Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daerah Aliran Sungai
Menurut Undang-Undang RI No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
pasal 1 ayat 11, daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batasnya di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan. Daerah aliran sungai merupakan satu kesatuan
ekosistem alam yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) dan
membentuk tatanan hidro-orologis yang spesifik. Pada dasarnya, daratan
Indonesia habis dibagi dalam wilayah DAS.
Departemen Kehutanan (1990)
menetapkan 61 DAS kritis yang terdiri dari 39 Satuan Wilayah Pengelolaan
(SWP) DAS prioritas dan 22 SWP DAS super prioritas dan termasuk di dalamnya
DAS Citarum.
Umumnya, DAS dibagi menjadi tiga wilayah yaitu hulu, tengah dan hilir.
Asdak (2004) mencirikan bagian hulu sebagai daerah konservasi, berkerapatan
drainase tinggi, memiliki kemiringan topografi besar. Bagian hilir dicirikan
sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase rendah, kemiringan lahan kecil,
dan sebagian diantaranya merupakan daerah banjir. Bagian tengah merupakan
transisi di antara hulu dan hilir. Masing-masing bagian tersebut saling berkaitan,
bagaian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi
perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Hulu dan hilir mempunyai
keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi. Hubungan antara masukan dan
keluaran dari DAS yang bersangkutan dapat dipakai untuk menganalisis dampak
suatu aktivitas terhadap lingkungan, terutama pengaruhnya di daerah hilir.
Sebagai suatu ekosistem, DAS dapat menghasilkan produk berupa barang
dan jasa lingkungan,
baik yang dapat diukur (tangible) maupun yang tidak
terukur (intangible). Oleh karenanya dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya
keseimbangan antara kepentingan ekologi dan ekonomi sehingga bisa
16
memberikan manfaat secara optimal dan berkelanjutan (sustainable). Analisis
biaya-manfaat sering digunakan sebagai alat bantu kebijakan dalam pengelolaan
lingkungan (Pearce, et al 1994).
Tideman (1996) menyatakan bahwa pengelolaan DAS adalah pemanfaatan
secara rasional sumberdaya lahan dan air untuk produksi maksimum dengan
resiko kerusakan minimum terhadap sumberdaya alami. Setiap masukan ke dalam
DAS mengalami proses interaksi dan berlangsung dalam ekosistem. Sebagai
contoh, curah hujan, bahan terlarut kimiawi dan erosi merupakan masukan ke
dalam ekosistem DAS, sedangkan debit air, sedimen dan limbah cair merupakan
keluarannya. Vegetasi, tanah dan saluran air atau sungai merupakan komponen
DAS yang berfungsi sebagai prosesor. Pengelolaan DAS bertujuan untuk dapat
menghasilkan produk air atau tata air yang baik bagi kepentingan pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, perindustrian dan masyarakat, seperti air
minum, irigasi, industri, tenaga listrik dan pariwisata. Untuk itu, pengelolaan
bertujuan melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional agar dapat
dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan dan diperoleh kondisi tata air
yang berkualitas (Manan, 1977). Kondisi DAS bagian hulu yang baik sangat
diperlukan karena berbagai alasan (PJT II, 2002) diantaranya:
1. Bagi PLTA
Pencemaran air sungai yang terus meningkat akan menyebabkan korosi pada
mesin turbin dan peralatan dari bahan logam lainnya, sehingga menurunkan
produktivitas energi listrik, menurunkan umur pakai dan menimbulkan biaya
pemeliharaan yang besar. Erosi, banjir dan tanah longsor menyebabkan
pendangkalan pada waduk, sehingga menurunkan kapasitas terpasang turbin
(daya dorong air rendah), menurunkan umur pakai waduk, menimbulkan biaya
pengerukan yang tinggi dan juga akan menurunkan produksi energi listrik.
2. Bagi PDAM
Pencemaran air sungai (sumber air baku) akan meningkatkan kebutuhan bahan
kimia, kebutuhan akan peralatan pengolahan (water treatment plant) yang
lebih canggih dan menimbulkan biaya yang besar. Kondisi ini akan
17
menaikkan harga jual, menurunkan margin keuntungan dan di sisi lain
menurunkan pangsa pasar (market share) konsumen air.
3. Bagi irigasi
Pertanian sangat membutuhkan sistem irigasi yang memadai dan dapat
mengalirkan air dalam jumlah, kualitas dan kontinuitas yang terjamin,
sehingga memberikan kepastian penentuan musim tanam, peningkatan masa
budidaya (indeks pertanaman) dan prakiraan hasil panennya.
4. Bagi perikanan
Pencemaran air sungai sangat merugikan usaha perikanan terutama perikanan
jaring apung di waduk. Kerugian terbesar umumnya disebabkan naiknya air
dalam ke permukaan (upwelling) sebagai akibat banjir dari hulu dan terjadinya
denitrifikasi.
5. Bagi pariwisata
Waduk yang luas dan air yang bersih merupakan tempat wisata yang sangat
menarik dan dapat dijadikan sebagai fasilitas olahraga air.
Keadaan ini
memberikan nilai ekonomi yang cukup besar bagi pengelola waduk.
Menurut Alikodra (2000), pengelolaan DAS secara terpadu merupakan
jawaban atas permasalahan yang dihadapi, yaitu dengan :
1. Menyiapkan sumberdaya manusia (SDM) dan institusi pengelola,
2. Integrasi dengan pemerintah daerah, mengembangkan data dasar (database)
dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders),
3. Menggunakan sumberdaya air dan sumberdaya alam lainnya secara
berkelanjutan,
4. Melindungi air dari pencemaran dan mempertahankan debit air sungai sesuai
daya dukung optimalnya,
5. Mempertahankan keanekaragaman biota perairan sungai,
6. Menerapkan pola produksi bersih,
7. Mempertahankan kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air.
Sungai Citarum memiliki panjang 300 km dari dataran Bandung hingga
Bekasi, mengalir sepanjang wilayah DAS Citarum dengan luas 450.000 ha
merupakan sumberdaya air bagi PLTA Saguling, PLTA Cirata, PLTA Jatiluhur,
18
PDAM
Purwakarta, PT. Thames PAM Jaya Jakarta, irigasi pertanian dan
perikanan. Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum.
Ada tiga pokok penting dalam pengelolaan DAS (Sheng, 1968), yang
berinteraksi satu dengan yang lain secara terpadu dan menghasilkan kesejahteraan
bagi masyarakat sebagai titik sentralnya. Ketiga faktor itu adalah air, lahan dan
pengelolaan. Interaksi ketiga faktor tersebut secara optimal akan menghasilkan
air dan tata air yang cukup sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas. Oleh
karena itu, indikator dalam menilai interaksi dalam sistem pengelolaan DAS
adalah :
1. Indikator ekonomi, yaitu pengelolaan yang mampu mendukung produktivitas
optimal bagi hajat hidup dan kepentingan orang banyak.
2. Indikator sosial, yaitu pengelolaan yang mampu memberikan manfaat secara
merata bagi kepentingan hidup orang banyak.
19
3. Indikator lingkungan, yaitu pengelolaan yang mampu mempertahankan
kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi.
4. Indikator teknologi, yaitu pengelolaan yang mampu memberikan nilai tambah
bagi penggunaan sumberdaya alam.
2.2. Sistem Hidrologi dan Sumberdaya Air
Pada sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta
berkaitan dengan komponen utamanya seperti jenis tanah, tataguna lahan,
topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik DAS tersebut dapat
merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dan dapat memberikan
pengaruh terhadap besar kecilnya evapo-transpirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran
permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Ffolliot, 1981). Pengetahuan
tentang proses-proses hidrologi yang berlangsung dalam ekosistem DAS
bermanfaat bagi pengembangan sumber daya air. Dalam sistem hidrologi ini
peranan vegetasi sangat penting artinya karena kemungkinan intervensi manusia
terhadap komponen lingkungan tersebut sangat besar. Vegetasi dapat merubah
sifat tanah dalam hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi
permukaan tanah, dan dengan demikian, mempengaruhi besar kecilnya aliran air
permukaan (Asdak, 2004).
Penelitian mengenai aspek kelembagaan dan partisipasi dalam pengelolaan
DAS secara terpadu telah dilakukan oleh Kolopaking (1998). Dalam penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara pengelolaan DAS terpadu
dengan perhutanan sosial berdimensi skala ekonomi yang melibatkan tiga pihak
yaitu pemerintah (Departemen Kehutanan), swasta dan masyarakat dalam upaya
penanggulangan kemiskinan. Walaupun telah terjadi pengurangan curah hujan
global, tetapi dengan adanya pemanasan suhu permukaan laut akan terjadi
peningkatan penguapan dan tentunya diikuti oleh peningkatan curah hujan.
Pengaruh peningkatan gas rumah kaca terutama gas CO2 dan penggundulan hutan
akibat konversi ke penggunaan lahan lainnya, telah menimbulkan dinamika
sumberdaya air dunia saat ini.
20
Salah satu indikator penting yang dapat digunakan untuk menunjukkan
perubahan iklim global adalah dari kecenderungan data aliran DAS yang ada di
dunia. Sulandari (2005) menyatakan bahwa Chief dan McMahon telah melakukan
pengujian statistik terhadap data historis debit puncak dan volume aliran dari 142
sungai di dunia dengan data 50 sampai dengan 162 tahun dan luas DAS seribu
km² sampai delapan juta km², dan sampai pada kesimpulan bahwa walau
didapatkan terjadinya kecenderungan dan perubahan nyata dalam sejumlah lokasi,
namun tidak diperoleh konsistensi untuk seluruh wilayah. Dalam sejumlah kasus
dimana kecenderungan tersebut terjadi, perubahan kondisi biofisik DAS akan
dapat menyebabkan adanya ketidakpastian ketersediaan air di masa depan dalam
kaitannya dengan perubahan iklim global (Boer, 2003). Secara umum sistem
hidrologi suatu DAS disajikan pada Gambar 4.
Menurut Sanim (2003) air memiliki nilai sebagai barang (instrumental
value) dan juga memiliki nilai lain seperti sosial, kultural dan lingkungan
(intrinsic value). Air memiliki sifat terbuka (open access) dan menjadi milik
umum (public good), maka sumberdaya air mudah sekali mengalami perubahan
dalam kuantitas dan kualitas sebagai akibat dari ketidakjelasan hak-hak atas
pengelolaan dan pemanfaatannya. Di daerah hilir, air digunakan sebagai sumber
daya dalam berbagai bentuk penggunaan dengan skala yang bervariasi,
diantaranya sebagai sumberdaya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan
sebagai sumber bahan baku air minum (PDAM). Di daerah hulu, air digunakan
sebagai sumber air minum rumahtangga dan kebutuhan irigasi pertanian dan
perikanan.
Menurut Anwar (1995) sumberdaya air memiliki karakteristik-
karakteristik khusus sebagai berikut :
1. Mobilitas, air yang bersifat cair mudah mengalir, menguap dan meresap di
berbagai media, sehingga sangat sulit untuk melaksanakan penegasan hak atas
sumberdaya ini secara ekslusif agar dapat dipertukarkan dalam sistem
ekonomi pasar.
21
Gambar 4. Sistem hidrologi dan sumberdaya air (Sumber : Asdak, 2004).
2. Sifat skala ekonomi yang melekat dalam penyimpanan, penyampaian dan
distribusi air.
3. Penawaran air berubah-ubah menurut waktu, ruang dan kualitas dalam
keadaan kekeringan dan banjir sumberdaya air ini hanya dapat ditangani oleh
pemerintah untuk kepentingan umum.
4. Kapasitas dan asimilasi dari badan air, zat cair mempunyai daya larut untuk
mengasimilasikan berbagai zat padat tertentu selama daya asimilasinya tidak
terlampaui.
5. Penggunaannya bisa dilakukan secara beruntun ketika mengalir dari hulu ke
hilir sampai ke laut, dan dengan beruntunnya penggunaan air selama
perjalanan alirannya akan merubah kuantitas dan kualitasnya.
6. Penggunaannya yang serba guna, dengan kegunaannya yang banyak tersebut
maka pihak individu dapat memanfaatkannya dan sisanya menjadi barang
umum.
7. Nilai-nilai kultural yang melekat pada sumberdaya air, sebagian besar
masyarakat masih mempunyai nilai-nilai yang menganggap air sebagai barang
anugerah Tuhan yang tidak patut dikomersilkan.
22
2.3. Kerusakan Ekosistem DAS
Munadi (2001) menyatakan bahwa pengkajian kerusakan dapat dilakukan
pada beberapa ukuran yaitu waktu terjadinya kerusakan, besarnya kerusakan dan
struktur kerusakan yang terjadi, dilihat dari organisme penghuni ekosistem.
Kerusakan akan berakibat ketidakseimbangan ekosistem dan akan mempengaruhi
ekosistem itu sendiri dan ekosistem lainnya. Permasalahan yang dihadapi oleh
sebagian besar sungai yaitu kerusakan daerah sekitarnya dan tingginya tingkat
pencemaran. Belum terintegrasinya pengelolaan wilayah hulu dan hilir, yang
mengakibatkan pencemaran lingkungan dan pendangkalan pada bagian hilir.
Penyebabnya adalah lemahnya pengendalian pembangunan pada wilayah hulu
dan sepanjang daerah aliran sungai (misal pemanfaatan kawasan lindung untuk
permukiman). Terjadinya konflik pemanfaatan ruang yang sifatnya lintas daerah
otonom yang saling berbatasan (Yunus, 2005).
Aktivitas manusia cenderung mengarah pada pengrusakan dalam
mengeruk sumberdaya alam yang tersedia. Rangkaian tindakan pengrusakan
terhadap alam masih marak dilakukan dan mungkin akan terus mewarnai
kehidupan masyarakat (Muhammad dan Nuryani, 2002). Kerusakan DAS tidak
bisa terlepas dari rusaknya hutan di daerah hulu. Kerusakan hutan khususnya yang
berfungsi sebagai kawasan lindung akan menyebabkan run-off yang besar pada
kawasan hulu dan hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada
wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, serta memperluas kelangkaan air
bersih pada jangka panjang (Depkimpraswil, 2003). Kejadian banjir yang terus
berulang merupakan hasil dari kerusakan sistem dalam hal ini adalah daerah aliran
sungai (Irianto, 2003).
Banjir selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan lahan pertanian. Sitorus
(1998 dan 2003) mengatakan bahwa kerusakan tanah dapat terjadi karena
penjenuhan tanah oleh air, erosi, terkumpulnya garam (salinisasi) di daerah
perakaran, terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan
racun bagi tanaman, kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah
perakaran. Sayangnya beberapa kalangan belum menaruh perhatian yang
memadai terhadap banjir besar yang akan terus terjadi. Pemanfaatan sumberdaya
23
alam secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek pelestariannya dengan
sendirinya meningkatkan tekanan-tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup
yang pada akhirnya pasti akan mengancam swasembada atau kecukupan pangan
segenap penduduk, kondisi pemerataan pendapatan serta potensi pertumbuhan
ekonomi di masa yang akan datang. Kerusakan lingkungan seperti DAS akan
menurunkan produktivitas sumberdaya alam serta memunculkan berbagai macam
masalah kesehatan dan gangguan kenyamanan hidup (Todaro, 2000).
Dalam tinjauan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang
dikeluarkan setiap tahun, memprediksikan dan memperingatkan akan terjadinya
bencana lingkungan akibat kerusakan lingkungan hidup yang sudah sedemikian
parahnya. Kepulauan Indonesia mengalami perubahan kondisi lingkungan hidup
dan ekosistem yang sangat cepat dan masif. Pola pengembangan ekonomi yang
bertumpu pada pengurasan sumberdaya alam dan mengabaikan faktor kelestarian
ekosistem mengakibatkan perubahan bentang alam. Sejak tahun 1998 hingga
pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, 85%
dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor. Kejadian banjir
menempati urutan pertama dalam frekuensi terjadinya bencana. Jumlah kejadian
banjir mencapai 302 kali dengan korban jiwa sebanyak 1.066 orang
(WALHI, 2004). Kerusakan DAS ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS
dalam menyerap, menyimpan dan mendistribusikan air hujan pada musim hujan.
Semakin berkurangnya luasan hutan sebagai daerah resapan di hulu menyebabkan
laju aliran naik dan banjir meningkat (Soemarwoto, 2001). Laju aliran naik jika
hutan dikonversi menjadi bangunan, pemukiman, dan jalan.
2.3.1. Pencemaran Air
Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan sebagai hajat hidup
orang banyak. Semua makhluk hidup membutuhkan air untuk kehidupannya,
sehingga sumberdaya air perlu dilindungi agar dapat tetap dimanfaatkan dengan
baik oleh manusia serta makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai
kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan generasi
sekarang dan mendatang. Oleh karena itu, aspek penghematan dan pelestarian
sumberdaya air perlu ditanamkan pada segenap pengguna air (Yunus, 2005).
24
Aktivitas kehidupan yang sangat tinggi yang dilakukan manusia ternyata
telah menimbulkan berbagai efek yang buruk bagi kehidupan manusia dan tatanan
lingkungan hidupnya. Aktivitas yang pada prinsipnya merupakan upaya untuk
dapat hidup layak merangsang manusia untuk melakukan tindakan yang
menyalahi kaidah yang ada dalam tatanan lingkungan hidup. Dampak negatif
yang ditimbulkan oleh kegiatan pertanian, penebangan hutan, domestik dan
lainnya terhadap sumberdaya air berupa semakin menurunnya kualitas air yang
dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup
yang bergantung pada sumberdaya air (Efendi, 2000). Permasalahan utama
sumberdaya air saat ini adalah menyangkut kuantitas yang tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, kualitas air yang layak untuk
keperluan domestik juga semakin langka diperoleh. Oleh karena itu, perlu
pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air dengan seksama.
Menurut keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup No. 02/MENKLH/1988 yang dimaksud dengan pencemaran air atau udara
adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen
lain ke dalam air atau udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air atau
udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air atau udara
menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, maka aktivitas
manusia meningkat baik pada bidang pertanian, industri, rumahtangga dan
lainnya, maka semakin meningkat pula tingkat pencemaran pada perairan, udara
dan tanah yang disebabkan oleh hasil buangan kegiatan tersebut. Untuk mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan dilakukan upaya pengendalian pencemaran
lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan, termasuk baku mutu pada
sumber air, baku mutu limbah cair dan sebagainya. Baku mutu air pada sumber
air adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar dalam
air, tetapi air tersebut tetap dapat digunakan sesuai dengan kriterianya. Menurut
klasifikasi dan kriteria mutu air dapat dibedakan menjadi empat kelas
(PP No. 82, 2001), yaitu :
25
1. Kelas satu yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air
minum, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut,
2. Kelas dua yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut,
3. Kelas
tiga
yaitu
air
yang
peruntukannya
dapat
digunakan
untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut,
4. Kelas empat yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi
pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
Pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal,
bukan dari kemurniannya. Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam
bentuk murni, tetapi bukan berarti semua air sudah tercemar. Ciri-ciri air yang
mengalami pencemaran sangat bervariasi tergantung dari jenis air dan
pencemarnya atau komponen yang mengakibatkan pencemaran. (Saeni, 1989).
Untuk memudahkan pembahasan mengenai berbagai jenis zat pencemar,
pencemaran air dapat dikelompokkan atas 9 kelompok berdasarkan perbedaan
sifat-sifatnya yaitu padatan terlarut, bahan buangan yang membutuhkan oksigen,
mikroorganisme, komponen organik sintetik, hara tanaman, minyak, senyawa
anorganik dan mineral, bahan radioaktif dan panas. Pengelompokan tersebut
bukan merupakan pengelompokan yang baku, karena suatu jenis zat pencemar
mungkin dapat dimasukkan ke dalam lebih dari satu kelompok. (Saeni, 1989).
Untuk mengetahui apakah suatu perairan tercemar atau tidak, diperlukan
pengujian untuk menentukan sifat-sifat air, sehingga dapat diketahui apakah
terjadi penyimpangan dari batasan-batasan pencemaran air. Sifat-sifat air yang
umum diuji dan dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air
misalnya adalah nilai pH, keasaman dan alkalinitas, suhu, warna, bau dan rasa,
26
jumlah padatan, oksigen terlarut (dissolved oxygen), kandungan logam berat,
kandungan minyak, dan kandungan bahan radioaktif (Fardiaz, 2003).
Secara alamiah, sungai tercemar pada daerah permukaan air saja, tetapi
terkadang sungai mengalami pencemaran berat, sehingga zat pencemar dapat
masuk melalui proses infiltirasi sampai kedalaman lapisan tanah tertentu. Pada
musim kering proses pengenceran dan biodegradasi akan sangat menurun, karena
arus air mengalir perlahan dan jumlahnya menurun diperparah lagi oleh
penggunaan sejumlah air untuk irigasi. Hal ini juga mengakibatkan penurunan
kadar oksigen terlarut. Suhu yang tinggi dalam air menyebabkan laju proses
biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan dapat
menghasilkan bahan kimia ke udara. Macam limbah yang dihasilkan oleh
kegiatan manusia dan dampaknya terhadap pencemaran adalah :
a. Kegiatan Pertanian
Sutamiharja (1978), mengemukakan bahwa kegiatan pertanian secara
langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas perairan, yang
diakibatkan oleh penggunaan bermacam-macam pupuk buatan dan pestisida.
Penggunaan pupuk buatan yang mengandung unsur N dan P akan dapat
menyuburkan perairan, yang dapat mendorong pertumbuhan ganggang dan
tumbuhan akuatik lainnya (Odum, 1993).
Keberadaan hara yang berlebihan dapat memicu terjadinya pengayaan
(eutrofikasi) perairan dan dapat memicu pertumbuhan secara pesat mikroalga dan
tumbuhan air yang selanjutnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem
akuatik secara keseluruhan (Effendi, 2000). Selain itu aktivitas pertanian nonkonservasi berpengaruh besar terhadap erosi dan sedimentasi yang terangkut ke
perairan.
Hasil penelitian Sutika (1984) pada perairan Sungai Ciliwung
menyatakan bahwa kandungan nitrogen dan fosfat pada daerah hulu perairan
sungai ini bersumber dari daerah pertanian dan sekitarnya. Dari hasil penelitian
Hariyadi (1985), pada perairan Sungai Ciliwung bagian hulu bahwa persentasi
lahan sawah, perkebunan, tegalan pada DAS Ciliwung Hulu, berpengaruh nyata
terhadap nilai BOD5 dan ortofosfat. Hasibuan (2005) menyatakan bahwa wilayah
DAS Citarum bagian hulu telah mengalami degradasi lingkungan, ditunjukkan
27
dengan penurunan kualitas air Sungai Citarum. Hasil analisis kimia terhadap
contoh air, menunjukkan bahwa zat-zat pencemar didominasi oleh yang
bersumber dari kegiatan industri dibandingkan dengan rumahtangga dan
pertanian.
b. Pemukiman
Kegiatan pembangunan pemukiman baru (perumahan) diawali dengan
pembukaan lahan, perataan dan pemadatan tanah. Menurut Arsjad (1989), erosi
tanah yang akan terjadi pada lahan yang terbuka sangat tinggi, karena tanah tidak
terlindungi dari pukulan butir hujan dan kekuatan dari daya angkut aliran
permukaan. Sebagian dari tanah yang tererosi ini akan masuk ke badan perairan
sungai, sehingga akan menurunkan kualitas airnya. Menurut Puspaningsih (1997)
perubahan lahan sawah dan kebun campuran menjadi permukiman cenderung
mengakibatkan dampak negatif khususnya bila ditinjau dari laju erosi. Beberapa
parameter kualitas air yang dapat menjadi indikator tingginya laju erosi tanah
adalah kekeruhan, dan kandungan sedimen pada dasar sungai.
Pada lingkungan pemukiman yang telah berpenghuni akan menghasilkan
limbah domestik yang berupa sampah padat (organik dan anorganik), limbah
rumahtangga (organik, diterjen dan sebagainya), yang dapat menurunkan kualitas
air pada perairan sungai penerimanya. Hal ini pada umumnya akan terjadi pada
daerah permukiman padat penduduk dan tidak tersedianya fasilitas sanitasi yang
memadai. Saeni (1989) menyatakan bahwa di Indonesia telah banyak sungai yang
telah mencapai taraf pencemaran yang merugikan, khususnya sungai-sungai yang
melalui daerah perkotaan, daerah padat penduduk dan wilayah perindustrian.
Hasil penelitian Sutika (1984), menunjukkan bahwa kandungan nitrogen
dan fosfat berasal dari limbah domestik daerah pemukiman pada perairan Sungai
Ciliwung yang berada pada wilayah Kota Bogor sampai dengan DKI Jakarta.
Nilai BOD5 pada perairan Sungai Ciliwung bagian hulu juga dipengaruhi oleh
keberadaan daerah pemukiman yang berada di sekitarnya. Limbah yang
dihasilkan dari pemukiman (limbah domestik) adalah sumber limbah organik di
perairan. Bahan pencemar sampah rumahtangga menimbulkan gas hidrogen
sulfida (H2S) yang berbau busuk, apabila bakteri aerobik dan anaerobik tidak
28
dapat mengurai secara sempurna (Wahyudi dan Bilal, 1976). Pengklasifikasian
tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter
kualitas air disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan
beberapa parameter kualitas air.
Parameter
1. Padatan total
2. Bahan padatan
terendapkan
3. BOD
4. COD
5. Nitrogen total
6. Ammonia-Nitrogen
7. Klorida
8. Alkalinitas
9. Minyak dan lemak
(mg/l)
(ml/l)
Pencemaran
berat
1.000
12
Pencemaran
sedang
500
8
Pencemaran
ringan
200
4
(mg/l)
(mg/l)
(mg/l)
(mg/l)
(mg/l)
(mg/l)
(mg/l)
300
800
85
30
175
200
40
200
600
50
30
100
100
20
100
400
25
15
15
50
0
Satuan
Sumber : Wahyudi dan Bilal (1976).
c. Kegiatan Penebangan Hutan
Keberadaan hutan pada suatu DAS dapat mengurangi terjadinya erosi dan
sedimentasi, sehingga dapat menghasilkan kualitas air yang lebih tinggi. Luas
hutan dan perlakuan yang dilakukan dalam pengelolaannya, secara langsung akan
mempengaruhi kuantitas dan kualitas air yang dihasilkannya (Manan, 1995).
Pengalihfungsian atau konversi hutan menjadi peruntukan lain menyebabkan
hilangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air. Penutup hutan
yang berkurang menyebabkan tingginya aliran permukaan yang membawa
butiran-butiran tanah (erosi). Erosi mengalir ke aliran sungai dan menjadi
sedimen. Zat padat yang terendap disebut sebagai sedimen (Kimmins, 1987).
Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi, yang masuk ke
badan perairan. Keberadaan sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan
kekeruhan perairan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya dan transfer
oksigen dari atmosfer ke perairan, juga menghambat daya lihat aquatik. Sedimen
juga menyebabkan hilangnya tempat memijah yang sesuai bagi ikan. Sedimen
29
menutupi substrat, sehingga organisme yang membutuhkan substrat sebagai
tempat hidup dan sebagai tempat berlindung menjadi terganggu (Effendi, 2000).
d. Kegiatan Industri dan Pertambangan
Pencemaran oleh kegiatan industri dan pertambangan sangat tergantung
pada jenis kegiatan industri dan pertambangan. Sebagai contoh industri
penyamakan kulit, pada umumnya meliputi jenis zat pencemar yang tinggi dari zat
tersuspensi protein, CaCO3, Ca(OH)2, CaSO4,
Na2S, asam tanat, zat warna,
H2SO4, Cr dan logam lainnya dihasilkan dari proses perendaman, pengapuran,
pengasaman dan penyamakan (Rao dan Datta, 1979). Logam berat yang berasal
dari industri dan pertambangan dapat bersifat racun bagi tanaman. Metcalf dan
Eddy (1991) menyebutkan, bahwa logam berat penting yang terlarut dalam air dan
berpengaruh terhadap pertumbuhan makhluk hidup serta bersifat racun adalah
Ni, Mn, Pb, Cr, Cd, Zn, Fe dan Hg.
Menurut Sutamiharja (1978), pengaruh logam berat terlarut dalam air
terhadap tanaman tergantung dari jenis tanaman, umur tanaman dan variasi bentuk
kimianya. Pengaruh tersebut dapat menyebabkan adanya kerusakan kimia
biologik, yaitu terakumulasinya pada sel-sel yang mengandung gugus sulfida,
sehingga mengakibatkan struktur sel rusak, tidak berfungsinya pembelahan sel
dan tidak berfungsinya sistem pembagian air dalam sel. Kandungan maksimum
unsur pencemar dalam air sungai yang digunakan untuk kegiatan pertanian
(Bronson, et al., 1975 dalam Shainberg dan Oster, 1978) terdapat pada Tabel 2.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan akan dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan perairan dengan terbentuknya endapan, perubahan pH,
masuknya logam-logam berat beracun dan merubah arah saluran dan aliran air.
Pertambangan terbuka merupakan sumber pencemar yang menimbulkan
kerusakan paling tinggi berupa pelumpuran dan kekeruhan yang berasal dari
kerusakan pinggiran sungai.
30
Tabel 2. Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air pertanian.
Unsur
Al (Alumunium)
As (Arsen)
Be (Berylium)
B (Boron)
Cd (Kadmium)
Cr (Krom)
Co (Kobalt)
Cu (Tembaga)
F (Fluor)
Fe (Besi)
Pb (Timbal)
Li (Litium)
Mn (Mangan)
Mo (Molibdenum)
Ni (Nikel)
Se (Selenium)
V (Vanadium)
Zn (Seng)
Untuk pemberian air terus
menerus
(mg / l)
5,00
0,10
0,10
0,75
0,01
0,10
0,05
0,20
1,00
5,00
5,00
2,50
0,20
0,01
0,20
0,02
0,10
2,00
Untuk penggunaan sampai 20 tahun,
pada tekstur tanah sangat halus,
pH 6,0 – 8,5 (mg/l)
20,00
2,00
0,50
2,00-10,00
0,50
1,00
5,00
5,00
15,00
20,00
10,00
2,52
10,00
0,0502
0,020
0,020
1,00
10,00
Sumber : Shainberg dan Oster (1978).
Menurut Darmono (1995), kegiatan pertambangan merupakan sumber
pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat ini dapat menimbulkan
berbagai permasalahan diantaranya (1) berhubungan dengan estetika seperti bau,
warna, rasa (2) berbahaya bagi tumbuhan dan hewan, (3) mengganggu kesehatan
manusia, (4) menimbulkan kerusakan ekosistem.
2.3.2. Sedimentasi
Asdak (2004) menyatakan bahwa sedimen adalah hasil proses erosi baik
berupa erosi permukaan, erosi parit dan erosi tanah lainnya. Hasil sedimen
(sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi di daerah
tangkapan air, diukur pada periode dan tempat tertentu. Hasil sedimen biasanya
diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment)
atau pengukuran langsung di dalam waduk. Hasil sedimen pada waduk sangat
ditentukan oleh tingkat erosi lahan di wilayah hulu. Faktor - faktor yang
mempengaruhi erosi juga merupakan penentu hasil sedimen yaitu kondisi fisik
lahan, aliran permukaan, debit, tataguna lahan, tindakan konservasi, erodibilitas,
kerapatan drainase dan luas DAS (Julien, 1992; Morris dan Fan, 1998; Sa’ad,
31
2002; Syarif dan Kodoati, 2005). Secara sederhana hasil sedimen dapat dihitung
dengan menggunakan rumus (Asdak, 2004) yaitu Qs = 0,0864 . C . Q, dimana
Qs = debit sedimen (ton/ha), C = konsentrasi sedimen, Q = debit sungai (m³ / dt).
Penelitian yang dilakukan oleh Sa’ad (2002), di DAS Hulu Ciliwung
menyimpulkan bahwa untuk menduga hasil sedimen pada sungai dapat
menggunakan rumus :
Y = 1.445 x 10 -2. Ep 0,704 . Ro 0,646 . CP 0,005. A-0,747
Keterangan :
Y = sedimen sungai (ton ha¯¹),
Ep = erosi permukaan dari soilpan (ton ha¯¹),
Ro = volume aliran permukaan satu periode hujan (m³),
CP = faktor tanaman dan tindakan konservasi tanah,
A = luas Sub DAS (ha).
Rumus tersebut dapat digunakan untuk DAS – DAS lain yang memiliki
kemiripan tinggi (berdasarkan koefisien Nash). Hubungan antara perubahan
tataguna lahan dan hutan DAS dengan erosi, sedimentasi, kuantitas dan kualitas
air telah banyak dilakukan. Misalnya, Sihite (2004) menyimpulkan bahwa
perubahan penggunaan lahan hutan menjadi kebun kopi di DAS Besai Lampung
telah menyebabkan peningkatan erosi dari 8,29 ton/ha (1975) menjadi 49,85
ton/ha (1997) dan rasio debit maksimum minimum naik dari 7-16 (1975-1981)
menjadi 25-41 (1996-1997), sehingga mendatangkan kerugian per tahun
(1975-1981) sebesar Rp 16,473 milyar naik menjadi Rp 63,493 milyar (19961997). Di DAS Krueng Aceh ditemukan bahwa telah terjadi penurunan volume
aliran sungai tahunan sebesar 417,4 mm dan debit aktual turun sebesar 32,1%
antara tahun 1996-2003 (Balai Agroklimat dan Hidrologi, 2004).
2.4. Jasa Lingkungan DAS Selain Air
2.4.1. Keanekaragaman Hayati
Disamping air, DAS menghasilkan jasa lingkungan yang lain berupa
keanekaragaman hayati, sekuestrasi karbon, rekreasi dan penelitian (Pagiola et. al,
2002). Jasa lingkungan keanekaragaman hayati dikonsumsi oleh konsumen yang
32
sulit diidentifikasi ambang batas permintaan dan pasokan, sehingga sulit mencari
pembeli individual. Disamping itu, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan
pengusaha telah berpartisipasi aktif dalam mengkonservasi keanekaragaman
hayati dengan kesediaan membayar. Peningkatan kesadaran publik akan manfaat
dan ancaman keanekaragaman hayati menyebabkan individu dan komunitas
menjadi penjual yang proaktif, sehingga pertumbuhan dan diversifikasi pasar telah
menghasilkan inovasi yang nyata dalam desain komoditas dan mekanisme
pembayarannya (Williams, et al, 2001).
Setiap mekanisme berusaha mengurangi resiko pasar, mengatasi pengaruh
ambang batas dan meminimalkan biaya transaksi. Dengan penurunan resiko dan
biaya transaksi, maka partisipasi pasar akan semakin meningkat. Kendala utama
adalah biaya transaksi yang berhubungan dengan pembentukan dan pelaksanaan
perdagangan terutama di negara berkembang. (Landell-Mills and Porras, 2002).
2.4.2. Sekuestrasi Karbon
Pohon (hutan) dalam proses fotosintesis melakukan pengikatan gas CO2
dari udara dan membentuk biomas yang terdiri dari karbohidrat (C6H12O6) dan
oksigen (O2) dan melepaskan sejumlah energi. Kemampuan pohon dalam
menyerap gas CO2 dan kaitannya dengan penurunan jumlah gas CO2 (gas rumah
kaca) di atmosfer telah banyak diteliti (Hairiah et al, 2001). Di dalam CoP7
(Conference of Parties ke-7) bulan November 2001 di Marakesh (Maroko)
diputuskan bahwa kegiatan LULUCF (Land use and land use change of forestry)
di negara-negara maju diizinkan sebagai rosot karbon (carbon sequestration) di
bawah CDM (clean development mechanisme) pada periode komitmen pertama
dan berpedoman pada Protokol Kyoto 1997 pasal 3.3 dan 3.4. Kegiatan yang
dilakukan secara domestik atau melalui JI (jointly implementation) dalam proyek
deforestasi, ini dapat menghasilkan unit penyerapan (remove unit RMU) untuk
memenuhi target penurunan emisi negara-negara maju (Murdiyarso, 2003).
Pasar bagi penggantian kapasitas pohon dalam sekuestrasi dan
simpanannya (sebagai jasa lingkungan) belum terwujud. Proses pembentukan
pasar tidaklah mudah dan belum tercapai satu platform perdagangan tingkat
transaksi (lokal, nasional, regional, dan internasional) mekanisme pembayaran
33
dan derajat partisipasi pemerintah. Perdagangan karbon dengan jumlah komoditas
ekuivalen 1 ton karbon telah meminimalisasi biaya transaksi. Perdagangan
internasional dalam bentuk AIJ (activities jointly implementation) dan CDM
untuk penggantian karbon umumnya dilakukan melalui negosiasi individual
dengan industri pengembangan pasar yang masih terbatas (Sulandri, 2005).
Walaupun diizinkan LULUCF dalam skema CDM masih diwarnai
perdebatan dan pembahasan antara lain hanya berlaku pada periode pertama
(2008–2012), terbatas pada kegiatan reforestasi dan tidak lebih dari 1% total emisi
pihak investor, namun Indonesia memliki potensi yang sangat besar untuk
berperan dalam mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim global melalui
CDM dan mekanisme lainnya seperti CER (certified emission reduction)
(Murdiyoso, 2003).
2.4.3. Rekreasi dan Penelitian
Keindahan lansekap dan keanekaragaman hayati yang terdapat dalam
suatu DAS merupakan komoditas yang ditawarkan di pasar ekoturisme
(wisata alami). Saat ini, pasar bagi ekoturisme dirasakan perkembangannya masih
lambat terutama disebabkan pandangan operator turisme yang menganggap
keindahan lansekap dan keanekaragaman hayati sebagai komoditi gratis dan
belum mampu membangkitkan kesediaan membayar konsumen. Bila kondisi ini
berlangsung terus, maka dikhawatirkan jasa rekreasi yang ditawarkan DAS
kurang mendapat tanggapan dari pasar baik domestik maupun manca negara
(Pagiola, et. al, 2002).
Kondisi DAS memilki ekosistem dan keindahan lansekap yang spesifik
dan keanekargaman hayati yang tinggi baik dalam jenis maupun jumlah telah
mengundang peneliti lokal, nasional dan internasional untuk melakukan penelitian
dan pengembangan dalam berbagai hal terutama berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Penemuan jenis tanaman berhasiat obat (madicinal
plant), pengembangan bioteknologi dan industri biogenetika yang spektakuler
telah menjadikan penelitian terhadap keanekaragaman hayati dipandang sebagai
komoditas yang dapat dipasarkan bahkan dengan harga jual yang tinggi. Bauman
et.al (2001) menyatakan bahwa sebagian besar keanekaragaman hayati dunia
34
terdapat di negara-negara selatan (berkembang), akan tetapi yang lebih
mendapatkan manfaat darinya adalah negara-negara utara (maju). Negara - negara
maju dengan dalih melakukan penelitian telah meraup hasil yang sangat besar
berupa hak paten dan intelektual, industri biogenetika dan perdagangan produknya
ke negara-negara berkembang yang sebenarnya didapatkan dari negara
berkembang. Pembentukan pasar bagi penelitian dan hasilnya yang adil (fair)
merupakan upaya yang harus dilakukan untuk melestarikan sumberdaya alam dan
lingkungan dunia.
2.5. Analisis Perubahan Karakteristik Hidrologis DAS
Perubahan karakteristik hidrologis sangat dipengaruhi oleh perubahan
karakteristik biofisik seperti perubahan penutup lahan, morfometrik dan
geometrik DAS. Perubahan penutup dan tataguna lahan merupakan faktor yang
paling rentan dan dominan berpengaruh terhadap karakteristik hidrologis suatu
DAS (Puslitbang Tanah dan Agroklimat, 2005).
Ada beberapa cara untuk melihat hubungan antara hujan-aliran permukaan
pada suatu skala DAS, diantaranya adalah (Andreassian, 2003) :
1. Berdasarkan perbandingan antara dua DAS yang berdekatan. Perbandingan
antara dua DAS yang hampir sama (Hewlett 1982 dalam Andreassian, 2003),
yang pengawasannya terus menerus hingga diperoleh perilaku-perilaku
hidrologis yang cukup stabil. Kemudian, salah satu dari kedua DAS tersebut
diberi perlakuan, sementara yang lainnya tetap tidak diberi perlakuan. Setelah
adanya perlakuan, hubungan awal yang diperoleh digunakan untuk
merekonstruksi kembali perlakuan DAS. Perbandingan diperoleh antara aliran
aktual (yang diukur) dan berdasarkan aliran yang direkonstruksikan (diduga)
dari pengaruh hidrologis perlakuan DAS.
2. Simulasi DAS kontrol sebenarnya. Seringkali tidak memungkinkan untuk
mengidentifikasi sebuah DAS yang terkontrol. Biasanya dibatasi oleh
ketersediaan data jangka panjang curah hujan–aliran permukaan untuk DAS
yang diperlakukan. Pada kondisi ini sangat sulit untuk memutuskan efek-efek
perubahan sebagaimana masa sebelum dan sesudah perubahan yang berbeda
35
di Stasiun Klimatologi (Hewlett, 1982, Cosandey dan Robinson, 2000). Untuk
mengembalikan kepada situasi DAS-DAS yang berpasangan, maka dapat
diperoleh dengan melakukan simulasi DAS kontrol yang nyata, sebagai
sebuah model hujan-aliran permukaan. Sebagai contoh, kalibrasi sebuah
model sebelum perlakuan, dan menggunakannya dengan curah hujan
observasi untuk merekonstruksi aliran permukaan setelah perlakuan. DAS
kontrol yang sebetulnya akan terdiri dari model kalibrasi sebelum perlakuan,
yang dapat digunakan untuk mensimulasi aliran kontrol. Pengaruh dari
perlakuan merupakan pengurangan dari perbandingan antara aliran simulasi
dengan
aliran
hasil
pengamatan.
Selanjutnya,
Andressian
(2003)
memperkenalkan model GR4J untuk menduga pengaruh perlakuan suatu DAS
terhadap karakteristik aliran permukaan, dengan struktur model sebagaimana
ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur model GR4J (Sumber : Perrin 2003).
36
Untuk mendeteksi sebuah DAS berdasarkan model curah hujan – aliran
permukaan Lorup et.al (1998) menggambarkan 3 langkah metodologi yang
menggunakan model curah hujan – aliran permukaan dengan maksud :
1. Menyeleksi suatu periode referensi, bagian dari periode ini digunakan untuk
mengkalibrasi model parameter mewakili periode referensi.
2. Validasi dari model curah hujan–aliran permukaan pada bagian kedua periode
referensi dan menggunakan sebuah pendekatan statistik.
3. Gunakan model kalibrasi tersebut untuk mensimulasi aliran permukaan dan
membandingkan aliran permukaan simulasi dengan observasi yang diijinkan.
2.6. Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan
Todaro (2000) menyatakan bahwa kerusakan lingkungan pada akhirnya
harus dipikul dengan biaya yang cukup tinggi. Kelompok yang pertama dan
paling banyak menanggung beban kerusakan lingkungan adalah penduduk miskin.
Degradasi lingkungan menyebabkan menyusutnya tingkat produktivitas lahan
pertanian per kapita. Karena pengelolaan dan pengolahan lahan marjinal
merupakan sumber nafkah utama sehingga penduduk setempat yang paling
menderita sehubungan dengan kerusakan lingkungan seperti banjir. Mereka tidak
mempunyai fasilitas kesehatan dan air bersih, sehingga 80% wabah penyakit
menimpa penduduk miskin.
Tidak dimasukkannya biaya-biaya lingkungan dari kalkulasi pendapatan
merupakan salah satu penyebab terabaikannya persoalan lingkungan dari ilmu
ekonomi pembangunan selama ini (Tietenberg, 1992). Kerusakan lingkungan
akan menimbulkan berbagai dampak seperti banjir. Banjir selanjutnya
menimbulkan pencemaran air dan kelangkaan air bersih, membawa limbah padat
dan berbahaya, degradasi kualitas tanah, kemerosotan biodiversitas yang akan
berdampak pada kesehatan berupa menyebarnya penyakit menular akibat
tercemarnya air, kondisi kesehatan setiap penduduk memburuk akibat kelangkaan
air bersih, penyakit akibat banjir dan limpahan sampah, teracuninya air,
penyusutan gizi kalangan penduduk miskin. Sedangkan dampak terhadap
produktivitas adalah waktu dari para penduduk di desa banyak terbuang untuk
37
sekedar mencari air, sebagian kegiatan produktif terpaksa ditunda karena air
bersih untuk kebutuhan sehari-hari tidak tersedia, pencemaran sumber-sumber air
di bawah permukaan tanah, penurunan kemampuan adaptasi ekosistem dan
hilangnya sejumlah besar sumberdaya lingkungan hidup yang esensial, sehingga
perlindungan alam menjadi lemah (Todaro, 2000).
Kerusakan lingkungan akibat aktivitas orang lain merupakan suatu
eksternalitas. Eksternalitas terjadi jika suatu kegiatan menimbulkan manfaat atau
biaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas
ditambah dengan biaya swasta disebut sebagai biaya sosial. Biaya sosial berkaitan
dengan kerusakan lingkungan hidup yang dapat dianggap biaya pembangunan
ekonomi (Randal, 1987). Yang menjadi masalah adalah siapa yang harus
menanggung biaya sosial tersebut, apakah biaya itu harus ditanggung oleh pihak
yang menimbulkan korban atau pihak yang dirugikan, atau pemerintah. Para
ekonom menyetujui agar pihak yang menimbulkan kerugian harus dikenai
kewajiban untuk mencegah pencemaran atau diwajibkan membayar pajak sebesar
kerugian yang ditimbulkannya atau sumber pencemar dipindahkan keluar daerah
yang mengalami pencemaran (Suparmoko, 1997).
Di dunia yang fana ini tidak ada sesuatu yang gratis. Apabila seseorang
ingin memperoleh sesuatu tanpa membayar, pasti ada orang lain yang harus
membayar biaya yang diperlukan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap
menguntungkan tadi. Biaya eksternalitas juga timbul dengan adanya penebangan
hutan terutama di daerah hulu. Dengan penebangan dan penghancuran di daerah
hulu akan hancur pula sumberdaya plasma nutfah dan meningkatkan laju erosi
dan banjir menghancurkan kesuburan tanah; memperpendek umur waduk,
mendangkalkan saluran irigasi serta merusak tanaman atau semua milik manusia
di daerah hilir (Yunus, 2005). Jadi disamping kegiatan itu memiliki biaya yang
sungguh-sungguh harus dibayar sendiri, ternyata juga menciptakan biaya yang
harus dipikul orang lain. Oleh karena itu biaya lingkungan itu adalah nyata dan
harus diperhitungkan dalam kegiatan pembangunan.
38
2.6.1. Konsep Valuasi Ekonomi
Setiap kegiatan atau kebijakan selalu timbul adanya biaya dan manfaat
sebagai akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak layak
diperlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio.
Untuk itu diperlukan suatu penilaian atau pemberian nilai (harga) terhadap
dampak suatu kegiatan atau kebijakan terhadap lingkungan. Tanpa pemberian
nilai dalam rupiah atau dollar sulit untuk menyatakan bahwa kegiatan itu layak
adanya (Field, 1994).
Nilai dari suatu barang atau jasa sangat membantu seorang individu,
masyarakat atau organisasi dalam mengambil suatu keputusan. Penilaian ekonomi
sumberdaya alam merupakan peralatan teknis yang dapat dipercaya dan logis
untuk digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dalam
pengelolaan
sumberdaya
alam.
Nilai
atau
perhitungan
moneter
dapat
menunjukkan keperdulian yang kuat terhadap aset sumberdaya alam dan
lingkungan, dapat menjadi pendukung untuk pemihakan terhadap kualitas
lingkungan, sebagai dasar pembanding secara kuantitatif dalam bentuk moneter
terhadap beberapa alternatif pilihan dalam pemutusan suatu kebijakan atau
pemanfaatan dana (NRM, 2001).
Penilaian merupakan upaya menentukan nilai atau manfaat dari suatu
barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat
(Ramdan, et al. 2003). Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu
obyek, bagi orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut
berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada
individu atau masyarakat itu. Untuk menilai seberapa besar nilai sumberdaya alam
sangat tergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem nilai tersebut mencakup :
apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana menilainya, kelembagaan
penilaian dan sebagainya (Ramdan, et.al, 2003).
Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat
penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam
yang semakin langka, sebagai rekomendasi tertentu pada kegiatan perencanaan,
39
pengelolaan. Valuasi ekonomi bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan
timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan
pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan keuntungan atau
kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program
pengelolaan sumberdaya alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan
dalam distribusi manfaat sumberdaya alam (Duer, 1993).
Nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan
yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa
yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang dapat
memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik maupun
privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian manfaat
fungsi ekologis pada hakekatnya juga nilai ekonomi karena jika fungsi ekologis
terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau terjadi
kerugian berupa bencana atau kerusakan (Hussen, 2000).
Valuasi ekonomi dengan menggunakan nilai uang sebagai indikasi
penerimaan dan kehilangan manfaat atau kesejahteraan akibat kerusakan
lingkungan. Menurut Pearce et. al (1994), sebelum memberikan nilai dalam arti
uang (moneter), perlu dipahami nilai macam apa sajakah yang dapat diberikan
kepada suatu sumberdaya alam atau lingkungan. Konsep nilai ini bermacammacam, karena menyangkut berbagai macam tujuan yang berkaitan dengan
keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan itu sendiri. Pada dasarnya nilai
lingkungan dibedakan menjadi : (a) nilai atas dasar penggunaan (instrumental
value atau use value) dan (b) nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai yang
melekat tanpa penggunaan (intrinsic value atau non use value). Nilai atas dasar
penggunaan menunjukkan kemampuan lingkungan apabila digunakan untuk
memenuhi kebutuhan; sedangkan nilai yang terkandung dalam lingkungan adalah
nilai yang melekat pada lingkungan tersebut. Atas dasar penggunaanya nilai itu
dibedakan lagi atas dasar penggunaan langsung (direct use value), nilai
penggunaan tidak langsung (inderect use value), nilai atas dasar pilihan
penggunaan (option use value), dan nilai yang diwariskan (bequest value).
40
Selanjutnya nilai atas dasar tanpa penggunaan juga dibedakan menjadi nilai atas
dasar warisan (bequest value) dan nilai karena keberadaannya (existence value).
Jadi dalam menentukan nilai lingkungan secara keseluruhan atau nilai
totalnya (total economic value - TEV), merupakan penjumlahan nilai penggunaan
langsung, nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaannya
(Randal, 1987). Apabila ekonomi diaplikasikan pada isu-isu lingkungan, maka
dapat diharapkan adanya kesadaran yang lebih mendalam untuk meningkatkan
kualitas lingkungan, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan yang diharapkan.
Peningkatan kualitas lingkungan juga merupakan peningkatan ekonomi apabila
meningkatkan kepuasan atau kesejahteraan sosial (NRMP, 2001). Secara grafik,
hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan disajikan pada Gambar 6.
NILAI EKONOMI TOTAL
(TOTAL ECONOMIC VALUE)
NILAI DIGUNAKAN
(USE VALUE)
Direct
Use Value
Indirect
Use Value
Output yang
dimanfaatkan
langsung
• Pangan
• Biomasa
• Rekreasi
• Kesehatan
Manfaat
Fungsional
• Fungsi
Ekologis
• Pengendalian
Banjir
NILAI TIDAK DIGUNAKAN
(NON USE VALUE)
Option Value
Pemanfaatan
dimasa depan
• Keanekaraga
man hayati
• Konservasi
Habitat
Bequest
Value
Existence
Value
• Habitat
• Perubahan
tidak dapat
kembali
• Habitat
• Spesies
Langka
Nilai Keterukuran Kepada Individu Semakin Rendah
Gambar 6. Hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan.
(Sumber : Munasinghe, 1993).
41
2.6.2. Keterkaitan Ekonomi dan Ekologi
Kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan, terbagi paling
sedikit menjadi dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu mereka yang
berpihak pada pertumbuhan dan mereka yang berpihak pada konservasi.
Penekanan pada pertumbuhan ekonomi semata-mata dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki. Kerusakan lingkungan dapat
terjadi apabila pertumbuhan ekonomi terjadi sangat cepat. Jadi sumberdaya alam
dan lingkungan juga merupakan faktor penting dari pertumbuhan ekonomi.
Apabila kualitas lingkungan turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan
kehilangan kemampuan untuk tumbuh. Kemungkinan lain akan muncul adalah
apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan dengan tujuan untuk melindungi
sumberdaya alam dan lingkungan, maka tindakan ini juga dapat menimbulkan
proses degradasi lingkungan yang erat kaitannya dengan pertumbuhan penduduk.
Apabila pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta upaya pengendalian
kerusakan atau pencemaran tidak dihentikan, maka kegiatan ekonomi menurun
dengan cepat, terutama ketika pertumbuhan penduduk sedang berkembang.
Secara praktis, antra ekonomi dan lingkungan memang berinteraksi satu
sama lain dan saling menentukan. Aktivitas ekonomi menghendaki adanya
pertumbuhan ekonomi yang mantap untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Pertumbuhan ekonomi tidak bisa berlangsung secara terus-menerus karena adanya
kendala lingkungan. Jika pertumbuhan ekonomi ingin ditingkatkan maka
eksploitasi sumberdaya harus ditingkatkan dan produk sisa atau limbah kembali
ke lingkungan. Eksploitasi sumberdaya yang meningkat dari waktu ke waktu akan
menguras sumberdaya alam yang tersedia dan akhirnya sistem ekonomi akan
memburuk (Yakin, 1997).
Kepentingan ekonomi dan lingkungan sebenarnya bisa sama-sama tercapai
dan tidak akan terkesan kontradiktif. Kuatnya saling interaksi dan ketergantungan
antara dua faktor tersebut memerlukan pendekatan yang cocok bagi pembangunan
berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan. Secara
teoritis
dan
praktis, penilaian ekonomi sumberdaya alam dengan berdasarkan biaya moneter
dari kegiatan ekstraksi dan distribusi sumberdaya semata sering telah
42
mengakibatkan
kurangnya
insentif
bagi
penggunaan
sumberdaya
yang
berkelanjutan. Untuk mendukung penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan,
maka biaya lingkungan akibat degradasi itu harus diintegrasikan dalam seluruh
aspek kegiatan ekonomi tidak hanya pola konsumsi dan perdagangan, tetapi juga
terhadap semua sumberdaya (Pearce et.al, 1994).
Tujuan
kebijakan
pengelolaan
ekonomi
harus
difokuskan
pada
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kualitas sumberdaya alam dan
lingkungan dapat menjadi pembatas proses pertumbuhan ekonomi, sehingga
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya mungkin tercapai apabila ada
pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan yang memadai. Jadi
dalam mengambil keputusan dan penerapan kebijakan di segala tingkatan
masyarakat, pertimbangan-pertimbangan lingkungan perlu menjadi komponen
yang terpadu.
Untuk menuju sistem ekonomi yang efisien dan berwawasan lingkungan
guna menunjang pembangunan berkelanjutan, maka setiap kegiatan perekonomian
harus melakukan internalisasi. Proses ini secara konseptual benar-benar
memperhitungkan biaya lingkungan atau nilai kerugian yang diderita oleh pihak
lain sebagai salah satu komponen biaya produksinya. Tuntutan yang dilontarkan
adalah berupa penghilangan dampak negatif yang menimpa orang lain melalui
proses pemurnian atau pembersihan yang mengharuskan setiap pelaku ekonomi
untuk mengeluarkan biaya tambahan, sehingga dampak negatif dimasukkan ke
dalam perhitungan biaya (NRMP, 2003).
2.6.3. Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan
Metode penilaian sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dibagi
dua pendekatan yaitu metode berdasarkan
kurva permintaan (demand curve
approach) atau berdasarkan willingness to pay (WTP) dan metode berdasarkan
non-kurva permintaan (non-demand curve approach) atau non-WTP. Metode
berdasarkan kurva permintaan terdiri dari contingent valuation method, metode
biaya perjalanan (travel cost method), dan metode harga hedonik (hedonic pricing
method). Sedangkan metode berdasarkan non-kurva permintaan terdiri dari
metode
dosis-respon
(dose-response
method),
metode
biaya
pengganti
43
(replacement cost), metode perilaku mitigasi (mitigation behaviour), dan metode
berdasarkan opportunity cost.
2.6.4. Komparasi Beberapa Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan
Dixon dan Sherman (1990), Pearce et al (1994), Yakin (1997) menyatakan
bahwa tidak ada satu metode valuasi ekonomi jasa lingkungan yang superior
dapat digunakan untuk semua penilaian. Masing-masing metode valuasi memiliki
keunggulan dan kelemahan, sehingga pemilihan metode yang tepat sangat
tergantung pada tujuan valuasi ekonomi jasa lingkungan dan karakteristik
penyebabnya serta kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi hasil akhir dari
penelitian. Komparasi dari beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan yang
umum digunakan dengan keunggulan dan kelemahannya disajikan pada Tabel 3.
2.6.5. Pendekatan Kurva Permintaan
Salah satu pendekatan kurva permintaan (demand curve approach) adalah
metode Willingness to pay (WTP) (Pearce, et al, 1994 ) atau kesediaan untuk
membayar yaitu kesediaan individu untuk membayar terhadap suatu kondisi
lingkungan atau penilaian terhadap sumberdaya alam dan jasa alami dalam rangka
memperbaiki kualitas lingkungan. Dalam WTP dihitung seberapa jauh
kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau
mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan sesuai dengan
standar yang diinginkannya. Kesediaan membayar ini didasarkan atas
pertimbangan biaya dan manfaat yang akan diperoleh konsumen tersebut. Dalam
hal ini WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa
lingkungan. Penghitungan WTP yang dikaitkan dengan peningkatan kualitas dan
degradasi lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai
berikut:
1. menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi
dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan.
2. menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin
menurunnya kualitas lingkungan.
44
3. melalui suatu survai untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk
membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan
ataupun untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik.
Penghitungan WTP dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu
penghitungan terhadap nilai dari penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi
maupun penghitungan secara langsung dengan cara melakukan survai lapangan.
Dalam WTP, surplus konsumen adalah selisih dari harga yang bersedia
dibayarkan konsumen dengan harga aktual yang dibayarkan.
2.6.6. Pendekatan Non Kurva Permintaan
Metode damage cost avoided, replacement cost dan substitute cost
merupakan metode pendekatan berdasarkan bukan kurva permintaan (Pearce et.al,
1994, King dan Mazzota, 2005). Metode ini didasarkan pada kesediaan individu
untuk membayar biaya preventif, biaya pengganti dan biaya substitusi atas
menurunnya kualitas jasa lingkungan. Metode ini dapat digunakan untuk :
1. Menilai jasa peningkatan kualitas air dengan mengukur biaya pengendalian
emisi.
2. Menilai jasa perlindungan erosi dari hutan dengan mengukur biaya
pengerukan sedimentasi di daerah hilir.
3. Menilai jasa penjernihan air dengan mengukur biaya penyaringan dan
perlakuan kimiawi terhadap air.
4. Menilai jasa perlindungan pantai dari ombak dengan mengukur biaya
pembangunan tembok penahan ombak.
5. Menilai jasa habitat dan pemeliharaan ikan dengan mengukur pembibitan dan
pelaksanaan program.
45
Tabel 3. Komparasi beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan.
Metode
Valuasi
Contingent
Valuation
Travel Cost
Hedonic
Pricing
DoseResponse
Replacement
Cost
Mitigation
Behaviour
Opportunity
cost
Keunggulan dan Kelemahan
Validitas
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Reliabilitas
Sangat
tinggi
Sedang
Kelengkapan
- Sangat tinggi.
- Dapat
mengukur
kesejahteraan
- Rendah
- Dapat
mengukur
kesejahteraan
Sedang
- Rendah
- Dapat
mengukur
kesejahteraan
Sangat
rendah
- Tinggi
- Sangat berguna
untuk
pengambil
kebijakan
Sangat
rendah
- Tinggi
- Sangat berguna
untuk
pengambil
kebijakan
Sedang
- Rendah
- Sangat berguna
untuk
pengambil
kebijakan
Sedang
- Rendah
- Sangat berguna
untuk
pengambil
kebijakan
Kepraktisan
Kelemahan
Penggunaan
Umum
Tinggi
- Potensi bias besar.
- Butuh sumber daya
penelitian yang besar.
- Umumnya diterapkan
di negara maju.
Perubahan
Habitat dan
wilayah
Sedang
- Sulit mendapatkan
informasi tingkat
kesenangan.
- Tidak memasukkan
biaya kesempatan
dalam perhitungan.
- Sulit menjelaskan
hubungan antara
jumlah kunjungan dan
biaya perjalanan.
Wisata dan
rekreasi
Sedang
- Faktor intervensi
terlalu besar dalam
penentuan harga
properti.
- Tidak bisa
mengestimasi nilai
eksistensi.
Sedang
- Mensyaratkan data
harus lengkap.
- Sulit memperkirakan
fungsi efek dosis yang
sinergistik.
- Sulit merancang model
dari keragaman respon
oleh produsen.
Pencemaran
Air, Udara
dan Bunyi
Sedang
- Aplikasi teknik ini
belum banyak
dilakukan.
- Sulit mengestimasi
keuntungan dan
kerugian secara
keseluruhan.
Restorasi
habitat.
Sedang
- Diperlukan kesadaran
lingkungan yang tinggi
dari masyarakat.
- Memiliki kemampuan
ekonomi yang
memadai.
Biaya
Preventif
Sedang
- Aplikasi teknik ini
belum banyak
dilakukan.
- Sulit mengestimasi
biaya yang harus
ditanggung karena ini
bukan metode
langsung.
Pemeliharaan
biodiversitas,
(Sumber : Dixon dan Sherman, 1990; Pearce, et al, 1994; Yakin, 1997)
Keamanan
dan
kenyamanan
46
Metode ini memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan
metode ini antara lain adalah :
1. Dapat menyediakan indikator nilai ekonomi dengan ketersediaan data dan
dapat menjelaskan hubungan antar barang substitusi.
2. Pengukuran biaya yang menghasilkan keuntungan dapat lebih mudah
dilakukan walaupun tidak memiliki pasar (non-marketed goods).
3. Metode valuasi untuk mengestimasi kesediaan membayar dapat dilaksanakan
walaupun data dan informasi terbatas.
Kelemahan metode ini antara lain adalah :
1. Membutuhkan informasi tingkat substitusi antara barang pasar dan
sumberdaya, padahal beberapa sumberdaya lingkungan memiliki substitusi
langsung dan tidak langsung.
2. Dapat digunakan setelah proyek selesai dan beroperasi.
3. Barang dan jasa lingkungan yang dibayarkan biaya penggantinya hanya
mewakili sebagian dari jasa lingkungan yang disediakan oleh jasa lingkungan.
2.7. Pendekatan Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan DAS
2.7.1. Berkaitan Kepemilikan Sumberdaya Air.
Lipper dan Zilberman (1999) dalam van den Berg (1999) menyatakan
bahwa ada 2 sistem kepemilikan sumberdaya air yang didasarkan pada jarak
antara masing-masing dengan sumber air yaitu riparian system (RS) dan prior
appropriation system (PAS). Riparian adalah individu yang paling dekat dengan
sumber air yang disebut komunitas hulu (X1) dan yang lebih jauh disebut
komunitas hilir (X2). Alokasi sumberdaya air pada saat musim kemarau (debit
kecil) akan dioptimalkan oleh komunitas hulu dan apabila pada saat musim hujan
(debit besar) maka air dapat dimanfaatkan oleh komunitas hilir. Secara grafis
kurva permintaan X1 dan X2 disajikan pada Gambar 7. Ketika pasokan air
rendah maka komunitas hulu dapat menggunakan air yang tersedia hingga
X1=A1.
47
D1(W)
A
D1+D2(W)
C
D
W¹
E
W0
G
H
A1
A2
Gambar 7. Kurva permintaan yang identik dari 2 pengguna sumberdaya air.
(Sumber : Lipper dan Zilberman, 1999 dalam van den Berg, 1999)
Ketika pasokan air tinggi maka permintaan air dihulu sama dengan permintaan air
di hilir (dapat terpuaskan) dengan keragaman biaya sebesar Wo dimana
X1=X2=A1=A2. Surplus konsumen, ketika pasokan air rendah adalah sebesar
AwoG dan ketika pasokan air tinggi adalah sebesar AwoH.
2.7.2. Berkaitan Kualitas Air
Johansson (2000) dalam Gabel dan Folmer (2000), menyatakan bahwa
perbaikan kualitas lingkungan dapat mempengaruhi jumlah jasa lingkungan yang
dapat dibeli oleh individu pada tingkat pendapatan tertentu. Apabila kualitas
lingkungan meningkat, maka individu akan menurunkan jumlah barang yang
diminta dengan tetap mempertahankan tingkat kegunaan dari jasa lingkungan
tersebut. Apabila kualitas lingkungan menurun, maka individu akan menaikkan
permintaan jumlah barang yang diminta dengan resiko mendapatkan tingkat
kegunaan yang menurun. Oleh karena setiap individu akan berusaha
mempertahankan kegunaan pada tingkat tertentu, maka individu akan melakukan
kompensasi
dari
pendapatannya
untuk
perbaikan
kualitas
lingkungan
(compensation and equivalent variation atau disingkat CV dan EV). Secara grafik
disajikan pada Gambar 8 dan Gambar 9.
48
X ( Kuantitas)
E
F
B
Y=xº
C
Garis Biaya
A
D
G
Kurva Indiferen
Z ( Kualitas lingkungan)
Gambar 8. Compensation and equivalent variation dikaitkan dengan kualitas
lingkungan.
Rupiah (Rp)
CV=Mc-MB
EV=MB-MA
Mc
MB
Marginal WTP (EV)
2
MA
Marginal WTP (CV)
1
zº
z¹
Z ( Kualitas lingkungan)
Gambar 9. Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan yang
berbeda.
(Sumber : Johansson, 2000 dalam Gabel dan Folmer, 2000).
Biaya pengganti (replacement cost) didasarkan pada estimasi besarnya
biaya yang disediakan oleh pengguna jasa lingkungan untuk menghindari
kerusakan lingkungan (avoid cost) atau biaya restorasi dan rehabilitasi lingkungan
49
(replacement cost) atau biaya substitusi atas jasa lingkungan yang mengalami
kerusakan (King and Mazzotta, 2005 ; Hanley and Splash, 1995 ; Hussen, 2000 ;
Pearce et al, 1994). Dengan kata lain, biaya pengganti dapat diasumsikan sebagai
manfaat jasa lingkungan akibat peningkatan kualitas lingkungan melalui
rehabilitasi, restorasi dan konservasi ekosistem (Field, 1994).
Kesediaan pengguna jasa lingkungan mengkompensasikan pendapatannya
dimaksudkan untuk dapat mempertahankan tingkat utilitas tertentu yang
diinginkan. Dalam kaitannya dengan estimasi biaya pengganti tersebut, maka
asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Besarnya biaya kompensasi yang dibayarkan pengguna jasa lingkungan sama
dengan besarnya biaya perbaikan lingkungan di wilayah hulu.
2. Kualitas lingkungan tahun 2002 lebih buruk dibandingkan tahun 1992.
Rp
E
MBI2
F
MBI1
3
B
A
GB = Y = X0
C
Garis Biaya
D
I1
G
MAI1
I2
2
MAI2
I3
H
1
z2
z1
z3
Z
( Kualitas lingkungan)
Gambar 10. Kurva marginal WTP (CV dan EV) pada berbagai kondisi
lingkungan.
3. Apabila prinsip pada Gambar 8 dan Gambar 9 dikembangkan lebih lanjut,
maka diperoleh Gambar 10.
50
4. Garis biaya (budget line) y = p Xo dimana y = pendapatan tetap, p = harga
barang privat dan Xo = jumlah barang privat yang diminta. Karena jasa
lingkungan ”tidak memiliki” harga pasar maka nilai p = 0 (free of charge),
sehingga biaya maksimal lingkungan (environmental cost) GB = y = 0.
5. Besarnya biaya marginal lingkungan MBI1 = rata-rata kenaikan biaya
marginal lingkungan tahun Z1 dan MBI2 = rata-rata kenaikan biaya marginal
lingkungan tahun Z2.
6. Besarnya kompensasi yang harus dibayarkan adalah sebesar CV1 + CV2.
Dimana CV1 = (MBI2 – MBI1) dan CV2 = (MBI1 – GB).
7. Kompensasi sebesar (CV1 + CV2) oleh pengguna jasa lingkungan sebagai
biaya pengganti (replacement cost) bagi rehabilitasi dan konservasi.
2.8. Review Penelitian Terdahulu
Wahyunto et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa dari
12 tipe penggunaan lahan di DAS Citarum, penggunaan lahan terluas adalah
kebun campuran dan permukiman (26,98%) dan tegalan (15,60%), sedangkan
sawah di wilayah datar dan berlereng masing-masing 19,03% dan 7,68% serta
hutan sebesar 9,9% dari luas DAS sebesdar 748.460 ha. Selanjutnya, Wahyunto
et.al (2001) melaporkan bahwa telah terjadi pengurangan luas lahan hutan dan
sawah di daerah aliran sungai Citarik (bagian hulu DAS Citarum) sebagai akibat
pertumbuhan penduduk, pembangunan dan industri.
Suryani dan Agus (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa
pada periode 1991-2002 di DAS Cijalupang, kebun campuran merupakan
penggunaan lahan yang paling luas mengalami pengurangan yaitu 7,27% (202.97
ha), lahan hutan 2,35% (65,51 ha), lahan sawah 0,93% (26,10 ha) dan semak
0,67% (18,67 ha). Akan tetapi, terjadi penambahan luas lahan tegalan 5,64%
(157.57 ha), permukiman 5,11% (142.76 ha) dan pertumbuhan teh 0,46% (1.292
ha). Perubahan penggunaan lahan meningkatkan total hasil air tahunan meskipun
tidak signifikan (+0,35%). Perubahan signifikan terjadi pada aliran permukaan
meningkat sebesar 12,37% dan aliran dasar menurun 2,54%.
51
Wahyunto et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa
pengalihan fungsi lahan non sawah menjadi lahan sawah di DAS Citarum telah
menyebabkan meningkatnya potensi terjadinya longsor. Lahan sawah lebih peka
terhadap longsor mulai dari lereng dengan kemiringan diatas 3% sedangkan lahan
non sawah baru pada elevasi diatas 8%. Kecuali faktor curah hujan, potensi
longsor dipengaruhi oleh kondisi tanah dan vegetasi. Jangkauan akar tanaman
dapat mempengaruhi tingkat kerawanan longsor (tanaman pangan semusim lebih
rawan longsor bila dibandingkan dengan tanaman keras-pohon). Volume tanah
longsor di wilayah lahan sawah rawan longsor berkisar antara 1.000–4.200 m³/ha
(dengan biaya pengganti Rp. 4 juta – Rp. 16 juta per hektar) dan wilayah non
sawah berkisar antara 1.000–5.050 m³/ha (dengan biaya pengganti Rp. 4 juta –
Rp. 20,3 juta per hektar).
Sutono et. al (2003) dalam Kurnia et. al (2004) mengemukakan bahwa
lahan sawah lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan dengan lahan
kering. Berdasarkan pendugaan erosi di DAS Citarum, potensi erosi lahan sawah
lebih rendah (0,33–1,45 ton/ha/th) dibandingkan dengan lahan kering (5,7–16,5
ton/ha/th). Erosi terjadi pada setiap penggunaan lahan, terendah adalah lahan
hutan, diikuti oleh sawah, semak belukar, kebun karet, kebun teh, kebun
campuran dan tegalan. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan
tingkat erosi. Secara lengkap rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan
di DAS Citarum ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum.
Penggunaan
lahan
Hutan
Kebun campur
Karet
Permukiman
Sawah
Semak belukar
Tegalan
Teh
Saguling
0,13
8,40
0,00
0,03
0,33
1,12
22,02
23,11
Rata-rata erosi / DTA (ton/ha/th)
Cirata
Jatiluhur
0,24
0,14
15,40
36,84
8,85
11,39
0,02
0,15
0,40
1,45
1,61
0,47
61,31
40,05
26,94
9,65
Sumber : Sutono et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004)
Citarum Hilir
0,24
30,38
40,75
0,02
1,13
0,95
35,66
33,48
52
Tala’ohu et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa
keberadaan lahan sawah di DAS Citarum berpengaruh baik terhadap daya sangga
air potensial dibandingkan dengan lahan non sawah (perkebunan teh, perkebunan
karet, semak belukar, kebun campuran, tegalan dan permukiman dan industri).
Rata-rata daya sangga air potensial di DAS Citarum untuk lahan sawah adalah
0,094 m dan rata-rata tertimbang untuk non sawah adalah 0,074 m. Besarnya
biaya pengganti untuk fungsi pengendalian banjir (bila lahan sawah dialihkan
menjadi non sawah) adalah USD 4,970 juta/th.
Watung et.al (2003) dalam
Kurnia et.al (2004) mengemukakan bahwa mempertahankan lahan sawah
(199.985 ha) di DAS Citarum akan mempreservasi (mendaur ulang penggunaan)
air tanah sebesar 169.937.254 m³/th. Dengan menggunakan nilai biaya pengganti
setara dengan USD 5.098.000 (air digunakan kembali untuk irigasi) dan USD
744.700 (air digunakan kembali untuk air minum).
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2002) menunjukkan bahwa
cadangan air tanah di Sub DAS Cilalawi, Cikao dan Ciherang (wilayah hulu
Waduk Jatiluhur) masih cukup baik. Di Sub DAS Cilalawi sebanyak 47% volume
hujan menjadi cadangan air tanah, di Sub DAS Cikao sebanyak 54% dan Sub
DAS Ciherang sebanyak 46%. Selanjutnya hasil penelitian Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (2003) menunjukkan bahwa simulasi neraca air DAS
dengan melakukan perubahan penggunaan lahan, yaitu menambah luas lahan
hutan 10% dari masing-masing Sub DAS, dapat meningkatkan produksi air DAS
dan menurunkan aliran permukaan sebanyak 15% (Sub DAS Cilalawi), 0,8% (Sub
DAS Cikao) dan 25% (Sub DAS Ciherang). Simulasi dengan model AGNPS
menunjukkan bahwa penambahan luas hutan (10%) dapat menurunkan aliran
permukaan 8,96%, erosi permukaan 86,82% dan sedimen 40,47% (Sub DAS
Cilalawi), erosi permukaan 80,85% dan sedimen 5,72% (Sub DAS Cikao), erosi
permukaan 75% dan sedimen 4,55% (Sub DAS Ciherang).
Rizaldi Boer et. al. (2004) menyatakan bahwa DAS Citarum sangat rentan
terhadap perubahan iklim. Apabila tidak ada perubahan iklim dan tingkat
penggunaan air Sungai Citarum 10% dari aliran tahunan (7.660 juta³) maka akan
menimbulkan defisit air di wilayah hilir seperti Karawang, Bekasi dan
53
Purwakarta, bahkan defisit dapat mencapai 60 juta m³/th. Dengan menaikkan
curah hujan 10-20 persen dari saat ini, ketersediaan air di Citarum tetap tidak
memenuhi bila pengambilan air sungai sebesar 10% dari aliran tahunannya dan
sebagian besar wilayah hilir tersebut akan mengalami kekurangan air. Republika
(2005) dalam hariannya menyatakan bahwa pengelolaan DAS Citarum
menghadapi kendala tata ruang. Buruknya pemetaan ruang wilayah hulu sungai
menjadi penyebabnya 336.000 ha (65%) lahan kritis berada diarea DAS Citarum
dan Ciliwung (di Jawa Barat 580.000 ha).
Bangunan rumah, industri dan
kurangnya hutan di sekitar sungai menyebabkan pendangkalan dan menurunnya
debit air sungai. Fluktuasi debit juga mengalami peningkatan yang besar, banjir
di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau merupakan bukti rusaknya
kondisi wilayah hulu Citarum (Nandang, BP DAS Citarum-Ciliwung Bogor).
Hasil penelitian Prihadi (2005) menunjukkan bahwa kualitas air Waduk
Cirata berada dalam kondisi buruk, didasarkan pada kadar sulfat, fosfat, zat
organik, H2S, amonia dan nitrit sudah melebihi ambang batas baku mutu
lingkungan. Jumlah KJA yang terdapat di Waduk Cirata sebesar 38.726 keramba
telah melebihi ambang batas kapasitasnya yaitu sebesar 4.625 keramba.
Sedangkan Ismail (2007) telah menghitung nilai ekonomi total (NET) sumberdaya
air Waduk Jatiluhur (Ir.H.Djuanda) adalah Rp. 160,197 miliar/th yang terdiri dari
nilai guna langsung (NGL) sebesar Rp. 149,266 miliar/th (93,18%), nilai guna
tidak langsung (NGTL) Rp. 3,328 miliar/th, nilai pilihan (NP) Rp. 3,520 miliar/th
dan nilai bukan guna (NBG) Rp. 4,081 miliar/th. Nilai guna langsung terbesar
adalah pemanfaatan air untuk pembangkit energi listrik PLTA Jatiluhur sebesar
Rp. 72,131 miliar/th. Penurunan kualitas air waduk akibat tingginya konsentrasi
H2S telah menyebabkan karat (korosif) pada komponen peralatan PLTA sehingga
menurunkan umur ekonomisnya dan memperbesar biaya operasional sebesar
20–25 persen.
Asdak (2007) dalam Pikiran Rakyat (2007) menyatakan bahwa tingkat
sedimentasi sungai Citarum saat ini mencapai tahap mengkhawatirkan.
Berdasarkan data 1998 hingga tahun 2004 laju sedimentasi sungai Citarum di
mulut Waduk Saguling mencapai 4 juta m³/th. Tingginya laju sedimentasi akan
54
mempengaruhi kinerja PLTA yang menggunakan sumberdaya air sungai Citarum
sebagai energi pembangkitnya. Tingginya laju sedimentasi ini juga menujukkan
tingginya degradasi sumberdaya lahan dan air di wilayah hulu Citarum. Untuk
menyelesaikan masalah ini diperlukan upaya yang konkrit misalnya pemberian
insentif kepada masyarakat hulu Citarum yang mengkonservasi lahannya melalui
penanaman kembali hutan dan lahan yang terdegradasi.
Hasil review penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa
penelitian terdahulu belum melakukan :
1. Penelitian tentang pengaruh kualitas lingkungan terhadap biaya eksternalitas
pengguna sumberdaya air mulai dari hulu (penyedia jasa lingkungan) sampai
dengan hilir (pengguna/pemanfaat) secara parsial dan komprehensif belum
pernah dilakukan.
2. Penggunaan model GR4J untuk menduga sedimentasi, produksi energi listrik
dan biaya eksternalitas.
3. Penelitian biaya eksternalitas pengguna sumberdaya air sebagai akibat
degradasi lingkungan untuk setiap output produksi (Rp/MWh produksi energi
listrik PLTA dan m³ air minum produksi PDAM).
Download