BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, dan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, dan HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Experiential Marketing
Menurut Pine dan Gilmore (1998) terdapat empat tingkatan dalam ilmu
pemasaran (economic value) yang menawarkan dasar utama yang berbeda,
dimana setiap tingkatan memiliki perbedaan dalam arti dan pengaruh masingmasing dalam menciptakan nilai ekonomi yang lebih baik.
Tabel 2.1
Economic Distinctions
Economic
Offering
Commodities
Goods
Services
Experiences
Economy
Agrarian
Industrial
Service
Experience
Extract
Make
Deliver
Stage
Fungible
Tangible
Intangible
Memorable
Key Attribute
Natural
Standardized
Customized
Personal
Method of
Supply
Scored in Bulk
Inventoried
after
production
Delivered and
demand
Revealed over
a duration
Seller
Trader
Manufacturer
Provider
Stager
Buyer
Market
User
Client
Quest
Factors of
Demand
Characteristics
Features
Benefits
Sensations
Economic
Function
Nature of
Offering
Pada tahap commodities tidak terdapat perbedaan antara produk satu dan
lainnya. Harga tidak bisa ditentukan sendiri karena sangat tergantung pada suplai
dan permintaan. Kondisi ini sering terjadi pada industri agrikultur, seperti
pertanian, perkebunan dan perikanan. Tahap goods, dimana tahap ini sudah
11
12
memperlihatkan adanya perbedaan harga yang diakibatkan oleh diferensiasi
produk yang dilakukan perusahaan. Tahap services, dimana pelanggan telah
membeli produk atau jasa dalam satu paket lain, apakah itu layanan sebelum atau
sesudah penjualan. Pelanggan pada tingkatan ekonomi ini sudah dapat
mempertimbangkan kepuasan mereka. Tahap experiences, pada tahapan ini
tujuannya bukan hanya untuk memuaskan orang, tetapi membuat mereka tertarik
dan pelanggan mempunyai memori yang mengesankan, sehingga jika dilihat
perbedaannya maka tahap commodities adalah fungible, goods adalah tangible,
service adalah intangible, dan experiences adalah memorable (Pine dan Gilmore
1999:11)
Schmitt (1999:3) melihat fenomena ini sebagai perubahan menuju era baru
dimana akan terjadi perubahan akan prinsip-prinsip dan model traditional
marketing yang selama ini dipakai oleh para pemasar dimana konsep traditional
feature and benefit marketing akan berubah menjadi experiental marketing. Atas
dasar itu kemudian dijelaskan konsep traditional marketing dan experiential
marketing menurut Schmitt sebagai berikut:
Tabel 2.2
Perubahan fokus traditional marketing dan experiential marketing
Traditional Marketing
Fokus pada Feature dan Benefit
Kategori
dan
Kompetisi
Experiential Marketing
Fokus pada Pengalaman Pelanggan
produk Analisis pola konsumsi
didefinisikan secara sempit
Customer
dilihat
sebagai
keputusan yang rasional
pengambil Mengenali aspek rasional dan emosional
yang memicu konsumsi
13
Traditional Marketing
Experiential Marketing
Metode dan alat yang digunakan adalah Metode dan perangkat yang digunakan
analisis, kuantitatif dan verbal
Sumber
bersifat elektik
:Bernd, H Schmitt, Experiential Marketing, How To Get Customers To
SENSE, FEEL, THINK, ACT, and RELATE, to Your Company and Brands,
THE FREE PRESS, New Yord. 1999
2.1.1.1 Traditional Marketing
Menurut Schmitt (1999:13), traditional marketing memiliki empat
karakteristik, yaitu:
1. Focus on functional Features and Benefits
Menurut kotler (Schmitt,1999:14) features adalah karakteristik yang
mendukung fungsi utama dari produk. Features merupakan alat untuk
menciptakan differensiasi dari sebuah penawaran, karena pelanggan diasumsikan
memilih sebuah produk berdasarkan fiturnya. Sedangkan benefit muncul dari
functional features. Benefit adalah karakteristik kegunaan yang pelanggan cari
dari sebuah produk.
Traditional marketing sebagian besar berfokus pada features dan benefit.
Pemasar tradisional mengasumsikan bahwa pelanggan di segmen pasar apapun
selalu menitikberatkan pada bobot features dari sebuah produk, nilai lebih dari
features sebuah produk, dan memilih produk dengan manfaat yang paling tinggi
2. Product category and competition are narrowly defined
Pemasar tradisional selalu mendefinisikan kategori dan kompetisi produk
secara sempit, pemasar tradisional mendefinisikan kompetitor Mc Donalds adalah
14
Burger king dan Wendy’s (tidak dibanding kan dengan Pizza Hut atau Starbucks),
Carrefour dengan Lottemart (bukan dengan Yogya atau Griya).
3. Customer are viewed as rational decision maker
Menurut konsep traditional marketing, pelanggan dipandang sebagai
pengambil keputusan yang rasional. Proses pengambilan keputusan diasumsikan
ke dalam beberapa langkah sebagai berikut:
a. Pengenalan kebutuhan. Kesenjangan persepsi antara pernyataan pemuas
kebutuhan dengan keadaan yang sebenarnyalah yang mendorong customer
untuk mengurangi kesenjangan tersebut.
b. Pencarian informasi. Pelanggan selalu mencari informasi dari mana pun,
catalog, membandingkan langsung dan sumber lainnya.
c. Evaluasi berbagai alternatif. Pelanggan selalu membandingkan produk yang
ada dari segi features dan benefit sehingga ada poin terbesar untuk memilih
produk tersebut.
d. Membeli dan mengkonsumsi. Pelanggan akan membeli alternatif terbaik
dan menggunakannya, dan akan selalu mendapatkan tingkat kepuasan
dengan membandingkan daya guna yang diharapkan dengan yang
sebenarnya setelah memakai produk tersebut. Jika pelanggan puas maka dia
akan membeli kembali produk tersebut suatu saat.
4. Methods and tool are analytical, quantitative, and verbal
Metode yang sering digunakan dalam traditional marketing adalah sebagai
berikut:
a. Regression Model
15
b. Peta Positioning
c. Conjoint Analysis
2.1.1.2 Experiential Marketing
Ditengah situasi ketatnya persaingan dunia bisnis dewasa ini , strategi
pemasaran modern perlu diterapkan oleh para pemasar agar mampu memperkuat
komponen keunggulan kompetitif (competitive advantage) dan titik pembeda
(point of differentiation) yang sulit ditiru oleh para pesaingnya. Bukan saatnya
lagi perusahaan mengandalkan feature and benefit, terlebih lagi hanya
menganggap pembelian konsumen hanya bersifat transaksional semata yang
didasarkan pada cost and benefit
Para pemasar harus mampu mengemas produknya sehingga tidak hanya
menawarkan benefit and cost namun mampu menawarkan pengalaman yang unik
dengan memasukkan unsur-unsur yang dapat mengoptimalkan fungsi seluruh
indera, hati, pikiran untuk memenuhi fantasi, perasaan dan kesenangan pelanggan.
Strategi pemasaran ini dikenal dengan nama experiential marketing.
Menurut
Smilansky
(2009:13)
Experiential
Marketing
adalah
“Experiential Marketing adalah proses untuk mengidentifikasi dan memuaskan
kebutuhan dan aspirasi konsumen, menyatukannya melalui komunikasi dua arah
yang membawa merek kedalam kehidupan dan membawa nilai ke konsumen yang
dituju”. Schmitt (1999:25) menjelaskan empat karakteristik dari experiential
marketing, yaitu:
16
1. Focus on Customer Experience
Experience muncul sebagai hasil dari menemukan, mengalami dan hidup
dengan situasi tertentu. Hal tersebut yang akan memacu stimulasi perasaan, hati
dan pikiran. Experience akan memberikan nilai secara emosional, kognitif,
perilaku, dan hubungan yang menggantikan nilai fungsional.
2. Examining the Consumption Situation
Dalam mengkonsumsi produk, pelanggan tidak dilihat secara parsial.
Artinya bagaimana sebuah produk dapat memberikan experience saat konsumen
mengkonsumsi produk tersebut. Dalam memandang kompetisi pun, konsep
kategori produk semakin melebar.
3. Customers are Rational and Emotional Awards
Pengalaman dalam hidup sering digunakan untuk memenuhi fantasi,
perasaan, dan kesenangan. Banyak keputusan dibuat dengan menuruti kata hati
dan tidak rasional. Dalam experiential marketing pelanggan merasa senang
dengan keputusan pembelian yang telah dibuat.
4. Methods and Tools Are Eclectic
Dalam experiential marketing, metode dan alat yang digunakan dalam riset
selalu berubah-ubah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
2.1.2 Strategic Experiential Modules
Schmitt dan Rogers (2008:116) mengenalkan kerangka dalam mengelola
pengalaman pelanggan (experiential marketing) yang dibagi menjadi dua konsep
yaitu Strategic Experiential Modules dan Experiential Providers.
17
Menurut Schmitt dan Rogers (2008:116) Strategic Experiential modules
merupakan kerangka experiential marketing yang terdiri dari pengalaman melalui
indera (sense), pengalaman afektif (feel), pengalaman kognitif kreatif (think),
pengalaman fisik dan keseluruhan gaya hidup (act) serta pengalaman yang
menimbulkan hubungan dengan kelompok referensi tertentu atau kultur tertentu
(relate). Strategic Experiential Modules terdiri dari lima karakteristik, yaitu
1. Sense
Sense bertujuan untuk menciptakan pengalaman yang berhubungan dengan
panca indera melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, dan bau dari suatu
produk tertentu. Terdapat tiga fungsi utama dari sense marketing, yakni untuk
membedakan perusahaan dan produknya dari produk pesaing (differentiator),
untuk memotivasi konsumen dalam rangka memilih produk tertentu dari
perusahaan (motivator), dan untuk menambah nilai suatu produk (add value to
product). (Schmitt dan Rogers, 2008:116).
2. Feel
Feel mengacu pada perasaan dan emosi pelanggan dengan tujuan
menciptakan pengalaman afektif (affective experiences) dari perasaan positif yang
lemah dan berhubungan dengan merek (brand) hingga pada emosi kesenangan
dan kebanggan yang kuat terhadap merek (Schmitt dan Rogers, 2008:117). Yang
diperlukan agar feel dapat bekerja optimal adalah dengan memahami rangsangan
yang dapat memicu emosi konsumen sehingga timbul niat untuk mencoba produk
yang ditawarkan perusahaan.
18
3. Think
Think digunakan dengan tujuan menciptakan pengalaman kognitif,
pengalaman dalam memecahkan suatu masalah, serta merangsang konsumen
untuk berpikir secara kreatif. Think menghubungkan pola pikir divergen (divergen
thinking) dan pola pikir konvergen (convergent thinking) konsumen (Schmitt dan
Rogers, 2008:117). Think biasanya digunakan pada produk dengan teknologi baru,
akan tetapi tidak terbatas hanya pada produk dengan teknologi tinggi. Think juga
selalu digunakan dalam desain produk, retailing dan dalam komunikasi di
berbagai jenis industri (Schmitt, 1999: 67).
4. Act
Act bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku konsumen (behavior),
gaya hidup konsumen (lifestyle) dan interaksi konsumen dengan perusahaan
(Schmitt dan Rogers, 2008:118).
Act dapat memperkaya kehidupan konsumen dengan menambah
pengalaman fisik konsumen, menunjukkan kepada konsumen cara-cara baru
dalam melakukan sesuatu, pilihan gaya hidup alternatif yang menarik, dan
interaksi-interaksi yang bisa dilakukan konsumen dengan perusahaan (Schmitt
dan Rogers, 2008: 118).
Tujuan pemasaran pada pengalaman fisik konsumen (bodily experience)
tergantung pada penciptaan produk yang tepat, rangsangan dan atmosfer (Schmitt
1999: 161). Sedangkan gaya hidup menurut Kotler dan Keller (2010: 173),
menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan interaksi dapat sebagai sumber experience adalah isu
19
kunci bagi service provider (people) (Schmitt, 1999: 169). Orang (people) mampu
memberikan empati yang mendalam kepada konsumen sehingga berdampak
langsung terhadap pembentukan pengalaman emosional konsumen (Schmitt,
1999:92).
5. Relate
Relate tidak hanya mengacu pada sensasi individual, perasaan kognisi dan
tindakan dengan menghubungkan individu dengan batasan konteks sosial dan
budaya yang tercermin dari sebuah merek (Schmitt dan Rogers, 2008: 118).
Relate terdiri dari aspek-aspek yaitu: sense, feel, think, dan act secara terpadu.
Intinya, relate menghubungkan konsumen dengan perusahaan dalam suatu tingkat
keakraban jangka panjang yang kuat dan harmonis. (Schmitt dan Rogers,
2008:118).
2.1.3 Experiential Providers
Experiential providers adalah alat taktis yang digunakan pemasar untuk
menciptakan experiential marketing. Menurut Schmitt dan Rogers (2008:120)
experiential providers memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Communication
Communication mencakup periklanan (advertising), magalogs, brosur, dan
laporan berkala perusahaan (Schmitt dan Rogers, 2008:120)
a. Advertising
Periklanan merupakan salah satu alat terkuat dalam experiential providers
yang dapat menciptakan seluruh tipe strategic experiential modules
(Schmitt dan Rogers, 2008: 120).
20
b. Magalogs
Magalogs merupakan gabungan dari magazine dan catalog. Magalogs
secara spesifik menawarkan gabungan antara fitur dari catalog seperti
penyebaran produk dan harga untuk memberikan memori gambar pada
artikel mengenai gaya hidup dan citra (image) yang terbentuk di benak
konsumen. Magalogs merupakan cara yang umum bagi para pengecer
untuk membangun hubungan experiential antara pengecer dan pelanggan
sasaran (Schmitt dan Rogers, 2008:122).
2. Visual/Verbal identity
Menurut Schmitt dan Rogers(2008:123) identitas visual/verbal terdiri dari:
a. Brand Names
Menurut Schmitt & Rogers (2008:123) pemberian nama merek pada suatu
produk/perusahaan
sangatlah
penting
karena
dapat
memberikan
pengalaman tertentu pada konsumen yang membaca/mendengarnya.
Pemberian nama biasanya mengarah kepada identitas pemilik perusahaan,
dan juga dapat berarti nilai fungsional maupun nilai emosional tertentu.
b. Logos
Menurut Schmitt dan Rogers (2008:123) Kreatifitas pada desain logo
membantu suatu produk atau perusahaan dalam memberikan cirri khas
maupun identitas yang ingin ditonjolkan. Hal tersebut sangat dipengaruhi
oleh bentuk maupun pemilihan warna yang tepat pada sebuah logo.
21
3. Product presence
Tampilan produk di sini terdiri dari beberapa elemen yaitu desain produk,
kemasan produk dan karakter merek Desain produk yang menarik akan
memberikan pengalaman unik bagi konsumen yang melihatnya dan pada
akhirnya akan mendorong niat beli terhadap produk tersebut (Schmitt dan
Rogers, 2008: 124). Packaging (Kemasan) kini mendapatkan porsi perhatian
konsumen yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Konsumen cenderung
memperhatikan kemasan suatu produk ketimbang dari nilai fungsional produk
tersebut dan memiliki ekspektasi yang tinggi terhadapnya. Kemasan produk
yang disajikan secara menarik dan rapih dengan proporsi ideal pada warna,
ukuran, hasil cetakan, dan pesan komersial yang baik akan menimbulkan
experience yang kuat bagi konsumen (Schmitt dan Rogers, 2008:124).
4.
Co-Branding
Menurut Schmitt dan Rogers (2008:125) Co-branding terdiri dari event
marketing, sponsorship, alliance & partnership, licensing, product placement
in movies, and co-op campaigns and other types of cooperative
arrangements. Media co-branding yang paling sering digunakan, yaitu event
marketing, sponsorship dan product placement.
a. Event marketing and sponsorship
Tujuan utama dari event marketing adalah untuk merangsang emosi dan
memori konsumen serta menghubungkannya dengan tempat tinggal,
tempat kerja, bahkan tempat bermain mereka. Event marketing
membutuhkan pemahaman kualitatif mengenai kelayakan suatu event sama
22
halnya seperti riset kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui tingkat
efektivitas dan frekuensi yang didapat. Selain dapat meningkatkan
awareness terhadap merek dan produk perusahaan, pengadaan event
marketing mampu menciptakan dampak yang signifikan terhadap
penjualan produk perusahaan.
b. Product placement
Penempatan atau penggunaan produk, menjadi salah satu upaya cobranding.
5. Spatial environment
Spatial environment mencakup gedung, lantai, pabrik, kawasan ritel dan
umum, trade booths, dan corporate event (Schmitt dan Rogers, 2008:127).
Spatial environments merupakan ekspresi komprehensif yang dapat
menonjolkan budaya merek (brand culture) dari suatu perusahaan, dimana
didalamnya tertian nilai-nilai dan sikap pemasar dibalik sebuah merek
(Schmitt, 1999: 87).
6. Websites and electronic media
Websites memiliki kemampuan interaktif bagi banyak perusahaan untuk
menyediakan sebuah forum untuk menciptakan pengalaman bagi konsumen.
Sayangnya banyak perusahaan masih menggunakan websites mereka
terutama
sebagai
kesempatan
untuk
perangkat
menghibur
informasi
posting
atau
membangun
pelanggannya melalui experiential marketing.
daripada
mengambil
hubungan
dengan
23
Dibeberapa industri, media elektronik sedang dalam proses untuk
menggantikan pengalaman yang nyata dan dan menciptakan yang baru.
Websites telah digunakan untuk melakukan transaksi tanpa pernah melihat
atau berbicara dengan penjual yang nyata, websites juga telah digunakan
sebagai ruang obrolan sebagai ganti berbicara tatap muka dan percakapan
telepon (Schmitt dan Rogers 2008:128).
7. People
People mencakup sales person, company representatives, service provider,
and customer service, dan siapa saja yang dihubungkan dengan perusahaan
atau merek tertentu. People dapat dikatakan sebagai alat experiential
providers
terkuat
untuk
menghasilkan
customer
experience
dalam
experiential marketing. Hal tersebut disebabkan karena people mampu
memberikan empati yang mendalam kepada konsumen, sehingga berdampak
langsung terhadap pembentukan emotional experience konsumen (Schmitt
dan Rogers, 2008:129)
2.1.4 Corporate Image
Menurut Kotler dan Amstrong (2006:299) citra perusahaan merupakan
seperangkat keyakinan ide dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu
perusahaan.
Katz dalam Soleh dan Elvinaro (2005:111) mengemukakan bahwa citra
perusahaan adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan,
seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas.
Nguyen dan Leblanc (1998) mengungkapkan bahwa citra perusahaan
24
digambarkan sebagai kesan keseluruhan yang dibuat di benak masyarakat tentang
organisasi. Hal ini terkait dengan nama bisnis, arsitektur, berbagai produk/jasa,
tradisi, ideologi, dan untuk mengesankan komunikasi yang berkualitas oleh setiap
karyawan berinteraksi dengan klien organisasi.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa citra perusahaan
adalah suatu persepsi, keyakinan dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap
perusahaan.
Jose M. Pina (2004:8) mengemukakan aspek-aspek yang dapat
mempengaruhi pembentukan corporate image, yaitu:
1. Reputation, merupakan pendapat atau pandangan umum terhadap suatu
organisasi atau perusahaan
2. Credibility, merupakan pernyataan dan sikap percaya terhadap perusahaan
3. Service quality, merupakan penilaian berkenaan dengan superioritas suatu
jasa
4. Extension quality, merupakan kualitas yang diterima oleh konsumen setelah
perusahaan melaksanakan perluasan
5. Fit, merupakan peluan untuk menggunakan secara bersama-sama pelayanan
yang telah ada dengan pelayanan setelah perusahaan melaksanakan perluasan.
2.1.5 Dimensi Corporate Image
Keller (2008:453) mengemukakan dimensi corporate image yang terdiri
dari empat asosiasi penting, yaitu:
1. Common Product Attributes, Benefits, or Attitudes
Seperti halnya merek individu, nama (merek) suatu perusahaan dapat menarik
25
pelanggan pada asosiasi yang tinggi mengenai atribut suatu produk, atau
pendapat menyeluruh mengenai suatu merek, misalnya seperti asosiasi akan
kualitas perusahaan yang baik, juga inovasi-inovasi pemasaran yang
dilakukan perusahaan.
2. People and Relationship
Asosiasi akan citra perusahaan dapat terlihat dari karakteristik karyawan dari
perusahaan, seperti orientasi pelanggan akan pelayanan dari para karyawan.
3. Values and Programs
Asosiasi mengenai citra perusahaan dapat terlihat dari nilai-nilai dan
program-program dari perusahaan yang tidak selalu berhubungan dengan
produk yang dijual, misalnya seperti bentuk kepedulian sosial perusahaan,
juga perusahaan memberikan perhatian kepada lingkungan sekitar.
4. Corporate Credibility
Asosiasi akan citra perusahaan dapat berupa pendapat atau pernyataan
mengenai perusahaan, juga sikap percaya terhadap perusahaan yang
kompeten dalam menjual produk dan menyampaikan jasanya, serta besarnya
tingkat kesukaan juga ketertarikan bagi pelangga kepada perusahaan.
2.1.6 Strategi membentuk Corporate Image
Siswanto
Sutojo
(2004:33)
membentuk Corporate image, yaitu:
1. Menentukan kelompok sasaran
mengemukakan
strategi-strategi
untuk
26
Citra perusahaan merupakan persepsi masyarakat terhadap jati diri
perusahaan. Dengan menentukan kelompok sasaran, manajemen perusahaan
dapat menyusun program pembangunan citra perusahaan secara lebih terarah.
Perusahaan dapat membagi kelompok sasaran utama menjadi beberapa
segmen. Segmentasi pasar yang biasa dilakukan oleh perusahaan adalah
dibagi menjadi dua segmen, yaitu:
a. Konsumen akhir produk yang mereka pasarkan (consumers market),
pembagian consumers market didasarkan pada faktor geografis,
demografis dan psikografis.
b. Pembeli institusional (institusional atau industrial buyer), pembagian
institusional buyer dapat didasarkan pada kriteria faktor demografis,
pertimbangan faktor operasional, dan nilai pesanan.
2. Memperhatikan faktor penunjang keberhasilan
Keberhasilan perusahaan membangun citra dipengaruhi oleh berbagai
faktor, dibawah ini merupakan faktor-faktor yang sangat mempengaruhi
keberhasilan perusahaan dalam membangun citra:
a. Citra perusahaan dibangun berdasarkan orientasi terhadap manfaat yang
dibutuhkan dan diinginkan kelompok sasaran.
b. Citra perusahaan memberikan manfaat yang cukup realistis.
c. Citra perusahaan yang ditonjolkan sesuai dengan kemampuan
perusahaan.
d. Citra perusahaan yang ditonjolkan mudah dimengerti kelompok
sasaran.
27
e. Citra perusahaan yang ditonjolkan merupakan sarana bukan merupakan
tujuan usaha.
3. Koordinasi dari dalam perusahaan
Keberhasilan dalam membangun citra perusahaan adalah tanggung
jawab bersama seluruh anggota perusahaan. Untuk menjamin tercapainya
hasil yang optimal maka seluruh bagian perusahaan yang ikut bertanggung
jawab terhadap keberhasilan citra perusahaan hendaknya diminta mengajukan
pendapat mengenai manfaat-manfaat yang dapat dijanjikan kepada kelompok
sasaran. Semua pendapat tersebut kemudian disaring sesuai dengan
kemampuan teknis dan financial perusahaan.
4. Merger dan franchising sebagai sarana penunjang pembangunan citra
perusahaan
Perusahaan
dapat
meningkatkan
citra
perusahaan
sekaligus
mengembangkan usaha bisnisnya dengan jalan bergabung atau mengambil
alih kepemilikan perusahaan nasional atau asing yang mempunyai image
yang baik di kalangan kelompok sasaran.
Cara yang kedua adalah dengan mengadakan perjanjian franchising
dengan franchisor terkemuka. Perjanjian franchising merupakan sebuah
perjanjian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan nasional atau internasional
terkemuka, dengan memberi hak penggunaan paten mereka kepada
perusahaan lain.
28
2.1.7 Manfaat Corporate Image
Menurut Siswanto Sutojo (2004:3) manfaat dari corporate image yang baik
meliputi:
1. Menciptakan kemampuan bersaing yang kuat dalam jangka menengah dan
panjang
2. Menjadi perisai bagi perusahaan selama perusahaan berada pada masa krisis
3. Menjadi daya tarik bagi konsumen terhadap perusahaan
4. Meningkatkan efektivitas strategi pemasaran
5. Penghematan biaya operasional
Selanjutnya Siswanto Sutojo (2005:329) juga mengemukakan bahwa
keberhasilan perusahaan membangun citra dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor, yaitu:
1. Citra dibangun berdasarkan orientasi terhadap manfaat yang dibutuhkan dan
diinginkan kelompok sasaran
2. Manfaat yang ditonjolkan cukup realistis
3. Citra yang ditonjolkan sesuai dengan kemampuan perusahaan
4. Citra yang ditonjolkan mudah dimengerti kelompok sasaran
5. Citra yang ditonjolkan merupakan sarana, bukan tujuan usaha.
2.1.8 Pengaruh Experiential Marketing terhadap Corporate Image
Experiential marketing merupakan strategi untuk mengemas produk dan
jasa sehingga mampu menawarkan pengalaman dan emosi yang menyentuh hati
dan perasaan konsumen, sehingga akan meningkatkan kepuasan pelanggan dan
pada akhirnya akan menciptakan pelanggan yang loyal.
29
Experiential marketing terdiri dari lima tipe SEMs (Strategic Experiences
Modules), yaitu Sense, Feel, Think, Act, Relate. Kelima tipe ini disampaikan
kepada pelanggan dengan menggunakan agen-agen penghantar yang dikenal
dengan ExPro’s (Experience providers). Schmitt (1999:73) menyatakan bahwa
pengalaman pelanggan dapat disampaikan melalui experience providers yang
terdiri dari tujuh komponen, yaitu:communications, visual/verbal identity, product
presence, co-Branding, spatial environments, web sites and electronic media,
people.
Menurut Schmitt (1999:34) experiential marketing dapat sangat berguna dalam
berbagai situasi termasuk:
1. Untuk meningkatkan merek yang dalam tahap penurunan.
2. Untuk membedakan produk dari pesaing.
3. Untuk membentuk citra dan identitas untuk perusahaan.
4. Untuk meningkatkan inovasi.
5. Untuk mendorong pelanggan untuk mencoba dan membeli, dan
menciptakan loyalitas.
Bigham dalam jurnal Fransisca Andreani (2009) mengemukakan bahwa
experiential marketing secara keseluruhan sangat efektif dalam mempengaruhi
brand perception (persepsi atas sebuah merek) dan purchasing decision
(keputusan pembelian)
Smilansky (2009:255) mengungkapkan bahwa experiential marketing
adalah pendekatan yang ideal untuk digunakan jika tujuannya adalah untuk
mengubah citra merek atau perusahaan.
30
Ping Lin dan Tung (2008) mengemukakan bahwa Experiential Marketing
menunjukkan kerangka umum dan berfokus pada perasaan psikologis konsumen
secara keseluruhan terhadap perusahaan, fungsi dari produk, manfaat, kualitas dan
citra.
2.1.9 Penelitian Terdahulu
Judul
The
Study
on
three
Relationship
between
Experience Marketing, Brand
Image, Experience Value,
Perceived Risk and Loyalty
Case of Taiwan Leisure Farm
Studi tentang Experiential
Marketing
untuk
meningkatkan
loyalitas
nasabah (studi empiris pada
PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang
Pandanaran,
Semarang)
Penulis
Kuan-Ying Chen,
Chih-Hui Hsiao,
Cin-Fa Tsai, Yuling Liao
Hasil penelitian
Pertanian rekreasi dapat memberikan
pengalaman yang baik dari sense, feel,
think, think, related, dan act yang akan
membantu untuk menciptakan citra
merek positif dari pertanian rekreasi
Jenis Penelitian
Jurnal
Shara
Febiana
Skripsi
Analisis pengaruh manfaat
fungsional experiential dan
simbolis
pada
program
Surabaya Heritage Track
(SHT) terhadap citra HOUSE
OF SAMPOERNA
A Study of the correlations
between
consumption
experience,
customer
satisfaction, brand image and
behavior intention of motels in
taiwan
Heni Wijiastuti
Temuan empiris mengindikasikan
bahwa untuk meningkatkan loyalitas
nasabah di Bank Bukopin Kanca
Semarang Pandanaran, manajemen
perusahaan perlu memperhatikan
faktor-faktor
seperti
keunggulan
atribut layanan, nilai nasabah, citra
perusahaan
dan
experiential
marketing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada pengaruh secara bersama-sama
antara manfaat experiential dan
manfaat simbolis terhadap citra House
of Sampoerna
Fajar
Skripsi
Yungkun Chen,
Dr
Chia-you
Chen, Tsuifang
Hsieh
Feel experience, think experience, and
relate experience memiliki hubungan
positif terhadap brand image
Jurnal
Fransisca Andreani (2009)
experiential marketing (sebuah
pendekatan pemasaran)
Fransesca
Andreani
Jurnal
An analysis on the effect of
Supermarket
Experiential
Marketing
Impacting
Customer Loyalty
Shao
Guirong,
Liang Jian
Dengan menerapkan experiential
marketing yang tepat sesuai yang
diinginkan dan diharapkan oleh
pelanggannya,
maka
akan
mencipatakan keunggulan kompetitif
produk tersebut
Impelentasi
dari
experiential
marketing supermarket berpengaruh
positif kepada loyalitas pelanggan
Jurnal
31
Judul
Pengaruh
Experiential
Marketing dan Psychological
Branding terhadap loyalitas
nasabah tahapan BCA
Enhancing
customer
experience within the mobile
telecommunications industry
Penulis
Charles
Bonar
M.T Sirait
How experiential marketing
can be used to build brands –
a case study of two specialty
stores
Rajesh
Kumar
Srivastava
Experiential
marketing,
customer
satisfaction,
behavioral intention: timezone
game center Surabaya
Honantha,
Christina
Rahardja;
Anandya, Dudi
2.2
Anaman, Michael
Hasil Penelitian
Pelaksanaan dan strategi Experiential
Marketing dan psychological branding
berperan dalam menciptakan loyalitas
pelanggan nasabah tahapan BCA
Dimasukannya
faktor
emosional
dalam memahami dan mengukur
pengalaman pelanggan memiliki efek
positif
Studi ini mengkonfirmasikan bahwa
experiential
marketing
dapat
digunakan untuk membangun merek
yang lebih baik
Jenis Penelitian
Tesis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
experiential marketing mempengaruhi
kepuasan pelanggan di timezone game
center Surabaya
Skripsi
Jurnal
Jurnal
Kerangka Pemikiran
Menurut Pine dan Gilmore (1998) terdapat empat tingkatan dalam ilmu
pemasaran (economic value) yang menawarkan dasar utama yang berbeda,
dimana setiap tingkatan memiliki perbedaan dalam arti dan pengaruh masingmasing dalam menciptakan nilai ekonomi yang lebih baik.
Menurut Schmitt (1999:3) akan terjadi perubahan konsep dari Traditional
marketing yang berfokus pada feature and benefits dimana pemasar menganggap
konsumen berpikir melalui suatu proses pengambilan keputusan yang mana
masing-masing karakteristik dari suatu produk atau jasa akan memberikan
keuntungan yang jelas, dan karakteristik ini dievaluasi oleh pembeli yang
potensial kepada konsep Experiential marketing yang berfokus pada pengalaman
pelanggan.
Schmitt (1999:22) mengungkapkan “experiential marketing merupakan
strategi untuk mengemas produk dan jasa sehingga mampu menawarkan
pengalaman dan emosi yang menyentuh hati dan perasaan konsumen, sehingga
32
akan meningkatkan kepuasan pelanggan dan pada akhirnya akan menciptakan
pelanggan yang loyal”
Shaz Smilansky (2009:13) mengungkapkan “experiential marketing is the
process of identifying and satisfying customer needs and aspirations, profitably,
engaging them through two way communications that bring brand personalities to
life and adding value to the target audience”. (Experiential marketing adalah
proses untuk mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan,
menyatukannya melalui komunikasi dua arah yang membawa merek kedalam
kehidupan dan membawa nilai ke konsumen yang dituju.)
Schmitt dan Rogers (2008:116) membagi kerangka konsep Experiential
marketing yang terdiri dari dua aspek yaitu Strategic Experiences Modules dan
Experience Providers. Schmitt dan Rogers (2008:116) mengungkapkan bahwa
SEMs (Strategic Experiences Modules) yang merupakan fondasi experiential
marketing terdiri dari Sense, Feel, Think, Act, dan Relate.
Sense bertujuan untuk menciptakan pengalaman yang berhubungan dengan
panca indera melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, dan bau dari suatu
produk tertentu. Terdapat tiga fungsi utama dari sense marketing, yakni untuk
membedakan perusahaan dan produknya dari produk pesaing (differentiator),
untuk memotivasi konsumen dalam rangka memilih produk tertentu dari
perusahaan (motivator), dan untuk menambah nilai suatu produk (add value to
product). (Schmitt dan Rogers, 2008:116). Feel mengacu pada perasaan dan emosi
pelanggan dengan tujuan menciptakan pengalaman afektif (affective experiences) dari
33
perasaan positif yang lemah dan berhubungan dengan merek (brand) hingga pada emosi
kesenangan dan kebanggan yang kuat terhadap merek (Schmitt dan Rogers, 2008:117).
Think digunakan dengan tujuan menciptakan pengalaman kognitif,
pengalaman dalam memecahkan suatu masalah, serta merangsang konsumen
untuk berpikir secara kreatif. Think menghubungkan pola pikir divergen (divergen
thinking) dan pola pikir konvergen (convergent thinking) konsumen (Schmitt dan
Rogers, 2008:117). Act bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku konsumen
(behavior), gaya hidup konsumen (lifestyle) dan interaksi konsumen dengan
perusahaan (Schmitt dan Rogers, 2008:118). Relate tidak hanya mengacu pada
sensasi individual, perasaan kognisi dan tindakan dengan menghubungkan
individu dengan batasan konteks sosial dan budaya yang tercermin dari sebuah
merek (Schmitt dan Rogers, 2008: 118).
Kelima tipe experience tersebut ini disampaikan kepada pelanggan dengan
menggunakan agen-agen penghantar yang dikenal dengan ExPro’s (Experience
providers). Schmitt (1999:73) menyatakan bahwa pengalaman pelanggan dapat
disampaikan melalui experience providers yang terdiri dari tujuh komponen,
yaitu:communications, visual/verbal identity, product presence, co-Branding,
spatial environments, web sites and electronic media, people.
Citra (Image) merupakan sekumpulan keyakinan, ide, dan kesan yang
dimiliki seseorang terhadap sebuah objek (Kotler dan Keller, 2006:542). Konsep
dari citra digunakan untuk menggambarkan karakteristik dari sebuah objek seperti
perusahaan (Akin dan Demirel, 2011:130)
34
Menurut Kotler dan Amstrong (2006:299) citra perusahaan merupakan
seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu
perusahaan.
Sedangkan
Katz
dalam
Soleh
dan
Elvinaro
(2005:111)
mengemukakan bahwa citra perusahaan adalah cara bagaimana pihak lain
memandang sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas.
Keller (2008:453) mengemukakan bahwa dimensi corporate image terdiri
atas common product attributes, benefits or attitudes, people and relationships,
value and program, dan corporate credibility.
Common product attributes, benefits or attitudes adalah asosiasi akan kualitas
perusahaan yang baik, juga inovasi-inovasi pemasaran yang dilakukan
perusahaan. People and relationships adalah citra perusahaan yang dapat terlihat
dari karakteristik karyawannya seperti pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan (Keller, 2008:457). Value and programs dapat terlihat dari nilai-nilai
an program dari perusahaan yang tidak harus berhubungan dengan produk yang
dijual. Corporate credibility adalah pendapat atau pernyataan mengenai
perusahaan, juga sikap percaya terhadap perusahaan yang kompeten dalam
menjual produk dan menyampaikan jasanya (Keller, 2008:457).
Menurut Schmitt (1999:34) bahwa “Experiential marketing dapat sangat
berguna dalam berbagai situasi termasuk untuk membentuk citra dan identitas
untuk perusahaan. ”Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dikatakan
experiential marketing dalam tugasnya berperan untuk membentuk brand image.
Secara
sistematis kerangka pemikiran yang dapat digambarkan oleh penulis
adalah sebagai berikut:
35
Commodities
Experiential Marketing
Goods
Experiential Providers
Experiential
Modules
Services
Experiences
Experiential
Marketing
Pine and Gilmore
(1998)
Schmitt and
Rogers (2008)
1.Sense
2.Feel
3.Think
4.Act
5.Relate
1.Communication
2.Visual/verbal Identity
3.Product Presence
4.Co Branding
5.Spatial Environment
6.Websites and
Electronic Media
7.People
Corporate Image
1.Common product
attributes,
benefits, or
attitudes
2.People and
Relationships
3.Value and
Programs
4.Corporate
Credibility
Keller (2008:453)
Schmitt and Rogers
(2008:116-118)
(2008:120-129)
Keterangan :
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.1
KERANGKA PEMIKIRAN PENGARUH
EXPERIENTIAL MARKETING TERHADAP
CORPORATE IMAGE
36
Paradigma penelitian mengenai pengaruh experiential marketing terhadap
Corporate image dapat dilihat pada gambar 2.2
Experiential Marketing
Corporate Image
1.Sense
1. Communication
2.Feel
2. Visual Verbal Identity
3.Think
3. Product Presence
Attributes, Benefits, or
4.Act
4. Co Branding
Attitudes
5.Relate
5. Spatial Environment
2. People and Relationships
(Schmitt, 1999:71)
6. Websties And
3. Values and Programs
Electronic Media
7. People
1. Common Products
4. Corporate Credibility
Keller (2008:453)
(Schmitt, 1999:71)
Gambar 2.2
Paradigma Penelitian
2.3
HIPOTESIS
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka penulis mengajukan
hipotesis sebagai berikut “Terdapat pengaruh dari Experiential Marketing
yang terdiri dari sense, feel, think, act, dan relate terhadap corporate image”.
Download