjurkan hend aknya
sebuah kontrak bisnis ditulis diatas
kertas. Jai secant khusus direkomen dasikan jika transaksi itu berbentuk
kredit, baikitu kredit dalam yang
bentuk besar ataupun kecil untuk
melindungi terjadinya Maim pal su
yang dilakukan oleh salah satu pihak.
b) Saksi-saksi
Al-Qur'an juga memerintahkan bahwa
transaksi yang berbentuk kredit
hendaknya disaksikan oleh dua orang
lakilaki dewasa, atau jika tidak, maka
saksi dilakukan dengan menghadirkan
seorang laki-laki dan dua Orang
perempuan. Ini adalah sebuah perlindungan agar tidak terjadi praktek
curang yang dilakukan oleh salah satu
pihak dikemudian hari.
c) Rahn (gadai)
Salah satu bentuk perlindungan dalam
kasus transaksi kredit, ialah pengam bilan barang milik orang yang ber hutang ke tangan yang memberi
hutang sebagai gadai (jaminan) hingga
hutang yang diambil kembali dibayar.
d) Prinsip tanggung jawab individu
Setiap individu adalah bertanggung
jawab terhadap semua bentuk
transaksi yang dilakukan, tidak ada
privilege (hak istimewa) tertentu atau
imunitas untuk menghadap konsekuensi apa yang dilakukan setiap orang
akan
dimintai
pertanggungjawa bannya baik di dunia maupun
diakhirat.
3. Etika Bisnis
Pemyataan yang sering terlontar,
bahwa bisnis adalah bisnis, seolah -olah
merupakan filosofi bisnis yang telah dite rima secara umum di masyarakat (teru tama masyarakat di negara -nengara
sekuler). Pengertian statement "bisnis
adalah bisnis" itu menyiratkan bahwa
bisnis hanya bertumpu pada aspek
komersil saja, klimak's mekanisme memperoleh keuntungan ekonomi masyarakat
dan cara yang ditempuh untuk mencapai
tujuan seolah bebas nilai, bebas norma dan
bebas etika. Tetapi jika kita lihat lebih
terutama jka kita tinjau dan teori dan
perkembangan ilmu bisnis, temyata bisnis
tidak bebas nilai, baik dan nilai moral
maupun nilai etika. Misalnya kita lihat dari
tujuan yang umumnya ingin dicapai oleh
bisnis adalah meningkatkan kesejahteraan
stake holders (Muslich, 1998:23).
Para pemegang saham sebagai
pemilik perusahaan pasti berkepentingan
dengan jalannya operasional sebuah
perusahaan. Maksimisasi profit adalah
orientasi dan pebisnis, karena jelas
nantinya stakeholders pun akan turut
memperoleh hasil deviden yang maksimum
juga. Dan sebaliknya, namun terkadang
stakeholders terbagi lagi atas pihak berke pentingan internal dan ekstemal. P ihak
internal adalah "orang dalam" dari suatu
perusahaan; baik itu instansi yang secara
langsung terlibat, seperti pemegang
saham, manajer, dan karyawan. Pihak
ekstemal adalah orang atau instansi yang
secara tidak langsung terlibat dalam
kegiatan perusahaan seperti, konsumen,
dan pemerintah.
Paham stakeholders ini membuka
perspektif baru untuk mendekati masalah
tujuan perusahaan. Kita bisa mengatakan
bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat
semua stakeholders. Sekaligus juga disini
kita mempunyai kemungkinan barn untuk
membahas segi etis dari suatu keputusan
bisnis (Battens, 2002:164). Misahwa, tidak
etis kalau dalam suatu keputusan bisnis
hanya kepentinganpara pelaku bisnis yang
dipertimbangkan. Tetapi, nilai -nilai yang
ditanamkan oleh para stakeholders juga
harus dipertimbangkan.
Salah satu contohnya adalah di
dalam teori hubungan antar manusia atau
manajamen sumber daya manusia ter cakup kriteria etika bisnis. Teori hubungan
antar manusia lebih ditekankan pada
pendekatan hubungan psikologis terhaclap
pan karyawan perusahaan, yakni dengan
mencermati
perilaku
individu
dan
kelompok sebagai suatu human relation
group untuk memacu tingkat produktivitas
kerja pan pekerja, penekanannya pada
hubungan antara produktivitas kerja
dengan kebutuhan fisik dan sosial tenaga
kerja. Faktor fisik bukan merupakan
determinant tunggal produktivitas sebab
manusia bukan sekedar makhluk ekono teknikal tetapi merupakan dimensi rasio
emosional. Oleh karena itu kelompok sosial
sangat berpengaruh atas perilaku dan
produktivitas. Dari perkembangan teori
pemberdayaan sumber daya manusia ini
terlihat bahwa etika bisnis yang sub stansinya adalah pengelolaan sumber daya
manusia ird menurut sejarahnya mengarah
pada pemberdayaan yang manusiawi
sesuai dengan pemenuhan kebutuhan
manusia secara hakiki. Ini sesuai dengan
pnnsip peningkatan produktivitas per usahaan, dan mendukung adanya dasar
bahwa sumber daya manusia atau para
pekerja adalah mitra perusahaan yang
hams memberikan sesuatu yang saling
menguntungkan.
Etika bisnis diartikan sebagai penge tahuan
tentang tata cara ideal pengaturan dan
pengelolaan bisnis yang memperhatikan
norma dan moralitas yang berlaku secara
universal dan secara ekonomi/sosial, dan
pengetrapan norma dan moralitas menun jang maksud dan tujuan kegiatan bisnis.
Jadi ukuran yang sering digunakan
adalah norma, agama, nilai positif dan
universalitas. Oleh !arena itu istilah etika
sering dikonotasikan dengan istilah -istilah:
tata krama, sopan santun, pedoman moral,
norma susila dan lain-lain yang berpijak
pada norma-norma tata hubungan antar
unsur atau antar elemen di dalam masya -
rakat dan linglumgannya (Muslich, 1998:
4).
Secara garis besarnya, etika (ethics)
dapat dilihat sebagai "pedoman yang beri sikan aturan-aturan baku yang mengatur
tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah
profesi". Di dalam pedoman tersebut ter serap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai
yang mendukung dan menjamin dilakukanya kegiatan profesi si pelaku sebagai mana seharusnya, sesuai dengan hak dan
kewajibannya. Peranan etika dalam se suatu struktur kegiatan adalah fungsional
dalam memproses masukan menjadi
keluaran yang bermutu.
Sebagai sebuah ide atau ideologi,
etika terserap dalam berbagai interaksi
yang ada dalam berbagai struktur kegiatan
kehidupan manusia yang tercakup dalam
kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan
bisnis, kehidupan politik, dan berbagai
kegiatan lainnya dalam masyarakat yang
ber-sangkutan. Kajian-kajian mengenai
corak kegiatan, yaitu hubungan antar
manusia dalam berbagai manajemen
pengelolaan sumber-sumber daya akan
merupakan sumbangan yang penting
dalam upaya mengembangkan dan meman
tapkan etika dalam kehidupan be rmasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi
Indonesia. Salah satu isu yang cukup
penting untuk diperhatikan dalam kajian kajian mengenai manajemen pengelolaan
sumber-sumber daya adalah corak dari
kebudayaan manajemen yang ada
setempat, atau pada corak kebudayaan
korporasi bila perhatian kajian terletak
pada kegiatan pengelolaan manajemen
sumber daya dalam sebuah korporasi.
Perhatian pada pengelolaan manajemen ini
akan dapat menyingkap dan mengungkapkan corak nilai-nilai budaya dan
operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut
atau etos, dalam pengelolaan manajemen
yang dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat
menyingkap dan mengungkap corak etika
(ethics) yang ada dalam struktur-struktur
kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen
yang memproses masukan (in-put) menjadi
keluaran (out-put). Apakah memang ada
atau tidak ada pedoman etika dalam setiap
struktur manajemen? Atau, adakah
pedoman etika yang ideal (yang dicita citakan dan yang dipamerkan) dan yang
aktual (yang betul-betul digunakan dalam
proses-proses manajemen, dan yang
biasanya disembunyikan dari pengamatan
umum)? Pemmsalahan etika ini menjadi
sangat penting dalam pengelolaan mana jemen sumber daya yang dilakukan oleh
berbagai organisasi, lembaga, atau pranata
yang ada dalam masyarakat (Suparlan,
2002: 98-105).
Menurut (Muslich, 1998:31 -35)
etika bisnis memiliki prinsip-prinsip umum
dalam pengelolaan bisnis agar dapat mem peroleh kemajuan dan kejayaan. Adapun
prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Prinsip Otonom
Yang dimaksud dengan prinsip otonom
adalah bahwa perusahaan secara
bebas memiliki kewenangan sesuai
dengan bidang garap yang dilakukan
dan pelaksanaannya dengan visi dan
misi yang dipunyainya. Dalam penger tian etika bisnis, otonomi bersangkut
paut dengan policy eksekutif perusahaan dalam mengemban misi, visi
perusahaan yang berorientasi pada
kemakmuran, kesejahteraan para
pekerja ataupun komunitas yang
dihadapinya dan mengacu pada nilai nilai profesionalisme pengelolaan perusahaan dalam menggunakan sumber
daya ekonomi.
2. Prinsip kejujuran
Kegiatan bisnis akan berhasil dengan
gemilang jika dikelola dengan prinsip
kejujuran baik terhadap karyawan,
konsumen, distributor dan pihak -pihak
lain yang terkait dalam bisnis.
3. Prinsip tidak bemiat jahat
Komitmen untuk meningkatkan kese jahteraan masyarakat konsumen dan
masyarakat pada umumnya, dan dari
komitmen inilah tentunya niatan yang
ada pada setiap pelaku bisnis terhadap
stake holder dan konsumen adalah
maksud-maksud mencapai tujuan yang
baik dan positif.
4. Prinsip keadilan
Prinsip keadilan yang dipergu -nakan
untuk mengukur bisnis menggunakan
etika bisnis adalah keadilan bagi semua
pihak yang terkait memberikan kontri busi langsung atau tidak langsung ter hadap keberhasilan bisnis. Contoh yang
dapat dikemukakan, misalnya dalam
alokasi sumber daya ekonomi kepada
semua pemilik faktor ekonomi.
Memberikan harga yang layak bagi
para konsumen, memberikan upah
yang layak bagi para manajer dan
karyawan, menyepakati harga yang
pantas bagi pan pemasok, dan mendapatkan keuntungan yang wajar bagi
pemilik perusahaan
5. Prinsip hormat pada diri sendiri
Pengertian prinsip ini merupakan
prinsip tindakan bisnis yang dam paknya berpulang kembali kepada
bisnis itu sendiri. lika bisnis membe rikan kontribusi yang menyenangkan
bagi masyarakat, tentu masyarakat
memberikan respon yang lama dan
begitu pula dengan sebali knya. Jadi
hukum kausa prima akan senantiasa
berlaku dalam bisnis atas stake
holdersnya, oleh karma itu prinsip
hormat pada din sendiri mesti diberlakukan pada etika bisnis.
Perihal etis dalam bisnis dikem bangkan temtama melalui tiga faktor, yaitu
pengaturan sistem ekonomi yang meru pakan komitmen logis terhadap aturan aturan sistem pasar babas, regulasi din
dimana bisnis ditimtut untuk mengatur
dirinya sandhi melalui kode etik yang
pengawasannya dilakukan misalnya oleh
suatu komisi khusus, dan regulasi oleh
pemerintah; misalnya undang-undang anti
trust dan anti monopoli (Gunardi, 1999:1).
PENUTUP
Tampaknya sulit untuk memungkiri
adanya kesulitan menemukan suatu teori
yang secara fundamental mengungkapkan
hakikat bisnis, namun juga secara kompre -
hensif mampu mencakup kompleksitas
dunia bisnis. satu-satunya teori yang paling
mendekati kriteria tersebut adalah konsep
perusahaan dan lingkungannya (stake
holders concept). Bahwa, posisi suatu
perusahaan ditengah-tengah pihak-pihak
(institusi) berkepentingan yang tak bisa
tidak hams diperhitungkan dalam satrap
keputusan dan langkah operasional peru sahaan.
Skandal-skandal bisnis yang akhirakhir ini tedadi pada akhimya memba ngunkan masyarakat, bahwa temyata ada
yang salah dalam dunia bisnis atau dapat
dikatakan adanya krisis etika bisnis.
Padahal sebagaimana kith ketahui jika
perusahaan dapat memiliki kode etik dan
secara sadar melaksanakanny a, maka
manfaat kode etik perusahaan dapat
dilukiskan sebagai berikut :
1. Kode etik dapat meningkatkan kredi bilitas suatu perusahaan, karena etika
telah dijadikan sebagai Corporate
Culture. Hal itu temtama panting,
karena secara intern semua karyawan
terikat dengan standar yang sama,
sehingga akan mengambil keputusan
yang sama untuk kasus-kasus yang
sejenis. Misalnya, mereka akan
menolak dilibatkan dalam tindak
korupsi.
2. Kode etik dapat membantu dalam
menghilangkan
grey area
atau
kawasan kelabu di bidang etik a
Beberapa arnbiguitas moral yang
Bering merongrong kineda perusa haan, dengan demikian dapat dihin darkan, misalnya menerima komisi
atau hadiah.
3. Kode etik dapat menjelaskan bagai mana perusahaan menilai tanggung
jawab sosialnya.
4. Kode etik menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada
umumnya – dapat mengontrol dirinya
sendiri (self regulation). Pemerintah
menunjang prakarsa dari masyarakat
bisnis melalui peraturan-peraturan
yang menciptakan kerangka moral
dalam aktivitas bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Meng, T., 2000, Dari Meja Tanri Abeng:
Managing atau Chaos? (Tantangan
Globalisasi dan Ketidak pastian),
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Atmosoeprapto, Kisdario, 2000, Produk
tivitas
Aktualisasi
Budaya
Pengantar Etika Bisnis, Yogya :
Penerbit Kanisius.
Danandjaja, Andreas A., 1986, Sistem Nilai
Manajer Indonesia, Jakarta :
Pustaka Binaman Pressindo.
Deal, Terrence E. dan Allan A Kennedy ,
2001, Corporate Cultures: The
Rites and Rituals of Corporate Life,
USA: Addison-Wesley Publishing
Company.Inc.
Endro, Gunardi, 1999, Redefinisi Bisnis:
Suatu Penggalian Etika Reutamaan
Aristoteles, Jakarta: PT Pustaka
Binaman Pressindo.
Hofstede,
Geert,
1980,
Culture's
Consequences
International
Differences
in
Work -related
Values, Sage Publ., Beverly Hills,
California.
Jatmiko, RD., 2004, Pengantar Bisnis,
Malang: Penerbit UMM Press.
Koentjaraningrat,
2004,
Rebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan,
Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Moeljono, Djokosantoso, 2002, Pengaruh
Budaya
Rorporat
(Corporate
Culture) terhadap Produktivita s
Pelayanan di PT Bank Rakyat
Indonesia (Persero), Disertasi Tidak
Dipublikasikan, Yogyakarta, UGM.
Muslich, 1998, Etika
Pendekatan
Substantif dan Fungsional, Edisi
Pertama, Yogyakarta: EKONISIA.
Ndraha,
Taliziduhu,
1997,
Budaya
Organisasi, Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Prawiranegara, S., 1988, Ekonomi dan
Keuangan: Makna Ekonomi Islam
(kumpulan karangan terpilih),
Jakarta: CV Haji Masagung.
Robbins, Stephen P, (2003), (terje mahan),
Perilaku Organisasi, Edith 9, Jilid 1,
Jakarta:PT
Indeks
Kelompok
Gramedia.
Samuelson P.A. dan Nordaus W.D., 1993,
(terjemahan), Ekonomi, Cetakan
kedelapan,
Jakarta:
Penerbit
Erlangga.
Sinungan, Muchdarsyah., 1987, Produk
tivitas apa dan Bagaimana, Jakarta:
Bina Aksara.
Spitzer, Q. dan Evans, R., 1998,
(Terjemahan), Heads You Win: Cara
Berpikir Perusahaan-perusahaan
Terbaik, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Sudarijanto,
Cacuk,
2001,
Jurus
Manajemen Cacuk Sudarijanto,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Download