HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Tikus Percobaan Tikus percobaan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley jantan berumur delapan minggu, memiliki berat badan 265.71±13 gram, berjumlah 35 ekor tikus dan berasal dari BPOM. Penggunaan tikus Sprague Dawley karena tikus ini mudah didapat dan banyak digunakan dalam penelitian imunitas. Tikus Sprague Dawley dikandangkan pada jenis kandang biasa secara individual. Kadang terbuat dari bahan plastik. Kondisi gelap terang kandang secara alami atau tidak ada pengaturan lampu 12 jam gelap dan 12 jam terang, suhu ruangan kandang sebesar 23 oC. Menurut Muchtadi (1989) suhu optimum ruangan untuk tikus percobaan berkisar 22 oC - 24 oC. Tikus Sprague Dawley mengalami masa adaptasi selama dua minggu. Masa adaptasi bertujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru atau lingkungan laboratorium, mengamati apakah tikus terus digunakan atau tidak dalam percobaan misalnya tidak sakit dan berprilaku normal dan menyeragamkan kondisi tikus sebelum diberi perlakuan (Muchtadi 1989). Selama masa adaptasi semua tikus diperlakukan sama, diberi makan pakan standar dan air (aqua) secara ad libitum. Pakan standar yang diberikan pada tikus mengacu kepada pakan standar america institute of nutrition (AIN 1976). Penggunaan pakan standar ini disebabkan sumber protein yang dianjurkan sebesar 20%. Protein ini sangat penting untuk pertumbuhan, mengganti sel-sel yang rusak, penting bagi ketersediaan hormon, enzim, protein darah, protein yang terlibat dalam replikasi, transkripsi dan perbaikan DNA serta sistem pertahanan tubuh (imunitas). Pakan yang diberikan pada tikus dalam bentuk bubuk, berjumlah 20 gram/ekor/hari. Pemberian pakan dalam jumlah 20 gram/ekor/hari sudah mencukupi kebutuhan konsumsi pakan tikus perhari untuk berat badan diatas 250 gram dan untuk menentukan jumlah pakan riil yang dikonsumsi setiap harinya. Pakan dan minum yang diberikan pada tikus setiap hari pada waktu yang sama yaitu pukul 06:00 – 08:00 WIB. Hal ini bertujuan untuk mengurangi variabilitas tikus. Pakan sisa ditimbang setiap hari untuk mengetahui konsumsi riil setiap hari. Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap dua hari yang bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan kesehatan tikus percobaan. Pembersihan 45 kandang dilakukan empat hari sekali disebabkan selama empat hari kondisi kandang baru kelihatan basah. Pada akhir masa adaptasi tikus Sprague Dawley dikelompok kedalam lima kelompok tikus sebagai perlakuan terdiri dari: (1) kelompok kontrol (KO) yaitu diberi pakan dengan sumber karbohidrat standar (maizena); (2) kelompok sorgum 50% (S-50) yaitu diberi pakan dengan sumber karbohidrat dari 50% sorgum dan 50% maizena; (3) kelompok sorgum 100% (S-100) yaitu diberi pakan dengan sumber karbohidrat dari 100% sorgum; (4) kelompok jewawut 50% (J-50) yaitu diberi pakan dengan sumber karbohidrat dari 50% jewawut dan 50% maizena; (5) kelompok jewawut 100% (J-100) yaitu diberi pakan dengan sumber karbohidrat dari 100% jewawut. Masing-masing kelompok tikus terdiri dari tujuh ekor sehingga jumlah tikus yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 35 ekor. Perlakuan pemberian pakan pada sumber karbohirat diatas pada tikus diberikan selama tujuh minggu termasuk waktu relatif agak lama karena kondisi tikus dalam kondisi normal tidak ada penambahan stress (stressing). Pakan perlakuan dan minum tikus diberikan dengan cara yang sama pada waktu masa adaptasi yaitu ad libitum. Pakan perlakuan diberikan pada tikus secara isokalori. Penimbangan sisa pakan yang dilakukan setiap hari bertujuan untuk mengetahui konsumsi pakan riil setiap hari. Hasil penimbangan konsumsi pakan tikus setiap hari selama pemeliharaan dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan rata-rata konsumsi pakan tikus pada setiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil penimbangan berat badan tikus yang dilakukan setiap dua hari, menunjukkan tidak semua tikus mengalami kenaikan berat badan setiap harinya, ada beberapa yang mengalami penurunan tetapi pada akhir perlakuan, semua berat badan tikus mengalami kenaikan berat badan. Hasil penimbangan berat badan tikus selama masa adaptasi dan perlakuan atau masa pemeliharaan dapat dilihat pada Lampiran 2. Kenaikan rata-rata berat badan pada setiap kelompok tikus dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Rata-rata dan standar deviasi berat badan, kenaikan berat badan dan konsumsi pakan pada setiap kelompok tikus Berat badan (g) Rata-rata konsumsi Perlakuan pakan/hari (g) Awal Akhir Kenaikan a a Kontrol 264.43±14.39 432.29±11.31 158.86±13.51 19.11 ±1.38a Sorgum 50% 267.29± 6.18 435.57±11.24a 168.29±12.24a 18.92 ± 1.74a a a Sorgum 100% 265.00±13.70 441.86±14.61 176.86±13.66 19.25 ± 0.98a a a Jewawut 50% 267.14±18.93 433.14±18.09 166.00±14.73 18.91 ± 1.61a Jewawut 100% 264.71±14.67 434.43±10.15a 169.71±15.50a 19.16 ± 1.10a Notasi huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan pada P<0.05 (DMRT) 46 Tabel 9 menunjukkan terjadi kenaikan berat badan pada setiap kelompok tikus perlakuan. Berdasarkan hasil statistik, kenaikan berat badan tikus pada semua kelompok tikus atau perlakuan tidak berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 3a, 3b). Kenaikan rata-rata berat badan tertinggi terjadi pada perlakuan sorgum 100% (S-100) sebesar 176.86±13.66 g dengan rata-rata konsumsi pakan 19.25 ± 0.98 g/ekor/hari, sedangkan terendah pada kontrol (KO) sebesar 158.86±13.51 g dengan rata-rata konsumsi pakan 19.11±1.38 g/ekor/hari. Tabel 9 juga menunjukkan jumlah konsumsi rata-rata pakan pada semua perlakuan, secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) (Lampiran 4a, 4b). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian 50%, 100% sorgum, 50%, 100% jewawut tidak mempengaruhi selera makan tikus. Pada akhir perlakuan hubungan kenaikan berat badan dengan rata-rata konsumsi pakan tikus tidak selalu memberikan hubungan yang berbanding lurus yaitu semakin banyak rata-rata konsumsi pakan per hari tikus, kenaikan berat badan tikus tidak lebih besar. Hal ini juga terjadi pada penelitian yang dilakukan Kaviarasan et al. (2008) pemberian fraksi flavonoid tikus percobaan pada perlakuan kontrol kenaikan berat badan 117.5±8.09 g dengan rata-rata konsumsi sebesar 25.83±1.09 g/ekor/hari, sedangkan pada perlakuan pemberian fraksi flavonoid kenaikan berat badan lebih rendah yaitu sebesar 68.33±6.06 g, padahal rata-rata konsumsi lebih besar yaitu 27.1±1.41 g/ekor/hari. Kecendrungan enaikan berat badan tikus yang tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah konsumsi pakan dapat diduga adanya perbedaan aktivitas dan tingkat penyerapan nutrisi pada tikus. Pertumbuhan tikus selama pemeliharaan digambarkan dalam bentuk grafik pertumbuhan yang dibuat dari hubungan berat badan tikus (g) dengan waktu pemeliharaan tikus dalam satuan hari. Grafik pertumbuhan tikus Sprague Dawley pada setiap kelompok tikus dapat dilihat pada Gambar 8. 47 Gambar 8 Grafik pertumbuhan tikus Sprague Dawley pada setiap kelompok tikus. Gambar 8 menunjukkan bahwa grafik pertumbuhan cendrung meningkat. Hal ini dapat diindikasikan bahwa pertumbuhan tikus selama pemeliharaan pada keadaan pertumbuhan yang baik. Grafik pertumbuhan ini sesuai dengan gambar grafik pertumbuhan tikus Sprague Dawley yang berdasarkan umur dari BPOM (Lampiran 5). Berdasarkan keadaan tersebut semua tikus selama pemeliharaan dalam kondisi sehat. Konsumsi pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50%, 100% jewawut selama tujuh minggu tidak memberikan efek yang negatif terhadap kesehatan seperti tidak menimbulkan keracunan, tidak mengganggu penyerapan nutrisi meskipun sorgum dan jewawut mengandung komponen antinutrisi seperti tanin. Tanin ini dikatakan dapat membentuk komplek dengan polisakarida, protein, mineral, asam lemak dan asam nukleat (Flores et al. 1994). Sifat komplek tanin yang dapat mengikat protein dan polisakarida akan menyebabkan daya absorbsi komponen nutrisi tersebut berkurang yang dapat menurunkan berat badan (Nyachoti et al. 1997). Komponen antinutrisi seperti tanin juga dapat mempengaruh sifat sensori sorgum dan jewawut. Sifat sensori tersebut akan mempengaruhi selera makan. Menurut Rooney dan Deykes (2007) tanin dapat menyebabkan rasa sepat atau astrigen pada pangan. Hasil penelitian ini diduga kandungan tanin sorgum dan jewawut belum mempengaruhi berat badan dan selera makan tikus karena kandungan senyawa antinutrisi seperti tanin tersebut 48 masih dalam jumlah normal atau tidak melebihi kebutuhan sehingga belum menurunkan penyerapan nutrisi serta belum menurunkan nilai sensori yang mengurangi selera makan. Rooney (2005) menyebutkan tanin dengan jumlah dibawah 5%-10% akan mengurangi kemungkinan membentuk komplek dengan komponen makromolekul yang dapat menggangu penyerapan nutrisi dan belum mempengaruhi nilai sensori seperti rasa sepat yang tidak disukai sehingga menurunkan selera makan. Menurut Singgih et al. (2006) kadar tanin sorgum varietas kawali sebesar 0.70% dan jewawut (milet) lebih rendah dari 0.7%. Efek pemberian sorgum kawali yang memiliki tanin 0.7% sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Darana (2005) yang menyebutkan ayam yang diberi pakan dengan kandungan tanin sampai 0.65%, tidak memberikan efek yang negatif terhadap kesehatan dan tidak menurunkan berat badan. Keadaan tikus yang sehat juga didukung dengan data hasil penimbangan berat organ hati dan ginjal tikus dan berat relatifnya. Hasil penimbangan berat organ hati dan ginjal pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Berat organ dan berat relatif organ hati dan ginjal tikus setiap kelompok tikus Parameter Kelompok Perlakuan Kontrol Berat organ (g/100g BB) Berat hati (g) 12.21±1.05a Barat relatif hati 2.89±0.002a Sorgum 50% Sorgum 100% Jewawut 50% Jewawut 100% 12.01±0.93a 2.76±0.002a 12.85±0.50a 2.91±0.002a 12.30±0.95a 0.0284±0.002a 12.16±0.85a 2.76±0.002a Berat ginjal (g) 2.31±0.20a 2.31±0.20a 2.49±0.25a 2.43±0.25a 2.46±0.29a Berat relatif ginjal 0.54±0.0003a 0.53±0.004a 0.56±0.0004a 0.0056±0.0004a 0.56±0.0004a Notasi huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan pada P<0.05 (DMRT) Tabel 10 menunjukkan bahwa berat organ hati dan ginjal serta berat relatif organ hati dan ginjal tikus yang diberi pakan 50%, 100% sorgum, 50%, 100% jewawut tidak berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan kontrol (Lampiran 6a, 6b, 6c, 6d,7a, 7b, 7c,7d). Berat relatif organ hati berkisar 2.76 - 2.91 g/100 g berat badan dan berat relatif ginjal berkisar 0.53 - 0.56 g/100 g berat badan. Hasil berat relatif organ hati dan ginjal tikus Sprague Dawey ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Prangdimurti (2007) yang menyebutkan berat relatif organ hati dan gijal tikus Sprague Dawley berturut-turut berkisarr 2.98 – 3.22 g/100 g berat badan, 0.53 – 0.56 g/100 g berat badan. 49 Proliferasi Sel limfosit Limfa Proliferasi merupakan fungsi fisiologis yaitu proses pembelahan secara mitosis dan diferensiasi sel sebagai respon terhadap antigen atau mitogen (Zakaria et al. 2003). Proliferasi limfosit merupakan suatu proses yang dapat mengindikasikan aktivitas respon imun spesifik yang berkaitan dengan suatu sistem imum. Sel limfosit yang dapat berproliferasi adalah sel B dan sel T. Pada awal proses proliferasi ini, sel B bertambah banyak dan berdiferensiasi menjadi sel plasma (efektor) dan sel memori, sedangkan sel T berdiferensiasi menjadi sel Th, Tc dan Ts. Sel B dan T merupakan bagian dari sel limfosit yang memiliki peranan dalam sistem imun spesifik. Sel T akan menghasilkan sitokin yang menginduksi sistem imun yang lain. Sel B akan menghasilkan antibodi dari sel plasmanya untuk melawan benda asing (antigen) yang dapat merugikan bagi kesehatan (Kuby 2006). Hal ini berarti dengan adanya proliferasi maka dapat memperbanyak jumlah sel B dan sel T atau sel limfosit sehingga kemampuan menghasilkan sitokin dan antibodi yang diperlukan untuk melawan antigen meningkat dan pertahanan tubuh (sistem imun) pun meningkat. Menurut Roitt dan Delves (2001) sistem imun itu bekerja secara terintegrasi atau tidak sendiri-sendiri. Penentuan aktivitas proliferasi sel limfosit limfa (splenosit) tikus setelah tujuh minggu masa perlakuan melalui proses isolasi sel limfosit limfa, perhitungan dan pengkulturan suspensi sel limfosit limfa. Penentuan proliferasi limfoit pada organ limfa ini disebabkan organ limfa merupakan organ limfoid sekunder. Organ limfoid sekunder ini memiliki fungsi menangkap dan mempresentasikan antigen dengan efektif, sel B dan sel T sudah dalam keadaan matang sehingga sudah siap untuk berproliferasi dan berdiferensiasi dan merupakan tempat utama produksi antibodi. Organ limfa juga merupakan tempat untuk saringan darah atau mikroba darah dibersihkan dalam limfa dan tempat respon imun utama terhadap antigen asal darah (Bratawidjaja 2006). Isolasi sel limfosit dilakukan dengan melisis sel eritrosit dan pencucian dengan medium RPMI 1640 sehingga didapatkan suspensi sel limfosit. Perhitungan sel limfosit limfa menggunakan metode biru trifan, hemasitometer dan mikroskop 400 kali. Hal ini bertujuan untuk mengetahui 50 bentuk dan jumlah sel yang hidup atau mati. Sel yang hidup tidak akan mengalami kerusakan membran sel sehingga biru trifan yang diberikan tidak dapat masuk ke dalam sel. Sel yang hidup akan tampak berbentuk bulat utuh dan bening. Pada sel yang mati terjadi sebaliknya, membran sel rusak, biru trifan dapat masuk kedalam sel sehingga sel mengkerut dan berwarna kebiruan (seperti warna biru trifan). Suspensi sel limfosit yang dikultur harus memiliki jumlah sel yang hidup sebesar 95%. Pengkulturan sel limfosit limfa dilakukan secara in vitro karena sel limfosit dapat tumbuh diluar tubuh hewan atau manusia (Lao et al. 2001). Jumlah sel yang dikultur sebesar 2 x 106 sel/ml didasari oleh penelitian yang telah dilakukan Krismawati (2007) dengan waktu kultur 72 jam. Pengkulturan sel secara in vitro ini memberikan keuntungan misalnya keadaan pertumbuhan lebih stabil dan karakteristik sel yang dikultur dapat diatur (Harrison 1997). Pengkulturan secara in vitro ini memerlukan kondisi lingkungan pertumbuhan hampir sama dengan in vivo (keadaan tubuh hewan atau manusia) seperti pH, suhu, udara dan asupan nutrisi (asam amino, vitamin, mineral, garam organik) sehingga proses biologis yang terjadi mendekati keadaan sebenarnya di dalam tubuh. Pengkulturan sel limfosit dilakukan dengan media RPMI 1640. Media ini mengandung nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan sel. Komposisi media RPMI 1640 dapat dilihat pada Lampiran 8a. Pada pengkulturan ini juga ditambahkan Fetal Bovine Serum (FBS) sebesar 10%. Penambahan serum ini bertujuan untuk menambah nutrien yaitu memberikan hormon-hormon penting untuk pertumbuhan, sebagai faktor penempel sel pada matrik tempat sel tumbuh (plate 96 sumur), protein, lipid serta mineral-mineral yang penting untuk pertumbuhan (Freshney 1994). Dalam media kultur juga ditambahkan antibiotik yang bertujuan untuk mengatasi kontaminasi mikroorganisme. Selain itu dalam media kultur juga ditambahkan NaHCO3 yang berfungsi sebagai buffer untuk mempertahankan pH yang diperlukan dalam pengkulturan sel limfosit (Freshney 1994). Pada pengkulturan sel limfosit limfa ini, ada yang ditambahkan mitogen. Mitogen yang digunakan dalam penelitian ini jenis lipopolisakarida (LPS) dari Salmonella thyphimurium. Penambahan LPS bertujuan memacu proliferasi karena LPS ini semacam antigen yang menginduksi terjadinya proliferasi. Menurut Watter et al. (2002) LPS adalah komponen membran luar bakteri gram negatif 51 yang dapat meningkatkan aktivitas sel imun. Mitogen ini akan mengaktivasi protein kinase ERK-1 (extraceluler regulated kinase -1) dan ERK-2 dan nuclear factor kappa β (NF-kβ) DNA yang memacu proses proliferasi sel dan beberapa respon imun lainnya seperti makrofage, sel T, sel B. Dalam pengujian proliferasi limfosit limfa sangat diperlukan kondisi yang steril untuk menghindari kontaminasi dan dilakukan segera setelah pembedahan hewan percobaan. Oleh karena itu pelaksanaannya dilakukan secara aseptis dan didalam ruang laminair flow steril. Kondisi pengkulturan sel limfosit dilakukan dalam inkubator CO2 yang diatur kondisinya suhu 37 oC, CO2 5%, udara 95% dan RH 97%. Kondisi ini dilakukan untuk mengupayakan kondisi yang sama dengan didalam tubuh. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan ELISA reader setelah diinkubasi selama 72 jam. Metode yang digunakan dalam pengujian proliferasi adalah metoda MTT (3-( 4.5- dimethylthiazol-2 yl)-2.5 diphenyl-tetrazolium bromide). Metode ini termasuk metode kolorimetri. Dalam metode MTT, empat jam sebelum akhir inkubasi ditambahkan senyawaa MTT yang berwana kuning bening. Prinsip kerjanya adalah senyawa MTT akan bereaksi dengan enzim suksinat dehidrogenase yang ada dalam mitokondria sel. Enzim ini dapat mengubah senyawa tetrazolium dari MTT untuk menghasilkan kristal formazan yang berwarna biru. Indikator jumlah sel limfosit hidup adalah nilai absorbansi dari kristal formazan, semakin banyak sel limfosit maka warna biru semakin kuat sehingga absorbansi yang terbaca semakin besar. Kesalahan metode MTT dalam pembacaan absorbansi dapat juga terjadi. Kesalahan ini dapat disebabkan adanya kontaminasi dari bakteri maupun kamir. Mitokondria sel bakteri dan khamir juga mengandung enzim suksinat dehidrogenase yang dapat bereaksi dengan garam tetrazolium dari MTT menghasilkan kristal formazan berwarna biru. Oleh karena itu, kontaminasi kultur sel limfosit dapat dihindari dengan pelaksanaan analisis yang sangat aseptis (Anonimus 2007). Penambahan HCL-isopropanol, pada saat akhir masa inkubasi atau sebelum diukur absorbansi dengan ELISA reader bertujuan untuk menghentikan aktivitas proliferasi sel limfosit sehingga stabil selama pengukuran absorbansi dan untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk sehingga memudahkan dalam pengukuran absorbansinya. 52 Penentuan proliferasi limfosit ditentukan melalui perhitungan indek stimulasi (IS) dengan mitogen LPS. Semakin tinggi indek stimulasi menandakan proliferasi limfosit semakin banyak atau semakin tinggi aktivitas proliferasi limfosit (Cambier 2000). Hasil isolasi sel limfosit limfa tikus dalam bentuk sel limfosit limfa sebelum dikultur dengan setelah berproliferasi dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil aktivitas proliferasi sel limfosit limfa tikus dalam bentuk nilai indek stimulasi (IS) dengan adanya mitogen LPS pada semua perlakuan dilihat pada Gambar 10. Data absorbansi dan IS setiap kelompok tikus dapat dilihat pada Lampiran 8b. (a) (b) Gambar 9 Jumlah sel limfosit limfa sebelum dikultur (a) dan setelah dikultur (b). Gambar 10 Rerata indek stimulasi (proliferasi) splenosit pada setiap kelompok tikus. 53 Gambar 10 menunjukkan bahwa pemberian pakan tikus yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dapat meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit dibandingkan kontrol. Berdasarkan uji statistik peningkatan proliferasi limfosit tersebut menunjukkan peningkatan yang nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol, sedangkan antara sorgum 100% (S-100), sorgum 50% (S-50), jewawut 100% (J-100) dan jewawut 50% (J-50) tidak berbeda nyata (Lampiran 8c, 8d). Pelakuan sorgum 50% (S-50) menunjukkan peningkatan proliferasi limfosit tertinggi dengan IS sebesar 3.46, terendah pada kelompok kontrol (KO) dengan IS sebesar 2.03. Hasil indek stimulasi pada penelitian ini berkisar dari 2.03-3.46 tidak jauh berbeda dengan hasil indek stimulasi ekstrak air daun kemuning pada taraf konsentrasi satu taraf dibawah normal, normal dan satu taraf diatas normal berkisar 2.75 – 3.67 secara in vitro pada darah manusia yang telah dilakukan oleh Krismawati (2007). Pada perlakuan sorgum 100% (S-100) dan sorgum 50% (S-50) proliferasi limfositnya dengan IS berkisar 3.32 - 3.46 sedangkan pada perlakuan jewawut 50% (J-50) dan jewawut 100% (J-100) berkisar 3.10 – 3.20. Hal ini menunjukkan aktivitas proliferasi limfosit pada pemberian pakan yang mengadung 50%, 100% sorgum ada kecendrungan indek stimulasi lebih besar dibandingkan dengan pakan yang mengandung 50%, 100% jewawut, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata antara perlakuan sorgum 50% ,100% , jewawut 50% dan 100%. Peningkatan proliferasi limfosit yang nyata (P<0.05) pada pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dibandingkan kontrol dapat diduga adanya kandungan komponen bioaktif seperti komponen fenolik misalnya asam fenolik dan flavonoid yang memiliki sifat antioksidan. Adanya sifat antioksidan dari komponen fenolik tersebut dapat melindungi sel limfosit dari stres oksidatif. Stres oksidatif ini dapat merusak sel limfosit sehingga aktivitas proliferasi limfosit terhambat. Menurut Dykes & Rooney (2006) sorgum dan jewawut memiliki komponen bioaktif berupa komponen fenolik seperti asam fenolik, flavonoid dan kondesat tanin yang memiliki sifat antioksidan. Hal ini didukung pula penelitian yang dilakukan Yanuar (2009) yang menyebutkan bahwa total fenol sorgum varietas kawali dengan waktu sosoh 20 detik/200 g biji sebesar 3.38 mg TAE/g biji memiliki aktivitas antioksidan sebesar 6.68 mg AEAC/g biji, jewawut (milet) dengan waktu sosoh 100 dtk/200 g total fenolnya sebesar 3.51 mg 54 TAE/g biji memiliki aktivitas antioksidan sebesar 5.34 mg AEAC/g biji. Sifat antioksidan senyawa fenolik yang menunjukkan peranan sebagai antiradikal atau antioksidan secara in vivo pada manusia telah dilakukan oleh Erniwati (2007) yang menyebutkan komponen bioaktif seperti polifenol pada bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan sifat antiradikal bebas pada sel limfosit manusia. Peningkatan proliferasi yang terjadi pada pakan yang mengandung sorgum dan jewawut juga didukung dengan penelitian yang dilakukan Yanuar (2009) yang menyebutkan secara in vitro sorgum dan jewawut memiliki potensi meningkatkan proliferasi limfosit darah manusia. Terjadinya aktivitas antioksidan senyawa fenolik sorgum dan jewawut yang dapat melindungi sel limfosit dari stres oksidatif diduga disebabkan senyawa fenolik tersebut setelah mengalami metabolisme dalam tubuh dapat diserap pada jaringan seperti organ limfa. Hal ini didukung Manach et al. (2005) yang menyebutkan setelah mengkonsumsi kopi yang banyak mengandung asam sinamat seperti kafeat. Kopi yang dikonsumsi setelah mengalami metabolisme hidrolisis, di dalam darah ditemukan ada asam kafeat. atau Selain asam kafeat ditemukan juga asam sinamat lainnya seperti asam ferulat, asam isoferulat, asam dihidroferulat, asam vanilat, asam 3-4 dihidroksi fenilpropionat, asam 3hidroksihifurat dan asam hifurat. Hasil penelitiannya juga menunjukkan, pada konsumsi serealia, yang banyak mengandung asam ferulat setelah mengalami metabolisme terjadi penyerapan paling banyak pada usus halus, hanya sedikit asam ferulat dalam bentuk terikat dengan arabinosilan yang ditemukan di kolon. Mekanisme komponen fenolik sorgum dan jewawut sebagai antioksidan dalam melindungi sel limfosit dari stress oksidatif atau meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit diduga melalui kemampuan senyawa fenolik mendonorkan elektron atau mekanisme menangkap (scavenger) radikal bebas atau ROS menjadi produk yang non reaktif dan kemampuan sebagai pengkelat logam (quencher) sehingga tidak memacu terbentuknya radikal bebas hidroksil (OH*) yang bersifat sangat reaktif merusak sel. Mekanisme scavenger senyawa antioksidan fenolik (ArOH) melalui pemberian elektron pada radikal peroksil (LOO*) sehingga radikal peroksil tidak bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh (LH) dan terbentuk radikal yang lebih stabil seperti hidroperoksida (LOOH) dan radikal fenoksil (ArO*) (reaksi 13), radikal fenoksil bereaksi dengan radikal alkosil (LO*) membentuk produk non radikal atau non reaktif (LOO-ArO) dan mekanisme 55 pengkelat logam (reaksi 14) (Hall & Cuppett 1997). Mekanisme komponen fenolik seperti asam ferulat atau komponen fenolik yang lain belum dilakukan sehingga masih bersifat dugaan sehingga perlu kajian lebih lanjut. Dugaan mekanisme komponen fenolik dalam melindungi sel limfosit dari stress oksidatif dapat dilihat pada Gambar 11. LH + LOO* ArOH + LOO* LOOH + ArO* ArO* + LO* LOO-ArO ArOH + M AOH-M (13) (14) Gambar 11 Reaksi scavenger komponen fenolik (a) dan reaksi pengkelat logam (quencher) komponen fenolik (b) Mekanisme lain diduga adanya komponen fenolik sorgum dan jewawut yang berikatan dengan reseptor pada permukaan sel limfosit yang tersusun atas protein. Menurut Rooney (2005) dan Rooney & Deykes (2007) komponen fenolik sorgum atau jewawut seperti asam felurat, p-caumarin dan flavonoid sangat mudah berikatan dengan protein. Menurut Albert et al. (1994) dan Tejasari (2007) komponen fenolik dapat berikatan dengan reseptor sel limfosit karena komponen fenolik dapat berikat dengan protein. Adanya ikatan ini dapat mengaktivasi protein G yang kemudian mengaktivasi enzim fosfolipase C. Fosfolipase C memecah fosfatidil inositol bifosfat (PIP2) menjadi diasilgliserol (DAG) dan trifosfat inositol (IP3) pada membran. IP3 berdifusi dari membran ke sitosol dan berikatan dengan protein reseptor pada permukaan sitoplasmik calcium-sequestering compartment. Pengikatan ini menyebabkan peningkatan konsentrasi ion Ca2+ sitosol. Diasilgliserol dan peningkatan konsentrasi Ca2+ mengaktivasi enzim protein kinase C. Protein kinase C yang teraktivasi memfosforilasi atau memindahkan gugus fosfat ke residu serin atau treonin spesifik pada protein membran sehingga mengaktivasi pertukaran Na+,H+ yang berakibat pada peningkatan pH. Peningkatan pH ini memberikan tanda pada sel untuk melakukan aktivitas proliferasi. Aktivasi protein kinase C akan menstimulasi produksi interleukin-2 (IL-2) yang mengaktivasi sel B untuk berproliferasi. Dugaan lain yang mungkin dapat terjadi akibat adanya kandungan βglukan. Menurut Waniska (2005) sorgum dan jewawut mempunyai senyawa β- 56 glukan pada bagian perikrap dan endosperma biji. Senyawa β-glukan diketahui memiliki sifat immunomodulator (mengatur sistem imun). Mekanisme belum jelas perlu penelitian lebih lanjut. Pada penelitian ini juga dilakukan penentuan indek stimulasi dengan mitogen LPS dan tanpa mitogen LPS antara perlakuan kotrol, sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dengan hasil absorbansi perlakuan kontrol (KO) sebagai pembanding atau pembagi. Hal ini bertujuan melihat seberapa besar mitogen (LPS) dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit pada perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dan untuk mengetahui seberapa besar proliferasi limfosit pada perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% pada kultur yang tanpa ditambah mitogen LPS atau proliferasi limfosit spontan. Penentuan indek stimulasi dengan mitogen LPS sebagai aktivitas proliferasi ditentukan melalui hasil bagi antara absorbansi perlakuan dengan mitogen LPS non kontrol dengan absorbansi perlakuan kontrol dengan mitogen LPS, sedangkan pada tanpa mitogen LPS (proliferasi limfosit spontan) ditentukan melalui hasil bagi absorbansi perlakuan non kontrol tanpa mitogen LPS dengan absorbansi perlakuan kontrol tanpa mitogen LPS sehingga untuk perlakuan kontrol hasil indek stimulasi sama dengan 1. Cotoh perhitungan penentuan indek stimulasi proliferasi splenosit dengan mitogen LPS dan proliferasi splenosit spontan dapat diihat pada Lampiran 8e. Hasil rata-rata indek stimulasi atau aktivitas proliferasi sel limfosit limfa perlakuan kontrol, sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% pada proses pengkulturan dengan mitogen LPS dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12 Rerata indek stimulasi splenosit dengan penambahan mitogen LPS pada setiap kelompok tikus. 57 Gambar 12 menunjukkan bahwa aktivitas proliferasi splenosit dengan mitogen LPS pada pemberian pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dengan perlakuan kontrol terjadi peningkatan yang nyata (P<0.05) (Lampiran 8f, 8g). Aktivitas proliferasi limfosit tertinggi terjadi pada kelompok sorgum 50% (S-50) dengan IS sebesar 1.73 ± 0.26 dan terendah pada kelompok perlakukan jewawut 50% (J-50) sebesar 1.54 ± 0.14. Aktivitas proliferasi limfosit yang berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dan perbedaan yang tidak nyata (P<0.05) diantara perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% diduga komponen fenolik sebagai antioksidan pada perlakuan perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dapat terserap dan masuk ke jaringan limfa sehingga dapat bekerja melindungi sel limfosit dari stres oksidatif pada kondisi tubuh yang normal sehingga tidak menganggu aktivitas proliferasi limfosit. Menurut Halliwell & Gutteridge (2000) radikal bebas dapat dihasilkan selama proses pembentukan ATP atau transport elektron. Dengan demikian diduga perlakuan sorgum 50%, 100% dan jewawut 50%, 100% dalam metabolisme menghasilkan energi, jumlah radikal yang dihasilkan dapat diseimbangkan oleh jumlah komponen fenolik atau sistem antioksidan yang ada dalam tubuh sehingga tidak terjadi stres oksidatif pada sel limfosit limfa. Dugaan lain jumlah komponen fenolik yang sampai pada limfa kemudian dapat melekat pada reseptor sel limfosit dalam jumlah yang tidak berbeda antara perlakuan 50%, 100% sorgum dan 100% jewawut, sehingga memacu proliferasi sel limfosit tidak berbeda. Dugaan berikutnya komponen fenolik dapat bekerja sinergis dengan mitogen LPS dalam memicu proliferasi limfosit tetapi ini memerlukan kajian lebih lanjut pada tingkat seluler maupun molekuler. Hasil rata-rata absorbansi dan indek stimulasi (IS) splenosit tikus tanpa ditambah mitogen LPS (atau proliferasi limfosit spontan) pada perlakuan kontrol, sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% selama tujuh minggu dapat dilihat pada Gambar 13. 58 Gambar 13 Rerata absorbansi dan indek stimulasi proliferasi spontan pada setiap kelompok tikus. Gambar 13 menggambarkan hasil absorbansi pengkulturan splenosit dan indek stimulasi splenosit tikus tanpa mitogen LPS (proliferasi limfosit spontan). Hasil absorbansi dan aktivitas proliferasi limfosit pada pemberian pakan yang mengandung 50% sama dengan sorgum 100% dan jewawut 100% dan berbeda secara nyata (P<0.05) dengan jewawut 50% dan kontrol, sedangkan perlakuan sorgum 100%, jewawut 50%, 100% dan kontrol tidak berbeda secara nyata (P<0.05) (Lampiran 8h, 8i, 8j dan 8k). Fenomena ini diduga kompoenen fenolik pada sorgum 50% tanpa mitogen LPS bekerja lebih efektif memacu proliferasi limfosit dibandingkan dengan perlakuan jewawut 50%. Fenomena ini mendekati penelitian yang dilakukan Krismawati (2007) yang menyebutkan dari ekstrak daun delima putih, ceremai, kemuning dan bunga kecombrang dengan aqudes yang ditambahkan dalam konsentrasi berbeda didapatkan proliferasi limfosit tertinggi pada konsentrasi tertentu atau didapat juga konsentrasi yang efektif. Aktivitas prolifersi limfosit tertinggi pada perlakuan sorgum 50% dengan IS sebesar 1.04 ± 0.03 dan terendah pada kelompok jewawut 50% sebesar 0.99 ± 0.03. Berdasarkan perbandingan diantara aktivitas proliferasi limfosit dengan mitogen LPS dan tanpa mitogen LPS pada Gambar 12 dan 13 menunjukkan mitogen LPS dapat bekerja efektif dalam meningkatkan aktivitas proliferasi dan dapat bekerja sinergis dengan komponen fenolik dalam memacu proliferasi limfosit terutama pada perlakuan jewawut 50% karena aktivitas proliferasi 59 jewawut 50% dengan mitogen LPS berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan kontrol, sedangkan pada proliferasi limfosit tanpa mitogen LPS aktivitas proliferasi limfositnya sama dengan kontrol. Aktivitas proliferasi limfosit dengan mitogen LPS dibandingkan dengan proliferasi limfosit spontan (tanpa mitogen LPS) berdasarkan hasil indek stimulasi pada sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% berturut-turut peningkatanya sebesar 67%, 64%, 56% dan 55%. Aktivitas Antioksidan Hati Aktivitas antioksidan berkaitan dengan spesifik reaksinya karena dipengaruhi oleh tekanan, suhu, metode reaksi, koreksi dan referensi yang diukur oleh suatu metode tertentu. Penekananya pada reaksi kimia dan kondisi spesifik yang digunakan dalam suatu metode pengujian (Huang et al. 2005). Pengujian aktivitas antioksidan di hati ini dilakukan dengan menggunakan metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picryl-hidrazyl) karena metode ini sudah umum digunakan. Metode ini dikenal memiliki kepraktisan pelaksanaan dan waktu yang realtif cepat. DPPH merupakan suatu senyawa radikal bebas yang bersifat stabil (Vaya & Aviram 2002). Prinsip kerjanya adalah adanya suatu elektron antioksidan yang memberikan elektron (hidrogen) melalui reaksi elektron transfer (reaksi redok) kepada oksidan seperti DPPH, yang mengakibatkan terjadinya perubahan warna. Warna violet (DPPH radikal) yang dimilikinya setelah bereaksi dengan suatu antioksidan akan memudar atau menghilang menjadi warna kuning. Nilai absorbansinya menurun dengan semakin banyaknya antioksidan, reaksi awal yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 14. (Molyneux 2003: Vaya & Aviram 2002; Huang et al. 2005). DPPH radikal Antioksidan DPPH Antioksidan non radikal radikal Gambar 14. Reaksi awal pengujian antioksidan dengan metode DPPH. 60 Reaksi yang terjadi pada metode DPPH adalah transfer elektron (ET) yang ditandai dengan perubahan warna atau tidak ada penilaian terhadap kompetisi reaksi kinetik seperti pada reaksi Hydrogen Atom Transfer (HAT) (Huang et al. 2005). Hasil penelitian terhadap aktivitas antioksidan ini menunjukkan pemberian pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dapat meningkatkan aktivitas antioksidan yang nyata (P<0.05) dibandingkan kontrol. Peningkatan aktivitas sorgum 50% (S-50) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) dibandingkan dengan sorgum 100% (S-100), jewawut 50% dan 100% (Lampiran 9a, 9b). Aktivitas antioksidan tertinggi pada perlakuan sorgum 50% sebesar 28. 17% dan terendah pada kelompok kontrol (KO) sebesar 20,39% (Gambar 15). Gambar 15 Rerata aktivitas antioksidan dengan DPPH pada setiap kelompok tikus. Gambar 15 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas akntioksidan pada konsumsi pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dibandingkan dengan kontrol berturut-turut sebesar 38%, 29%, 27% dan 30%. Terjadinya peningkatan aktivitas antioksidan yang nyata (P<0.05) pada perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dibandingkan dengan 61 kontrol, diduga adanya efek konsumsi sorgum dan jewawut yang memiliki komponen bioaktif yaitu kandungan komponen fenolik yang bersifat antioksidan sehingga aktivitas antioksidan hati meningkat. Komponen fenolik tersebut setelah mengalami metabolisme dapat terserap dalam darah sehingga dapat masuk dan tertahan dalam hati (Manach et al.2005). Proses metabolisme yang banyak menghasilkan ROS adalah di hati, dengan demikian memerlukan aktivitas antioksidan di hati yang lebih besar. Halliwell & Aruoma (1997) menyebutkan aktivitas antioksidan seperti vitamin C, E dan enzim antioksidan dalam tubuh belum tuntas atau tidak 100% mencegah kerusakan yang disebabkan ROS atau RSN sehingga masih diperlukan konsumsi pangan sumber antioksidan untuk meningkatkan aktivitas antioksidan. Menurut Awika dan Rooney (2004) sorgum dan jewawut memiliki komponen bioaktif seperti asam fenolik, flavonoid dan kondesat tanin yang memiliki fungsi sebagai penangkal atau memperlambat reaksi radikal bebas atau bersifat antioksidan. Dicko et al. (2006) menyebutkan sorgum dan jewawut memiliki kandungan fenolik seperti asam fenolik, terbanyak jenis asam hidroksinamat (ferulat, ρ-caumarin). Komponen asam fenolik ini memiliki aktivitas antioksidan. Penelitian yang telah dilakukan Yanuar (2009) juga menunjukkan sorgum varietas kawali yang disosoh selama 20 dtk/200 g dan jewawut (milet) yang disosoh selama 100 dtk/200 g dengan total fenol berturutturut 3.38 mg TAE/g biji, 3.51 mg TAE/g biji memiliki aktivitas antioksidan berturut-turut 6.68 mg AEAC/g biji, 4.73 mg AEAC/g biji. Pernyataan adanya metabolisme dan terserapnya komponen fenolik dalam jaringan seperti hati didukung oleh penelitian yang telah dilakukan Vaya & Aviram (2002) yang menyebutkan aktivitas polifenol secara in vivo sangat ditentukan oleh bioavailabilitasnya, sedangkan penyerapan fenol sangat ditentukan oleh struktur kimia melalui derajat glikosilasi, berat molekul dan tingkat berikatan atau konjugasi dengan fenol atau polifenol lainnya. Metobolisme polifenol paling banyak terjadi di hati (Manach et al. 2005). Fernandes dan Donovan (2005) menyebutkan dalam proses terapi dengan jus rumput gandum (wheat grass juice) pada penderita anemia, senyawa fenolik dapat terserap dengan ditemukan dalam darah dan memiliki sifat antioksidan. Hasil penelitiannya juga menunjukkan senyawa fenolik pada jus rumput gandum dapat meningatkan umur hidup (life span) sel darah merah (red blood cells). Senyawa fenolik pada jus rumput gandum 62 tersebut lebih bersifat mencegah kerusakan sel daripada memperbaiki sel darah merah yang telah rusak. Aktivitas antioksidan perlakuan kontrol (KO) sebesar 20.39% atau tidak nol walaupun tidak diberi pakan yang mengandung sorgum atau jewawut dapat diduga aktivitas antioksidan yang terjadi tidak semata-mata karena adanya konsumsi pakan yang mengandung komponen fenolik dari sorgum dan jewawut. Dalam tubuh secara alami dari reaksi biologis yang menghasilkan radikal bebas seperti ROS dan RNS sehingga secara alami pula tubuh memiliki pertahanan terhadap efek radikal bebas tersebut melalui aktivitas antioksidan yang dapat berasal dari vitamin C dan E (Veliky et al. 2001). Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH yang terjadi pada kontrol juga didukung dengan penelitian Erniati (2007) yang menyebutkan aktivitas antiradikal dengan metode DPPH secara in vivo pada manusia didapatkan perlakuan kontrol atau tanpa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak yang mengadung komponen fenolik ditemukan juga aktivitas antiradikal berkisar 17.5%. Pada kelompok sorgum 50% menunjukkan peningkatan yang nyata (P<0.05) dibandingkan dengan sorgum 100% jewawut 50% dan 100% diduga jumlah komponen fenolik pada sorgum 50% di hati dalam keadaan keseimbangan antara radikal bebas atau ROS dengan antioksidan sehingga aktivitasnya lebih efektif. Kelebihan antioksidan dapat bersifat prooksidan, yang dapat menurunkan sifat antioksidannya, sedangkan kekurangan antioksidan menimbulkan aktivitas menangkap radikal bebas rendah karena jumlah radikal bebas yang ada lebih besar dari jumlah antioksidan yang tersedia. Menurut Tiwari (2001) prooksidan dapat memicu peningkatan radikal bebas atau menurukan kemampuan scavenger antioksidan. Kekurangan antioksidan juga dapat meningkatkan jumlah radikal bebas karena tidak cukup dalam menangkal radikal bebas yang ada. Menurut Hall & Cuppett (1997) hasil produk radikal antioksidan (A*) setelah bereaksi dengan radikal peroksida (ROO*) selama proses oksidasi dapat terjadi sangat cepat dan sewaktu-waktu dapat berkontribusi menjadi pembentuk radikal bebas. Terjadinya peningkatan yang berbeda nyata pada sorgum 50% juga diduga kecilnya peluang konjugasi dengan polifenol lain atau makromolekul yang dapat mengganggu penyerapan komponen fenolik sehingga jumlah antioksidan hati tidak terpenuhi untuk menangkap radikal bebas atau ROS. Vaya & Aviram (2001) yang menyebutkan aktivitas polifenol secara in vivo sangat ditentukan oleh 63 bioavailabilitasnya, sedangkan penyerapan fenol salah satunya sangat ditentukan oleh tingkat konjugasi dengan komponen fenolik atau senyawa polifenol lainnya dan makromolekul. Dugaan berikutnya jumlah radikal bebas atau ROS yang ada dalam jumlah yang tidak banyak sehingga jumlah antioksidan yang diperlukan paling efektif pada sorgum 50%. Kondisi ini terjadi karena tikus uji tidak diberikan tindakan atau stressing yang dapat meningkatkan jumlah radikal bebas atu ROS. Menurut Priyadarsini (2005) aktivitas antioksidan ada karena adanya radikal bebas atau ROS. Antioksidan adalah substansi kimia dalam jumlah rendah dapat mencegah oksidasi seluler organel dengan meminimalkan kerusakan sel akibat adanya ROS/RNS. Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH pada kondisi tikus normal, pada sorgum dipengaruhi secara nyata terhadap jumlah yang dikonsumsi, sedangkan pada jewawut tidak dipengaruhi secara nyata. Mekanisme komponen fenolik sorgum dan jewawut yang mengandung beberapa jenis senyawa fenolik sebagai antioksidan memang belum diteliti dalam penelitian ini. Menurut Hall & Cuppet (1997) mekanisme antioksidasi fenolik dapat melalui 3 mekanisme yaitu: (1) memotong rantai radikal bebas dengan sifat scavenger atau sebagai donor elektron. Antioksidan akan memotong rantai radikal bebas dengan jalan mencegah reaksi LH dengan LOO* sehingga terbentuk radikal fenolsil (ArO*), kemudian radikal fenolsil bereaksi dengan LO* menbentuk senyawa yang tidak radikal (persamaan reaksi 11,12); (2) mengkelat senyawa logam (chelating metal) dimana antioksidan mengikat logam sehingga mencegah pembentukan radikal bebas seperti dalam dekomposisi H2O2 (persamaan reaksi 13); (3) menangkap singlet oksigen (1O2) atau bersifat querching melalui transfer energi antara antioksidan dengan 1O2 membentuk 3O2, kemudian antioksidan bereaksi dengan 1O2 membentuk produk stabil (persamaan reaksi 14,15). Aktivitas antioksidan dapat juga terjadi karena adanya kerja yang sinergis diantara beberapa antioksidan. (Hall & Cuppet 1997). ArOH + LOO* LOOH + ArO* (11) ArO* + LO* LOO-ArO (12) ArOH + M AOH-M (13) ArOH +1O2 3O2 (tidak reaktif) (14) ArOH + 1O2 produk stabil (15) 64 Dengan demikian mekanisme komponen fenolik meningkatkan aktivitas antioksidan melalui mekanisme tersebut. Aktivitas antioksidan pada organ hati selain dengan persen aktivitas antioksidan dinyatakan juga dalam bentuk AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity) dan TEAC (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity). Perhitungan AEAC dengan menggunakan kurva standar asam askorbat sedangakan TEAC menggunakan kurva standar tokoferol. Aktivitas antioksidan (%) dimasukkan sebagai faktor ‘y’ pada persamaan linier kurva standar asam askorbat atau vitamin E, akan diperoleh aktivitas antioksidan yang dinyatakan dalam mg AEAC/g bahan atau mg TEAC.g bahan. Kurva standar asam askorbat (Lampiran 9c) dan tokoferol (Lampiran 9f). Hasil kapasitas antioksidan dalam bentuk AEAC dan TEAC dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 Kapasitas antioksidan hati pada setiap kelompok tikus dibandingkan dengan asam askorbat (AEAC) dan trolox (TEAC). Gambar 16 menunjukkan aktivitas antioksidan AEAC dan TEAC tertinggi pada kelompok sorgum 50% berturut-turut sebesar 0.228 mg/g bahan dan 0.263 mg/g bahan. Hal ini berarti dalam 1 gram sorgum 50% terdapat 0.228 mg asam askorbat (vitamin C) dan 0.263 mg tokoferol (vitamin E). Dalam konsumsi 100 gram sorgum per hari maka akan didapatkan 22.8 mg vitamin C dan 26.3 mg. Kebutuhan asam askorbat (vit C) adalah 60 mg/hari (FAO 2006) 65 Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH pada sorgum 50% sebesar 28.17% setara dengan aktivitas antioksidan AEAC (vitamin C) sebesar 228µg/g bahan dan aktivitas antioksidan TEAC (vitamin E) sebesar 263 µg/g bahan. Berdasarkan hasil statistik pemberian pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut menunjukkan peningkatan aktivitas antioksidan dalam bentuk AEAC dan TEAC yang nyata (P<0.05) dibandingkan kontrol (Lampiran 9d, 9e, 9g dan 9h). Konsumsi 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dapat meningkatkan aktivitas antioksidan vitamin C dan vitamin E dibandingkan kontrol diduga komponen fenolik sorgum dan jewawut bekerja sinergis dengan antioksidan vitamin C dan vitamin E pada jaringan hati sehingga aktivitas antioksidan meningkat. Pada perlakuan kontrol terdapat aktivitas antioksidan 0.151 mg/g bahan (AEAC) dan 0.186 mg /g bahan (TEAC) berkaitan dengan hasil pengujian aktivitas (%) antioksidan pada kelompok tikus kontrol sebesar 20.39%. Hal ini mendukung bahwa adanya aktivitas antioksidan tidak semata-mata hanya karena adanya komponen fenolik tetapi akibat adanya nutrisi vitamin C (asam askorbat) dan vitamin E (tokoferol). Hal tersebut juga menggambarkan bahwa aktivitas antioksidan akibat adanya vitamin C dan E berturut-turut sebesar 0.151 mg/g bahan dan 0.186 mg/g bahan. Kadar Malondialdehida (MDA) Hati Hussain (2001) yang menyebutkan kadar molondialdehida (MDA) dapat digunakan untuk mengestimasi laju peroksidasi lipida. Hal ini disebabkan adanya kandungan senyawa asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA= Poly Unsaturated Fatty Acid) yang mudah teroksidasi dan menghasilkan produk oksidasi, salah satunya MDA. Prinsip kerja dari penentuan MDA adalah adanya reaksi MDA dengan asam tiobarbutirat (TBA) membentuk warna pink yang dibaca pada spektofotometer pada panjang gelombang 532 nm (Singh et al. 2002). Dalam perhitungannya menggunakan tetraetoksipropana (TEP) sebagai stadar. Kurva standar TEP dapat dilihat pada Lampiran 10a sedangkan pembuatan konsentarasi standar TEP dapat pada Lampiran 16. Hasil penelitian terhadap kadar MDA hati menunjukkan pemberian pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dapat 66 menurunkan kadar MDA hati dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan analisis statistik penurunan kadar MDA pada perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% berbeda secara nyata (P<0.05) dibandingkan kontrol (KO). Perlakuan kelompok sorgum 50% menunjukkan penurunan yang nyata (P<0.05) dibandingkan dengan sorgum 100%, jewawut 50% dan 100% (Lampiran 10b, 10c) Hasil rata-rata kadar MDA pada setip perlakuan tikus dapat dilihat Gambar 17. Gambar 17 Rerata kadar MDA hati pada setiap kelompok tikus. Gambar 17 menggambarkan kadar MDA terendah pada perlakuan sorgum 50% (S-50) sebesar 18.01 ρmol/g dan tertinggi pada perlakuan kontrol (KO) sebesar 23.03 ρmol/g. Penurunan kadar MDA dibandingkan kontrol pada perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50%, 100% berturut-turut sebesar 23%, 16%, 13% dan 14%. Terjadinya penurunan kadar MDA dibandingkan kontrol diduga karena efek konsumsi pakan yang mengandung sorgum dan jewawut yang dapat meningkatkan aktivitas antioksidan atau seiring dengan hasil data akitivitas antioksidan dengan DPPH yang meningkat. Penurunan kadar MDA ini dapat diduga disebabkan senyawa fenolik pada sorgum dan jewawut dapat menekan oksidasi lipida pada asam lemak jenuh rantai panjang (PUFA). Dengan demikian salah satu produk oksidasi seperti MDA ini akan menurun. Menurut Ceuvas dan Germain (2004) keuntungan adanya antioksidan seperti polifenol adalah dapat menurukan kerusakan oksidatif dengan berkurangnya kadar MDA. Tokyol et al. 67 (2006) juga menyebutkan kadar MDA yang tinggi pada penderita kerusakan hati (ischeamia reperfusion) mengalami penurunan setelah mengkosumsi komponen fenolik seperti quercetin (flavonoid). Hal ini terjadi karena kapasitas antioksidan hati meningkat. Penurunan kadar MDA yang nyata (P<0.05) pada kelompok sorgum 50% dengan sorgum 100%, jewawut 50% dan 100% diduga disebabkan adanya aktivitas antioksidan komponen fenolik pada kelompok sorgum 50% bekerja lebih efektif atau optimum pada kondisi normal atau tambah penambahan stressing sehingga reaksi peroksidasi lipida dan pemecahan prostaglandin (enzimatis dan non enzimatis) yang mengahsilkan MDA dapat ditekan. Mekanisme pencegahan pembentukan MDA oleh aktivitas antioksidan dari komponen fenolik sorgum dan jewawut tidak diteliti sehingga perlu penelitian lebih lanjut. Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase (SOD) Hati Superoksida dismutase (SOD) merupakan salah satu enzim antioksidan seluler yang termasuk antioksidan intraseluler (Gutteridge 1995). Peranan SOD menangkal radikal bebas superoksida (O2*) menjadi H2O2 yang masih bersifat radikal bebas namun sifat radikalnya lebih rendah dari radikal bebas superoksida (O2*) (Halliwel 1994). Penentuan SOD yang dilakukan pada penelitian ini mengunakan xantin dan xantin oksidase sebagai penghasil radikal superoksida. Radikal superoksida akan bereaksi dengan garam tetrazolium (berwarna kuning) menjadi formazan berhwarna biru. Aktivitas enzim SOD yang tinggi ditandai dengan banyaknya radikal superoksida yang dinetralisir atau semakin rendahnya jumlah formazan yang terbentuk. Hal ini menyebabkan semakin rendahnya nilai absorbansi pada sfektofotemeter dengan panjang gelombang 560 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan yang mengandung sorgum dan jewawut dapat meningkatkan aktivitas enzim SOD dibandingkan kontrol. Berdasarkan analisis statistik kelompok sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% menunjukkan peningkatan yang nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol (KO). Sorgum 50% menunjukkan peningkatan yang berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan kelompok sorgum 100%, jewawut 50% dan100% 68 (Lampiran 11a, 11b). Hasil rata-rata setiap perlakuan terhadap aktivitas enzim SOD dinyatakan dalam persen dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18 Rerata aktivitas enzim SOD hati pada setiap kelopmpok tikus. Gambar 18 menunjukkan aktivitas SOD tertinggi pada kelompok perlakuaan sorgum 50% (S-50) sebesar 39.79% sedangkan aktivitas terendah pada kelompok perlakuan kontrol (KO) sebesar 20.12%. Peningkatan aktivitas SOD pada kelompok perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan dibandingkan kelompok perlakuan kontrol (KO) berturut-turut sebesar 21%, 18%, 17% dan, 18%. Peningkatan aktivitas SOD pada sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% yang berbeda nyata (P<0.05) dengan kontrol diduga ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas antioksidan (DPPH) dan penurunan kadar MDA. Hal ini karena adanya sifat antioksidan dari komponen fenolik sorgum dan jewawut yang dapat menangkal radikal bebas sehingga oksidasi lipida dapat dicegah dan pembentukan MDA akan menurun, kemungkinan terjadinya stres oksidatif yang dapat menimbulkan kerusakan sel dan kerusakan membran sel pada hati dapat dihindari sehingga dapat melindungi aktivitas enzim SOD hati. Hussain (2001) menyebutkann terjadinya peningkatan aktivitas SOD pada hati tikus karena adanya penurunan MDA setelah diberi toksik insektisida Chlorfenvinphos dalam waktu 24-48 jam. Menurut Aruoma et al. (1997) komponen fenolik dapat bersifat antioksidan secara in vivo melalui mekanisme langsung mendonorkan elektron 69 kepada radikal bebas khususnya pada membran sel dan sitoplasma sehingga dapat menurukan oksidasi lipida sehingga menyebabkan kadar MDA menurun, kerusakan sel tidak terjadi dan aktivitas enzim SOD tidak terganggu. Peningkatan SOD ini dapat pula diduga karena efek pemberian sorgum dan jewawut, yang memiliki keanekaragaman jenis komponen fenolik yang bersifat antioksidan dan kemungkinan ada komponen fenoliknya tersebut yang dapat bekerja sinergis dengan enzim SOD dalam menangkal radikal superoksida. Dalam metode ini pada sorgum dan jewawut absorbansi yang didapat lebih rendah dari kontrol karena kristal formozan yang berwarna biru lebih sedikit terbentuk akibat komponen fenolik yang dapat mencegah terbentuknya kristal formazan dengan kemampuan menangkap radikal superoksida (O2*) sehingga absorbansi yang didapat kecil dan aktivitas antioksidan enzim SOD akan lebih tinggi. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan Karamac et al. (2005); Lin et al .(2005) yang menyebutkan asam ferulat dapat menangkal radikal superoksida. Dengan demikian asam ferulat tersebut dapat membantu enzim SOD dalam menangkal radikal superoksida. Dugaan yang lain komponen fenolik sorgum dan jewawut yang memiliki bioavailabilitas dan kereaktifan yang tinggi atau dapat teroksidasi yang dapat menginduksi gen pembentuk enzim SOD untuk berproduksi. Menurut Maskaug et al. (2005) penginduksian gen enzim antioksidan memerlukan bentuk komponen fenolik yang teroksidasi sehingga dapat menginduksi antioxidant receptor element (ARE) menginduksi DNA untuk membentuk enzim antioksidan.Menurut Hall dan Cuppett (1997) yang menyebutkan komponen fenolik seperti asam ferulat, cafeat, ρ-caumarin, sinapat dan flavonoid yang terdapat pada sorgum dan jewawut memiliki reaktifitas yang tinggi. Komponen fenolik yang memiliki reaktifitas yang tinggi dapat mengepresikan gen enzim antioksidan seperti MnSOD (pada mitokondria) atau Cu/Zn-SOD (pada sitoplasma) sehingga aktivitasnya meningkat (Aruoma et al. 1997). Menkanisme ini memang belum jelas perlu kajian lebih lanjut. Menurut Kern et al. (2003) asam fenolik seperti asam ferulat yang terdapat pada serealia dapat diserap dalam jumlah banyak di usus halus dan hanya sedikit membentuk komplek dengan arabinosilan yang diserap di usus besar setelah dihidrolisis. 70 Aktivitas SOD pada sorgum 50% berbeda secara nyata (P<0.05) dengan sorgum 100%, jewawut 50% dan 100% diduga kuantitas komponen fenolik dapat bekerja lebih efektif karena kemungkinan jumlah radikal bebas atau ROS seperti radikal superoksida (O2*) dalam jumlah yang seimbang dengan antioksidan pada sorgum 50%. Dugaan lain ketersediaan radikal bebas dalam jumlah yang tidak berlebih karena tikus uji pada kondisi yang normal tidak diberi tindakan stressing agar radikal bebas atau ROS meningkat. Dugaan berikutnya komponen fenolik dapat bersifat sinergis dengan enzim SOD dalam menangkap radikal superoksida dan kemungkinan komponen fenolik seperti asam felurat yang membentuk komplek dengan arabinosilan atau protein lebih kecil sehingga penyerapan di hati sebagai antioksidan lebih baik. Pada kelebihan komponen fenolik dapat sebagai prooksidan yang memacu terbentuknya radikal bebas dan menurunkan sifat scavenger antioksidan dan pada jumlah rendah akan kurang aktivitasnya karena jumlah radikal bebas atau ROS lebih banyak dibandingkan antioksidan yang ada (Heim et al. 2002). Penurunan sifat antioksidan tentu akan mengurangi perlindungan aktivitas SOD, sehingga aktivitasnya dapat menurun. Aktivitas Enzim Katalase (CAT) Hati Prinsif kerja enzim katalase (CAT) adalah memecah radikal hidroksi peroksida (H2O2) menjadi produk yang stabil. Pada penentuan aktivitas enzim CAT ini sumber radikal berasal dari H2O2 yang ditambahkan dalam kondisi pertumbuhan enzim CAT yaitu buffer kalium fosfat pH 7. Prinsif dari metode ini H2O2 akan bereaksi dengan senyawa kalium membentuk warna kekuningan. Berdasarkan analisis statistik terjadi peningkatan aktivitas enzim katalase yang nyata (P<0.05) antara perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dibandingkan dengan kontrol. Sorgum 50% berbeda secara nyata (P<0.05) dengan sorgum 100%, jewawut 50% dan 100%. Sorgum 100% berbeda secara nyata (P<0.05) dengan kelompok jewawut 50% (Lampiran 12a, 12b). Hasil penelitian aktivitas enzim katalase menunjukkan pemberiam pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, jewawut 50% dan 100% dapat meningkatkan aktivitas enzim katalase (CAT) dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata aktivitas enzim katalase setiap kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 19. 71 Gambar 19 Rerata aktivitas enzim CAT hati pada setiap kelompok tikus. Gambar 19 menggambarkan aktivitas enzim katalase tertinggi pada perlakuan sorgum 50% sebesar 25.21 U/ml dan terendah pada kelompok perlakuan kontrol sebesar 19.71 U/ml. Peningkatan yang terjadi pada perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dibandingakan kontrol berturut-turut sebesar 28%, 20%, 14% dan 16%.. Terjadinya peningkatan aktivitas katalase pada perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50%, 100% dibandingkan kontrol diduga adanya komponen fenolik sorgum dan jewawut yang bersifat antioksidan yang dalam metabolismenya dapat terserap dan tertahan dalam jaringan hati. Mekanisme senyawa fenolik sebagai antioksidan melalui mekanisme scavenger atau menagkap radikal bebas atau ROS sehingga membentuk produk yan stabil atau bersifat tidak radikal. Kondisi ini menyebabkan tidak terjadi kerusakan sel atau kerusakan protein yang diperlukan dalam sintesa enzim katalase sehingga dapat melindungi atau memperpanjang aktivitas CAT dalam pemecahan H2O2 menjadi H20 dan O2. Menurut Ben Best (2009) meningkatnya umur hidup (life span) CAT dapat disebabkan berkurangnya kerusakan protein dan sistem imun yang baik salah satunya meningkat aktivitas proliferasi. Kemungkinan lain diduga komponen fenolik seperti asam ferulat, ρcaumarin, asam sinamat dan flavonoid yang memiliki potensi antioksidan dan daya reaktivitas yang tinggi serta dapat sinergis dengan komponen fenolik lainya 72 yang bersifat antioksidan (Dicko et al. 2006). Kereaktifan antioksidan yang tinggi dapat berperan dalam mekanisme pengepresian gen pengkode enzim katalase. Menurut Aruoma et al. (1997) menyebutkan komponen fenolik yang memiliki reaktifitas yang tinggi dapat mengekspresikan gen enzim antioksidan katalase sehingga aktivitasnya meningkat namun mekanismenya belum jelas perlu kajian lebih lanjut. Aktivitas CAT pada kelompok perlakuan sorgum 50% menunjukkan peningkatan yang berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok sorgum 100% , jewawut 50% dan 100% diduga komponen fenoliknya bekerja lebih efektif sehingga tidak menimbulkan kelebihan atau kekurangan sebagai antioksidan. Pemecahan rantai ROS dan pengkelat logam dapat menekan akumulasi ROS. Akumulasi ROS inilah yang menyebabkan stres oksidasi. Menurut Jaen et al. (2007) menurunya aktivitas enzim antioksidan seperti katalase disebabkan tingginya stres oksidasi. Menurut Ben Best (2009) enzim CAT dapat memecah atau memindahkan hidrogen peroksida dalam jumlah kecil. Sehingga untuk melindungi aktivitasnya tidak memerlukan jumlah antioksidan yang berlebih. Hasil oksigen dari katalase akan menyebabkan oksidasi lipida ke tahap inisiasi sehingga mekanisme antioksidan ini merupakan mekanisme cascade (Turner & Lysak 2008). Perbedaan yang nyata (P<0.05) pada jewawut 50% dibandingkan dengan sorgum 50% dan 100% dan tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan jewawut 100% diduga kandungan komponen fenolik jewawut 50% lebih sedikit sehingga sifat antioksidan yang ada masih kurang dalam menangkal ROS/RNS. Kemungkinan lain lebih rendahnya komponen antinutrisi seperti asam fitat pada kelompok jewawut 50% dibandingkan kelompok sorgum 50% dan 100%. Menurut Leder (2004) komponen asam fiat pada jewawut umumnya lebih rendah dari sorgum. Komponen antinutrisi seperti asam fitat dapat membantu mengkelat logam-logam seperti Fe sehingga tidak terbentuk radikal hidroksi (OH*) dan dapat membantu aktivitas enzim katalase dalam merubah H2O2 menjadi H20 dan O2 yang bersifat stabil dan tidak terjadi akumulasi ROS (Vaya dan Aviram 2001). Menurut Haliwell & Gutteridge (1999) enzim katalase disusun oleh 4 sub unit protein. Tiap sub unit terdiri dari satu gugus hem dengan inti ion feri (Fe2+) sebagai sisi aktif (active side. Dengan demikian enzim katalase memiliki kemampuan mengelat logam Fe sehingga dapat menekan pembentukan radikal bebas. 73 Aktivitas Enzim Glutation Peroksidase (GPx) Hati Glutation peroksidase (GSH-Px/GPx) merupakaan enzim peroksidase yang ada dalam tubuh yang mengandung selenosistein, menggunakan glutation sebagai pendonor elektron, aktif dengan hidrogen peroksida dan substrat hidroperoksida organik. GPx menggunakan glutation tereduksi (GSH) sebagai substrat dan enzim reduktase NADPH (Muchtadi 2009). Prinsif kerja metode yang mengacu Flohe & Gunzler (1984) dalam penentuan aktivitas GPx melaui mekanisme transfer elektron sehingga akan terjadi perubahan warna kekuningan menjadi warna ungu setelah 30 menit. Semakin tinggi waran ungu maka absorbansi yang terbaca semakin besar. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pakan yang mengandung 50%, 100% sorgum, 50% dan 100% jewawut dapat meningkatkan aktivitas enzim glutation peroksidase (GPx) dibandingkan kontrol (Gambar 20). Gambar 20 Rerata aktivitas enzim glutation peroksidase hati pada setiap kelompok tikus. Gambar 20 menunjukkan bahwa aktivitas enzim GPx mengalami peningkatan tertinggi pada perlakuan sorgum 50% sebesar 24.58 U/mg, terendah pada perlakuan kontrol sebesar 16.77 U/mg. Peningkatan aktivitas GPx dibandingkan kontrol pada perlakuan sorgum 50%, 100% , jewawut 50% dan 100% berturut-turut sebesar 47% 33%, 29% dan 33%. 74 Berdasarkan analisis statistik aktivitas enzim GPx pada sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% menunjukkan peningkatan yang nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol. Kelompok perlakuan sorgum 50% berbeda secara nyata (P<0.05) dibandingkan dengan sorgum 100% , jewawut 50% dan 100% (Lampiran 13a,13b) Peningkatan aktivitas GPx yang berbeda nyata (P<0.05) pada perlakuan sorgum 50%, 100%, jewawut 50% dan 100% dibandingkan kontrol diduga komponen fenolik sorgum dan jewawut yang memiliki sifat antioksidan yang dalam metabolismenya dapat diserap dan tertahan di jaringan hati dapat mencegah terjadinya stres oksidasi pada sel hati. Mekanisme aktivitas antioksidan senyawa fenolik umumnya melalui mekanisme scavenger atau menagkap radikal bebas dari hasil metabolism tubuh, oksidasi lipida dan pembentukan prostaglandin. Peningkatan ini diduga komponen fenolik sorgum dan jewawut seperti golongan flavonoid yang mampu mengekspresikan gen enzim GPx (Moskaug et al. 2004). Menurut Moskaug et al. (2005) mekanisme quercetin termasuk flavonoid menginduksian ARE melalui mekanisme berantai (cascade). Quercetin atau flavonoid yang masuk ke sitoplasma sel akan mengalami oksidasi menjadi quinon atau active metabolite. Quinon atau active metabolite ini dapat mengoksidasi gugus tiol (-SH) pada Kaep1 sehingga menjadi ikatan disulfida (SS). Kaep1 akan teroksidasi yang mengakibatkan translokasi Nrf-1/2 ke nukleus kemudian berikatan dengan ARE/EpREs dan menginduksi gen presentesis antioksidan seperti glutation (GSH), oleh karena itu jumlah GSH akan meningkat. Nrf ½ dapat berikatan dengan DNA apabila sistem seluler tereduksi. Kondisi tersebut dipertahankan oleh antioksidan dalam sitosol misal tioredoksin 1 (TRX 1) (Gambar 21). Kaep1 adalah suatu protein pada sitokeleton, merupakan pengatur transkripsi gen melalui Nrf 1 dan 2 (nuclear factor erythroid 2 p-45 related factor1 dan 2). Nrf 1/Nrf 2 adalah faktor transkripsi yang mengatur ARE/EpREs (antioxidant/electrophil respone element). ARE/EpREs sendiri merupakan sekuen nukleotida yang bertanggung jawab dalam sintesa antioksidan seperti glutation (GSH) (Moskaug et al. 2005). 75 Gambar 21 Mekanisme mengepresian kommponen fenolik seperti quercetin sorgum dan jewawut dalam pengekspresian gen antioksidan (Moskaug et al. 2004; 2005). Peningkatan GSH akan berkaitan dengan peningkatan enzim glutation peroksidase (GPx). GSH dan GPx bekerjasama dalam mengurangi peroksida lipida (LOOH), dimana GSH sebagai sumbstrat melalui mekanisme : GPx LOOH + GSH LOH + H2O + GSGS. Terjadinya perbedaan yang nyata (P<0.05) pada sorgum 50% (S-50) dengan sorgum 100% , jewawut 50% dan 100% diduga komponen fenolik bekerja dengan efektif sebagai antioksidan dan pengepresi gen enzim GPx pada kondisi tubuh tikus yang normal atau sehat.