Kajian Aktivitas Proliferasi dan Kapasitas

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Tikus Percobaan
Tikus percobaan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus)
galur Sprague Dawley jantan berumur delapan minggu, memiliki berat badan
265.71±13 gram, berjumlah 35 ekor tikus dan berasal dari BPOM. Penggunaan
tikus Sprague Dawley karena tikus ini mudah didapat dan banyak digunakan
dalam penelitian imunitas. Tikus Sprague Dawley dikandangkan pada jenis
kandang biasa secara individual. Kadang terbuat dari bahan plastik. Kondisi gelap
terang kandang secara alami atau tidak ada pengaturan lampu 12 jam gelap dan 12
jam terang, suhu ruangan kandang sebesar 23 oC. Menurut Muchtadi (1989) suhu
optimum ruangan untuk tikus percobaan berkisar 22 oC - 24 oC.
Tikus Sprague Dawley mengalami masa adaptasi selama dua minggu.
Masa adaptasi bertujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru atau
lingkungan laboratorium, mengamati apakah tikus terus digunakan atau tidak
dalam percobaan misalnya tidak sakit dan berprilaku normal dan menyeragamkan
kondisi tikus sebelum diberi perlakuan (Muchtadi 1989). Selama masa adaptasi
semua tikus diperlakukan sama, diberi makan pakan standar dan air (aqua) secara
ad libitum. Pakan standar yang diberikan pada tikus mengacu kepada pakan
standar america institute of nutrition (AIN 1976). Penggunaan pakan standar ini
disebabkan sumber protein yang dianjurkan sebesar 20%. Protein ini sangat
penting untuk pertumbuhan, mengganti sel-sel yang rusak, penting bagi
ketersediaan hormon, enzim, protein darah, protein yang terlibat dalam replikasi,
transkripsi dan perbaikan DNA serta sistem pertahanan tubuh (imunitas).
Pakan yang diberikan pada tikus dalam bentuk bubuk, berjumlah 20
gram/ekor/hari. Pemberian pakan dalam jumlah 20 gram/ekor/hari sudah
mencukupi kebutuhan konsumsi pakan tikus perhari untuk berat badan diatas 250
gram dan untuk menentukan jumlah pakan riil yang dikonsumsi setiap harinya.
Pakan dan minum yang diberikan pada tikus setiap hari pada waktu yang sama
yaitu pukul 06:00 – 08:00 WIB. Hal ini bertujuan untuk mengurangi variabilitas
tikus. Pakan sisa ditimbang setiap hari untuk mengetahui konsumsi riil setiap hari.
Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap dua hari yang bertujuan
untuk mengetahui pertumbuhan dan kesehatan tikus percobaan. Pembersihan
45
kandang dilakukan empat hari sekali disebabkan selama empat hari kondisi
kandang baru kelihatan basah.
Pada akhir masa adaptasi tikus Sprague Dawley dikelompok kedalam lima
kelompok tikus sebagai perlakuan terdiri dari: (1) kelompok kontrol (KO) yaitu
diberi pakan dengan sumber karbohidrat standar (maizena); (2) kelompok sorgum
50% (S-50) yaitu diberi pakan dengan sumber karbohidrat dari 50% sorgum dan
50% maizena; (3) kelompok sorgum 100% (S-100) yaitu diberi pakan dengan
sumber karbohidrat dari 100% sorgum; (4) kelompok jewawut 50% (J-50) yaitu
diberi pakan dengan sumber karbohidrat dari 50% jewawut dan 50% maizena; (5)
kelompok jewawut 100% (J-100) yaitu diberi pakan dengan sumber karbohidrat
dari 100% jewawut.
Masing-masing kelompok tikus terdiri dari tujuh ekor
sehingga jumlah tikus yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 35 ekor.
Perlakuan pemberian pakan pada sumber karbohirat diatas pada tikus
diberikan selama tujuh minggu termasuk waktu relatif agak lama karena kondisi
tikus dalam kondisi normal tidak ada penambahan stress (stressing). Pakan
perlakuan dan minum tikus diberikan dengan cara yang sama pada waktu masa
adaptasi yaitu ad libitum. Pakan perlakuan diberikan pada tikus secara isokalori.
Penimbangan sisa pakan yang dilakukan setiap hari bertujuan untuk mengetahui
konsumsi pakan riil setiap hari. Hasil penimbangan konsumsi pakan tikus setiap
hari selama pemeliharaan dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan rata-rata
konsumsi pakan tikus pada setiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 9.
Hasil penimbangan berat badan tikus yang dilakukan setiap dua hari,
menunjukkan tidak semua tikus mengalami kenaikan berat badan setiap harinya,
ada beberapa yang mengalami penurunan tetapi pada akhir perlakuan, semua berat
badan tikus mengalami kenaikan berat badan. Hasil penimbangan berat badan
tikus selama masa adaptasi dan perlakuan atau masa pemeliharaan dapat dilihat
pada Lampiran 2. Kenaikan rata-rata berat badan pada setiap kelompok tikus dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Rata-rata dan standar deviasi berat badan, kenaikan berat badan dan konsumsi
pakan pada setiap kelompok tikus
Berat badan (g)
Rata-rata konsumsi
Perlakuan
pakan/hari (g)
Awal
Akhir
Kenaikan
a
a
Kontrol
264.43±14.39 432.29±11.31 158.86±13.51
19.11 ±1.38a
Sorgum 50%
267.29± 6.18 435.57±11.24a 168.29±12.24a
18.92 ± 1.74a
a
a
Sorgum 100%
265.00±13.70 441.86±14.61 176.86±13.66
19.25 ± 0.98a
a
a
Jewawut 50%
267.14±18.93 433.14±18.09 166.00±14.73
18.91 ± 1.61a
Jewawut 100% 264.71±14.67 434.43±10.15a 169.71±15.50a
19.16 ± 1.10a
Notasi huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan pada P<0.05 (DMRT)
46
Tabel 9 menunjukkan terjadi kenaikan berat badan pada setiap kelompok
tikus perlakuan. Berdasarkan hasil statistik, kenaikan berat badan tikus pada
semua kelompok tikus atau perlakuan tidak berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran
3a, 3b). Kenaikan rata-rata berat badan tertinggi terjadi pada perlakuan sorgum
100% (S-100) sebesar 176.86±13.66 g dengan rata-rata konsumsi pakan 19.25 ±
0.98 g/ekor/hari, sedangkan terendah pada kontrol (KO) sebesar 158.86±13.51 g
dengan rata-rata konsumsi pakan 19.11±1.38 g/ekor/hari.
Tabel 9 juga menunjukkan jumlah konsumsi rata-rata pakan pada semua
perlakuan, secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
(Lampiran 4a, 4b). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian 50%, 100%
sorgum, 50%, 100% jewawut tidak mempengaruhi selera makan tikus.
Pada akhir perlakuan hubungan kenaikan berat badan dengan rata-rata
konsumsi pakan tikus tidak selalu memberikan hubungan yang berbanding lurus
yaitu semakin banyak rata-rata konsumsi pakan per hari tikus, kenaikan berat
badan tikus tidak lebih besar. Hal ini juga terjadi pada penelitian yang dilakukan
Kaviarasan et al. (2008) pemberian fraksi flavonoid tikus percobaan pada
perlakuan kontrol kenaikan berat badan 117.5±8.09 g dengan rata-rata konsumsi
sebesar 25.83±1.09 g/ekor/hari, sedangkan pada perlakuan pemberian fraksi
flavonoid kenaikan berat badan lebih rendah yaitu sebesar 68.33±6.06 g, padahal
rata-rata konsumsi lebih besar yaitu 27.1±1.41 g/ekor/hari. Kecendrungan enaikan
berat badan tikus yang tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah konsumsi pakan
dapat diduga adanya perbedaan aktivitas dan tingkat penyerapan nutrisi pada tikus.
Pertumbuhan tikus selama pemeliharaan digambarkan dalam bentuk grafik
pertumbuhan yang dibuat dari hubungan berat badan tikus (g) dengan waktu
pemeliharaan tikus dalam satuan hari. Grafik pertumbuhan tikus Sprague Dawley
pada setiap kelompok tikus dapat dilihat pada Gambar 8.
47
Gambar 8 Grafik pertumbuhan tikus Sprague Dawley pada setiap kelompok tikus.
Gambar 8 menunjukkan bahwa grafik pertumbuhan cendrung meningkat.
Hal ini dapat diindikasikan bahwa pertumbuhan tikus selama pemeliharaan pada
keadaan pertumbuhan yang baik. Grafik pertumbuhan ini sesuai dengan gambar
grafik pertumbuhan tikus Sprague Dawley yang berdasarkan umur dari BPOM
(Lampiran 5).
Berdasarkan keadaan tersebut semua tikus selama pemeliharaan dalam
kondisi sehat. Konsumsi pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50%,
100% jewawut selama tujuh minggu tidak memberikan efek yang negatif terhadap
kesehatan seperti tidak menimbulkan keracunan, tidak mengganggu penyerapan
nutrisi meskipun sorgum dan jewawut mengandung komponen antinutrisi seperti
tanin. Tanin ini dikatakan dapat membentuk komplek dengan polisakarida,
protein, mineral, asam lemak dan asam nukleat (Flores et al. 1994). Sifat komplek
tanin yang dapat mengikat protein dan polisakarida akan menyebabkan daya
absorbsi komponen nutrisi tersebut berkurang yang dapat menurunkan berat badan
(Nyachoti et al. 1997). Komponen antinutrisi seperti tanin juga dapat
mempengaruh sifat sensori sorgum dan jewawut. Sifat sensori tersebut akan
mempengaruhi selera makan. Menurut Rooney dan Deykes (2007) tanin dapat
menyebabkan rasa sepat atau astrigen pada pangan. Hasil penelitian ini diduga
kandungan tanin sorgum dan jewawut belum mempengaruhi berat badan dan
selera makan tikus karena kandungan senyawa antinutrisi seperti tanin tersebut
48
masih dalam jumlah normal atau tidak melebihi kebutuhan sehingga belum
menurunkan penyerapan nutrisi serta belum menurunkan nilai sensori yang
mengurangi selera makan. Rooney (2005) menyebutkan tanin dengan jumlah
dibawah 5%-10% akan mengurangi kemungkinan membentuk komplek dengan
komponen makromolekul yang dapat menggangu penyerapan nutrisi dan belum
mempengaruhi nilai sensori seperti rasa sepat yang tidak disukai sehingga
menurunkan selera makan. Menurut Singgih et al. (2006) kadar tanin sorgum
varietas kawali sebesar 0.70% dan jewawut (milet) lebih rendah dari 0.7%. Efek
pemberian sorgum kawali yang memiliki tanin 0.7% sama dengan hasil penelitian
yang dilakukan Darana (2005) yang menyebutkan ayam yang diberi pakan dengan
kandungan tanin sampai 0.65%, tidak memberikan efek yang negatif terhadap
kesehatan dan tidak menurunkan berat badan.
Keadaan tikus yang sehat juga didukung dengan data hasil penimbangan
berat organ hati dan ginjal tikus dan berat relatifnya. Hasil penimbangan berat
organ hati dan ginjal pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Berat organ dan berat relatif organ hati dan ginjal tikus setiap kelompok
tikus
Parameter
Kelompok Perlakuan
Kontrol
Berat organ (g/100g BB)
Berat hati (g)
12.21±1.05a
Barat relatif hati
2.89±0.002a
Sorgum 50%
Sorgum
100%
Jewawut 50%
Jewawut 100%
12.01±0.93a
2.76±0.002a
12.85±0.50a
2.91±0.002a
12.30±0.95a
0.0284±0.002a
12.16±0.85a
2.76±0.002a
Berat ginjal (g)
2.31±0.20a
2.31±0.20a
2.49±0.25a
2.43±0.25a
2.46±0.29a
Berat relatif ginjal
0.54±0.0003a
0.53±0.004a
0.56±0.0004a
0.0056±0.0004a
0.56±0.0004a
Notasi huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan pada P<0.05 (DMRT)
Tabel 10 menunjukkan bahwa berat organ hati dan ginjal serta berat relatif
organ hati dan ginjal tikus yang diberi pakan 50%, 100% sorgum, 50%, 100%
jewawut tidak berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan kontrol (Lampiran 6a, 6b, 6c,
6d,7a, 7b, 7c,7d). Berat relatif organ hati berkisar 2.76 - 2.91 g/100 g berat badan
dan berat relatif ginjal berkisar 0.53 - 0.56 g/100 g berat badan. Hasil berat relatif
organ hati dan ginjal tikus Sprague Dawey ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan Prangdimurti (2007) yang menyebutkan berat relatif
organ hati dan gijal tikus Sprague Dawley berturut-turut berkisarr 2.98 – 3.22
g/100 g berat badan, 0.53 – 0.56 g/100 g berat badan.
49
Proliferasi Sel limfosit Limfa
Proliferasi merupakan fungsi fisiologis yaitu proses pembelahan secara
mitosis dan diferensiasi sel sebagai respon terhadap antigen atau mitogen (Zakaria
et al. 2003). Proliferasi limfosit merupakan suatu proses yang dapat
mengindikasikan aktivitas respon imun spesifik yang berkaitan dengan suatu
sistem imum.
Sel limfosit yang dapat berproliferasi adalah sel B dan sel T. Pada awal
proses proliferasi ini, sel B bertambah banyak dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma (efektor) dan sel memori, sedangkan sel T berdiferensiasi menjadi sel Th,
Tc dan Ts. Sel B dan T merupakan bagian dari sel limfosit yang memiliki peranan
dalam sistem imun spesifik. Sel T akan menghasilkan sitokin yang menginduksi
sistem imun yang lain. Sel B akan menghasilkan antibodi dari sel plasmanya untuk
melawan benda asing (antigen) yang dapat merugikan bagi kesehatan (Kuby
2006).
Hal ini berarti dengan adanya proliferasi maka dapat memperbanyak
jumlah sel B dan sel T atau sel limfosit sehingga kemampuan menghasilkan
sitokin dan antibodi yang diperlukan untuk melawan antigen meningkat dan
pertahanan tubuh (sistem imun) pun meningkat. Menurut Roitt dan Delves (2001)
sistem imun itu bekerja secara terintegrasi atau tidak sendiri-sendiri.
Penentuan aktivitas proliferasi sel limfosit limfa (splenosit) tikus setelah
tujuh minggu masa perlakuan melalui proses isolasi sel limfosit limfa, perhitungan
dan pengkulturan suspensi sel limfosit limfa. Penentuan proliferasi limfoit pada
organ limfa ini disebabkan organ limfa merupakan organ limfoid sekunder. Organ
limfoid sekunder ini memiliki fungsi menangkap dan mempresentasikan antigen
dengan efektif, sel B dan sel T sudah dalam keadaan matang sehingga sudah siap
untuk berproliferasi dan berdiferensiasi dan merupakan tempat utama produksi
antibodi. Organ limfa juga merupakan tempat untuk saringan darah atau mikroba
darah dibersihkan dalam limfa dan tempat respon imun utama terhadap antigen
asal darah (Bratawidjaja 2006). Isolasi sel limfosit dilakukan dengan melisis sel
eritrosit dan pencucian dengan medium RPMI 1640 sehingga didapatkan suspensi
sel limfosit.
Perhitungan sel limfosit limfa menggunakan metode biru trifan,
hemasitometer dan mikroskop 400 kali. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
50
bentuk dan jumlah sel yang hidup atau mati. Sel yang hidup tidak akan mengalami
kerusakan membran sel sehingga biru trifan yang diberikan tidak dapat masuk ke
dalam sel. Sel yang hidup akan tampak berbentuk bulat utuh dan bening. Pada sel
yang mati terjadi sebaliknya, membran sel rusak, biru trifan dapat masuk kedalam
sel sehingga sel mengkerut dan berwarna kebiruan (seperti warna biru trifan).
Suspensi sel limfosit yang dikultur harus memiliki jumlah sel yang hidup sebesar
95%.
Pengkulturan sel limfosit limfa dilakukan secara in vitro karena sel limfosit
dapat tumbuh diluar tubuh hewan atau manusia (Lao et al. 2001). Jumlah sel yang
dikultur sebesar 2 x 106 sel/ml didasari oleh penelitian yang telah dilakukan
Krismawati (2007) dengan waktu kultur 72 jam. Pengkulturan sel secara in vitro
ini memberikan keuntungan misalnya keadaan pertumbuhan lebih stabil dan
karakteristik sel yang dikultur dapat diatur (Harrison 1997). Pengkulturan secara
in vitro ini memerlukan kondisi lingkungan pertumbuhan hampir sama dengan in
vivo (keadaan tubuh hewan atau manusia) seperti pH, suhu, udara dan asupan
nutrisi (asam amino, vitamin, mineral, garam organik) sehingga proses biologis
yang terjadi mendekati keadaan sebenarnya di dalam tubuh.
Pengkulturan sel limfosit dilakukan dengan media RPMI 1640. Media ini
mengandung nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan sel. Komposisi media
RPMI 1640 dapat dilihat pada Lampiran 8a. Pada pengkulturan ini juga
ditambahkan Fetal Bovine Serum (FBS) sebesar 10%. Penambahan serum ini
bertujuan untuk menambah nutrien yaitu memberikan hormon-hormon penting
untuk pertumbuhan, sebagai faktor penempel sel pada matrik tempat sel tumbuh
(plate 96 sumur), protein, lipid serta mineral-mineral yang penting untuk
pertumbuhan (Freshney 1994). Dalam media kultur juga ditambahkan antibiotik
yang bertujuan untuk mengatasi kontaminasi mikroorganisme. Selain itu dalam
media kultur juga ditambahkan NaHCO3 yang berfungsi sebagai buffer untuk
mempertahankan pH yang diperlukan dalam pengkulturan sel limfosit (Freshney
1994).
Pada pengkulturan sel limfosit limfa ini, ada yang ditambahkan mitogen.
Mitogen yang digunakan dalam penelitian ini jenis lipopolisakarida (LPS) dari
Salmonella thyphimurium. Penambahan LPS bertujuan memacu proliferasi karena
LPS ini semacam antigen yang menginduksi terjadinya proliferasi. Menurut
Watter et al. (2002) LPS adalah komponen membran luar bakteri gram negatif
51
yang dapat meningkatkan aktivitas sel imun. Mitogen ini akan mengaktivasi
protein kinase ERK-1 (extraceluler regulated kinase -1) dan ERK-2 dan nuclear
factor kappa β (NF-kβ) DNA yang memacu proses proliferasi sel dan beberapa
respon imun lainnya seperti makrofage, sel T, sel B.
Dalam pengujian proliferasi limfosit limfa sangat diperlukan kondisi yang
steril untuk menghindari kontaminasi dan dilakukan segera setelah pembedahan
hewan percobaan. Oleh karena itu pelaksanaannya dilakukan secara aseptis dan
didalam ruang laminair flow steril. Kondisi pengkulturan sel limfosit dilakukan
dalam inkubator CO2 yang diatur kondisinya suhu 37 oC, CO2 5%, udara 95% dan
RH 97%. Kondisi ini dilakukan untuk mengupayakan kondisi yang sama dengan
didalam tubuh.
Pengukuran absorbansi dilakukan dengan ELISA reader setelah diinkubasi
selama 72 jam. Metode yang digunakan dalam pengujian proliferasi adalah
metoda MTT (3-( 4.5- dimethylthiazol-2 yl)-2.5 diphenyl-tetrazolium bromide).
Metode ini termasuk metode kolorimetri. Dalam metode MTT, empat jam
sebelum akhir inkubasi ditambahkan senyawaa MTT yang berwana kuning
bening. Prinsip kerjanya adalah senyawa MTT akan bereaksi dengan enzim
suksinat dehidrogenase yang ada dalam mitokondria sel. Enzim ini dapat
mengubah senyawa tetrazolium dari MTT untuk menghasilkan kristal formazan
yang berwarna biru. Indikator jumlah sel limfosit hidup adalah nilai absorbansi
dari kristal formazan, semakin banyak sel limfosit maka warna biru semakin kuat
sehingga absorbansi yang terbaca semakin besar. Kesalahan metode MTT dalam
pembacaan absorbansi dapat juga terjadi. Kesalahan ini dapat disebabkan adanya
kontaminasi dari bakteri maupun kamir. Mitokondria sel bakteri dan khamir juga
mengandung enzim suksinat dehidrogenase yang dapat bereaksi dengan garam
tetrazolium dari MTT menghasilkan kristal formazan berwarna biru. Oleh karena
itu, kontaminasi kultur sel limfosit dapat dihindari dengan pelaksanaan analisis
yang sangat aseptis (Anonimus 2007).
Penambahan HCL-isopropanol, pada saat akhir masa inkubasi atau
sebelum diukur absorbansi dengan ELISA reader bertujuan untuk menghentikan
aktivitas proliferasi sel limfosit sehingga stabil selama pengukuran absorbansi dan
untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk sehingga memudahkan dalam
pengukuran absorbansinya.
52
Penentuan proliferasi limfosit ditentukan melalui perhitungan indek
stimulasi (IS) dengan mitogen LPS. Semakin tinggi indek stimulasi menandakan
proliferasi limfosit semakin banyak atau semakin tinggi aktivitas proliferasi
limfosit (Cambier 2000).
Hasil isolasi sel limfosit limfa tikus dalam bentuk sel limfosit limfa
sebelum dikultur dengan setelah berproliferasi dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil
aktivitas proliferasi sel limfosit limfa tikus dalam bentuk nilai indek stimulasi (IS)
dengan adanya mitogen LPS pada semua perlakuan dilihat pada Gambar 10. Data
absorbansi dan IS setiap kelompok tikus dapat dilihat pada Lampiran 8b.
(a)
(b)
Gambar 9 Jumlah sel limfosit limfa sebelum dikultur (a) dan setelah dikultur (b).
Gambar 10 Rerata indek stimulasi (proliferasi) splenosit pada setiap kelompok tikus.
53
Gambar 10 menunjukkan bahwa pemberian pakan tikus yang mengandung
50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dapat meningkatkan aktivitas
proliferasi limfosit dibandingkan kontrol. Berdasarkan uji statistik peningkatan
proliferasi limfosit tersebut menunjukkan peningkatan yang nyata (P<0.05)
dibandingkan dengan kontrol, sedangkan antara sorgum 100% (S-100), sorgum
50% (S-50), jewawut 100% (J-100) dan jewawut 50% (J-50) tidak berbeda nyata
(Lampiran 8c, 8d).
Pelakuan sorgum 50% (S-50) menunjukkan peningkatan proliferasi
limfosit tertinggi dengan IS sebesar 3.46, terendah pada kelompok kontrol (KO)
dengan IS sebesar 2.03. Hasil indek stimulasi pada penelitian ini berkisar dari
2.03-3.46 tidak jauh berbeda dengan hasil indek stimulasi ekstrak air daun
kemuning pada taraf konsentrasi satu taraf dibawah normal, normal dan satu taraf
diatas normal berkisar 2.75 – 3.67 secara in vitro pada darah manusia yang telah
dilakukan oleh Krismawati (2007). Pada perlakuan sorgum 100% (S-100) dan
sorgum 50% (S-50) proliferasi limfositnya dengan IS
berkisar
3.32 - 3.46
sedangkan pada perlakuan jewawut 50% (J-50) dan jewawut 100%
(J-100)
berkisar 3.10 – 3.20. Hal ini menunjukkan aktivitas proliferasi limfosit pada
pemberian pakan yang mengadung 50%, 100% sorgum ada kecendrungan indek
stimulasi lebih besar dibandingkan dengan pakan yang mengandung 50%, 100%
jewawut, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata antara perlakuan sorgum
50% ,100% , jewawut 50% dan 100%.
Peningkatan proliferasi limfosit yang nyata (P<0.05) pada pakan yang
mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dibandingkan kontrol
dapat diduga adanya kandungan komponen bioaktif seperti komponen fenolik
misalnya asam fenolik dan flavonoid yang memiliki sifat antioksidan. Adanya
sifat antioksidan dari komponen fenolik tersebut dapat melindungi sel limfosit dari
stres oksidatif. Stres oksidatif ini dapat merusak sel limfosit sehingga aktivitas
proliferasi limfosit terhambat. Menurut Dykes & Rooney (2006) sorgum dan
jewawut memiliki komponen bioaktif berupa komponen fenolik seperti asam
fenolik, flavonoid dan kondesat tanin yang memiliki sifat antioksidan. Hal ini
didukung pula penelitian yang dilakukan Yanuar (2009) yang menyebutkan bahwa
total fenol sorgum varietas kawali dengan waktu sosoh 20 detik/200 g biji sebesar
3.38 mg TAE/g biji memiliki aktivitas antioksidan sebesar 6.68 mg AEAC/g biji,
jewawut (milet) dengan waktu sosoh 100 dtk/200 g total fenolnya sebesar 3.51 mg
54
TAE/g biji memiliki aktivitas antioksidan sebesar 5.34 mg AEAC/g biji. Sifat
antioksidan senyawa fenolik yang menunjukkan peranan sebagai antiradikal atau
antioksidan secara in vivo pada manusia telah dilakukan oleh Erniwati (2007) yang
menyebutkan komponen bioaktif seperti polifenol pada bubuk kakao bebas lemak
dapat meningkatkan sifat antiradikal bebas pada sel limfosit manusia.
Peningkatan proliferasi yang terjadi pada pakan yang mengandung sorgum
dan jewawut juga didukung dengan penelitian yang dilakukan Yanuar (2009) yang
menyebutkan secara in vitro sorgum dan jewawut memiliki potensi meningkatkan
proliferasi limfosit darah manusia.
Terjadinya aktivitas antioksidan senyawa fenolik sorgum dan jewawut
yang dapat melindungi sel limfosit dari stres oksidatif diduga disebabkan senyawa
fenolik tersebut setelah mengalami metabolisme dalam tubuh dapat diserap pada
jaringan seperti organ limfa. Hal ini didukung Manach et al. (2005) yang
menyebutkan setelah mengkonsumsi kopi yang banyak mengandung asam sinamat
seperti kafeat. Kopi yang dikonsumsi setelah mengalami metabolisme
hidrolisis, di dalam darah ditemukan ada asam kafeat.
atau
Selain asam kafeat
ditemukan juga asam sinamat lainnya seperti asam ferulat, asam isoferulat, asam
dihidroferulat, asam vanilat, asam 3-4 dihidroksi fenilpropionat, asam 3hidroksihifurat dan asam hifurat. Hasil penelitiannya juga menunjukkan, pada
konsumsi serealia, yang banyak mengandung asam ferulat setelah mengalami
metabolisme terjadi penyerapan paling banyak pada usus halus, hanya sedikit
asam ferulat dalam bentuk terikat dengan arabinosilan yang ditemukan di kolon.
Mekanisme komponen fenolik sorgum dan jewawut sebagai antioksidan
dalam melindungi sel limfosit dari stress oksidatif atau meningkatkan aktivitas
proliferasi limfosit diduga melalui kemampuan senyawa fenolik mendonorkan
elektron atau mekanisme menangkap (scavenger) radikal bebas atau ROS menjadi
produk yang non reaktif dan kemampuan sebagai pengkelat logam (quencher)
sehingga tidak memacu terbentuknya radikal bebas hidroksil (OH*) yang bersifat
sangat reaktif merusak sel. Mekanisme scavenger senyawa antioksidan fenolik
(ArOH) melalui pemberian elektron pada radikal peroksil (LOO*) sehingga
radikal peroksil tidak bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh (LH) dan terbentuk
radikal yang lebih stabil seperti hidroperoksida (LOOH) dan radikal fenoksil
(ArO*) (reaksi 13), radikal fenoksil bereaksi dengan radikal alkosil (LO*)
membentuk produk non radikal atau non reaktif (LOO-ArO) dan mekanisme
55
pengkelat logam (reaksi 14) (Hall & Cuppett 1997). Mekanisme komponen
fenolik seperti asam ferulat atau komponen fenolik yang lain belum dilakukan
sehingga masih bersifat dugaan sehingga perlu kajian lebih lanjut. Dugaan
mekanisme komponen fenolik dalam melindungi sel limfosit dari stress oksidatif
dapat dilihat pada Gambar 11.
LH + LOO*
ArOH + LOO*
LOOH + ArO*
ArO* + LO*
LOO-ArO
ArOH + M
AOH-M
(13)
(14)
Gambar 11 Reaksi scavenger komponen fenolik (a) dan reaksi pengkelat logam
(quencher) komponen fenolik (b)
Mekanisme lain diduga adanya komponen fenolik sorgum dan jewawut
yang berikatan dengan reseptor pada permukaan sel limfosit yang tersusun atas
protein. Menurut Rooney (2005) dan Rooney & Deykes (2007) komponen fenolik
sorgum atau jewawut seperti asam felurat, p-caumarin dan flavonoid sangat
mudah berikatan dengan protein. Menurut Albert et al. (1994) dan Tejasari (2007)
komponen fenolik dapat berikatan dengan reseptor sel limfosit karena komponen
fenolik dapat berikat dengan protein. Adanya ikatan ini dapat mengaktivasi protein
G yang kemudian mengaktivasi enzim fosfolipase C. Fosfolipase C memecah
fosfatidil inositol bifosfat (PIP2) menjadi diasilgliserol (DAG) dan trifosfat inositol
(IP3) pada membran. IP3 berdifusi dari membran ke sitosol dan berikatan dengan
protein reseptor pada permukaan sitoplasmik calcium-sequestering compartment.
Pengikatan ini menyebabkan peningkatan konsentrasi ion Ca2+ sitosol.
Diasilgliserol dan peningkatan konsentrasi Ca2+ mengaktivasi enzim protein
kinase C. Protein kinase C yang teraktivasi memfosforilasi atau memindahkan
gugus fosfat ke residu serin atau treonin spesifik pada protein membran sehingga
mengaktivasi pertukaran Na+,H+ yang berakibat pada peningkatan pH.
Peningkatan pH ini memberikan tanda pada sel untuk melakukan aktivitas
proliferasi. Aktivasi protein kinase C akan menstimulasi produksi interleukin-2
(IL-2) yang mengaktivasi sel B untuk berproliferasi.
Dugaan lain yang mungkin dapat terjadi akibat adanya kandungan βglukan. Menurut Waniska (2005) sorgum dan jewawut mempunyai senyawa β-
56
glukan pada bagian perikrap dan endosperma biji. Senyawa β-glukan diketahui
memiliki sifat immunomodulator (mengatur sistem imun). Mekanisme belum jelas
perlu penelitian lebih lanjut.
Pada penelitian ini juga dilakukan penentuan indek stimulasi dengan
mitogen LPS dan tanpa mitogen LPS antara perlakuan kotrol, sorgum 50%, 100%,
jewawut 50% dan 100% dengan hasil absorbansi perlakuan kontrol (KO) sebagai
pembanding atau pembagi. Hal ini bertujuan melihat seberapa besar mitogen
(LPS) dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit pada perlakuan sorgum 50%,
100%, jewawut 50% dan 100% dan untuk mengetahui seberapa besar proliferasi
limfosit pada perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% pada kultur
yang tanpa ditambah mitogen LPS atau proliferasi limfosit spontan. Penentuan
indek stimulasi dengan mitogen LPS sebagai aktivitas proliferasi ditentukan
melalui hasil bagi antara absorbansi perlakuan dengan mitogen LPS non kontrol
dengan absorbansi perlakuan kontrol dengan mitogen LPS, sedangkan pada tanpa
mitogen LPS (proliferasi limfosit spontan) ditentukan melalui hasil bagi
absorbansi perlakuan non kontrol tanpa mitogen LPS dengan absorbansi perlakuan
kontrol tanpa mitogen LPS sehingga untuk perlakuan kontrol hasil indek stimulasi
sama dengan 1. Cotoh perhitungan penentuan indek stimulasi proliferasi splenosit
dengan mitogen LPS dan proliferasi splenosit spontan dapat diihat pada Lampiran
8e.
Hasil rata-rata indek stimulasi atau aktivitas proliferasi sel limfosit limfa
perlakuan kontrol, sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% pada proses
pengkulturan dengan mitogen LPS dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Rerata indek stimulasi splenosit dengan penambahan mitogen LPS pada setiap
kelompok tikus.
57
Gambar 12 menunjukkan bahwa aktivitas proliferasi splenosit dengan
mitogen LPS pada pemberian pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50%
dan 100% jewawut dengan perlakuan kontrol terjadi peningkatan yang nyata
(P<0.05) (Lampiran 8f, 8g). Aktivitas proliferasi limfosit tertinggi terjadi pada
kelompok sorgum 50% (S-50) dengan IS sebesar 1.73 ± 0.26 dan terendah pada
kelompok perlakukan jewawut 50% (J-50) sebesar 1.54 ± 0.14.
Aktivitas proliferasi limfosit yang berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan
kontrol dengan perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dan
perbedaan yang tidak nyata (P<0.05) diantara perlakuan sorgum 50%, 100%,
jewawut 50% dan 100% diduga komponen fenolik sebagai antioksidan pada
perlakuan perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dapat terserap
dan masuk ke jaringan limfa sehingga dapat bekerja melindungi sel limfosit dari
stres oksidatif pada kondisi tubuh yang normal sehingga tidak menganggu
aktivitas proliferasi limfosit. Menurut Halliwell & Gutteridge (2000) radikal bebas
dapat dihasilkan selama proses pembentukan ATP atau transport elektron. Dengan
demikian diduga perlakuan sorgum 50%, 100% dan jewawut 50%, 100% dalam
metabolisme menghasilkan energi, jumlah radikal yang dihasilkan dapat
diseimbangkan oleh jumlah komponen fenolik atau sistem antioksidan yang ada
dalam tubuh sehingga tidak terjadi stres oksidatif pada sel limfosit limfa. Dugaan
lain jumlah komponen fenolik yang sampai pada limfa kemudian dapat melekat
pada reseptor sel limfosit dalam jumlah yang tidak berbeda antara perlakuan 50%,
100% sorgum dan 100% jewawut, sehingga memacu proliferasi sel limfosit tidak
berbeda. Dugaan berikutnya komponen fenolik dapat bekerja sinergis dengan
mitogen LPS dalam memicu proliferasi limfosit tetapi ini memerlukan kajian lebih
lanjut pada tingkat seluler maupun molekuler.
Hasil rata-rata absorbansi dan indek stimulasi (IS) splenosit tikus tanpa
ditambah mitogen LPS (atau proliferasi limfosit spontan) pada perlakuan kontrol,
sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% selama tujuh minggu dapat dilihat
pada Gambar 13.
58
Gambar 13 Rerata absorbansi dan indek stimulasi proliferasi spontan pada setiap
kelompok tikus.
Gambar 13 menggambarkan hasil absorbansi pengkulturan splenosit dan
indek stimulasi splenosit tikus tanpa mitogen LPS (proliferasi limfosit spontan).
Hasil absorbansi dan aktivitas proliferasi limfosit pada pemberian pakan yang
mengandung 50% sama dengan sorgum 100% dan jewawut 100% dan berbeda
secara nyata (P<0.05) dengan jewawut 50% dan kontrol, sedangkan perlakuan
sorgum 100%, jewawut 50%, 100% dan kontrol tidak berbeda secara nyata
(P<0.05) (Lampiran 8h, 8i, 8j dan 8k). Fenomena ini diduga kompoenen fenolik
pada sorgum 50% tanpa mitogen LPS bekerja lebih efektif memacu proliferasi
limfosit dibandingkan dengan perlakuan jewawut 50%. Fenomena ini mendekati
penelitian yang dilakukan Krismawati (2007) yang menyebutkan dari ekstrak daun
delima putih, ceremai, kemuning dan bunga kecombrang dengan aqudes yang
ditambahkan dalam konsentrasi berbeda didapatkan proliferasi limfosit tertinggi
pada konsentrasi tertentu atau didapat juga konsentrasi yang efektif. Aktivitas
prolifersi limfosit tertinggi pada perlakuan sorgum 50% dengan IS sebesar 1.04 ±
0.03 dan terendah pada kelompok jewawut 50% sebesar 0.99 ± 0.03.
Berdasarkan perbandingan diantara aktivitas proliferasi limfosit dengan
mitogen LPS dan tanpa mitogen LPS pada Gambar 12 dan 13 menunjukkan
mitogen LPS dapat bekerja efektif dalam meningkatkan aktivitas proliferasi dan
dapat bekerja sinergis dengan komponen fenolik dalam memacu proliferasi
limfosit terutama pada perlakuan jewawut 50% karena aktivitas proliferasi
59
jewawut 50% dengan mitogen LPS berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan
kontrol, sedangkan pada proliferasi limfosit tanpa mitogen LPS aktivitas
proliferasi limfositnya sama dengan kontrol. Aktivitas proliferasi limfosit dengan
mitogen LPS dibandingkan dengan proliferasi limfosit spontan (tanpa mitogen
LPS) berdasarkan hasil indek stimulasi pada sorgum 50%, 100%, jewawut 50%
dan 100% berturut-turut peningkatanya sebesar 67%, 64%, 56% dan 55%.
Aktivitas Antioksidan Hati
Aktivitas antioksidan berkaitan dengan spesifik reaksinya karena
dipengaruhi oleh tekanan, suhu, metode reaksi, koreksi dan referensi yang diukur
oleh suatu metode tertentu. Penekananya pada reaksi kimia dan kondisi spesifik
yang digunakan dalam suatu metode pengujian (Huang et al. 2005).
Pengujian aktivitas antioksidan di hati ini dilakukan dengan menggunakan
metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picryl-hidrazyl) karena metode ini sudah umum
digunakan. Metode ini dikenal memiliki kepraktisan pelaksanaan dan waktu yang
realtif cepat. DPPH merupakan suatu senyawa radikal bebas yang bersifat stabil
(Vaya & Aviram 2002). Prinsip kerjanya adalah adanya suatu elektron antioksidan
yang memberikan elektron (hidrogen) melalui reaksi elektron transfer (reaksi
redok) kepada oksidan seperti DPPH, yang mengakibatkan terjadinya perubahan
warna. Warna violet (DPPH radikal) yang dimilikinya setelah bereaksi dengan
suatu antioksidan akan memudar atau menghilang menjadi warna kuning. Nilai
absorbansinya menurun dengan semakin banyaknya antioksidan, reaksi awal yang
terjadi dapat dilihat pada Gambar 14. (Molyneux 2003: Vaya & Aviram 2002;
Huang et al. 2005).
DPPH
radikal
Antioksidan
DPPH
Antioksidan
non radikal
radikal
Gambar 14. Reaksi awal pengujian antioksidan dengan metode DPPH.
60
Reaksi yang terjadi pada metode DPPH adalah transfer elektron (ET) yang
ditandai dengan perubahan warna atau tidak ada penilaian terhadap kompetisi
reaksi kinetik seperti pada reaksi Hydrogen Atom Transfer (HAT) (Huang et al.
2005).
Hasil penelitian terhadap aktivitas antioksidan ini menunjukkan pemberian
pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dapat
meningkatkan aktivitas antioksidan yang nyata (P<0.05) dibandingkan kontrol.
Peningkatan aktivitas sorgum 50% (S-50) menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0.05) dibandingkan dengan sorgum 100% (S-100), jewawut 50% dan 100%
(Lampiran 9a, 9b). Aktivitas antioksidan tertinggi pada perlakuan sorgum 50%
sebesar 28. 17% dan terendah pada kelompok kontrol (KO) sebesar 20,39%
(Gambar 15).
Gambar 15 Rerata aktivitas antioksidan dengan DPPH pada setiap kelompok
tikus.
Gambar 15 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas akntioksidan
pada konsumsi pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100%
jewawut dibandingkan dengan kontrol berturut-turut sebesar 38%, 29%, 27% dan
30%.
Terjadinya peningkatan aktivitas antioksidan yang nyata (P<0.05) pada
perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dibandingkan dengan
61
kontrol, diduga adanya efek konsumsi sorgum dan jewawut yang memiliki
komponen bioaktif yaitu kandungan komponen fenolik yang bersifat antioksidan
sehingga aktivitas antioksidan hati meningkat. Komponen fenolik tersebut setelah
mengalami metabolisme dapat terserap dalam darah sehingga dapat masuk dan
tertahan dalam hati (Manach et al.2005). Proses metabolisme yang banyak
menghasilkan ROS adalah di hati, dengan demikian memerlukan aktivitas
antioksidan di hati yang lebih besar. Halliwell & Aruoma (1997) menyebutkan
aktivitas antioksidan seperti vitamin C, E dan enzim antioksidan dalam tubuh
belum tuntas atau tidak 100% mencegah kerusakan yang disebabkan ROS atau
RSN sehingga masih diperlukan konsumsi pangan sumber antioksidan untuk
meningkatkan aktivitas antioksidan.
Menurut Awika dan Rooney (2004) sorgum dan jewawut memiliki
komponen bioaktif seperti asam fenolik, flavonoid dan kondesat tanin yang
memiliki fungsi sebagai penangkal atau memperlambat reaksi radikal bebas atau
bersifat antioksidan. Dicko et al. (2006) menyebutkan sorgum dan jewawut
memiliki kandungan fenolik seperti asam fenolik, terbanyak jenis asam
hidroksinamat (ferulat, ρ-caumarin). Komponen asam fenolik ini memiliki
aktivitas antioksidan. Penelitian yang telah dilakukan Yanuar (2009) juga
menunjukkan sorgum varietas kawali yang disosoh selama 20 dtk/200 g dan
jewawut (milet) yang disosoh selama 100 dtk/200 g dengan total fenol berturutturut 3.38 mg TAE/g biji, 3.51 mg TAE/g biji memiliki aktivitas antioksidan
berturut-turut 6.68 mg AEAC/g biji, 4.73 mg AEAC/g biji.
Pernyataan adanya metabolisme dan terserapnya komponen fenolik dalam
jaringan seperti hati didukung oleh penelitian yang telah dilakukan Vaya &
Aviram (2002) yang menyebutkan aktivitas polifenol secara in vivo sangat
ditentukan oleh bioavailabilitasnya, sedangkan penyerapan fenol sangat ditentukan
oleh struktur kimia melalui derajat glikosilasi, berat molekul dan tingkat berikatan
atau konjugasi dengan fenol atau polifenol lainnya. Metobolisme polifenol paling
banyak terjadi di hati (Manach et al. 2005). Fernandes dan Donovan (2005)
menyebutkan dalam proses terapi dengan jus rumput gandum (wheat grass juice)
pada penderita anemia, senyawa fenolik dapat terserap dengan ditemukan dalam
darah dan memiliki sifat antioksidan. Hasil penelitiannya juga menunjukkan
senyawa fenolik pada jus rumput gandum dapat meningatkan umur hidup (life
span) sel darah merah (red blood cells). Senyawa fenolik pada jus rumput gandum
62
tersebut lebih bersifat mencegah kerusakan sel daripada memperbaiki sel darah
merah yang telah rusak.
Aktivitas antioksidan perlakuan kontrol (KO) sebesar 20.39% atau tidak
nol walaupun tidak diberi pakan yang mengandung sorgum atau jewawut dapat
diduga aktivitas antioksidan yang terjadi tidak semata-mata karena adanya
konsumsi pakan yang mengandung komponen fenolik dari sorgum dan jewawut.
Dalam tubuh secara alami dari reaksi biologis yang menghasilkan radikal bebas
seperti ROS dan RNS sehingga secara alami pula tubuh memiliki pertahanan
terhadap efek radikal bebas tersebut melalui aktivitas antioksidan yang dapat
berasal dari vitamin C dan E (Veliky et al. 2001). Aktivitas antioksidan dengan
metode DPPH yang terjadi pada kontrol juga didukung dengan penelitian Erniati
(2007) yang menyebutkan aktivitas antiradikal dengan metode DPPH secara in
vivo pada manusia didapatkan perlakuan kontrol atau tanpa konsumsi minuman
bubuk kakao bebas lemak yang mengadung komponen fenolik ditemukan juga
aktivitas antiradikal berkisar 17.5%.
Pada kelompok sorgum 50% menunjukkan peningkatan yang nyata
(P<0.05) dibandingkan dengan sorgum 100% jewawut 50% dan 100% diduga
jumlah komponen fenolik pada sorgum 50% di hati dalam keadaan keseimbangan
antara radikal bebas atau ROS dengan antioksidan sehingga aktivitasnya lebih
efektif. Kelebihan antioksidan dapat bersifat prooksidan, yang dapat menurunkan
sifat antioksidannya, sedangkan kekurangan antioksidan menimbulkan aktivitas
menangkap radikal bebas rendah karena jumlah radikal bebas yang ada lebih besar
dari jumlah antioksidan yang tersedia. Menurut Tiwari (2001) prooksidan dapat
memicu peningkatan radikal bebas atau menurukan kemampuan scavenger
antioksidan. Kekurangan antioksidan juga dapat meningkatkan jumlah radikal
bebas karena tidak cukup dalam menangkal radikal bebas yang ada. Menurut Hall
& Cuppett (1997) hasil produk radikal antioksidan (A*) setelah bereaksi dengan
radikal peroksida (ROO*) selama proses oksidasi dapat terjadi sangat cepat dan
sewaktu-waktu dapat berkontribusi menjadi pembentuk radikal bebas.
Terjadinya peningkatan yang berbeda nyata pada sorgum 50% juga diduga
kecilnya peluang konjugasi dengan polifenol lain atau makromolekul yang dapat
mengganggu penyerapan komponen fenolik sehingga jumlah antioksidan hati
tidak terpenuhi untuk menangkap radikal bebas atau ROS. Vaya & Aviram (2001)
yang menyebutkan aktivitas polifenol secara in vivo sangat ditentukan oleh
63
bioavailabilitasnya, sedangkan penyerapan fenol salah satunya sangat ditentukan
oleh tingkat konjugasi dengan komponen fenolik atau senyawa polifenol lainnya
dan makromolekul. Dugaan berikutnya jumlah radikal bebas atau ROS yang ada
dalam jumlah yang tidak banyak sehingga jumlah antioksidan yang diperlukan
paling efektif pada sorgum 50%. Kondisi ini terjadi karena tikus uji tidak
diberikan tindakan atau stressing yang dapat meningkatkan jumlah radikal bebas
atu ROS. Menurut Priyadarsini (2005) aktivitas antioksidan ada karena adanya
radikal bebas atau ROS. Antioksidan adalah substansi kimia dalam jumlah rendah
dapat mencegah oksidasi seluler organel dengan meminimalkan kerusakan sel
akibat adanya ROS/RNS.
Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH pada kondisi tikus normal,
pada sorgum dipengaruhi secara nyata terhadap jumlah yang dikonsumsi,
sedangkan pada jewawut tidak dipengaruhi secara nyata.
Mekanisme komponen fenolik sorgum dan jewawut yang mengandung
beberapa jenis senyawa fenolik sebagai antioksidan memang belum diteliti dalam
penelitian ini. Menurut Hall & Cuppet (1997) mekanisme antioksidasi fenolik
dapat melalui 3 mekanisme yaitu: (1) memotong rantai radikal bebas dengan sifat
scavenger atau sebagai donor elektron. Antioksidan akan memotong rantai radikal
bebas dengan jalan mencegah reaksi LH dengan LOO* sehingga terbentuk radikal
fenolsil (ArO*), kemudian radikal fenolsil bereaksi
dengan LO* menbentuk
senyawa yang tidak radikal (persamaan reaksi 11,12); (2) mengkelat senyawa
logam (chelating metal) dimana antioksidan mengikat logam sehingga mencegah
pembentukan radikal bebas seperti dalam dekomposisi H2O2 (persamaan reaksi
13); (3) menangkap singlet oksigen (1O2) atau bersifat querching melalui transfer
energi antara antioksidan dengan 1O2 membentuk 3O2, kemudian antioksidan
bereaksi dengan 1O2 membentuk produk stabil (persamaan reaksi 14,15). Aktivitas
antioksidan dapat juga terjadi karena adanya kerja yang sinergis diantara beberapa
antioksidan. (Hall & Cuppet 1997).
ArOH + LOO*
LOOH + ArO*
(11)
ArO* + LO*
LOO-ArO
(12)
ArOH + M
AOH-M
(13)
ArOH +1O2
3O2 (tidak reaktif)
(14)
ArOH + 1O2
produk stabil
(15)
64
Dengan demikian mekanisme komponen fenolik meningkatkan aktivitas
antioksidan melalui mekanisme tersebut.
Aktivitas antioksidan pada organ hati selain dengan persen aktivitas
antioksidan dinyatakan juga dalam bentuk AEAC (Ascorbic
acid Equivalent
Antioxidant Capacity) dan TEAC (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity).
Perhitungan AEAC dengan menggunakan kurva standar asam askorbat
sedangakan TEAC menggunakan kurva standar tokoferol. Aktivitas antioksidan
(%) dimasukkan sebagai faktor ‘y’ pada persamaan linier kurva standar asam
askorbat atau vitamin E, akan diperoleh aktivitas antioksidan yang dinyatakan
dalam mg AEAC/g bahan atau mg TEAC.g bahan. Kurva standar asam askorbat
(Lampiran 9c) dan tokoferol (Lampiran 9f). Hasil kapasitas antioksidan dalam
bentuk AEAC dan TEAC dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Kapasitas antioksidan hati pada setiap kelompok tikus dibandingkan
dengan asam askorbat (AEAC) dan trolox (TEAC).
Gambar 16 menunjukkan aktivitas antioksidan AEAC dan TEAC tertinggi
pada kelompok sorgum 50% berturut-turut sebesar 0.228 mg/g bahan dan 0.263
mg/g bahan. Hal ini berarti dalam 1 gram sorgum 50% terdapat 0.228 mg asam
askorbat (vitamin C) dan 0.263 mg tokoferol (vitamin E). Dalam konsumsi 100
gram sorgum per hari maka akan didapatkan 22.8 mg vitamin C dan 26.3 mg.
Kebutuhan asam askorbat (vit C) adalah 60 mg/hari (FAO 2006)
65
Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH pada sorgum 50% sebesar
28.17% setara dengan aktivitas antioksidan AEAC (vitamin C) sebesar 228µg/g
bahan dan aktivitas antioksidan TEAC (vitamin E) sebesar 263 µg/g bahan.
Berdasarkan hasil statistik pemberian pakan yang mengandung 50%, 100%
sorgum, 50% dan 100% jewawut menunjukkan peningkatan aktivitas antioksidan
dalam bentuk AEAC dan TEAC yang nyata (P<0.05) dibandingkan kontrol
(Lampiran 9d, 9e, 9g dan 9h). Konsumsi 50%, 100% sorgum, 50% dan 100%
jewawut dapat meningkatkan aktivitas antioksidan vitamin C dan vitamin E
dibandingkan kontrol diduga komponen fenolik sorgum dan jewawut bekerja
sinergis dengan antioksidan vitamin C dan vitamin E pada jaringan hati sehingga
aktivitas antioksidan meningkat.
Pada perlakuan kontrol terdapat aktivitas antioksidan 0.151 mg/g bahan
(AEAC) dan 0.186
mg /g bahan (TEAC) berkaitan dengan hasil pengujian
aktivitas (%) antioksidan pada kelompok tikus kontrol sebesar 20.39%. Hal ini
mendukung bahwa adanya aktivitas antioksidan tidak semata-mata hanya karena
adanya komponen fenolik tetapi akibat adanya nutrisi vitamin C (asam askorbat)
dan vitamin E (tokoferol). Hal tersebut juga menggambarkan bahwa aktivitas
antioksidan akibat adanya vitamin C dan E berturut-turut sebesar 0.151 mg/g
bahan dan 0.186 mg/g bahan.
Kadar Malondialdehida (MDA) Hati
Hussain (2001) yang menyebutkan kadar molondialdehida (MDA) dapat
digunakan untuk mengestimasi laju peroksidasi lipida. Hal ini disebabkan adanya
kandungan senyawa asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA= Poly
Unsaturated Fatty Acid) yang mudah teroksidasi dan menghasilkan produk
oksidasi, salah satunya MDA. Prinsip kerja dari penentuan MDA adalah adanya
reaksi MDA dengan asam tiobarbutirat (TBA) membentuk warna pink yang
dibaca pada spektofotometer pada panjang gelombang 532 nm (Singh et al. 2002).
Dalam perhitungannya menggunakan tetraetoksipropana (TEP) sebagai stadar.
Kurva standar TEP dapat dilihat pada Lampiran 10a sedangkan pembuatan
konsentarasi standar TEP dapat pada Lampiran 16.
Hasil penelitian terhadap kadar MDA hati menunjukkan pemberian pakan
yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dapat
66
menurunkan kadar MDA hati dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan analisis
statistik penurunan kadar MDA pada perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50%
dan 100% berbeda secara nyata (P<0.05) dibandingkan kontrol (KO). Perlakuan
kelompok
sorgum
50%
menunjukkan
penurunan
yang
nyata
(P<0.05)
dibandingkan dengan sorgum 100%, jewawut 50% dan 100% (Lampiran 10b, 10c)
Hasil rata-rata kadar MDA pada setip perlakuan tikus dapat dilihat Gambar 17.
Gambar 17 Rerata kadar MDA hati pada setiap kelompok tikus.
Gambar 17 menggambarkan kadar MDA terendah pada perlakuan sorgum
50% (S-50) sebesar 18.01 ρmol/g dan tertinggi pada perlakuan kontrol (KO)
sebesar 23.03 ρmol/g. Penurunan kadar MDA dibandingkan kontrol pada
perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50%, 100% berturut-turut sebesar 23%,
16%, 13% dan 14%.
Terjadinya penurunan kadar MDA dibandingkan kontrol diduga karena
efek konsumsi pakan yang mengandung sorgum dan jewawut yang dapat
meningkatkan aktivitas antioksidan atau seiring dengan hasil data akitivitas
antioksidan dengan DPPH yang meningkat. Penurunan kadar MDA ini dapat
diduga disebabkan senyawa fenolik pada sorgum dan jewawut dapat menekan
oksidasi lipida pada asam lemak jenuh rantai panjang (PUFA). Dengan demikian
salah satu produk oksidasi seperti MDA ini akan menurun. Menurut Ceuvas dan
Germain (2004) keuntungan adanya antioksidan seperti polifenol adalah dapat
menurukan kerusakan oksidatif dengan berkurangnya kadar MDA. Tokyol et al.
67
(2006) juga menyebutkan kadar MDA yang tinggi pada penderita kerusakan hati
(ischeamia reperfusion) mengalami penurunan setelah mengkosumsi komponen
fenolik seperti quercetin (flavonoid). Hal ini terjadi karena kapasitas antioksidan
hati meningkat.
Penurunan kadar MDA yang nyata (P<0.05) pada kelompok sorgum 50%
dengan sorgum 100%, jewawut 50% dan 100% diduga disebabkan adanya
aktivitas antioksidan komponen fenolik pada kelompok sorgum 50% bekerja lebih
efektif atau optimum pada kondisi normal atau tambah penambahan stressing
sehingga reaksi peroksidasi lipida dan pemecahan prostaglandin (enzimatis dan
non enzimatis) yang mengahsilkan MDA dapat ditekan. Mekanisme pencegahan
pembentukan MDA oleh aktivitas antioksidan dari komponen fenolik sorgum dan
jewawut tidak diteliti sehingga perlu penelitian lebih lanjut.
Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase (SOD) Hati
Superoksida dismutase (SOD) merupakan salah satu enzim antioksidan
seluler yang termasuk antioksidan intraseluler (Gutteridge 1995). Peranan SOD
menangkal radikal bebas superoksida (O2*) menjadi H2O2 yang masih bersifat
radikal bebas namun sifat radikalnya lebih rendah dari radikal bebas superoksida
(O2*) (Halliwel 1994).
Penentuan SOD yang dilakukan pada penelitian ini mengunakan xantin
dan xantin oksidase sebagai penghasil radikal superoksida. Radikal superoksida
akan bereaksi dengan garam tetrazolium (berwarna kuning) menjadi formazan
berhwarna biru. Aktivitas enzim SOD yang tinggi ditandai dengan banyaknya
radikal superoksida yang dinetralisir atau semakin rendahnya jumlah formazan
yang terbentuk. Hal ini menyebabkan semakin rendahnya nilai absorbansi pada
sfektofotemeter dengan panjang gelombang 560 nm.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan yang mengandung
sorgum dan jewawut dapat meningkatkan aktivitas enzim SOD dibandingkan
kontrol. Berdasarkan analisis statistik kelompok sorgum 50%, 100%, jewawut
50% dan 100% menunjukkan peningkatan yang nyata (P<0.05) dibandingkan
dengan kontrol (KO). Sorgum 50% menunjukkan peningkatan yang berbeda nyata
(P<0.05) dibandingkan kelompok sorgum 100%, jewawut 50% dan100%
68
(Lampiran 11a, 11b). Hasil rata-rata setiap perlakuan terhadap aktivitas enzim
SOD dinyatakan dalam persen dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Rerata aktivitas enzim SOD hati pada setiap kelopmpok tikus.
Gambar 18 menunjukkan aktivitas SOD tertinggi pada kelompok
perlakuaan sorgum 50% (S-50) sebesar 39.79% sedangkan aktivitas terendah pada
kelompok perlakuan kontrol (KO) sebesar 20.12%. Peningkatan aktivitas SOD
pada kelompok perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan dibandingkan
kelompok perlakuan kontrol (KO) berturut-turut sebesar 21%, 18%, 17% dan,
18%.
Peningkatan aktivitas SOD pada sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan
100% yang berbeda nyata (P<0.05) dengan kontrol diduga ada hubungannya
dengan peningkatan aktivitas antioksidan (DPPH) dan penurunan kadar MDA. Hal
ini karena adanya sifat antioksidan dari komponen fenolik sorgum dan jewawut
yang dapat menangkal radikal bebas sehingga oksidasi lipida dapat dicegah dan
pembentukan MDA akan menurun, kemungkinan terjadinya stres oksidatif yang
dapat menimbulkan kerusakan sel dan kerusakan membran sel pada hati dapat
dihindari sehingga dapat melindungi aktivitas enzim SOD hati. Hussain (2001)
menyebutkann terjadinya peningkatan aktivitas SOD pada hati tikus karena
adanya penurunan MDA setelah diberi toksik insektisida Chlorfenvinphos dalam
waktu 24-48 jam. Menurut Aruoma et al. (1997) komponen fenolik dapat bersifat
antioksidan secara in vivo melalui mekanisme langsung mendonorkan elektron
69
kepada radikal bebas khususnya pada membran sel dan sitoplasma sehingga dapat
menurukan oksidasi lipida sehingga menyebabkan kadar MDA menurun,
kerusakan sel tidak terjadi dan aktivitas enzim SOD tidak terganggu.
Peningkatan SOD ini dapat pula diduga karena efek pemberian sorgum dan
jewawut, yang memiliki keanekaragaman jenis komponen fenolik yang bersifat
antioksidan dan kemungkinan ada komponen fenoliknya tersebut yang dapat
bekerja sinergis dengan enzim SOD dalam menangkal radikal superoksida. Dalam
metode ini pada sorgum dan jewawut absorbansi yang didapat lebih rendah dari
kontrol karena kristal formozan yang berwarna biru lebih sedikit terbentuk akibat
komponen fenolik yang dapat mencegah terbentuknya kristal formazan dengan
kemampuan menangkap radikal superoksida (O2*) sehingga absorbansi yang
didapat kecil dan aktivitas antioksidan enzim SOD akan lebih tinggi. Hasil ini
mendukung penelitian yang dilakukan Karamac et al. (2005); Lin et al .(2005)
yang menyebutkan asam ferulat dapat menangkal radikal superoksida. Dengan
demikian asam ferulat tersebut dapat membantu enzim SOD dalam menangkal
radikal superoksida.
Dugaan yang lain komponen fenolik sorgum dan jewawut yang memiliki
bioavailabilitas dan kereaktifan yang tinggi atau dapat teroksidasi yang dapat
menginduksi gen pembentuk enzim SOD untuk berproduksi. Menurut Maskaug et
al. (2005) penginduksian gen enzim antioksidan memerlukan bentuk komponen
fenolik yang
teroksidasi sehingga dapat menginduksi antioxidant receptor
element (ARE) menginduksi DNA untuk membentuk enzim antioksidan.Menurut
Hall dan Cuppett (1997) yang menyebutkan komponen fenolik seperti asam
ferulat, cafeat, ρ-caumarin, sinapat dan flavonoid yang terdapat pada sorgum dan
jewawut memiliki reaktifitas yang tinggi. Komponen fenolik yang memiliki
reaktifitas yang tinggi dapat mengepresikan gen enzim antioksidan seperti MnSOD (pada mitokondria) atau Cu/Zn-SOD (pada sitoplasma) sehingga
aktivitasnya meningkat (Aruoma et al. 1997). Menkanisme ini memang belum
jelas perlu kajian lebih lanjut.
Menurut
Kern et al. (2003) asam fenolik seperti asam ferulat yang
terdapat pada serealia dapat diserap dalam jumlah banyak di usus halus dan hanya
sedikit
membentuk komplek dengan arabinosilan yang diserap di usus besar
setelah dihidrolisis.
70
Aktivitas SOD pada sorgum 50% berbeda secara nyata (P<0.05) dengan
sorgum 100%, jewawut 50% dan 100% diduga kuantitas komponen fenolik dapat
bekerja lebih efektif karena kemungkinan jumlah radikal bebas atau ROS seperti
radikal superoksida (O2*) dalam jumlah yang seimbang dengan antioksidan pada
sorgum 50%. Dugaan lain ketersediaan radikal bebas dalam jumlah yang tidak
berlebih karena tikus uji pada kondisi yang normal tidak diberi tindakan stressing
agar radikal bebas atau ROS meningkat. Dugaan berikutnya komponen fenolik
dapat bersifat sinergis dengan enzim SOD dalam menangkap radikal superoksida
dan kemungkinan komponen fenolik seperti asam felurat yang membentuk
komplek dengan arabinosilan atau protein lebih kecil sehingga penyerapan di hati
sebagai antioksidan lebih baik. Pada kelebihan komponen fenolik dapat sebagai
prooksidan yang memacu terbentuknya radikal bebas dan menurunkan sifat
scavenger antioksidan dan pada jumlah rendah akan kurang aktivitasnya karena
jumlah radikal bebas atau ROS lebih banyak dibandingkan antioksidan yang ada
(Heim et al. 2002). Penurunan sifat antioksidan tentu akan mengurangi
perlindungan aktivitas SOD, sehingga aktivitasnya dapat menurun.
Aktivitas Enzim Katalase (CAT) Hati
Prinsif kerja enzim katalase (CAT) adalah memecah radikal hidroksi
peroksida (H2O2) menjadi produk yang stabil. Pada penentuan aktivitas enzim
CAT ini sumber radikal berasal dari H2O2 yang ditambahkan dalam kondisi
pertumbuhan enzim CAT yaitu buffer kalium fosfat pH 7. Prinsif dari metode ini
H2O2 akan bereaksi dengan senyawa kalium membentuk warna kekuningan.
Berdasarkan analisis statistik terjadi peningkatan aktivitas enzim katalase
yang nyata (P<0.05) antara perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan
100% dibandingkan dengan kontrol. Sorgum 50% berbeda secara nyata (P<0.05)
dengan sorgum 100%, jewawut 50% dan 100%. Sorgum 100% berbeda secara
nyata (P<0.05) dengan kelompok jewawut 50% (Lampiran 12a, 12b). Hasil
penelitian aktivitas enzim katalase menunjukkan pemberiam pakan yang
mengandung 50%, 100% sorgum, jewawut 50% dan 100% dapat meningkatkan
aktivitas enzim katalase (CAT) dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata aktivitas
enzim katalase setiap kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 19.
71
Gambar 19 Rerata aktivitas enzim CAT hati pada setiap kelompok tikus.
Gambar 19 menggambarkan aktivitas enzim katalase tertinggi pada
perlakuan
sorgum 50% sebesar 25.21 U/ml dan terendah pada kelompok
perlakuan kontrol sebesar 19.71 U/ml. Peningkatan yang terjadi pada perlakuan
sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dibandingakan kontrol berturut-turut
sebesar 28%, 20%, 14% dan 16%..
Terjadinya peningkatan aktivitas katalase pada perlakuan sorgum 50%,
100%, jewawut 50%, 100% dibandingkan kontrol diduga adanya komponen
fenolik
sorgum
dan
jewawut
yang
bersifat
antioksidan
yang
dalam
metabolismenya dapat terserap dan tertahan dalam jaringan hati. Mekanisme
senyawa fenolik sebagai antioksidan melalui mekanisme scavenger
atau
menagkap radikal bebas atau ROS sehingga membentuk produk yan stabil atau
bersifat tidak radikal. Kondisi ini menyebabkan tidak terjadi kerusakan sel atau
kerusakan protein yang diperlukan dalam sintesa enzim katalase sehingga dapat
melindungi atau memperpanjang aktivitas CAT dalam pemecahan H2O2 menjadi
H20 dan O2. Menurut Ben Best (2009) meningkatnya umur hidup (life span) CAT
dapat disebabkan berkurangnya kerusakan protein dan sistem imun yang baik
salah satunya meningkat aktivitas proliferasi.
Kemungkinan lain diduga komponen fenolik seperti asam ferulat, ρcaumarin, asam sinamat dan flavonoid yang memiliki potensi antioksidan dan
daya reaktivitas yang tinggi serta dapat sinergis dengan komponen fenolik lainya
72
yang bersifat antioksidan (Dicko et al. 2006). Kereaktifan antioksidan yang tinggi
dapat berperan dalam mekanisme pengepresian gen pengkode enzim katalase.
Menurut Aruoma et al. (1997) menyebutkan komponen fenolik yang memiliki
reaktifitas yang tinggi dapat mengekspresikan gen enzim antioksidan katalase
sehingga aktivitasnya meningkat namun mekanismenya belum jelas perlu kajian
lebih lanjut.
Aktivitas CAT pada kelompok perlakuan sorgum 50% menunjukkan
peningkatan yang berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok sorgum
100% , jewawut 50% dan 100% diduga komponen fenoliknya bekerja lebih efektif
sehingga tidak menimbulkan kelebihan atau kekurangan sebagai antioksidan.
Pemecahan rantai ROS dan pengkelat logam dapat menekan akumulasi
ROS. Akumulasi ROS inilah yang menyebabkan stres oksidasi. Menurut Jaen et
al. (2007) menurunya aktivitas enzim antioksidan seperti katalase disebabkan
tingginya stres oksidasi. Menurut Ben Best (2009) enzim CAT dapat memecah
atau memindahkan hidrogen peroksida dalam jumlah kecil. Sehingga untuk
melindungi aktivitasnya tidak memerlukan jumlah antioksidan yang berlebih.
Hasil oksigen dari katalase akan menyebabkan oksidasi lipida ke tahap inisiasi
sehingga mekanisme antioksidan ini merupakan mekanisme cascade (Turner &
Lysak 2008).
Perbedaan yang nyata (P<0.05) pada jewawut 50% dibandingkan dengan
sorgum 50% dan 100% dan tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan jewawut 100%
diduga kandungan komponen fenolik jewawut 50% lebih sedikit sehingga sifat
antioksidan yang ada masih kurang dalam menangkal ROS/RNS. Kemungkinan
lain lebih rendahnya komponen antinutrisi seperti asam fitat pada kelompok
jewawut 50% dibandingkan kelompok sorgum 50% dan 100%. Menurut Leder
(2004) komponen asam fiat pada jewawut umumnya lebih rendah dari sorgum.
Komponen antinutrisi seperti asam fitat dapat membantu mengkelat logam-logam
seperti Fe sehingga tidak terbentuk radikal hidroksi (OH*) dan dapat membantu
aktivitas enzim katalase dalam merubah H2O2 menjadi H20 dan O2 yang bersifat
stabil dan tidak terjadi akumulasi ROS (Vaya dan Aviram 2001). Menurut
Haliwell & Gutteridge (1999) enzim katalase disusun oleh 4 sub unit protein. Tiap
sub unit terdiri dari satu gugus hem dengan inti ion feri (Fe2+) sebagai sisi aktif
(active side. Dengan demikian enzim katalase memiliki kemampuan mengelat
logam Fe sehingga dapat menekan pembentukan radikal bebas.
73
Aktivitas Enzim Glutation Peroksidase (GPx) Hati
Glutation peroksidase (GSH-Px/GPx) merupakaan enzim peroksidase yang
ada dalam tubuh yang mengandung selenosistein, menggunakan glutation sebagai
pendonor elektron, aktif dengan hidrogen peroksida dan substrat hidroperoksida
organik. GPx menggunakan glutation tereduksi (GSH) sebagai substrat dan enzim
reduktase NADPH (Muchtadi 2009). Prinsif kerja metode yang mengacu Flohe &
Gunzler (1984) dalam penentuan aktivitas GPx melaui mekanisme transfer
elektron sehingga akan terjadi perubahan warna kekuningan menjadi warna ungu
setelah 30 menit. Semakin tinggi waran ungu maka absorbansi yang terbaca
semakin besar.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian pakan yang mengandung 50%,
100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dapat meningkatkan aktivitas enzim
glutation peroksidase (GPx) dibandingkan kontrol (Gambar 20).
Gambar 20 Rerata aktivitas enzim glutation peroksidase hati pada setiap
kelompok tikus.
Gambar 20 menunjukkan bahwa aktivitas enzim GPx mengalami
peningkatan tertinggi pada perlakuan sorgum 50% sebesar 24.58 U/mg, terendah
pada perlakuan kontrol sebesar 16.77 U/mg. Peningkatan aktivitas GPx
dibandingkan kontrol pada perlakuan sorgum 50%, 100% , jewawut 50% dan
100% berturut-turut sebesar 47% 33%, 29% dan 33%.
74
Berdasarkan analisis statistik aktivitas enzim GPx pada sorgum 50%,
100%, jewawut 50% dan 100% menunjukkan peningkatan yang nyata (P<0.05)
dibandingkan dengan kontrol. Kelompok perlakuan sorgum 50% berbeda secara
nyata (P<0.05) dibandingkan dengan sorgum 100% , jewawut 50% dan 100%
(Lampiran 13a,13b)
Peningkatan aktivitas GPx yang berbeda nyata (P<0.05) pada perlakuan
sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dibandingkan kontrol diduga
komponen fenolik sorgum dan jewawut yang memiliki sifat antioksidan yang
dalam metabolismenya dapat diserap dan tertahan di jaringan hati dapat mencegah
terjadinya stres oksidasi pada sel hati. Mekanisme aktivitas antioksidan senyawa
fenolik umumnya melalui mekanisme scavenger atau menagkap radikal bebas dari
hasil metabolism tubuh, oksidasi lipida dan pembentukan prostaglandin.
Peningkatan ini diduga komponen fenolik sorgum dan jewawut seperti
golongan flavonoid yang mampu mengekspresikan gen enzim GPx (Moskaug et
al. 2004).
Menurut Moskaug et al. (2005)
mekanisme quercetin termasuk
flavonoid menginduksian ARE melalui mekanisme berantai (cascade). Quercetin
atau flavonoid yang masuk ke sitoplasma sel akan mengalami oksidasi menjadi
quinon
atau active metabolite. Quinon atau active metabolite ini dapat
mengoksidasi gugus tiol (-SH) pada Kaep1 sehingga menjadi ikatan disulfida (SS). Kaep1 akan teroksidasi yang mengakibatkan translokasi Nrf-1/2 ke nukleus
kemudian berikatan dengan ARE/EpREs dan menginduksi gen presentesis
antioksidan seperti glutation (GSH), oleh karena itu jumlah GSH akan meningkat.
Nrf ½ dapat berikatan dengan DNA apabila sistem seluler tereduksi. Kondisi
tersebut dipertahankan oleh antioksidan dalam sitosol misal tioredoksin 1 (TRX
1) (Gambar 21).
Kaep1 adalah suatu protein pada sitokeleton, merupakan pengatur
transkripsi gen melalui Nrf 1 dan 2 (nuclear factor erythroid 2 p-45 related
factor1 dan 2). Nrf 1/Nrf 2 adalah faktor transkripsi yang mengatur ARE/EpREs
(antioxidant/electrophil respone element). ARE/EpREs sendiri merupakan sekuen
nukleotida yang bertanggung jawab dalam sintesa antioksidan seperti glutation
(GSH) (Moskaug et al. 2005).
75
Gambar 21 Mekanisme mengepresian kommponen fenolik seperti quercetin sorgum dan
jewawut dalam pengekspresian gen antioksidan (Moskaug et al. 2004; 2005).
Peningkatan GSH akan berkaitan dengan peningkatan enzim glutation
peroksidase (GPx). GSH dan GPx bekerjasama dalam mengurangi peroksida
lipida (LOOH), dimana GSH sebagai sumbstrat melalui mekanisme :
GPx
LOOH + GSH
LOH + H2O + GSGS.
Terjadinya perbedaan yang nyata (P<0.05) pada sorgum 50% (S-50)
dengan sorgum 100% , jewawut 50% dan 100% diduga komponen fenolik bekerja
dengan efektif sebagai antioksidan dan pengepresi gen enzim GPx pada kondisi
tubuh tikus yang normal atau sehat.
Download