19 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Bakteri

advertisement
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Bakteri kitinolitik
Hasil eksplorasi bakteri kitinolitik dari rizosfir kelapa sawit di beberapa
lokasi perkebunan kelapa sawit Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diperoleh 77
isolat bakteri. Diantara 77 isolat bakteri yang diperoleh, 7 isolat bakteri positif
bersifat kitinolitik. Aktifitas kitinolitik ditunjukkan dengan terbentuknya zona
hidrolisis/zona bening di sekitar koloni bakteri pada medium yang mengandung
koloidal kitin pada 7 hari setelah inkubasi (hsi) (Gambar 1).
B13
AL11
Gambar 1
B42
B16
B14
TB41
L34
Isolat bakteri positif kitinolitik dengan zona bening pada media
koloidal kitin, tanda panah menunjukkan koloni bakteri, dan tanda
panah kiri kanan menunjukkan zona bening aktivitas enzim kitinase
yang dihasilkan bakteri.
Pleban et al. (1997) melaporkan bahwa zona bening yang terbentuk di
sekitar koloni bakteri menandakan adanya aktivitas kitinolitik di medium
pertumbuhan yang mengandung kitin. Untuk mengetahui produksi kitinase dari
suatu bakteri kitinolitik dapat dilihat dari perubahan warna medium menjadi lebih
transparan dengan terbentuknya zona bening disekeliling koloni bakteri. Warna
medium transparan disebabkan oleh terdegradasinya kitin pada media tumbuh
karena adanya aktivitas enzim kitinase yang dihasilkan oleh bakteri ke medium.
Kitinase
merupakan
enzim
ekstraseluler
yang
berperan
penting
dalam
menghidrolisis kitin, enzim ini dihasilkan di dalam sel bakteri, tetapi dikeluarkan ke
dalam medium tumbuhnya (Tsujibo et al. 1996; Wijaya 2002; Dewi 2008).
20
Hasil pengujian gram mengunakan KOH 3% menujukkan bahwa dari
ketujuh isolat uji hanya isolat B16 yang gram positif, sedangkan isolat lainnya
(B13, B14, B42, AL11, TB41, dan L34) adalah gram negatif.
Hasil uji
patogenesitas dengan metode hipersensitif pada tanaman tembakau menunjukkan
bahwa ketujuh isolat bakteri kitinolitik bereaksi negatif (tidak menimbulkan
nekrotik). Berdasarkan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa ketujuh isolat bakteri
uji tidak fitopatogenik.
Evaluasi Potensi Antagonisme dan Indeks Kitinolitik
Hasil uji potensi antagonisme 7 isolat bakteri kitinolitik terhadap G.
boninense dengan metode kultur ganda pada media cair (PDB) dan media padat
(PDA) menunjukkan hasil yang berbeda. Pada media cair, ketujuh isolat bakteri
uji memiliki kemampuan menekan pertumbuhan G. boninense yang tinggi, yaitu
lebih dari 95%. Pada media padat hanya isolat AL11, TB41, dan L34 yang
menunjukkan penekanan yang relatif tinggi yaitu 52%, 44%, dan 41%.
Sedangkan isolat B14, B13, B16, dan B42 hanya mampu menghambat
pertumbuhan G. boninense kurang dari 10% (Gambar 3 dan Tabel 3).
Kontrol,
Isolat B13
Kontrol
Isolat B14
Isolat B14
Isolat B42
Isolat B42
Isolat L34
Isolat Al11
Isolat Al11
Isolat TB41
Isolat TB41
Gambar 2 Penekanan pertumbuhan G. boninense oleh bakteri
kitinolitik pada
media cair (atas), tanda panah menunjukkan pertumbuhan koloni G.
boninense, dan padat (bawah), tanda garis menunjukkan zona
penghambatan.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pada media cair, persentase
penghambatan semua isolat bakteri berbeda nyata dengan perlakuan kontrol.
21
Namun, persentase penghambatan antar masing-masing isolat bakteri tidak
berbeda nyata. Sedangkan pada media padat semua isolat juga menunjukkan
persentase penghambatan yang berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, kecuali
isolat B42 (Tabel 3).
Tabel 3 Persentase penghambatan pertumbuhan G. boninense dengan perlakuan
bakteri kitinolitik pada media padat 4 hsi dan media cair 14 hsi
Perlakuan
Kontrol
Dh5α
B13
B14
B16
B42
AL11
TB41
L34
Persentase penghambatan (%)
Media padat
Media cair
0.00 c
29.99 b
96.30 a
99.33 a
99.55 a
99.63 a
99.63 a
99.65 a
99.62 a
0.00 a
0.00 a
9.33 c
2.67 b
4.00 b
0.00 a
52.00 e
44.00 d
d
41.33
Keterangan: Huruf yang sama dibelakang angka pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
berdasar uji BNT α0.05
Perbedaan kemampuan penekanan pertumbuhan G. boninense pada media
cair dan padat diduga karena adanya perbedaan mekanisme antagonisme dominan
yang berperan pada media padat dan media cair. Pada media padat mekanisme
antagonisme dominan yang berperan adalah enzimatis sedang pada media cair
kemungkinan ada mekanisme senyawa atau aktivitas lain yang terlibat dalam
proses antagonisme dari bakteri kitinolitik.
Hasil pengukuran indeks kitinolitik 7 hsi menunjukkan aktivitas kitinolitik
bahwa masing-masing bakteri berbeda-beda. Nilai indeks kitinolitik tertinggi
ditunjukkan pada isolat B16 dan B42, diiukiti isolat B13 dan B14.
Indeks
kitinolitik yang lebih rendah ditunjukkan oleh isolat TB41, AL11, dan L34.
Besarnya indeks kitinolitik ini tidak berhubungan dengan kecepatan tumbuh
masing-masing isolat bakteri (Gambar 2).
Media yang digunakan pada pengujian indeks kitinolitik adalah koloidal kitin
(chitin shell scrab agar). Koloidal kitin memiliki karakter relatif mudah untuk
diasimilasi dan dimanfaatkan oleh suatu mikroba. Menurut Chernin et al. (1995)
bakteri kitinolitik dapat menghidrolisis koloidal kitin setelah ditumbuhkan 72-96
jam pada campuran 1.5% agar dan 0.2% koloidal kitin sebagai sumber karbon.
3.0
3.0
2.5
2.5
2.0
2.0
1.5
1.5
1.0
1.0
0.5
0.5
0.0
B14
B16
B13
B13 L34 B14TB41 B16AL11
B42
B42B42
Perlakuan
Gambar 3
AL11
AL11
B16
TB41
TB41
B14
L34
L34
B13
Diameter koloni (cm)
B42
Indeks kitinolitik
22
0.0
Perlakuan
Indeks kitinolitik 7 isolat bakteri pada 7 hsi (
koloni bakteri kitinolitik ( ).
) dan pertumbuhan
Hasil percobaan menunjukkan bahwa kemampuan menghidrolisis kitin dari
7 isolat bakteri uji berbeda-beda. Hal ini mungkin disebabkan jenis subtrat kitin
yang digunakan. Menurut Joo 2005, Gohel et al. 2006, dan Brzezinska et al. 2007,
kemampuan menghidrolisis kitin dari setiap strain bakteri kitinolitik salah satunya
dipengaruhi oleh susbtrat kitin yang digunakan. Menurut Joo (2005), aktivitas
kitinolitik Streptomyces halstedii lebih tinggi terjadi pada medium koloidal kitin
yang mengandung campuran kitobiose, kitotriose, kitotetrose, dan kitopentose.
Dari hasil pengujian indeks kitinolitik pada media koloidal kitin dan
pengujian potensi antogonisme pada media padat dapat dilihat bahwa nilai indeks
kitinolitik yang tinggi tidak selalu diikuti dengan potensi antagonis yang tinggi
terhadap G. boninense.
Isolat bakteri AL11, TB41, dan L34 walaupun pada
pengujian indeks kitinolitik menunjukan nilai indeks kitinolitik yang rendah namun
pada pengujian kemampuan antagonis pada media padat ketiga isolat tersebut
menunjukkan kemampuan antagonis yang lebih tinggi dibanding isolat lain.
Kemampuan memproduksi enzim ekstraseluler termasuk produksi enzim
kitinase, bukan merupakan satu-satunya penentu keefektifan daya hambat isolat
bakteri kitinolitik terhadap pertumbuhan G. boninense. Menurut Zhang (2004),
antagonisme antara rizobakteri dengan fungi patogen dapat terjadi melalui
mekanisme antibiosis, kompetisi, produksi enzim ekstraseluler, atau induksi
resistensi.
23
Berdasarkan hasil uji antagonisme in vitro, hanya dipilih 2 isolat bakteri
untuk evaluasi keefektifannya mengendalikan BPB pada bibit kelapa sawit yaitu
isolat TB41 dan AL11.
Pemilihan kedua isolat tersebut untuk dievaluasi
keefektifannya dalam mengendalikan BPB pada bibit kelapa sawit karena kedua
isolat tersebut menunjukkan kemampuan menghambat pertumbuhan G. boninense
yang konsisten tinggi baik pada media cair maupun media padat.
Pengaruh Aplikasi Bakteri Kitinolitik dan FMA terhadap BPB
Hasil pengamatan menujukkan bahwa pada akar bibit sawit yang
diinokulasi patogen terdapat gejala nekrotik berwarna coklat kehitaman. Nekrotik
ini meluas seiring dengan perkembangan penyakit. Sedangkan semua tanaman
tanpa inokulasi patogen tidak menunjukkan adanya gejala nekrotik pada akar. Hal
ini terjadi karena pada perlakuan tanpa inokulasi patogen (kontrol) memang tidak
ada inokulum patogen yang dapat menimbulkan infeksi pada bibit sawit. Adanya
aplikasi bakteri kitinolitik, FMA, dan kombinasinya menurunkan pesentase akar
bibit sawit yang mengalami nekrotik. Contoh akar yang mengalami nekrotik dan
penilaian keparahan penyakit disajikan pada Gambar 4.
A
Tanaman sehat
B Nekrotik 1%≤ x ˂20%
C
Nekrotik 20%≤ x ˂40%
D
Nekrotik 60≤ x≤ 100%
Gambar 4 Gejala nekrotik (tanda panah) pada akar bibit sawit. (A) Tanaman
tanpa patogen, (B) M1B2W2P1, (C) M0B0P1, (D) Kontrol patogen.
Akar yang terinfeksi G. boninense mengalami pembusukan dengan zona
pembusukan yang tidak teratur, sehingga akar menjadi lebih rapuh dan hancur.
Hal ini sesuai dengan laporan Ariffin et al. (2000), Susanto (2002), Pradikta
(2008), dan Risanda (2008), bahwa akar tanaman yang terserang BPB sangat
24
rapuh. Jaringan korteks berubah warna dari putih menjadi coklat kehitaman, dan
mudah didisintegrasi.
Pada serangan berat stele menjadi kehitaman, kadang-
kadang bagian permukaan sebelah dalam endodermis ditemukan hifa berwarna
keputihan yang merupakan tanda penyakit.
Dalam percobaan ini, hingga 2 bulan setelah inokulasi belum ditemukan
gejala busuk pada pangkal batang. Akan tetapi, gejala nekrotik pada akar yang
merupakan gejala awal adanya infeksi G. boninense sudah dapat digunakan
sebagai indikator perkembangan BPB.
Yulianti (2001), melaporkan bahwa
inokulasi G. boninense selama 5 bulan belum menunjukkan gejala BPB pada
pangkal batang dan daun. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sinaga et al.
(2003) dan Risanda (2008), bahwa periode inkubasi G. boninense untuk dapat
menimbulkan gejala pada tajuk tanaman kelapa sawit cukup lama.
Menurut
Sinaga et al. (2003), bahwa inisiasi gejala nekrotik pada daun dan pangkal batang
muncul pada bulan ketujuh setelah inokulasi G. boninense.
Hasil analisis statitistik menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi bakteri
kitinolitik dan FMA secara tungal dan kombinasinya berpengaruh nyata pada
keparahan penyakit (Tabel 4).
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa persen
keparahan penyakit semua perlakuan berbeda nyata dengan kontrol (inokulasi G.
boninense), sedangkan antar perlakuan aplikasi bakteri kitinolitik, FMA, dan
kombinasinya bervariasi (Tabel 5). Perlakuan kombinasi antara bakteri kitinolitik
dan FMA menunjukkan penekanan keparahan penyakit yang lebih tingi
dibandingkan dengan perlakuan tunggal isolat bakteri kitinolitik dan FMA (Tabel 5
dan Gambar 5).
Tabel 4 Sidik ragam perlakuan aplikasi bakteri kitinolitik, FMA, dan
kombinasinya terhadap keparahan penyakit
Sumber keragaman
db
F hitung
P-value
Petak utama (PU)
1
181.62
˂.0001*
Anak petak (AN)
9
17.52
˂.0001*
Galat a
8
3.30
0.0029
PU*AN
9
17.52
˂.0001*
Galat b
72
Total
99
Keterangan: Tanda bintang (*) dibelakang nilai P-value menunjukkan berpengaruh nyata
Berdasarkan persen keparahan penyakit yang ditunjukkan melalui gejala
nekrotik akar diketahui bahwa perlakuan kombinasi antara FMA dan bakteri
25
kitinolitik menghasilkan kolonisasi FMA dan persentase penekanan keparahan
penyakit yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tunggal. Aplikasi patogen
tidak mempengaruhi kolonisasi FMA pada akar. Aktivitas enzim peroksidase
pada perlakuan kombinasi antara FMA dan bakteri kitinolitik tidak selalu lebih
tinggi dibanding pada perlakuan tunggal, baik dengan ataupun tanpa inokulasi G.
boninense. Aktivitas enzim peroksidase yang tinggi tidak selalu diikuti dengan
ketahanan tanaman terhadap G. boninense. Pada bibit sawit yang aplikasikan G.
boninense, waktu aplikasi bakteri kitinolitik (isolat TB41) dan FMA juga
berpengaruh terhadap kemampuan menekan keparahan penyakit. Perlakuan FMA
terlebih dulu memberikan hasil yang lebih baik dalam menekan keparahan
penyakit, namun berbeda dengan isolat bakteri AL11 perbedaan waktu aplikasi
bakteri kitinolitik dan FMA menunjukkan kemampuan yang sama dalam menekan
keparahan penyakit (Tabel 5).
Tabel 5 Persentase kolonisasi FMA, aktivitas enzim peroksidase, dan persentase
penekanan penyakit pada akar bibit sawit pada berbagai perlakuan
Perlakuan
M0B0P1
M0B1P1
M0B2P1
M1B0P1
M1B1W0P1
M1B1W1P1
M1B1W2P1
M1B2W0P1
M1B2W1P1
M1B2W2P1
M0B0P0
M0B1P0
M0B2P0
M1B0P0
M1B1W0P0
M1B1W1P0
M1B1W2P0
M1B2W0P0
M1B2W1P0
M1B2W2P0
Keterangan:
Kolonisasi FMA
(%)
0.00
0.00
0.00
42.50
55.36
60.47
60.78
51.85
61.90
91.23
0.00
0.00
0.00
48.89
57.45
55.81
52.83
92.86
62.16
68.09
Aktivitas enzim
peroksidase
(min-1 mg-1 protein).
0.0059
0.0044
0.0017
0.0025
0.0013
0.0028
0.0016
0.0020
0.0026
0.0017
0.0020
0.0017
0.0022
0.0027
0.0021
0.0031
0.0025
0.0018
0.0026
0.0025
Penekanan
penyakit (%)
a
0.00
55.00 b
70.00 bc
70.00 bc
75.00 bcd
80.00 bcd
90.00 cd
90.00 cd
90.00 cd
95.00 cd
100.00 d
100.00 d
100.00 d
d
100.00
100.00 d
100.00 d
100.00 d
100.00 d
d
100.00
d
100.00
Huruf yang sama dibelakang angka pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasar uji BNT α0.05
26
a
Persentase (%)
100
80
60
40
b
bc
bc
bcd
bcd
20
cd
cd
cd
cd
0
Perlakuan
Gambar 5 Keparahan penyakit ( ) dan kolonisasi FMA( ) pada akar bibit sawit
yang diinokulasi G. boninense.
Keterangan: Huruf yang sama diatas bar menunjukan tidak berbeda nyata berdasar uji BNT α0.05
Hasil percobaan ini membuktikan bahwa antara FMA dan isolat bakteri
(TB41 dan AL11) saling kompatibel dan sinergis menekan. Hal ini dapat dilihat
dari persentase penekanan keparahan penyakit dan kolonisasi FMA pada akar
bibit sawit yang lebih tinggi pada perlakuan kombinasi dibanding pada perlakuan
tunggal. Menurut Barea et al. (2005), beberapa bakteri yang diisolasi dari rizosfir
dapat membantu perkembangan dan stabilitas FMA. Citernesi et al. (1996) dan
Budi et al. (1999) melaporkan hubungan bakteri rizosfir dengan tanaman yang
dikolonisasi oleh FMA menunjukkan asosiasi yang kompatibel. Beberapa bakteri
dilaporkan berasosiasi dengan FMA (Bianciotto et al. 2003). Beberapa bakteri
juga telah ditemukan terkait dengan struktur hifa eksternal FMA (Toljander et al.
2006) dan spora atau dinding spora (Roesti et al. 2005). Bakteri yang berasosiasi
dengan FMA dapat meningkatkan potensi biokontrol dari FMA dengan
menghambat pertumbuhan miselium, produksi sporangium, dan perkecambahan
zoospore fungi patogen (Budi et al. 1999) serta memperbaiki struktur tanah
(Andrade et al. 1997). Asosiasi antara bakteri dan FMA juga dapat meningkatkan
perkecambahan spora FMA (Walley & Germida 1996; Bianciotto & Bonfante
2002; Hildebrandt et al. 2002; Xavier & Germida 2003).
Pada percobaan ini adanya aplikasi bakteri kitinolitik selain meningkatkan
persen akar yang dikolonisasi oleh FMA, juga meningkatkan persen penekanan
keparahan penyakit pada akar bibit sawit. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Cruz et al. (2008) yang menyatakan bahwa aktivitas biokontrol yang dilakukan
27
oleh FMA di dalam tanah terutama di daerah rizosfir berkaitan dengan bakteri
yang berasosiasi dengan FMA. Pada penelitian ini juga terlihat bahwa semakin
tinggi persen kolonisasi FMA pada akar, penekanan terhadap penyakit juga
semakin tinggi. Hal yang sama dilaporkan oleh Khaosaad et al. (2007), bahwa
pengaruh sistemik dari kolonisasi akar oleh FMA Glomus mosseae terhadap
infeksi Gaeumannomyces graminis var. tritici (GGT) berkurang ketika tanaman
barlei menunjukkan tingkat kolonisasi mikoriza yang tinggi.
Meskipun perlakuan kombinasi antara FMA dan bakteri kitinolitik
menunjukkan hasil persentase penekanan penyakit yang lebih baik namun
perlakukan tunggal bakteri kitinolitik dan FMA juga mampu menekan persentase
keparahan penyakit BPB. Bakteri kitinolitik telah banyak digunakan sebagai
agens biokontrol yang potensial karena kemampuannya untuk melisis dinding
sel fungi patogen dan kemampuannya memanfaatkan hifa fungi sebagai
substrat pertumbuhan (De Boer et al. 2001). Penelitian pemanfaatan bakteri
kitinolitik untuk pengendalian penyakit tumbuhan diantaranya diaporkan oleh
Ordentlich et al. (1987) yang melaporkan bahwa kultur filtrat bakteri kitinolitik
Serratia marcescens efektif sebagai agens biokontrol terhadap Sclerotium rolfsii.
Sedangkan Singh et al. (1999) melaporkan bahwa Paenibacillus spp. dan
Streptomyces spp. mampu menekan layu Fusarium pada mentimun.
Hasil penelitian El-Tarabily et al. (2000), menunjukkan bahwa beberapa
Streptomyces dan bakteri non-Streptomyces adalah penghasil kitinase dan
berpotensi sebagai antagonis terhadap Sclerotiorum pada selada. Dua dari isolat
S. viridodiasticus dan Mictomonospora carbonacea menghasilkan kitinase yang
tinggi dan secara signifikan mengurangi pertumbuhan Sclerotiorum pada
percobaan in vitro, dan mengurangi kejadian penyakit di rumah kaca. Chung et
al. (2005) mengembangkan formulasi yang mengandung bakteri kitinolitik
Sreptomyces padanus untuk mengendalikan Rhizoctonia solani penyebab
damping-off pada bibit kubis cina. Kamil et al. (2007) melaporkan Bacillus
licheniformis,
Stenotrophomonas
maltophilia,
B.
licheniformis
dan
B.
thuringiensis secara in vitro efektif menekan pertumbuhan Rhizoctonia solani,
Macrophomina phasiolina, F. culmorum, Pythium sp, Alternaria alternata dan S.
28
rolfsii, dan (Suryanto et al. 2010) melaporkan bakteri kitinolitik sebagai agens
biokontrol layu Fusarium pada cabai merah.
Menurut De Boer et al. (2001) dan Gohel et al. (2006), bakteri kitinolitik
memiliki beberapa mekanisme dalam menekan patogen. Dalam menekan fungi,
bakteri dapat melisis hifa fungi atau menyebabkan dinding sel fungi menjadi tidak
stabil. Bakteri kitinolitik akan memanfaatkan hifa fungi sebagai substrat untuk
pertumbuhannya. Selain itu bakteri ini juga dapat bersimbiosis dengan akar
tanaman dan menghasilkan kitinase yang berperan sebagai pertahanan diri bagi
tanaman dalam melawan patogen.
Hasil penelitian tentang pemanfaatan FMA untuk pengendalian patogen
telah banyak dilaporkan antara lain oleh Cordier et al. (1998) dan Pozo et al.
(2002) melaporkan bahwa aplikasi FMA (G. mosseae) efektif mengendalikan
Phytophthora parasitica pada tanaman tomat, Hashim (2003) melaporkan bahwa
aplikasi mikoriza efektif menekan kematian akibat G. boninense pada kelapa
sawit, Khaosaad et al. (2007) melaporkan bahwa aplikasi FMA secara sistemik
mampu menekan Gaeumannomyces graminis var. tritici pada tanaman barlei, dan
Ozgonen et al. (2010) bahwa FMA efektif untuk pengendalian busuk batang yang
disebabkan oleh S. rolfsii pada kacang tanah.
Secara umum peran FMA dalam pengendalian patogen tanaman adalah
adanya perubahan pada anatomi dan morfologi akar yang berasosiasi dengan
FMA, perubahan populasi mikrob disekitar rizosfir tanaman yang berasosiasi
dengan FMA, dan pengaktifan mekanisme pertahanan tanaman oleh adanya
asosiasi dengan FMA (Azcón-Aguilar & Barea 1996). Sedangkan secara spesifik
misalnya adanya aktivitas enzim-enzim yang berperan dalam biosintesis lignin
(peroksidase dan polifenol oksidase) maupun enzim hidrolitik (kitinase dan
glukanase), adanya pembentukan struktur seperti papila maupun deposisi material
seperti kalus terutama pada tempat terjadinya infeksi patogen (Cordier et al. 1998;
Pozo et al. 2002; Lee et al. 2005; Zheng et al. 2005).
Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi FMA dan
bakteri kitinolitik lebih baik dalam menekan keparahan penyakit dibanding
perlakuan tunggal.
Namun aktivitas enzim yang berhubungan dengan reaksi
ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (enzim peroksidase) pada perlakuan
29
kombinasi FMA dan bakteri kitinolitik tidak selalu lebih tinggi dibanding
perlakuan tunggal (Gambar 6). Hasil pengukuran aktivitas enzim peroksidase
tidak menunjukkan pola yang jelas, walaupun demikian diduga bahwa sebenarnya
pembentukan lignin pada akar telah terjadi. Pola aktivitas enzim yang tidak jelas
tersebut mungkin disebabkan karena analisis aktivitas ezim peroksidase dilakukan
pada akhir percobaan (2 bulan setelah inokulasi patogen). Dari beberapa hasil
penelitian pada umumnya mengukuran aktivitas enzim peroksidase dilakukan
Aktivitas enzim POD
(U/mg/min)
maksimal satu minggu setelah inokulasi petogen.
0.007
0.006
0.005
0.004
0.003
0.002
0.001
0.000
M0B0
M0B1
M0B2
M1B0
M1B1W0 M1B1W1 M1B1W2 M1B2W0 M1B2W1 M1B2W2
Perlakuan
Gambar 6
Aktivitas enzim peroksidase pada perakaran bibit sawit ’tanpa
patogen’ ( ) dan ’dengan patogen’ ( ) pada berbagai perlakuan.
Peroksidase merupakan kelompok PR-protein dari golongan PR-9.
Aktivitas peroksidase berhubungan dengan resistensi penyakit pada tanaman (Lin
& Kao 2001; Ray et al. 1998), dan meningkat pada tanaman inang setelah infeksi
patogen (Borden & Higgins 2002; Koike et al. 2001; Zheng et al. 2005).
Peroxidase adalah enzim yang berpartisipasi dalam proses oksidasi reduktif
polisakarida dalam dinding sel, seperti oksidasi fenol, suberisasi, dan lignifikasi
sel tanaman inang (Ray et al. 1998). Peroksidase dilaporkan berperan sebagai
katalis dalam tahap akhir biosintesis lignin dan hidrogen peroksida (Breusegem et
al. 2001).
Menurut Breusegem et al. (2001) dan Lin & Kao (2001) resistensi tanaman
terhadap patogen dikaitkan dengan induksi peroksidase dalam jaringan inang.
Demikian juga Gupta et al. (1990) dan Tenaya et al. (2001) menyimpulkan dari
beberapa hasil penelitian tentang studi ketahanan terhadap penyakit bahwa
aktivitas enzim peroksidase berhubungan dengan ketahanan dan dapat digunakan
30
sebagai penanda seleksi ketahanan terhadap penyakit. Namun menurut Chen et
al. (2000) dan Mohammadi & Kazemi (2002) selain peroksidase, akumulasi lignin
dan senyawa fenolik juga berhubungan dengan resistensi tanaman dalam
interaksinya dengan patogen tanaman, seperti Fusarium graminearum pada
gandum dan Pythium aphanidermatum pada ketimun.
Seevers et al. (1971) mengemukakan bahwa peningkatan peroksidase dapat
dilihat hanya sebagai sebuah gejala biokimia dan peristiwa lainnya yang
sebelumnya menyebabkan resistensi. Kenyataan bahwa peningkatan peroksidase
tertentu dapat memberikan beberapa informasi tentang kejadian biokimia
sebelumnya atau berhubungan dengan pengembangan resistensi.
Pengaruh Aplikasi Bakteri Kitinolitik dan FMA terhadap Pertumbuhan
Bibit Sawit
Hasil pengukuran kebugaran tanaman (berat basah akar, tajuk, dan tinggi
tanaman) disajikan pada Tabel 6. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa adanya
aplikasi FMA dan bakteri kitinolitik meningkatkan berat tajuk dan persen
penambahan tinggi tanaman walaupun ada inokulasi G. boninense. Pengaruh
aplikasi FMA dan bakteri kitinolitik terhadap kebugaran tanaman ini diduga
karena adanya peningkatan penyerapan hara oleh tanaman terutama yang
diaplikasi FMA.
Selain itu, kemampuan FMA dan bakteri kitinolitik dalam
menghambat dan menekan perkembangan patogen juga faktor lain yang dapat
meningkatkan kebugaran tanaman, terutama pada tanaman yang diinokulasi
dengan patogen.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi antara FMA dan bakteri
cenderung lebih baik dalam meningkatkan kebugaran tanaman atau dengan kata
lain terdapat kompatibilitas antara FMA dengan 2 isolat bakteri kitinolitik yang
diuji. Hal ini sesuai Artursson et al. (2006) yang melaporkan bahwa beberapa
bakteri telah terbukti secara langsung mempengaruhi laju pertumbuhan dan
perkecambahan spora FMA dan memberikan dampak menguntungkan untuk
tanaman melalui asosiasi FMA dan bakteri. Bakteri bersama dengan FMA dapat
menciptakan sinergi yang secara tidak langsung mendukung pertumbuhan
tanaman, termasuk penyerapan hara, penghambatan fungi patogen tanaman, dan
31
peningkatan percabangan akar, sekaligus membentuk pertahanan terhadap infeksi
patogen.
Tabel 6 Pengaruh perlakuan bakteri kitinolitik dan FMA terhadap kebugaran
tanaman berdasarkan berat basah akar dan tajuk serta tinggi tanaman
Perlakuan
M0B0P1
M0B1P1
M0B2P1
M1B0P1
M1B1W0P1
M1B1W1P1
M1B1W2P1
M1B2W0P1
M1B2W1P1
M1B2W2P1
M0B0P0
M0B1P0
M0B2P0
M1B0P0
M1B1W0P0
M1B1W1P0
M1B1W2P0
M1B2W0P0
M1B2W1P0
M1B2W2P0
Berat Tajuk (g)
Berat Akar (g)
Penambahan Tinggi Tajuk
(%)
20.90 a
8.82 abcdf
20.76 a
22.10 ab
22.45 abc
25.17 abcdefg
25.01 abcdefg
26.95 cdefg
29.05 fg
25.59 abcdefg
26.43 bcdefg
27.54 defg
29.71 g
abcd
23.02
23.35 abcde
28.19 efg
26.83 bcdefg
28.12 defg
25.77 bcdefg
25.59 abcdefg
26.94 cdefg
28.66 def
7.26 ab
7.74 abcd
8.38 abcde
8.50 abcde
8.56 abcdef
9.55 cdef
7.93 abcde
8.02 abcde
9.39 bcdef
10.07 ef
a
6.91
8.87 abcdef
10.77 f
8.54 abcdef
8.37 abcde
7.37 abc
8.28 abcde
7.06 a
9.88 def
33.85 bc
32.18 abc
39.68 bc
31.73 abc
30.84 abc
28.64 ab
41.46 bc
43.33 c
30.50 abc
36.58 bc
bc
36.22
33.26 abc
33.42 abc
35.93 bc
35.48 bc
33.41 abc
42.56 c
37.56 bc
30.96 abc
Keterangan: Huruf yang sama dibelakang angka pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
berdasar uji BNT α0.05
Download