Cacat Buatan Demokrasi Polemik keputusan MA terkait penetapan kursi pemilu legislatif semakin mempertegas silang sengkarut dalam desain politik elektoral. Terlihat nyata, hal itu berimbas pada kualitas demokrasi Indonesia. Tiadanya kepastian hukum dan legitimasi formal terhadap hasil dari proses politik tentu mengecewakan banyak pihak. Dalam kasus putusan MA terhadap mekanisme penghitungan suara yang dilakukan KPU, sebagian pihak menganggap bisa mementahkan sistem proporsional yang dianut. Pengaruh buruknya bisa sampai legitimasi pemilihan presiden yang selesai dihelat dan diumumkan hasil rekapitulasi perolehan suaranya. Secara sepihak, keputusan MA yang menganulir Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 disebabkan oleh lemahnya pemahaman terhadap logika sistem pemilihan umum. Juga sebaliknya, berlaku untuk para hakim MA yang memutuskan perkara itu. Cacat buatan demokrasi Preseden amat penting dari keputusan MA dan serangkaian proses politik dalam pemilihan legislatif dan presiden, baik yang melibatkan institusi pemerintah, penyelenggara, intervensi asing, dan mekanisme politik lainnya, adalah akibat besar yang ditimbulkannya, yakni munculnya cacat buatan demokrasi. Kita harus berpikir bahwa segala macam sengkarut dalam politik elektoral yang membuahkan cacat buatan demokrasi mempunyai dan mengandung konsekuensi buruk bagi masa depan demokratisasi di Indonesia? Pada dasarnya, demokrasi mempunyai cacat, tetapi selama ini orang hanya mengenal cacat bawaan sebagai afirmasi dari tidak sempurnanya demokrasi sendiri. Fareed Zakaria (1997) menyebut senjangnya nilai dan orientasi demokratisasi dengan kondisi sosial dan ekonomi di negara-negara berkembang sebagai illiberal democracy. Tesis itu mengilhami munculnya banyak model, salah satunya seperti ”Demokrasi Asia”. Salah satu penyumbang cacat buatan adalah politisasi dari cacat bawaan demokrasi, yakni tradisi kolonialisme. Dalam praktiknya, demokratisasi yang dijalankan berdiri di atas kepentingan untuk muncul sebagai pemenang pemilu. Untuk memperolehnya, dibuatlah prosedur yang tidak sepenuhnya jujur karena mengandung banyak inkonsistensi. Buruknya penyelenggaraan pemilu, pembatasan atas hak-hak kontestan, dan banyaknya campuran instrumen pemerintah kini menjadi fakta yang kita hadapi bersama. Belum beranjak jauh untuk meminimalisasi dampak cacat bawaan demokrasi, arah demokratisasi kita sudah menciptakan cacat buatan. Cacat ini bisa disengaja dan bisa muncul dari cemarutnya desain kelembagaan yang belum jelas dan tegas sehingga terbuka untuk dipermainkan berbagai kepentingan. Peristiwa pencacatan demokrasi kita dimulai dari, meminjam Thomas Carothers (Journal of Democracy, Januari 2009), membuat pemisahan antara konsep demokrasi dan tata cara pendukung demokratisasi. Pada akhirnya, demokrasi prosedural mengalami pembajakan makna dan ditafsirkan dalam kerangka formalitas belaka. Padahal, tanpa adanya lembaga penyelenggara pemilu yang akuntabel dan peradilan yang menguasai desain instrumental demokrasi, maka jalan demokratisasi hanya akan berputar-putar dan dipenuhi insiden saling menyalahkan antarsatu pihak dengan yang lain. Dengan kata lain, demokratisasi berjalan mundur dalam pandangannya yang seolah maju. Menyelamatkan demokratisasi Arah demokratisasi harus diselamatkan dengan dua cara, yaitu menganulir dan memberikan sanksi secepatnya terhadap pihak-pihak yang membuat cacat proses demokrasi dan meminimalisasi dampak dari cacat bawaan demokrasi. Dua pekerjaan itu bertumpu pada satu hal utama, yakni sinkronisasi desain aturan hukum yang mengatur proses politik. Jose Maria Maravall (2003) mencatat bahwa politisi ingin berkuasa dan membuat keputusan yang dimungkinkan melalui mekanisme demokratis yakni pemilu. Sementara itu, warga negara berkepentingan untuk mengendalikan kekuasaan dari penyalahgunaan yang dilakukan dengan mekanisme hukum. Maravall menyebut, rule of law as political weapon. Sepertinya hal itu menjadi fenomena yang lumrah dalam demokrasi pasca-otoritarianisme. Tanggung jawab besar sudah menanti dan di masa datang, politisi harus memikirkan dengan baik legislasi yang mereka buat. Berikanlah kepastian dengan mengedepankan nalar konstitutif sehingga aturan yang dibuat bisa dipahami dengan baik di tingkat operasional. Warga negara dengan segenap elemen di dalamnya perlu mengoptimalisasikan saluransaluran politiknya baik melalui penekanan parlementer atau ekstra-parlementer. Tujuannya untuk mengontrol berjalannya aturan hukum. Prakarsa elemen masyarakat dan berbagai kelompok masyarakat sipil amat dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menjamin akses dan kesempatan yang sama untuk mendesakkan proses hukum bagi setiap pelanggaran yang dilakukan baik oleh individu atau institusi yang ada dalam lingkaran kekuasaan politik. M Faishal Aminuddin Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya, Malang Sumber : cetak.kompas.com