BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini mengangkat konteks strategi komunikasi antara dua kebudayaan yang berbeda, yaitu komunitas punk Taringbabi dan masyarakat Srengseng Sawah dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan diantara kedua budaya agar tidak terjadi konflik. Dalam penelitian ini akan menggunakan tiga konsep yaitu: stereotype, cocultural, dan pengurangan ketidakpastian (uncertainty reduction). Untuk memahami hambatan yang terjadi dalam proses adaptasi keduanya dibuka menggunakan konsep stereotype mengenai komunitas punk Taringbabi. Stereotype negatif yang berkembang di masyarakat mengenai komunitas ini banyak bersumber dari pemberitaan media massa, pengalaman orang lain dengan kelompok punk, dan pengamatan pribadi. Media massa dalam pemberitaannya banyak menampilkan punk sebagai sosok yang dekat dengan kekerasan, pemabuk, pelaku tindakan kriminal, berasal dari keluarga yang bermasalah (broken home), dan tidak memiliki masa depan. Tetapi tidak banyak menampilkan sisi positif kelompok tersebut dalam menghasilkan karya, prestasi yang didapat, dan sisi lain kehidupan anggota tersebut ketika berada diluar komunitas. Informasi negatif yang berasal dari orang lain, dan pengamatan pribadi melalui identitas punk juga diakibatkan oleh kurangnya referensi dari kelompok atau individu punk itu sendiri. Kemudian konsep co-cultural digunakan untuk mengetahui strategi-strategi pendekatan yang digunakan oleh komunitas Taringbabi kepada masyarakat Srengseng Sawah. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh komunitas Taringbabi cenderung berbeda dengan kebanyakan kelompok punk lain yang memilih untuk memisahkan diri atau memberi jarak kepada budaya dominan. Untuk memahami interaksi yang dilakukan oleh dua budaya yang berbeda ini juga dapat dilihat melalui komunikasi verbal dan non-verbal. Melalui strategi emphasize commonalities, menunjukkan bahwa komunitas tersebut ingin mengutamakan persamaan yang mereka miliki dengan warga sekitar, melalui menjalankan aktivitas layaknya masyarakat pada umumnya. Praktek dispelling stereotype yang dimiliki oleh komunitas Taringbabi dengan menciptakan sudut pandang atau pemahaman masyarakat yang berbeda mengenai komunitas tersebut. Dengan educating others, memberikan pengalaman, kemampuan, serta membuka ruang pekerjaan kepada anggota komunitas dan masyarakat, menimbulkan suatu nilai-nilai atau kebutuhan akan kehadiran komunitas ini. Begitu juga praktek increasing visibility, melalui melibatkan langsung dengan warga, sehingga dapat mengurangi jarak diantara dua kebudayaan yang berbeda, serta hal tersebut dilakukan tanpa menghilangkan identitas yang mereka miliki. Komunikasi verbal yang mereka lakukan meliputi penggunaan bahasa Betawi dalam perbincangan sehari-hari baik dengan masyarakat, sesama anggota, maupun di dalam media sosial yang mereka miliki. Melalui bahasa dalam lirik lagu, mereka juga menyampaikan ide-ide serta pengalaman mereka kedalamnya. Sedangkan komunikasi non verbal meliputi produksi tanda atau simbol-simbol kebudayaan yang disampaikan melalui bahasa tubuh, penampilan, ekspresi wajah, paralanguage, dan proxemics. Selanjutnya, reaksi masyarakat Srengseng Sawah yang dijelaskan menggunakan konsep pengurangan ketidakpastian (uncertainty reduction). Dalam strategi pasif masyarakat Srengseng Sawah memahami kebudayaan punk berdasarkan pengamatan mereka terhadap perilaku sosial anggota komunitas Taringbabi. Sedangkan dalam strategi aktif, masyarakat mengurangi ketidakpastian melalui informasi yang didapat dari kerabat atau tetangga, dan internet. Strategi interaktif yang digunakan oleh warga sekitar dengan berdialog atau bertanya langsung, serta melibatkan anggota komunitas ke dalam kegiatan atau acara di Srengseng Sawah. Sedangkan bagi kelompok-kelompok agama lebih memilih untuk mendatangi komunitas dan berinteraksi langsung dengan menyampaikan ajaran-ajaran yang mereka jalankan. Bila dilihat melalui strategi-strategi komunikasi yang mereka gunakan, untuk menghindari hambatan yang terjadi akibat perbedaan identitas, nilai-nilai dan norma-norma budaya di dalam masyarakat Srengseng Sawah, komunitas Taringbabi cenderung melakukan adaptasi dengan cara memodifikasi atau mengatur perilakunya dalam merespon kebudayaan lain. Bahkan hal tersebut dilakukan dengan cara mengadopsi budaya warga sekitar, tanpa menghilangkan identitas budaya yang mereka miliki. Mayoritas warga juga sudah menerima kehadiran anggota komunitas Taringbabi di wilayah mereka, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di wilayah tersebut. A. Saran Sikap menutup diri, menghindari interaksi dengan warga sekitar dan sikap anti media mainstream yang masih dilakukan oleh beberapa komunitas punk, menjadi penghambat dalam proses menegosiasikan identitas dan ideologi budaya mereka kepada masyarakat luas. Media alternatif yang digunakan oleh komunitas punk dalam menyampaikan aspirasinya dianggap masih belum cukup untuk menjangkau masyarakat dari berbagai lapisan. Penikmat dan pengguna media alternatif itu sendiri mayoritas masih berasal dari jaringan sesama punk. Oleh karena itu, diperlukan suatu perubahan sudut pandang dalam menyikapi dan pemahaman dalam memanfaatkan media massa sebagai sarana menegosiasikan budaya mereka. Minimnya peran Pemerintah dalam memberikan kehidupan yang layak, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, ruang berkreatifitas, dan keadilan dalam hukum kepada kelompok punk. Diperlukan peran serta masyarakat untuk memberikan kesempatan bagi kelompok punk dalam melakukan pekerjaan dan aktivitas seharihari. Serta melakukan pengamatan yang diikuti dengan cross check terlebih dahulu terhadap informasi yang di dapat mengenai komunitas punk. Peran Kepolisian bukan hanya sebagai lembaga penegak hukum yang menangani permasalahan sosial di masyarakat, namun juga sebagai penyelaras hubungan sosial. Mengikut semboyan Kepolisian, yaitu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, seharusnya Punkers juga mendapatkan perlakuan yang sama seperti masyarakat pada umumnya.