Pusat Peraturan Pajak Online UTANG DAN ILUSI FISKAL, SERTA INEFISIENSI APBN Contributed by Administrator Monday, 08 October 2007 Utang Indonesia meningkat terus, sejak hampir senilai USD134 miliar tahun 2005 meningkat menjadi sebesar USD 145 miliar pada kuartal kedua tahun 2007. Di sisi lain penerbitan utang negara berada pada tingkat Rp22, 5 triliun pada tahun 2005, naik menjadi Rp42,6 triliun pada tahun 2006, dan melonjak menjadi Rp64,2 triliun pada bulan September tahun 2007. Dilihat dari rasio utang pada PDB memang terjadi penurunan, tetapi dari sisi nilai mutlak terjadi peningkatan. Hal yang merisaukan ialah utang dalam dollar naik, mencakup Surat Berharga Negara (SBN) di samping utang luar negeri dari berbagai negara dan lembaga. Utang valuta menurun dari USD62,9 miliar pada tahun 2005 ke tingkat USD59 milliar pada bulan September 2007, tetapi SBN denominasi dollar AS naik dari USD3/7 miliar tahun 2005 menjadi USD7 miliar pada September 2007. Peningkatan utang keseluruhan, baik valuta maupun rupiah, disebabkan oleh penurunan penerimaan negara dalam bentuk pajak, yang didominasi pajak penghasilan. Masalah ini menyentuh salah satu persoalan pelik dalam ilmu keuangan negara, yakni apa yang disebut sebagai ilusi fiskal, fiscal illusion, sebagai padanan dari ilusi moneter. Ilusi fiskal terjadi jika masyarakat umum termasuk kalangan DPR melihat bahwa APBN dapat terpenuhi walaupun hasil penerimaan pajak turun. Ini dapat mendorong anggota legislatif yang mungkin didesak oleh warga pemilihnya untuk terus menaikkan tuntutan penyediaan barang dan pelayanan publik. Warga masyarakat merasa adalah hak mereka untuk memperoleh pelayanan publik, tetapi tidak menyadari biaya pengadaannya yang harus ditanggung pada masa kemudian atau lebih parah oleh generasi mendatang. Dalam hal ini orang melihat bahwa pemerintah tidak mempunyai argumentasi yang cocok dalam pengajuan RAPBN. Apakah anggaran tersebut akan dilaksanakan sesuai rencana kegiatan dengan hasil positif bagi masyarakat luas, terutama komponen pembangunan ekonomi. Besarnya APBD yang ditengarai mendekati RplOO triliun yang ditempatkan dalam surat berharga negara, SBI dan SUN, adalah gambaran ketidakefektifan usulan anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Defisit pemerintah yang ditanggulangi melalui penerbitan SBN adalah pemicu ilusi fiskal tersebut Langkah seperti ini akan menjadi beban bagi pemerintah yang akan datang, sehingga dilihat dari sudut politik merupakan bom waktu bagi pengelolaan fiskal. Prinsip ricardian equivalence menyatakan bahwa pinjaman saat ini adalah pajak masa mendatang. Hal yang sangat merisaukan ialah inefisiensi anggaran yang ditempatkan dalam SBN tadi, sebab tidak digunakan untuk membangun prasarana dan pelayanan umum, sedianya menunjang kegiatan ekonomi produktif. Ada biaya ganda di sini: dana itu diambil dari pajak rakyat sedang bunga SBN dan cicilan itu harus dibayar kembali oleh pajak rakyat. Padahal pajak itu seharusnya dikembalikan pada masyarakat melalui pelayanan umum yang akan menurunkan biaya-biaya kegiatan ekonomi, seperti penurunanbiaya transport dan percepatan waktu tempuh. Utang memang dapat membawa manfaat jika digunakan dengan tepat. Salah satu argumennya menyatakan bahwa setiap pembebanan pajak akan menimbukan Dead Weight Loss(D\N\), dalam jangka pendek. Tetapi jika biaya tersebut cukup besar, efeknya dapat mematikan usaha, sehingga manfaat jangka panjang tidak akan dapat dinikmati lagi oleh mereka yang terkena dampak negatif itu. Di sini, pinjaman dapat menjadi jembatan antara kebutuhan saat ini dengan manfaat yang baru mucul pada masa mendatang. Tetapi jika pinjaman itu pada akhirnya justru ditempatkan dalam SBN, manfaat yang diharapkan tidak terealisir sehingga menjadi beban ganda tadi. Di dalam situasi ketidakefisienan pemerintah itu, terjadilah ilusi fiskal, yang pada gilirannya akan merusak ekonomi. Dari informasi yang disampaikan Dirjen Pajak baru-baru ini ternyata mayoritas dari wajib pajak yang memiliki NPWP tidak mengisi dan mengembalikan SPT Padahal jumlah pemilik NPWP baru sekitar 5 juta dari yang potensil 20 juta. Keadaan inilah yang kelihatannya menuntut agar pemerintah bersama DPR meJakukan reformasi mendasar sistem perpajakan di Indonesia. Pajak berbasis konsumsi akan lebih memperluas basis dan bersamaan dengan itu akan meningkatkan perolehan pajak. Potensi kebaikan dari sistem_pajak tersebut kelihatannya da pat ditunjukkan oleh peningkatan jumlah negara anggota Organization for Economic Cooperation and Develop ment (OECD) yang makin meningkatkan porsi pajak konsumsi dalam penerimaan negaranya. Sistem pajak berbasis konsumsi akan menghasilkan penerimaan negara secara berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan konsumsi manusia yang terus berjalan tanpa henti. Di sisi lain, pembayaran pajak dari wajib pajak berlangsung secara mencicil, tidak terpusat pada akhir tahun dalam jumlah besar. Alasan ini ternyata juga dikemukakan oleh pembayar pajak di Perancis, sebab pembayaran pajak sedikit demi sedikit dapat menjadi faktor pendorong kepatuhan para pembayar pajak. Berarti ada rangsangan psikologis. Dengan mudah orang dapat melihat bahwa pembayaran pajak terjadi pada ketika berbelanja. Berarti tabungan serta bunganya tidak terkena pajak, yang dapat menjadi daya dorong warga masyarakat untuk menabung. Peningkatan tabungan akan bermuara pada peningkatan investasi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, sistem tersebut perlu didampingi oleh pengelolaan sistem moneter sehingga penggunaan dana perbankan pada suratsurat SBN akan merugikan. Terbitnya SBN dapat membentuk satu visious circle, sebab bank akan memanfaatkannya http://www.rumahpajak.com Powered by Joomla! Generated: 19 July, 2017, 03:02 Pusat Peraturan Pajak Online jika sektor riil tidak memberi hasil lebih baik. Sehingga di samping adanya sisi baik dari pembiayaan anggaran melalui utang, diapun menyimpan sisi buruk seperti diutarakan tadi. Business News, Sabtu, 6 Oktober 2007 http://www.rumahpajak.com Powered by Joomla! Generated: 19 July, 2017, 03:02