85 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Perkembangan gizi kurang pada balita di Indonesia selama 20 tahun dari tahun 1989-2010 mengalami penurunan dari 37.5% tahun 1989 menjadi 17.9% tahun 2010. 2. Kebijakan pada Repelita III hingga RPJMN 2004-2009 memperlihatkan bahwa kebijakan yang awalnya hanya mengakomodir hal-hal yang makro seperti ketersediaan pangan, kemudian mulai berorientasi ke arah distribusi, konsumsi, dan perbaikan status gizi masyarakat hingga Propenas 19942004. Namun pada masa RPJMN 2004-2009, kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi kembali diarahkan pada hal-hal yang lebih luas dan makro bukannya ke arah yang lebih spesifik dalam upaya perbaikan gizi masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi kemunduran dalam penentuan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di indonesia. 3. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan tingkat kemiskinan, terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara prevalensi gizi kurang dengan PDB/kapita, dan tidak terdapat hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. 4. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak. 5. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan dasar menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan dengan jumlah posyandu dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan cakupan imunisasi lengkap. 6. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan anggaran perbaikan gizi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan 86 signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan jumlah anggaran perbaikan gizi per balita. 7. Selain gizi kurang, beberapa permasalahan gizi lain yang saat ini mulai bermunculan adalah adanya balita yang pendek/stunting dan masalah gizi lebih. Kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi dalam RPJMN 20102014 yang didukung oleh RANPG 2011-2015 menunjukkan bahwa pemerintah memiliki upaya untuk mengatasi masalah gizi terkini seperti stunting yang masih dijumpai pada anak balita, namun pemerintah belum menetapkan suatu target untuk menangani masalah gizi lain seperti masalah gizi lebih yang mulai banyak terjadi pada anak balita maupun pada penduduk usia 15 tahun ke atas. Saran 1. Dalam rangka memperbaiki dan mengatasi masalah gizi balita, maka pemerintah perlu meningkatkan kualitas pelayanan posyandu dengan peningkatan jumlah posyandu per balita. Untuk mewujudkan hal ini perlu adanya peningkatan pemberdayaan masyarakat. Selain itu perlu dilakukan peningkatan klasifikasi posyandu untuk meningkatkan kualitas pelayanan posyandu. Pemerintah juga perlu untuk meningkatkan cakupan imunisasi lengkap pada balita untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi yang berpengaruh langsung terhadap status gizi balita 2. Peningkatan akses terhadap kesehatan balita perlu didukung pula oleh peningkatan akses secara sosial dan ekonomi. Hal ini dapat dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat dengan meningkatan lapangan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan, peningkatan pendapatan untuk meningkatkan akses terhadap pangan dan kesehatan, peningkatan alokasi anggaran pendidikan sehingga memperluas kesempatan memperoleh pendidikan. 3. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pola yang sama dalam lingkup kabupaten/provinsi mengingat hasil penelitian ini baru mengkaji permasalahan KEP secara nasional.