pengaruh pengetahuan dan sikap tentang pencegahan penularan

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan
2.1.1 Pengertian
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu, penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan mempunyai peranan besar dalam perubahan perilaku. Rogers
(1995) menjelaskan lebih terinci berbagai variabel yang berpengaruh terhadap tingkat
adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi.
Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup: (1)
atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type
of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4)
kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change
agents).
2.1.2 Proses Putusan Inovasi
Rogers (1983) menjelaskan dalam penerimaan suatu inovasi, biasanya
seseorang melalui beberapa tahapan yang disebut proses putusan inovasi. Proses
putusan inovasi merupakan proses mental yang mana seseorang atau lembaga
11
Universita Sumatera Utara
melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah
sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak
inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi
keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses
keputusan inovasi untuk mengurangi ketidakyakinan tentang akibat atau hasil dari
inovasi tersebut.
Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan
pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini
merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang
menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan tahapan efek dasar.
Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang
mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian (uncertainty). Orang akan
mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan
memenuhi kebutuhan . Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan
memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. Lalu bagaimana
mereka merasa yakin bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan dari
berbagai segi, seperti :
1. Dari segi biaya, apakah inovasi tersebut membutuhkan biaya yang besar tetapi
dengan tingkat ketidakpastian yang besar?
2. Apakah inovasi tersebut akan mengganggu segi kehidupan sehari-hari?
3. Apakah sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada?
4. Apakah sulit untuk digunakan?
Universita Sumatera Utara
Pada awalnya Rogers dan Shoemaker (1971) menerangkan bahwa dalam upaya
perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai
tahapan pada seseorang tersebut, yaitu :
1. Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat
suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut.
2. Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau
sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut
sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.
3. Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia
menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai
mengevaluasi.
4. Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang
telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.
5. Tahap
Adoption
(Adopsi),
yaitu
tahap
seseorang
memastikan
atau
mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi
perilaku baru tersebut.
Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera
setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai
akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983,
1995) merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi yaitu :
Universita Sumatera Utara
1. Knowledge (Pengetahuan)
Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan
mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa?, bagaimana?, dan mengapa?
merupakan pertanyaan yang sangat penting pada tahap ini. Tahap ini individu
akan menetapkan “ Apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?.
Pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan, yaitu:
a. Awareness knowledge (pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan
keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu
untuk
belajar
lebih
banyak
tentang
inovasi
dan
kemudian
akan
mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada
masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut.
Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa
memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk
menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui
media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat
akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.
b. How-to-knowledge (pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang
bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers
memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan
inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka
individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan
penggunaan inovasi ini.
Universita Sumatera Utara
c. Principles-knowledge (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsipprinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi
dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang
mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan
kampanye kesehatan.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Centre for
the Dissemination of Disability Research, 1996), menyebutkan ada 4 (empat) dimensi
pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu:
a. Dimensi Sumber Diseminasi, yaitu institusi, organisasi, atau individu yang
bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
b. Dimensi Isi Diseminasi, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang
juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
c. Dimensi Media Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau
produk tersebut dikemas dan disalurkan.
d. Dimensi Pengguna Diseminasi, yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk
dimaksud.
2. Persuasion (Kepercayaan)
Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap
inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah
individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan
membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung
setelah tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi. Tahap pengetahuan
Universita Sumatera Utara
lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan tahap kepercayaan
bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini
individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi
inovasi dan dukungan sosial akan memengaruhi pendapat dan kepercayaan
individu terhadap inovasi.
3. Decision (Keputusan)
Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak
suatu inovasi. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada
keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena
biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut
pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut.
Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses
keputusan inovasi ini. Terdapat dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan
passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi
dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak
inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir
untuk mengadopsi inovasi.
4. Implementation (Penerapan)
Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi
sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya
akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan
menjadi masalah pada tahapan ini. Klien dalam hal ini adalah masyarakat, akan
Universita Sumatera Utara
memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat
ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan
berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang
mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi
jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih
banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.
5. Confirmation (Penegasan/Pengesahan)
Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka klien akan mencari dukungan atas
keputusannya ini . Menurut Rogers (1983) keputusan ini dapat menjadi terbalik
apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang
inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari
hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang
memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih
krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan
dan sikap individu.
2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Difusi Inovasi
Rogers (1983, 1995), ada beberapa faktor yang memengaruhi proses difusi
inovasi, seperti: (1) faktor personal, (2) faktor sosial, dan (3) faktor situasional.
Faktor personal yang memengaruhi difusi inovasi adalah:
1. Umur
Difusi inovasi yang tertinggi terdapat pada sekelompok orang yang berusia relatif
tua. Walaupun terdapat beberapa bukti bahwa orang-orang yang berusia relatif tua
Universita Sumatera Utara
kurang dapat menerima perubahan, tetapi bukan berarti mereka tidak mau
menerima perubahan untuk orang lain.
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan suatu tambahan pemahaman
tentang hal-hal baru. Disamping itu pendidikan juga merupakan sesuatu yang
dapat menciptakan dorongan kepada seseorang untuk menerima suatu inovasi.
3. Karakteristik Psikologi
Seseorang yang fleksibel secara mental, mampu memandang elemen-elemen yang
nyata dalam situasi yang baru apabila melakukan penyesuaian diri terhadap
situasi tersebut. Dengan perkataan lain, kemampuan mengakses informasi dengan
cepat dapat menciptakan suatu keadaan rasional, dimana hal tersebut akan
memengaruhi seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi.
Faktor sosial yang memengaruhi difusi inovasi terdiri dari:
1. Keluarga
Keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
keputusan untuk menerima suatu inovasi. Hal ini disebabkan adanya anggapan
bahwa penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem
keluarga.
2. Tetangga dan Lingkungan Sosial
Tetangga adalah orang-orang yang tinggal pada suatu geografis tertentu yang
telah mengembangkan suatu perasaan memiliki atau kebersamaan dan cenderung
berasosiasi dengan sesamanya daripada dengan pihak luar. Pada umumnya belajar
Universita Sumatera Utara
dengan tetangga biasanya lebih berhasil daripada belajar dengan pihak lain yang
tinggal berjauhan sehingga tetangga banyak berperan dalam proses difusi inovasi.
3. Kelompok Referensi
Kelompok referensi adalah sekelompok orang yang dijadikan contoh oleh orang
lain atau kelompok lain dalam pembentukan pikiran, penilaian, dan keputusan
dalam bertindak. Oleh sebab itu kelompok referensi berperan dalam menyadarkan
masyarakat yang relatif lambat dalam mengadopsi sesuatu.
4. Budaya
Suatu unsur budaya seperti tata nilai dan sikap sangat berpengaruh dalam proses
difusi inovasi. Tata nilai berhubungan dengan tingkat kepentingan seseorang
sehingga menjadi penting dalam memengaruhi perilaku individu sedangkan sikap
merupakan suatu proses dalam bertindak yang berdasarkan pada tata nilai yang
ada.
Faktor situasional yang memengaruhi difusi inovasi adalah:
1. Status Sosial
Kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat berhubungan positif dengan proses
difusi inovasi. Seseorang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam
masyarakat cenderung lebih mudah menerima berbagai perubahan yang
ditawarkan disebabkan ia lebih mudah untuk mendapatkan berbagai informasi
tentang perkembangan baru yang sedang dan akan terjadi.
Universita Sumatera Utara
2. Sumber Informasi
Orang-orang yang memanfaatkan berbagai sumber informasi yang didapatkannya
berkorelasi positif dengan proses difusi inovasi. Sebaliknya, orang-orang yang
enggan untuk mencari dan mendapatkan informasi dan hanya bergantung dengan
informasi yang apa adanya akan berkorelasi negatif dengan proses difusi inovasi.
Namun demikian dari penelitian Rogers ini menyimpulkan bahwa perubahan
perilaku tidak selalu melewati tahap - tahap tersebut diatas (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:
a. Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
b. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan
secara
benar
tentang
objek
yang
diketahui,
dan
dapat
menginsterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Aplication), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
d. Analisa (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek kedalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis), menujukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
Universita Sumatera Utara
f. Evaluasi (evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Menurut Transtheoretical Model Of Behaviour Change yang dinyatakan oleh
Citizen Corps (2006), pengetahuan yang dimaksud adalah dimana individu memiliki
pengetahuan tentang tindakan kesiapsiagaan yang direkomendasikan.
2.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mencerminkan kesenangan atau
ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari
orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat mengakrabkan kita dengan sesuatu, atau
menyebabkan kita menolaknya (Wahid, 2007).
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Cardno dalam Notoatmodjo (2003) membatasi
sikap sebagai hal yang memerlukan predisposisi yang nyata dan variabel disposisi
lain untuk memberi respons terhadap objek sosial dalam interaksi dengan situasi dan
mengarahkan serta memimpin individu dalam bertingkah laku secara terbuka.
Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan
kesediaan dan kesiapan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif
tertentu, akan tetapi sebagai salah satu predisposisi tindakan untuk perilaku. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional.
Universita Sumatera Utara
Sedangkan Krech et al dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa sikap
menggambarkan suatu kumpulan keyakinan yang selalu mencakup aspek evaluatif
sehingga selalu dapat diukur dalam bentuk baik dan buruk atau positif dan negative.
Selanjutnya Mucchielli dalam Notoatmodjo (2003) menegaskan sikap sebagai suatu
kecenderungan jiwa atau perasaan yang relatif terhadap kategori tertentu dari objek,
orang atau situasi.
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut :
1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan
seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan - pertimbangan pribadi terhadap
objek atau stimulus.
2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal reference) merupakan faktor
penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada
pertimbangan - pertimbangan individu.
3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap
positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan
kebutuhan daripada individu tersebut.
4. Sosial budaya (Culture), berperan besar dalam memengaruhi pola pikir seseorang
untuk bersikap terhadap objek/stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Universita Sumatera Utara
5. Praktek atau tindakan (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan
faktor dukungan (support) (Notoatmodjo, 2007).
2.3. Bencana
2.3.1. Definisi Bencana
Menurut Undang-Undang No 24 tahun 2007 bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologi.
W. Nick Carter dalam bukunya yang berjudul “Disaster Management”
memberikan definisi bencana berdasarkan Concise Oxford Dictionary sebagai
“sudden or great misfortune, calamity”. Sedangkan berdasarkan Webster’s
Dictionary, bencana dimaknai sebagai “a sudden acalitous event proucing raet
material damage, loss, and distress” (Nunung, dkk, 2012).
Definisi lain menurut International Strategy For Disaster Reduction (UNISDR-2002, 24) adalah:“ Aserious disruption of the fuctioning of a community or a
society causing widespread human, material, economic or environmental losses
Universita Sumatera Utara
which exceed the ability of the affected community/society to cope using its own
resources” (Nunung, dkk, 2012).
2.4. Bencana Banjir
Menurut Setyawan (2008) banjir adalah salah satu proses alam, banjir terjadi
karena debit air sungai yang sangat tinggi hingga melampaui daya tampung saluran
sungai lalu meluap ke daerah sekitarnya. Debit air sungai yang tinggi terjadi karena
curah hujan yang tinggi, sementara itu, banjir juga dapat terjadi karena kesalahan
manusia. Sebagai proses alam, banjir adalah hal yang biasa terjadi dan merupakan
bagian dari siklus hidrologi. Banjir tidak dapat dihindari dan pasti terjadi. Hal ini
dapat kita lihat dari adanya dataran banjir pada sistem aliran sungai. Saat banjir
terjadi transportasi muatan sedimen dari daerah hulu sungai ke hilir dalam jumlah
yang besar, muatan sedimen itu berasal dari erosi yang terjadi di derah pegunungan
atau perbukitan.
Banjir akibat kesalahan manusia setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu
pengelolaan daerah hulu sungai yang buruk, dan pengolahan drainase yang buruk.
Dalam siklus hidrologi, daerah hulu sebenarnya adalah daerah resapan air.
Pengolahan daerah hulu yang buruk menyebabkan air banyak mengalir sebagai air
permukaan yang dapat menyebabkan banjir (Setyawan, 2008).
Banjir mengandung pengertian aliran air sungai yang tingginya melebihi muka
air normal sehingga melimpah dari palung sungai menyebabkan adanya genangan
pada lahan rendah
di sisi sungai. Aliran
air limpahan tersebut yang semakin
Universita Sumatera Utara
meninggi, mengalir dan melimpahi tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air.
Bencana banjir merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (Mistra, 2007).
Menurut Dibyosaputro (1998) banjir merupakan satu bahaya alam yang terjadi
di alam ini dimana air menggenangi lahan- lahan rendah di sekitar sungai sebagai
akibat ketidakmampuan alur sungai menampung dan mengalirkan air, sehingga
meluap keluar alur melampaui tanggul dan mengenai daerah sekitarnya.
Menurut Bakornas PB (2007), berdasarkan sumber airnya, air yang berlebihan
tersebut dapat dikategorikan dalam empat kategori:
1. Banjir yang disebabkan oleh hujan lebat yang melebihi kapasitas penyaluran
sistem pengaliran air yang terdiri dari sistem sungai alamiah dan sistem drainase
buatan manusia.
2. Banjir yang disebabkan meningkatnya muka air di sungai sebagai akibat pasang
laut maupun meningginya gelombang laut akibat badai.
3. Banjir yang disebabkan oleh kegagalan bangunan air buatan manusia seperti
bendungan, tanggul, dan bangunan pengendalian banjir.
4. Banjir akibat kegagalan bendungan alam atau penyumbatan aliran sungai akibat
runtuhnya/longsornya tebing sungai. Ketika sumbatan/bendungan
tidak dapat
menahan tekanan air maka bendungan akan hancur, air sungai yang terbendung
mengalir deras sebagai banjir bandang.
Universita Sumatera Utara
2.4.1. Faktor – faktor Penyebab Banjir
Menurut Margono (2005), faktor – faktor yang dapat menyebabkan banjir,
antara lain:
1.
Faktor Hujan
Hujan bukanlah penyebab utama banjir dan tidak selamanya hujan lebat akan
menimbulkan banjir. Begitu pula sebaliknya. Terjadi atau tidaknya banjir justru
sangat tergantung dari keempat faktor penyebab lainnya karena secara statistik hujan
sekarang ini merupakan pengulangan belaka dari hujan yang telah terjadi di masa
lalu. Hujan sejak jutaan tahun yang lalu berinteraksi dengan faktor ekologi, geologi
dan vulkanik mengukir permukaan bumi menghasilkan lembah, ngarai, danau,
cekungan
serta sungai
dan
bantarannya.
Permukaan
bumi
ini
kemudian
memperlihatkan secara jelas lokasi – lokasi rawan banjir yang perlu diwaspadai.
2.
Faktor DAS (Daerah Aliran Sungai)
Daerah aliran sungai adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan mengalir
ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh
langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi DAS
dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan
tata guna lahan, misalnya dari hutan dijadikan perumahan, perkebunan atau lapangan
golf akan menyebabkan retensi DAS ini berkurang secara drastis. Seluruh air hujan
akan dilepaskan DAS ke hilir. Sebaliknya semakin besar retensi suatu DAS semakin
baik, karena air hujan dapat dengan baik di resapkan (diretensi) di DAS ini dan secara
perlahan – lahan dialirkan ke sungai hingga tidak menimbulkan banjir di hilir.
Universita Sumatera Utara
Manfaat langsung peningkatan retensi DAS lainnya adalah bahwa konservasi air di
DAS terjaga, muka air tanah stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk
tanaman terjamin dan fluktuasi debit sungai dapat stabil. Retensi DAS dapat
ditingkatkan dengan cara program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan,
pedesaan atau kawasan lain, mengaktifkan resevoir reservoir alamiah, pembuatan
resapan – resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh
mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air
hujan meresap ke tanah. Memperbaiki retensi DAS pada prinsipnya adalah
memperbanyak kemungkinan air hujan dapat meresap ke dalam tanah sebelum masuk
ke sungai atau mengalir ke hilir. Untuk hal ini perlu kesadaran masyarakat secara
massal terhadap pentingnya DAS melalui proses pembelajaran massal yang intensif
dan terus menerus.
3.
Faktor Kesalahan Pembangunan Alur Sungai
Pola penanggulangan banjir serta longsor sejak abad 16 hingga akhir abad 20 di
seluruh dunia adalah hampir sama; yaitu dengan pelurusan, sudetan, pembuatan
tanggul, pembetonan dinding dan pengerasan tampang sungai. Sungai sungai di
Indonesia 30 tahun terakhir ini juga mengalami hal serupa. Intinya pola ini adalah
mengusahakan air banjir secepatnya di kuras ke hilir.
Pola pelurusan dan sudetan seperti di atas jelas mengakibatkan percepatan
aliran air menuju hilir. Di bagian hilir akan menanggung volume yang jauh lebih
besar dibanding sebelumnya. Jika tampang sungai di tempat ini tidak mencukupi
maka akan terjadi perluapan ke bagian bantaran. Jika bantaran sungai tidak cukup,
Universita Sumatera Utara
bahkan mungkin telah penuh dengan rumah–rumah penduduk, maka akan terjadi
penggelembungan atau pelebaran aliran. Akibatnya areal banjir semakin melebar atau
bahkan alirannya dapat berpindah arah. Pelurusan dan sudetan sungai pada
hakekatnya merupakan penghilangan retensi atau pengurangan kemampuan retensi
alur sungai terhadap aliran airnya. Penyelesaian masalah banjir di suatu tempat
dengan cara ini pada hakekatnya merupaka penciptaan masalah banjir baru di tempat
lain di bagian hilirnya. Perlu dikembangkan juga prinsip Let River Be Natural River.
Implikasinya dalam penanggulangan banjir , justru sungai alamiah yang bermeander,
bervegetasi lebat dan memiliki retensi alur tinggi ini, perlu di jaga kelestariannya
karena dengan itu retensi terhadap banjirnya sangat tinggi (Margono, 2005 ).
4.
Faktor Pendangkalan
Faktor pendangkalan sungai termasuk faktor yang penting pada kejadian banjir.
Pendangkalan sungai berarti terjadinya pengecilan tampang sungai, hingga sungai
tidak mampu mengalirkan air yang melewatinya dan akhirnya meluap (banjir).
Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses sedimentasi terus menerus.
Proses sedimetasi di bagian hilir ini dapat disebabkan karena erosi intensif di bagian
hulu. Material tererosi ini akan tebawa aliran dan lambat laun diendapkan di hilir
hingga menyebabkan pendangkalan di hilir. Masalah pendangkalan sungai di
Indonesia. Untuk itu perlu digunakan perbaikan DAS secara besar-besaran dengan
peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran penjarahan hutan dan
peninjauan kembali proyek–proyek pelurusan dan sudetan– sudetan yang tidak perlu
(Margono, 2005).
Universita Sumatera Utara
5.
Faktor Tata Wilayah dan Pembangunan Sarana–Prasarana
Kesalahan fatal yang sering dijumpai dalam perencanaan tata wilayah untuk
konservasi air tanah. Besarnya kolam konservasi dapat dihitung berdasarkan
persentase besarnya tanah yang digunakan untuk perumahan. Demikian juga untuk
areal perkebunan dan areal industri. Cara kolam konservasi ini sebenarnya merupakan
koreaksi total terhadap cara lama yang berprinsip pada pengaturan wilayah.
Pengaturan wilayah atau drainase konvesional adalah upaya untuk mengalirkan air
hujan secepatnya menuju sungai, cara ini sudah waktunya ditinggalkan, karena
pengendalian banjir bukan berarti pengaturan wilayah.
Tiga cara ini perlu sepenuhnya didukung dengan cara keempat yaitu
pembentukan karakter sosio–hidraulik atau water cultur. Sosio–hidraulik adalah suatu
pendekatan penyelesaian masalah keairan, lingkungan dan banjir dengan membangun
kesadaran sosial massal, bagaimana masyarakat berperilaku terhadap air. Jika
perilaku masyarakat terhadap air beserta seluruh komponen ekologisnya sudah benar
secara massal maka peyelesaian banjir dan juga masalah lingkungan yang terkait akan
semakin mudah. Water Culture dalam masalah banjir dapat diartikan dengan kesiapan
masyarakat yang terkena banjir atau yang sering terkena banjir (langganan banjir)
untuk menguasai cara–cara penyelamatan barang atau jiwa, sehingga kerugian
material dan jiwa dapat ditekan serendah– rendahnya. Untuk itu penyuluhan, dialog
dan usaha pembelajaran dengan masyarakat ini tentang cara–cara menyelamatkan
jiwa dan harta benda ketika banjir datang. Menurut pengalaman usaha pembelajaran
penyelamatan ini bisa menekan kerugian akibat banjir.
Universita Sumatera Utara
Sehubungan dengan besarnya masalah banjir, kekeringan dan kerusakan
lingkungan di Indonesia, maka keempat upaya ini sebaiknya dilakukan secara paralel,
baik penanganan masalah teknis, ekologi dan sosial. ( Maryono, 2005 ).
2.4.2. Dampak Bencana Banjir
Menurut Mistra (2007), dampak banjir akan terjadi pada beberapa aspek
dengan tingkat kerusakan berat pada aspek - aspek berikut ini:
1. Aspek penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam,
luka-luka,
korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah penyakit yaitu
pneumonia dan penduduk terisolasi.
2. Aspek pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen,
arsip,
peralatan
dan
perlengkapan
kantor
dan
terganggunya
jalannya
pemerintahan.
3. Aspek ekonomi, antara lain berupa hilangnya
mata pencaharian, tidak
berfungsinya pasar tradisional, kerusakan, hilangnya harta benda, ternak dan
terganggunya perekonomian masyarakat.
4. Aspek sarana/prasarana,
antara
lain
berupa
kerusakan
jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas
rumah penduduk,
sosial dan fasilitas
umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi.
5. Aspek lingkungan,
antara
lain berupa kerusakan ekosistem, objek wisata,
persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan
irigasi.
Universita Sumatera Utara
2.5. Daerah Rawan Bencana
Daerah rawan bencana adalah daerah yang memiliki kondisi atau karekteristik
geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial budaya, politik,
ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang
mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (BNPB, 2008).
2.6. Penyakit Pasca Bencana
Rusaknya lingkungan akibat bencana dapat berpengaruh pada kesehatan
masyarakat seperti rusaknya sarana air bersih, sarana jamban, munculnya bangkai dan
vektor penyebar penyakit yang merupakan beberapa potensi timbulnya beberapa
penyakit menular yang potensial menimbulkan kejadian luar biasa. Bencana selalu
menimbulkan masalah kesehatan pada masyarakat baik secara langsung maupun
mengakibatkan kerusakan/perubahan lingkungan. Masalah kesehatan akibat bencana
harus dapat diminimalkan sehingga tidak menimbulkan bencana lain.
2.7. ISPA
2.7.1. Pengertian
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiraiory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan
pengertian sebagai berikut (Indah, 2005):
Universita Sumatera Utara
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak dengan baik sehingga menimbulkan gejala
penyakit.
2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan
di bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adeksa saluran pernafasan.
Dengan batasan ini, jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan
(respiration tract)
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14
hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolong pada ISPA proses ini dapat berlangsung lebih
dari 14 hari.
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek
dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300
lebih jenis virus, bakteri dan riketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain
golongan miksovirus (termasuk didalamnya virus influensa, virus para-influensa dan
virus campak), dan adenovirus. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptokokus
Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertussis,
dan Korinebakterum Difteria (Achmadi, dkk, 2004).
Universita Sumatera Utara
2.7.2. Klasifikasi Penyakit ISPA
Penyakit ISPA dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada ke
dalam (chest indrawling).
2.
Pneumonia : ditandai secara klinis oleh adanya nafas cepat.
3.
Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk, pilek, bisa disertai demam,
tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa nafas cepat. Rinofaringitis, faringitis
dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA.
Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan
umur 2 bulan sampai 5 tahun.
Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :
1.
Pneumonia berat : perlu diisolasi, dijumpai retraksi dinding dada pada bagian
bawah atau nafas cepat. Batas nafas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan
yaitu 60 kali per menit atau lebih.
2.
Bukan pneumonia : batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat
dinding dada bagian bawah atau nafas cepat.
Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :
1.
Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada
bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak
harus dalam keadaan tenang tldak menangis atau meronta).
Universita Sumatera Utara
2.
Pneumonia : bila disertai nafas cepat. Batas nafas cepat ialah untuk usia 2 -12
bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali
per menit atau lebih.
3.
Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada
bagian bawah dan tidak ada nafas cepat(Rasmaliah, 2004).
2.7.3. Etiologi ISPA
Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus
(termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak), dan
adenovirus. Virus para-infulensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk
rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus
influensa bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali
hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influensa
merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas bagian atas dari
pada saluran nafas bagian bawah (Siregar dan Maulani, 2005).
2.7.4. Faktor Risiko ISPA
Faktor yang meningkatkan resiko kematian akibat ISPA adalah umur di
bawah dua bulan, kurang gizi, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu
rendah, rendahnya tingkat pelayanan (jangkauan) pelayanan kesehatan, lingkungan
rumah yang tidak memadai dan menderita penyakit kronis (Indah, 2005).
Universita Sumatera Utara
2.7.5. Tanda dan Gejala
Sebagian besar anak dengan infeksi saluran nafas bagian atas memberikan
gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah
memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat dan retraksi dada.
Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya
dengan mudah (Harsono dkk, 1994). Selain batuk gejala ISPA pada anak juga dapat
dikenali yaitu flu, demam dan suhu tubuh anak meningkat lebih besar dari 38,50C dan
disertai nafas yang cepat (PD PERSI, 2002).
Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan
yaitu (Suyudi, 2002):
a.
ISPA ringan bukan Pneumonia
b.
ISPA sedang, Pneumonia
c.
ISPA berat, Pneumonia barat
Khusus untuk bayi dibawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat dan ISPA
ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat bayi kurang dari dua bulan
adalah bila frekuensi nafas cepat (60 kali per menit atau lebih) atau adanya tarikan
dinding dada yang kuat. Pada dasarnya ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA
sedang atau ISPA berat jika keadaan memungkinkan misalnya pasien kurang
mendapatkan perawatan atau daya tahan tubuh pasien yang sangat kurang. Gejala
ISPA ringan dapat dengan mudah diketahui orang awam sedangkan ISPA sedang dan
berat memerlukan beberapa pengamatan sederhana.
Universita Sumatera Utara
a.
Gejala ISPA Ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai
berikut :
1.
Batuk
2.
Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada
waktu berbicara atau menangis)
3.
Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
4.
Panas atau demam, suhu badan lebih tinggi dari 370C atau jika dahi anak diraba
dengan punggung tangan terasa panas.
Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan di rumah
tidak perlu dibawa ke dokter atau Pukesmas. Di rumah dapat diberi obat penurun
panas yang dijual bebas di toko-toko atau apotik tetapi jika dalam dua hari gejala
belum hilang, anak harus segera di bawa ke dokter atau Pukesmas terdekat.
b. Gejala ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA
ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :
1.
Pernafasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang dari satu tahun atau
lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.
2.
Suhu lebih dari 390C.
3.
Tenggorokan berwarna merah.
4.
Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak.
5.
Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
Universita Sumatera Utara
6.
Pernafasan berbunyi seperti mendekur.
7.
Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.
Dari gejala ISPA sedang ini, orang tua perlu hait-hati karena jika anak
menderita ISPA ringan, sedangkan badan anak panas lebih dari 39ºC, gizinya kurang,
umurnya empat bulan atau kurang maka anak tersebut menderita ISPA sedang dan
harus mendapat pertolongan petugas kesehatan.
c.
Gejala ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan
atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut:
1.
Bibir atau kulit membiru
2.
Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas
3.
Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun
4.
Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah
5.
Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah
6.
Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas
7.
Nadi cepat lebih dari 60 x/menit atau tidak teraba
8.
Tenggorokan berwarna merah
Pasien ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau Puskesmas karena perlu
mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksgen dan infus.
2.7.6. Cara Penularan Penyakit ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu penyakit
Universita Sumatera Utara
ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara
dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita
maupun dengan benda terkontaminasi. Penularannya adalah karena menghisap udara
yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.
2.7.7. Pencegahan ISPA
Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi
pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA adalah:
1.
Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik
a.
Bayi sampai usia dua tahun harus diberi ASI karena ASI adalah makanan
yang paling baik untuk bayi.
b.
Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya.
c.
Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup yaitu
mengandung cukup protein (zat telur putih), karbohidrat, lemak, vitamin dan
mineral.
d.
Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal. Protein misalnya
dapat di peroleh dari tempe dan tahu, karbohidrat dari nasi atau jagung,
lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan mmineral dari
sayuran dan buah-buahan.
e.
Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk mengetahui
apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa apakah ada
penyakit yang menghambat pertumbuhan (Dinkes DKI, 2005).
Universita Sumatera Utara
2.
Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisiasi
Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak perlu mendapatkan
imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002). Imunisasi DPT salah satunya
dimaksudkan untuk mencegah penyakit pertusis yang salah satu gejalanya adalah
infeksi saluran nafas (Gloria Cyber Minestries, 2011).
3.
Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan
penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak mencerminkan hidup sehat akan
menimbulkan berbagai penyakit. Perilaku ini dapat dilakukan melalui upaya
memperhatikan rumah sehat, desa sehat dan lingkungan sehat (Suyudi, 2002).
Ada beberapa faktor lingkungan yang memengaruhi kejadian ISPA :
a. Kelembaban Ruangan
Hasil penelitian Cahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan
desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh
terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh
bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya
kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor
risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali. Tingkat kelembaban yang
ideal adalah antara 30-60%.
b. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 1830°C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah di bawah 18°C atau di atas
Universita Sumatera Utara
30°C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada
balita sebesar 4 kali.
c. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O 2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
1) Baik (≥10% dari luas lantai)
2) Tidak baik (≤10% dari luas lantai)
d. Kepadatan Hunian Rumah
Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan
proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang
tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah
yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian Cahaya tahun 2004, kepadatan
hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.
4.
Pengobatan segera
Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua tidak
memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan,
misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung vetsin atau rasa gurih,
bahan pewarna, pengawet makanan yang terlalu manis. Anak yang terserang
ISPA, harus dibawa ke dokter (PD PERSI, 2002).
Universita Sumatera Utara
Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor resiko dapat dianggap sebagai
strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia, termasuk disini ialah :
a.
Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.
b.
Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
c.
Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah
polusi di dalam maupun di luar rumah (Depkes RI, 1992).
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi penularan ISPA
(Clements, 2009) antara lain :
1.
Menjauhkan tangan untuk menyentuh mata, hidung, dan mulut.
2.
Melakukan vaksinasi atau imunisasi.
3.
Menutup mulut ketika batuk atau bersin.
4.
Menghindari kontak yang terlalu dekat dengan penderita ISPA.
5.
Istirahat yang cukup.
6.
Sering mencuci tangan akan mengurangi risiko berbagai macam penyakit
termasuk penyakit ISPA
2.8. Landasan Teori
Perilaku merupakan suatu respon individu akibat adanya pengaruh sebelumnya.
Perilaku terbentuk akibat adanya penyebab yang melatarbelakanginya. Perilaku
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) didefinisikan sebagai suatu reaksi
individu terhadap rangsangan.
Universita Sumatera Utara
Perilaku individu terbentuk dengan melibatkan serangkaian proses yang ada
pada dirinya. Pada teori perilaku dalam keperawatan komunitas, pembentukan
perilaku dapat dilakukan dengan memanipulasi stimulus. Stimulus tersebut dapat
dimanipulasi dengan cara memberikan positif reinforcement atau punishment kepada
individu sehingga stimulus tersebut akan diinternalisasi dan menghasilkan perilaku
yang diharapkan (Allender, 2001).
Green (1980) yang dikutip dalam (Notoatdmojo, 2007) menganalisis perilaku
manusia dalam hal kesehatan yang dapat dilihat pada (Gambar 2.1), menyatakan
bahwa dalam mencapai kualitas hidup yang baik (quality of life) dapat dicapai
melalui peningkatan derajat kesehatan, faktor perilaku dan gaya hidup (behaviour and
lifestyle) serta lingkungan (environment). Paling besar pengaruhnya terhadap derajat
kesehatan adalah faktor perilaku dan gaya hidup serta lingkungan.
Gambar 2.1 Kerangka Kerja L.Green
Kualitas
Hidup
Faktor Faktor
Produksi
Pendidikan
Kesehatan
Perilaku
Faktor Faktor
Penguat
Kebijakan
Regulasi
Organisasi
Masalah
Kesehatan
Lingkungan
Faktor Faktor
Pendukung
Sumber : Green, Health Promotion Planning and Education and Environment Approach
Institute of Health Promotion Research University of Brithist Colombia (1980;44).
Universita Sumatera Utara
Faktor perilaku dan gaya hidup adalah suatu faktor yang timbul karena adanya
aksi dan reaksi seseorang atau organisme terhadap lingkungannya. Faktor perilaku
akan terjadi apabila ada rangsangan, sedangkan kebiasaan seseorang atau sekelompok
orang yang dilakukan hanya meniru tokoh idolanya (Notoatdmojo, 2003).
Green (1980) mengembangkan teori yang menyatakan bahwa individu,
masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu: faktor perilaku dan non perilaku.
Faktor perilaku ditentukan oleh tiga kelompok, yaitu : faktor yang memudahkan
(predisposing factor), faktor yang memungkinkan (enabling factor), faktor yang
memperkuat (reinforcing factor) (Notoatdmojo, 2003).
Faktor predisposisi yaitu berupa jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, status
pekerjaan, pengetahuan dan sikap. Faktor pemungkin meliputi sosio ekonomi, dana,
sarana dan sebagainya. Faktor penguat berupa penyuluhan, tenaga penyuluhan,
diskusi kelompok terarah (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme)
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, dan lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut;
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenence).
yaitu
perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit.
2. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).
Universita Sumatera Utara
yaitu usaha atau tindakan seseorang pada saat menderita sakit atau kecelakaan.
Perilaku ini mulai dari mengobati sendiri sampai mencari pengobatan ke
pelayanan kesehatan tradisional maupun modern.
3. Perilaku kesehatan lingkungan.
yaitu bagaimana seseorang merespon lingkungannya, baik fisik maupun sosial
budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatan individu,
keluarga maupun masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Dalam proses pembentukan perilaku dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor internal yang berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku
antara lain umur dan jenis kelamin. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari
luar individu antara lain berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku
adalah perlakuan dalam pelatihan seperti ceramah, tanya jawab, alat peraga, bermain
peran, dinamika kelompok (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku individu tentang pencegahan penyakit ISPA pada dasarnya adalah hasil
dari interaksi sekelompok stimulus. Terdapat beberapa kelompok stimulus yang
dikelompokkan dalam beberapa faktor yang memengaruhi perilaku pencegahan
penyakit ISPA.
Green dalam Notoatmodjo (2007), mengungkapkan perilaku
dipengaruhi oleh faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Faktor
predisposisi yang berupa pengetahuan dan sikap tentang pencegahan penyakit ISPA.
Sedangkan faktor pendukung mengacu pada daya dukung lingkungan secara fisik
meliputi ketersediaan alat/lingkungan dan sarana untuk menunjang pencegahan
penyakit ISPA. Faktor yang terakhir, faktor pendorong, yaitu daya dukung sumber
Universita Sumatera Utara
daya manusia di sekitar individu yang selalu melakukan pengawasan terhadap
pencegahan penyakit ISPA seperti tenaga kesehatan.
2.9. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori-teori yang telah dibahas dalam tinjauan kepustakaan , maka
kerangka teoritis dapat digambarkan sebagai berikut :
Pengetahuan
Sikap
Pencegahan Penyakit
ISPA Pasca Banjir
Umur
Pendidikan
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka diatas, maka dapat dijelaskan bahwa definisi konsep
dalam penelitian ini adalah variabel independen (variabel bebas) yang terdiri dari
pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir merupakan
variabel dependen (variabel terikat).
Universita Sumatera Utara
Download