S_IND_0603311_BAB II

advertisement
BAB 2
PUISI DALAM KAJIAN SEMIOTIKA
2.1 Puisi
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua (Waluyo, 1995: 1),
sebelum prosa dan drama. Riffaterre (dalam Pradopo, 1987: 3) Puisi selalu
berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya. Hal
tersebut menyebabkan puisi mampu bertahan sampai detik ini.
Meskipun demikian, puisi memiliki penikmat yang terbatas, karena puisi
tidak lantas bisa dicerna dalam sekali baca. Orang tidak akan memahami puisi
secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis
yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa
makna (Pradopo, 1987: 3).
2.1.1 Pengertian Puisi
Samuel Taylor Coleridge (dalam Pradopo, 1987: 6) mengemukakan,
bahwa puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair
memilih kata-kata yang setepat-tepatnya dan disusun sebaik-baiknya, misalnya
seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain erat hubungannya, dan
sebagainya. Dalam bukunya, Pradopo juga memasukan beberapa pengertian puisi,
di antaranya: (1) Carlyle yang mengemukakan bahwa puisi merupakan pemikiran
yang bersifat musikal; (2) Wordsworth, puisi adalah pernyataan perasaan yang
imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan; (3) Auden, puisi
10
merupakan pernyataan yang bercampur baur; (4) Dunton, puisi merupakan
pemikiran manusia secara konkret dan artistic dalam bahasa yang emosional serta
berirama; (5) Shelley, adalah rekaman detik-detik yang indah dalam hidup kita.
Dari kesemua pengertian puisi yang berbeda-beda tersebut, jika diambil
garis besarnya, maka ada tiga unsur yang menjadi pokok dalam puisi, yaitu: (1)
hal yang meliputi pemikiran, ide, atau emosi; (2) bentuknya; (3) kesan yang
ditimbulkan. Jadi, (Pradopo, 1987: 7) puisi itu mengekspresikan pemikiran yang
membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam
susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam
dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan.
Pada penciptaannya, puisi sangat didominasi oleh perasaan penyair.
Perasaan penyair pada saat itulah yang kemudian melahirkan puisi yang mampu
menggambarkan suatu fenomena (di dalamnya segala jenis perasaan bercampur)
melalui teks dan mampu mempengaruhi batin pembacanya.
Alternbernd (dalam Pradopo, 1987: 13) mengemukakan, bahwa dalam
mencapai kepuitisan (sebuah teks) itu penyair mempergunakan banyak cara
sekaligus, secara bersamaan untuk mendapatkan jaringan efek puitis yang
sebanyak-banyaknya. Berkaitan dengan proses penciptaan puisi sebagai karya
sastra, tingkat perkembangan psikologis seseorang berada pada tingkat psikodelik
dan iluminasi. Seluruh kesadaran penyair tertumpah pada kedalaman emosi yang
ingin disampaikannya.
Luxemburg (1991: 87) mengungkapkan:
“Dalam salah satu arikelnya, Tolstoi, yang menulis roman-roman panjang,
mengatakan bahwa kalau ia ingin mengungkapkan pikirannya secara sangat
11
padat dan dengan kekuatan maksimal, hal itu sebanarnya lebih baik dituangkan
dalam puisi daripada dalam prosa.”
Bahasa puisi adalah bahasa figuratif yang bersusun (Waluyo, 1995: 103).
Sebuah kata memungkinkan mempunyai makna ganda. Oleh karena itu, puisi
dapat dianggap sebagai informasi yang dipadatkan, yang mengungkapkan
sebanyak mungkin dengan sedikit kata (Luxemburg 1991: 87). Dengan kata lain,
dalam isinya yang lebih singkat, padat, dan lebih ekspresif, puisi mempunyai
banyak makna yang dapat digali di dalamnya.
Jika pengertian puisi yang dikemukakan di atas dipadatkan, maka puisi
adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair
secara imjinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa
dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya (Waluyo, 1995:
25).
2.2 Semiotika
Ada banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkaji karya
sastra, khususnya puisi. Salah satunya adalah dengan menggunakan semiotika.
Semiotika dipandang lebih tepat untuk mengkaji puisi, karena semiotika berfungsi
untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan
manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal (Kutha Ratna, 2008: 105), di mana
makna (tanda) kerap menjadi persoalan utama dalam setiap pengkajian puisi.
12
2.2.1 Pengertian Semiotika
Menurut Paul Cobley dan Litza Janz (dalam Kutha Ratna, 2008: 97),
secara definitif, semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti
penafsir tanda. Dalam literatur lain semiotika berasal dari kata semeion, yang
berarti tanda. Secara umum, semiotika adalah ilmu yang mempelajari atau
menelaah tanda. Teori ini dipelopori oleh Ferdinand de Saussure dan Charles
Sanders Pierce. Ferdinand de Saussure adalah seoarang ahli linguistik, sedangkan
Charles Sanders Pierce adalah seorang ahli filsafat. Sehingga teori yang mereka
kemukakan memiliki beberapa perbedaan.
Pierce
(dalam
Zoest,
1993:14)
mengungkapkan
bahwa
proses
pembentukan tanda ada tiga unsur yang berperan: tanda, acuannya, dan tanda baru
yang terdapat pada benak penerima. Antara tanda dan acuannya ada hubungan
yang kemudian disebut representasi. Selanjutnya, tanda dan representasi itu
membuka kemungkinan representasi, dan hasil interpretasi melahirkan tanda baru
(interpretant). Pierce juga mengemukakan bahwa berfungsinya suatu tanda karena
adanya bantuan ground. Ground dapat berupa kode atau sesuatu yang bersifat
individual. Apabila tanda itu diinterpretasikan (dihubungkan dengan acuannya)
maka akan timbul tanda baru (interpretant). Oleh sebab itu, tanda selalu dilihat
dalam hubungannya dengan Ground, acuan, dan interpretant-nya. Ketiga macam
tanda tersebut didasarkan pada hubungannya dengan acuan.
Pierce mengembangkan semiotika dalam hubungannya dengan filsafat
fragmatisme. Menurut Peirce, dalam mengkaji objek yang dipahami, seorang
penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika,
13
yaitu: (1) hubungan penalaran dengan jenis penandanya, meliputi: qualisign,
sinsign, dan legisign; (2) hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, meliputi:
icon, index, dan symbol; (3) hubungan pikiran dengan jenis petandanya, meliputi:
rheme or seme, dicent or dicisign, dan argument.
Aart Van Zoest (dalam Sudjiman, 1992:5) mendefinisikan semiotika
sebagai studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara
berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan
penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Secara khusus semiotika
berpusat pada penggolongannya, secara khusus semiotika dibagi atas tiga bagian
utama yaitu (1) sintaksis semiotik, studi tentang tanda yang berpusat pada
penggolongannya, pada hubungannya dengan tanda-tanda lain, pada cara bekerja
sama menjalankan fungsinya; (2) semantik semiotik, studi yang menonjolkan
hubungan
tanda-tanda
dengan
acuannya
dan
dengan
interpretasi
yang
dihasilkannya; dan (3) pragmatik semiotik, studi tentang tanda
yang
mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerimanya.
2.2.2 Aspek Teks Karya Sastra (Puisi) dalam Semiotika
Sebuah teks apabila dilihat sebagai tanda bahasa, atau sebagai kumpulan
tanda yang mempunyai hubungan, memiliki tiga aspek: pertama sintaksis teks,
yaitu yang mengkaji hubungan tanda yang satu dengan tanda yang lain; kedua
semantik teks, mengkaji tanda dengan maknanya; ketiga pragmatik teks, yang
mengkaji hubungan tanda dengan pemakai tanda. Selanjutnya, penulis akan
menjelaskan ketiga aspek tersebut didasarkan pada hubungannya dengan acuan.
14
2.2.2.1 Aspek Sintaksis
Sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan
seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase (Ramlan, 1995: 18). Dalam
pengkajian puisi, aspek sintaksis menjadi hal yang pertama dalam mengawali
sebuah pengkajian. Menurut Ramlan, bahasa terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan
bentuk dan lapisan arti yang dinyatakan oleh bentuk itu. Begitu juga dengan karya
sastra (puisi) yang menggunakan bahasa (teks) sebagai medianya. Puisi sebagai
karya sastra (puisi) mempunyai stuktur kebahasaan yang kompleks. Untuk
memahami puisi diperlukan analisis yang mampu mengupas satu demi satu kata
dalam teks puisi tersebut secara keseluruhan.
tapi di bidang sastra Zoest (1991:6) memberikan pengertian bahwa aspek
sintaksis dalam puisi adalah berlakunya hubungan tanda dengan tanda-tanda yang
lain, serta cara bekerja sama tanda tersebut dalam menjalankan fungsinya. Namun
lain halnya dengan Todorov (1985:40) ia berpendapat bahwa dalam sintaksis
terdapat berbagai pokok analisis yang dimulai dari urutan logis temporal, urutan
spasial, sintaksis naratif, kekhususan, dan reaksi. Untuk analisis puisi cenderung
digunakan urutan spasial, sedang yang lainnya lebih cocok digunakan untuk
menganalisis prosa. Aspek sintaksis urutan spasial, menurut Todorov (1985:45)
ditandai dengan adanya susunan tertentu unsur-unsur teks yang sedikit banyak
terbilang tetap.
Dalam linguistik, sintaksis berkaitan dengan kaidah dan proses
pembentukan kalimat. Sutan Takdir Alisyahbana (1983: 71) kalimat adalah satuan
bentuk bahasa terkecil yang merupakan suatu susunan pikiran yang lengkap,
15
sehingga terjadi komunikasi yang baik. Sedangkan Ramlan (1995: 27)
mengemukakan, bahwa kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh jeda
panjang yang disertai nada akhir naik atau turun. Selanjutnya, Ramlan membagi
kalimat menjadi tiga bagian berdasarkan fungsinya. Pertama, kalimat berita
berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain (1995:27), kedua,
kalimat tanya yang berfungsi untuk menanyakan sesuatu (1995:33), ketiga,
kalimat suruh yang berfungsi mengharapakan tanggapan yang berupa tindakan
dari orang yang diajak bicara (1995:45).
Dari pengertian di atas, secara implisit menjelaskan bahwa yang
menjadikan satuan gramatik disebut kalimat yaitu makna (pikiran) yang
dikandungnya. Kalimat mempunyai beberapa sifat, di antaranya: (1) kalimat
merupakan bentuk ketatabahasaan maksimal; (2) kalimat berupa untai berstruktur
dari kata-kata, artinya, unsure pembentuk kalimat dapat berupa kata, frasa, atau
klausa; dan (3) kalimat merupakan satuan gramatik yang mempunyai kesenyapan
dan intonasi akhir.
Alwi dkk. (1993: 41) mengelompokan kalimat menjadi kalimat tunggal
dan kalimat mejemuk. Menurut Alwi, kalimat tunggal adalah kalimat yang
proposisinya satu dan karena itu predikatnya pun satu atau dianggap satu karena
merupakan predikat majemuk. Kalimat majemuk adalah kalimat kalimat yang
memiliki lebih dari satu proposisi sehingga memiliki dua atau lebih predikat yang
berbeda. Oleh karena demikian, kalimat mejemuk selalu terbentuk dari dua klausa
atau lebih. Alwi juga berpendapat yang sama dengan Ramlan tentang pembagian
kalimat majemuk setara dan kalimat mejemuk bertingkat.
16
Berdasarkan jumlah klausa yang membentuknya, kalimat digolongkan
menjadi kalimat sederhana dan kalimat majemuk. Kalimat sederhana adalah
kalimat yang terdiri dari satu klausa (Ramlan, 1995:49). Kalimat majemuk adalah
kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih. Kalimat majemuk ini dibagi
menjadi kalimat majemuk setara yang terbentuk dari dua klausa yang statusnya
sama (koordinatif), klausa yang satu bukan merupakan bagian dari klausa lainnya
(Ramlan 1995:52), sedangkan kalimat majemuk bertingkat terdiri dari dua klausa
atau lebih yang salah satunya merupakan induk (inti) dan yang lainnya merupakan
keterangan atau subordinatif (Ramlan, 1995:53).
Melihat pengertian-pengertian yang telah dituliskan di atas, maka kalimat
majemuk merupakan gabungan dari beberapa klausa. Kalimat majemuk setara
merupakan gabungan dua klausa atau lebih yang setara atau memiliki hubungan
koordinatif, sedangkan kalimat majemuk bertingkat adalah gabungan dua klausa
atau lebih yang salah satunya menduduki fungsi induk (inti) dan yang lainnya
sebagai keterangan/atribut/penjelas.
Beranjak pada unsur kelengkapan kalimat, jika dilihat dari kelengkapan
unsur kalimat, kalimat dikelompokan menjadi kalimat lengkap dan kalimat
taklengkap. Menurut Alwi dkk. (1993: 42) kalimat lengkap adalah kalimat yang
unsur-unsur minimalnya (S dan P) semuanya ada. Kalimat taklengkap adalah
kalimat yang beberapa unsurnya tidak dinyatakan. Selain pengelompokan tersebut
tadi, ada juga pengelompokan kalimat berdasarkan susunan polanya. Kalimat
normal adalah kalimat yang susunannya diawali S, diikuti P, dan fungsi lainnya.
Kalimat inversi adalah kalimat yang diawali oleh P. Kemudian berdasarkan
17
predikatnya ada kalimat nominal (berpredikat nomina), kalimat verbal
(berpredikat verba), dan kalimat adjektival (berpredikat adjektif). Untuk
menghindari kekacauan istilah, dalam analisis ini digunakan istilah kalimat
tunggal (mewakili kalimat sederhana), kalimat majemuk (mewakili kalimat luas),
kalimat majemuk setara, dan kalimat majemuk bertingkat.
Klausa adalah satuan gramatikal berupa gabungan kata yang sekurangkurangnya terdiri atas subjek dan predikat yang memiliki potensi untuk menjadi
kalimat (Kridalaksana, 1985: 51). Menurut Ramlan (1995: 89) klausa adalah
satuan gramatik yang terdiri atas S, dan P, baik disertai O, PEL, KET ataupun
tidak. Unsur yang cenderung selalu ada dalam klausa adalah predikat. Unsurunsur lainnya mungkin ada, mungkin juga tidak. Berdasarkan ada tidaknya unsur
negatif yang secara gramatik menegatifkan predikat, maka klausa dibagi menjadi
klausa negatif dan klausa positif (Ramlan, 1995: 137). Selanjutnya, kata-kata yang
menegatifkan kalimat tersebut diantaranya adalah tidak, tak, tiada, bukan, belum,
dan jangan. Sementara berdasarkan frasa yang menduduki fungsi predikatnya,
maka klausa dibagi menjadi klausa nominal, klausa verbal, klausa bilangan, dan
klausa depan (Ramlan, 1995:141).
Adapun pengertian klausa menurut Kridalaksana (1985: 151) adalah
satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri
atas subjek dan predikat yang mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
Menurut Alwi dkk. (1993: 346), klausa dikelompokan menjadi dua macam: klausa
utama dan klausa sematan. Klausa utama adalah klausa yang keberadaannya
dalam kalimat tidak bergantung pada klausa lain, dan klausa sematan adalah
18
klausa yang keberadaannya menerangkan klausa lain atau yang tergantung pada
klausa lain. Istilah klausa utama dan klausa sematan masing-masing sama dengan
klausa koordinatif dan klausa subordinatif. Agar tidak terjadi kekacauan istilah,
dalam analisis ini digunakan istilah klausa utama dan klausa terikat (mewakili
istilah klausa koordinatif dan klausa subkoordinatif).
Klausa terdiri atas unsur-unsur berupa frasa. Frasa adalah satuan bahasa
yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak
memiliki cirri klausa (cook, 1971: 91) atau tidak predikatif (Kridalaksana, 2001:
177). Berdasarkan persamaan distribusinya, frasa dibagi menjadi dua, yaitu: (1)
frasa endosentrik adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan salah
satu atau dengan semua unsurnya. Dalam klausa Adik saya sedang membaca,
frasa Adik saya bisa diwakili dengan kata Adik. Dengan kata lain, dalam frasa
endosentrik terdapat unsur yang dapat mewakili frasa itu, yang disebut unsur
pusat (inti). (2) frasa eksosentrik adalah frasa yang tidak memiliki distribusi yang
sama dengan semua unsurnya. Dalam klausa Saya berangkat dari Bandung, frasa
dari Bandung, baik kata dari maupun kata Bandung tidak bisa mewakili satu sama
lainnya. Dengan demikian, frasa eksosentrik tidak memiliki unsur inti.
2.2.2.2 Aspek Semantik
Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau
tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan yang satu dengan yang lain dan
pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat (Zoest, 1993: 6). Analisis aspek
semantik dalam sastra tertuju pada analisis hubungan tanda-tanda dengan
19
interpretasi yang dihasilkannya. Pembicaraan aspek semantik pada analisis ini
dibatasi pada analisis denotasi dan konotasi, majas, dan isotopi yang akan dibahas
satu per satu. Diharapkan akan muncul dan menghadirkan kejelasan makna yang
ada atau terkandung dalam karya yang akan dianalisis.
2.2.2.2.1 Denotasi dan Konotasi
Sebuah kata dalam apapun posisinya selalu memiliki dua aspek arti, yaitu
denotasi dan konotasi. Denotasi adalah makna kata yang merujuk pada benda atau
hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan atau diceritakan (Altenbernd
dalam Pradopo 2002: 58). Bahasa yang denotatif adalah bahasa yang menuju
kepada korespodensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan hal yang
ditunjuk (Wellek dalam Pradopo, 2002:58).
Dalam puisi dan karya sastra lainnya, sebuah kata tidak hanya
mengandung aspek denotasi saja. Kata-kata tersebut tidak selalu merujuk pada
benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu. Masih ada tambahan dari yang
ditimbulkan dari asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya.
Menurut Altenbernd kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul
dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan itu disebut konotasi.
Konotasi menambah denotasi dengan menunjukan sikap-sikap dan nilai-nilai...
(Pradopo, 2002:59).
Secara keseluruhan bahasa sastra cenderung memiliki artian ganda. Dalam
proses penciptaan puisi, penyair cenderung melesapkan makna sebuah kata. Selain
itu, kata-kata dalam karya sastra, terutama puisi, selalu mengandung artian lain
20
dari makna sebenarnya. Hal tersebut sangat memungkinkan terjadi, karena penyair
dan pengarang selalu memperhitungkan dan memilih kata yang paling tepat untuk
menggambarkan perasaan batinnya yang ingin dia sampaikan pada pembaca.
Rene Wellek (1962: 23) dalam Pradopo (2002: 60) mengemukakan bahwa
bahasa sastra itu penuh arti ganda, penuh homonim, kategori-kategori arbitraire
atau irrasional, menyerap peristiwa-peristiwa sejarah, ingatan-ingatan, dan
asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra tidak hanya menerangkan saja, bahasa sastra
mempunyai segi ekspresifnya, membawa nada dan sikap si pembicara atau
penulis.
Pemahaman tentang makna denotatif dan konotatif merupakan hal yang
mendasar yang harus dimiliki penyair. Hal tersebut akan sangat menunjang dalam
proses penciptaan sebuah karya sastra hingga bisa dinikmati oleh para pembaca.
Meskipun, sering kali penyair melanggar kaidah bahasa baku, hal itu
dimaksudkan untuk menimbulkan kesan puitis dan memperkental makna kata
yang digunakan sehari-hari.
2.2.2.2.2 Majas
Menurut Moeliono (1982: 50) dan Luxemburg majas dibedakan menjadi
tiga macam, antara lain majas perbandingan atau majas identitas, majas
pertentangan, dan majas pertautan atau majas kontiguitas. Majas-majas tersebut
memiliki
bagian-bagian,
yang
termasuk
majas
perbandingan
adalah
perumpamaan, metafora, dan personifikasi. Majas pertentangan antara lain ironi,
hiperbola, dan litotes. Sedangkan yang termasuk majas pertautan adalah
21
metonimia, sinekdoke, (totem poparte dan pars prototo), kilatan, dan eufemisme.
Pembagian yang dibuat oleh Moeliono tersebut hampir sama dengan Luxemburg
(1986:189-190), hanya ada menurut Luxemburg, majas pertentangan meliputi
antitesis dan oksimoron, dan majas pertautan meliputi metonomia dan sinekdoke.
Menurut Becker (dalam Pradopo, 1987: 66) Metafora adalah bahasa kiasan
seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata pembanding, seperti bagai,
laksana, seperti, dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan
benda yang lain. Altenbernd mengemukakan bahwa metafora menyatakan sesuatu
sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak
sama.
Pradopo (1987: 66) menyebutkan:
“Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu: term pokok (principal
term), dan term kedua (secondary term). Term pokok disebut juga tenor, term
kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau term tenor menyebutkan hal yang
dibandingkan, sedang term kedua atau term vehicle adalah hal yang untuk
membandingkan....
Seringkali penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term
pokok atau tenor. Metafora semacam ini biasanya disebut metafora implisit
(implied metaphor).”
Majas metafora biasanya singkat, padat dan tersusun rapi, di dalamnya ada
dua ide yang diperbandingkan (Tarigan, 1990: 141).
Perumpamaan atau perbandingan epos (epic simile) ialah perbandingan
yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan
sifat-sifat perbandingannya lebh lanjut dalam kalimat-kalimat atau frasa-frasa
yang berturut-turut. Perumpamaan epos dimaksudkan untuk lebih memperdalam
dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, dan bukan sekadar memberikan
persamaannya semata.
22
Personifikasi
(Pradopo,
1987:
75
)
merupakan
kiasan
yang
mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda dibuat dapat melakukan
sesuatu yang biasa dilakukan manusia. Personifikasi ini membuat hidup lukisan,
disamping itu memberi kejelasan beberan, memberikan bayangan angan yang
konkret.
Metonimia berarti sebuah nama atau kata yang berasosiasi dengan benda
(Badudu, 1977: 66). Menurut Moeliono (1982: 142) metonimia adalah pemakaian
nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai
penggantinya.
Sinekdoke adalah suatu majas yang menggambarkan hubungan kedekatan
antara pengertian yang disebut dan pengertian penggantinya melalui hubungan
bagian dari keseluruhan. Apabila yang disebut itu adalah keseluruhan untuk
mewakili sebagian maka disebut totem proparte, sedangkan apabila disebut itu
sebagian untuk mewakili keseluruhan maka disebut pars prototo.
Altenbernd (dalam Pradopo, 1987: 78) mengemukakan bahwa sinekdoke
adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda
(hal) untuk benda atau hal itu sendiri.
Paradoks
adalah
majas
yang menyiratkan
pertentangan,
padahal
sebenarnya tidak (Badudu, 1997: 76). Dalam paradoks terdapat pula oksimoron,
menurut Sudjiman (1990: 57) oksimoron adalah majas yang menggabungkan kata
atau frasa yang tidak serasi (yang bertentangan secara tajam) untuk mencapai efek
retoris yang khas.
23
Hiperbola adalah majas yang berfungsi untuk melebih-lebihkan atau
memberikan pengertian yang lebih keras.
2.2.2.2.3 Isotopi
Aspek lain dalam analisis semantik setelah denotasi dan konotasi, majas,
selanjutnya isotopi. Kata isotopi berasal dari kata Yunani “isos” dan “topos” yang
masing-masing berarti “sama” dan “tempat”. Konsep isotopi dikemukakan oleh
Greimas dan disempurnakan oleh ahli lain. Konsep tersebut muncul karena
adanya makna kata yang bersifat polisemis, dan adanya kebutuhan analisis
wacana serta tataran supra kalimat (Zaimar, 1990: 113).
Yang dimaksud dengan isotopi adalah suatu kesatuan kategori semantis yang
timbul dari redundansi yang dimungkinkan pembacaan secita, seragam
sebagaimana yang dihasilkan dari pembacaan ujaran itu bagian dari bagian, dan
dari pemecahan yang dituntun oleh upaya pembacaan yang senada (Zaimar,
1990:113).
Zaimar (1990: 114) menjelaskan bahwa konsep isotopi menurut Greimas
terbatas pada tataran isi:
... bagi Greimas, isotopi terbatas pada tataran isi; jadi termasuk pada kategori
semantis, karena yang dianalisis adalah makna leksikal. Pada hakekatnya bahasa
bersifat polisemis, sehingga komponen makna yang sama terdapat pada berbagai
kosakata. Itu sebabnya terjadi redundansi dalam sebuah teks. Dengan analisis
isotopi dapat ditemukan keseragaman makna yang ada di setiap bagian teks dan
hal itu dapat menuntun pembaca ke arah yang senada dan dapat memecahkan
ambiguitas...
Sebuah kata memiliki beberapa komponen makna yang dengan sendirinya
merupakan wilayah makna (semene) dari kata itu.
Menurut Zaimar (1990: 137) telaah tema merupakan telaah terpadu, dan
isotopi sangat berguna untuk memahami tema. Tatanan tema terbentuk dari
berbagai motif yang disusun secara hirarkis. Kehadiran tema-tema utama dan
24
tema-tema minor dapat dilihat melalui pemunculan motif secara berulang-ulang.
Tema-tema itu ditandai dengan cerita keberulangan, karena dasar analisis adalah
isotopi.
Zaimar (1990: 136) mengemukakan istilah motif dan tema masing-masing
sebagai isotopi minimal dan isotopi kompleks seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut:
Motif dan tema digunakan dengan makna yang sama dengan yang digunakan
dalam komposisi musik, yaitu pada “unsur-unsur yang berulang”. Motif adalah
isotopi minimal, sederhana (leksikal), bersuara...; tema adalah isotopi kompleks
yang terbentuk dari beberapa motif.
Setelah mengumpulkan referensi-referensi mengenai isotopi dan berpijak
pada konsep-konsep yang telah ditulis tersebut, maka dapat disumpulkan bahwa
isotopi merupakan tahap awal untuk memahami motif, dan berdasarkan motif
itulah kemudian ditentukan tema sebuah karya sastra.
2.2.2.3 Aspek Pragmatik
Aspek terakhir dalam proses pengkajian karya sastra adalah aspek
pragmatik. Pragmatik mengkaji penggunaan bahasa dalam suatu konteks tertentu
(Luxemburg, 1984: 87). Selain itu menurut Morris (1991:52 dalam Badrun,
1994:38) pragmatik membicarakan hubungan tanda dengan penafsir, yaitu
mengenai asal, penggunaan dan efek tanda; sedangkan menurut Zoest (1986: 6)
pragmatik mempelajari tanda dengan pengirim dan penerimanya.
Teks sastra dikelompokan berdasarkan “situasi bahasa”. Pengelompokan
hanya didasarkan pada cara penyajiannya sehingga dapat dikatakan bahwa pada
umumnya situasi bahasa dalam puisi (sajak) adalah monolog. Artinya, dalam puisi
25
hanya ada satu orang pembicara yang menyajikan teks. Meskipun demikian, ada
pula puisi yang mengandung “situasi bahasa” berlapis atau dialog; misalnya puisi
naratif atau balada (Luxemburg dkk, 1989:74).
Selanjutnya, Luxemburg (1989: 74) menyatakan bahwa setiap teks sastra
mempunyi pembicara sendiri. Pembicara dalam teks tersebut disebut aku lirik atau
objek lirik. Oleh karena itu dalam kebanyakan puisi tidak saja berfungsi sebagai
penutur, tetapi juga menjadi tokoh sentral yang menjadi pokok pembicaraan
dalam puisi.
Dalam puisi, kehadiran aku lirik ada yang eksplisit dan ada pula yang
implisit. Aku lirik yang muncul secara implisit harus diidentifikasi sendiri oleh
pembaca berdasarkan informasi yang dikemukakan melalui teks. Sehingga ada
pemunculan aku lirik yang cenderung berbicara tentang teks yang bersangkutan
yang berperan sebagai pembicara yang monolog.
Penerima pesan (orang yang diajak bicara atau pendengar), seperti halnya
aku lirik, dalam teks puisi ada yang eksplisit dan ada pula yang implisit, yang
diajak bicara dalam teks puisi tidak terbatas pada manusia, tetapi bisa juga Tuhan,
Dewa, alam, dan apa saja. Dalam puisi-puisi lirik, apabila subjek lirik berbicara
terhadap sesuatu yang tidak mengharapkan jawaban disebut afostrofe, seperti
yang diungkapkan Luxemburg berikut:
Apostrofe dapat juga dianggap sebagai metode pengubahan terpenting bagi sajak
lirik. Dengan mengajak berbicara sesuatu yang tidak hadir, mati, atau tidak
bernyawa, sesuatu itu dihadirkan, dihidupkan, dan dimanusiakan. Dengan
demikian ia menjadi pemantul suara yang walaupun sendirinya diam, namun
tanggap terhadap subjek lirik yang justru memerlukan pemantul semacam itu
untuk mengungkapkan perasaannya... (Luxemburg dkk, 1989: 80)
26
2.3 Kata, Tanda, dan Tafsir Makna
Dalam perkembangan sastra kontemporer, sebuah karya sastra (baik puisi,
prosa, maupun drama) pada akhir penciptaannya ia akan berdiri sendiri. Otoritas
pengarang atau penyair (dalam proses penciptaanya) secara tidak langsung akan
hilang dan tergantikan oleh otoritas publik sebgai penikmat karya sastra. Dengan
kata lain, nasib karya sastra itu akan berada di tangan pembacanya.
Proses pengkajian karya sastra lebih menekankan pada tema keseluruhan
isi batin teks karya itu sendiri. Tapi, yang lebih penting dari itu, yaitu proses
pengkajian makna sebuah karya sastra, yang kadang orang jarang menganggap itu
sebagai bahan penelitian. Makna dalam karya sastra adalah sesuatu yang mutlak
dan selalu ada dalam setiap karya sastra. Kesan multi tafsir pun muncul dan
melekat pada karya sastra, terutama puisi. Hal tersebut disebabkan sering
dimunculkannya bahasa kiasan pada teks-teks sastra.
Kesamaran dan ketaksaan makna suatu bahasa sebenarnya juga akibat
“kelebihan” bahasa itu sendiri yang memiliki multi fungsi emotif dan afiktif
(Aminudin, 1998: 20). Selain itu adanya sinonimi, hiponimi, maupun polisemi
juga menjadi faktor penyebab kesamaran dan ketaksaan makna.
Hubungan antara tanda, makna dan fakta pada sisi lain juga tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan kehidupan maupun perkembangan unsur sosial
budaya (Aminudin, 1998: 102). Pemaknaan tanda akhirnya juga tidak dapat
dilepaskan dari upaya menghubungkan kembali unsur kesejajaran tanda itu
sendiri. Akhirnya keberadaan makna dapat mengalami perubahan/pergeseran dan
27
perkembangan sesuai dengan periodisasi kehidupan penutur, latar kehidupan, dan
sosial budaya.
Begitu juga puisi. Lahirnya sebuah puisi tentu tak lepas dari aspek
pemikiran penyair yang telah berusaha keras memunculkan ide dan gagasan serta
pengalaman batinnya dengan penyampaian lewat kata-kata yang terpilih untuk
dikatakan pada orang lain (pembaca).
Dalam teks puisi, sebuah kata memiliki kemungkinan makna ganda
(Waluyo, 1995:103). Kata-kata dalam puisi sering menyimpang dari makna yang
sebenarnya. Simbol-simbol yang merupakan pengungkapan tidak langsung,
menampilkan makna tidak langsung dari sebuah puisi.
Sebagai karya sastra yang multi arti, tafsiran pada sebuah teks puisi
menjadi arbitrer. Setiap pembaca bebas untuk menafsirkan sesuai dengan koridor
sosial budaya yang pada saat itu berkembang. Yang pada akhirnya, teks tersebut
akan melahirkan tanda-tanda baru dalam kebahasaan dan memiliki muatan yang
berlaku sebagai unit pengorganisasian.
Meski demikian bebasnya, memahami makna sebuah teks puisi bukanlah
perkara mudah. Lebih-lebih jika dihadapkan pada puisi mutakhir yang strukturnya
lebih kompleks. Kondisi seperti itu memaksa para peneliti dan kritikus sastra
untuk mampu memberikan kejelasan tentang isi teks puisi melalui pemaknaan
puisi yang konvensional. Pemaknaan puisi layaknya berkaitan dengan teori
pendekatan sastra yang berkembang saat ini.
Puisi merupakan artefak yang baru mempunyai makna bila puisi tersebut
sudah diberi makna oleh pembaca (Pradopo, 2002). Akan tetapi, pemberian
28
makna itu tidak boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan atau dalam
kerangka semiotik (ilmu sistem tanda), karena karya sastra itu merupakan sistem
tanda atau semiotik.
Puisi adalah karya sastra yang bermedium bahasa. Maka, untuk
memperoleh makna di dalamnya, terlebih dahulu puisi haruslah dipahami sebagai
sistem tanda (semiotika) yang memiliki makna berdasarkan konvensi. Bahasa
sendiri disebut sebagai sistem tanda atau semiotika tingkat pertama (Pradopo,
2002). Makna bahasa disebut arti (meaning) yang ditentukan oleh konvensi
masyarakat bahasa. Dan dalam hal ini, hal yang lebih awal dilakukan dalam
pemaknaan puisi adalah analisis bahasa yang mengarah pada pemaknaan puisi
tersebut secara arbitrer.
29
Download