TUGAS ILMU TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING Disusun Oleh : DWI YULIANINGSIH H0507033 JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 UJIAN KOPETENSI IV 1. MENGAPA DAGING YANG DIASAP TERMASUK DAGING AWETAN? 2. APA HUBUNGAN DAGING ASAP DENGAN KETENGIKAN LEMAK? JAWAB: 1. Daging asap adalah irisan daging yang diawetkan dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras yang banyak menghasilkan asap dan lambat terbakar. Asap mengandung senyawa fenol dan formal dehida, masing-masing bersifat bakterisida (membunuh bakteri). Kombinasi kedua senyawa tersebut juga bersifat fungisida (membunuh kapang). Kedua senyawa membentuk lapisan mengkilat pada permukaan daging. Panas pembakaran juga membunuh mikroba, dan menurunkan kadar air daging. Pada kadar air rendah daging lebih sulit dirusak oleh mikroba. Asap juga mengandung uap air, asam formiat, asam asetat, keton alkohol dan karbon dioksida 4. Rasa dan aroma khas produk pengasapan terutama disebabkan oleh senyawa fenol (quaiacol, 4-mettyl-quaiacol, 2,6-dimetoksi fenol) dan senyawa karbonil1. Ada dua cara pengasapan yaitu cara tradisional dan cara dingin. Pada cara tradisional, asap dihasilkan dari pembakaran kayu atau biomassa lainnya (misalnya sabuk kelapa serbuk akasia, dan serbuk mangga). Pada cara basah, bahan direndam di dalam asap yang sudah di cairkan. Setelah senyawa asap menempel pada ikan, kemudian ikan dikeringkan. Walaupun mutunya kurang bagus dibanding pengasapan dingin, Pengasapan tradisional paling mudah diterapkan oleh industri kecil. Asap cair yang diperlukan untuk pengasapan dingin sulit ditemukan dipasaran. Karena itu teknologi yang diuraikan lebih ditekankan pada pengasapan tradisional. Pengawetan adalah suatu usaha/ pengolahan bahan pangan yang dilakukan untuk membunuh/ mengurangi bakteri yang merugikan dalam daging dan mememperpanjang masa simpan bahan pangan. Pengasapan adalah salah satu cara pengawetan pangan yang sudah dipraktekkan sejak lama dalam pengasapan daging dan ikan. Proses pengawetan yang ditimbulkan dari pengasapan terjadi karena kombinasi beberapa faktor. Asap sebagai hasil pembakaran kayu mengandung sejumlah kecil formaldehide dan senyawa lain yang bersifat sebagai pengawet. Disamping itu dalam pengasapan juga ada faktor panas yang diberikan yang berfungsi membunuh mikroba. Pengasapan juga menyebabkan bahan pangan yang diasap menjadi kering karena menguapnya air dari dalam bahan pangan yang juga memberikan pengaruh pengawetan. Pengasapan selain untuk tujuan pengawetan juga bertujuan untuk memberikan citarasa asap yang khas pada bahan pangan. Asap kayu terdiri dari uap dan padatan yang berupa partikel-partikel yang amat kecil yang keduanya mempunyai komposisi kimia yang sama tetapi dalam perbandingan yang berbeda. Senyawa-senyawa kimia yang menguap diserap oleh ikan terutama dalam bentuk uap, senyawa tersebut memberikan warna dan rasa yang diinginkan pada ikan asap. Partikel-partikel padatan tidak begitu penting pada proses pengasapan dan akan mengawetkan makanan karena adanya aksi desinfeksi dari formaldehid, asam asetat dan phenol yang terkandung dalam asap. Butiran-butiran asap mengambil peranan penting dalam pewarnaan. Pengeringan mempunyai fungsi penting dalam pengawetan ikan asap, kecepatan penyerapan asap kedalam daging ikan dan pengeringannnya tergantung kepada banyaknya asap yang terjadi, suhu dan kandungan air dari ikan yang diasapi. Bila kayu atau serbuk kayu dibakar, maka selulose akan diuraikan menjadi alkohol-alkohol berantai lurus yang lebih pendek, aldehid-aldehid, keton-keton dan asam-asam organic. Selain lignin diuraikan menjadi turunan-turunan phenol, quinol, guaikol dan piragatol. Dengan menggunakan teknik kromatografi kertas telah diketahui adanya kurang lebih 20 macam senyawa kimia dalam asap. Persentase setiap senyawa kimia pada asap yang dihasilkan tergantung kepada jenis kayu yang digunakan. Untuk mendapatkan daging asap yang bermutu tinggi maka harus digunakan jenis kayu keras ( non-resinous) atau sabut dan tempurung kelapa, sebab kayu-kayu yang lunak akan menghasilkan asap yang mengandung senyawa-senyawa yang dapat menyebabkan hal-hal dan bau yang tidak diinginkan. Senyawa tersebut antara lainasam formiat, asetat, butirat, kaprilat, vanilat dan asam siringat, dimetoksifenol, metal glioksal, furfural, methanol, etanol, oktanol, asetaldehid, diasetil, aseton, dan 3,4- benzinpiren (Lawrie, 1995). Senyawa kimia tersebut dapat berperan sebagai bakteriostatik, bakteriosidal dan dapat menghambat oksidasi lemak (Winarno et al., 1980). Selama pengasapan berlangsung, senyawa kimia yang terdapat di dalam asap akan menempel pada daging yang akan memberikan efek preservatif sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang pada akhirnya masa simpan dapat diperpanjang sehingga daging yang diasap termasuk daging awetan. Tinggi rendahnya efisiensi proses pengeringan dipengaruhi oleh kelembaban udara sekelilingnya, bila udara dingin yang masuk kedalam unit pengasapan dipanasi, maka beratnya kan manjadi lebih ringan daripada udara di luar, dan udara ini akan masuk atau naik dengan cepat ke unit pengasapan dan melintasi ikan-ikan didalamnya.Banyaknya uap air yang diserap oleh udara tergantung suhunya, jadi bila udara dingin dipanasi maka kapasitas pengeringan akan lebih tinggi. Dalam keadaan lembab, udara jenuh yang telah panas tidak dapt dipanasi lagi secara cepat untuk mengurangi kandungan uap airnya dan oleh karena itu kapasitas menurun. Jadi pada tahap pengasapan, kecepatan penguapan air tergantung pada kapasitas pengering udara dan asap juga kecepatan pengaliran asap. Pada tahap kedua, dimana permukaan daging sudah agak kering suhu daging akan mendekati suhu udara dan asap. Kecepatan pengeringan akan menjadi lambat karena air harus merembes dahulu dari lapisan dalam daging daging, bila pengeringan mula-mula dilakukan pada suhu yang terlalu tingi dan terlalu cepat, maka permukaan ikan daging akan menjadi keras dan akan menghambat penguapan air selanjutnya dari lapisan dalam, sehingga kemungkinan daging bagian dalam tidak mengalami efek pengeringan. Buckle et al (1985) mengatakan proses pengasapan dapat dilaksanakan dengan : 1) proses konvensional dengan menggantungkan produk dalam rumah pengasapan selama 4-8 jam pada suhu 350 C – 400C, atau 2) menaruh produk tersebut selama beberapa jam dalam suatu ruangan dimana asap disalurkan dari pembangkit asap yang terdiri dari suatu roda penggiling dan suatu tongkat kayu. Dalam kedua hal tersebut, asap harus dibangkitkan dari kayu keras yang telah di awetkan untuk menghindari getah-getah yang biasanya ada pada kayu-kayu yang lunak seperti kayu cendana. Proses pengasapan mempunyai beberapa akibat antara lain pengaruh yang bersifat mengawetkan yang ditimbulkan oleh penyimapanan/ penimbunan di permukaan daging senyawa kimia seperti formaldehida, asetaldehida, aseton diasetil, metanol, etanol, fenol, asam-asam format dan asetat, furfural dehida, resins, bahan lilin, ter dan tentu saja bahan-bahan yang lain yang semuanya terdapat pada produk yang di asap dengan konsentrasi mulai bagian per sejuta sampai bagian perbilyun. Akibat pengawetan dapat juga di sebabkan oleh pengeringan permukaan yang menguapkan kira-kira 3% dari kehilangan seluruh berat pada produk yang di asap panas. Pengaruh bahan antioksidan juga dihasilkan oleh pemasukan senyawasenyawa fenol ke dalam produk dan pada permukaan bahan yang di asap, bahanbahan ini menyebabkan ketahanan simpan yang lebih lama, dan bebas dari proses ketengikan. Akhirnya, sudah tentu pengasapan memberi rasa yang khas pada produkproduk tradisional. Soeparno(1994) mengatakan maksud pengasapan daging terutama adalah untuk meningkatkan flavor dan penampakan permukaan produk yang menarik. Selongsong daging asap juga dapat membantu memperbaiki permukaan daging. Klasifikasi bakteri halofilik yang paling mudah adalah berdasarkan konsentrasi garam yang dibutuhkan. Bakteri Halofilik lemah tumbuh optimum pada kadar garam 3-5%, halofilik kuat tumbuh optimum pada konsentrasi garam 15-30%. Selain itu terdapat bakteri yang Halotoleran yaitu dapat tumbuh tanpa garam atau dengan adanya garam, kadang-kadang sampai 12%. Spesies yang termasuk Halofilik kuat adalah jenis Halobacterium dan Halococcus yang memproduksi pigmen berwarna merah terang atau merah muda dan tumbuh sangat lambat pada kondisi optimum, dan dapat mengalami lisis jika dimasukkan ke dalam larutan dengan konsentrasi garam rendah (kurang dari 10%) (Fardiaz 1992). Natrium klorida (NaCl) atau yang lebih dikenal dengan garam dapur merupakan salah satu bahan pengawet atau bahan tambahan yang sering digunakan dalam proses pengolahan ikan. Keutamaan garam sebagai bahan pengawet adalah dapat mengurangi kadar air yang terkandung dalam daging ikan sehingga aktifitas bakteri dalam ikan menjadi terhambat, dapat menjadikan protein daging terdenaturasi, menyebabkan sel-sel mikroba menjadi lisis karena perubahan tekanan osmosis, sedangkan ion klorida pada garam dapur memiliki daya toksisitas yang tinggi pada mikroba serta memblokir sistem respirasinya (Irawan 1995). Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, oleh karena itu air yang terdapat dalam bahan pangan harus dikeluarkan dengan cara pengeringan atau penguapan (Winarno dan Laksmi 1947). Wibowo (1996) mengatakan bahwa penambahan bumbu rempah-rempah kedalam bahan pangan dapat memperpanjang daya awet bahan pangan tersebut. Hal ini di karenakan rempah-rempah juga mengandung zat tertentu yang dapat memperlambat pertumbuhan mikroba tertentu disamping fungsi utamanya yaitu sebagai penambah cita rasa pada makanan. 2. Oksidasi lemak dalam daging dapat terjadi bila suhu dinaikan atau selama penyimpanan. Hal ini mendorong terbentuknya peroksida melalui pembentukan hidroperoksida yang selanjutnya dapat mengalami degradasi menjadi senyawa aldehida. Pembentukan aldehida yang mudah menguap menyebabkan bau khas pada lemak yang disebut proses ketengikan. Ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya oksidasi asam lemak pada bahan makanan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kandungan trigliserida alami dalam bahan, komponen minor yang memiliki sifat anti oksidatif seperti tokoferol, bahan-bahan kontaminan seperti zat besi, tembaga dan nikel serta bahan tambahan (anti oksidasi komersial), sedangkan faktor eksternal meliputi oksigen dan sebagai pemicu berlangsungnya oksidasi adalah sinar terutama sinar ultra violet dan panas yang dapat mempercepat proses oksidasi.Kadar lemak pada daging berkisar antara 5-40 persen, tergantung pada jenis dan spesies, makanan, dan umur ternak. Daging sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati (biological value) yang tinggi, mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat non protein dan 2,5% mineral dan bahan-bahan lainnya (Forrest et al. 1992). Komposisi daging menurut Lawrie (1991) terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut. Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 70% air, 20% protein, 9% lemak dan 1% abu. Jumlah ini akan berubah bila hewan digemukkan yang akan menurunkan persentase air dan protein serta meningkatkan persentase lemak (Romans et al. 1994). Kandungan lemak pada daging menentukan kualitas daging karena lemak menentukan cita rasa dan aroma daging. Keragaman yang nyata pada komposisi lemak terdapat antara jenis ternak memamah biak dan ternak tidak memamah biak adalah karena adanya hidrogenasi oleh mikroorganisme rumen (Soeparno 1998). Lawrie (1991) menyatakan lemak sapi kaya akan asam stearat, asam palmitat dan asam oleat. Kerusakan lemak bahan pangan yang terutama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenih dalam lemak. Otooksidasi yaitu rekasi-reaksi kimia yang menyebabkan ransiditas oksidatif lemak dan menghasilkan aldehida, asam-asam lemak bebas dan keton yang selanjutnya menyebabkan bau. Terjadinya otooksidasi lemak tergantung pada ada tidaknya oksigen dan kontak daging dengan oksigen (Winarno, 1984; Ketaren, 1986; Soeparno, 1992). Hasil oksidasi lemak dalam bahan makanan bukan hanya menimbulkan bau dan rasa tengik, tetapi juga dapat menurunkan nilai gizi, karena kerusakan vitamin terutama karoten dan tokoferol serta asam lemak esensial dalam lemak (Ketaren, 1986). Menurut Soeparno (1992) senyawa yang paling bertanggung jawab atas timbulnya bau dan rasa tengik pada daging adalah aldehida yang terbentuk karena proses oksidasi lemak. Kenaikan bilangan peroksida hanya merupakan indikator dan peringatan bahwa daging akan berbau tengik. Jadi hubungan antara pengasapan dengan ketengikan lemak adalah pengawetan dengan cara pengasapan dapat menghambat oksidasi lemak, dimana hasil oksidasi lemak dalam bahan makanan bukan hanya menimbulkan bau dan rasa tengik, tetapi juga dapat menurunkan nilai gizi, karena kerusakan vitamin terutama karoten dan tokoferol serta asam lemak esensial dalam lemak. Karena dalam proses pengasapan terdapat senyawa kimia utama yang terdapat di dalam asap antara lain asam formiat, asetat, butirat, kaprilat, vanilat dan asam siringat, dimetoksifenol, metal glioksal, furfural, methanol, etanol, oktanol, asetaldehid, diasetil, aseton, dan 3,4- benzinpiren. Senyawa kimia tersebut dapat berperan sebagai bakteriostatik, bakteriosidal dan dapat menghambat oksidasi lemak. Sehingga dapat menghambat ketengikan lemak pada daging. TUGAS 2 2 PRODUK PENGOLAHAN DAGING DAN PERBANDINGAN ANTARA KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DALAM SEGI PENGAWETAN DAGING 1. SOSIS Sosis merupakan makanan asing yang sudah akrab dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena rasanya enak. Namun, di balik kenikmatan makanan yang kaya akan zat gizi ini, terkandung lemak dan kolesterol tinggi yang bisa mengganggu kesehatan. Untuk itu, hatihati mengonsumsi sosis. Makanan ini dibuat dari daging atau ikan yang telah dicincang kemudian dihaluskan, diberi bumbu, dimasukkan ke dalam selonsong berbentuk bulat panjang simetris, baik yang terbuat dari usus hewan maupun pembungkus buatan (casing). Sosis juga dikenal berdasarkan nama kota atau daerah yang memproduksi, seperti berliner (Berlin), braunscheiger (Braunshweig), genoa salami (Genoa), dan lain-lain. Sosis merupakan salah satu produk olahan daging yang sangat digemari masyarakat Indonesia sejak tahun 1980-an. Istilah sosis berasal dari bahasa Latin, yaitu salsus, yang artinya garam. Hal ini merujuk pada artian potongan atau hancuran daging yang diawetkan dengan penggaraman. Jenis Sosis Kramlich (1971) membagi sosis menjadi enam kelas. Sementara itu, Forrest et al (1975) membagi sosis menjadi enam kategori berdasarkan metode pembuatan yang digunakan oleh pabrik, yaitu: sosis segar, sosis asap-tidak dimasak, sosis asap-dimasak, sosis masak, sosis fermentasi, dan daging giling masak. Sosis segar dibuat dari daging segar yang tidak dikuring. Penguringan adalah suatu cara pengolahan daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam natrium klorida (NaCl), natrium-nitrit, natrium-nitrat, gula, serta bumbubumbu. Sosis segar tidak dimasak sebelumnya dan biasanya tak diasapi, sehingga sebelum dikonsumsi, sosis segar harus dimasak Sosis masak dibuat dari daging yang telah dikuring sebelum digiling. Sosis jenis ini dimasak dan biasanya diasapi. Daya simpannya lebih lama daripada sosis segar. Contohnya, frankfurter dan hot dog. Dilihat dari jenis dagingnya, sosis dapat terdiri dari beberapa macam, yaitu sosis sapi, sosis ayam, dan sosis babi. Akhir-akhir ini daging kambing juga telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan sosis. Di Bali, terkenal sosis yang dibungkus dengan casing usus babi. Sosis itu dinamakan urutan Komponen Penyusun Komponen utama sosis terdiri dari daging, lemak, dan air. Selain itu, pada sosis juga ditambahkan bahan tambahan seperti garam, fosfat, pengawet (biasanya nitrit/nitrat), pewarna, asam askorbat, isolat protein, dan karbohidrat. Lemak sering ditambahkan pada pembuatan sosis sebagai pembentuk permukaan aktif, mencegah pengerutan protein, mengatur konsistensi produk, meningkatkan cita rasa, dan mencegah denaturasi protein. Penambahan garam pada pembuatan sosis bertujuan untuk meningkatkan cita rasa, pengembang protein daging, pelarut protein daging, meningkatkan kapasitas pengikatan air (water holding capacity = WHC), serta sebagai pengawet. Penambahan fosfat akan bersinergi dengan garam untuk meningkatkan WHC pada sosis. Tanpa garam dan fosfat, sosis akan sulit untuk dibuat. Asam askorbat sering ditambahkan dalam bentuk asam askorbat maupun natrium askorbat untuk membantu pemerahan daging. Selain itu, asam askorbat juga berfungsi sebagai antioksidan agar produk tidak mudah tengik. Untuk mensubtitusi daging, pada pembuatan sosis sering juga ditambahkan isolat protein. Selain itu, pada pembuatan sosis juga ditambahkan karbohidrat sebagai bahan pengisi sosis. Pengawet dan Pewarna Pada pembuatan sosis, bahan pengawet yang sering digunakan adalah nitrit. Aktivitas antibakteri nitrit telah diuji dan ternyata efektif untuk mencegah pertumbuhan bakteri Clostiridium botulinum, yang dikenal sebagai bakteri patogen penyebab keracunan makanan. Nitrit dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan spora Clostiridium botulinum, Clostiridium perfringens, dan Stapylococcus aureus pada daging yang diproses. Selain sebagai pengawet, fungsi penambahan nitrit pada proses kuring daging adalah untuk memperoleh warna merah yang stabil. Nitrit akan terurai menjadi nitrit oksida, yang selanjutnya bakal bereaksi dengan mioglobin membentuk nitrosomioglobin. Meskipun nitrit sebagai salah satu bahan tambahan pangan memberikan banyak keuntungan, ternyata dari berbagai penelitian telah dibuktikan bahwa nitrit dapat membentuk nitrosamin yang bersifat toksik dan karsinogenik. Nitrosodimetilamin hasil reaksi nitrit dapat menyebabkan kerusakan pada hati dan bersifat karsinogen kuat yang bisa memicu penyakit tumor pada beberapa organ tikus percobaan. Jenis bahan pengawet dan dosis maksimum yang diizinkan pada sosis berdasarkan SNI 01-0222-1995 adalah belerang dioksida (450 mg/kg), kalium nitrat (500 mg/kg), kalium nitrit (125 mg/kg), natrium nitrat (500 mg/kg), serta natrium nitrit (125 mg/kg). Jenis pewarna yang biasa digunakan pada sosis adalah eritrosin dan merah allura, masing-masing dengan kadar maksimal 300 mg/kg. Jenis Casing Terdapat tiga jenis casing yang sering digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu alami, kolagen, serta selulosa. Casing alami biasanya terbuat dari usus alami hewan. Casing ini mempunyai keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi, dan melekat pada produk. Kerugian penggunaan casing ini adalah produk tidak awet. Casing kolagen biasanya berbahan baku dari kulit hewan besar. Keuntungan dari penggunaan casing ini adalah dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Casing selulosa sangat keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan. Saat ini telah dikembangkan poly amid casing, yaitu casing yang terbuat dari plastik. Casing jenis ini tidak bisa dimakan, dapat dibuat berpori atau tidak, bentuk dan ukurannya dapat diatur, tahan terhadap panas, dan dapat dicetak. Nilai Gizi Sosis merupakan produk olahan daging yang mempunyai nilai gizi tinggi. Komposisi gizi sosis berbeda-beda, tergantung pada jenis daging yang digunakan dan proses pengolahannya. Produk olahan sosis kaya energi dan dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat. Selain itu, sosis juga memiliki kandungan kolesterol dan sodium yang cukup tinggi, sehingga berpotensi menimbulkan penyakit jantung, stroke, dan hipertensi jika dikonsumsi berlebihan. Ketentuan mutu sosis berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01–3820-1995) adalah: kadar air maksimal 67 persen, abu maksimal 3 persen, protein minimal 13 persen, lemak maksimal 25 persen, serta karbohidrat maksimal 8 persen. Kenyataannya, banyak sosis di pasaran yang memiliki komposisi gizi jauh di bawah standar yang telah ditetapkan. Hal tersebut menunjukkan pemakaian jumlah daging kurang atau penggunaan bahan tidak sesuai komposisi standar sosis. 2. DENDENG DAGING SAPI Dendeng adalah daging yang dipotong tipis menjadi serpihan yang lemaknya dipangkas, dibumbui dengan saus asam,asin dan manis dengan dikeringkan dengan api kecil atau diasinkan dan dijemur. Hasilnya adalah daging yang asin dan semi-manis dan tidak perlu disimpan dilemari es. Dendeng adalah contoh makanan yang diawetkan. Proses pembuatan dendeng belum dibakukan, tetapi pada umumnya menyangkut pengirisan daging dengan ketebalan 3 – 5 mm, diikuti pencampuran denga garam, gula, serta ramuan bumbu seperti lengkuas, ketumbar, bawang putih, bawang merah yang diikuti dengan proses pengeringan sampai kadar air 25% bk. Seluruh proses tersebut dapat disarikan sebagai kombinasi antara proses kuring dan pengeringan (Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1981). Curing adalah cara prosesing daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Na-nitrat atau Na-nitrit dan gula, serta bumbu-bumbu. Garam digunakan sebagai bahan pengawet karena garam membantu mengurangi kadar air dalam daging dan menghambat pertumbuhan bakteri. Garam juga memberikan cita rasa yang diinginkan. Jika dalam proses kuring hanya digunakan garam maka produk yang dihasilkan keras, kering, gelap, dan asin sehingga rasanya tidak lezat. Untuk itu perlu penambahan gula untuk melembutkan produk dan mengurangi penguapan air. Gula, selain memberi rasa dan aroma, juga akan mengurangi rasa asin yang berlebihan dari proses kuring. Akan tetapi dengan adanya gula akan menimbulkan reaksi Maillard yang menyebabkan warna coklat pada daging sehingga menambah aroma dan cita rasa pada dendeng. Sering berbagai macam bumbu seperti ketumbar dan bawang putih ditambahkan pada bahan kering. Bawang putih selain penambah cita rasa juga bersifat bakteriostatik. Komponen bumbu mengakibatkan cita rasa yang lebih disukai (Desroiser, 1977). Pengeringan Dendeng Dendeng tergolong dalam bahan makanan semi basah (intermediate moisture food), yaitu bahan pangan yang mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, yaitu antara 15-50 persen. Kadar air tersebut dapat dicapai melalui proses pengeringan daging yang telah dibumbui. Pengeringan dendeng dapat dilakukan dengan bantuan sinar matahari atau dengan menggunakan alat pengering buatan (artificial drying). Dibandingkan dengan pengeringan secara alami, pada pengeringan buatan, hasil yang diperoleh menjadi lebih bersih karena terhindar dari kontaminasi (serangga, debu, dll) dan proses dapat dikontrol dengan baik (tidak tergantung kepada keadaan cuaca). Pada pengeringan dendeng, terik matahari atau suhu alat pengering tidak boleh terlalu panas karena permukaan dendeng akan menjadi retak-retak. Sebaliknya, bila sinar matahari kurang panas dan tidak terus-menerus akan menyebabkan kapang mudah tumbuh. Kecepatan pengeluaran air selama pengeringan dipengaruhi oleh luas permukaan, volume, dan bentuk potongan dagingnya. Potongan daging yang tebal ataupun suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya case hardening, yaitu suatu kondisi ketika bagian luar daging sudah kering, tetapi bagian dalamnya masih basah.. Hal ini memungkinkan mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga daya awet dendeng menjadi berkurang. Keuntungan dan kerugian dari pengolahan ini adalah: Akibat proses pengolahan tersebut, maka nilai kalori produk menjadi lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan daging merah. Selain itu terjadi peningkatan kadar protein dan karbohidrat (per berat basah) sejalan dengan menurunnya kandungan air, peningkatan kadar kalsium, fosfor, serta zat besi, sedangkan vitamin A menjadi rusak total (Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1981). Dendeng seringkali mengalami kerusakan seperti timbulnya ketengikan warna coklat yang kurang menarik dan kontaminasi mikroorganisme. Ketengikan dapat terjadi karena proses oksidasi oleh oksigen terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Kontaminasi mikroba pada dendeng dapat terjadi pada setiap tahap dalam pengolahannya, terutama sebelum tahap pengeringan. Dendeng yang dibuat dengan cara curing kering memberikan hasil yang lebih empuk, kadar garam NaCl dan nitrat yang lebih tinggi, rasa dan warna yang lebih disukai, serta jumlah bakteri yang lebih kecil dan perkembangbiakan mikroorganisme yang lebih kecil dibandingkan dengan curing basah. :