EFEK KEBERADAAN TERUMBU KARANG BUATAN TERHADAP EKOSISTEM SUMBERDAYA AIR (Studi Kasus di Karang Jeruk, Teluk Jakarta dan Taman Nasional Kepulauan Seribu) Rr Diah Nugraheni Setyowati Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Email: [email protected] Abstrak Secara global terumbu karang (coral reef) dapat ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Sebagian besar berada di utara dan selatan khatulistiwa. Sebarannya mencakup wilayah di 100 negara dengan luas areal pada tahun 2010 sekitar 600.000 km2. Menurut Nybakken (1992), terumbu karang sebagai lingkungan hidup berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat berlindung, tempat mencari makan dan berkembang biak biota yang hidup baik dari terumbu karang itu sendiri atau dari perairan di sekitarnya. Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengkaji efek keberadaan terumbu karang buatan (artificial reef) terhadap ekosistem sumber daya air yang terdapat di beberapa wilayah Perairan Indonesia (studi kasus di Karang Jeruk, Teluk Jakarta dan Taman Nasional Kepulauan Seribu). Penelitian ini ditinjau dari kualitas air, keberadaan plankton, dan kebiasaan makan ikan di Perairan tersebut, dan menggunakan metode penelitian studi kasus, metode pengamatan dan metode sampling. Keberadaan terumbu karang buatan diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya degradasi terumbu karang dalam beberapa tahun kedepan sekaligus sebagai pelindung ekosistem sumberdaya air sementara (selama proses pemuliaan terumbu karang alami). Dari hasil pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa fungsi penting terumbu karang alami maupun buatan, antara lain sebagai sumber tumbuh kembangnya produsen primer dan pakan alami serta sumber plasma nutfah yang perlu dilindungi, sebagai habitat/ tempat berlindung, tempat mencari makan, tempat memijah dan bertumbuh mahluk hidup di perairan. Kualitas air (ditinjau dari suhu, kecerahan dan salinitas) lebih baik daripada kondisi sebelum adanya terumbu karang buatan dan menuju kondisi normal bagi kehidupan ekosistem sumberdaya air. Terdapat hubungan regresi linear antara plankton, juvenil dan ikan. setelah penempatan terumbu karang buatan (artificial reef), dan diperoleh peningkatan komposisi plankton, juvenil ikan dan ikan. Semua jenis ikan yang dilihat jenis lambung dan kebiasaan makanannya ternyata memiliki feeding area di pantai. Dari hasil beberapa studi kasus di Karang Jeruk, Teluk Jakarta dan Taman Nasional Kepulauan Seribu, dapat diambil kesimpulan bahwa efek keberadaan terumbu karang buatan terhadap ekosistem sumberdaya air adalah positif, dalam arti dengan adanya terumbu karang buatan kestabilan ekosistem sumberdaya air tetap terjaga. Kata Kunci : terumbu karang, terumbu karang buatan, kualitas air, ekosistem sumberdaya air PENDAHULUAN Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem bawah laut yang terdiri dari sekelompok binatang karang yang membentuk struktur kalsium karbonat, semacam batu kapur. Coral reef bersama-sama hutan mangrove merupakan ekosistem sumberdaya air. Dari sisi keanekaragaman hayati, coral reef disebut-sebut sebagai hutan tropis di lautan. Ekosistem coral reef merupakan habitat hidup sejumlah spesies bintang laut, tempat pemijahan, peneluran dan pembesaran anakanak ikan. Dalam ekosistem ini terdapat banyak makanan bagi ikan-ikan kecil. Secara global coral reef dapat ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Sebagian besar berada di utara dan selatan khatulistiwa. Sebarannya mencakup wilayah di 100 negara dengan luas areal pada tahun 2010 sekitar 600.000 km2. Saat ini diperkirakan 10% ekosistemnya dalam keadaan rusak dan sebagian tidak bisa diperbaharui. Bila keadaan ini terus dibiarkan dalam 20 tahun kedepan diperkirakan kerusakan akan meningkat hingga 30%. Dari peta, sebaran terbesar berada di wilayah indo-pasifik dan atlantik. Wilayah indo-pasifik merupakan tempat coral reef terluas dengan keanekaragaman paling banyak. Di Great Barrier Reef Australia saja luasnya mencapai 200.000 km2. Daerah-daerah lain yang memiliki coral reef luas antara lain perairan laut merah, bagian timur dan barat Samudera Hindia, perairan Indonesia, Malaysia dan Filipina, dan di kepulauan pasifik. Sedangkan di wilayah atlantik luas coral reef hanya 1:20 dibanding di indo-pasifik. Dan keragamannya pun tidak terlalu tinggi. Titik-titiknya terdapat di sekitar Bermuda dan Karibia, kemudian ada lagi di sekitar lepas pantai Brasil dan Afrika Barat. Gambar 1. Peta Sebaran Terumbu Karang Dunia (Sumber : NOAA , 2012) Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia dengan kekayaan terumbu karangnya. Eksistensi Indonesia sebagai salah satu pusat terumbu karang terus mengalami degradasi. Tentunya masalah itu, akan semakin meluas jika tidak segera diambil langkah-langkah untuk melestarikannya. Terumbu karang buatan (artificial reef) didesain dengan alasan untuk pelindung ikan sekaligus sebagai tempat untuk penempatan planula karang (sponge) yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang di terumbu karang batan tersebut. Alasan berikutnya adalah untuk mempermudah pemerintah dan masyarakat, khususnya masyarakat perairan dalam menjaga kestabilan ekosistem sumberdaya air. Dengan stabilnya ekosistem sumberdaya air, diharapkan akan dapat menjaga kestabilan mata pencaharian penduduk setempat. Adanya artificial reef juga dapat mengantisipasi terjadinya degradasi terumbu karang dalam beberapa tahun kedepan, karena terumbu karang buatan difungsikan sekaligus pelindung proses pemuliaan terumbu karang yang membutuhkan waktu cukup lama. Dengan adanya artificial reef, proses pemuliaan terumbu karang alami tidak banyak mengalami gangguan yang signifikan, karena kebutuhan mahluk hidup di air terpenuhi oleh keberadaan artificial reef. Proses pemuliaan terumbu karang merupakan proses mengembang-biakkan terumbu karang dan memperbaiki populasi terumbu karang yang rusak. Gambar 2. Terumbu Karang yang Belum Terdegradasi (Sumber : NOAA, 2012) Persebaran Terumbu Karang Buatan di Indonesia Terumbu Karang merupakan salah satu sumberdaya laut dimana penyebarannya hampir ditemukan di tiap wilayah pesisir Indonesia. Namun kelestarian ekosistem terumbu karang tersebut akan terancam jika dalam pemanfaatannya kurang memperhatikan aspek lingkungan (Mulatsih, 2006). Berikut ini adalah contoh lokasi di Indonesia yang sudah mengembangkan budidaya terumbu karang buatan (artificial reef) : Desa Pemuteran, Bali Disini dapat dilihat aktivitas konservasi yang dilakukan masyarakat dengan menempatkan artificial reef di sepanjang pantai, serta sebuah artificial reef berupa kurungan sepanjang 222 meter yang terbuat dan besi baja yang dialiri listrik DC, untuk mempercepat proses melekatnya polip-polip karang. Perairan Karang Jeruk, Kota Tegal Aktivitas konservasi dilakukan masyarakat dengan menempatkan artificial reef di Perairan Karang Jeruk. Penempatan fish sanctuary artificial reef sebanyak 23 unit dilakukan pada tahun 2001 di Perairan Karang Jeruk dengan kedalaman 12 meter. Penempatan demersal artificial reef sebanyak 20 unit dilakukan pada tahun 2002 di sebelah Timur Laut Karang Jeruk dengan kedalaman 12 meter. Penempatan artificial reef sebanyak 24 unit dilakukan pada tahun 2003 di sebelah Utara Karang Jeruk memanjang hingga 240 meter dan dengan kedalaman 11 meter. Probolinggo, Sidoarjo, Bangkalan, Sampang dan Pamekasan Pembuatan artificial reef yang dikembangkan menggunakan beton berukuran 60 x 10 meter dan ban bekas yang ditenggelamkan di laut. Saat ini daerah yang paling banyak menggunakan beton sebagai artificial reef adalah di daerah Probolinggo, dengan 600 unit beton ditenggelamkan di Pulau Gili Ketapang dan 600 unit di PPU Paiton. Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta Pada 6 Juli 1979, ratusan ban bekas, truk, dan bis piton dari Departemen Pekerjaan Umum dibenamkan sebagai reef atau rumpon di sekitar Pulau Kotok Kecil untuk menandai pulau itu sebagai base camp Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI). Dua puluh tahun kemudian, giliran Bubbles Divers dan rekan penyelam lain membenamkan gentong karang (tahun 2000), kapal kayu (tahun 2001) di kedalaman 20 m di bawah dermaga Pulau Kotok Besar yang letaknya berhadapan dengan Pulau Kotok Kecil. tahun 2002 ditenggelamkan juga gentong karang dan rangka VW Combi yang sudah dibersihkan dari unsur oli, bensin dan cat di Karang Halimah, antara Pulau Kotok Besar dan Kotok Kecil. 109°11’85’’ - 109°12’15’’ BT dan 06°48’75’’ 06°48’80’’ dengan jarak 3,15 mil dari garis pantai terdekat. Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Di teluk ini, bermuara 13 sungai yang membelah kota Jakarta. Teluk Jakarta yang luasnya sekitar 514 km2 ini merupakan wilayah perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata mencapai 15 meter. Kepulauan Seribu yang terdiri atas 108 pulau adalah gugusan kepulauan yang berada di Teluk Jakarta. Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 45 km pada lokasi geografis 5°23’ - 5°40’ LS, 106°25’ - 106°37’ BT sebelah utara Jakarta. Secara administratif kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu berada dalam wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, tepatnya di tiga kelurahan yaitu Pulau Panggang, Pulau Kelapa, dan Pulau Harapan. Secara geografis Taman Nasional ini terletak pada 5°24’ - 5°45’ LS, 106°25’ - 106°40’ BT' dan mencakup luas 107.489 ha (SK Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002), yang terdiri dari wilayah perairan laut seluas 107.489 ha (22,65% dari luas perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) dan 2 pulau (Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur) seluas 39,50 ha (Cleary dkk., 2006). DESKRIPSI LOKASI STUDI Karang Jeruk secara administrasi masuk dalam wilayah Kota Tegal. Karang Jeruk merupakan daerah perairan geografis yang unik, sebab bila ditarik secara lurus dari wilayah pantai perairan Karang Jeruk berada di pemukiman nelayan Larangan, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Jadi selama ini nelayan Larangan beranggapan Karang Jeruk termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tegal. Letak geografis Karang Jeruk adalah Gambar 3. Terumbu Karang di Kepulauan Seribu (Sumber : Setyawan, 2011) TINJAUAN PUSTAKA Plankton, Juvenil Ikan, Ikan. Menurut Wiadnyana (1997), nilai produktifitas secara langsung banyak dipengaruhi oleh komposisi jenis fitoplankton yang selanjutnya dapat menentukan besar kecilnya daya dukung perairan terhadap kehidupan ekosistem sumberdaya air di dalamnya. Zooplankton merupakan konsumen pertama yang memanfaatkan produktivitas primer yang dihasilkan fitoplankton. Pada kondisi tertentu, perubahan kuantitatif dan kualitatif fitoplankton akan mempengaruhi zooplankton. Zooplankton inilah yang menjadi makanan ikan-ikan kecil. Parameter hidrologis seperti temperatur, salinitas, kecerahan, unsur hara merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan plankton pada ekosistem sumberdaya air. Hubungan kelimpahan plankton (fitoplankton dan zooplankton), juvenil ikan dan kelimpahan ikan yang tertangkap dapat diketahui dengan cara memadukan antara model matematik dengan pendekatan regresi (regresi linier) antara ikan yang tertangkap di terumbu karang buatan (disingkat TKB) dengan kelimpahan plankton dan juvenil ikan. Kebiasaan Makan Ikan Makanan merupakan faktor penting bagi semua organisme baik untuk pertumbuhan, perkembangan, reproduksi dan aktivitas metabolisme lainnya tergantung pada energi yang disediakan dari makanan. Pertumbuhan populasi atau individu dari ikan sangat erat hubungannya dengan jenis makanan yang terdapat di daerah dimana mereka hidup dan plankton merupakan salah satu makanan pokok yang dipergunakan baik langsung maupun tidak langsung (Ball dan Rao, 1992). Dasar dari studi kebiasaan makan ikan adalah mempelajari dari alat pencernaannya. Apabila satu spesies ikan telah diketahui secara umum kebiasaan makanannya dan ketika diambil dari satu perairan tertentu terdapat kelainan pada lambungnya, hal ini menunjukkan habitat tersebut secara alami tidak sesuai dengan kebiasaan makan ikan tersebut. Dengan demikian penilaian kesukaan makanan ikan terhadap makanannya menjadi sangat relatif. Ada beberapa faktor fisik yang mempengaruhinya, antara lain : penyebaran organisme, ketersediaan makanan dan faktor fisik yang mempengaruhi perairan tersebut (Mustafa et. al, 1982). Arimoto (1992) menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan (foraging activity) terutama dimotivasi oleh rasa lapar dan dari faktor daya melihat ikan di dalam air. Hal ini sehubungan dengan tujuan penangkapan dipengaruhi oleh waktu perendaman alat tangkap, kedalaman dan transparansi perairan. Parameter Kualitas Air Menurut Setyawan (2011), kondisi untuk pertumbuhan karang yang baik yaitu pada suhu berkisar 22-29 °C. Intensitas cahaya berhubungan dengan kecerahan perairan, merupakan faktor penting pertumbuhan terumbu karang dan adanya kehidupan laut karena berkaitan dengan fotosintesis zooxanthellae. Kecerahan mengindikasikan adanya kemampuan penetrasi cahaya matahari yang dipengaruhi oleh suspensi dalam air (lumpur) akibat pengaruh musim. Salinitas perairan adalah parameter terakhir yang diamati pada penelitian ini. Sebelum adanya terumbu karang buatan, salinitas perairan yang diteliti berkisar 27-31 ppt. Hal ini dipengaruhi degradasi terumbu karang alami. Setelah adanya penanaman terumbu karang buatan, diperoleh angka salinitas berkisar antara 33-35 ppt. Menurut Nybakken (1992), tingkat salinitas ini menyerupai wilayah perairan terumbu karang normal. Walaupun terjadi sedikit kenaikan tetapi kondisi salinitas masih dalam kisaran salinitas optimum bagi kehidupan karang yaitu antara 30-35 ppt. Terumbu Karang Menurut Nybakken (1992), terumbu karang sebagai lingkungan hidup berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat berlindung, tempat mencari makan dan berkembang biak biota yang hidup baik dari terumbu karang itu sendiri atau dari perairan di sekitarnya. Terumbu Karang adalah salah satu ekosistem yang amat penting di laut, khususnya di perairan tropis. Keanekaragaman dan tingkat produktivitas yang tinggi menjadikan daerah terumbu karang merupakan habitat dari berbagai jenis biota yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dalam ekosistem sumberdaya air. Terumbu karang juga memegang peranan yang sangat penting sebagai penghalang terjangan ombak dan erosi pantai (Bengen, 2002). Rusaknya ekosistem terumbu karang akan berakibat terganggunya kehidupan biota yang berasosiasi dengannya. Gangguan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas makanan (produktivitas) yang secara langsung akan mempengaruhi keragaman dan kelimpahan ikan. Akibat yang lain adalah bahwa degradasi yang terjadi dapat pula menyebabkan melimpahnya algae secara berlebihan sehingga dapat menutupi karang yang akhirnya akan berakibat pada kematian karang (Anggoro, 2001). Terumbu Karang Buatan Terumbu karang buatan (artificial reef) adalah benda yang di turunkan ke dasar perairan sehingga berfungsi layaknya habitat ikan. Banyak bentuk konstruksi dan jenis material yang diaplikasikan pada artificial reef, dari balok kayu biasa, papan, concret semen, besi dan kapal, bus bekas, PVC dan bahkan ban bekas. Sama seperti habitat perairan karang, artificial reef dapat menarik kehidupan laut lainnya dengan cara menyediakan tempat berlindung dan sumber makanan tambahan. Secara umum telah diketahui bahwa artificial reef yang dipasang secara nyata telah memberikan fungsi sebagai pengumpul ikan dengan bertambahnya bangunan dasar atau topografi dan dengan meningkatnya daya dukung lingkungan telah memberi kemungkinan bertambahnya biomassa ikanikan setempat. Untuk hal tersebut diperlukan pengkontruksian yang terbuat dari bahan yang awet serta berbentuk seperti aslinya atau paling tidak mendekati (Sutarto, 2000). Pembuatannya mungkin pekerjaan mudah. Tapi proses penenggelaman dan penempatannya di laut memerlukan keterlibatan para ahli di bidangnya. Penenggelamannya tidak bisa di sembarang tempat di laut. Kedalamannya saja harus memenuhi syarat minimal 10 sampai 20 meter dari permukaan laut, supaya tidak mengganggu pelayaran. Selain itu dasar laut harus dipilih yang tidak berlumpur. Setelah terpasang di lokasi yang memenuhi syarat, di permukaan ditempatkan sebuah pelampung yang dihubungkan dengan tali dan diikatkan pada karang buatan itu. Pelampung itu akan menjadi tanda atau peringatan bagi pengguna perairan, misalnya nelayan, bahwa di lokasi dimaksud terdapat artificial reef. Kemudian artificial reef akan dihinggapi oleh binatang-binatang karang, yang seiring perjalanan waktu akan mengalami proses pengerasan atau pengapuran. Semakin lama berada di kedalaman air dan mengalami proses seperti itu, benda tersebut akan makin kuat, dan diharapkan bisa menjadi tempat bagi ikanikan di laut untuk bertelur serta tumbuh dan berkembang. Dengan fungsi seperti itu, karang buatan mirip dengan rumpon, hanya bedanya artificial reef memiliki fungsi-fungsi lain yang lebih kompleks. Kriteria Pemilihan Lokasi Terumbu Karang Buatan Penempatan Menurut Sutarto (2000), secara umum pemilihan lokasi terumbu karang buatan memerlukan kriteria dan pertimbangan diantaranya adalah dasar perairan keras, kedalaman 10-20 meter, kecerahan air cukup, terhindar dari arus yang kuat, aman dari lalu lintas laut (alur keluar masuk pelabuhan), dipasang dekat perkampungan nelayan atau daerah penangkapan nelayan kecil. Perhatikan pula aspek biologis dan ekologis dlam penempatan terumbu karang buatan. Aspek biologis diantaranya adalah, penempatan artificial reef harus sedekat mungkin dengan sumber plankton dan sumber larva ikan. Sedangkan aspek ekologis adalah pemilihan substrat dasar. Substrat dasar yang baik bagi penempatan artificial reef adalah substrat dasar yang keras dan padat. Subtrat dasar yang keras dan kuat akan menyebabkan penempatan artificial reef kuat dan stabil. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengkaji efek keberadaan terumbu karang buatan (artificial reef) terhadap ekosistem sumber daya air yang terdapat di beberapa wilayah di Perairan Indonesia (Studi Kasus di Karang Jeruk, Teluk Jakarta dan Taman Nasional Kepulauan Seribu). Penelitian ini ditinjau dari keberadaan plankton, kebiasaan makan ikan dan kualitas air di Perairan tersebut. Gambar 4. Analisa Data (2015) METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus, metode pengamatan dan metode sampling. Adapun variabel yang diamati adalah komposisi plankton, juvenil dan ikan yang ada di perairan tersebut. Variabel lain yang diamati adalah kebiasaan makan ikan dan kualitas air di perairan tersebut. Gambar 5. Analisa Data (2015) ANALISA DAN PEMBAHASAN Berikut ini adalah hasil analisa dan pembahasan berdasarkan studi penelitian terdahulu, berdasarkan pengamatan dan penelitian keberadaan perairan dan ekosistem sumberdaya air sebelum adanya terumbu karang buatan (TKB) dan sesudah adanya TKB. Fokus penelitian di Perairan Karang Jeruk, Teluk Jakarta, Taman Nasional Kepulauan Seribu. Hasil Analisa dari Pengamatan Keberadaan Terumbu Karang Buatan Ditinjau dari Keberadaan Plankton, Juvenil dan Ikan : Gambar 6. Analisa Data (2015) Hasilnya adalah terdapat hubungan regresi linear antara plankton, juvenil dan ikan. Artinya ketika terjadi kelimpahan jumlah plankton, selalu diikuti kelimpahan jumlah juvenil dan kelimpahan jumlah ikan yang tertangkap. Hasil berikutnya adalah setelah penempatan terumbu karang buatan (artificial reef), diperoleh peningkatan komposisi plankton, juvenil ikan dan ikan. Hasil Analisa dari Pengamatan Keberadaan Terumbu Karang Buatan Ditinjau dari Kualitas Air, sebagai berikut : Tabel 1. Kebiasaan Makan Ikan di Perairan Karang Jeruk, Kota Tegal Gambar 7. Analisa Data (2015) Tabel 2. Kebiasaan Makan Ikan di Perairan Teluk Jakarta Gambar 8. Analisa Data (2015) Tabel 3. Kebiasaan Makan Ikan di Taman Nasional Kepulauan Seribu Gambar 9. Analisa Data (2015) Dari pengamatan diatas, kualitas air (ditinjau dari suhu, kecerahan dan salinitas) lebih baik daripada kondisi sebelum adanya terumbu karang buatan dan menuju kondisi normal bagi kehidupan ekosistem sumberdaya air. Tingkat salinitas ini menyerupai wilayah perairan terumbu karang normal. Walaupun terjadi sedikit kenaikan tetapi kondisi salinitas masih dalam kisaran salinitas optimum bagi kehidupan karang yaitu antara 30-35 ppt. Dasar dari studi kebiasaan makan ikan adalah mempelajari dari alat pencernaannya. Apabila satu spesies ikan telah diketahui secara umum kebiasaan makanannya dan ketika diambil dari satu perairan tertentu terdapat kelainan pada lambungnya, hal ini menunjukkan habitat tersebut secara alami tidak sesuai dengan kebiasaan makan ikan tersebut. Dari hasil pengamatan, semua jenis ikan yang dilihat jenis lambungnya memiliki feeding area di pantai. Hasil Analisa dari Pengamatan Keberadaan Terumbu Karang Buatan Ditinjau dari Kebiasaan Makan Ikan : PENUTUP Dari hasil studi kasus di Karang Jeruk, Teluk Jakarta dan Taman Nasional Kepulauan Seribu, dapat disimpulkan bahwa keberadaan terumbu karang buatan (artificial reef) memberikan dampak yang positif baik secara langsung maupun tidak langsung tehadap ekosistem sumberdaya air. Terdapat hubungan regresi linear antara plankton, juvenil dan ikan. Artinya ketika terjadi kelimpahan jumlah plankton, selalu diikuti kelimpahan jumlah juvenil dan kelimpahan jumlah ikan yang tertangkap. Setelah penempatan terumbu karang buatan (artificial reef), diperoleh peningkatan komposisi plankton, juvenil ikan dan ikan. Kualitas air (ditinjau dari suhu, kecerahan dan salinitas) membaik dan menuju kondisi normal bagi kehidupan ekosistem sumberdaya air. Penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi terumbu karang alami maupun buatan sangat penting, antara lain sebagai sumber tumbuh kembangnya produsen primer dan pakan alami serta sumber plasma nutfah yang perlu dilindungi, sebagai habitat/ tempat berlindung, tempat mencari makan, tempat memijah dan bertumbuh mahluk hidup di perairan. Dengan adanya terumbu karang buatan kestabilan ekosistem sumberdaya air tetap terjaga, pengadaan terumbu karang buatan menjadi satu alternatif yang diutamakan dalam proses perlindungan, pelestarian dan pengelolaan ekosistem sumber daya air. DAFTAR PUSTAKA Anggoro 2001. Penataan Fish Sanctuary sebagai Solusi Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Karang Jeruk. Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan, Semarang. Boney, A.D. 1976. Phytoplankton. Edward Arnold, London. Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB, Bogor. Cleary, D. F. R., Suharsono & B. W. Hoeksema. 2006. Coral Diversity Across A Disturbance Gradient in The Kepulauan Seribu Reef Complex Off Jakarta, Indonesia. Biodiversity and Conservation. Dorris, W. 1968. Biological Parameter of Water Quality Criteria. Bio, Scien. English, S.,C. Wilkinson and V. Baker 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. AIMS, Townsville. Estradivari, E Setyawan, dan S.Yusri, 2009. Terumbu Karang Jakarta, Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan TERANGI. Jakarta. Hadi, S. 2001. Metodologi Research. Penerbit Andi, Yogyakarta. Johan, O, 2003. Metode Survei Terumbu Karang Indonesia. Dalam Makalah Training Course : Karakteristik Biologi Karang. Yayasan TERANGI. Lee, C.D, S.B. Wang, and C.L. Kuo. 1978. Benthic Macro Invertebrate and Fish as Biological Indicator of Water Quality, With Reference to Community Diversity Indeks In Onano, E.A.R., B.N. Lohani and Thanh. Water Pollution Control in Developing Countries. The Asian Institute of Technology. Bangkok A.G. Ilahude 1995. Sebaran Suhu, Salinitas, Siqma-T, Oksigen dan Zat Hara di Perairan Teluk Jakarta in: Suyarso (ed) Atlas oseanologi Teluk Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia P3O, Jakarta. Mulatsih, 2006. Efek Keberadaan TKB terhadap Komunitas Sumberdaya Hayati di Perairan Karang Jeruk, Tegal. Program Studi Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang. Ball, D.V. and K.V. Rao. 1992. Marine Fisheries. Tata Mc Graw-Hill Publishing Company Limite. New Delhi. India. Mustafa, et. Al. 1982. Ekosistem Hutan Bakau, Sumberdaya dan Pengelolaan untuk Mempertahankan Kelestariannya. dalam Panjaitan, A., Sanusat, A. Surono, A. Malik dan Djamali. Evaluasi Hasil Survey Hutan Bakau. Direktorat Bina Hayani. Direktorat Jenderal Perikanan. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. NOAA (National Oceanic and Athmospheric Administration), 2012. U.S. Department of Commerce. USA Nybakken, J. W, 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan dari Marine Biology : An Ecological Approach, (diterjemahkan oleh Eidman, M., Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, & S. Sukardjo.1992). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Pielou, R.W. 1975. Ecological Diversity. John Wiley and Son Inc, New York. Raymond, J.E.E. 1980. Plankton and Productivity in Ocean. Pergamon Press, London. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Setyawan, E, S. Yusri, & S. Timotius. 2011. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009). Yayasan TERANGI. Jakarta Shirota, A. 1966. The Plankton of South Vietnam. Overseas Technical Comperation Agency, Japan. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan, Jakarta. Sutarto. 2000. Pengenalan tentang Rumpon dan Terumbu Karang Buatan. BPPI, Semarang. Wiadnyana, N.N. 1997. Dampak Munculnya Spesies Red Tide terhadap Perikanan di Indonesia. Berkala Perikanan Terubuk XII.