EFEK KEBERADAAN TERUMBU KARANG

advertisement
EFEK KEBERADAAN TERUMBU KARANG BUATAN
TERHADAP EKOSISTEM SUMBERDAYA AIR
(Studi Kasus di Karang Jeruk, Teluk Jakarta dan Taman Nasional Kepulauan Seribu)
Rr Diah Nugraheni Setyowati
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Email: [email protected]
Abstrak
Secara global terumbu karang (coral reef) dapat ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Sebagian besar
berada di utara dan selatan khatulistiwa. Sebarannya mencakup wilayah di 100 negara dengan luas areal pada
tahun 2010 sekitar 600.000 km2. Menurut Nybakken (1992), terumbu karang sebagai lingkungan hidup
berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat berlindung, tempat mencari makan dan berkembang biak biota yang
hidup baik dari terumbu karang itu sendiri atau dari perairan di sekitarnya. Tujuan yang akan dicapai dari
penelitian ini adalah untuk mengkaji efek keberadaan terumbu karang buatan (artificial reef) terhadap
ekosistem sumber daya air yang terdapat di beberapa wilayah Perairan Indonesia (studi kasus di Karang Jeruk,
Teluk Jakarta dan Taman Nasional Kepulauan Seribu). Penelitian ini ditinjau dari kualitas air, keberadaan
plankton, dan kebiasaan makan ikan di Perairan tersebut, dan menggunakan metode penelitian studi kasus,
metode pengamatan dan metode sampling. Keberadaan terumbu karang buatan diharapkan dapat
mengantisipasi terjadinya degradasi terumbu karang dalam beberapa tahun kedepan sekaligus sebagai
pelindung ekosistem sumberdaya air sementara (selama proses pemuliaan terumbu karang alami). Dari hasil
pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa fungsi penting terumbu karang alami maupun buatan, antara
lain sebagai sumber tumbuh kembangnya produsen primer dan pakan alami serta sumber plasma nutfah yang
perlu dilindungi, sebagai habitat/ tempat berlindung, tempat mencari makan, tempat memijah dan bertumbuh
mahluk hidup di perairan. Kualitas air (ditinjau dari suhu, kecerahan dan salinitas) lebih baik daripada kondisi
sebelum adanya terumbu karang buatan dan menuju kondisi normal bagi kehidupan ekosistem sumberdaya air.
Terdapat hubungan regresi linear antara plankton, juvenil dan ikan. setelah penempatan terumbu karang buatan
(artificial reef), dan diperoleh peningkatan komposisi plankton, juvenil ikan dan ikan. Semua jenis ikan yang
dilihat jenis lambung dan kebiasaan makanannya ternyata memiliki feeding area di pantai. Dari hasil beberapa
studi kasus di Karang Jeruk, Teluk Jakarta dan Taman Nasional Kepulauan Seribu, dapat diambil kesimpulan
bahwa efek keberadaan terumbu karang buatan terhadap ekosistem sumberdaya air adalah positif, dalam arti
dengan adanya terumbu karang buatan kestabilan ekosistem sumberdaya air tetap terjaga.
Kata Kunci : terumbu karang, terumbu karang buatan, kualitas air, ekosistem sumberdaya air
PENDAHULUAN
Terumbu karang (coral reef) merupakan
ekosistem bawah laut yang terdiri dari
sekelompok binatang karang yang membentuk
struktur kalsium karbonat, semacam batu
kapur. Coral reef bersama-sama hutan
mangrove merupakan ekosistem sumberdaya
air. Dari sisi keanekaragaman hayati, coral reef
disebut-sebut sebagai hutan tropis di lautan.
Ekosistem coral reef merupakan habitat hidup
sejumlah spesies bintang laut, tempat
pemijahan, peneluran dan pembesaran anakanak ikan. Dalam ekosistem ini terdapat
banyak makanan bagi ikan-ikan kecil.
Secara global coral reef dapat ditemukan di
daerah tropis dan sub tropis. Sebagian besar
berada
di
utara
dan
selatan
khatulistiwa. Sebarannya mencakup wilayah di
100 negara dengan luas areal pada tahun 2010
sekitar 600.000 km2. Saat ini diperkirakan
10% ekosistemnya dalam keadaan rusak dan
sebagian tidak bisa diperbaharui. Bila keadaan
ini terus dibiarkan dalam 20 tahun kedepan
diperkirakan kerusakan akan meningkat
hingga 30%.
Dari peta, sebaran terbesar berada di wilayah
indo-pasifik dan atlantik. Wilayah indo-pasifik
merupakan tempat coral reef terluas dengan
keanekaragaman paling banyak. Di Great
Barrier Reef Australia saja luasnya mencapai
200.000 km2. Daerah-daerah lain yang
memiliki coral reef luas antara lain perairan
laut merah, bagian timur dan barat Samudera
Hindia, perairan Indonesia, Malaysia dan
Filipina, dan di kepulauan pasifik. Sedangkan
di wilayah atlantik luas coral reef hanya 1:20
dibanding di indo-pasifik. Dan keragamannya
pun tidak terlalu tinggi. Titik-titiknya terdapat
di sekitar Bermuda dan Karibia, kemudian ada
lagi di sekitar lepas pantai Brasil dan Afrika
Barat.
Gambar 1. Peta Sebaran Terumbu Karang Dunia
(Sumber : NOAA , 2012)
Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar
di dunia, Indonesia juga dikenal sebagai salah
satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia
dengan
kekayaan
terumbu
karangnya.
Eksistensi Indonesia sebagai salah satu pusat
terumbu karang terus mengalami degradasi.
Tentunya masalah itu, akan semakin meluas
jika tidak segera diambil langkah-langkah
untuk melestarikannya.
Terumbu karang buatan (artificial reef)
didesain dengan alasan untuk pelindung ikan
sekaligus sebagai tempat untuk penempatan
planula karang (sponge) yang diharapkan
dapat tumbuh dan berkembang di terumbu
karang batan tersebut. Alasan berikutnya
adalah untuk mempermudah pemerintah dan
masyarakat, khususnya masyarakat perairan
dalam
menjaga
kestabilan
ekosistem
sumberdaya air. Dengan stabilnya ekosistem
sumberdaya air, diharapkan akan dapat
menjaga
kestabilan
mata
pencaharian
penduduk setempat.
Adanya
artificial
reef
juga
dapat
mengantisipasi terjadinya degradasi terumbu
karang dalam beberapa tahun kedepan, karena
terumbu karang buatan difungsikan sekaligus
pelindung proses pemuliaan terumbu karang
yang membutuhkan waktu cukup lama.
Dengan adanya artificial reef, proses
pemuliaan terumbu karang alami tidak banyak
mengalami gangguan yang signifikan, karena
kebutuhan mahluk hidup di air terpenuhi oleh
keberadaan artificial reef. Proses pemuliaan
terumbu
karang
merupakan
proses
mengembang-biakkan terumbu karang dan
memperbaiki populasi terumbu karang yang
rusak.
Gambar 2. Terumbu Karang yang Belum
Terdegradasi (Sumber : NOAA, 2012)
Persebaran Terumbu Karang Buatan di
Indonesia
Terumbu Karang merupakan salah satu
sumberdaya laut dimana penyebarannya
hampir ditemukan di tiap wilayah pesisir
Indonesia. Namun kelestarian ekosistem
terumbu karang tersebut akan terancam jika
dalam
pemanfaatannya
kurang
memperhatikan aspek lingkungan (Mulatsih,
2006). Berikut ini adalah contoh lokasi di
Indonesia yang sudah mengembangkan
budidaya terumbu karang buatan (artificial
reef) :
 Desa Pemuteran, Bali
Disini dapat dilihat aktivitas konservasi yang
dilakukan masyarakat dengan menempatkan
artificial reef di sepanjang pantai, serta sebuah
artificial reef berupa kurungan sepanjang 222
meter yang terbuat dan besi baja yang dialiri
listrik DC, untuk mempercepat proses
melekatnya polip-polip karang.
 Perairan Karang Jeruk, Kota Tegal
Aktivitas konservasi dilakukan masyarakat
dengan menempatkan artificial reef di Perairan
Karang Jeruk. Penempatan fish sanctuary
artificial reef sebanyak 23 unit dilakukan pada
tahun 2001 di Perairan Karang Jeruk dengan
kedalaman 12 meter. Penempatan demersal
artificial reef sebanyak 20 unit dilakukan pada
tahun 2002 di sebelah Timur Laut Karang
Jeruk
dengan
kedalaman
12
meter.
Penempatan artificial reef sebanyak 24 unit
dilakukan pada tahun 2003 di sebelah Utara
Karang Jeruk memanjang hingga 240 meter
dan dengan kedalaman 11 meter.
Probolinggo,
Sidoarjo,
Bangkalan,
Sampang dan Pamekasan
Pembuatan artificial reef yang dikembangkan
menggunakan beton berukuran 60 x 10 meter
dan ban bekas yang ditenggelamkan di laut.
Saat ini daerah yang paling banyak
menggunakan beton sebagai artificial reef
adalah di daerah Probolinggo, dengan 600 unit
beton ditenggelamkan di Pulau Gili Ketapang
dan 600 unit di PPU Paiton.

 Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta
Pada 6 Juli 1979, ratusan ban bekas, truk, dan
bis piton dari Departemen Pekerjaan Umum
dibenamkan sebagai reef atau rumpon di
sekitar Pulau Kotok Kecil untuk menandai
pulau itu sebagai base camp Persatuan
Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI).
Dua puluh tahun kemudian, giliran Bubbles
Divers
dan
rekan
penyelam
lain
membenamkan gentong karang (tahun 2000),
kapal kayu (tahun 2001) di kedalaman 20 m di
bawah dermaga Pulau Kotok Besar yang
letaknya berhadapan dengan Pulau Kotok Kecil.
tahun 2002 ditenggelamkan juga gentong
karang dan rangka VW Combi yang sudah
dibersihkan dari unsur oli, bensin dan cat di
Karang Halimah, antara Pulau Kotok Besar dan
Kotok Kecil.
109°11’85’’ - 109°12’15’’ BT dan 06°48’75’’ 06°48’80’’ dengan jarak 3,15 mil dari garis
pantai terdekat.
Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di
perairan laut Jawa yang terletak di sebelah
utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Di teluk
ini, bermuara 13 sungai yang membelah kota
Jakarta. Teluk Jakarta yang luasnya sekitar
514 km2 ini merupakan wilayah perairan
dangkal dengan kedalaman rata-rata mencapai
15 meter. Kepulauan Seribu yang terdiri atas
108 pulau adalah gugusan kepulauan yang
berada di Teluk Jakarta.
Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah
kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia
yang terletak kurang lebih 45 km pada lokasi
geografis 5°23’ - 5°40’ LS, 106°25’ - 106°37’
BT sebelah utara Jakarta. Secara administratif
kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
berada dalam wilayah Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, terletak di Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara, tepatnya di tiga
kelurahan yaitu Pulau Panggang, Pulau Kelapa,
dan Pulau Harapan. Secara geografis Taman
Nasional ini terletak pada 5°24’ - 5°45’ LS,
106°25’ - 106°40’ BT' dan mencakup luas
107.489 ha (SK Menteri Kehutanan Nomor
6310/Kpts-II/2002), yang terdiri dari wilayah
perairan laut seluas 107.489 ha (22,65% dari
luas
perairan
Kabupaten
Administrasi
Kepulauan Seribu) dan 2 pulau (Pulau
Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur)
seluas 39,50 ha (Cleary dkk., 2006).
DESKRIPSI LOKASI STUDI
Karang Jeruk secara administrasi masuk dalam
wilayah Kota Tegal. Karang Jeruk merupakan
daerah perairan geografis yang unik, sebab bila
ditarik secara lurus dari wilayah pantai
perairan Karang Jeruk berada di pemukiman
nelayan Larangan, Kecamatan Kramat,
Kabupaten Tegal. Jadi selama ini nelayan
Larangan beranggapan Karang Jeruk termasuk
dalam wilayah administrasi Kabupaten Tegal.
Letak geografis Karang Jeruk adalah
Gambar 3. Terumbu Karang di Kepulauan Seribu
(Sumber : Setyawan, 2011)
TINJAUAN PUSTAKA
Plankton, Juvenil Ikan, Ikan.
Menurut Wiadnyana (1997), nilai produktifitas
secara langsung banyak dipengaruhi oleh
komposisi jenis fitoplankton yang selanjutnya
dapat menentukan besar kecilnya daya dukung
perairan terhadap kehidupan ekosistem
sumberdaya air di dalamnya. Zooplankton
merupakan
konsumen
pertama
yang
memanfaatkan produktivitas primer yang
dihasilkan fitoplankton.
Pada kondisi tertentu, perubahan kuantitatif
dan
kualitatif
fitoplankton
akan
mempengaruhi zooplankton. Zooplankton
inilah yang menjadi makanan ikan-ikan kecil.
Parameter hidrologis seperti temperatur,
salinitas, kecerahan, unsur hara merupakan
faktor lingkungan yang berpengaruh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap
keberadaan
plankton
pada
ekosistem
sumberdaya air.
Hubungan kelimpahan plankton (fitoplankton
dan zooplankton), juvenil ikan dan kelimpahan
ikan yang tertangkap dapat diketahui dengan
cara memadukan antara model matematik
dengan pendekatan regresi (regresi linier)
antara ikan yang tertangkap di terumbu
karang buatan (disingkat TKB) dengan
kelimpahan plankton dan juvenil ikan.
Kebiasaan Makan Ikan
Makanan merupakan faktor penting bagi
semua organisme baik untuk pertumbuhan,
perkembangan, reproduksi dan aktivitas
metabolisme lainnya tergantung pada energi
yang disediakan dari makanan. Pertumbuhan
populasi atau individu dari ikan sangat erat
hubungannya dengan jenis makanan yang
terdapat di daerah dimana mereka hidup dan
plankton merupakan salah satu makanan
pokok yang dipergunakan baik langsung
maupun tidak langsung (Ball dan Rao, 1992).
Dasar dari studi kebiasaan makan ikan adalah
mempelajari dari alat pencernaannya. Apabila
satu spesies ikan telah diketahui secara umum
kebiasaan makanannya dan ketika diambil dari
satu perairan tertentu terdapat kelainan pada
lambungnya, hal ini menunjukkan habitat
tersebut secara alami tidak sesuai dengan
kebiasaan makan ikan tersebut. Dengan
demikian penilaian kesukaan makanan ikan
terhadap makanannya menjadi sangat relatif.
Ada
beberapa
faktor
fisik
yang
mempengaruhinya, antara lain : penyebaran
organisme, ketersediaan makanan dan faktor
fisik yang mempengaruhi perairan tersebut
(Mustafa et. al, 1982).
Arimoto (1992) menyatakan bahwa kebiasaan
makan ikan (foraging activity) terutama
dimotivasi oleh rasa lapar dan dari faktor daya
melihat ikan di dalam air. Hal ini sehubungan
dengan tujuan penangkapan dipengaruhi oleh
waktu perendaman alat tangkap, kedalaman
dan transparansi perairan.
Parameter Kualitas Air
Menurut Setyawan (2011), kondisi untuk
pertumbuhan karang yang baik yaitu pada
suhu berkisar 22-29 °C. Intensitas cahaya
berhubungan dengan kecerahan perairan,
merupakan faktor penting pertumbuhan
terumbu karang dan adanya kehidupan laut
karena
berkaitan
dengan
fotosintesis
zooxanthellae. Kecerahan mengindikasikan
adanya kemampuan penetrasi cahaya matahari
yang dipengaruhi oleh suspensi dalam air
(lumpur) akibat pengaruh musim.
Salinitas perairan adalah parameter terakhir
yang diamati pada penelitian ini. Sebelum
adanya terumbu karang buatan, salinitas
perairan yang diteliti berkisar 27-31 ppt. Hal
ini dipengaruhi degradasi terumbu karang
alami. Setelah adanya penanaman terumbu
karang buatan, diperoleh angka salinitas
berkisar antara 33-35 ppt. Menurut Nybakken
(1992), tingkat salinitas ini menyerupai
wilayah perairan terumbu karang normal.
Walaupun terjadi sedikit kenaikan tetapi
kondisi salinitas masih dalam kisaran salinitas
optimum bagi kehidupan karang yaitu antara
30-35 ppt.
Terumbu Karang
Menurut Nybakken (1992), terumbu karang
sebagai lingkungan hidup berfungsi sebagai
tempat tinggal, tempat berlindung, tempat
mencari makan dan berkembang biak biota
yang hidup baik dari terumbu karang itu
sendiri atau dari perairan di sekitarnya.
Terumbu Karang adalah salah satu ekosistem
yang amat penting di laut, khususnya di
perairan tropis. Keanekaragaman dan tingkat
produktivitas yang tinggi menjadikan daerah
terumbu karang merupakan habitat dari
berbagai jenis biota yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi dalam ekosistem sumberdaya
air. Terumbu karang juga memegang peranan
yang sangat penting sebagai penghalang
terjangan ombak dan erosi pantai (Bengen,
2002).
Rusaknya ekosistem terumbu karang akan
berakibat terganggunya kehidupan biota yang
berasosiasi dengannya. Gangguan yang terjadi
pada ekosistem terumbu karang berdampak
terhadap kualitas dan kuantitas makanan
(produktivitas) yang secara langsung akan
mempengaruhi keragaman dan kelimpahan
ikan. Akibat yang lain adalah bahwa degradasi
yang terjadi dapat pula menyebabkan
melimpahnya algae secara berlebihan sehingga
dapat menutupi karang yang akhirnya akan
berakibat pada kematian karang (Anggoro,
2001).
Terumbu Karang Buatan
Terumbu karang buatan (artificial reef) adalah
benda yang di turunkan ke dasar perairan
sehingga berfungsi layaknya habitat ikan.
Banyak bentuk konstruksi dan jenis material
yang diaplikasikan pada artificial reef, dari
balok kayu biasa, papan, concret semen, besi
dan kapal, bus bekas, PVC dan bahkan ban
bekas. Sama seperti habitat perairan karang,
artificial reef dapat menarik kehidupan laut
lainnya dengan cara menyediakan tempat
berlindung dan sumber makanan tambahan.
Secara umum telah diketahui bahwa artificial
reef yang dipasang secara nyata telah
memberikan fungsi sebagai pengumpul ikan
dengan bertambahnya bangunan dasar atau
topografi dan dengan meningkatnya daya
dukung
lingkungan
telah
memberi
kemungkinan bertambahnya biomassa ikanikan setempat. Untuk hal tersebut diperlukan
pengkontruksian yang terbuat dari bahan yang
awet serta berbentuk seperti aslinya atau
paling tidak mendekati (Sutarto, 2000).
Pembuatannya mungkin pekerjaan mudah.
Tapi
proses
penenggelaman
dan
penempatannya
di
laut
memerlukan
keterlibatan para ahli di bidangnya.
Penenggelamannya tidak bisa di sembarang
tempat di laut. Kedalamannya saja harus
memenuhi syarat minimal 10 sampai 20 meter
dari
permukaan
laut,
supaya
tidak
mengganggu pelayaran. Selain itu dasar laut
harus dipilih yang tidak berlumpur. Setelah
terpasang di lokasi yang memenuhi syarat, di
permukaan ditempatkan sebuah pelampung
yang dihubungkan dengan tali dan diikatkan
pada karang buatan itu. Pelampung itu akan
menjadi tanda atau peringatan bagi pengguna
perairan, misalnya nelayan, bahwa di lokasi
dimaksud terdapat artificial reef.
Kemudian artificial reef akan dihinggapi oleh
binatang-binatang karang, yang seiring
perjalanan waktu akan mengalami proses
pengerasan atau pengapuran. Semakin lama
berada di kedalaman air dan mengalami proses
seperti itu, benda tersebut akan makin kuat,
dan diharapkan bisa menjadi tempat bagi ikanikan di laut untuk bertelur serta tumbuh dan
berkembang. Dengan fungsi seperti itu, karang
buatan mirip dengan rumpon, hanya bedanya
artificial reef memiliki fungsi-fungsi lain yang
lebih kompleks.
Kriteria Pemilihan Lokasi
Terumbu Karang Buatan
Penempatan
Menurut Sutarto (2000), secara umum
pemilihan lokasi terumbu karang buatan
memerlukan kriteria dan pertimbangan
diantaranya adalah dasar perairan keras,
kedalaman 10-20 meter, kecerahan air cukup,
terhindar dari arus yang kuat, aman dari lalu
lintas laut (alur keluar masuk pelabuhan),
dipasang dekat perkampungan nelayan atau
daerah penangkapan nelayan kecil.
Perhatikan pula aspek biologis dan ekologis
dlam penempatan terumbu karang buatan.
Aspek
biologis
diantaranya
adalah,
penempatan artificial reef harus sedekat
mungkin dengan sumber plankton dan sumber
larva ikan. Sedangkan aspek ekologis adalah
pemilihan substrat dasar. Substrat dasar yang
baik bagi penempatan artificial reef adalah
substrat dasar yang keras dan padat. Subtrat
dasar yang keras dan kuat akan menyebabkan
penempatan artificial reef kuat dan stabil.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini
adalah untuk mengkaji efek keberadaan
terumbu karang buatan (artificial reef)
terhadap ekosistem sumber daya air yang
terdapat di beberapa wilayah di Perairan
Indonesia (Studi Kasus di Karang Jeruk, Teluk
Jakarta dan Taman Nasional Kepulauan Seribu).
Penelitian ini ditinjau dari keberadaan
plankton, kebiasaan makan ikan dan kualitas
air di Perairan tersebut.
Gambar 4. Analisa Data (2015)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
studi kasus, metode pengamatan dan metode
sampling. Adapun variabel yang diamati adalah
komposisi plankton, juvenil dan ikan yang ada
di perairan tersebut. Variabel lain yang diamati
adalah kebiasaan makan ikan dan kualitas air
di perairan tersebut.
Gambar 5. Analisa Data (2015)
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Berikut ini adalah hasil analisa dan
pembahasan berdasarkan studi penelitian
terdahulu, berdasarkan pengamatan dan
penelitian keberadaan perairan dan ekosistem
sumberdaya air sebelum adanya terumbu
karang buatan (TKB) dan sesudah adanya TKB.
Fokus penelitian di Perairan Karang Jeruk,
Teluk Jakarta, Taman Nasional Kepulauan
Seribu.
Hasil Analisa dari Pengamatan Keberadaan
Terumbu Karang Buatan Ditinjau dari
Keberadaan Plankton, Juvenil dan Ikan :
Gambar 6. Analisa Data (2015)
Hasilnya adalah terdapat hubungan regresi
linear antara plankton, juvenil dan ikan.
Artinya ketika terjadi kelimpahan jumlah
plankton, selalu diikuti kelimpahan jumlah
juvenil dan kelimpahan jumlah ikan yang
tertangkap. Hasil berikutnya adalah setelah
penempatan terumbu karang buatan (artificial
reef), diperoleh peningkatan komposisi
plankton, juvenil ikan dan ikan.
Hasil Analisa dari Pengamatan Keberadaan
Terumbu Karang Buatan Ditinjau dari
Kualitas Air, sebagai berikut :
Tabel 1. Kebiasaan Makan Ikan di Perairan
Karang Jeruk, Kota Tegal
Gambar 7. Analisa Data (2015)
Tabel 2. Kebiasaan Makan Ikan di Perairan
Teluk Jakarta
Gambar 8. Analisa Data (2015)
Tabel 3. Kebiasaan Makan Ikan di Taman
Nasional Kepulauan Seribu
Gambar 9. Analisa Data (2015)
Dari pengamatan diatas, kualitas air (ditinjau
dari suhu, kecerahan dan salinitas) lebih baik
daripada kondisi sebelum adanya terumbu
karang buatan dan menuju kondisi normal bagi
kehidupan ekosistem sumberdaya air. Tingkat
salinitas ini menyerupai wilayah perairan
terumbu karang normal. Walaupun terjadi
sedikit kenaikan tetapi kondisi salinitas masih
dalam kisaran salinitas optimum bagi
kehidupan karang yaitu antara 30-35 ppt.
Dasar dari studi kebiasaan makan ikan adalah
mempelajari dari alat pencernaannya. Apabila
satu spesies ikan telah diketahui secara umum
kebiasaan makanannya dan ketika diambil dari
satu perairan tertentu terdapat kelainan pada
lambungnya, hal ini menunjukkan habitat
tersebut secara alami tidak sesuai dengan
kebiasaan makan ikan tersebut. Dari hasil
pengamatan, semua jenis ikan yang dilihat
jenis lambungnya memiliki feeding area di
pantai.
Hasil Analisa dari Pengamatan Keberadaan
Terumbu Karang Buatan Ditinjau dari
Kebiasaan Makan Ikan :
PENUTUP
Dari hasil studi kasus di Karang Jeruk, Teluk
Jakarta dan Taman Nasional Kepulauan Seribu,
dapat
disimpulkan
bahwa
keberadaan
terumbu karang buatan (artificial reef)
memberikan dampak yang positif baik secara
langsung maupun tidak langsung tehadap
ekosistem sumberdaya air. Terdapat hubungan
regresi linear antara plankton, juvenil dan ikan.
Artinya ketika terjadi kelimpahan jumlah
plankton, selalu diikuti kelimpahan jumlah
juvenil dan kelimpahan jumlah ikan yang
tertangkap. Setelah penempatan terumbu
karang buatan (artificial reef), diperoleh
peningkatan komposisi plankton, juvenil ikan
dan ikan. Kualitas air (ditinjau dari suhu,
kecerahan dan salinitas) membaik dan menuju
kondisi normal bagi kehidupan ekosistem
sumberdaya air.
Penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi
terumbu karang alami maupun buatan sangat
penting, antara lain sebagai sumber tumbuh
kembangnya produsen primer dan pakan
alami serta sumber plasma nutfah yang perlu
dilindungi, sebagai habitat/ tempat berlindung,
tempat mencari makan, tempat memijah dan
bertumbuh mahluk hidup di perairan. Dengan
adanya terumbu karang buatan kestabilan
ekosistem sumberdaya air tetap terjaga,
pengadaan terumbu karang buatan menjadi
satu alternatif yang diutamakan dalam proses
perlindungan, pelestarian dan pengelolaan
ekosistem sumber daya air.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro 2001. Penataan Fish Sanctuary
sebagai Solusi
Konflik
Pemanfaatan
Sumberdaya Pesisir Karang Jeruk. Pelatihan
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan, Semarang.
Boney, A.D. 1976. Phytoplankton. Edward
Arnold, London.
Bengen,
D.G.
2002.
Ekosistem
dan
Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB, Bogor.
Cleary, D. F. R., Suharsono & B. W. Hoeksema.
2006. Coral Diversity Across A Disturbance
Gradient in The Kepulauan Seribu Reef
Complex Off Jakarta, Indonesia. Biodiversity
and Conservation.
Dorris, W. 1968. Biological Parameter of
Water Quality Criteria. Bio, Scien.
English, S.,C. Wilkinson and V. Baker 1994.
Survey Manual for Tropical Marine
Resources. AIMS, Townsville.
Estradivari, E Setyawan, dan S.Yusri, 2009.
Terumbu Karang Jakarta, Pengamatan
Jangka Panjang
Terumbu
Karang
Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan
TERANGI. Jakarta.
Hadi, S. 2001. Metodologi Research. Penerbit
Andi, Yogyakarta.
Johan, O, 2003. Metode Survei Terumbu
Karang Indonesia. Dalam Makalah Training
Course : Karakteristik Biologi Karang. Yayasan
TERANGI.
Lee, C.D, S.B. Wang, and C.L. Kuo. 1978.
Benthic Macro Invertebrate and Fish as
Biological Indicator of Water Quality, With
Reference to Community Diversity Indeks
In Onano, E.A.R., B.N. Lohani and Thanh.
Water Pollution Control in Developing
Countries. The Asian Institute of Technology.
Bangkok
A.G. Ilahude 1995. Sebaran Suhu, Salinitas,
Siqma-T, Oksigen dan Zat Hara di Perairan
Teluk Jakarta in: Suyarso (ed) Atlas
oseanologi Teluk Jakarta. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia P3O, Jakarta.
Mulatsih, 2006. Efek Keberadaan TKB
terhadap Komunitas Sumberdaya Hayati di
Perairan Karang Jeruk, Tegal. Program Studi
Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang.
Ball, D.V. and K.V. Rao. 1992. Marine Fisheries.
Tata Mc Graw-Hill Publishing Company Limite.
New Delhi. India.
Mustafa, et. Al. 1982. Ekosistem Hutan Bakau,
Sumberdaya dan Pengelolaan untuk
Mempertahankan Kelestariannya. dalam
Panjaitan, A., Sanusat, A. Surono, A. Malik dan
Djamali. Evaluasi Hasil Survey Hutan Bakau.
Direktorat Bina Hayani. Direktorat Jenderal
Perikanan.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit
Djambatan, Jakarta.
NOAA (National Oceanic and Athmospheric
Administration), 2012. U.S. Department of
Commerce. USA
Nybakken, J. W, 1992. Biologi Laut : Suatu
Pendekatan Ekologis. Terjemahan dari
Marine Biology : An Ecological Approach,
(diterjemahkan oleh Eidman, M., Koesoebiono,
D.G. Bengen, M. Hutomo, & S. Sukardjo.1992).
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pielou, R.W. 1975. Ecological Diversity. John
Wiley and Son Inc, New York.
Raymond, J.E.E. 1980. Plankton and
Productivity in Ocean. Pergamon Press,
London.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Jurusan
Perikanan Fakultas Peternakan Universitas
Diponegoro, Semarang.
Setyawan, E, S. Yusri, & S. Timotius. 2011.
Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan
Jangka
Panjang
Terumbu
Karang
Kepulauan Seribu (2005-2009). Yayasan
TERANGI. Jakarta
Shirota, A. 1966. The Plankton of South
Vietnam. Overseas Technical Comperation
Agency, Japan.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem
Terumbu Karang. Penerbit Djambatan,
Jakarta.
Sutarto. 2000. Pengenalan tentang Rumpon
dan Terumbu Karang Buatan. BPPI,
Semarang.
Wiadnyana, N.N. 1997. Dampak Munculnya
Spesies Red Tide terhadap Perikanan di
Indonesia. Berkala Perikanan Terubuk XII.
Download