13 TINJAUAN PUSTAKA Sistematika dan Morfologi Ikan Nila Merah (O. niloticus) Menurut Saanin (1984) secara sistematika ikan nila merah (O. niloticus) adalah : dunia : Animalia filum : Chordata kelas : Pisces ordo : Perchomorphi famili : Perchoiaea genus : Oreochormis spesies : Oreochormis niloticus Ikan nila merah mempunyai ciri-ciri morfologi : bentuk bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada badan dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Sedangkan garis lurus punggung. Ikan nila merah memanjang ditemukan pada sirip dapat hidup diperairan tawar dan mereka menggunakan ekor untuk bergerak, sirip perut, sirip dada dan penutup insang yang keras untuk mendukung badannya. Ikan nila merah termasuk omnivora. Makanannya berupa hewan-hewan seperti protozoa dan zooplankton serta ganggang, algae yang tersedia di kolam. Persyaratan kualitas air budidaya ikan nila merah dalam KJA suhu 25-30 0C, DO ≥ 3 mg/l, pH 6-8,5, kecerahan 20-30 cm dan CO2 < 5 mg/l (Zonneveld et al. 1991). Ikan Patin Jambal (P. djambal) Menurut Saanin (1984), sistematika ikan patin jambal (P. djambal) diklasifikasikan sebagai berikut: dunia : Animalia filum : Chordata kelas : Pisces ordo : Ostariophysi famili : Pangasidae genus : Pangasius spesies : Pangasius djambal 14 Ciri morfologi ikan patin jambal : memiliki warna tubuh putih keperakperakan dan punggung kebiru-biruan, bentuk tubuh memanjang, kepala relatif kecil. Ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua pasang sungut pendek. Pada sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris. Patin jambal tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif panjang yang terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada terdiri dari 1213 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal dengan patil. Di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat sirip lemak yang berukuran kecil. Habitat asli ikan ini adalah sungai dan danau air tawar. Pada habitat aslinya ikan Patin jambal bersifat karnivora, namun ketika dipelihara di kolam ikan Patin jambal dapat mengkonsumsi kacang-kacangan dan tumbuhan (Zonneveld et al. 1991). Persyaratan kualitas air budidaya ikan patin jambal dalam KJA suhu 27-32 0C, DO ≥ 3 mg/l, pH 6,5-8,5, kecerahan > 30 cm dan CO2 < 5 mg/l (Zonneveld et al. 1991). Logam Berat Timbal (Pb) Pb adalah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batu-batuan, tanah, tumbuhan dan hewan. Manahan (1997), 95% dari Pb bersifat anorganik dan umumnya dalam bentuk garam anorganik dan kurang larut dalam air. Selebihnya berbentuk Pb organik. Pb organik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetraethyllead (TEL) dan Tetramethyllead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik, misalnya dalam lipid (Miettinen 1977). Waktu keberadaan Pb dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arus angin, dan curah hujan. Pb tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel. Karena Pb merupakan sebuah unsur sehingga tidak akan mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan. Pemanfaatannya bagi manusia adalah sebagai bahan pembuat baterai, membuat amunisi, produk logam (logam lembaran, solder, dan pipa), perlengkapan medis (penangkal radiasi dan alat bedah), cat, keramik, peralatan 15 kegiatan ilmiah/praktek (papan sirkuit (CB) untuk computer) untuk campuran minyak bahan-bakar untuk meningkatkan nilai oktan. Pb adalah logam berat yang secara alami terdapat di dalam kerak bumi beasosiasi dengan mineral lainnya. Logam ini bisa berasal dari kegiatan manusia bahkan mampu mencapai jumlah 300 kali lebih banyak dibandingkan Pb alami. Pb memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif. Gambar 2 Rumus molekul logam berat Timbal (Pb). Kata latin Pb adalah Plumbum, bahasa Inggrisnya Lead. mempunyai berat atom 207,21, berat jenis 11,34, bersifat lunak dan berwarna biru atau silver abuabu dengan kilau logam, nomer atom 82 mempunyai titik leleh 327,4 0C dan titik didih 1620 0C (Gambar 2). Pb termasuk logam berat “trace metals” karena mempunyai berat jenis lebih dari lima kali berat jenis air. Bentuk kimia senyawa Pb yang masuk ke tubuh melalui makanan akan mengendap pada jaringan tubuh, dan sisanya akan terbuang bersama bahan sisa metabolisme (Miettinen 1977). Mekanisme Pemasukan Pb dan Risikonya Terhadap Ikan Ikan patin jambal dan nila merah termasuk ikan yang bergerak lambat, sehingga akumulasi logam beratnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan yang mempunyai pergerakan lebih cepat. Pemeliharan dengan system karamba jaring apung mengkondisikan ikan pada ruang gerak yang sangat terbatas, sehingga peluang untuk terjadinya akumulasi logam berat ke dalam tubuh ikan budidaya akan semakin besar. Pengambilan logam berat oleh makhluk hidup air melalui tiga proses utama, yaitu (1) dari air melalui permukaan pernapasan (misalnya insang); (2) 16 penyerapan dari air ke dalam permukaan tubuh; dan (3) dari makanan, partikel atau atau air yang dicerna melalui sistem pencernaan. Mekanisme masuknya logam berat kedalam tubuh dan organ ikan dapat dilihat pada ilustrasi di lampiran 1. Proses pengambilan logam oleh makhluk hidup perairan autotrofik (Fitoplankton) menurut Bryan (1976b) adalah melalui mekanisme pertukaran ion yang dengan cepat terserap pada permukaan sel, dari tempat mereka berdifusi ke dalam membran sel, terakhir diserap dan diikat oleh protein (tempat pertukaran ion) di dalam sel. Pada ikan, proses masuknya logam berat ke dalam tubuh juga dapat bersumber dari air dan makanan. Proses masuknya logam berat ke ikan menurut Bryan (1976b) melalui mekanisme penyerapan pada permukaan tubuh, yang kemudian diikat oleh ligan organik dan disimpan dalam protein. Pada ikan, penyerapan melalui makanan lebih sering terjadi. Perjalanan logam sampai ke tubuh manusia menurut Klaassen et al. (1986) dan Marganof (2003) dapat dilihat di lampiran 2. Insang ikan, selain sebagai alat pernafasan juga berfungsi sebagai alat pengatur tekanan air, antara air di lingkungan sekitar terhadap air di dalam tubuh (osmoregulasi). Enzim yang sangat berperan dalam insang ikan adalah enzim karbonik anhidrase dan transportasi ATP ase. Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengandung Zn dan berfungsi sebagai penghidrolisis CO 2 menjadi asam karbonat. Apabila ikatan Zn ini digantikan logam lain, maka fungsi enzim karbonik anhidrase akan menurun. Secara morfologi struktur insang ikan juga akan berubah, seperti terjadinya penebalan sel epitel insang dan insang kehilangan fungsi sebagai pengambil oksigen dari air (hipoksia) dan mengganggu pergerakan renang ikan. Kerusakan jaringan oleh logam terdapat pada beberapa lokasi baik tempat masuknya logam (insang) maupun tempat penimbunanya (hati). Akibat yang ditimbulkan dari toksisitas Pb dapat berupa kerusakan fisik (erosi, degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologik (gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolisme). Pb dalam jaringan dan cairan tubuh identik dengan jumlah Pb yang dikeluarkan. Ekskresi Pb melalui bilus dan urin. 17 Menurut Darmono (2008), semua spesies hewan muda (mamalia) lebih rentan keracunan Pb dibandingkan hewan tua. Palar (1994) melaporkan bahwa, Pb dapat menembus plasenta sehingga terjadi transportasi dari induk ke fetus, dan untuk ikan belum diketahui secara pasti. Simkiss dan Mason (1984) diacu dalam Darmono (2008), mendefinisikan logam dalam jaringan organisme akuatik dibagi menjadi dua tipe utama. Pertama, logam tipe kelas A (seperti : Na, Ka, Ca dan Mg) yang bersifat elektrostatik dan pada larutan garam berbentuk ion hidrofilik. Kedua, logam tipe kelas B (seperti : Cu, Zn, Pb dan Ni) yang merupakan komponen kovalen dan jaringan berbentuk ion bebas. Tipe logam yang paling toksik bagi lingkungan adalah kelas B, seperti Cd, Pb dan Hg. Logam kelas B seperti Pb bila masuk ke dalam sel hewan akuatik pada umumnya selalu proporsional dengan tingkat konsentrasi logam berat dalam lingkungannya, sehingga Pb dapat terikat dengan adanya ketersediaan ligan dalam sel. Darmono (2008) menjabarkan bahwa respon sel terhadap masuknya logam berat bergantung pada sel-sel sebagai berikut : a. Sel yang mengandung ligan berlebihan dan sesuai untuk ikatan logam yang masuk, logam dapat terikat sepenuhnya dan tidak menimbulkan gangguan metabolisme. b. Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dapat mensintesis ligan kembali bila diperlukan sehingga masih dapat mengikat logam yang masuk dan tidak menimbulkan gangguan metabolisme. c. Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dapat mensintesis ligan lagi dengan jalan mengusir logam yang telah terikat untuk keluar sel. d. Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dalam proses pengikatannya terjadi kompetisi antara logam itu sendiri. Dilihat dari sifatnya, Pb yang masuk tipe kelas logam berat B sangat mudah dan cepat melakukan penetrasi dalam tubuh organisme air. Nilai ambang batas Pb dalam daging ikan menurut Alaerts dan Santika (1987) adalah 2 mg/kg. Jumlah Pb yang terakumulasi dalam jaringan tubuh hewan air yang masih aman dikonsumsi oleh manusia yaitu 2 mg/kg (Ditjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989 dan WHO 1992). Batas baku mutu kandungan Pb dalam air menurut SK. Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 sebesar 0,030 mg/l 18 dan sebesar 5 mg/kg untuk sedimen. Pb adalah logam berat konvensional yang sering menyebabkan keracunan. Air sebagai wadah budidaya perikanan yang terkontaminasi oleh Pb dapat menyebabkan keracunan kronis. Kasus keracunan Pb pada ikan atau pada manusia pengkonsumsi ikan tercemar dapat terjadi terutama pada ikan yang ditangkap atau dibudidayakan di daerah tercemar. Keracunan Pb pada ikan menimbulkan gejala khas sebagai berikut: 1. Gastrointeritis. Hal ini karena terjadi reaksi dari mukosa saluran pencernaan bila kontak dengan garam Pb dan terjadi pembengkaan. Gerak kontraksi rumen dan usus terhenti sehingga terjadi diare. 2. Anemia. Dalam darah, Pb berikatan dengan sel darah merah sehingga sel darah mudah pecah. Terjadi gangguan terhadap sintesis Hb dan ditemukannya basofilik stipling pada sel darah, inilah ciri terjadinya keracunan Pb. 3. Encephalopati, yaitu kerusakan yang terjadi pada sel endotel dari kapiler, insang, hati dan ginjal. Risiko Pb Pada Organ Tubuh Manusia Risiko Pb pada organ tubuh manusia menurut Manahan (1997), adalah logam toksik yang bersifat kumulatif sehingga mekanisme toksisitasnya dibedakan menurut organ yang dipengaruhi yaitu : Risiko Pb pada sistem hemopoietik. Pb mempengaruhi sistem darah dengan cara: a. memperlambat pematangan normal sel darah merah (eritrosit) dalam sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya anemia. b. mempengaruhi kelangsungan hidup sel darah merah. Eritrosit yang diberi perlakuan dengan Pb, memperlihatkan peningkatan tekanan osmosis dan kelemahan pergerakan. Selain itu juga memperlihatkan penghambatan NaK-ATP ase yang meningkatkan kehilangan kalium intraseluler. Hal ini membuktikan bahwa kejadian anemi karena keracunan Pb disertai dengan penyusutan waktu hidup eritrosit. c. menghambat biosintesis hemoglobin dengan cara menghambat aktivitas enzim delta-ALAD dan enzim ferroketalase. 19 Proses kehidupan organisme merupakan rangkain proses fisiologis, maka dibutuhkan enzim-enzim untuk kelancaran rangkaian-rangkaian reaksi yang dibentuknya. Enzim adalah katalisator protein (zat yang mempercepat reaksi biokimia dalam sistem biologis). Pada umumnya semua reaksi biokimia dikatalisasi oleh enzim. Sifat enzim yang paling bermakna adalah kesanggupannya untuk mengkatalisis suatu reaksi spesifik, dan pada hakekatnya tidak mengkatalisis reaksi lain. Keberadaan suatu zat racun dapat mempengaruhi aktifitas enzim fisiologis tubuh. Logam berat mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan enzim. Ikatan itu dapat terjadi karena logam berat mempunyai kemampuan untuk menggantikan gugus logam yang berfungsi sebagai ko-faktor enzim. Enzim-enzim tertentu memiliki gugus sulfihidril (-SH) sebagai pusat aktifnya. Enzim-enzim yang mempunyai gugus sulfihidril ini merupakan kelompok enzim yang paling mudah terhalang daya kerjanya. Keadaan ini disebabkan gugus sulfihidril dengan mudah berikatan dengan ion-ion logam berat. Akibat dari ikatan yang dibentuk antara gugus sulfihidril dengan ion logam berat, daya kerja yang dimiliki oleh enzim menjadi sangat berkurang atau sama sekali tidak bekerja. Pb mengganggu sistem sintesis Hb dengan cara menghambat konversi delta aminolevulinik acid dehidrase (delta ALAD) menjadi forfobilinogen dan menghambat korporasi dari Fe ke protoporfirin IX untuk membentuk Hb, dengan cara menghambat enzim delta ALAD dan feroketalase yang akhirnya meningkatkan ekskresi koproporfirin dalam urin dan delta ALA serta mensintesis Hb. Kompensasi penurunan sintesis Hb karena terhambat Pb adalah peningkatan produksi erithrofoesis. Sel darah merah muda (retikulosit) dan sel stipel kemudian dibebaskan. Ditemukannya sel stipel basofil (basophilic stippling) merupakan gejala dari adanya gangguan metabolik dari pembentukan Hb. Hal ini terjadi karena adanya tanda-tanda keracunan Pb. Sel darah merah gagal untuk menjadi dewasa dan sel tersebut menyisakan organel yang biasanya menghilang pada proses kedewasaan sel, akhirnya poliribosoma ireguler pada agregat RNA membentuk sel stipel (Darmono 2008). 20 Risiko Pb pada sistem saraf. Wahyu Widowati et al. (2008) menuliskan bahwa, sistem saraf merupakan sistem yang paling sensitif terhadap daya racun. Risiko dari keracunan Pb dapat menimbulkan kerusakan pada otak. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan otak sebagai akibat dari keracunan Pb adalah epilepsi, halusinasi, kerusakan pada otak besar dan delirium, yaitu sejenis penyakit gula. Sistem saraf yang kena pengaruh Pb dengan konsentrasi dalam darah diatas 80 μg / 100 ml, dapat terjadi ensefalopati. Hal ini dapat dilihat melalui gejala seperti gangguan mental yang parah, kebutaan dan epilepsi dengan atrofi kortikal, atau dapat secara tidak langsung berkurangnya persepsi sensorik sehingga menyebabkan kurangnya kemampuan belajar, penurunan intelegensia (IQ), atau mengalami gangguan perilaku seperti sifat agresif, destruktif atau jahat. Kerusakan saraf motorik menyebabkan kelumpuhan saraf lanjutan dikenal dengan lead palsy. Keracunan kandungan Pb dapat merusak saraf mata pada anak-anak dan berakhir pada kebutaan. Centers for disease Control (CDC) menyatakan bahwa kandungan Pb dalam darah 70 μg / 100 ml merupakan batas darurat medis akut pada pasien anak. Selain itu, dapat menurunkan IQ pada anak kecil (manusia) jika terdapat 10-20 µ gr/l dalam darah. Risiko Pb pada sistem ginjal. Senyawa Pb yang terlarut dalam darah dibawa ke seluruh sistem tubuh. Sirkulasi darah masuk ke glomerolus merupakan bagian dari ginjal. Glomerolus merupakan tempat proses pemisahan akhir dari semua bahan yang dibawa darah. Pb yang terlarut dalam darah akan berpindah ke sistem urinaria (ginjal) sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada ginjal. Kerusakan terjadi karena terbentuknya intranuclear inclusion bodies disertai dengan gejala aminociduria, yaitu terjadinya kelebihan asam amino dalam urine. Nefropatis (kerusakan nefron pada ginjal) dapat di deteksi dari ketidak seimbangnya fungsi renal dan sering diikuti hipertensi (Darmono 2008). Risiko Pb pada sistem gastrointestinal Gejala awal muncul pada konsentrasi Pb dalam darah sekitar 80 μg / 100 ml. Gejala-gejala tersebut meliputi kurangnya nafsu makan, gangguan 21 pencernaaan, gangguan epigastrik setelah makan, sembelit dan diare. Jika kadar Pb dalam darah melebihi 100 μg / 100 ml, maka kecenderungan untuk munculnya gejala lebih parah lagi, yaitu bagian perut kolik terus menerus dan sembelit yang lebih parah. Jika gejala ini tidak segera ditangani, maka akan muncul kolik yang lebih spesifik. Konsentrasi Pb dalam darah diatas 150 μg / 100 ml penderita menderita nyeri dan melakukan reaksi kaki ditarik-tarik kearah perut secara terus menerus dan menggeretakkan gigi, diikuti keluarnya keringat pada kening. Jika tidak dilakukan penanganan lebih lanjut, maka kolik dapat terjadi selama beberapa hari, bahkan hingga satu minggu (Wahyu Widowati et al. 2008). Risiko Pb pada sistem kardiovaskuler. Tahap akut keracuan Pb khususnya pada pasien yang menderita kolik, tekanan darah akan naik. Jika terjadi hal demikian, maka pasien tersebut akan mengalami hipotonia. Kemungkinan kerusakan miokardial harus diperhatikan. Dalam penelitian ditemukan jenis kelainan perubahan elektrokardiografis pada 70 % dari total pasien yang ditangani. Temuan utama dari penelitian adalah takhikardia, atrial disritmia, gelombang T dan atau sudut QRS-T yang melebar secara tidak normal (Wahyu Widowati et al. 2008). Risiko Pb pada sistem reproduksi dan endokrin. Efek reproduktif meliputi berkurangnya tingkat kesuburan bagi wanita maupun pria yang terkontaminasi Pb, logam tersebut juga dapat melewati plasenta sehingga dapat menyebabkan kelainan pada janin. Dapat menimbulkan berat badan lahir rendah dan prematur. Pb juga dapat menyebabkan kelainan pada fungsi tiroid dengan mencegah masuknya iodine (Wahyu Widowati et al. 2008). Risiko karsinogenik. Wikipedia (2006) menyatakan bahwa Pb anorganik dan senyawanya termasuk dalam grup 2B, kemungkinan menyebabkan kanker pada manusia. Tahap awal proses terjadinya kanker adanya kerusakan DNA yang menyebabkan peningkatan lesi genetik herediter yang menetap atau disebut mutasi. Pb diperkirakan mempunyai sifat toksik pada gen sehingga dapat mempengaruhi terjadinya kerusakan DNA / mutasi gen dalam kultur sel mamalia. Patogenesis 22 kanker otak akibat terpapar Pb adalah sebagai berikut : Pb masuk kedalam darah melalui makanan dan akan tersimpan dalam organ tubuh yang mengakibatkan gangguan sintesis DNA, proliferensi sel yang membentuk nodul selanjutnya berkembang menjadi tumor ganas (Wahyu Widowati et al. 2008; Darmono, 2008). Perilaku Pb Dalam Perairan Kemungkinan terlepasnya logam berat dari sedimen ke air dan berakhir terakumulasi di dalam ikan sangatlah besar. Bryan (1976a) mengemukakan bahwa dalam keadaan yang sesuai, beberapa logam yang berikatan dengan sedimen dan partikel yang mengendap akan kembali kedalam air diikuti remobilisasi dan difusi keatas. Forstner (1979b) menyimpulkan bahwa proses pelepasan logam berat dari sedimen ke air menjadi lima proses, yakni : 1. Kepekatan garam yang tinggi. Pada kepekatan yang tinggi, kation alkali dan alkalin dapat bersaing untuk tempat penyerapan pada partikel padat, dengan cara mengganti ion-ion logam runutan yang telah diserap 2. Perubahan keadaan redoks. Penurunan potensial oksigen dalam sedimen dapat terjadi karena keadaan seperti eutrofikasi lanjutan. Hal ini mengakibatkan suatu perubahan dalam bentuk kimiawi logam dan dengan demikian perubahan dalam kelarutan air. Dalam keadaan reduksi, logam runutan dalam air interstisi terdapat berbagai (a) senyawa sulfida untuk Cd, Hg dan Pb ; (b) senyawa organic untuk Fe dan Ni ; (c) senyawa klorida untuk Mn ; dan (d) senyawa hidroksida untuk Cr. Dengan terbentuknya keadaan oksidasi kelarutan ion-ion logam dipengaruhui oleh perubahan yang tiba-tiba dari dari logam sulfide menjadi hidroksida karbonat, oksihidroksida, oksida atau silikat. 3. Perubahan pH. Reduksi pH mengarah pada penguraian karbonat dan hidroksida, begitu pula untuk meningkatkan desorpsi kation logam disebabkan persaingan dengan ion-ion hidrogen. 4. Kehadiran zat-zat pembentuk kompleks. Meningkatnya penggunaan zat-zat pembentuk kompleks yang alamiah dan buatan, dengan logam runutan 23 dapat membentuk kompleks logam yang stabil dan dapat larut yang diserap ke dalam partikel padat lain. 5. Transformasi biokimiawi. Hal ini dapat mengarah pada perpindahan logam dari sedimen ke dalam fase cair atau pengambilannya oleh makhluk hidup air dan kemudian dilepaskan melalui hasil dekomposisi. Bryan (1976a) menambahkan, perbandingan antara pengambilan logam dari sumber makanan dengan penyerapan langsung melalui larutan, merupakan kepentingan dasar bagi makhluk hidup heterotrofik. Kejadiannya sangat terbatas, tetapi makanan dan pertikulat merupakan sumber akumulasi penting dan utama yang terjadi pada ikan. Prosi (1979) berkesimpulan bahwa, faktor penentu yang berhubungan dengan pengambilan dan akumulasi logam berat oleh mahkluk hidup perairan, adalah sebagai berikut : 1. Ketersediaan logam secara biologi hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi, pada umumnya lebih ditentukan oleh perpindahan dari air dibandingkan dari makanan. 2. Makhluk hidup yang makan dengan cara menyaring, atau ikan penyaring diketahui mengakumulasi logam di dalam jaringannya dengan tingkat kandungan yang tinggi, tetapi memindahkan hanya sebagian kecil saja pada makhluk predator. 3. Sedimen dan detritus biasanya mengandung kepekatan logam tertinggi di dalam sistem yang tercemar dan hewan pemangsa sedimen dan detritus cendrung untuk mengakumulasi logam dalam kepekatan yang lebih tinggi dibandingkan hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi. 4. Jangka waktu hidup hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi biasanya lebih besar dari pada makhluk hidup pada tingkat yang lebih rendah. Dengan demikian, penambahan yang berhubungan dengan umur dapat merupakan faktor yang nyata yang mempengaruhi tingkat penambahan logam pada tingkat trofik yang lebih tinggi. 5. Terjadi suatu pemilihan atas dasar kesukaan terhadap pengambilan dan pengeluaran berbagai logam berat dalam bentuk yang berbeda 24 Menurut Forstner (1979b), terdapat tiga proses mikrobial utama yang mempengaruhi pengangkutan logam dari sedimen ke air di lingkungan, yaitu : 1. Degradasi bahan-bahan organik menjadi senyawa yang berbobot molekulnya lebih rendah, yang lebih mampu membentuk senyawa dengan ion-ion logam. 2. Perubahan sifat lingkungan dan bentuk kimiawi logam oleh kegiatan metabolik, contoh : potensial oksidasi-reduksi dan keadaan pH. Perubahan senyawa anorganik menjadi bentuk organologam dengan cara proses oksidatif dan reduktif. Kriteria Kolong Menurut Cynthia Henny (2007), kolong umumnya dalam dan tanpa zona littotal yang dikelilingi oleh dinding batuan yang terjal/curam, tidak memiliki aliran masuk dan keluar. Batuan buangan, batuan dinding dan dasar kolong bekas penambangan sangat mempengaruhi geokimia air. Espana et al. (2008); Blodau (2006); Brahmana et al. (2004), menerangkan bahwa kolong bekas galian penambangan timah selalu dikaitkan dengan masalah kualitas air, seperti rendahnya pH, konsentrasi logam dan kandungan padatan tersuspensi dan padatan terlarut tinggi. Tipe kolong sangat dipengaruhi oleh mineral pembentuknya. Meskipun dalam waktu lama proses alamiah (biologis/kimia) dapat mengubahnya. Dua macam tipe mineral penyusun kolong di Bangka yakni pyrite dan kaolin. Cynthia Henny (2007) juga mengkelompokkan kolong menjadi dua, yakni kolong muda dan kolong tua. Kolong muda memiliki ciri kandungan logam Fe, sulfat dan kandungan logam lain yang cukup tinggi, proses pemulihan secara alami lambat (>20 tahun), jenis sedimen kolong mineral kaolin kaya akan aluminum dan silika umumnya kisaran pH 4 dan jenis sedimen kolong mineral pirit kaya akan besi dan sulfat umumnya pH berkisar 2. Kolong tua (non aktifitas tambang), cirinya adalah proses pemulihan kualitas air secara alami telah terjadi, umunya berusia >20 tahun dan telah terbentuknya sistem ekosistem, kandungan logam masih tinggi tetapi lebih rendah dari kolong muda tipe Pirit, jenis sedimen mineral kaolin umumnya kisaran pH >6 dengan kandungan logam rendah dan sudah 25 dimanfaatkan dan jenis sedimen mineral pirit umumnya kisaran pH 4 dan masih terdapat kandungan beberapa logam dan belum banyak dimanfaatkan. Hasil penelitian Brahmana et al. (2004); Blodau (2006); Espana et al. (2008) dan Cynthia Henny (2009), untuk kolong muda (usia 0-20 th) kandungan Pb di airnya berkisar 0,13-0,422 mg/l dan disedimennya berkisar 32,5-90 mg/l. Sedangkan untuk kolong tua (usia > 20 th) kandungan Pb di airnya berkisar 0,010,031 mg/l dan disedimennya berkisar 24,5-66,5 mg/l. Diversitas fitoplankton pada kolong tua cukup tinggi yang menandakan bahwa kolong cukup subur. Namun demikian, kolong umumnya mengandung logam lebih tinggi di bandingkan perairan umum, fitoplankton mengandung logam yang tinggi. Dominansi fitoplankton dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan diantaranya faktor fisika, kimia dan hidrologi (Darmono 1995b). Kelimpahan dari fitoplankton yang rendah berhubungan dengan kondisi nutrien dan polutan yang terdapat pada kolom air. Fitoplankton di perairan merupakan produsen primer yang memegang peranan penting dalam kesinambungan rantai makanan untuk konsumen tingkat kedua dan ketiga (crustacea dan ikan). Nilai beberapa kualitas air seperti konsentrasi nutrien mempengaruhi variasi jenis dan kelimpahan fitoplankton. Nilai TSI (Trophic Status Index) berdasarkan perhitungan TSI Carlson dilihat dari kandungan TP, khlorofil-a dan kedalaman secchi, menunjukkan bahwa kondisi status trophik kolong berkisar dari mesotrophik, eutrophik ringan, eutrophik sedang sampai dengan hypereutrophik (Mason 1993). Kolong Grasi tergolong kolong tua (usia kolong >30) dengan titik koordinat S01052.464’;E106007.005’, terletak di Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Telah tersuksesi tumbuhan air dan sistem ekosistem telah terbentuk. Lokasi ini merupakan lokasi yang direncanakan untuk pengembangan perikanan budidaya air tawar terpadu oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berdasarkan hasil penelitian Cynthia Henny dan Evi Susanti 2009 di kolong Grasi, jenis fitoplankton yang ditemukan yaitu Chlorophyceae (Staurastrum, (Trachellomonas), Cosmarium, Bacillariophyceae Scenedesmus), (Urosolenia Dinophyceae longiseta) dan Euglonophyceace. Persentase kelimpahan 91,4% di bulan Mei dan 62,0% di bulan 26 Oktober untuk jenis Chlorophyceae. 1,4% di bulan Mei dan 18,8% di bulan Oktober untuk jenis Dinophyceae. 0,2% di bulan Mei dan 0,0% di bulan Oktober untuk jenis Bacillariophyceae. Sedangkan untuk jenis Euglonophyceace dibulan Mei persentase kelimpahan sebesar 0,0% dan di bulan Oktober sebesar 12,5%. Kolong Grasi memiliki indeks diversitas (H) sebesar 0,8370 dan indeks dominansi (C) sebesar 0,2281. Nilai TSI kolong Grasi sebesar 68 dengan status eutrophik sedang. Kualitas Air Suhu berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung seperti terhadap aktifitas enzim, tingkat metabolisme, proses fisiologis maupun kadar oksigen. Tingkat penyerapan racun dapat lebih tinggi dengan adanya kenaikan suhu (Macek et al., diacu dalam Arianti 2002). Suhu juga berperan dalam penyebaran organisme dalam perairan. Kenaikan suhu dapat menurunkan kandungan oksigen serta kenaikan daya toksik polutan yang ada dalam perairan. Suhu berpengaruh langsung terhadap organisme perairan tertentu dalam proses fotosintesis dan siklus reproduksi (Sverdrup et al 1961). Peningkatan suhu juga dapat meningkatkan aktivitas enzim, difusi molekul-molekul kecil, fungsi membran dan kecepatan sistesa protein (Houlihan et al. 1993). Temperatur air kolong di pulau Bangka berkisar antara 29 – 32 0C (Cynthia Henny & Evi Susanti 1999). Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk (Jeffries dan Mills 1996). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat didalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Jeffries & Mills 1996). Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga akan semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Kekeruhan pada perairan tergenang (lentik), lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel halus. Kekeruhan yang tinggi dapat 27 mengakibatkan terganggunya system osmoregulasi, misalnya pernapasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghalangi penetrasi cahaya kedalam air. Kedalaman secchi di kolong-kolong Bangka berkisar dari 0,2 – 1,3 m (Cynthia Henny & Evi Susanti 1999). Tingkat keasaman (pH) adalah suatu ukuran untuk menyatakan besarnya konsentrasi ion hydrogen (H+) di dalam air (Tebbut 1992, diacu dalam Effendi 2003). Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Nilai pH suatu perairan sangat ditentukan oleh CO2 dan substansi asam. Phytoplankton dan tanaman air mengambil CO2 selama proses fotosintesis, sehingga pH perairan meningkat di siang hari dan kembali turun pada malam hari (Boyd & Licthkoppler 1982; Zonneveld et al. 1991). Larutan yang bersifat asam (pH) rendah lebih bersifat korosif. Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hydrogen sulfide (H2S), ammonia (NH3) dan metana (CH4). Senyawasenyawa yang dihasilkan tersebut bersifat asam dan berpotensi menurunkan pH air. Rendahnya pH juga dapat menyebabkan meningkatnya efek toksik logam berat, ammonia dan sianida (Beveridge 1987). Boyd dan Licthkoppler (1982) menyatakan kisaran pH pada budidaya ikan adalah sebagai berikut : pH 4-11 adalah titik mati asam dan basa, pH antara 4-6 dan antara 9-10, ikan dapat hidup tapi pertumbuhannya lambat, sedangkan ph 6,5 dan 9 merupakan kisaran optimum bagi kehidupan ikan. Untuk tumbuh maksimal pH harus tetap ideal dengan fluktuasi yang kecil (Stickney 1993). Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya karbondioksida (Moss 1993). Di dalam air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat. Bila 1% dari karbondioksida bereaksi dengan air, akan membentuk asam karbonat (Cole 1988). Pada pembentukan asam karbonat tersebut akan dihasilkan ion hydrogen yang mengakibatkan pH perairan menurun. Kisaran pH kolong tua pasca penambangan timah di pulau Bangka sebesar 5,5 – 8 (Subardja et al. 2004; Brahmana et al. 2004). Oksigen terlarut merupakan parameter kimia paling kritis di dalam budidaya ikan. Oksigen dalam air terutama berasal dari udara yang masuk melalui proses difusi dan hasil sampingan fotosintesis tumbuhan akuatik terutama fitoplankton (Mayunar et al. 1995). Menurut Boyd (1996) bahwa pemuatan dan 28 pelepasan hemoglobin dengan oksigen diatur oleh tegangan oksigen. Karena hemoglobin melepaskan oksigen ke dalam jaringan tubuh. Kelarutan oksigen di perairan dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas dan salinitas (Boyd & Licthkoppler 1982). Sumber oksigen dalam perairan berasal dari proses fotosintesis phytoplankton dan difusi dari udara, sedangkan penyebab utama berkurangnya kelarutan oksigen dalam perairan adalah karena aktivitas respirasi plankton, respirasi ikan, respirasi organisme dasar perairan serta difusi ke udara. Oksigen merupakan komponen utama dalam daya dukung lingkungan. Swingle (1969) diacu dalam Boyd (1996) menerangkan pengaruh kadar oksigen terlarut terhadap kelangsungan hidup ikan : jika kadar oksigen terlarut < 0,3 mg/l maka hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan pada masa pemaparan singkat, jika kadar oksigen terlarut 0,3-1,0 mg/l maka pemaparan lama dapat menyebabkan kematian ikan, jika kadar oksigen terlarut 1,0-5,0 maka ikan dapat bertahan hidup tetapi pertumbuhannya terganggu dan jika kadar oksigen terlarut >5,0 maka kondisi ini merupakan kondisi ideal dimana hampir semua organism akuatik menyukai kondisi ini. Kandungan DO di kolong-kolong pulau Bangka sekitar 0,3 – 8,74 mg/l (Cynthia Henny & Evi Susanti 1999). Karbondioksida (CO2) yang terdapat di perairan berasal dari berbagai sumber, yaitu : (1) Difusi dari atmosfer, (2) Air hujan, (3) Air yang melewati tanah organik dan (4) Respirasi tumbuhan (Cole 1988). Pada dasarnya keberadaan CO2 di perairan terdapat dalam bentuk gas karbondioksida bebas (CO2), ion bikarbonat (HCO3-), ion karbonat (CO32-) dan asam karbonat (H2CO3). Proporsi dari keempat bentuk karbon berkaitan dengan nilai pH. Pada pH air yang rendah (pH = 4) CO2 terdapat dalam bentuk terlarut dan asam karbonat, pada pH antara 7 sampai 10 semuanya membentuk ion HCO3- dan pada pH > 11 karbon berbentuk CO32-(Cole 1988). Boyd (1996) menjelaskan bahwa, perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas < 5 mg/l. Kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l masih dapat ditorerir oleh mikroorganisme akuatik asalkan disertai dengan kadar oksigen yang cukup. Karbon organik total (TOM) terdiri atas bahan organik terlarut dan partikulat dengan perbandingan 10:1. TOM dapat dapat menggambarkan tingkat 29 pencemaran. Pada perairan alami, nilai TOM berkisar antara 1-30 mg/l (McNeely et al. 1979). Perairan alami yang telah menerima limbah baik domestik maupun industry atau perairan pada daerah berawa-rawa dapat lebih dari10-100 mg/l. Pertumbuhan Effendie (1979) mendefinisikan pertumbuhan adalah perubahan ukuran, baik panjang atau berat dalam waktu tertentu. Proses pertumbuhan pada ikan mulanya berlangsung lambat, kemudian cepat dan akhirnya lambat kembali. Pertumbuhan yang demikian disebut autocatalytic. Dengan demikian ikan yang lebih muda akan mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan tua. Ikan tua tetap mengalami pertumbuhan walaupun berlangsung secara lambat. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi genetik, seks, umur, daya tahan terhadap penyakit dan parasit. Faktor eksternal meliputi kompetisi pada populasi, makanan, tingkatan trofik, energi matahari dan keadaan fisika-kimia lingkungan. Effendie (1979), menerangkan bahwa Survival Rate atau SR adalah tingkat kelangsungan hidup. Nilai SR digunakan untuk menentukan peluang hidup ikan dalam waktu tertentu. Feed Convertion Ratio atau FCR merupakan perangkat ukur yang digunakan untuk menghitung rasio pakan. Definisi lain untuk FCR adalah berapa banyak pakan (kg) yang diberikan untuk menghasilkan 1 kg daging ikan. FCR diukur untuk melihat tingkat efisiensi pemberian dan penggunaan pakan dalam kegiatan budidaya ikan. Fitoplankton Fitoplankton adalah makhluk hidup yang berupa tumbuhan renik yang melayang-layang di dalam kolom air, tidak mampu bergerak secara aktif melawan arus air (Odum 1993). Secara ekologis fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan, sehingga keberadaannya akan menentukan keberadaan seluruh biota air (Nybakken 1988). Perkembangan fitoplankton sangat ditentukan oleh faktor fisika kimia lingkungan perairan, seperti intensitas cahaya matahari, suhu dan nutrient. Wetzel (1983) menyatakan bahwa, danau eutrofik memiliki keanekaragaman yang menurun dan struktur komunitas fitoplankton di dominansi oleh kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae dan Bacillariophyceae. Hal ini 30 terjadi pada danau-danau beriklim tropis dan beriklim sedang. Kuantitas dan kualitas fitoplankton dalam kolom air selalu berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan hidupnya. Davis (1955) mengemukakan bahwa disetiap perairan terdapat perkembangan komunitas yang dinamis, sehingga suatu species dapat lebih dominan dari pada spesies yang lainnya pada interval waktu yang relatif pendek sepanjang tahun, spesies yang dominan pada satu bulan tertentu bias menjadi spesies yang langka pada bulan berikutnya dan digantikan dengan dengan spesies lain yang lebih dominan. Menurut Effendie (1979), metode Frekuensi Kejadian dilakukan dengan cara mencatat jumlah ikan yang ususnya kosong dan mencatat keberadaan organisme pada masing-masing ikan yang ususnya berisi. Indeks Preponderance adalah evaluasi ragam jenis makanan ikan. Indeks Preponderance digunakan untuk mengevaluasi kebiasaan makan ikan dan analisis tingkat kepenuhan komposisi pakan alami dalam lambung atau usus ikan. Nilai Indeks Preponderance (Ii) berkisar antara 0-100%. Dikuatkan lagi oleh Haryadi (1983), jika nilai Ii lebih besar dari 25% maka pakan tersebut merupakan pakan utama, jika nilai Ii antara 4-25% maka pakan tersebut merupakan pakan pelengkap dan apabila Ii bernilai kurang dari 4% maka pakan tersebut merupakan pakan tambahan. Glukosa Darah Mekanisme terjadinya perubahan kadar glukosa darah selama stress dimulai dari diterimanya informasi penyebab faktor stress oleh organ reseptor. Selanjutnya informasi tersebut disampaikan ke otak bagian hipotalamus melalui sistem syaraf. Kemudian hipotalamus memerintahkan sel kromafin untuk mensekresikan hormon katekolamin melalui serabut syaraf simpatik.Adanya katekolamin ini akan mengaktivasi enzim-enzim yang terlibat dalam katabolisme simpanan glikogen, sehingga kadar glukosa darah mengalami peningkatan. Pada saat yang bersamaan hipotalamus otak mensekresikan CRF (corticoid releasing factor) yang meregulasi kelenjer pituitari untuk mensekresikan ACTH (adreno corticotropic hormone). Hormon tersebut akan direspon oleh sel interenal dengan mensekresikan kortisol (Soewondo 1996). 31 Saat ikan stress kadar glukosa terus naik untuk mengatasi homeostasis akibat stress terhadap perubahan fisiologis. Hiperglisemia akan berakibat buruk bagi ikan. Ini berawal dari naiknya kadar kartisol dalam darah akibat stress yang akan memobilisasi glukosa dari cadangan yang disimpan oleh tubuh ke dalam darah, sehingga glukosa dalam darah mengalami kenaikan. Naiknya kadar glukosa darah tersebut dibutuhkan untuk proses memperbaiki homeostasis selama stress, namun kebutuhan energi dari glukosa tersebut akan dapat terpenuhi apabila glukosa dalam darah dapat segera masuk ke dalam sel, dan ini sangat bergantung pada kinerja insulin. Naiknya kadar kortisol akan mengurangi kerja insulin di dalam darah. Saat stress dengan berkurangnya insulin maka kadar glukosa darah terus meningkat karena keterbatasan insulin yang memobilisasi glukosa darah ke dalam sel semakin lambat. Dengan tingginya kadar glukosa di dalam darah tersebut maka sinyal dari pusat syaraf menandakan bahwa ikan merasa kenyang, dan ikan tidak mau makan (Affandi & Usman 2002; Soewondo 1996). Analisa spektrofotometrik serapan atom (AAS) Analisa Pb dilakukan dengan menggunakan spektrofotometrik serapan atom (AAS) yaitu dengan menggunakan prinsip berdasarkan Hukum Lambert Beert yaitu banyaknya sinar yang diserap berbanding lurus dengan kadar zat. Persamaan garis antara konsentrasi logam berat dengan absorbansi adalah persamaan linier dengan koefisien arah positif: Y = a + bX. Dengan memasukkan nilai absorbansi larutan contoh ke persamaan garis larutan standar maka kadar logam berat contoh dapat diketahui. Larutan contoh yang mengandung ion logam dilewatkan melalui nyala udara-asetilen bersuhu 2000 0 C sehingga terjadi penguapan dan sebagian tereduksi menjadi atom. Lampu katoda yang sangat kuat mengeluarkan energi pada panjang gelombang tertentu dan akan diserap oleh atom-atom logam berat yang sedang di analisis. Jumlah energi cahaya yang diserap atom logam berat pada panjang gelombang tertentu ini sebanding dengan jumlah zat yang diuapkan pada saat dilewatkan melalui nyala api udara-asetilen. Setiap unsur logam berat membutuhkan lampu katoda yang berbeda. Keseluruhan prosedur ini sangat sensitif dan selektif karena setiap unsur membutuhkan panjang gelombang yang sangat pasti (Tinsley 1979).