BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi manusia yang terus meningkat selalu diiringi tekanan terhadap lahan. Dimulai dengan membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal dan bercocok tanam, sampai kepada pembangunan kota yang besar dan modern serta jauh dari bentuk awalnya, yaitu hutan. Pembangunan kota ini sedikit banyaknya menghilangkan beberapa fungsi hutan salah satunya iklim mikro yang sejuk. Banyaknya bangunan di perkotaan yang menggantikan posisi vegetasi memicu terjadinya peningkatan perubahan suhu di wilayah perkotaan yang signifikan dengan daerah sekitarnya yang masih bervegetasi. Perkembangan kota selalu diikuti dengan penambahan populasi manusia yang mendiami dan memanfaatkan kawasan perkotaan tersebut dengan berbagai tipe pemanfaatan lahan. Hal ini berakibat terhadap munculnya tekanan yang lebih besar dan semakin besar kepada lahan. Umumnya lahan bervegetasi yang belum termanfaatkan secara ekonomi akan menjadi sasaran utama dari pemanfaatan manusia terutama untuk kebutuhan tempat tinggal. Kebutuhan akan tempat tinggal pada kota yang berkembang mulanya akan cenderung bersifat horizontal/mendatar terhadap bentang lahan sehingga akan mengubah karakteristik tutupan lahan alami sebelumnya. Perubahan tutupan lahan yang berlangsung terus menerus dalam rangka pembangunan tersebut menimbulkan masalah bagi lingkungan. Contoh yang paling mudah diamati adalah kenaikan suhu udara permukaan di kawasan 1 perkotaan. Hal ini merupakan dampak dari berkurangnya fungsi ekologis vegetasi sebagai pembentuk iklim mikro yang sejuk. Fungsi vegetasi tersebut akan semakin berkurang seiring dengan berkurangnya luas tutupan vegetasi dari tahun ke tahun. Usaha untuk meningkatkan atau mempertahankan vegetasi yang sudah ada sangat diperlukan sebagai langkah penyeimbang laju kerusakan lingkungan yang muncul akibat pembangunan kawasan perkotaan, misalnya dengan membuat hutan kota atau ruang terbuka hijau pada kawasan strategis dan padat akan penduduk/pemukiman. Kota Solo dikenal sebagai salah satu kota budaya di Indonesia. Solo termasuk ke dalam sepuluh kota dengan kepadatan penduduk terbesar, yaitu mencapai 507.825 jiwa (BPS, 2014). Peningkatan jumlah penduduk di Solo mengakibatkan meningkatnya tekanan terhadap ruang terbuka hijau. Laju urbanisasi dengan berbagai tujuan yang sulit dibendung serta dengan jumlah lahan yang terbatas merupakan hambatan dalam pengelolaan ruang terbuka hijau di kota Solo. Akibat adanya kebutuhan ini menimbulkan talik ulur antara kestabilan ekologi dengan kebutuhan manusia yang tak jarang dimenangkan oleh manusia. Ketika kestabilan ekologi terganggu maka alam akan menunjukkan salah satu reaksi, yaitu meningkatnya suhu di perkotaan (Purnamasari, 2013). Penelitian yang dilakukan Rushayati (2012) menyatakan bahwa pada area bervegetasi, radiasi surya yang sampai ke permukaan selain dikonduksikan juga dipergunakan untuk evapotranspirasi oleh vegetasi sehingga menurunkan suhu permukaan. Pernyataan ini juga sejalan dengan penelitian Zhang dkk. (2010) yang menyebutkan tutupan vegetasi (vegetation cover) dan suhu memiliki korelasi negatif. 2 Indeks vegetasi sebagai salah satu sarana untuk menduga kerapatan vegetasi melalui teknologi citra satelit (penginderaan jauh) diharapkan dapat menjadi solusi yang memberikan kemudahan dari segi penggunaan, biaya dan waktu dalam memantau kondisi vegetasi pada suatu bentang lahan. Walaupun banyak faktor yang membatasinya, NDVI masih menjadi kuantitas monitoring vegetasi yang penting untuk mengkaji kapasitas fotosintesis permukaan daratan pada skala spasial yang tepat dalam berbagai keadaan (Sudiana dan Diasmara, 2008). Kombinasinya dengan data indeks urban dan kegiatan groundcheck serta analisis vegetasi di lapangan memberikan hasil pengamatan yang lebih akurat dan mendalam tentang vegetasi kawasan tersebut. Indeks urban merupakan salah satu bentuk algoritma transformasi yang menggunakan dua buah saluran yang terdapat pada citra satelit Landsat 7, yaitu saluran 7 dan 4. Menurut Sukristiyanti dkk. (2007) transformasi indeks urban melibatkan dua saluran inframerah, yaitu inframerah dekat (saluran 4) dan inframerah tengah II (saluran 7). Transformasi ini diterapkan untuk menonjolkan obyek tanah kering, dan menekan aspek vegetasi, dimana pantulan spektral yang tertinggi pada saluran 7 adalah obyek tanah kering dan pada saluran 4 adalah obyek vegetasi. Analisis vegetasi perlu dilakukan untuk memperoleh informasi serta menilai kondisi vegetasi yang ada saat ini pada ruang terbuka yang telah ada. Penilaian indeks keanekaragaman diperlukan sebagai acuan dalam menentukan pengayaan jenis yang akan dilakukan dengan tujuan meningkatkan kualitas fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial ruang terbuka hijau. Pada akhirnya 3 diharapkan jenis yang dipilih dapat bertahan dan berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Beberapa parameter di atas akan menjadi acuan dalam memberikan rekomendasi arahan teknis pengelolaan ruang terbuka hijau yang tepat serta pemilihan jenis pohon penyusunnya. Dengan demikian diharapkan kegiatan mengkonservasi lahan dan vegetasi sebagai komponen utama penyusun lingkungan hidup dapat berjalan. 1.2. Rumusan Permasalahan Bertambahnya jumlah penduduk dan aktivitasnya akan diiringi dengan pembangunan infrastruktur berupa bangunan fisik maupun jalan untuk mendukung aktifitas manusia tersebut. Hal inilah yang akan selalu memicu tekanan terhadap lahan yang belum terbangun sehingga mengakibatkan penurunan tutupan lahan bervegetasi (tutupan vegetasi). Penggunaan lahan yang umumnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun antara lain; pemukiman, bangunan infrastruktur perkotaan dan jalan. Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk kota Solo juga diikuti dengan kepemilikan kendaraan bermotor yang terus meningkat. Hal ini ditambah lagi dengan volume kendaraan yang hilir mudik setiap harinya keluar masuk kota Solo. Fenomena ini menyebabkan munculnya masalah-masalah lingkungan, seperti polusi udara, kemacetan lalu lintas yang parah serta naiknya suhu permukaan bumi. Volume kendaraan masuk di Kota Solo pada tahun 2015 mencapai 2,5 juta unit. Volume kendaraan itu meningkat tajam dibandingkan 2006 silam yang tercatat 750.000 kendaraan (Septiyaning, 2015). Jika 4 dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, Kota Solo merupakan kota terpadat di Jawa Tengah dan ke-8 terpadat di Indonesia, dengan luas wilayah ke-13 terkecil, dan populasi terbanyak ke-22 dari 93 kota otonom dan 5 kota administratif di Indonesia. Ruang terbuka yang ada di Kota Solo semakin sempit seiring dengan pengerasan jalan (pengaspalan dan pembetonan) demi mendapatkan kenyamanan dalam berkendaraan. Berkurangnya luasan area ruang terbuka hijau berdampak pada tingkat kesulitan masuknya air ke dalam tanah sehingga memicu terjadinya banjir ketika musim hujan tiba. Selain itu, air hujan yang jatuh sebagian besar terbuang ke sungai Bengawan Solo karena tidak mampu terserap oleh tanah sehingga debit air tanah menjadi menurun (Munawir, 2011). Peningkatan jumlah penduduk selalu memberikan masalah tersendiri terhadap lingkungan hidup. Secara alami manusia dengan kecerdasan yang dimilikinya akan berusaha mengubah alam serta lingkungan sekitarnya agar sesuai dengan yang diharapkannya. Namun demikian prilaku manusia ini tak jarang menimbulkan masalah baru bagi lingkungan dan merubah fungsi-fungsi ekologis yang telah ada sebelumnya. Menurut Wicahyani dkk., (2013) manusia menentukan disain dan struktur kota. Semakin banyak jumlah penduduk di suatu wilayah maka kebutuhan pemukiman dan sarana prasarana pendukung seperti kendaraan, sekolah, pusat perbelanjaan, dan lain-lain juga akan semakin besar. Struktur bangunan yang kompleks menjadi jebakan panas radiasi matahari sehingga panas sulit dikembalikan ke atmosfir. Struktur bangunan beton, semen, dan aspal menjadi sumber panas tersendiri karena potensi albedo yang dimilikinya. 5 Sebagian besar ruang terbuka hijau publik di Kota Solo berupa kawasan cagar budaya dan sejarah, taman-taman kota, makam, sempadan sungai, dan jalur hijau. Pertanyaan yang menjadi dasar penelitian ini adalah bagaimana perubahan ketersediaan lahan bervegetasi di Kota Solo, bagaimana kondisi sebaran suhu udara permukaan dan kerapatan tajuk vegetasi sebagai dampak pembangunan dan pemanfaatan lahan, serta apakah arahan teknis dan rekomendasi yang bisa diberikan untuk mengatasi hal tersebut. Beranjak dari pertanyaan ilmiah di atas maka diperlukan adanya penelitian mengenai laju perubahan tutupan vegetasi, sebaran suhu permukaan dan penentuan prioritas area ruang terbuka hijau di Kota Solo sehingga pada akhirnya diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan inovasi dalam pembangunan daerah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun sebelumnya. 1.3. Batasan Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang perubahan tutupan lahan yang terjadi di Kota Solo dalam rentang waktu 5 tahun, yaitu tahun 2010 sampai 2015. Interpretasi visual pada citra satelit Landsat dilakukan untuk mengamati fenomena ini. Perubahan tutupan lahan yang diamati berfokus pada ada tidaknya perubahan tutupan lahan yang bervegetasi sehingga pada akhirnya dapat ditentukan berapa besar laju perubahan tutupan vegetasi (lahan yang bervegetasi) dalam rentang waktu tersebut. Perubahan tutupan lahan yang terjadi terutama pada daerah yang sebelumnya bervegetasi dikaitkan dengan keadaan suhu udara permukaan di Kota Solo. Pengukuran suhu udara permukaan dilakukan untuk mengetahui sebaran 6 radiasi panas sebagai dampak perubahan tutupan vegetasi yang terjadi. Pengamatan terhadap parameter luas tutupan tajuk vegetasi dan indeks urban dilakukan dengan menggunakan algoritma NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan UI (Urban Index) pada citra satelit Landsat. Hal ini dilakukan untuk mendukung hasil temuan perubahan tutupan vegetasi dan sebaran panas yang terjadi di Kota Solo. Kegiatan analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi kawasan ruang terbuka hijau sebagai daerah tutupan vegetasi yang tersisa sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menyusun rekomendasi pengelolaan. Hasil akhir berupa arahan teknis penataan dan pengayaan jenis penyusun ruang terbuka hijau yang dituangkan dalam bentuk matriks pemilihan jenis, matriks daerah prioritas ruang terbuka hijau serta penyajiannya secara visual dalam bentuk peta. 1.4. Keaslian Penelitian Ruang terbuka hijau merupakan topik yang menarik untuk diteliti mengingat posisinya yang strategis berada di pusat kota, pusat perkembangan manusia dan segala permasalahan lingkungan di sekitarnya. Sesungguhnya penelitian mengenai ruang terbuka hijau ini telah banyak dilakukan oleh para ahli maupun akademisi untuk mengupas segala sisi yang berkaitan dengannya dari sudut pandang disiplin ilmu masing-masing. Berbagai publikasi penelitian tentang ruang terbuka ini juga dapat dengan mudah ditemukan pada berbagai media. Kajian penelitian mengenai ruang terbuka hijau tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu hayati ataupun tumbuhan yang langsung bersinggungan dengan objek 7 penyusunnya yaitu vegetasi. Perkembangan ilmu pengetahuan terapan seperti sistem informasi geografis memberikan warna baru dalam mengatasi permasalahan pengelolaan sumber daya alam, salah satunya ruang terbuka hijau. Pendekatan sudut pandang hukum dan peraturan pemerintah juga kerap mewarnai penelitian yang berkaitan dengan isu ruang terbuka hijau ini. Penelitian mengenai suhu udara yang berada di area ruang terbuka hijau pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Tahun 2013 Andriono dkk., meneliti tentang dinamika ruang terbuka hijau dan indeks kelembaban suhu di Kota Malang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dinamika perubahan suhu dan kelembaban mempengaruhi tingkat kenyamanan kota sehingga diperlukan adanya kebijakan alternatif yang efektif mengatur tantanan ruang terbuka hijau. Wicahyani dkk., pada tahun yang sama (2013) meneliti tentang efek pulau panas di Kota Yogyakarta dengan menggunakan citra satelit Landsat TM sebagai objek pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lokasi terbangun seperti pemukiman suhu udara berkisar antara 35oC – 40oC. Febrianti dan Sofan (2014) meneliti tentang analisis spasial terhadap ruang terbuka hijau dengan menggunakan citra Landsat 8 sebagai acuan. Kesimpulan yang diperoleh adalah satelit resolusi menengah seperti Landsat sudah dapat digunakan dalam mengidentifikasi lokasi dan luas RTH. Perhitungan RTH akan lebih tepat bila menggunakan indeks vegetasi untuk menghindari kesalahan klasifikasi penggunaan lahan lainnya. Penelitian mengenai hubungan antara vegetasi dan suhu permukaan juga telah dilakukan di belahan bumi lain seperti yang dilakukan Zhang dkk. (2010) di Kota Beijing. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa keberadaan tutupan 8 vegetasi berkorelasi negatif dengan suhu udara. Waluyo (2009) juga menyimpulkan hal yang sama bahwa kenaikan suhu permukaan akan disertai penuruanan nilai NDVI dan sebaliknya. Hubungan yang terbentuk adalah linear terbalik. Sebelumnya Sukawi (2008) telah meneliti tentang taman kota dan upaya pengurangan suhu lingkungan perkotaan di Kota Semarang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembangunan kota yang pesat dengan pertambahan jumlah penduduk yang pesat pula perlu diiringi dengan upaya-upaya mempertahankan dan mengembangkan tuang terbuka hijau sebagai unsur kota dan merupakan kebutuhan mutlak bagi penduduk kota. Beberapa penelitian di atas merupakan sebagian contoh penelitian yang membahas tentang ruang terbuka hijau, vegetasi, suhu udara dan keterkaitannya. Walaupun demikian, penelitian ini tetap memiliki cirinya tersendiri yang berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain; 1. Kota yang dipilih sebagai lokasi penelitian merupakan salah satu kota besar di Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup padat dan rasio lahan terbangun (pemukiman) dan area vegetasi yang cukup tinggi. Ketersediaan data mengenai laju perubahan tutupan vegetasi di Kota Solo masih terbatas. 2. Kombinasi nilai indeks vegetasi, indeks urban, pengukuran suhu di lapangan dan analisis vegetasi di lapangan dalam menentukan daerah prioritas ruang terbuka hijau dan jenis pohon penyusunnya sejauh pengamatan dan studi literatur yang dilakukan penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. 9 3. Hasil akhir berupa tabel matriks manajemen pemilihan jenis dan arahan teknis konservasi ruang terbuka hijau belum pernah dihasilkan peneliti sebelumnya. 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui laju perubahan tutupan vegetasi periode tahun 2010 sampai dengan 2015 di Kota Solo. 2. Mengetahui sebaran spasial suhu permukaan di siang hari sebagai gambaran radiasi panas yang terjadi di Kota Solo. 3. Menentukan daerah prioritas dan arahan teknis penataan ruang terbuka hijau berdasarkan sebaran suhu dan ada tidaknya ruang terbuka hijau di Kota Solo. 1.6. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memberikan manfaat, antara lain; 1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kondisi terkini vegetasi di Kota Solo sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam memanfaatkan lahan. 2. Sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah baik dalam penyusunan maupun evaluasi pengelolaan serta pemanfaatan ruang terbuka hijau di Kota Solo. 3. Sebagai bahan yang memperkaya ilmu pengetahuan di bidang kehutanan khususnya bagi para akademisi UGM mengenai penerapan SIG dan penginderaan jauh dalam melakukan pengelolaan ruang terbuka hijau. 10