Strategi Kebijakan Pemasaran Hasil Hutan Bukan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Secara ekologis HHBK tidak memiliki perbedaan fungsi dengan hasil hutan
kayu, karena sebagian besar HHBK merupakan bagian dari pohon. Istilah Hasil
Hutan Non Kayu semula disebut Hasil Hutan Ikutan merupakan hasil hutan yang
berasal dari bagian pohon atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki sifat khusus
yang dapat menjadi suatu barang yang diperlukan oleh masyarakat, dijual sebagai
komoditi ekspor atau sebagai bahan baku untuk suatu industri.
Definisi HHBK seperti dirumuskan oleh pemerintah melalui Departemen
Kehutanan (Permenhut: 35/MENHUT-II/2007) adalah hasil hutan baik nabati dan
hewani beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu. Pada umumnya
HHBK merupakan hasil sampingan dari sebuah pohon, misalnya getah, daun,
kulit, buah dan lain-lain atau berupa tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sifat
khusus seperti rotan, bambu dan lain-lain.
Adapun
HHBK
yang
dimanfaatkan
dan
memiliki
potensi
untuk
dimanfaatkan oleh masyarakat, menurut Sumadiwangsa (2000) dalam Sudarmalik
et al. (2006) dapat dibedakan menjadi beberapa bagian sebagai berikut :
1. Getah-getahan : Getah jelutung, getah merah, getah balam, getah karet alam
dan lain-lain,
2. Tanin : Pinang, Gambir, Rhizophora, Bruguiera, dan lain-lain,
3. Resin : Gaharu, Kemedangan, Jernang, Damar mata kucing, Damar batu,
Damar rasak, Kemenyan dan lain-lain,
4. Minyak atsiri : Minyak gaharu, Minyak kayu putih, Minyak Keruing, Minyak
lawang, Minyak kayu manis,
5. Madu : Apis dorsata, Apis melliafera,
6. Rotan dan Bambu : Segala jenis rotan, Bambu dan Nibung,
7. Penghasil Karbohidrat : Sagu, Aren, Nipah, Sukun dan lain-lain,
8. Hasil Hewan : Sutra alam, Lilin lebah, Aneka hewan yang tidak dilindungi,
9. Tumbuhan Obat dan Tanaman Hias: Aneka tumbuhan obat dari hutan,
anggrek hutan, palmae, pakis dan lain-lain.
Pemungutan HHBK umumnya merupakan kegiatan tradisional dari
masyarakat yang berada di sekitar hutan, bahkan di beberapa tempat, kegiatan
8
pemungutan HHBK merupakan kegiatan utama sebagai sumber kehidupan
masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, pengumpulan rotan, pengumpulan
berbagai getah kayu seperti getah kayu Agathis (kopal), atau getah kayu lainnya.
Pemasaran
Pasar adalah pembeli atau konsumen potensial yang mempunyai keinginan,
kemampuan, dan kewenangan untuk melakukan transaksi. Pasar oleh Roshetko
dan Yuliyanti (2001) didefinisikan sebagai keseluruhan permintaan dari suatu
produk di suatu tempat dan waktu yang ditentukan, dalam kondisi yang spesifik.
Jelaslah bahwa pasar suatu produk tidak selalu sama dengan pasar produk lain;
pasar pada suatu tempat tidak selalu sama dengan di tempat lain; pasar pada waktu
tertentu tidak selalu sama dengan pasar pada kurun waktu yang lain. Selain itu,
pasar adalah dinamis. Kondisi dan interaksinya selalu berubah. Pasar sekarang,
sekalipun untuk produk yang sama, mungkin saja sangat berbeda dengan pasar
tahun sebelumnya. Oleh sebab itu, penting untuk memelihara hubungan pasar dan
memperbaharui informasi pasar secara berkesinambungan.
Pemasaran atau sering juga disebut tataniaga adalah suatu proses pertukaran
yang meliputi kegiatan untuk memindahkan barang atau jasa dari produsen ke
konsumen (Azzaino 1980 dalam Qurniati 2002). Pemasaran menciptakan ”time
utility”, ”place utility”, dan ”possession utility” (Wasis 1992).
Terdapat empat pendekatan dalam menganalisis pemasaran yang digunakan
secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri (Limbong dan Sitorus 1987),
yaitu sebagai berikut:
1). Pendekatan fungsi, yaitu pendekatan yang mempelajari fungsi pemasaran apa
yang dilakukan oleh pelaku pemasaran yang terlibat dalam pemasaran.
Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi
fasilitas.
2). Pendekatan lembaga, yaitu pendekatan yang mempelajari bermacam-macam
lembaga yang terlibat dalam proses penyaluran komoditas dari produsen ke
konsumen. Pelaku-pelaku itu adalah pedagang perantara yang terdiri dari
pedagang pengumpul dan pengecer, pedagang spekulan, pengolah dan
organisasi-organisasi yang memberikan fasilitas pemasaran.
9
3). Pendekatan barang, yaitu pendekatan yang menekankan perhatian terhadap
kegiatan atau tindakan yang diperlakukan terhadap barang dan jasa selama
proses penyampaiannya mulai dari titik produsen sampai ke titik konsumen.
Pendekatan barang hanya menekankan pada barang atau jasa yang hendak
diamati.
4). Pendekatan sistem, yaitu pendekatan yang mempelajari suatu kumpulan
komponen-komponen
yang bekerja bersama-sama
dalam suatu cara
organisasi. Komponen-komponen tersebut terdiri dari struktur pasar, perilaku
pasar, dan keragaan pasar.
Fungsi-fungsi pemasaran
yang
dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga
pemasaran menurut Sudiyono (2001) pada prinsipnya digolongkan ke dalam tiga
tipe fungsi pemasaran, yaitu sebagai berikut.
1). Fungsi pertukaran, adalah kegiatan memperlancar perpindahan hak milik dari
barang atau jasa yang dipasarkan. Fungsi ini terdiri dari dua fungsi yaitu
fungsi pembelian dan fungsi penjualan.
2). Fungsi fisik, adalah semua tindakan yang langsung berhubungan dengan
barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk, dan waktu.
Fungsi fisik meliputi fungsi penyimpanan, fungsi pengolahan, dan fungsi
pengangkutan.
3). Fungsi penyediaan fasilitas, adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk
memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen ke konsumen.
Fungsi ini terdiri dari fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan
resiko, fungsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar.
Efisiensi Pemasaran
Sistem pemasaran yang efisien menurut Mubyarto (1998) adalah (1) mampu
menyampaikan hasil-hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya yang
semurah-murahnya, dan (2) mampu mengadakan pembagian yang adil dari
keseluruhan harga yang harus dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak
yang ikut serta dalam produksi dan pemasaran komoditi tersebut.
Menurut Purcell (1979), ada dua tipe efisiensi dalam kaitannya dengan
pemasaran, yaitu efisiensi teknis dan efisiensi harga. Efisiensi teknis merujuk
10
pada hubungan input-output yang terlibat dalam tugas pemanfaatan produksi di
seluruh sistem pemasaran. Di sini biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses
untuk membawa suatu komoditi ke tangan konsumen meliputi biaya angkutan,
biaya penyimpanan, dan biaya pengubahan bentuk. Sedangkan efisiensi harga
merupakan konsep yang merujuk pada kemampuan sistem untuk mempengaruhi
perubahan dan mendorong alokasi ulang sumberdaya-sumberdaya agar dapat
mempertahankan kesesuaian dengan apa yang dibutuhkan konsumen. Mekanisme
harga berfungsi sebagai sistem komunikasi untuk meneruskan informasi mengenai
keinginan masyarakat konsumen kepada produsen.
Efisiensi pemasaran juga ditentukan oleh keadaan struktur pasar pada setiap
mata rantai saluran pemasaran. Untuk mengetahui struktur pasar tersebut harus
dilakukan pengamatan mengenai organisasi pasar. Secara umum organisasi pasar
digolongkan ke dalam tiga komponen, yaitu struktur pasar (market structure),
perilaku pasar (market conduct), dan keragaan pasar marjin pemasaran (market
performance).
Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan
keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu
pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran seperti konsentrasi,
deskripsi product dan product differentation, syarat-syarat entry, dan sebagainya
(Limbong 1991 dalam Khairida 2002). Struktur pasar dicirikan oleh konsentrasi
pasar, diferensiasi produk, dan kebebasan keluar-masuk pasar. Pasar berdasarkan
strukturnya digolongkan atas pasar bersaing sempurna dan pasar bersaing tidak
sempurna. Pasar bersaing sempurna dicirikan oleh banyak jumlah penjual dan
pembeli; setiap penjual dan pembeli hanya menguasai sebagian kecil dari produk
yang ada di pasar, oleh karena itu satu orang penjual atau satu orang pembeli tidak
dapat mempengaruhi harga; produk yang dipasarkan homogen; pembeli dan
penjual bebas keluar masuk pasar. Pasar bersaing tidak sempurna menurut Dahl
dan Hammond (1997) dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pembeli
(konsumen) dan dari sisi penjual (produsen). Dari sisi pembeli diantaranya
termasuk pasar persaingan monopolistik, monopsoni, dan oligopsoni. Sedangkan
dilihat dari sisi penjual terdiri dari pasar monopoli dan oligopoli. Karakteristik
struktur pasar juga dapat dilihat dari pengetahuan yang diperlukan untuk
11
memasuki pasar, modal yang dibutuhkan, dan market share yang diperoleh
masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat.
Perilaku pasar merupakan pola tingkah laku dari lembaga-lembaga
pemasaran dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan penjualan,
pembelian, penentuan harga dan kerjasama antar lembaga pemasaran (Saefudin
1981 dalam Khairida 2002). Perilaku pasar tersebut dilihat dari proses
pembentukan harga dan stabilitas pasar, serta ada tidaknya praktek jujur dari
lembaga pemasaran tersebut. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan
keragaan pasar yang dapat diukur melalui peubah harga, biaya dan marjin
pemasaran, serta jumlah komoditas yang diperdagangkan (Dahl dan Hammond
1977).
Keragaan marjin pemasaran merupakan perbedaan harga di berbagai
tingkatan sistem pemasaran. Marjin pemasaran didefenisikan sebagai perbedaan
harga di tingkat petani dan pengecer (Dahl dan Hammond 1977).
Saluran Pemasaran
American Marketing Association (AMA) mendefenisikan saluran pemasaran
sebagai suatu jaringan terorganisir dari badan-badan dan lembaga-lembaga yang
dalam bentuk kombinasi melaksanakan semua kegiatan untuk menghubungkan
semua produsen dengan semua pengguna untuk menyelesaikan tugas-tugas
pemasaran (Limbong dan Sitorus 1987). Panjang pendeknya saluran pemasaran
suatu barang niaga ditandai dengan berapa banyaknya pedagang perantara yang
dilaluinya sejak dari produsen hingga konsumen akhir.
Panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui oleh suatu produk
bergantung pada jarak antara produsen ke konsumen, cepat-tidaknya produk
rusak, skala produksi, keuangan pengusaha, dan lain-lain. Dalam pemasaran suatu
komoditi terlibat beberapa badan atau lembaga mulai dari produsen, lembagalembaga perantara, dan konsumen. Sebagian besar produsen bekerjasama dengan
perantara pemasaran untuk membawa produk mereka ke pasar. Perantara
pemasaran tersebut membentuk suatu saluran pemasaran (disebut juga saluran
distribusi atau saluran perdagangan). Badan atau lembaga yang berusaha dalam
bidang pemasaran untuk memperlancar distribusi suatu komoditi dikenal sebagai
12
perantara (midlement intermediary). Badan atau lembaga ini dapat berbentuk
perseorangan, perserikatan, ataupun perseroan.
Marjin Pemasaran
Dahl dan Hammond (1977) mendefenisikan marjin pemasaran sebagai
perbedaan harga tingkat petani dengan harga tingkat pengecer. Sedangkan nilai
marjin pemasaran adalah perkalian antara marjin pemasaran dengan jumlah
produk yang dipasarkan atau mengandung pengertian marketing cost dan
marketing charges. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang
berpengaruh dalam proses kegiatan pemasaran antara lain ketersediaan fasilitas
fisik pemasaran, yaitu pengangkutan,
penyimpanan, pengolahan, resiko
kerusakan, dan lain-lain.
Konsep marjin pemasaran berkaitan erat dengan bagian harga yang diterima
oleh petani, yang dinyatakan dalam persentase. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui porsi harga yang berlaku di tingkat konsumen yang dinikmati petani.
Sistem harga dan mekanisme pembentukan harga ditentukan lebih banyak
oleh faktor waktu, tempat, dan pasar yang akan mempengaruhi keadaan
penawaran dan permintaan. Pembentukan harga suatu komoditi pada setiap
tingkat pasar tergantung pada struktur pasar tersebut (Dahl dan Hammond 1997).
Salah satu indikasi untuk menentukan apakah suatu sistem pemasaran
efisien atau tidak adalah dengan membandingkan nilai nisbah marjin keuntungan
pemasaran antara lembaga pemasaran yang satu dengan lembaga pemasaran yang
lain. Apabila nilai nisbah marjin keuntungan antar lembaga pemasaran adalah
sama, maka sistem pemasaran tersebut dapat dikatakan efisien. Demikian pula
sebaliknya, jika selisih nilai nisbah marjin keuntungan antar lembaga-lembaga
pemasaran adalah tidak sama dengan nol, maka sistem pemasaran tersebut
dikatakan belum efisien (Triaksono 1995 dalam Qurniati Q 2002).
Indikator marjin pemasaran sering digunakan dalam analisis efisiensi
pemasaran karena melalui analisis marjin pemasaran dapat diketahui tingkat
efisiensi operasional serta efisiensi harga (ekonomi) pemasaran (Saefuddin 1981
dalam Khairida 2002). Selanjutnya dijelaskan oleh Hamim (1989) dalam Khairida
(2002) bahwa keuntungan penggunaan analisis marjin pemasaran adalah dapat
13
diketahui (1) perbandingan bagian keuntungan dari masing-masing lembaga yang
terlibat dalam proses pemasaran, (2) perbandingan bagian keuntungan dan biaya
pemasaran, apakah cukup logis atau tidak dari berbagai lembaga yang terlibat, dan
(3) bagaimana struktur pasar komoditas tersebut baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Konsep Pendapatan Pelaku-Pelaku Pemasaran
Pendapatan secara umum dapat didefenisikan sebagai keuntungan dari
pengurangan antara penerimaan total penjualan dengan biaya yang dikeluarkan
selama proses produksi. Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa biaya-biaya yang
tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap seperti sewa tanah,
pembelian alat-alat, dan lain-lain serta biaya tidak tetap seperti biaya untuk
pembayaran
tenaga
kerja.
Tujuan
analisis
pendapatan
adalah
untuk
menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan dan tindakan.
Biaya Transaksi dalam Pemasaran
Adanya informasi yang asimetrik menyebabkan faktor utama yang
mempengaruhi opsi individu atau kelompok dalam menentukan apakah suatu
transaksi akan dilakukan dalam sistem pasar atau dalam sistem organisasi nonpasar ataupun jenis kelembagaan lainnya adalah besarnya biaya transaksi (Anwar
1997). Biaya transaksi diartikan dalam dua dimensi, yaitu frictionlessness dan
explication (Williamson 1985 dalam Haris et al. 2000). Frictionlessness diartikan
sebagai biaya yang berhubungan dengan friksi secara fisik dari suatu produk yang
ditransaksikan. Sedangkan explication menyangkut biaya yang berhubungan
dengan informasi, negosiasi, pemantauan, koordinasi, dan enforcement dari
kontrak.
Biaya transaksi dikelompokkan oleh Hobbs (1997) dalam Kurniawan (2003)
ke dalam tiga jenis, yaitu biaya informasi, biaya negosiasi, dan biaya pemantauan
(enforcement cost). Biaya informasi bersifat ex-ante pada suatu pertukaran
termasuk di dalamnya biaya untuk menentukan mitra dalam pertukaran, yang
sering menimbulkan persoalan buruknya pilihan (adverse selection), biaya
mengumpulkan informasi harga, kualitas dan jumlah suatu produk. Biaya
14
negosiasi adalah biaya untuk melakukan transaksi secara fisik termasuk biaya
komisi, biaya negosiasi syarat-syarat kontrak pertukaran dan biaya membuat
kontrak formal. Biaya pemantauan timbul secara ex-post dari suatu pertukaran
meliputi biaya pemantauan pelaksanaan syarat-syarat kontrak seperti standar
kualitas produk dan cara pembayaran, akibat adanya persoalan bencana moral.
Keterbatasan individu untuk memperoleh informasi yang lengkap serta
keterbatasan kemampuan untuk mengolah informasi yang ada dalam keadaan
ketidakpastian, cenderung membuat individu itu mengarah pada perilaku yang
bersifat oportunistik. Hal ini menyebabkan timbulnya konsep biaya transaksi yang
didasarkan pada asumsi bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam
menentukan pilihannya.
Dalam suatu proses perdagangan, adanya biaya transaksi akan memperkecil
keuntungan yang diperoleh oleh pelaku-pelaku perdagangan. Biaya-biaya
transaksi proporsional menciptakan suatu kesenjangan antara harga pembelian dan
harga penjualan. Semakin tingginya biaya transaksi maka semakin kecil volume
agregat perdagangan dan dengan adanya biaya transaksi yang tinggi menyebabkan
tidak terjadinya pertukaran di seluruh pasar (Hirshleifer 1985 dalam Sukmadinata
1995). Hal ini dapat diartikan bahwa tingginya biaya transaksi akan menyebabkan
tidak efisiennya suatu sistem pemasaran, karena akan memperkecil bagian yang
akan diterima oleh suatu lembaga pemasaran.
Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan alternatif untuk mengidentifikasikan berbagai
faktor secara sistematis dalam memformulasikan kebijakan strategis. Hal ini
karena kebijakan yang baik disusun berdasarkan atas telaahan tentang kondisi dan
kenyataan yang ada di lapangan, untuk dikaji berbagai faktor yang menjadi
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Selain itu, perlu dicermati berbagai
faktor yang mungkin akan muncul di kemudian hari, sehingga diharapkan ada
antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi (Rangkuti 2006).
Menurut Rangkuti (2006), analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor
secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu kegiatan, didasarkan pada
logika
untuk
memaksimalkan
kekuatan
dan
peluang;
sekaligus
dapat
15
meminimalkan kelemahan dan ancaman. Selanjutnya dikatakan bahwa proses
pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi,
tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan.
Rangkuti (2006) menjelaskan bahwa SWOT adalah singkatan dari
lingkungan internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal
Opportunities dan Threats yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT
membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman
(threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses).
Tinjauan Studi Terdahulu
HHBK dari aspek ekonomi dapat berperan sebagai salah satu sumber
penghasilan baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Beberapa penelitian
tentang HHBK di wilayah Maluku telah dilakukan oleh beberapa peneliti
sebelumnya, diantaranya adalah aspek ekonomi pengolahan minyak kayu putih
(Maarthen 1998), nilai ekonomi total hutan kayu putih (Parera 2005), dan
hubungan perilaku komunikasi dengan perilaku usahatani petani minyak kayu
putih (Puttileihalat 2007).
Maarthen (1998) mengambil lokasi penelitian pada Kecamatan Buru Utara
Timur, Kabupaten Maluku Tengah (sekarang adalah Kabupaten Buru). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa usahatani penyulingan minyak kayu putih di
lokasi penelitian yang masih bersifat tradisional ternyata sangat menguntungkan
bagi petani penyuling dilihat dari pendapatan yang diperoleh dalam setahun
sebesar Rp 7 788 758. Hasil analisis kepekaaan terhadap perubahan peningkatan
dan penurunan harga sebesar 10 persen dari harga semula menunjukkan
keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif.
Hasil penelitian Parera (2005) menunjukkan bahwa nilai ekonomi total
hutan kayu putih di Desa Piru Kabupaten Seram Bagian Barat adalah
Rp 1 556 719/ha/tahun dimana nilai ekonomi yang terbesar diperoleh dari nilai
guna langsung (nilai daun kayu putih, nilai kayu bakar, dan nilai air), yaitu
Rp 1 530 637/ha/tahun (98,45 %). Kontribusi hutan kayu putih terhadap
pendapatan rumah tangga 55,75 % atau Rp 4 907 000/tahun, dan terhadap
pendapatan daerah adalah 95,99 % atau Rp 240 314 000/tahun.
16
Puttileihalat (2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara perilaku komunikasi (sentralitas lokal, sentralitas global,
kebersamaan, keterdedahan media massa) dengan perilaku usahatani petani
minyak kayu putih (pengetahuan, sikap, dan tindakan) di Desa Piru, Kabupaten
SBB. Hal ini berarti bahwa perilaku komunikasi dapat menentukan perilaku petani
dalam melakukan kegiatan usahatani penyulingan minyak kayu putih dengan cara
komunikasi interpersonal melalui hubungan-hubungan interpersonal petani
(kontak dengan sesama petani, kontak dengan penyuluh, kontak dengan kepala
desa, dan kontak dengan sumber-sumber informasi lainnya) dan keterdedahan
petani pada media massa. Hal ini dapat memberikan efek pada pengetahuan,
sikap dan tindakan petani, yang mengarah pada proses perubahan tingkah laku
dalam pelaksanaan kegiatan usahatani penyulingan minyak kayu putih. Dengan
demikian, komunikasi interpersonal melalui hubungan-hubungan interpersonal
petani dan keterdedahan petani pada media massa dapat menjadi kunci
keberhasilan petani dalam pengembangan usahatani minyak kayu putih di Desa
Piru.
Beberapa penelitian lain tentang HHBK, selain yang disebutkan di atas,
yang pernah dilakukan di Provinsi Maluku lebih banyak difokuskan kepada aspek
pengolahan dan budidaya minyak kayu putih, antara lain dilakukan oleh Siaila
(2004) dan Soukotta (2001). Siaila (2004) memfokuskan penelitiannya pada
pengaruh masak fisiologis kayu terhadap rendemen minyak kayu putih, sedangkan
Soukotta (2001) memfokuskan penelitiannya pada pengaruh alelopati ekstrak akar
kayu putih terhadap pertumbuhan anakan Lamtoro gung (Leucaena leucephala,
Lam de witt).
Download